• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL AKTIVISME PEREMPUAN NU DALAM MEMPROMOSIKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DI TINGKAT LOKAL. (Studi Kasus Aktivis Fatayat di Kabupaten Sidoarjo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODEL AKTIVISME PEREMPUAN NU DALAM MEMPROMOSIKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DI TINGKAT LOKAL. (Studi Kasus Aktivis Fatayat di Kabupaten Sidoarjo)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL AKTIVISME PEREMPUAN NU DALAM MEMPROMOSIKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DI TINGKAT LOKAL

(Studi Kasus Aktivis Fatayat di Kabupaten Sidoarjo)

Laporan Penelitian Dasar Pengembangan Program Studi (PDP2S)

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Nomor 307 Tahun 2021, Tanggal 22 Februari 2021

Oleh:

Dr. Iva Yulianti Umdatul Izzah, M.Si NIP. 197607182008012022 Dr. Amin Thohari, S.Ag, M.Si

NIP. 197007082000031004

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

LEMBAGA PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LP2M) 2021

(2)

MODEL AKTIVISME PEREMPUAN NU DALAM MEMPROMOSIKAN KESETARAAN DAN KEADILAN

GENDER DI TINGKAT LOKAL

(Studi Kasus Aktivis Fatayat di Kabupaten Sidoarjo)

Laporan Penelitian Dasar Pengembangan Program Studi (PDP2S)

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Nomor 307 Tahun 2021, Tanggal 22 Februari 2021

Oleh:

Dr. Iva Yulianti Umdatul Izzah, M.Si NIP. 197607182008012022 Dr. Amin Thohari, S.Ag, M.Si

NIP. 197007082000031004

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

LEMBAGA PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LP2M) 2021

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur ke Hadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, laporan penelitian ini dapat terselesaikan tepat waktu. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW. Penelitian ini mengambil judul “Model Aktivisme Perempuan NU Dalam Mempromosikan Kesetaraan Dan Keadilan Gender Di Tingkat Lokal (Studi Kasus Aktivis Fatayat di Kabupaten Sidoarjo)” yang merupakan bagian dari kewajiban dosen dalam melaksanakan Tri Darma Perguruan Tinggi yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Penelitian ini terlaksana berkat kerjasama dan bantuan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Ampel Surabaya dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Masdar Hilmy, MA, Ph. D, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya

2. Bapak Dr. Phil. Khoirun Niam, selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Ampel Surabaya

3. Bapak Alm. Prof. Dr. Sahid, HM, M.Ag,M.H selaku Ketua Pusat Penelitian UIN Sunan Ampel Surabaya

4. Bapak Prof. Dr. H. Ali Mas’ud, M.Ag selaku dosen pembimbing yang memberi saran masukan yang konstruktif demi kesempurnaan laporan penelitian.

5. Para informan penelitian ini, dari Fatayat, Ibu Elok Sifak Munadiroh , S..Ag, Ibu Saudah,

M.Pd.I, Ibu Anisa Dwi Susanti, M.Pd.I, dan mbak Heny Rachmawati. Dari NU Sidoarjo

Bapak KH. Maschun, M.HI. Dari Muslimat ibu Ainun Jariyah, M.Pd.I, Ibu Subhiyah

Adimara, M.Pd.I, Ibu As’alut Thoyyibah, S.Ag. Alm. Ibu Ma’rufah, S.Ag.

(4)

6. Pihak-pihak lain yang membantu yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak/Ibu semua.

Peneliti menyadari, walaupun laporan penelitian ini telah disusun dengan sebaik- baiknya, namun masih banyak kekurangan dan penelitian lanjutan untuk mendapatkan kedalaman data. Untuk perbaikan laporan ini, peneliti mengharap masukan dan saran yang membangun dari pembaca.

Surabaya, 19 Oktober 2021 Peneliti,

Dr. Iva Yulianti Umdatul Izzah, M.Si

Dr. Amin Thohari, M.Si

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini mengambil judul Model Aktivisme Perempuan NU Dalam Mempromosikan Kesetaraan Dan Keadilan Gender di Tingkat Lokal (Studi Kasus Aktivis Fatayat di Kabupaten Sidoarjo). Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1). Bagaimana model aktivisme yang dilakukan perempuan NU pada organisasi Fatayat dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal. 2). Modal-modal apa saja yang dimiliki perempuan NU sebagai kelas menengah dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal.

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (filed reseach) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Informan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh peneliti yaitu perempuan yang memiliki konsistensi aktivitas dan peran di masyarakat dengan usia antara 30 tahun hingga 56 tahun, terdidik, memiliki sikap kritis dan progresif, memiliki posisi strategis dalam organisasi Fatayat dan juga berperan aktif dalam lembaga lain di masyarakat.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa ada dua model aktivisme perempuan NU dalam organisasi Fatayat dalam mempromosikan keadilan dan kesetaran gender di tingkat lokal.

Pertama, aktivisme perempuan NU dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal melalui organisasi fatayat, melalui bidang-bidang kerja dalam struktur organisasi.

Kedua, aktivisme perempuan NU dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal di luar organisasi fatayat, yaitu melalui lembaga-lembaga di luar struktur Fatayat.

Kedua, modal-modal yang dimiliki perempuan NU sebagai kelas menengah dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal adalah modal sosial, kultural, organisasional dan modal simbolik.

Kata kunci: Aktivisme, Kesetaraan dan Keadilan Gender, Fatayat, Kelas Menengah, Modal

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Sampul... i

Kata Pengantar...ii

Abstrak...iv

Daftar Isi...v

Daftar Tabel...vi

Daftar Gambar...vii

Daftar Lampiran... BAB I PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang...1

B. Rumusan Masalah ... ...5

C. Tujuan Penelitian ... ...6

D. Manfaat Penelitian ... ...6

E. Penelitian Terdahulu ... ...6

F. Sistematika Pembahasan ... ...8

BAB II LANDASAN TEORI ...10

A. Aktivisme Perempuan ... ... ..10

B. Kelas Menengah ... . 12

C. Kelas Menengah Perempuan NU ... . 15

BAB III METODE PENELITIAN ...26

A. Pendekatan Penelitian ... ..26

B. Penentuan Lokasi Penelitian ... ..27

C. Penentuan Informan ... ..27

D. Pengumpulan Data ... ..29

E. Analisis Data ... ..31

F. Pemeriksaan Keabsahan Data ... ..33

BAB IV GAMBARAN PEREMPUAN NAHDLATUL ULAMA SIDOARJO ...36

A. Sejarah Perempuan dalam Keanggotaan Organisasi NU Sidoarjo …………...36

B. Aktivisme Perempuan NU Sidoarjo Dalam Organisasi Fatayat ………..45

C. Aktivitas Perempuan NU Dalam Lembaga Di Luar Organisasi Fatayat ……….65

a. Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) ………66

b. Lembaga Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB)………. 72

c. Lembaga GOW (Gabungan Organisasi Wanita) ………74

(7)

BAB V MODEL AKTIVISME PEREMPUAN NU DALAM MEMPROMOSIKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DI

TINGKAT LOKAL ………. 77

A. Aktivisme Perempuan NU dalam Mempromosikan Kesetaraan dan Keadilan Gender di Tingkat Lokal Melalui Organisasi Fatayat ……… 77

B. Aktivisme Perempuan NU dalam Mempromosikan Kesetaraan dan Keadilan Gender di Tingkat Lokal di Luar Organisasi Fatayat ………. 79

C. Modal-modal Aktivisme Perempuan NU Sidoarjo sebagai Bagian dari Perempuan Kelas Menengah ……….. 85

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ……...92

A. Kesimpulan ... ..92

B. Saran ... ..93

DAFTAR PUSTAKA...94

LAMPIRAN...96

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Studi-studi Terdahulu tentang Aktivisme Perempuan ……….7

Tabel 2. Daftar Informan ……….29

Tabel 3. Misi Fatayat NU Sidoarjo Tahun 2014-2019 beserta Program-programnya ……….………40

Tabel 4. Program Fatayat NU Sidoarjo Periode 2014-2019 ……… 41

Tabel 5. Daftar Jumlah Ranting Fatayat NU Kabupaten Sidoarjo ………... 43

Tabel 6. Data Kasus yang Ditangani P2TP2A ……….71

Tabel 7. Jumlah Kasus yang Ditangani P2TP2A Berdasarkan Kecamatan ………. 71

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Aktivis perempuan NU memberikan pendidikan politik kepada masyarakat… 47

Gambar 2. Kerjasama Fatayat Sidoarjo dengan Dispendukcapil Kabupaten Sidoarjo …… 50

Gambar 3. Aktivitas pengurus Fatayat dalam kegiatan perlindungan anak dan perempuan..50

Gambar 4. Fatayat NU Sidoarjo ketika mengadakan dialog tentang koperasi ……….. 51

Gambar 5. Rapat Anggota Koperasi al Wardah ………. 52

Gambar 6. Gelar Produk Koperasi Fatayat al Wardah ……….. 52

Gambar 7. Pelatihan Kewirausahaan yang diadakan Fatayat NU Sidoarjo ……….. 53

Gambar 8. Pelatihan Bisnis Online oleh Fatayat NU ……… 53

Gambar 9. Pelatihan penjualan online yang diselenggarakan Fatayat NU Sidoarjo ………. 54

Gambar 10. Aktivitas Fatayat NU dalam Mensosialisasikan Kesehatan Ibu dan Anak …… 56

Gambar 11. Sosialisasi Fatayat mengenai Gerakan Go Green ……….. 57

Gambar 12. Sosialisasi Bank Sampah Fatayat Sidoarjo ……… 57

Gambar 13. Aktivis Fatayat NU ketika mengisi acara radio ……… 61

Gambar 14. Fatayat NU ketika mengadakan Bakti Sosial ……….. 62

Gambar 15. Acara Jamiyah kubro: mempererat silaturrahmi anggota ……… 63

Gambar 16. Pelatihan Membuat Flyer oleh Fatayat Sidoarjo ……….. 64

Gambar 17. Pelatihan Videografi oleh Fatayat Sidoarjo ………. 65

Gambar 18. Lomba yang diadakan Fatayat Sidoarjo ………. 65

Gambar 19. Flyer Fatayat NU ……… 78

Gambar 20. Partisipasi Fatayat NU dalam Penyusunan Kebijakan ………... 79

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Studi ini mengkaji bagaimana aktivis perempuan bertindak sebagai agensi

1

yang memiliki kapasitas untuk memberdayakan dan menolak subordinasi perempuan melalui tindakan mempromosikan keadilan dan kesetaraan gender di tingkat lokal. Argumentasi dalam studi ini adalah bagaimana para aktivis ini mengambil ide-ide untuk dilaksanakan dalam tindakan dan melihat bagaimana budaya yang meliputi kebiasaan, kemampuan dan model perjuangan yang digunakan untuk membentuk strategi mereka dalam bertindak.

Dalam studi ini difokuskan pada aktivis perempuan NU yang terdidik, memiliki basis sosial ekonomi yang mapan dengan pekerjaan sebagai pendidik, pengasuh pesantren, pegiat LSM terlibat aktif dalam kegiatan yang berkaitan untuk mempromosikan hak-hak perempuan dan meningkatkan kemampuan perempuan. Studi ini ingin mengkaji masalah hubungan gender yang terdapat dalam komunitas Nahdlatul Ulama (NU). Realitas sosial dalam lingkungan masyarakat NU menggambarkan kondisi nyata perempuan yang masih mengalami diskriminasi dan hal tersebut mendapat justifikasi agama dan budaya patriarki.

Hingga saat ini studi yang membahas tentang perjuangan kaum perempuan dalam membela hak-hak perempuan dan isu-isu perempuan di Indonesia telah banyak dilakukan baik secara perorangan maupun secara kolektif. Namun studi yang membahas tentang kiprah perempuan kelas menengah NU di masyarakat terutama di Jawa Timur yang dilakukan secara mendalam belum banyak dilakukan. Karena itu studi ini penting dilakukan untuk mengisi kekosongan atau lingkup masalah ini dengan menelitinya. Peneliti

1 Rinaldo, Rachel, Mobilizing Piety: Islam and Feminism in Indonesia, New York: Oxford University Press, 2013

(11)

memfokuskan penelitian ini pada aktivis perempuan NU yang tergabung dalam Fatayat di Kabupaten Sidoarjo.

Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini aktivis perempuan NU menjadi lebih menonjol di dalam berbagai kegiatan Nahdlatul Ulama’ dan di dalam dakwah akar rumput.

Semakin besarnya peranan kaum perempuan di kalangan Islam (baik modernis maupun tradisionalis) mendorong banyaknya pemikiran dan isu-isu yang mempengaruhi kaum perempuan

2

. Pieternella van Doorn-Harder menyebut kaum perempuan Nahdlatul Ulama’

muda yang kritis dan progressif sebagai bagian dari kalangan Nahdlatul Ulama’ yang post tradisionalis

3

.

Para aktivis kelas menengah NU mendapatkan pengetahuan dan wacana pemikiran kritis yang berasal dari pendidikan formal maupun non formal, aksi atau kerja advokasi, pemberdayaan masyarakat bawah melalui LSM yang menurut Bourdieu merupakan modal capital dan juga modal simbolik. Modal-modal tersebut pada akhirnya dapat memperkuat civil society dalam mengimbangi peranan dan kekuasaan negara.

Kondisi di masyarakat yang dihadapi para perempuan Nahdlatul Ulama’ yang progresif atau dapat dikatakan sebagai aktivis perempuan Nahdlatul Ulama’ adalah kenyataan bahwa sebagian besar anggota perempuan dalam masyarakat umumnya dan organisasi Nahdlatul Ulama’ khususnya berada di pedesaan dengan tingkat ekonomi lemah, banyaknya masalah perempuan seperti kesehatan, KDRT, perdagangan manusia, masalah lingkungan dan buruh migran. Karena itu muncul kesadaran dan sikap kritis dari para anggota perempuan Nahdlatul Ulama’ terutama mereka yang terdidik dan memiliki kemampuan lebih yaitu ekonomi dan sosial (kelas menengah) untuk menyelesaikan

2 M.C. Ricklefs, 2013. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang, Jakarta: PT Serambil Ilmu Semesta, hal. 386-387

3 Pieternella van Doorn-Harder, 2006. Woman Shaping Islam: Reading the Qur’an in Indonesia. University of Illinois Press

(12)

persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan, terutama dari kalangan Nahdlatul Ulama’ baik secara personal, kultural maupun struktural.

Benthall (2008) dan De Cordier (2009) menyatakan bahwa bermitra dengan organisasi berbasis agama Islam untuk mempromosikan hak-hak perempuan dengan pendekatan ajaran Islam dianggap lebih efektif dan memiliki kelebihan karen adanya kedekatan budaya

4

. Oleh karena itu, Islam telah digunakan secara strategis dalam usaha untuk mengadvokasi hak-hak perempuan. Greany (2006) dan Tomalin (2007) menyatakan bahwa analisis gender semakin berupaya untuk memahami cara bagaimana agama dalam berbagai manifestasinya (dalam bentuk keyakinan dan praktek) serta dalam hal organisasi sosial dan proses identifikasi berkontribusi untuk merealisasikan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan.

Penelitian ini ingin mengkaji pendekatan agama untuk melihat aktivitas manusia dalam melakukan kegiatan yang berkaitan dengan relasi gender, yaitu yang dilakukan aktivis perempuan NU dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal. Di beberapa wilayah di dunia advokasi hak-hak perempuan dilakukan oleh organisasi perempuan dan juga dalam konteks masyarakat muslim, demikian pula analisis mendalam juga harus memperhatikan dinamika budaya dan kepercayaan dari setiap konteks lokal.

Perempuan NU yang ada di Sidoarjo bergabung dengan wadah Muslimat dan Fatayat NU. Jumlah perempuan anggota Muslimat di Sidoarjo saat ini diperkirakan sekitar dua puluh ribu ribu orang dan jumlah anggota Fatayat sekitar sepuluh ribu orang yang tersebar di berbagai ranting atau desa yang ada di Kabupaten Sidoarjo

5

. Muslimat dan Fatayat Cabang Sidoarjo terdiri dari beberapa anak cabang atau kecamatan dan tingkat

4 Kirmani, Nida dan Isabel Philips, 2011. Engaging with Islam to Promote Women’s Rights: Exploring Opportunities and Challenging Assumptions, Journal Progress in Development Studies II (2)

5 Wawancara dengan Sekertaris Muslimat dan Pengurus Fatayat tanggal 23 Juli 2021 dan 6 Agustus 2021. Karena belum dilakukan validasi jumlah anggota Muslimat dan Fatayat NU Sidoarjo terbaru. Jumlah tersebut berdasar data yang ada, yaitu mereka yang mengurus kartu anggota Muslimat atau Fatayat. Jumlah tersebut bisa saja lebih mengingat belum ada validasi tertulis terbaru yang dilakukan pengurus.

(13)

ranting atau desa yang ada di kabupaten Sidoarjo. Perempuan NU Sidoarjo yang ada di akar rumput berada di tingkat desa atau ranting. Ranting merupakan bagian organisasi terbawah dalam tubuh NU.

Fokus dalam penelitian ini adalah bagaimana aktivisme perempuan NU yang tergabung dalam Fatayat dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender di Kabupaten Sidoarjo. Fatayat sebagai organisasi memandang penting isu gender bagi organisasi mereka. Fatayat melihat isu gender berdasarkan perspektif Islam dan menilai bahwa Islam memberikan perempuan posisi yang tinggi, berbeda dengan pandangan masyarakat tradisional pada umumnya yang masih bersifat patriarkal yang melihat perempuan sebagai ‘second sex’. Perempuan bagi organisasi Fatayat dipandang sama dengan laki-laki, yaitu sebagai manusia penuh, yang memiliki hak dan kewajiban tertentu.

Dalam memberi tafsiran terhadap teks-teks keagamaan mereka menyadari ada penafsiran yang keliru mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan sehingga menghasilkan keyakinan bahwa Islam memberikan legitimasi hubungan gender yang tidak sama.

Fatayat, yang didirikan tahun 1950, merupakan organisasi untuk perempuan NU yang berusia 25 hingga 45 tahun dan diperkirakan memiliki 3 juta anggota. Dalam beberapa dekade, perempuan termarjinalkan dalam sikap konservatif NU dan Fatayat merupakan wadah utama yang membantu perempuan. Meski demikian, kepemimpinan Fatayat banyak terpengaruh dengan penggabungan ide-ide tentang civil society, dan hak asasi manusia ke dalam program-program kerja NU

6

. Sebagai contoh, pada awal 1990-an, aktivis NU Mansour Fakih memulai melakukan pelatihan tentang sensitifitas gender kepada pengurus NU, termasuk Fatayat. Ketua Fatayat juga menemui ide-ide tentang kesetaraan gender selama workshop digelar oleh lembaga dari luar negeri seperti Ford Foundation dan Asia Foundation, dan juga membaca pemikiran pemikir muslim liberal. Fatayat saat ini

6 Van doorn harder, op cit

(14)

menggunakan pendekatan kontekstual dan revisionis untuk teks-teks Islam dan ketua mereka melihat hak-hak perempuan sebagai misi mereka. Kebanyakan pengurus Fatayat dan tenaga sukarela mereka merupakan lulusan universitas dan bekerja sebagai guru, dan banyak berasal dari keluarga yang berafiliasi dengan NU selama beberapa generasi.

Perhatian yang besar terhadap isu-isu gender oleh Fatayat NU Sidoarjo dapat dilihat dari visi dan misi yang ada. Visi fatayat Sidoarjo adalah mewujudkan perempuan Sidoarjo yang berkualitas dan bebas dari kekerasan, ketidakadilan, kemiskinan serta sejahtera lahir dan batin yang dijiwai dengan nilai-nilai Islam Ahlusunnah wal Jamaah.

Sedangkan salah satu misi Fatayat NU Sidoarjo adalah membangun kesadaran kritis perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Dari misi yang ada tersebut dapat dilihat bahwa Fatayat sangat memberi perhatian pada masalah kesetaraan dan keadilan gender.

Dalam misi Fatayat NU Sidoarjo sejak tahun 2004 hingga sekarang tercantum hal tersebut. Misi itu diwujudkan dalam berbagai program yang direncanakan antara lain; di bidang hukum, politik dan advokasi; bidang kesehatan dan lingkungan hidup; bidang ekonomi; serta bidang dakwah dan pengembangan anggota

7

. Banyak program-program yang dilakukan dalam rangka mewujudkan salah satu misinya yaitu kesetaraan dan keadilan gender untuk kaum perempuan. Salah satu contoh antara lain melakukan kajian kritis terhadap berbagai kebijakan hukum dan hukum yang tidak berpihak kepada kepentingan perempuan

8

.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

7 Materi Raker PC. Fatayat NU Kabupaten Sidoarjo, 2014

8 ibid

(15)

1. Bagaimana aktivisme yang dilakukan perempuan NU pada organisasi Fatayat dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal?

2. Modal-modal apa saja yang dimiliki perempuan NU sebagai kelas menengah dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana aktivisme yang dilakukan perempuan NU pada organisasi Fatayat dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal.

2. Mengetahui modal-modal apa saja yang dimiliki perempuan NU sebagai kelas menengah dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal.

D. Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai di atas, maka penelitian ini di harapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Memberi kontribusi ilmiah, yaitu sumbangan data berupa khazanah keilmuan tentang aktivisme perempuan dalam organisasi tradisional keagamaan yaitu Nahdatul Ulama.

2. Memberi kontribusi pada masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional pedesaan tentang aktivisme perempuan, sehingga masyarakat menjadi lebih memahami tentang aktivisme yang dilakukan perempuan dalam organisasi.

3. Memberikan preferensi kepada masyarakat dan pemangku kebijakan untuk memahami aktivitas yang dilakukan perempuan dalam organisasi di Sidoarjo sehingga dapat memberikan pemahaman dan kebijakan yang bermanfaat bagi perempuan.

E. PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian yang dilakukan mengenai aktivisme perempuan sesungguhnya telah

banyak dilakukan oleh akademisi baik dalam negeri maupun luar negeri, hanya focus

(16)

kajian yang dilakukan berbeda-beda satu dengan lainnya. Demikian pula focus studi ini yang mengkaji mengenai aktivisme perempuan dalam organisasi keagamaan tradisional dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender melalui cara-cara mereka sendiri. Berikut ini daftar kajian terdahulu tentang aktivisme perempuan:

Tabel 1. Studi-studi Terdahulu tentang Aktivisme Perempuan

PENELITI KAJIAN

Rachel Rinaldo (2008) Keterlibatan aktivis perempuan terutama kelas menengah dalam perdebatan ruang publik merupakan partisipasi perempuan dalam merumuskan kembali bagaimana negara- bangsa seharusnya. Organisasi-organisasi perempuan muslim menurut Rinaldo adalah wadah untuk wacana politik perempuan dan aktivisme.

Susan Blackburn (2008) Globalisasi meningkatkan keterbukaan dan kemauan kaum perempuan untuk mengadopsi berbagai pandangan termasuk pandangan yang liberal dan pluralis yaitu masalah yang berkaitan dengan gender. Blackburn berpendapat bahwa di Indonesia untuk isu-isu yang sangat penting bagi perempuan, perempuan Islam telah berjuang untuk mempengaruhi Islam politik dengan cukup sukses.

Nancy Smith-Hefner (2007) Smith-Hefner berbicara tentang bentuk kesalehan perempuan kelas menengah perkotaan dalam ruang publik. Ekspresi kesalehan muslim diuniversalkan di dunia dan sering disertai dengan referensi tradisi lokal, politik, kelas, dan status serta etika pribadi dan masyarakat. Kebangkitan Islam di Indonesia menurut Smith-Hefner telah menghasilkan perempuan muda Jawa yang kuat, neo priyayi dan hasil modernisasi gender.

Fenomena pemakaian jilbab merupakan indikasi perubahan dari tradisionalisme atau Islam anti modern. Bagi sebagian besar muslim kelas menengah, jilbab merupakan simbol keterlibatan dalam dunia modern dan sangat Islam.

Saskia Eleonora Wieringa (2005)

Wieringa melihat hubungan antara proses Islamisasi dengan

wacana aktivis perempuan di Indonesia. Menurutnya, proses

tumbuh suburnya fundamentalisme memiliki banyak

konsekuensi negatif langsung maupun tidak langsung kepada

(17)

perempuan Indonesia. Sebagian perempuan aktivis muslim moderat Indonesia mencoba melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan secara kontekstual berdasarkan semangat egalitarian. Para aktivis perempuan muslim ini termasuk juga organisasi perempuan muslim tradisional yaitu Muslimat dan Fatayat NU serta Aisyiah dari Muhammadiyah. Upaya yang dilakukan para aktivis ini adalah mendekonstruksi dan mengkontekstualisasikan pemikiran teologi, dengan mengaktualisasikan teologi Islam kepada hak-hak perempuan dan hak-hak manusia.

Rachel Rinaldo (2007) Rinaldo berpendapat bahwa praktek-praktek kesalehan beragama khususnya di kalangan umat Islam Indonesia telah memproduksi jenis habitus barus kelas menengah yang membedakan perempuan kelas tertentu dengan pendekatan agama. Rachel Rinaldo berpendapat bahwa perempuan muslim kelas menengah di Indonesia, tumbuh di perkotaan dan tumbuh dalam keluarga yang memiliki kedudukan atau status sosial yang baik dalam masyarakat sehingga dimasukkan dalam kelas menengah. Orang tua mereka umumnya adalah kaum pebisnis kecil, pelayan publik atau pada sedikit kasus bekerja untuk perusahaan swasta.

F. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini ditulis dalam enam bab yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Bab pertama merupakan pendahuluan yang merupakan gambaran umum dan pengantar pembahasan menegani penelitian tentang aktivisme yang dilakukan perempuan NU pada organisasi Fatayat dalam mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender di tingkat lokal yang terdiri atas: a) latar belakang, b) rumusan masalah, c) tujuan penelitian, d) manfaat penelitian, e) penelitian terdahulu, dan f) sistematika pembahasan.

Bab kedua penulis menguraikan tentang landasan teori terkait dengan aktivisme

dan kelas menengah perempuan NU. Bab tiga menguraikan tentang metode penelitian yang

terdiri dari: a) Pendekatan dan Jenis Penelitian, b) Pemilihan Lokasi penelitian, c)

Penentuan informan, d) Pengumpulan data, e) analisis Data, dan f) pemeriksaan keabsahan

data.

(18)

Bab Empat, menguaraikan tentang penyajian data yang terdiri dari; a) Gambaran

lokasi penelitian dan deskripsi temuan di lapangan. Bab lima, menguraikan tentang

pembahasan yang berisi tentang analisis antara temuan dan teori.

(19)

BAB II

LANDASAN TEORI A. Aktivisme Perempuan

Aktivisme menurut Brian Martin (2007)

9

adalah tindakan karena ada penyebab, tindakan yang melampaui apa yang konvensional atau rutin. Aksi yang dilakukan dengan mengumpulkan orang secara door to door, menggunakan siaran radio, mengadakan pertemuan-pertemuan public, demonstrasi ataupun dengan menahan lapar dan haus. Aksi tersebut dilakukan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, perlawanan terhadap kapitalisme maupun untuk perdamaian dunia.

Aktivisme menurut Martin (2007) telah memainkan peran utama dalam mengakhiri perbudakan, menentang kediktatoran, melindungi pekerja dari eksploitasi, melindungi lingkungan, mempromosikan kesetaraan bagi perempuan, menentang rasisme, dan banyak isu-isu penting lainnya. Aktivisme juga dapat digunakan untuk tujuan menyerang minoritas atau mempromosikan perang. Beberapa jenis aktivisme antara lain komunikasi dengan tatap muka, protes besar-besaran, hingga protes damai terhadap kekerasan. Aktivisme tidak berarti selalu hal yang baik atau buruk, semua tergantung pada penyebab dan tindakan serta penilaian seseorang tentang sesuatu.

Aktivisme secara umum adalah keterlibatan dalam tindakan untuk membawa perubahan, baik dalam bidang sosial, politik, lingkungan atau perubahan lainnya. Tindakan ini adalah dukungan atau oposisi dari pendapat kontroversial. Pada periode kontemporer, aktivisme menurut Sarifa Moola (2004) mengambil bentuk gerakan untuk demokrasi sesungguhnya, keadilan sosial, determinasi diri dan perlidungan lingkungan melawat korporasi globalisasi

10

. Ada berbagai tipe aktivisme yang berbeda antara lain aktivisme

9 Brian Martin, 2007. Activism, Social and Political dalam Gary L. Anderson dan Kathryn G. Herr (eds), Encyclopedia of Activism and Social Justice, Thousand Oaks, California: Sage, pp. 19-27

10 Sarifa Moola, 2004. Contemporary Activism: Shifting Movements, Changing Actors, Agenda, 18:60, 39-46

(20)

komunitas, aktivisme lingkungan, feminisme, aktivitisme anti kapitalis dan obyektivisme.

Metode aktivisme dari berbagai ini bermacam-macam mulai dari tindakan boikot, kampanye surat hingga surat kabar, pendudukan, demonstrasi, barisan protes dan kampanye internet.

Aktivisme dapat dilakukan karena banyak penyebab, seperti tenaga kerja, agama, atau tujuan lingkungan. Aktivisme kadang diasosiasikan dengan progresivitas, untuk mempromosikan kesetaraan dan hak-hak mereka dengan daya yang lebih kecil, aktivisme bisa juga digunakan untuk menyerang yang lemah. Aktivisme berorientasi masa depan, yaitu mengubah hubungan social, bukan hanya kebijakan. Misalnya kesetaraan dalam keluarga, partisipasi buruh dalam pengambilan keputusan.

Rachel Rinaldo (2007) mendefinisikan aktivisme perempuan sebagai kategori perempuan yang memobilisasi perempuan lain untuk tujuan reformasi politik dan sosial11

. Feminisme adalah salah satu kategori yang mungkin terdapat dalam aktivitas perempuan. Di Indonesia, banyak perempuan

yang melakukan advokasi untuk kesetaraan gender dan tidak menggunakan istilah feminis, terutama karena hubungannya dengan sekularisme dan komunisme. Banyak feminis perempuan muslim di Indonesia yang menyatakan diri mereka sebagai aktivis12

. Kebanyakan perempuan yang aktif

memperjuangkan kesetaraan gender tidak menyebut diri mereka sebagai “feminis”, karena istilah feminis dianggap berasal dari Barat dan dinilai kurang cocok dengan nilai-nilai dan budaya Indonesia atau Asia. Sebagaimana stereotipe yang melekat dengan feminisme selama ini seperti radikalisme, separatisme dan lebianisme13

. Mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai aktivis gender atau aktivis gerakan gender. Sonja van Wichelen (2010)

mengkategorikan feminis Indonesia dan kelompok aktivis perempuan dalam peranan pentingnya dalam keadilan dan kesetaraan gender menjadi empat

macam, yaitu: feminisme sekular, feminisme muslim, aktivis perempuan Islam dan aktivis perempuan Islamis14

.

Gerakan organisasi perempuan muslim membantu mengupayakan feminisasi dan demokrasi ruang publik Indonesia dengan melibatkan perempuan dalam debat politik dan memperluas kemungkinan menjadi aktor yang memiliki legitimasi

15

.

11 Rinaldo, op cit

12 Van Doorn Harder, Pieternella, 2006. Woman Shaping Islam: Reading the Qur’an in Indonesia, Urbana and Chicago: University of Illinois Press

13 Van Wichelen, Sonja, 2010. Religion, Politics and Gender in Indonesia: Disputing the Muslim Body, USA:

Routledge, hal. 18-19

14 ibid

15 Rinaldo, Rachel, 2008. “Envisioning The Nation: Woman Activist Religion and The Public Sphere in Indonesia”. Journal Social Forces, vol. 86.

(21)

B. Kelas Menengah

Konsep kelas menurut Bourdieu

16

dipahami dalam konteks lingkup sosial (kelompok-kelompok, kepemilikan modal dan hubungan-hubungan mereka) dan medan perjuangan (tempat persaingan bagi kelompok-kelompok dengan mendayagunakan modal yang dimilikinya. Konsep kelas menurut Bourdieu tidak semata-mata ditentukan oleh penguasaan atas modal atau kapital ekonomi namun ditentukan oleh habitus, ranah dan selera. Habitus dan ranah dalam konsep Bourdieu tidak dapat dilepaskan dari konsep modal atau kapital. Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis dan tidak selalu harus disadari. Konsep kapital menurut Bourdieu dibagi dalam empat jenis, yaitu ekonomi, sosial, kultural dan simbolik. Modal atau kapital dalam pandangan Bourdieu tidak hanya dalam bentuk materi saja (ekonomi) namun dapat juga berwujud immaterial seperti jaringan sosial, kultural dan simbolik. Seseorang meskipun tidak memiliki modal material (ekonomi) akan tetapi jika memiliki jaringan sosial yang kuat, posisi yang bagus di masyarakat, pendidikan yang bagus, pengakuan sosial yang bagus dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai kelas tertentu dan dapat dikonversikan oleh agen atau aktor.

Modal sosial dapat diartikan sebagai kumpulan sejumlah sumber daya baik aktual maupun potensial yang terhubung dengan kepemilikan jaringan atau relasi, yang telah terinstitusionalisasi dalam pemahaman dan pengakuan bersama. Modal kultural adalah nilai-nilai yang bisa dipertukarkan yang merupakan akumulasi bentuk kultur yang berkembang dalam dunia sosial, misalnya kode-kode budaya, pengetahuan yang dimiliki, ijazah, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun dan sebagainya. Sedangkan modal simbolik menurut Bourdieu memiliki makna luas yaitu bentuk status atau pengakuan yang berwujud dalam bentuk obyektif atau institusi seperti gelar kiai, kesarjanaan, mobil

16Pierre Bourdieu dan Lois J. Wacquant. An Invitation to Reflexive Sociology, University of Chicago Press, 1992, hal.101

(22)

mewah, kantor megah dan sebagainya.

17

Kelas menurut Bourdieu dalam arti realitasnya bukanlah kelas secara nyata, namun merupakan konstruksi imaginer dimana agen menunjukkan perjuangan untuk mendapatkan kedudukan atau posisi yang lebih baik. Kelas dalam konstruksi Bourdieu adalah sejumlah agen yang memiliki posisi sama, berada dalam kondisi dan orang-orang dalam kondisi memiliki perilaku dan selera yang sama.

Bourdieu berpendapat bahwa ada yang lebih mendalam dari sekedar masalah hubungan kelas karena konsep kapital atau modal budaya mengandung dimensi budaya dan simbolik, moral, psikologis dan kebutuhan. Bourdieu melakukan analisis kelas dengan mempertimbangkan situasi keseharian dan keterlibatan individu.

Richard Robison

18

mengemukakan analisanya bahwa di negara-negara Asia, kelas menengah menjadi bagian penting negara. Kelas menengah di negara-negara Asia utamanya Indonesia merupakan pemimpin gerakan fundamental religius. Daniel S. Lev menyatakan bahwa kelas menengahnya memiliki modal non materi seperti modal sosial, modal budaya, modal simbolik, asset organisasi, dan sebagainya. Lev berpendapat bahwa basis kekuasaan kelas menengah Indonesia tidak berada di area korporasi kapitalis Negara karena mereka tidak memiliki otoritas yang bisa mengendalikan kepemilikan dan alat produksi.

Membicarakan kelas menengah juga berarti membicarakan harapan akan peranan kelas menengah, yaitu harapan sebagai agen perubahan sosial, sebagai agen pembawa modernisasi dan demokratisasi. Kelas menengah merupakan salah satu penyokong perubahan dalam suatu Negara. Kelas menengah dianggap penting dan dijadikan fokus istimewa modernisasi sosial dalam skala global karena akan memainkan peran yang lebih

17Haryatmoko, “Landasan Teoritis Gerakan Sosial menurut Bourdieu: Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa,”

dalam majalah BASIS no. 11-12 tahun ke-52, 2003, hal. 12

18 Richard Robison, 1995. The Emergence of The Middle Class in Southeast Asia, Working Paper No. 157. Asia Research Center on Social, Political and Economic Change, Murdoch University

(23)

intensif dan penting di masa yang akan datang baik sebagai pembuat kebijakan maupun sebagai konsumen dalam pembangunan.

19

Menurut Daniel S. Lev, kelas menengah dibandingkan kelompok lainnya cenderung konsisten mempromosikan perubahan. Secara historis, kelas menengah telah menjadi sumber utama desakan terhadap perubahan ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Menurut Robison

20

, dalam golongan kelas menengah ini mencakup kaum cendekiawan (akademisi), intelektual, teknokrat, tokoh-tokoh politik, reformis, pengusaha muda, pengacara, aktivis kebudayaan, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), publik figur, juru dakwah, artis, pengamat ekonomi, dan sejenisnya. Berkembangnya fenomena kelas menengah saat ini dianggap sebagai pertanda meningkatnya kesejahteraan serta arah positif proses demokratisasi di Indonesia.

Bagi sebagian pengamat perempuan Nahdlatul Ulama’, para perempuan Nahdlatul Ulama’ yang terlibat aktif dan progresif dalam organisasi perempuan Nahdlatul Ulama’

digolongkan ke dalam kelas menengah perempuan Nahdlatul Ulama’. Mereka menggolongkan sebagai kelas menengah berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan serta status sosial dalam masyarakat

21

.

Kelas menengah Nahdlatul Ulama’ berdasarkan sejarahnya telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

22

keberadaan kelas menengah Nahdlatul Ulama’ dapat dilacak dan ditemukan dalam berbagai lapisan masyarakat, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pada struktur masyarakat pedesaan,

19 Helmuth Lange dan Lars Meier (eds), 2009. The New Middle Classes: Globalizing Lifestyles, Consumerism and Environtmental Concern, Germany: Springer

20Richard Robison, “The Middle Class and The Bourgeoisie in Indonesia”. Richard Robison and David S.G.

Goodman, eds., The New Rich in Asia, Mobile Phones, McDonald’s and Middle Class Revolution. London and New York: Routledge, 1993, hal. 60

21 Rachel Rinaldo, 2008. Muslim Woman, Middle Class Habitus and Morality in Indonesia, Journal Contemporary Islam, Vol.2,

22 Abdurrahman Wahid, 1996. “Kelas Menengah Islam di Indonesia”, dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES, hal. 19-22.

(24)

warga Nahdlatul Ulama’ pada umumnya secara ekonomi merupakan masyarakat kaya baik sebagai petani maupun pedagang. Di daerah perkotaan, kelas menengah Nahdlatul Ulama’

banyak dijumpai dan umumnya memiliki profesi sebagai pengusaha dan pengrajin. Jika dibandingkan dengan konsep kelas menengah barat, kelas menengah Nahdlatul Ulama’ ini menurut Gus Dur terletak pada pada sikap independensi dan respon kritisnya terhadap penguasa.

C. Kelas Menengah Perempuan NU

Kelas menengah menurut Daniel S. Lev (1996), tulang punggung kelas menengah NU adalah para pelaku civil society, pendukung pluralisme dan toleransi, artikulator kepentingan publik, kalangan elit tradisional (kiai/Ulama’), intelektual, aktivis dan para santri yang berhaluan moderat progresif

23

. Sebagaimana pula konsep Bourdieu mengenai kelas menengah yaitu mereka yang telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu memiliki modal kultural dan modal simbolik yang antara lain dapat dilihat melalui factor pendidikan, ekonomi, kekuasaan, jaringan (link). Modal kultural dan simbolik menurut Pierre Bourdieu merupakan sarana untuk mendapatkan dua modal lainnya yaitu modal social dan modal capital. Adanya modal social dan modal capital memungkinkan sesorang untuk dapat mengakses informasi, koneksi, peluang kekuasaan hingga peluang ekonomi.

Sebagaimana pula pendapat Robert W. Hefner yang menyatakan bahwa dalam masyarakat muslim melalui proses dialektika sosial, pendidikan, politik, dan budaya antara sekelompok kalangan tertentu dengan mayoritas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan entitas lapisan sosial kelas menengah.

24

Adanya mobilitas vertical dari para perempuan kelas menengah NU tersebut memungkinkan mereka hidup dalam berbagai macam kondisi. Pagi dan siang hari mereka dapat hidup diantara para murid atau

23 Daniel S. Lev, 1996, op cit

24 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001. Hal. 49.

(25)

santri, malam hari mereka dapat bertemu politisi, birokrat. Di lain waktu mereka bisa mengisi pengajian, ceramah atau memberi penyuluhan kepada masyarakat. Selain itu juga menurut Rachel Rinaldo penggolongan perempuan tersebut sebagai kelas menengah dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan serta status sosial dalam masyarakat

25

.

Para perempuan Nahdlatul Ulama’ tersebut bagi sebagian ahli dalam golongan kelas menengah sebagaimana pandangan Hefner yang menyatakan bahwa dalam masyarakat muslim melalui proses dialektika sosial, pendidikan, politik, dan budaya antara sekelompok kalangan tertentu dengan mayoritas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan entitas lapisan sosial kelas menengah.

26

Dalam struktur sosial Nahdlatul Ulama’, adanya kelompok kelas menengah ini telah berkembang sedemikian rupa. Adanya mobilitas pendidikan, politik dan ekonomi telah membawa melahirkan kelas menengah Nahdlatul Ulama’ sebagaimana juga dalam berbagai elemen masyarakat lainnya. Keberadaan kelas menengah Nahdlatul Ulama’ telah menyebar hingga ke berbagai struktur sosial masyarakat saat ini.

Studi ini direncanakan memasukkan kajian mengenai kelas dalam kerangka teori karena bagi sebagian pengamat perempuan Nahdlatul Ulama’, para perempuan Nahdlatul Ulama’ yang terlibat aktif dan progresif dalam organisasi perempuan Nahdlatul Ulama’

digolongkan ke dalam kelas menengah perempuan Nahdlatul Ulama’. Mereka menggolongkan sebagai kelas menengah berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan serta status sosial dalam masyarakat

27

.

25 Rachel Rinaldo, 2008. Muslim Woman, Middle Class Habitus and Morality in Indonesia, Journal Contemporary Islam, Vol.2,

26 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001. Hal. 49.

27 Rachel Rinaldo, 2008. Muslim Woman, Middle Class Habitus and Morality in Indonesia, Journal Contemporary Islam, Vol.2,

(26)

Pertumbuhan kelas menengah santri dari kalangan NU terutama kaum perempuan berkembang pesat di Indonesia. Reformasi yang terjadi tidak hanya membawa dampak keterbukaan politik, namun juga munculnya kelompok ekonomi baru di kalangan kaum santri. Semakin banyak kaum muslim (santri) yang memiliki aset ekonomi secara berkecukupan. Makin luasnya akses politik kaum santri juga memperbesar kesempatan kaum santri mendapat akses di bidang ekonomi. Demikian pula orang-orang NU, mereka kini tidak hanya dapat diidentifikasi sebagai kelompok masyarakat yang tradisional, kolot, terbelakang dan umumnya tinggal di pedesaan. Semakin banyak anak keluarga santri NU yang telah mengalami mobilitas vertikal, baik karena pendidikan maupun karena ekonomi.

Akses politik yang semakin terbuka menyebabkan akses ekonomi juga meningkat yang juga menyebabkan kenaikan lapis kelas menengah golongan ini.

Bertambahnya kelas menengah NU dianggap penting dalam memperjuangkan demokrasi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena kelas menengah dianggap memiliki keunggulan dibanding kelas-kelas lainnya dalam hal kepemilikan modal, penciptaan tindakan dan aksi yang inovatif dalam proses demokratisasi serta merupakan sumber utama pencetus perubahan sosial, ekonomi dan politik. Sebagian warga NU yang progresif dan transformatif memainkan peran penting dalam gerakan demokratik keagamaan. Energi masyarakat yang seluruhnya tercurah untuk politik praktis secara perlahan dialihkan menuju aksi atau politik kebudayaan yang hasilnya bersentuhan langsung dengan kebutuhan masyarakat yang bertujuan membangun tatanan kehidupan yang lebih beradab dan demokratis. Dalam hal ini kelas menengah NU bertindak sebagai aktor atau agen bagi kepentingan masyarakat yang bertugas memfasilitasi, mengartikulasikan dan juga menegosiasikan kepentingan masyarakat.

Perempuan kelas menengah NU dalam organisasi Fatayat dikategorikan sebagai

kelas menengah menurut Daniel S. Lev (1996), tulang punggung kelas menengah NU

(27)

adalah para pelaku civil society, pendukung pluralisme dan toleransi, artikulator kepentingan publik, kalangan elit tradisional (kiai/Ulama’), intelektual, aktivis dan para santri yang berhaluan moderat progresif

28

. Sebagaimana pula konsep Bourdieu mengenai kelas menengah yaitu mereka yang telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu memiliki modal kultural dan modal simbolik yang antara lain dapat dilihat melalui factor pendidikan, ekonomi, kekuasaan, jaringan (link). Modal kultural dan simbolik menurut Pierre Bourdieu merupakan sarana untuk mendapatkan dua modal lainnya yaitu modal social dan modal capital. Adanya modal social dan modal capital memungkinkan sesorang untuk dapat mengakses informasi, koneksi, peluang kekuasaan hingga peluang ekonomi. Sebagaimana pula pendapat Robert W. Hefner yang menyatakan bahwa dalam masyarakat muslim melalui proses dialektika sosial, pendidikan, politik, dan budaya antara sekelompok kalangan tertentu dengan mayoritas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan entitas lapisan sosial kelas menengah.

29

Adanya mobilitas vertical dari para perempuan kelas menengah NU tersebut memungkinkan mereka hidup dalam berbagai macam kondisi. Pagi dan siang hari mereka dapat hidup diantara para murid atau santri, malam hari mereka dapat bertemu politisi, birokrat. Di lain waktu mereka bisa mengisi pengajian, ceramah atau memberi penyuluhan kepada masyarakat. Selain itu juga menurut Rachel Rinaldo penggolongan perempuan tersebut sebagai kelas menengah dapat dilihat berdasarkan tingkat pendidikan, jenis pekerjaan serta status sosial dalam masyarakat

30

.

Berdasarkan sejumlah kriteria tersebut, maka perempuan kelas menengah NU dalam organisasi Fatayat memiliki beberapa karakteristik, yaitu: pertama, dari sisi pendidikan, mereka umumnya memiliki pendidikan minimal strata satu, beberapa orang

28 Daniel S. Lev, 1996, op cit

29 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001. Hal. 49.

30 Rachel Rinaldo, 2008. Muslim Woman, Middle Class Habitus and Morality in Indonesia, Journal Contemporary Islam, Vol.2,

(28)

telah menempuh pendidikan strata dua. Dari sisi pekerjaan mereka umumnya bekerja sebagai guru, ada pula yang bekerja sebagai dokter atau insinyur. Mereka mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat tingkat bawah juga memiliki cara hidup sebagaimana di kota-kota besar, dengan ponsel terbaru dan model pakaian masa kini.

Para perempuan Nahdlatul Ulama’ tersebut bagi sebagian ahli dalam golongan kelas menengah sebagaimana pandangan Hefner yang menyatakan bahwa dalam masyarakat muslim melalui proses dialektika sosial, pendidikan, politik, dan budaya antara sekelompok kalangan tertentu dengan mayoritas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari akan menghasilkan entitas lapisan sosial kelas menengah.

31

Kelas menengah Nahdlatul Ulama’ berdasarkan sejarahnya telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia. Menurut Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

32

keberadaan kelas menengah Nahdlatul Ulama’ dapat dilacak dan ditemukan dalam berbagai lapisan masyarakat, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Pada struktur masyarakat pedesaan, warga Nahdlatul Ulama’ pada umumnya secara ekonomi merupakan masyarakat kaya baik sebagai petani maupun pedagang. Di daerah perkotaan, kelas menengah Nahdlatul Ulama’

banyak dijumpai dan umumnya memiliki profesi sebagai pengusaha dan pengrajin. Jika dibandingkan dengan konsep kelas menengah barat, kelas menengah Nahdlatul Ulama’ ini menurut Gus Dur terletak pada pada sikap independensi dan respon kritisnya terhadap penguasa. Gus Dur berpendapat bahwa kelas menengah Nahdlatul Ulama’ memiliki perbedaan dengan kelas menengah keturunan Cina yang dilahirkan oleh penguasa.

Di Indonesia, menurut para ahli diantaranya Daniel S. Lev menyatakan bahwa kelas menengahnya memiliki modal non materi seperti modal sosial, modal budaya, modal simbolik, asset organisasi, dan sebagainya. Lev berpendapat bahwa basis kekuasaan kelas

31 Robert W. Hefner, Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001. Hal. 49.

32 Abdurrahman Wahid, 1996. “Kelas Menengah Islam di Indonesia”, dalam Richard Tanter dan Kenneth Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES, hal. 19-22.

(29)

menengah Indonesia tidak berada di area korporasi kapitalis Negara karena mereka tidak memiliki otoritas yang bisa mengendalikan kepemilikan dan alat produksi. Mereka memiliki basis sosial seperti asset organisasi sebagaimana para perempuan Nahdlatul Ulama’ tersebut. Para perempuan Nahdlatul Ulama’ tersebut memiliki modal sosial, modal budaya, modal simbolik seperti posisi mereka dalam organisasi, pengakuan dari masyarakat, kewibawaan, charisma dan sebagainya.

Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia memiliki andil besar dalam mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat termasuk di Jawa Timur. Dengan jumlah besar anggotanya yang tersebar di berbagai daerah di Indoensia, Nahdlatul Ulama’ juga memiliki jumlah anggota perempuan yang banyak. Sebagian dari para perempuan Nahdlatul Ulama’ ini dengan modal yang dimilikinya serta mobilitasnya selama ini dikategorikan sebagai perempuan kelas menengah Nahdlatul Ulama’.

Sebagai organisasi masyarakat dan sebagai institusi organisasi, Nahdlatul Ulama’

memiliki struktur kepengurusan dari tingkat atas hingga tingkat bawah termasuk organisasi perempuannya, Fatayat. Nahdlatul Ulama’ memiliki struktur kepengurusan berjenjang yang efektif mulai tingkat nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan hingga ke desa-desa.

Di tingkat nasional Nahdlatul Ulama’ memiliki kepengurusan yang disebut Pengurus Besar

Nahdlatul Ulama’ (PBNU), tingkat provinsi yang disebut Pengurus Wilayah Nahdlatul

Ulama’ (PWNU), tingkat kabupaten disebut Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama’ (PCNU),

di tingkat kecamatan disebut Majelis Wakil Anak cabang Nahdlatul Ulama’ (MWCNU)

dan tingkat desa yang disebut Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama’ (PRNU). Sedangkan

para anggota perempuan Nahdlatul Ulama’ memiliki wadah organisasi yang dinamakan

Muslimat Nahdlatul Ulama’ dan Fatayat Nahdlatul Ulama’.

(30)

Peran penting kelompok kelas menengah menurut Richard Tanter dan Kenneth Young

33

salah satunya adalah sebagai simbol perubahan sosial dalam struktur masyarakat Barat feudal dan kapitalis berubah menjadi sistem kehidupan yang demokratis. Peran kelas menengah di Indonesia berdasarkan sejarahnya banyak menimbulkan perdebatan, dan dalam tubuh Nahdlatul Ulama’ sendiri kemunculan kelas menengah Nahdlatul Ulama’

telah memberi nuansa dan warna bagi Nahdlatul Ulama’.

Kelas menengah sendiri dianggap memiliki peranan dalam menentukan keberlanjutan berbagai organisasi massa di Indonesia, salah satunya adalah Nahdlatul Ulama’. Sejak awal pendiriannya, Nahdlatul Ulama’ didirikan oleh kelas menengahnya (sebagian besar terdiri dari kiai). Kelas menengah Nahdlatul Ulama’sudah muncul sejak awal pembentukannya dan terus mengiringinya hingga berdirinya Nahdlatul Ulama’ dan menjalankan roda organisasinya.

Dalam struktur sosial Nahdlatul Ulama’, adanya kelompok kelas menengah ini telah berkembang sedemikian rupa. Adanya mobilitas pendidikan, politik dan ekonomi telah membawa melahirkan kelas menengah Nahdlatul Ulama’ sebagaimana juga dalam berbagai elemen masyarakat lainnya. Keberadaan kelas menengah Nahdlatul Ulama’ telah menyebar hingga ke berbagai struktur sosial masyarakat saat ini.

Di samping sebagai organisasi keagamaan dan organisasi masyarakat yang berkiprah dalam bidang keagamaan, Nahdlatul Ulama’ juga mendorong anggota perempuannya untuk berorganisasi dan berkiprah dalam masyarakat melalui wadah Muslimat Nahdlatul Ulama’ yang lahir pada tahun 1946 dan juga Fatayat Nahdlatul Ulama’

yang lahir tahun 1950. Kedua organisasi ini memiliki kepengurusan yang menyebar hampir di seluruh Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan dengan struktur kepengurusan

33Richard Tanter dan Kenneth Young, 1996.Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES

(31)

yang berjenjang mulai dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten, kecamatan hingga tingkat desa sebagaimana organisasi induknya yaitu Nahdlatul Ulama’.

Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama’ memiliki potensi sumber daya yang tidak terbatas pada dunia pesantren saja. Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga banyak diisi dan diinisiasi oleh berbagai kalangan yang tergabung dalam keanggotaan Nahdlatul Ulama’ seperti kalangan muda, perempuan, intelektual, dan sebagainya. Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan wadah bagi budaya berpikir kritis berbagai kalangan Nahdlatul Ulama’. Melalui Lembaga Swadaya Masyarakat tidak sedikit anak muda Nahdlatul Ulama’ yang berhasil berkiprah dan berperan dalam masyarakat.

Hampir di setiap kabupaten di Jawa Timur terdapat Lembaga Swadaya Masyarakat yang banyak diikuti oleh kalangan Nahdlatul Ulama’, khususnya anak muda dan perempuan Nahdlatul Ulama’.

Keberadaan sayap organisasi Nahdlatul Ulama’ yang mewadahi anggota perempuannya tersebut diharapkan dapat mewakili Nahdlatul Ulama’ dan bahkan Negara dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan. Organisasi Muslimat dan Fatayat Nahdlatul Ulama’ tidak hanya terbatas membahas dan menjawab berbagai persoalan-persoalan yang dihadapi kaum perempuan, tetapi juga berupaya mengantisipasi persoalan anggotanya dan memberdayakan para anggotanya.

Masing-masing struktur organisasi di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama’

tersebut memiliki peran yang besar dan signifikan dalam masyarakat dan membawa warna tersendiri dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam struktur organisasi tersebut masing-masing anggota memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya melalui wadah, jaringan dan media yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama’.

Kelas menengah di Indonesia muncul dalam dua dekade setelah kemerdekaan dan

kebanyakan dari mereka bukan termasuk kategori kapitalis. Sebagian besar anggota

(32)

kelompok ini mendapatkan status mereka melalui pendidikan dan pelatihan formal. Di samping itu mereka juga memperoleh akses pekerjaan dan hubungan dengan pemerintah, militer dan politik

34

.

Fatayat, yang didirikan tahun 1950, merupakan organisasi untuk perempuan NU yang berusia 25 hingga 45 tahun dan diperkirakan memiliki 3 juta anggota. Dalam beberapa dekade, perempuan termarjinalkan dalam sikap konservatif NU dan Fatayat merupakan wadah utama yang membantu perempuan. Meski demikian, kepemimpinan Fatayat banyak terpengaruh dengan penggabungan ide-ide tentang civil society, dan hak asasi manusia ke dalam program-program kerja NU

35

. Sebagai contoh, pada awal 1990-an, aktivis NU Mansour Fakih memulai melakukan pelatihan tentang sensitifitas gender kepada pengurus NU, termasuk Fatayat. Ketua Fatayat juga menemui ide-ide tentang kesetaraan gender selama workshop digelar oleh lembaga dari luar negeri seperti Ford Foundation dan Asia Foundation, dan juga membaca pemikiran pemikir muslim liberal. Fatayat saat ini menggunakan pendekatan kontekstual dan revisionis untuk teks-teks Islam dan ketua mereka melihat hak-hak perempuan sebagai misi mereka. Kebanyakan pengurus Fatayat dan tenaga sukarela mereka merupakan lulusan universitas dan bekerja sebagai guru, dan banyak berasal dari keluarga yang berafiliasi dengan NU selama beberapa generasi.

Dalam hal ini, perempuan di Fatayat memanfaatkan wacana liberal akan kemerdekaan, civil society dan hak asasi untuk melawan aturan negara yang lebih kuat tentang hak berekspresi dan bukannya jalan untuk mencapai kesetaraan gender. Dan mereka juga mengambil dari kitab warisan mereka untuk menjawab jika ada interpretasi tertentu yang harus mendapat petunjuk kebijakan atau pembangunan nasional.

34Budiman, op cit, hal. 487

35 Van doorn harder, op cit

(33)

Kenyataan di tingkat nasional dan lokal membuka pandangan bahwa tidak hanya bagaimana proses global mempengaruhi perdebatan dalam ruang publik tetapi juga bagaimana gender diimplementasikan dalam banyak cara perjuangan. Aktivis perempuan berjuang menyusun visi moral dari bentuk negara seperti apa Indonesia seharusnya, dan visi ini berkaitan dengan ide-ide tentang hak-hak perempuan dan interpretasi akan teks- teks Islami. Dalam beberapa dekade terakhir, wacana tentang kesetaraan gender dilakukan oleh beberapa aktivis perempuan muslim, termasuk perempuan dalam organisasi Fatayat NU. Tidak hanya feminisme menemukan lahan subur dalam sejarah nasional Indonesia tentang mobilisasi perempuan, tetapi aktivisme demokrasi pada tahun 1990-an memperkenalkan kembali banyak perempuan Indonesia kepada ide-ide tentang kesetaraan dan hak asasi.

Para aktivis perempuan Nahdlatul Ulama’ melakukan peran aktif mereka di

masyarakat. Isu-isu global seperti hak asasi manusia, pemberantasan perdagangan manusia

(human trafficking), pluralisme, pemberantasan buta huruf, kelestarian lingkungan hidup,

kesehatan reproduksi, kesetaraan dan keadilan gender dan pemberdayaan perempuan telah

menjadi bagian dari aktivitas yang mereka jalankan selama ini. Hal ini sejalan dengan

semangat didirikannya organisasi Nahdlatul Ulama’ yaitu ingin menjadikan Islam sebagai

agama rahmatan lil ‘alamin, agama yang memberi rahmat bagi alam semesta.

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (filed reseach) dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini direncanakan menggunakan metode kualitatif dengan perspektif feminis. Pendekatan kualitatif digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan bagaimana manusia membuat dan mendefinisikan keadaan sosial dalam lingkungannya dan menjelaskan perubahan kondisi yang terjadi.

Sebagai penelitian yang mengkaji kehidupan kaum perempuan, maka studi ini menggunakan perspektif feminis. Menurut Virginia Olesen, penelitian feminis kualitatif sebagian besar menyajikan problematika kehidupan kaum perempuan

36

. Penelitian feminis memusatkan dan mempersoalkan berbagai situasi kaum perempuan yang berbeda serta berbagai lembaga dan bingkai yang mempengaruhi situasi tersebut, kemudian merujukkan pengujian terhadap problematika tersebut pada kerangka teoritis, kebijakan atau tindakan demi kepentingan merealisasikan keadilan sosial bagi kaum perempuan.

Penelitian feminis timbul dari suatu kesadaran terhadap ketidakadilan terhadap perempuan dan subordinasi yang dialami kaum perempuan beserta keinginan untuk merubah keadaan itu

37

. Penelitian feminis menggunakan penelitian untuk perempuan demi terjadinya perubahan sosial yang positif bagi perempuan. Ia mencoba memahami perempuan dan kerja perempuan dari perspektif pengalaman kerjanya untuk mengembangkan pengetahuan feminis.

B. Penentuan Lokasi Penelitian

36 Virginia Olesen, 2009. “Feminisme dan Model Penelitian Kualitatif” dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S.

Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 198-199

37 Brigitte Holzner, 2016. “Penelitian Berorientasi Gender” dalam dalam Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Jakarta: Kalyanamitra, hal. 561

(35)

Studi ini akan difokuskan di wilayah Sidoarjo, Jawa Timur. Alasan peneliti mengambil lokasi penelitian di Sidoarjo berdasarkan konteks sosio historis perempuan NU yaitu berdasarkan sejarahnya telah lama memiliki catatan penting bagi gerakan perempuan NU di Indonesia umumnya dan Jawa Timur khususnya. Tercatat salah seorang perempuan Sidoarjo, Aminah merupakan pendiri Puteri NUM

38

sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi perempuan Fatayat NU

39

. Bersama dengan Murthasiyah (Surabaya) dan Khuzaimah Mansur (Gresik), Aminah (Sidoarjo) mempelopori berdirinya Puteri Nahdlatul Ulama Muslimat (Puteri NUM) sebagai bagian dari Muslimat NU.

Lokasi penelitian studi ini dipilih di tingkat lokal, yaitu Sidoarjo, Jawa Timur dengan pertimbangan dipilihnya daerah Sidoarjo karena di wilayah ini organisasi Muslimat dan Fatayat Nahdlatul Ulama’ dinilai telah banyak berkiprah di masyarakat dan dinilai telah mampu berbuat banyak untuk masyarakat, baik di bidang pendidikan, kesehatan maupun di bidang sosial. Salah seorang pendiri Fatayat, yaitu Aminah Mansur, juga berasal dari Sidoarjo. Selain itu Fatayat di Sidoarjo merupakan cabang Fatayat di tingkat nasional yang berpengaruh dan sering dijadikan percontohan oleh Pengurus Pusat Fatayat.

C. Penentuan Informan

Studi ini direncanakan memilih aktivis perempuan NU yang memiliki kriteria sebagai aktivis yang kerap berkegiatan dalam organisasi Fatayat, intelektual, pemuka agama, mereka yang aktif mengasuh pondok pesantren maupun mereka yang aktif

38 Puteri NUM singkatan dari Puteri Nahdlatul Ulama Muslimat merupakan cikal bakal berdirinya organisasi perempuan NU yang akhirnya bernama Fatayat. Puteri NUM merupakan wujud keinginan perempuan NU muda yang ingin memiliki wadah organisasi sendiri yang terpisah dari induk organisasi perempuan yang telah ada yaitu Muslimat NU. Kalangan perempuan muda NU dengan dipelopori oleh tiga serangkai, yaitu Murthasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo) dan dihadiri oleh puteri-puteri NU dari berbagai cabang yang mengadakan pertemuan sendiri yang menyepakati dibentuknya Puteri Nahdlatul Ulama Muslimat (Puteri NUM) sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi Fatayat pada Kongres NU ke 15 tahun 1940 di Surabaya. Lihat Neng Dara Affiah, 2005. Menapak Jejak Fatayat NU: Sejarah Gerakan, Pengalaman dan Pemikiran, Jakarta: PP Fatayat NU

39 Neng Dara Affiah, 2005. Menapak Jejak Fatayat NU: Sejarah Gerakan, Pengalaman dan Pemikiran, Jakarta: PP Fatayat NU

(36)

melakukan ceramah kepada masyarakat meskipun tidak memiliki pesantren. Subyek penelitian akan dipilih berdasarkan kriteria mereka yang memiliki basis sosial ekonomi relatif mapan (sebagai guru, dosen, pengasuh pesantren, wirausahawati); memiliki visi keagamaan yang moderat, pluralis, toleran dan reformis; aktif dalam Fatayat NU secara langsung ataupun tidak ikut mempengaruhi kebijakan publik.

Subyek dalam penelitian ini adalah aktivis perempuan yang berasal dari organisasi keagamaan yang moderat dengan basis massa terbesar dengan banyak aktivisnya yang progresif dan transformatif serta memperjuangkan pluralisme serta kesetaraan dan keadilan gender yaitu Fatayat NU sebagai organisasi perempuan yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama’ (NU). Bahan dalam penelitian ini akan dihimpun dari pengetahuan aktor dalam memaknai tindakan sosialnya. Peneliti akan menggali ide, gagasan dan keinginan informan untuk mengetahui bagaimana informan mengonstruk dan menata tindakan sosialnya, bagaimana dimensi struktural seperti lingkup sosial, ekonomi dan politik informan menentukan tindakan sosialnya. Peneliti akan mencoba melihat cara informan menginterpretasi dan melihat dirinya serta self reflection.

Informan yang direncanakan dalam penelitian ini adalah aktivis perempuan

Nahdlatul Ulama’ muda yang kritis, berpendidikan baik, dan memiliki konsistensi dalam

memperjuangkan masyarakat dan perempuan dalam kiprahnya di masyarakat. Informan

dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu sebagaimana yang

ditentukan oleh peneliti yaitu perempuan yang memiliki konsistensi aktivitas dan peran di

masyarakat dengan usia antara 30 tahun hingga 56 tahun, terdidik, memiliki sikap kritis

dan progresif, memiliki posisi strategis dalam organisasi Fatayat dan juga berperan aktif

dalam lembaga lain di masyarakat. Informan dipilih berdasarkan kriteria tertentu

sebagaimana yang ditentukan oleh peneliti. Untuk memperoleh data yang berimbang, maka

peneliti juga menggali informasi ke induk organisasi Fatayat yaitu Nahdlatul Ulama yang

(37)

memayungi Fatayat, dalam hal ini peneliti menggali informasi kepada Ketua PCNU Sidoarjo.

Tabel 2. Daftar Informan

NO NAMA JABATAN

1. Elok Sifak Munadiroh, S.Ag Ketua PC Fatayat Sidoarjo

2. Saudah, M.Pd.I Wakil Ketua 1 PC Fatayat Sidoarjo

3. Anisa Dwi Susanti, M.Pd.I Koordinator Bidang Hukum, Politik dan Advokasi PC Fatayat Sidoarjo

4. Ainun Jariyah, M.Pd.I Ketua PC Muslimat Sidoarjo

5. Subhiyah Adimara, M.Pd.I Sekertaris PC Muslimat Sidoarjo, Pembina PC Fatayat Sidoarjo

6. H. Maschun, M.H.I Ketua PC. NU Sidoarjo

7. As’alut Thyoibah, S.Ag Pengurus PC Muslimat Sidoarjo 8. Heny Rachmawati Staf PC Fatayat Sidoarjo

D. Pengumpulan Data

Menurut Spradley, dalam penelitian kualitatif ada beberapa hal penting yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan data, yang disebutnya sebagai “social situation” yaitu terdiri dari tiga unsur penting meliputi tempat (place), pelaku (actor) dan ketiga aktivitas (activity) yang saling bersinergi satu dengan lainnya menjadi satu kesatuan

40

. Pada penelitian kualitatif data dapat diperoleh melalui teknik observasi, wawancara dengan informan dan dokumentasi berkaitan dengan data yang akan digali. Teknik-teknik tersebut dapat dilakukan dengan kombinasi dan variasi yang berbeda tergantung data yang ingin digali dan

40Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuatitatif dan R&D (Metode Penelitian dan Pengembangan), Bandung : Alfabeta, 2012), Hal : 215

(38)

permasalahan dalam penelitian. Data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengamatan, wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi.

a. Pengamatan (Observasi)

Pengamatan dilakukan dengan berkunjung ke sejumlah lokasi dan kegiatan yang menjadi aktivitas informan. Untuk mendapatkan wawancara dan informasi peneliti mendatangi sejumlah tempat yang menjadi aktifitas informan seperti kediaman informan, tempat kerja informan dan kantor organisasi dimana mereka melakukan kegiatan secara aktif, yaitu kantor PC Fatayat Sidoarjo dan PC Muslimat Sidoarjo .

b. Wawancara mendalam (Indepth Interview)

Wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan

41

. Dalam wawancara mendalam, peneliti menyusun beberapa pertanyaan pokok sebagai pedoman untuk membuka pertanyaan.

Selanjutnya pertanyaan berikutnya didasarkan pada jawaban atas pertanyaan pokok tersebut.

Data yang diperoleh melalui wawancara mendalam indepth interview dilakukan untuk mengetahui pemikiran, persepsi atau pandangan yang didasarkan atas tindakan atau perilaku informan. Melalui wawancara mendalam (indepth interview), peneliti akan berusaha tidak hanya melihat hanya pada apa yang terjadi di permukaan, tetapi juga apa yang ada di balik kesadaran informan. Kemudian juga akan digunakan dokumentasi untuk melengkapi data yang diperlukan. Data yang dihimpun peneliti adalah pengetahuan subyek penelitian atau informan dalam memaknai tindakan sosialnya. Gagasan, ide, harapan, keinginan, kepentingan digali peneliti untuk mengetahui bagaimana informan mengonstruk dan menata tindakan sosialnya. Peneliti akan memfokuskan pada cara informan menginterpretasikan diri.

41 Bagong Suyanto, 1995: 2016

Gambar

Tabel 2. Daftar Informan
Gambar  1.  Aktivis  perempuan  NU  memberikan  pendidikan  politik  kepada  masyarakat
Gambar 3. Aktivitas pengurus Fatayat dalam kegiatan perlindungan anak  dan perempuan
Gambar 4. Fatayat NU Sidoarjo ketika mengadakan dialog tentang koperasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari semua keselurahan proses produksi hanya mesin slittinglah yang berbeda dari beberapa proses,contohnya pada proses printing yang membutuhkan bahan baku seperti tinta

Dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazy terdapat 3 nilai moral, yaitu : nilai moral agama nilai moral pendidikan dan nilai moral

Konsep Pieper tentang manusia dan masyarakat, sebagaimana dipaparkan dalam artikel ini, menjadi perspektif penulis untuk mengemukakan konsep tentang persahabatan yang disimpulkan

1) Analisis univariat menunjukkan Dari 66 responden (100%) terdapat 39 balita (59,1%) yang tidak mengalami kejadian diare dan 27 balita (40,9%) mengalami kejadian diare. 2)

Kepuasan Pasien terhadap Pelayanan Petugas di tempat Pendaftan Pasien Rawat Jalandi RSU Aisyiyah Ponorogo dilihat dari dimensi Responsiveness.Untuk nilai gap tertinggi

Langkah petani garam pada saat ini menjadi serba salah dalam rangka meningkatkan kualitas produknya. Meskipun dengan langkah swadaya yang terseok-seok sebenarnya petani sudah mampu

Sebaliknya individu yang memiliki tingkat pe- ngetahuan tentang agama yang rendah akan melakukan perilaku seks bebas tanpa berpikir panjang terlebih dahulu sehingga

Antagonis reseptor muskarinik menyekat efek asetilkolin dengan memblok ikatan ACh dan reseptor kolinergik muskarinik pada neuroefektor yang terdapat pada otot