• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Attachment to God Terhadap Forgiveness Kepada Teman Sebaya pada Siswa SMA Kristen Katolik Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Attachment to God Terhadap Forgiveness Kepada Teman Sebaya pada Siswa SMA Kristen Katolik Bandung."

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The study, entitled Effect of Attachment to God ( ATG ) on Forgiveness of Christian / Catholic’s High School Students Bandung to their peers, aims to obtain an overview of the effect of ATG’s models on Emotional Forgiveness ( EF ) and Decisional Forgiveness (DF) of Christian/Catholic High School Students in Bandung to their peers. The theory used is the theory of ATG (Kirkpatrick, 2005), and Forgiveness (Worthington, 2006).

This study used a single factor independent groups design. The sampling technique used is multistage cluster sampling, with population characteristics students of high school Christian / Catholic in Bandung, 15-18 years old, and an Christian / Catholic. Measuring instrument used was a questionnaire which is modified from ATG Attachment to God Inventory (Beck & McDonald , 2004); the Decisional Forgiveness Scale ( DFS ) , and Emotional Forgiveness Scale ( EFS ) from Worthington (2006 ), which was adapted to Indonesian. By construct validity, we obtained 42 valid ATG’s item, ranging from 0.390 to 0.733 ; 7 DFS’ valid items, ranging from 0.510 to 0.630 ; 8 valid EFS’ items , ranging from 0.407 to 0.651. Reliability was tested with Cronbach Alpha method, and obtained Cronbach alpha coefficient of 0.963 for ATG. For EFS is 0.816, while for DFS was 0.801.

(2)

iv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK

Penelitian yang berjudul Pengaruh Attachment to God(ATG) terhadap

Forgiveness kepada Teman Sebaya pada Siswa SMA Kristen/Katolik Bandung ini

bertujuan untuk memeroleh gambaran mengenai pengaruh model ATG terhadap

emotionalforgiveness(EF)dan decisional forgiveness(DF)kepada Teman Sebaya

pada Siswa SMA Kristen/Katolik Bandung. Teori yang digunakan adalah teori

ATG (Kirkpatrick, 2005), dan Forgiveness (Worthington , 2006).

Rancangan penelitian ini adalah single factor independent groups design. Penarikan sampel menggunakan MultistageCluster Sampling Techniques, dengan karakteristik populasi siswa SMA Kristen/Katolik di Bandung, berusia 15-18 tahun, dan beragama Kristen/Katolik. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner

ATG yang merupakan modifikasi Attachment to God Inventory (Beck & Mc

Donald, 2004); kuesioner Decisional Forgiveness Scale(DFS), dan Emotional

Forgiveness Scale(EFS) dari Worthington (2006), yang diadaptasi oleh peneliti ke

dalam bahasa Indonesia. Setelah melalui pengujian validitas dengan construct

validity, diperoleh 42 item kuesioner ATG valid, berkisar 0,390-0,733; 7 item DFS

valid, berkisar 0,510-0,630; dan 8 item EFS valid, berkisar 0,407-0,651. Reliabilitas diuji dengan metode Alpha Cronbach, dan diperoleh koefisien Alpha

Cronbach 0,963 untuk ATG. Untuk EFS adalah 0,816; sedangkan untuk DFS

adalah 0,801.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ATG berpengaruh sedang terhadap

DF; namun ATG tidak berpengaruh terhadap EF. Artinya, perbedaan model ATG

memberikan perbedaan pada derajat DF; namun tidak memberikan perbedaan pada derajat EF. Dari keempat model ATG (Secure, Preoccupied, Dismissing, dan

Fearful), model Secure memiliki DF lebih tinggi daripada model Fearful; dan

model Preoccupied memiliki DF lebih tinggi daripada model Fearful. Perbandingan antar model lainnya tidak menunjukkan adanya perbedaan DF.

(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR SKEMA ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH ... 18

1.3. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN ... 18

1.4. KEGUNAAN PENELITIAN ... 19

1.4.1. KEGUNAAN TEORITIS ... 19

1.4.2. KEGUNAAN PRAKTIS ... 19

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 21

2.1.FORGIVENESS …….. ... 21

2.1.1. DEFINISI DAN PENGERTIAN FORGIVENESS ... 21

(4)

x

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2.1.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

FORGIVENESS... ... 58

2.2.ATTACHMENT ... 73

2.2.1.PENGANTAR TEORI ATTACHMENT ... 74

2.2.2. KONSEP INTERNAL WORKING MODEL ... 76

2.2.3. PANDANGAN KIRKPATRICK MENGENAI TEORI ATTACHMENT DALAM MENJELASKAN AGAMA... ... 79

2.3. ATTACHMENT TO GOD ... 82

2.3.1. AGAMA SEBAGAI SUATU HUBUNGAN TIMBAL BALIK ... 83

2.3.2DEFINISI ATTACHMENT TO GOD ... 85

2.3.3. KARAKTERISTIK ATTACHMENT TO GOD ... 86

2.3.4. PERBEDAAN INDIVIDUAL DALAM ATTACHMENT DAN RELIGI (HIPOTESIS KORESPONDENSI)... ... 96

2.3.5. INTERNAL WORKING MODELS OF SELF AND OTHERS DALAM KONTEKS ATTACHMENT TO GOD DAN PENGUKURAN ATTACHMENT TO GOD... ... 101

(5)

2.3.7. PERBEDAAN INDIVIDUAL DAN KONVERSI

RELIGIUS ... 107

2.4. PERKEMBANGAN REMAJA... ... 113

2.4.1. PERKEMBANGAN KOGNITIF... 113

2.4.2. PERKEMBANGAN EMOSI... ... 114

2.4.3. PERKEMBANGAN SOSIAL ... ... 115

2.4.4. PERKEMBANGAN RELIGI ... ... 117

2.5. KERANGKA PEMIKIRAN ... ... 119

2.6. ASUMSI PENELITIAN ... 138

2.7. HIPOTESIS PENELITIAN ... 140

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 142

3.1. RANCANGAN PENELITIAN ... 142

3.2. VARIABEL DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 144

3.2.1. INDEPENDENT VARIABEL ... 144

3.2.1.1. DEFINISI OPERASIONAL INDEPENDENT VARIABEL ... 144

3.2.2. DEPENDENT VARIABEL... .... 145

3.2.2.1. DEFINISI OPERASIONAL DEPENDENT VARIABEL... ... 145

3.3. ALAT UKUR ... 146

3.3.1. ALAT UKUR ATTACHMENT TO GOD (ATG)... .. 146

(6)

xii

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

3.4. DATA PENUNJANG ... 149

3.5.PENGUJIAN VALIDITAS DAN RELIABILITAS KUESIONER ATTACHMENT TO GOD DAN KUESIONER FORGIVENESS... ... 150

3.5.1. VALIDITAS... ... 150

3.5.2. RELIABILITAS... ... 151

3.6. SUBYEK PENELITIAN ... 152

3.6.1. KARAKTERISTIK SUBYEK... ... 152

3.6.2. POPULASI PENELITIAN... ... 152

3.6.3. SAMPEL... .... 152

3.6.4. TEKNIK PENARIKAN SAMPEL... .... 153

3.7. TEKNIK ANALISIS DATA ... 154

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 161

4.1. GAMBARAN RESPONDEN ... 161

4.2. HASIL PENELITIAN ... 162

4.3. PEMBAHASAN ... 167

4.4. DISKUSI... ... 206

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 212

5.1. SIMPULAN ... 212

5.2. SARAN ... 213

(7)

5.2.2. SARAN GUNA LAKSANA ... 215

DAFTAR PUSTAKA ... 216

DAFTAR RUJUKAN... 220

(8)

xiv

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Derajat Forgiveness Pada siswa SMA ‘X”... ... 12

Tabel 1.2 Derajat Decisional Forgiveness pada setiap Model ATG ... 16

Tabel 1.3 Derajat Emotional Forgiveness pada setiap Model ATG. ... 17

Tabel 2.1 Tahapan Forgiveness menurut Enright . ... 66

Tabel 4.1 Asal SMA... ... 161

Tabel 4.2. Jenis Kelamin... ... 161

Tabel 4.3 Agama... ... 162

Tabel 4.4 Hasil pengujian ANOVA... ... 163

Tabel 4.5 Hasil pengujian Post Hoc pada Decisional Forgiveness... ... 166

Tabel 4.6 Mean Decisional Forgiveness di tiap model ATG... .... 168

Tabel 4.7 Persentase emotional forgiveness... .... 188

Tabel 4.8 Meanemotional forgiveness... ... 189

DAFTAR SKEMA Skema 2.1 Skema teoritis untuk coping terhadap transgression ... 23

Skema 2.2 Kerangka Pikir ... ... 137

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1. PERSETUJUAN PARTISIPASI DALAM PENELITIAN 2. ALAT UKUR ATTACHMENT TO GOD

3. ALAT UKUR FORGIVENESS

4. KISI-KISI ALAT UKUR ATTACHMENT TO GOD 5. KISI-KISI DATA PENUNJANG

6. KUESIONER DATA PENUNJANG

7. HASIL UJI COBA ALAT UKUR ATTACHMENT TO GOD 8. HASIL UJI COBA ALAT UKUR FORGIVENESS

9. HASIL PENGOLAHAN DATA 10.UJI ASUMSI ANOVA

(10)

1

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Pada usia remaja, terjadi perubahan-perubahan pada diri individu untuk mempersiapkan dirinya memasuki masa dewasa. Ingersoll (1989) mengatakan, bahwa salah satu karakteristik masa remaja adalah meningkatnya kebutuhan untuk berada bersama teman sebayanya (peers), diterima oleh kelompok teman sebaya, tidak ingin dipandang berbeda, bahkan kadang-kadang peers mendominasi pemikiran dan tindakan remaja.

Relasi yang dibina remaja dengan teman sebayanya, memainkan peranan penting dalam menolong remaja membangun keterampilan sosial dan perasaan kompeten secara sosial, yang dibutuhkan kelak untuk berfungsi sebagai orang dewasa. Pertemanan dan persahabatan memberikan remaja dukungan emosional dan rasa aman selama mereka mempelajari peran yang baru sebagai remaja. Dalam persahabatan, remaja memiliki komitmen pribadi yang dekat, terhadap sekelompok kecil orang (biasanya melibatkan dua orang), yang kepadanya remaja dapat membagikan perasaan, rencana, ketakutan, dan fantasi-fantasinya. Membagikan rahasia dan fantasi membutuhkan saling percaya.

(11)

2

seseorang empat berbagi keyakinan, dan orang yang akan loyal kepadanya bahkan jika mereka tidak bersama(Douvan&Adelson, 1966; Coleman, 1980 dalam Ingersoll, 1989).

Pentingnya persahabatan pada masa remaja sudah diakui sejak dulu, antara lain oleh Douvan dan Andelson (dalam Grinder, 1978), bahwa persahabatan mempersiapkan remaja untuk adult love. Melalui persahabatan, mereka belajar mengenai kehangatan, mencintai dan dicintai. Sampai saat ini, penelitian mengenai persahabatan pada masa remaja masih diteliti. Persahabatan pada masa remaja menyediakan dasar yang sehat untuk rasa memiliki, komunikasi, keberhargaan diri dan altruisme (Duck, dalam Park & Enright, 1997). Sedangkan menurut Worthington (2006), pada usia SMP dan SMA, interaksi remaja dengan teman sebayanya sangat penting untuk menentukan, bagaimana kelak mereka menangani permasalahan dengan orang yang menyakiti mereka. Persahabatan pada masa remaja ada yang bisa bertahan lama sampai saat mereka menempuh Perguruan Tinggi, bekerja, menikah, bahkan sampai saat mereka memasuki masa lansia pun ada yang masih tetap mempertahankan persahabatan, antara lain ditunjukkan dengan adanya reuni SMA, reuni SMP.

Salah satu karakteristik perubahan remaja yang lain adalah perubahan yang mencakup aspek emosi. Menurut Hurlock (1992), masa remaja merupakan

heightened emotionality, artinya keadaan emosi yang meninggi. Bahkan Hall

(dalam Ingersoll, 1989) menyatakan periode remaja sebagai periode ‘storm and

stress’, untuk menggambarkan keadaan emosi remaja yang mudah

(12)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

- lesu, antara altruisme - sangat berpusat pada diri. Remaja mudah terpicu emosinya oleh hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan dan harapannya. Ia mudah kecewa ketika sahabatnya tidak memenuhi janji, mudah jengkel ketika temannya mencela penampilannya. Perubahan emosi yang fluktuatif dan cenderung kurang terkendali, membuka peluang besar untuk terjadinya konflik dengan lingkungan teman sebayanya, yang juga sedang berada pada tahap perkembangan dengan karakteristik serupa. Tidak semua remaja mengalami kondisi demikian, karena ada juga remaja yang melewati masa remajanya dengan lebih mulus dan tenang (Ingersoll, 1989). Walaupun demikian, karakteristik ini perlu diantisipasi sebagai hal yang bisa memicu konflik relasi interpersonal pada masa remaja.

(13)

4

memahami perspektif orang lain, mereka juga masih subjektif menganggap bahwa orang lain juga memiliki persepsi yang sama. Mereka belum sepenuhnya bisa membedakan antara persepsi mereka dengan persepsi orang lain. Hal ini diistilahkan oleh Elkind (1967), sebagai adolescent egocentrism. Misalnya, jika seorang gadis merasa bahwa hari ini penampilannya kurang menarik, ia akan beranggapan bahwa teman-temannya juga menilainya kurang menarik, padahal belum tentu demikian. Seorang remaja bisa marah, karena merasa dirinya sedang dibicarakan oleh teman-temannya, padahal belum tentu demikian. Padahal Enright (2008) mengatakan, bahwa kemarahan dapat menyebabkan eksistensi diri menjadi lebih buruk. Dalam keadaan marah, seseorang bisa salah menginterpretasikan motif dan tindakan orang lain, sehingga dapat menyebabkan masalah dalam relasi interpersonal.

Dalam suatu relasi interpersonal, apalagi yang dekat, potensi timbulnya masalah cukup besar, mengingat individu yang berelasi berasal dari latar belakang yang berbeda, memiliki pemikiran, perasaan dan kebutuhan yang berbeda-beda pula (Wernli, 2006). Hasil penelitian Leary dkk (1998, dalam Worthington, 2006) mengungkapkan bahwa orang terdekatlah yang dapat paling melukai. Pada subjek 164 mahasiswa, Leary menemukan bahwa secara berturut-turut, yang dapat melukai subyek adalah teman dekat/ sahabat (+ 40%), pacar atau pasangan kencan (+ 30%), kenalan (+ 12%), anggota keluarga (10%), dan atasan (4%).

(14)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

hubungan yang dekat. Menurut Wernli, remaja lebih sedikit menghabiskan waktu dengan keluarganya, dan lebih banyak waktu dengan teman sebayanya. Penelitian Csikszentmihalyi dan Larsen (1984, dalam Wernli, 2006) melaporkan bahwa remaja menghabiskan waktu 52% dengan teman sekelas dan teman lainnya, dan hanya 19% waktu mereka habiskan dengan keluarganya, sehingga dengan pergeseran fokus relasi ini, remaja menghadapi serangkaian masalah yang baru dalam relasi mereka. Jones, Cohen, and Miller (1991, dalam Wernli, 2006) mengatakan, bahwa untuk menikmati banyak keuntungan dalam relasi yang dekat, seseorang harus bertahan terhadap resiko, mereka akan menghadapi pula pelanggaran dan penolakan. Oleh karena remaja sebagian besar menghabiskan waktunya bersama dengan teman sebaya, potensi dilukai atau dikhianati juga lebih besar. Ketika terjadi perbedaan kepentingan, dan masing-masing mempertahankan kepentingan pribadinya, mungkin saja terjadi seorang siswa melanggar batasan pribadi temannya. Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Younis dan Smollar (dalam Wernli, 2006), dalam penelitian mereka tentang remaja, beberapa isu besar mengenai persahabatan, mencakup hal-hal seperti: pengkhianatan dalam bentuk melanggar kepercayaan, tidak menghargai, perilaku tidak dapat diterima yang merepresentasikan pelanggaran aturan relasi yang dapat mengarah pada konflik. Pelanggaran terhadap batasanpribadi (oleh Worthington diistilahkan sebagai transgression), dapat menyebabkan perasaan terluka, dan mungkin saja mengganggu relasi persahabatan yang dibina.

(15)

6

lukanya cukup dalam, sulit bagi individu yang merasa terluka untuk memaafkan dan menjalin hubungan kembali dengan pihak yang telah menyakiti hatinya.

Berdasarkan hasil survei awal terhadap 47 siswa di salah satu SMA di Bandung, diperoleh gambaran bahwa jika terjadi konflik dalam hubungan dengan teman sebaya, dan siswa merasa orang tersebut yang bersalah kepadanya, secara berturut-turut 10 perasaan yang paling banyak dihayati oleh siswa adalah: tidak bisa menghayati mengapa orang tersebut melakukan itu terhadapnya (53%), tidak ingin melupakan perbuatan orang tersebut (49%), merasa diperlakukan tidak adil (49%), berharap orang itu mendapat balasan lebih atas perbuatannya (43%), makin benci terhadap orang itu (36%), sulit meredakan kemarahan (34%), ingin membalas dendam (32%), tidak ingin menyapa terlebih dahulu (29%), sakit hati (23%), dan merasa tidak rela disakiti (23%).

(16)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Enright (2001) juga menyatakan, bahwa memaafkan atau forgiveness dapat menolong suatu hubungan untuk diperbaiki kembali. Kachadourian, Fincham, & Davila (2004) mengatakan bahwa forgiveness berkaitan dengan peningkatan kepuasan dalam suatu hubungan, sementara unforgiveness terhadap pelaku, diasosiasikan dengan berakhirnya hubungan (Baumeister, Exline,& Sommer, 1998), dan menurunnya kesejahteraan fisik dan psikologis (Worthington, 2005). Menurut Worthington (2005) forgiveness dan unforgiveness dapat memengaruhi kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Forgiveness juga bermanfaat untuk relasi timbal balik. Orang yang unforgive mengalami lebih banyak kemarahan dan depresi. Demikian pula halnya dengan kesehatan fisik individu, unforgiving merupakan hal yang stressful, menyebabkan gangguan kardiovaskular atau sistem imun.

Dalam penelitian mengenai pentingnya konseling forgiveness untuk memperbaiki perilaku dan pencapaian akademis pada remaja yang bermasalah di sekolah (Gambaro, Enright, Baskin & Klatt, 2008), diperoleh hasil bahwa

forgiveness dapat menolong memperbaiki persepsi tentang diri, sekolah, guru,

orang tua, dan juga relasi interpersonal mereka. Park & Enright (1997) menyatakan pentingnya remaja memperbaiki hubungan yang mengalami konflik demi perkembangan selanjutnya, dan forgiveness merupakan salah satu strateginya.

(17)

8

hati, bahkan kasih terhadapnya (Enright, 1998). Forgiveness adalah kemauan pribadi, bukan diwajibkan, oleh karena itu, pengampunan merupakan pilihan individu (Enright, 2001). Forgiveness merupakan respons pribadi seseorang terhadap lukanya, tidak berkaitan dengan sistem hukum. Mengingat pentingnya pengampunan, dalam suatu relasi, terutama bagi remaja dalam peer groupnya, dan melihat masa remaja akhir adalah masa persiapan remaja untuk memasuki masa dewasa awal, yang ditandai dengan kemampuan membina relasi yang matang dengan orang lain, maka perlu sekali seorang remaja memiliki forgiveness.

Forgiveness merupakan value sentral dalam 5 agama besar di dunia (Rye

et al, dalam Worthington, 2005), termasuk juga dalam ajaran agama Kristen/Katolik (Marty, dalam Worthington, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang lebih religius, dalam hal ini konteksnya penelitian terhadap 89 orang dewasa Kristen, dilaporkan lebih cenderung untuk

forgive (Passmore et al, 2009). Demikian pula dalam penelitian terhadap 196

(18)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Salah satu dugaan penting adalah karena agama memberikan norma, bahwa ‘forgiveness itu baik, dan orang beragama yang baik seharusnya memaafkan’. Oleh sebab itu, orang yang religius lebih memiliki kecenderungan untuk forgive, walaupun pada kenyataannya dalam lingkungan hidup sesungguhnya, memaafkan bukanlah suatu proses yang mudah.

Menurut Enright maupun Worthington, perkembangan forgiveness dapat terjadi melalui kondisi lingkungan keluarga (orang tua), sekolah (guru), dan gereja. Mengajarkan anak untuk forgive bisa dimulai dari lingkungan keluarga, misalnya orang tua menjadi model bagi anak untuk belajar minta maaf dan memberi maaf. Selanjutnya lingkungan lain adalah sekolah, college dan gereja (Worthington, 2006; 2010).

Leever (2006) mengemukakan dalam tesisnya mengenai forgiveness pada anak dan remaja, hasil penelitian Enright, bahwa makna forgiveness meningkat sejalan dengan usia. Remaja akhir lebih bisa forgive daripada remaja awal, karena lebih memahami makna forgiveness. Artinya, mereka secara aktual dan lebih proaktif menggunakan strategi untuk memperbaiki konflik dalam hubungan yang mereka hadapi.

Remaja yang beragama Kristen dan Katolik dan bersekolah di sekolah Kristen dan Katolik, mendapatkan penanaman nilai-nilai Kristiani (termasuk

forgiveness), dalam proses pendidikan di sekolah mereka, melalui berbagai

(19)

10

tertentu, pembinaan karakter Kristiani melalui program-program sekolah, serta perayaan dan ibadah Natal dan Paskah setiap tahun.

Mc Cullough & Worthington (1999), mengemukakan 3 hasil penelitian yang senada mengenai religiusitas dan forgiveness. Penelitian yang dilakukan oleh Rockeach (1973) terhadap 51 siswa di sekolah Kristen, menyatakan bahwa bagi kehidupan yang seharusnya dijalani oleh orang Kristen, mereka menilai

forgiveness sebagai value yang kedua penting setelah love. Shoemaker & Bolts

(1977) juga menemukan dari hasil penelitiannya, bahwa orang yang lebih religius bahkan menyadari bahwa mereka seharusnya memiliki value yang tinggi tentang

forgiveness. Pada tahun 1991, Paloma dan Gallup menemukan hasil senada,

bahwa keterlibatan religi- yang salah satunya adalah merasa dekat dengan Tuhan- berhubungan positif dengan sikap orang terhadap forgiveness. Paragraf ini menggambarkan, bahwa terdapat hubungan kuat antara religiusitas dan sikap serta

value orang mengenai forgiveness, dan hasil ini relatif stabil selama kurang lebih

20 tahun di Amerika. Kesimpulan Mc Cullough & Worthington (1999) mengenai ketiga hasil penelitian tersebut adalah, pada kenyataannya, orang yang religius (dalam hal ini siswa Kristen) menyadari fakta, bahwa mereka seharusnya memaafkan dengan tujuan setia terhadap ajaran agamanya.

(20)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan

jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari, dan tujuh kali ia

kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.”

(Lukas 17 : 3-4). Yesus sendiri sebagai tokoh sentral dalam agama Kristen,

memberikan teladan mengenai pengampunan, antara lain ketika Ia mengampuni pemungut cukai, mengampuni perempuan yang berzinah dan hampir dirajam oleh masyarakat pada waktu itu, dan ketika dalam pengajaran-pengajaranNya Ia memberikan banyak perumpamaan mengenai pengampunan. Bahkan yang menjadi intisari ajaran Kristen adalah ketika Ia sendiri menunjukkan forgiveness kepada manusia dengan mati disalibkan. Melalui pelajaran agama Kristen di sekolah, dengan prinsip keteladanan tokoh sentralnya, setidaknya siswa SMA memiliki alternatif pilihan ketika menghadapi situasi disakiti teman sebayanya, yaitu to forgive.

Forgiveness bisa terjadi melalui dua macam proses, yang oleh

Worthington (2006) disebut sebagai dua tipe forgiveness, yaitu emotional

forgiveness dan decisional forgiveness. Emotional forgiveness adalah proses

(21)

12

oleh pelaku. Seseorang bisa saja secara rasional mengambil keputusan untuk memberi maaf (decisional forgiveness), walaupun secara emosional ia masih marah (belum emotional forgiveness). Keputusan memaafkan yang diikuti oleh perbuatan baik kepada pelaku, dapat menjadi pemicu untuk meredakan emosi negatif, sehingga perlahan-lahan menghasilkan emosi positif, dan terjadilah

emotional forgiveness. Sebaliknya, seseorang mungkin saja terlebih dahulu

menghayati perubahan emosi negatif menjadi positif, dan dilanjutkan dengan keputusan untuk memaafkan, pada saat itu terjadilah decisional forgiveness.

Berdasarkan hasil survei pada 47 siswa SMA di atas, pada Tabel 1.1 tampak bahwa pada tipe decisional, sebagian besar siswa memiliki derajat tinggi. Sedangkan pada tipe emotional, sebagian besar siswa memiliki derajat rendah. Artinya, dapat dikatakan bahwa sebagian besar siswa bisa memutuskan untuk memaafkan orang yang menyakitinya, namun secara emosional ia belum memaafkan (masih menyimpan dendam, sakit hati, kebencian, belum bisa empati, maupun berbelas kasihan kepada orang yang menyakitinya).

Tabel 1.1 Derajat Forgiveness pada siswa SMA ‘X’

Derajat Forgiveness

Rendah Tinggi

Decisional 8.5% 91,5%

Emotional 93,6% 6,4%

(22)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

sudah memaafkan mereka terlebih dahulu, dan 27% beralasan karena manusia biasa pernah berbuat salah, dan sisanya demi menjaga hubungan baik, juga karena ajaran Tuhan untuk saling mengampuni. Pelajaran agama di sekolah yang mengajarkan memberi maaf, seperti diungkapkan oleh seluruh(100%) siswa ini, tampaknya cukup berperan dalam membuat mereka menyatakan ‘layak’ untuk memaafkan orang yang bersalah. Demikian juga dengan alasan yang mayoritas mengatakan Tuhan sudah terlebih dahulu memaafkan. Jadi dari survei awal tersebut tampak bahwa mereka mendapat pengajaran di sekolah untuk memaafkan, mereka menganggap orang yang bersalah layak mendapatkan maaf, dan mereka dapat memutuskan untuk memaafkan, walaupun secara emosional sebenarnya mereka belum memaafkan.

Seperti telah diungkapkan, forgiveness dipengaruhi oleh religiusitas seseorang dan dapat diasosiasikan dengan kesehatan spiritual yang berkembang, dan pengalaman religius seseorang (Worthington, 2005). Tsang (dalam McCullough et al, 2005) bahkan mengatakan, bahwa religi dapat mengembangkan

forgiveness. Sistem makna religi dapat memfasilitasi forgiveness sebagai nilai,

mendorong emosi positif (belas kasih dan empati), dan tindakan-tindakan mengampuni lainnya. Selain itu, penelitian Davis, Hook dan Worthington (2008), menemukan bahwa pada mahasiswa (responden rata-rata berusia 20 tahun), dimensi avoidant dan anxiety dari Attachment to God diprediksi mengurangi

forgiveness. Artinya, jika individu tidak menghindari Tuhan dan tidak

(23)

14

tampak bahwa ada unsur penting yang mendasari forgiveness, yaitu relasi individu dengan Tuhan.

Unsur dari hubungan antara orang Kristen dengan Tuhan dikonseptualisasikan sebagaimana attachment bond, keterikatan yang menjadi dasar dalam hubungan yang lebih luas (Granqvist & Kirkpatrick,2008; Kirkpatrick, 1999; Miner, 2007; Proctor, 2006;Proctor, Miner, & Dowson, dalam Proctor et al, 2009). ATG adalah keterikatan psikologis yang khusus dengan Tuhan, yang dapat dilihat dalam dua dimensi, yaitu kecemasan akan penolakan Tuhan (Anxiety of Abandonment), dan menghindari kedekatan dengan Tuhan (Avoidance of Intimacy). Individu yang attached dengan Tuhan, cenderung akan mencari Tuhan, tanpa merasa cemas akan ditolak oleh Tuhan, dan tidak menghindari kedekatan dengan Tuhan; demikian pula sebaliknya. Kedua dimensi ini nantinya akan membentuk empat model ATG, yaitu secure,

preoccupied, dismissing dan fearful (Beck&McDonald, 2004).

Siswa yang memiliki model ATG secure adalah siswa di SMA Kristen / Katolik yang dalam relasinya dengan Tuhan merasa nyaman. Mereka tidak cemas ditolak oleh Tuhan, dan tidak menghindari Tuhan, terutama dalam menghadapi situasi yang ada tantangan dan ancamannya, mereka justru mencari Tuhan untuk dijadikan tempat berlindung dan mendapat rasa aman.

(24)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

ketika ada masalah, dan tidak mengandalkan Tuhan. Mereka tidak terlalu menghayati kekhawatiran penolakan Tuhan, namun cepat mengambil sikap berjarak dari Tuhan.

Sedangkan siswa yang insecure preoccupied adalah mereka yang cemas, bingung, atau terpaku pada keinginan yang sangat besar untuk mendapatkan respons dari Tuhan dalam situasi ancaman, namun merasa sangat cemas ditolak oleh Tuhan. Mereka tidak menghindari Tuhan ketika ada masalah, namun mencemaskan hubungannya dengan Tuhan.

Model yang keempat adalah fearful avoidant. Siswa dengan model ini adalah yang menghayati kecemasan tinggi akan penolakan Tuhan, meminimalisasi hubungan dengan Tuhan di dalam kehidupannya, dan menghindari kebergantungan kepada Tuhan.

Dari 47 siswa tersebut, yang bersekolah di salah satu SMA Kristen di Bandung, juga diperoleh penyebaran empat model relasi ATG sebagai berikut: 55,3% siswa memiliki model secure; 28,8% siswa termasuk preoccupied; 12,8% siswa memiliki model fearfull, dan 2,1 % siswa dismissing. Artinya, sebagian besar siswa merasa nyaman dalam relasinya dengan Tuhan, dan hanya sedikit siswa yang fearfull dan dismissing, yaitu menghindari Tuhan ketika menghadapi masalah.

(25)

16

Tabel 1.2 Derajat Decisional Forgiveness pada setiap Model ATG

Model Attachment

to God Decisional Forgiveness

Total

Rendah Tinggi

Anxiety Tinggi, Avoidance Tinggi (fearfull)

.0% 12.8% 12.8%

Anxiety Tinggi, Avoidance Rendah (preoccupied)

2.1% 27.7% 29.8%

Anxiety Rendah, Avoidance Tinggi (dismissing)

.0% 2.1% 2.1%

Anxiety Rendah, Avoidance Rendah (secure)

6.4% 48.9% 55.3%

TOTAL 8.5% 91.5% 100.0%

Berdasarkan data pada Tabel 1.2 di atas tampak bahwa di semua model ATG,

decisional forgiveness siswa mayoritas tergolong tinggi. Ada 48,9% siswa yang

secure dan 27,7% siswa yang preoccupied, ternyata bisa mengambil keputusan

(26)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Tabel 1.3 Derajat Emotional Forgiveness pada setiap Model ATG

Model Attachment to

God Emotional Forgiveness

Total

Rendah Tinggi

Anxiety Tinggi, Avoidance Tinggi (fearfull)

12.8% .0% 12.8%

Anxiety Tinggi, Avoidance Rendah (preoccupied)

29.8% .0% 29.8%

Anxiety Rendah, Avoidance Tinggi (dismissing)

2.1% .0% 2.1%

Anxiety Rendah, Avoidance Rendah (secure)

48.9% 6.4% 55.3%

Total 93.6% 6.4% 100.0%

Sedangkan dari Tabel 1.3, tampak bahwa di semua model ATG, lebih banyak siswa yang memiliki emotional forgiveness rendah. Artinya, belum tentu siswa yang memiliki relasi nyaman dengan Tuhan (secure), mudah untuk memaafkan secara emosional (tidak lagi membenci, tidak lagi mendendam, tidak lagi memendam marah dan sakit hati, mampu berempati atau berbelas kasihan kepada pelaku, mengasihi pelaku).

(27)

18

mudah untuk forgive. Sebaliknya adapula data penelitian yang menyatakan tidak ada hubungan antara religiusitas dengan forgiveness. Hasil penelitian di Amerika pada siswa Kristen menunjukkan adanya hubungan kuat antara religiusitas dan

forgiveness. Sementara itu, data pada survei awal pada siswa SMA menunjukkan

kecenderungan siswa di SMA Kristen tersebut untuk dapat mengambil keputusan memaafkan, namun secara emosional belum bisa memaafkan. Juga mengingat dari data survey awal, penyebaran forgiveness pada model ATG tidak memperlihatkan adanya kecenderungan forgiveness pada tipe tertentu. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melihat pengaruh attachment to God terhadap

forgiveness pada siswa SMA Kristen dan Katolik Bandung terhadap teman

sebayanya.

1.2 IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apakah model attachment to God berpengaruh terhadap emotional

forgiveness pada siswa SMA Kristen / Katolik di Bandung

2. Apakah model attachment to God berpengaruh terhadap decisional

forgiveness pada siswa SMA Kristen / Katolik di Bandung

1.3 MAKSUD DANTUJUAN PENELITIAN

1. Maksud penelitian ini adalah untuk mendapatkan data mengenai

attachment to God dan forgiveness pada siswa SMA Kristen dan Katolik

(28)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

2. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah model attachment to

God berpengaruh terhadap emotional dan decisional forgiveness

1.4 KEGUNAAN PENELITIAN

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan ilmiah dan kegunaan praktis.

1.4.1 KEGUNAAN ILMIAH

1. Memberi ide kepada peneliti lain yang ingin mengembangkan teori mengenai attachment to God dalam kaitannya dengan forgiveness. 2. Menambah informasi untuk bidang psikologi agama mengenai

pengaruh attachment to God dan forgiveness pada remaja.

1.4.2 KEGUNAAN PRAKTIS

1. Untuk siswa di sekolah Kristen dan Katolik, agar dapat menjadi masukan mengenai pentingnya forgiveness dalam rangka membangun relasi yang positif dengan teman sebayanya.

(29)

20

3. Memberikan masukan kepada para pemuka agama mengenai pentingnya mengembangkan relasi dengan Tuhan dalam rangka memaafkan sesama.

(30)

212

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, dapat ditarik beberapa simpulan berikut ini:

1. Attachment to God berpengaruh sedang terhadap decisional forgiveness

siswa SMA Kristen/Katolik di Bandung.

2. Siswa SMA Kristen/Katolik di Bandung dengan model secure memiliki derajat decisional forgiveness lebih tinggi daripada siswa dengan model

fearful.

3. Siswa SMA Kristen/Katolik di Bandung dengan model preoccupied memiliki derajat decisional forgiveness lebih tinggi daripada siswa dengan model fearful.

4. Siswa SMA Kristen/Katolik di Bandung dengan model secure, dismissing dan preoccupied tidak memiliki perbedaan derajat decisional forgiveness. 5. Perbedaan derajat decisional forgiveness antara siswa dengan model

secure dan fearful dapat dijelaskan melalui perbedaan dimensi anxiety dan

avoidance dari masing-masing model, yang memang bertolak belakang.

6. Perbedaan derajat decisional forgiveness antara siswa preoccupied dan

(31)

213

7. Siswa yang memiliki dimensi avoidance rendah (tidak menghindari kedekatan dengan Tuhan), tampaknya cenderung memiliki decisional

forgiveness yang tinggi, demikian pula sebaliknya.

8. Attachment to God tidak berpengaruh terhadap emotional forgiveness

siswa SMA Kristen/Katolik di Bandung.

9. Hope dalam penelitian ini diduga merupakan emosi positif penting yang

dapat memfasilitasi terjadinya emotional forgiveness.

10.Keteladanan dari orang tua dan guru diduga berperan untuk terjadinya

emotional forgiveness.

11.Pemahaman dan keyakinan spiritual yang siswa peroleh melalui ibadah rutin dan pengajaran agama Kristen/Katolik di sekolah, diduga memfasilitasi terjadinya decisional forgiveness, namun tidak selalu mendorong terjadinya emotional forgiveness.

12.Siswa SMA yang masih pada tahap remaja, membutuhkan pembimbingan pribadi untuk mengolah emosinya, terkait karakteristik emosi remaja dan karakteristik perkembangan penalaran forgiveness-nya.

13.Peran serta dari keluarga, sekolah dan lembaga keagamaan secara bersama diduga dapat menggugah terjadinya emotional forgiveness.

5.2 SARAN

(32)

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha 5.2.1 SARAN TEORETIS

Berdasarkan temuan dari penelitian ini disarankan kepada peneliti yang berminat untuk meneliti lebih lanjut mengenai :

1. Pengaruh kedua dimensi Attachment to God terhadap forgiveness remaja

2. Peran orang tua dalam mengembangkan forgiveness anaknya. 3. Peran pihak sekolah dalam mengembangkan forgiveness siswa

SMA.

4. Peran lembaga keagamaan dalam mengembangkan forgiveness siswa SMA.

5. Interaksi lembaga keagamaan, orang tua dan sekolah dalam berperan mengembangkan forgiveness kepada siswa SMA.

Selain itu, peneliti juga memberikan beberapa saran metodologis : 1. Mengembangkan alat ukur Attachment to God yang digunakan

dalam penelitian ini, agar lebih mengena pada aspek penghayatan pribadi subyek terhadap Tuhan.

(33)

215

5.2.2 SARAN GUNA LAKSANA

Beberapa saran yang dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait, sehubungan dengan hasil penelitian ini adalah :

1. Bagi orang tua, guru maupun lembaga keagamaan, diharapkan memberikan teladan dan dorongan dalam rangka mengembangkan

forgiveness pada remaja.

2. Terkait karakteristik remaja yang masih membutuhkan bimbingan secara pribadi, disarankan kepada pihak keluarga, sekolah, lembaga keagamaan, agar menyediakan figur yang dapat membimbing remaja untuk mengolah emosinya, terutama ketika mengalami transgression.

3. Bagi orang tua, guru, pemuka agama, diharapkan dapat bekerja sama dalam membimbing remaja untuk melakukan emotional

(34)

216

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Anastasi, Anne. 1990. Psychological Testing. 6th edition. New York : Macmillan Publishing Company.

Baumeister, Roy F. et al. 1998. The Victim Role, Grudge Theory, and Two

Dimensions of Forgiveness. Dalam Dimensions of Forgiveness : Psychological Research and Theological Perspectives, ed Everett L.

Worthington Jr., 79-104. Philadelphia: Templeton Foundation Press. Beck, Richard & Angie McDonald. 2004. Attachment to God: The attachment to

God inventory, tests of working model correspondence, and an exploration of faith group differences. Journal of Psychology and

Theology, Vol. 32, No. 2, 92-103

(http://www.questia.com/library/journal/1G1-118845041/attachment-to-god-the-attachment-to-god-inventory, diunduh tanggal 4 Maret 2012) Bowlby, J. 1969/1982. Attachment and loss: Vol. 1. Attachment.London: Hogarth

Press.

Bowlby, J. 1973. Attachment and loss: Vol. 2. Separation: Anxiety and anger. London: Hogarth Press.

Bowlby, J. 1980. Attachment and loss: Vol. 3. Loss: Sadness and depression. London: Hogarth Press.

Bowlby, J. 1988. A secure base: Clinical implications of attachment theory. London: Routledge.

Cassidy, Jude & Phillip R. Shaver. 2008. Handbook of Attachment : Theory,

Research and Applications. New York : The Guildford Press.

Cohen, Ronald Jay. et al. 1988. Psychological Testing : An Introduction to Tests

and Measurement. California : Mayfield Publishing Company.

Cooper, Laura B. et al. 2009. Differentiated styles of attachment to God and varying religious coping efforts. Journal of Psychology and Theology

2009, Vol. 37, No. 2, 134-141.

(http://www.questia.com/library/journal/1G1-202966437/differentiated-styles-of-attachment-to-god-and-varying, diunduh tanggal 4 Maret 2012). Davis, Don E. et al. 2008. Relational spirituality and forgiveness: the roles of

(35)

217

27, No. 4. (http://www.docstoc.com/docs/41948391/Relational-Spirituality-and-Forgiveness-The-Roles-of-Attachment, diunduh tanggal 21 Februari 2012).

Edwards, Lisa M, et al. 2002. A positive relationship between religious faith and

forgiveness : faith in the absence of data? Education Faculty Research

and Publications. Marquette University. (http://epublications.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1043&con

text=edu_fac, diunduh 6 Maret 2012).

Enright, Robert D. & Joanna North. 1998. Exploring Forgiveness. Wisconsin : The University of Wisconsin Press.

Enright, Robert D. 2008. Forgiveness is A Choice : A Step-by-Step Process for

Resolving Anger and Restoring Hope. Ninth printing. Washington DC :

APA Life Tools.

Field, Andy. 2009. Discovering Statistics using SPSS. 3th edition. New Delhi : Sage Publications India Pvt Ltd.

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing : Design, Analysis and Use. Needham Heights, Massachusetts : Allyn & Bacon.

Gambaro, Maria E. et al. 2008. Can school based forgiveness counselling improve conduct and academic achievement in academically at-risk adolescent?

Journal of Research in Education Vol 18. (http://hied.uark.edu/8443.php,

diunduh 8 Desember 2012).

Gravetter, Frederick J & Larry B. Wallnau. 2009. Statistic for the Behavioral

Sciences. 8th ed. Wadsworth. Belmont. USA

Graziano, Anthony M & Michael LRaulin. 2000. Research Methods : A Process

of Inquiry. 4th edition. Needham Heights, Massachusetts : Allyn & Bacon.

Grinder, Robert E. 1978. Adolescence. Canada : John Wiley& Sons.

Hurlock, Elizabeth B. 1992. Developmental Psychology : A Life Span Approach.

Terjemahan. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Ingersoll, Gary M. 1989. Adolescents. 2nd. New Jersey : Prentice Hall.

Kachadourian, Lorig K. et al. 2004. The tendency to forgive in dating and married couples: the role of attachment and relationship satisfaction.

Personal Relationship Vol 11. 373-393. (http://www.fincham.info/papers/pr-tend-to-forgive-2004.pdf).

(36)

218

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Kumar, Ranjit. 1999. Research Methodology : A Step-by-step Guide for

Beginners. London : Sage Publications Ltd.

Lazarus, Richard S & Susan Folkman, 1984. Stress, Apparaisal and Coping. New York : Springer Publishing Company.

Lemeshow, S. & David W.H.Jr. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian

Kesehatan (terjemahan). Yogyakarta : Gadjahmada University Press.

McCullough, Michael E & Everret L. Worthington, Jr. 1999. Religion and the Forgiving Personality. Journal of Personality. (online). 67:6.(http://www.psy.miami.edu/faculty/mmccullough/Papers/religion_for giving_personality.pdf, diunduh 10 Juli 2013)

McCullough, Michael E. et al. 2005. Religion and Forgiveness. Dalam Handbook

of the Psychology of Religion and Spirituality. Ed Paloutzian, Raymond F

& Crystal L. Park, 394-411, New York: The Guilford Press.

Park, Younghee Oh & Robert D. Enright. 1997. The Development of Forgiveness in the context of adolescent friendship conflict in Korea. Journal of

Adolescence. Vol 20, 393-402.

Passmore, Nola L. et al. 2009. Parental Bonding and Religiosity as Predictors of Dispositional Forgiveness. University of Southern Queensland,

Toowoomba QLD 4350 Australia

(http://eprints.usq.edu.au/7821/3/Passmore_Rea_Fogarty_Zelakiewicz_AP S_2009_AV.pdf, diunduh tanggal 16 Februari 2012).

Proctor, Marie-Therese. et al. 2009. Exploring Christians’ explicit attachment to God representations: the development of a template for assessing attachment to God experiences. Journal of Psychology and Theology

2009, Vol. 37, No. 4, 245-264,

(http://www.researchgate.net/publication/228497416_Exploring_Christian s%27_explicit_attachment_to_God_representations_The_development_of _a_template_for_assessing_attachment_to_God_experiences, diunduh tanggal 4 Maret 2012).

Santrock, John W. 2002. Life-span Development. 2nd edition. Dubuque Iowa : Wm.C.BrownPublishers.

Snedecor GW & Cochran WG. 1967. Statistical Methods . 6th ed. Ames, IA: Iowa State University Press.

(37)

219

Worthington Jr, Everett L. 2001. Unforgiveness, Forgiveness, and Reconciliation

and Their Implications for Societal Intervention. Dalam Raymond G.

Helmick, S.J. & Rodney L. Petersen. Forgiveness and Reconciliation:

Religion, Public Policy,& Conflict Transformation. Pennsylvania :

Templeton Foundation Press.

Worthington Jr, Everett L. 2005. Handbook of Forgiveness. New York : Routledge Taylor & Francis Group.

Worthington Jr, Everett L. 2006. Forgiveness and Reconciliation : Theory and

Application. New York : Routledge Taylor & Francis Group.

(38)

220

Program Magister Psikologi Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Beck, Richard. 2006. The Attachment to God Series. http://experimentaltheology.blogspot.com diunduh tanggal 31 Maret 2012.

Bedell, Tina Marie B.A., M.A. 2002. The Role Of Religiosity In Forgiveness. Dissertation. Ohio : The Ohio State University, (Online) (http://etd.ohiolink.edu, diunduh tanggal 16 Februari 2012.

Leever, Brooke A. 2006. Forgiveness in Children : The Child/Adolescent

Dispositional Forgiveness Inventory. Thesis. University of Florida.

(http://ufdcimages.uflib.ufl.edu/UF/E0/01/49/62/00001/leever_b.pdf, diunduh tanggal 25 November 2011).

Liao, Shirley S, M.A., M.S. 2007. The Influences Of Attachment Styles And

Religiousness/Spirituality On Forgiveness. Dissertation. The Faculty of

the Rosemead School of Psychology Biola University, (http://psych.hanover.edu/research/Thesis12/papers/CEJFINALPaper.pdf, diunduh tanggal 4 Maret 2012).

Loraine, Pun Yin Kwan. 2010. External and Internal Factors Predicting

Emotional and Decisional Forgiveness among Chinesse adolescents and college students. Thesis. The University of Hongkong.

(http://hub.hku.hk/handle/10722/133132, diunduh tanggal 8 Juni 2013). Okozi, Innocent F. 2010. Attachment to God : It’s impact to Psychological

Well-being of Person with Religious Vocation. Dissertasi. Seton Hall

University(http://udini.proquest.com/view/attachment-to-god-its-impact-on-the-goid:759117277/, diunduh tanggal 1 April 2012).

Reed, Philip R. 2011. An Investigation of the Relationships between

Developmental Forgiveness Stages and Forgiveness Communication Strategies. Thesis. The College of Communication and Information of

Kent State University

(https://etd.ohiolink.edu/ap:0:0:APPLICATION_PROCESS=DOWNLOA D_ETD_SUB_DOC_ACCNUM:::F1501_ID:kent1310662318,inline, diunduh 13 Maret 2013).

Wernli, Molly A. 2006. Interpersonal Forgiveness in Close Peer Relationship

during Adolescent : An Examination of the Role of Relational Self Worth and Transgression History. Dissertation. University of Nebraska. ProQuest

(39)

221

http://search.proquest.com//docview/305277334, diunduh 8 Desember 2012).

Worthington, E. L., Jr., Hook, J. N., Utsey, S. O., Williams, J. K., & Neil, R. L. 2007. Decisional and Emotional Forgiveness. Paper presented at the International Positive Psychology Summit. October, 2007. Washington, DC.

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 20 November 2012. Permission to use

EFS and DFS. E-mail kepada helianyk@gmail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 17 Januari 2013. Using EFS and DFS

score. E-mail kepada helianyk@gmail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 11 April 2013. Theoretical schematic

for coping with interpersonal transgressor. E-mail kepada helianyk@gmail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). 12 Juni 2013. Using EFS and DFS

score. E-mail kepada helianyk@gmail.com

Worthington, E.L.,Jr. (eworth@vcu.edu). Scoring EFS and DFS in Indonesia. 8 Juli 2013 E-mail kepada helianyk@gmail.com

Yin, Lin. 2012. The Efficacy of the Reach Forgiveness Intervention for Foreign

Students and Virginia Students. Thesis. Richmond : Virginia

Commonwealth University. (https://digarchive.library.vcu.edu, diunduh 8 Juni 2013).

Yeo, Ju-Ping Chiao. 2011. The Psychometric Study Of The Attachment to God

Inventory and The Brief Religious Coping Scale In A Taiwanese Christian Sample. Disertasi. Linchburg : Liberty University (Online) (http://digitalcommons.liberty.edu,diunduh tanggal 4 Maret 2012).

www.div17pospsych.com/references-to-key-constructs/ diunduh tanggal 15 Maret

Gambar

Tabel 1.1 Derajat Forgiveness pada siswa SMA ‘X’
Tabel 1.2 Derajat Decisional Forgiveness pada setiap  Model ATG
Tabel 1.3 Derajat Emotional Forgiveness pada setiap  Model ATG

Referensi

Dokumen terkait

Pada siklus ketiga peneliti tidak lagi melakukan reflksi akan tetapi peneliti menganalisis data yang telah didapat serta membuat kesimpulan atas penerapan media

The objective of this study is to compare the perceptions of achieving a successful life derived from Chinese and American culture as revealed in Amy Tan’s

[r]

Scanned by CamScanner... Scanned

[r]

Faktur pajak sederhana adalah dokumen yang disamakan fungsinya dengan Faktur Pajak, yang diterbitkan oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada

gelombang dan gelombang-penuh dengan beban resistif (R) dan resistif-induktif (RL) yang menggunakan sumber satu fasa dan tiga fasa.. Menganalisis hasil penyearah setengah-gelombang

Namun jika perusahaan tidak transparan dalam mengungkapkan informasi keuangan maka pasar akan mengandalkan informasi dari luar perusahaan sehingga return yang