• Tidak ada hasil yang ditemukan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA"

Copied!
370
0
0

Teks penuh

(1)

1

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN…

TENTANG

PEMERINTAHAN OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah membangun masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Udang-Undang Dasar 1945;

b. bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,nilai-nilai budaya yang hidup dalammasyarakat hukum adat, serta memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar;

c. bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-satuan pemeritahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang;

d. bahwa integrasi dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui penerapan daerah Otonomi Khusus;

e. bahwa penduduk asli Papua merupakan salah satu rumpun dariras Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat dan bahasa sendiri;

f. bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Tanah Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum dan belum sepenuhnya penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, khususnya masyarakat Papua;

(2)

2

g. bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam di Tanah Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga telah mengkibatkan kesenjangan antara Papua dan daerah lain serta merupakan pengabaian hak-hakdasar penduduk asli Papua;

h. bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi di tanah Papua dan Provinsi lain dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

i. bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap nilai-nilai etika dan moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme serta persamaan kedudukan hak dan kewajiban sebagai warga negara;

j. bahwa telah lahir kesadaran baru dikalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua;

k. bahwa perjalanan pemberlakuan otonomi khusus

berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana di ubah denganUndang-Undang Nomor 35

tahun 2008, yang berlangsung selama kurang lebih dua

belas tahun perlu dievaluasi kembali dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan Otonomi Khusus di Tanah Papua;

l. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas

pelaksanaanOtonomi Khusus di Tanah Papua, telah

dibentuk Provinsi Papua Barat yang

dikukuhkandenganUndang-Undang Nomor 35 tahun 2008, yang sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya Barat sebagaimana dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 45 tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000;

m.bahwa pemberlakuan otonomi khusus berdasarkan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah denganUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, pada kenyataannya sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika

(3)

3

perkembangan kehidupan dan tuntutan masyarakat di Tanah Papua masa kini, sebab itu perlu dilakukan peninjauan ulang dalam bentuk perubahan mendasar yang bersifat strategis dan progresif terhadap Undang-Undang tersebut;

n. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf I, huruf k, huruf ldan huruf mmaka perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan Otonomi Khusus bagi Provinsi di Tanah Papua.

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal

20, Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang

pembentukan Propinsi Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonomi di Propinsi Irian Barat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2907);

5. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 3882); 6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

7. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang

Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 3894) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,

(4)

4

Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara republik Indonesia Nomor 3960) sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 018/PUU-I/2003;

8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

9. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia

Dagang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4044);

10.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain

Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4045);

11.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentag Desain

Tata Letak Sirkuit Terpadu (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2000 Nomor 244, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4046);

12.Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4130);

13.Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4131);

14.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak

dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);

15.Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4220);

16.Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4286);

17.Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas

Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik

(5)

5

Indonesia Nomor 4327);

18.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber

Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

19.Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401);

20.Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional;

21.Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang

Kepemudaan;

22.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem

Keolahragaan Nasional;

23.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844;

24.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);

25.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746);

26.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4801) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189);

(6)

6

27.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);

28.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang

Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5035);

29.Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

30.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang

Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);

31.Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);

32.Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang

Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5077);

33.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

(7)

7

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN

OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI DI TANAH PAPUA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

(1)Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua adalah pemerintahan dengan

kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan provinsi-provinsi hasil pemekaran di Tanah Papua, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua di masing-masing provinsi;

(2)Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah perangkat Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri;

(3)Pemerintahan Provinsi adalah Pemerintahan yang berkedudukan di Ibukota

Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua;

(4)Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta perangkat daerah sebagai Badan

Eksekutif Provinsi di Tanah Papua;

(5)Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah Pemerintahan yang berkedudukan

dibawah Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan Pemerintahan Provinsi yang diberi wewenang untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota;

(6)Distrik yang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dikenal dengan

Kecamatan, adalah wilayah kerja Kabupaten/Kota;

(7)Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat

hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa

(8)

8

masyarakat, asal-usul dan adat-istiadat setempat yang berada di daerah Kabupaten/Kota dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;

(8)Gubernur adalah Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan yang

bertanggungjawab penuh menyelenggarakan pemerintahan di Provinsi Tanah Papua dan sebagai wakil Pemerintah di Provinsi;

(9) Dewan Perwakilan Rakyat Papua yang disebut DPRP adalah Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Provinsi di Tanah Papua sebagai Badan Legislatif Daerah Provinsi;

(10) Majelis Rakyat Papua yang selanjutnya disebut MRP adalah representasi

kultural Orang Asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup antar umat beragama sebagaimana diatur Undang-Undang ini;

(11) Lambang Daerah, Bendera Daerah, Himne Daerah adalah panji kebesaran dan

simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang Papua yangtidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan;

(12) Peraturan Daerah Khusus yang selanjutnya disebut Perdasus adalah Peraturan

Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-pasal khusus dalam Undang-Undang ini;

(13) Peraturan Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut Perdasi adalah Peraturan

Daerah Provinsi di Tanah Papua dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;

(14) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang selanjutnya disebut Perda adalah

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat pemerintahan Kabupaten/Kota;

(15) Peraturan Kampung yang selanjutnya disebut Perkam adalah Peraturan

Pemerintahan Kampung dalam rangka pelaksanaan kewenangan khusus perangkat pemerintahan kampung;

(16) Pemerintahan Adat adalah Pemerintahan pada tingkat masyarakat adat, yang

dibentuk berdasarkan adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat hukum adat;

(17) Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang hidup dalam

wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya;

(18) Adat adalah kebiasaan yang diakui, dipatuhi dan dilembagakan serta

dipertahankan oleh masyarakat adat setempat secara turun-temurun;

(19) Hukum Adat adalah aturan atau norma baik yang tertulis maupun tidak tertulis

yang berlaku dalam masyarakat hukum adat, mengatur, mengikat dan mempertahankan serta mempunyai sanksi;

(20) Masyarakat Hukum Adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak

kelahirannya hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya;

(9)

9

(21) Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum

adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan untukkehidupan para warganya yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan dan air serta isinya;

(22) Badan Musyawarah Kampung atau yang disebut dengan nama lain adalah

sekumpulan orang yang membentuk satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur didalam kampung tersebut serta dipilih dan diakui oleh warga setempat untuk memperikan saran dan pertimbangan kepada pemerintahan kampung;

(23) Hak Asasi Manusia yang selanjutnya disebut HAM adalah seperangkat hak

yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia;

(24) Penduduk Papua yang selanjutnya disebut Penduduk adalah semua orang yang

menurut ketentuan yang berlaku terdaftar dan bertempat tinggal di Tanah Papua;

Pasal 2 Orang Asli Papua adalah:

a. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang

ayah dan ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli di Papua;

b. Orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang

ayah berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua;

BAB II ASAS Pasal 3 Undang-Undang Pemerintahan Papua ini berasaskan:

a. Keberpihakan kepada Orang Asli Papua sebagai penghormatan, pengakuan,

perlindungan dan pemberdayaan OrangAsli Papua.

(10)

10

BAB III

PEMBAGIAN DAERAH DAN PENATAAN DAERAH Pasal 4

(1) Provinsi-Provinsi di Tanah Papua terdiri atas Daerah Kabupaten dan Daerah

Kota masing-masing Daerah Otonom.

(2) Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas sejumlah Distrik.

(3) Distrik terdiri atas sejumlah kelurahan, kampung atau yang disebut dengan

nama lain.

Pasal 5

(1) Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Kabupaten/Kota,

ditetapkan dengan Undang-Undang atas usul Pemerintah Provinsi.

(2) Pembentukan Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan syarat:

a. memenuhi persyaratan administratif dan mekanisme pembentukan

Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. memperhatikan kesatuan kultur dan hubungan kekerabatan masyarakat

setempat;

c. memperhatikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah

bersangkutan; dan

d. memperhatikan potensi kekayaan dan sumberdaya alam.

(3) Pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Distrik atau Kampung

atau yang disebut dengan nama lain, ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atas usul Pemerintah Kabupaten/Kota;

(4) Dalam wilayah Provinsi di Tanah Papua dapat ditetapkan kawasan untuk

(11)

11

BAB IV

KEWENANGAN PEMERINTAH PROVINSI

DAN KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA

Pasal 6

Kewenangan berdasarkan Otonomi Khusus Tanah Papua berada di Provinsi. Pasal 7

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan

mengurus seluruh urusan Pemerintahan, kecuali urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah.

(2) Kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan

pemerintahan yang bersifat Nasional dibidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter dan fiskal, agama dan peradilan.

(3) Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) pemerintah dapat:

a. melaksanakan sendiri;

b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah kepada Pemerintah Provinsi;

dan

c. melimpahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Provinsi berdasarkan tugas

pembantuan.

Pasal 8

(1) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki hubungan

hierarkis dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Tanah Papua.

(2) Ketentuan tentang hubungan hierarkis antara Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hubungan antar Pemerintah-Pemerintah Provinsi di Tanah Papua diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

(12)

12

BAB V

PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN PROVINSI DAN PEMERINTAHAN KABUPATEN/KOTA

Bagian Kesatu Umum Pasal 9

(1) Pemerintah Provinsi menetapkan norma, standar, prosedur dan kriteria urusan

pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan berdasarkan pembahasan bersama antara Pemerintah Provinsi dan DPRP.

(3) Penetapan norma, standar, prosedur dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diatur dengan Perdasi.

Pasal 10

(1) Pembagian urusan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan

berdasarkan pertimbangan permasalahan, kebutuhan dan kemampuan

Kabupaten/Kota.

(2) Pembagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

Pasal 11

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Penetapan standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan berdasarkan usulan yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi. Pasal 12

(1) Usulan Pemerintah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2)

dibahas dan ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah paling lama 6 (enam) bulan sejak pengajuan usulan.

(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah

belum menetapkan standar pelayanan minimal, pemerinah dianggap menyetujui usulan yang diajukan Pemerintah Provinsi.

(13)

13

Bagian Kedua

Urusan Pemerintahan Provinsi Pasal 13

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) terdiri dari urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar maupun pelayanansekunder.

(2) Urusan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), meliputi: a. Pemerintahan umum; b. Perangkat daerah; c. Kepagawaian; d. Pekerjaan umum; e. Pendidikan; f. Kesehatan;

g. Perhubungan dan transportasi;

h. Kependudukan dan ketenagakerjaan;

i. Perumahan rayat;

j. Koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah;

k. Kebudayaan;

l. Pertanahan;

m. Kehutanan;

n. Pertambangan dan energi;

o. Pertanian; dan

p. Kelautan dan perikanan.

(3) Urusan wajibsekunder sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. perencanaan pembangunan dan tata ruang;

b. keuangan daerah;

c. pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup;

d. penanaman modal;

e. komunikasi dan informatika;

f. perdagangan dan investasi;

g. sosial;

h. kepemudaandan olahraga;

i. karantina;

j. kepabeanan;

k. pengelolaan sumber daya alam;

l. partai politik;

m. HAKI; dan

n. HAM.

Pasal 14

(1) Urusan pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan

yang sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(14)

14

(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Perdasi.

Bagian Ketiga

Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Pasal 15

(1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) merupakan urusan yang berkaitan dengan pelayanan dasar.

(2) Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. pemerintahan umum; b. perangkat daerah; c. kepegawaian; d. pekerjaan umum; e. pendidikan; f. kesehatan; g. perhubungan; h. kependudukan; dan i. ketenagakerjaan; Pasal 16

(1) Urusan pemerintahan Kabupaten/Kota yang bersifat pilihan meliputi urusan

pemerintahan yang sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut

dengan peraturan daerah Kabupaten/Kota. Pasal 17

(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota disertai pengalihan prasarana, sarana, pendanaan dan kepegawaian sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan desentralisasi.

(2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai pendanaan

yang dilakukan sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan dekonsentrasi.

(3) Urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Provinsi dan

Pemerintah Kabupaten/Kota, disertai pendanaan yang dilakukan sesuai urusan yang menjadi pelaksanaan tugas pembantuan.

(15)

15

BAB VI

PENYELENGGARAAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAH Bagian Kesatu

Umum Pasal 18

Selain kewenangan umum dan kewenangan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) pemerintah provinsi dapat menyelenggarakan sebagian kewenangan yang menjadi kewenangan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Bagian Kedua Kerjasama Luar Negeri

Pasal 19

(1) Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada Pemerintah

Provinsi urusan dan tugas yang meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Menyelenggarakan kerjasama dengan lembaga/badan atau negara-negara

lain;

b. Membangun kerjasama dan kemitraan dengan lembaga/badan atau

negara-negara lain, kecuali yang menjadi kewenangan Pememerintah Pusat; dan

c. Membangun hubungan kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan antara

Republik Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan dengan Provinsi.

(2) Pemerintah Provinsi dalam melaksanakan urusan dan tugas sebagaimana

tercantum dalam ayat (1) wajib melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri yang bertanggungjawab dalam bidang Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri.

Pasal 20

(1) Gubernur berwenang memberikan rekomendasi kepada Pemerintah untuk

menerbitkan izin masuk bagi orang asing ke Tanah Papua.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan

kewenangan Imigrasi untuk mencekal orang asing yang telah diputuskan membahayakan keamanan Negara.

(3) Dalam keadaan dimana Imigrasi menolak memberikan izin masuk

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Imigrasi wajib memberikan alasan-alasan kepada Gubernur secara tertulis.

(16)

16

Bagian Ketiga Pertahanan

Pasal 21

(1) Tentara Nasional Indonesia bertanggung jawab menyelenggarakan pertahanan

negara dan tugas lain di Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Tugas Tentara Nasional Indonesia dalam menyelenggarakan pertahanan negara

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara di Tanah Papua.

(3) Tugas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penanggulangan

bencana alam, pembangunan infrastruktur pasca bencana alam dan tugas kemanusiaan lain setelah berkoordinasi dengan Gubernur.

(4) Prajurit Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Papua menjunjung tinggi

prinsip-prinsip universal hak asasi manusia dan menghormati budaya serta adat istiadat Papua.

(5) Alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada

ayata (1) sampai dengan ayat (3) dibebankan pada anggaran belanja kementerian yang membidangi pertahanan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pasal 22

(1) Kebijakan pertahanan wilayah provinsi di Tanah Papua oleh TNI dilaksanakan

setelah berkoordinasi dengan Gubernur.

(2) Pemerintah berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi dalam menyusun

Rencana Tata Ruang Pertahanan, dengan mempertimbangkan konteks wilyah, dinamika pembangunan dan konteks sosial budaya di Papua.

(3) Pemerintah melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan bagi

putera puteri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan dalam Tentara Nasional Indonesia pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

(4) Perlakuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan tetap

mempertimbangkan standar pembinaan karier yang berlaku di lingkungan Tentara Nasional Indonesia.

Bagian Keempat Keamanan

Pasal 23

(1) Kepolisian Daerah di Tanah Papua merupakan bagian dari Kepolisian Negara

(17)

17

(2) Kebijakan urusan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dikoordinasikan oleh Kepala Kepolisian Daerah di Tanah Papua kepada Gubernur.

(3) Kebijakan urusan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menyangkut penyelenggaraan tugas memelihara keamanan, dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan tugas-tugas lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Alokasi pembiayaan untuk pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) dibebankan pada anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bersumber dari APBN.

(5) Kepala Kepolisian Daerah Papua bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia atas penyelenggaraan keamanan dan pembinaan kepolisian.

Pasal 24

Pencalonan dan pengangkatan Kepala Kepolisian Daerah di Tanah Papua memperhatikan kearifan lokal dengan mengutamakan pejabat Polri Orang Asli Papua yang telah memenuhi kriteria sesuai peraturan perundang-undangan dan memperhatikan pertimbangan Gubernur.

Pasal 25

(1)Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama, serta pembinaan jenjang

karir Kepolisian Negara Republik Indonesia di Tanah Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah dengan memberikan prioritas bagi Orang Asli Papua serta memperhatikan sistem hukum, budaya, adat-istiadat dan kebijakan Gubernur.

(2)Pendidikan dasar dan pelatihan umum bagi calon bintara dan tamtama

Kepolisian Daerah di Tanah Papua diberi kurikulum muatan lokal dengan penekanan terhadap budaya dan adat istiadat di Papua serta hak asasi manusia.

(3)Pendidikan dan pembinaan perwira Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

berasal dari Papua dilaksanakan secara nasional oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4)Penempatan perwira, bintara dan tamtama Kepolisian Negara Republik Indonesia

dari luar Tanah Papua ke Tanah Papua dilaksanakan atas Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan sistem hukum, budaya dan adat istiadat di daerah penugasan.

(5)Dalam hal penempatan baru atau relokasi satuan kepolisian di Tanah Papua,

Pemerintah berkoordinasi dengan Gubernur.

(6)Seleksi untuk menjadi perwira, bintara dan tamtama, serta pembinaan jenjang

karir Kepolisian Negara Republik Indonesia di Tanah Papua dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah di Tanah Papua dengan memberikan prioritas bagi Orang Asli Papua serta memperhatikan sistem hukum, budaya, adat istiadat dan kebijakan Gubernur.

(18)

18

(7)Pemerintah melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan

bagiputra putri Indonesia Orang Asli Papua untuk menduduki jabatan dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Bagian Kelima Kejaksaan

Pasal 26

(1) Kejaksaan di Tanah Papua merupakan bagian dari Kejaksaan Agung Republik

Indonesia.

(2) Kejaksaan di Tanah Papua melaksanakan tugas dan kebijakan teknis di

bidang penegakan hukum.

(3) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua dilakukan oleh Jaksa

Agung dengan persetujuan Gubernur.

(4) Persetujuan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat secara

tertulis dan disampaikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima.

(5) Dalam hal Gubernur tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu

sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Jaksa Agung dapat mengangkat Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua.

(6) Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan, Jaksa Agung

mengajukan satu kali lagi calon lain.

(7) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Tanah Papua dilakukan oleh Jaksa

Agung.

Pasal 27

(1) Seleksi penerimaan dan penempatan Jaksa di Tanah Papua dilakukan oleh

Kejaksaan Agung dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, adat istiadat di Tanah Papua, budaya dan/atau mengutamakan Orang Asli Papua.

(2) Pemerintah wajib melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan

bagi putra putri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan Kejaksaan pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Bagian Keenam Peradilan Paragraf 1

Umum Pasal 28

(1) Kekuasaan kehakiman di Tanah Papua dilaksanakan oleh Badan Peradilan

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Disamping kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

(19)

19

Pasal 29

(1)Seleksi penerimaan dan penempatan hakim di Tanah Papua dilakukan oleh

Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan mengutamakan Orang Asli Papua.

(2)Pemerintah wajib melakukan pembinaan karier dan memberikan kesempatan

bagi putra putri Indonesia Orang Asli Papua melalui perlakuan khusus untuk menduduki jabatan Hakim pada tingkat nasional dan tingkat provinsi.

Paragraf 2 Peradilan Adat

Pasal 30

Peradilan adat di Tanah Papua berasaskan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat dan peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 31

Peradilan adat di Tanah Papua sebagai wujud pengakuan pemerintah terhadap keberadaan, perlindungan, penghormatan dan pemberdayaan masyarakat adat Papua, dengan menjamin kepastian hukum, kemanfaatan, keadilan dengan tujuan menjaga harmonisasi, keseimbangan dan keteraturan, serta membantu pemerintah dalam penegakan hukum.

Paragraf 3 Kedudukan

Pasal 32

(1) Peradilan adat bukan bagian dari peradilan negara, melainkan lembaga

peradilan masyarakat hukum adat Papua.

(2) Pengadilan adat berkedudukan di lingkungan masyarakat hukum adat di

Tanah Papua.

(3) Lingkungan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yaitu masyarakatadat berdasarkan sistem kepemimpinan keondoafian, sistem kepemimpinan raja, sistem kepemimpinan pria berwibawa dan sistem kepemimpinan campuran.

(4) Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum

adat yang bersangkutan.

Paragraf 4 Kompetensi

Pasal 33

(1) Pengadilan adat berwenang memeriksa dan mengadili perkara adat di antara

(20)

20

(2) Pengadilan adat memeriksa dan mengadili perkara adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

(3) Dalam hal salah satu pihak yang bersengketa atau yang berperkara

berkeberatan atas putusan yang telah diambil oleh pengadilan adat yang memeriksanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang berkeberatan tersebut berhak meminta kepada pengadilan tingkat pertama di lingkungan badan peradilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili sengketa atau perkara yang bersangkutan.

(4) Perkara adat yang tidak dapat diselesaikan melalui kompetensi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dapat diselesaikan melalui mekanisme peradilan negara.

Paragraf 5 Putusan Pasal 34

(1) Putusan pengadilan adat diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat.

(2) Putusan pengadilan adat wajib dipatuhi oleh para pihak.

(3) Pengadilan adat tidak berwenang menjatuhkan hukuman pidana penjara atau

kurungan.

(4) Putusan pengadilan adat mengenai perkara yang tidak dimintakan

pemeriksaan ulang, menjadi putusan akhir dan berkekuatan hukum tetap.

(5) Untuk membebaskan pelaku tindak pidana dari tuntutan pidana menurut

ketentuan hukum pidana yang berlaku, diperlukan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan dari Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahinya yang diperoleh melalui Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan dengan tempat terjadinya peristiwa pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

(6) Dalam hal permintaan pernyataan persetujuan untuk dilaksanakan bagi

putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditolak oleh Pengadilan Negeri, maka putusan pengadilan adat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi bahan pertimbangan hukum Pengadilan Negeri dalam memutuskan perkara yang bersangkutan.

(7) Tata cara pengambilan keputusan dan pelaksanaan putusan dilaksanakan

menurut hukum adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Paragraf 6

Kerjasama Pasal 35

(1) Pengadilan adat dapat bekerja sama dengan perangkat peradilan negara.

(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dalam hal

(21)

21

(3) Tata cara kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

perdasi. Bagian Ketujuh Keuangan Daerah Paragraf 1 Umum Pasal 36

(1) Pemerintah, DPR, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam

merencanakan dan menetapkan APBN dan APBD berkewajiban

mempertimbangkan karakter kekhususan Papua.

(2) Pemerintah berkewajiban membuat daftar indeks kemahalan harga sebagai

pedoman penyusunan perencanaan dan penganggaran pembangunan di Tanah Papua.

(3) Indeks kemahalan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan

mempertimbangkan kondisi khusus daerahberdasarkan keterisolasian

wilayah, distribusi penduduk yang tidak merata, tingkat kemiskinan dan kondisi sosial budaya masyarakat.

Pasal 37

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan di Tanah Papua dan Kabupaten/Kota

diikuti dengan pemberian sumber pendanaan kepada pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota.

(3) Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola APBD secara

tertib, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat.

(4) Pengelolaan APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui

sistem pengelolaan keuangan daerah yang masing-masing diatur dengan Perdasi dengan berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku.

(5) Pengelolaan APBD Kabupaten/Kota dilaksanakan melalui sistem pengelolaan

keuangan daerah diatur dengan Perda dengan berpedoman pada perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 38

(1) Pemerintah Provinsi berwenang menyelenggarakan sebagian urusan perpajakan

yang bersumber dari Tanah Papua.

(2) Kewenangan perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pajak:

(22)

22

b. Pajak yang bersumber dari penerimaan sumber daya alam.

(3) Penerimaan yang berasal dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disetor kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah provinsi mendistribusikan kepada Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota;

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) selanjutnya diatur

dengan Peraturan Pemerintah atas usul Pemerintah Provinsi.

Paragraf 2 Kepabeanan

Pasal 39

(1) Gubernur dapat memberikan rekomendasi pengurangan bea masuk impor

barang modal bagi pelaksanaan investasi di Tanah Papua dengan berkonsultasi kepada Pemerintah.

(2) Pengusulan dan pengangkatan Kepala Bea dan Cukai dan pejabat Bea dan

Cukai dengan memperhatikan pertimbangan Gubernur dan mengutamakan Orang Asli Papua.

Bagian Kedelapan Agama

Pasal 40

(1) Setiap penduduk di Tanah Papua memiliki hak dan kebebasan untuk

memeluk agama dan kepercayaannya masing-masing.

(2) Setiap penduduk di Tanah Papua berkewajiban menghormati nilai-nilai

agama, memelihara kerukunan antar umat beragama, serta mencegah upaya memecah belah persatuan dan kesatuan dalam masyarakat di Tanah Papuadan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 41 Pemerintah Provinsi berkewajiban:

a. menjamin kebebasan, membina kerukunan dan melindungi semua umat

beragama untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;

b. menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama;

c. mengakui otonomi lembaga keagamaan; dan

d. memberikan dukungan kepada setiap lembaga keagamaan secara proporsional

berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat. Pasal 42

(1) Gubernur berwenang memberikan izin penempatan tenaga asing bidang

(23)

23

(2) Pemerintah di Tanah Papua memiliki kewenangan memberikan izin pendirian

tempat ibadah.

(3) Ketentuan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan

Perdasi.

Pasal 43

Alokasi keuangan dan sumber daya lain oleh Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan keagamaan di Tanah Papua dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah umat dan tidak bersifat mengikat.

BAB VII

PENYELENGGARAAN URUSAN PERLINDUNGAN DAN PEMBERDAYAAN ORANG ASLI PAPUA

Pasal 44

(1) Urusan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua yang menjadi

kewenangan pemerintah provinsi, meliputi:

a. kebijakan pemberdayaan masyarakat adat;

b. kebijakan pemberdayaan Orang Asli Papua; dan

c. kebijakan lain berkaitan dengan perlindungan hak Orang Asli Papua.

(2) Kebijakan pemberdayaan masyarakat adat sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a meliputi:

a. pemerintahan adat;

b. perlindungan hak ulayat;

c. perlindungan dan pengembangan adat istiadat dan budaya;

d. bahasa daerah;

e. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam; dan

f. perlindungan dan pengembangan kearifan lokal;

(3) kebijakan pemberdayaan Orang Asli Papua sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b meliputi bidang:

a. pendidikan; b. kesehatan; c. ekonomi rakyat; d. pembangunan infrastruktur; e. ketenagakerjaan; dan f. perumahan rakyat;

(4) Kebijakan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi semua

kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua.

(5) Penetapan urusan perlindungan dan pemberdayaan Orang Asli Papua

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah melalui pembahasan bersama antara pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.

(24)

24

(6) Urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan bersama antara

pemerintah provinsi dan pemerintah Kabupaten/Kota.

(7) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan

ayat (5), diatur dengan Perdasus.

BAB VIII

BADAN NASIONAL PERCEPATAN PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS TANAH PAPUA

Pasal 45

(1) Presiden membentuk Badan/Lembaga untuk pemantapan pelaksanaan

Otonomi Khusus Tanah Papua yang selanjutnya disebut Badan Otonomi khusus Tanah Papua.

(2) Badan Otonomi khusus Tanah Papua berkedudukan di ibukota Negara

Republik Indonesia

(3) Badan Otonomi khusus Tanah Papua dipimpin oleh seorang kepala yang

bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

(4) BadanOtonomi khususTanah Papua kedudukannya setara dengan menteri

yang di pimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

(5) Kepala badan Otonomi khusus Tanah Papua diangkat oleh Presiden atas

usulanGubernur di Tanah Papua.

Pasal 46

Badan Otonomi khusus Tanah Papua bertugas untuk membantu Presiden melaksanakan tugas komunikasi, koordinasi, perencanaan, konsultasi, fasilitasi, evaluasi dan pemantauan

Pasal 47

Dalam melaksanankan tugas sebagaimana dimaksud pada pasal 46 Badan Otonomi khusus Tanah Papua menyelenggarakan fungsi:

a. Penyusunan dan pengembangan strategi nasional pelaksanaan Undang-Undang

Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua;

b. Penyusunan dan pengembangan rencana induk dan rencana aksi langkah

Percepatan Pembangunan Tanah Papua;

c. Koordinasi, konsultasi dan sinkronisasi kebijakan, program dan pembiayaan

nasional yang terkait dengan pelaksanaan percepatan pembangunan dan pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua;

d. Bersama Kementerian yang membidangi Perencanaan Pembangunan Nasional

melakukan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Khusus (Musrenmbang Khusus) untuk Percepatan Pembangunan Tanah Papua sebelum pelaksanaan Musrenbangnas;

(25)

25

e. Koordinasi, konsultasi dan fasilitasi langkah-langkah kebijakan sosial,

politikdan budaya dengan kelompok-kelompok strategis Papua dan pemangku kepentingan lainnya;

f. Bersama Pemerintah Provinsi di Tanah Papua menetapkan komponen evaluasi

dan indikator pencapaian pelaksanaan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Tanah Papua;

g. Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan Otonomi Khusus

Tanah Papua; dan

h. Melaksanakan koordinasi, konsultasi dan fasilitasi berbagai pemangku

kepentingan di tingkat nasional dan internasional di dalam mendukung pelaksanaan Undang-Undang ini.

Pasal 48

(1) Badan Otonomi khusus di Tanah Papua terdiri atas:

a.Kepala;

b.4 (empat) Deputi; dan

c. Tenaga Profesional.

(2)Deputi berada dibawah dan bertanggung jawab secara langsung kepada Kepala

Badan Otonomi khusus Tanah Papua.

(3)Tenaga Profesioonal sebagai mana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas

Asisten Ahli, Asisten muda dan Tenaga Terampil.

(4)Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya, Kepala Badan Otonomi

khusus Tanah Papua dapat membentuk Tim Khusus atau Gugus Tugas untuk penanganan masalah tertentu.

Pasal 49

(1) Kepala Badan Otonomi Khusus di Tanah Papua diangkat oleh Presiden atas

usul Gubernur di Tanah Papua.

(2) Deputi diangkat oleh Presiden atas usul Kepala Badan.

(3) Tenaga Profesional, Tim Khusus dan Gugus Tugas di lingkungan Badan

Otonomi khusus di Tanah Papua di angkat oleh Kepala Badan Otonomi khusus di Tanah Papua.

(4) Deputi dan Tenaga Profesional di lingkungan Badan Otonomi khusus di Tanah

Papua dapat diangkat dari Pegawai Negeri Sipil dan bukan Pegawai Negeri Sipil Pasal 50

(1) Kepala Badan Otonomi khusus Tanah Papua diberikan hak keuangan,

administrasi dan fasilitas lainnya setara Menteri.

(2) Deputi diberikan kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan

pejabat struktural Ia.

(3) Tenaga Profesional yang diangkat sebagai Asisten Ahli, diberikan kedudukan,

hak keuangan dan fasilias lainnya setara dengan pejabat struktural eselon Ib.

(4) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai Asisten, diberikan kedudukan, hak

(26)

26

(5) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai Asisten muda, diberikan kedudukan,

hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IIIa.

(6) Tenaga Profesional, yang diangkat sebagai tenaga terampil, diberikan

kedudukan, hak keuangan dan fasilitas lainnya setara dengan pejabat struktural eselon IVa.

Pasal 51

(1) Susunan organisasi, tata kerja, hubungan, tugas dan fungsi Badan/Lembaga,

dan mekanisme koordinasi badan Otonomi khusus di Tanah Papua dengan Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Tanah Papua serta pemangku kepentingan lainnya, diatur dengan peraturan Presiden dengan pertimbangan Gubernur di Tanah Papua.

(2) Badan/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk

selambat-lambatnya 6 (enam) bulan terhitung sejak disahkannya Undang-Undang ini. Pasal 52

Kepala badan Otonomi Khusus di Tanah Papua menyampaikan laporan berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden RI atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.

BAB IX

BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN Bagian Kesatu

U m u m Pasal 53

(1) Pemerintahan Provinsi di Tanah Papua terdiri atas DPRP sebagai badan

legislatif dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.

(2) Pemerintahan Kabupaten/Kota terdiri atas DPRD Kabupaten/Kota sebagai

badan legislatif dan Bupati/Walikota sebagai badan eksekutif beserta perangkat pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.

(3) Pemerintahan Distrik sebagai satuan pemerintahan yang menyelenggarakan

sebagian urusan pemerintahan Kabupaten/Kota dan urusan pemerintahan umum lainnya.

(4) Pemerintahan Kampung sebagai satuan pemerintahan otonom asli yang terdiri

atas Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah Kampung atau dengan sebutan lain.

(5) Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/Kota, Distrik dan Kampung

(27)

27

Bagian Kedua Majelis Rakyat Papua

Paragraf 1 Kedudukan MRP

Pasal 54

(1) Majelis Rakyat Papua dibentuk dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

provinsi di Tanah Papua dan merupakan representasi kultural Orang Asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua, dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

(2) MRP dibentuk di setiap provinsi di Tanah Papua dan berkedudukan di ibukota

provinsi.

Pasal 55

(1) MRP beranggotakan orang-Orang Asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat,

wakil-wakil agama dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP.

(2) Masa keanggotaan MRP adalah 5 (tujuh) tahun.

(3) Keanggotaan dan jumlah anggota MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan Perdasus.

(4) Kedudukan keuangan MRP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Dalam mendukung tugas dan fungsi MRP dibentuk Sekretariat MRP.

(6) Sekretariat MRP dapat menyediakan tenaga ahli untuk mendukung

pelaksanaan tugas dan fungsi MRP. Pasal 56

(1) MRP mempunyai tugas dan wewenang:

a. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota yang masing-masing diusulkan oleh DPRP, DPRD Kabupaten/Kota atau lembaga penyelenggara pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang berwenang untuk itu;

b. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon anggota DPRD

Kabupaten/Kota, calon anggota DPRP, calon sekretaris daerah provinsi, calon sekretaris daerah Kabupaten/Kota, calon kepala SKPD provinsi, calon kepala SKPD Kabupaten/Kota, calon kepala distrik, calon lurah dan calon kepala kampung;

c. bersama-sama DPRP dan Gubernur membahas rancangan Perdasus;

d. memberikan saran, pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana

(28)

28

Provinsi dengan pihak ketiga yang berlaku di Provinsi di Tanah Papua khusus yang menyangkut perlindungan hak-hak Orang Asli Papua;

e. Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat,

umat beragama, kaum perempuan dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak Orang Asli Papua, memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya;

f. Melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana otonomi khusus.

g. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap pembagian dan

pemanfaatan dana otonomi khusus serta melakukan evaluasi terhadap program dan kegiatan yang memanfaatkan dana otonomi khusus;

h. Memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rencana

pembentukan daerah otonom baru provinsi dan Kabupaten/Kota;

i. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah

Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/ Kota terkait dengan pembinaan kerukunan kehidupan beragama;

j. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah

Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan kebijakan pemberdayaan perempuan Orang Asli Papua;

k. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah, Pemerintah

Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/ Kota terkait dengan kebijakan pemberdayaan dan perlindungan adat istiadat dan budaya serta lembaga adat asli Papua;

l. Melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi dan

Kabupaten/Kota terutama mengenai urusan pemerintahan dan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan, keberpihakan dan pemberdayaan Orang Asli Papua; dan

m. memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan Peraturan

Pemerintah yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan Undang-undang ini.

(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang MRP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Perdasus.

Pasal 57

(1) MRP mempunyai hak:

a. Mengajukan keberatan/penolakan terhadap rancangan Perdasus dan

Perdasi yang bertentangan dengan hak-hak Orang Asli Papua;

b. Melakukan pengawasan terhadap APBD terutama alokasi pemanfaatan

dana otonomi khusus;

c. Meminta keterangan kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota

mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak Orang Asli Papua;

d. Meminta peninjauan kembali Perdasi atau Keputusan Gubernur yang

(29)

29

e. Mengajukan rencana Anggaran Belanja MRP kepada DPRP sebagai satu

kesatuan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Papua;

f. Mengajukan keberatan atas usul pemberhentian Gubernur/Wakil

Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang masing-masing diajukan oleh DPRP dan oleh DPRD Kabupaten/Kota sebelum akhir masa jabatan;

g. Mengajukan keberatan atas penetapan calon Gubernur dan Wakil

Gubernur, calon Bupati dan Wakil Bupati, calon Walikota dan Wakil Walikota yang cacat hukum dalam proses pemilihan; dan

h. Menetapkan Peraturan MRP yang mengikat ke dalam dan ke luar.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Perdasus. Pasal 58

(1) Setiap anggota MRP mempunyai hak:

a. Mengajukan pertanyaan;

b. Menyampaikan usul dan pendapat;

c. Imunitas;

d. Protokoler; dan

e. Keuangan/administrasi.

(2) Pelaksanaan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan

Tata Tertib MRP, dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usul pemerintah provinsi.

Pasal 59

(1) MRP mempunyai kewajiban:

a. mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan mengabdi kepada rakyat di Tanah Papua;

b. mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mentaati

segala perundang-undangan;

c. membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli

Papua;

d. membina kerukunan kehidupan beragama; dan

e. mendorong pemberdayaan perempuan.

(2) Tatacara pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Perdasus.

Pasal 60

(1) Pemilihan anggota MRP dilakukan oleh anggota masyarakat adat, masyarakat

agama dan masyarakat perempuan.

(2) Penyelenggara pemilihan anggota MRP dilakukan oleh Panitia ad hoc.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2)

(30)

30

Pasal 61

(1) Hasil pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diajukan oleh

Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri untuk memperoleh pengesahan.

(2) Pelantikan anggota MRP dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri.

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan

ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah yang ditetapkan berdasar usul Pemerintah Provinsi.

Paragraf 2

Persyaratan Keanggotaan MRP Pasal 62

(1) Keanggotaan MRP wajib memenuhi persyaratan umum :

a. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Setiakepada Pancasila, UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik

Indonesia;

c. Memahami adat istiadat orang Papua;

d. Berpedidikan dan berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1);

e. Memiliki integritas kepribadian yang baik;

f. Berusia minimal 30 (tiga puluh) tahun, dan maksimal 60 (enam puluh)

tahun; dan

g. Orang Asli Papua.

(2) Jumlah anggota MRP adalah ¾ dari jumlah anggota DPRP masing-masing

Provinsi, dengan memperhatikan keterwakilan masing-masing suku yang ada di Tanah Papua.

(3) Tata cara pemilihan Anggota MRP selanjutnya diatur dengan Perdasus.

Bagian Ketiga Pemerintah Provinsi

Paragraf 1

Persyaratan Gubernur/Wakil Gubernur Pasal 63

(1) Pemerintah Provinsi terdiri atas Gubernur beserta perangkat pemerintah

Provinsi lainnya.

(2) Pemerintah Provinsi dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur.

Pasal 64

(1) Yang dapat dipilih menjadi Gubernur/Wakil Gubernuradalah Orang Asli

Papua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, yang memenuhi syarat:

(31)

31

b. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah;

c. berpendidikan sekurang-kurangnya strata satu (S1);

d. berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

e. mampu secara jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan

kesehatan menyeluruh dari tim dokter/rumah sakit pemerintah;

f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

h. menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;

i. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau

secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

j. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap; dan

k. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat

pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri dan anak.

(2) Kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. surat pernyataan bermeterai cukup dari yang bersangkutan yang

menyatakan dirinya setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Pemerintah, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b;

b. bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah atau sebutan lain dari tingkat

dasar sampai dengan perguruan tinggi, sertifikat atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh instansi yang berwenang, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c;

c. akta kelahiran/surat kenal lahir warga negara Indonesia, sebagai bukti

pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d;

d. surat keterangan kesehatan dari tim dokter/rumah sakit pemerintah

yang menerangkan bahwa yang bersangkutan mampu secara jasmani dan rohani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Gubernur/Wakil Gubernur, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e;

e. surat keterangan pengadilan negeri atau kementerian yang menangani

urusan pemerintahan di bidang hukum, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f;

f. surat keterangan pengadilan negeri yang menyatakan tidak sedang

(32)

32

memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g;

g. surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan

pribadi kepada lembaga yang menangani pemberantasan korupsi dan surat pernyataan bersedia daftar kekayaan pribadinya diumumkan, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i;

h. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan

tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j;

i. surat keterangan pengadilan niaga/pengadilan negeri yang menerangkan

bahwa yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan pailit, sebagai bukti pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k; dan

j. daftar riwayat hidup yang ditandatangani calon, sebagai bukti

pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l.

(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diatur dalam Peraturan Pemerintah yang dibentuk atas usulan Pemerintah Provinsi, DPRP dan MRP.

Paragraf 2

Tugas dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur Pasal 65

(1) Gubernur mempunyai tugas dan wewenang:

a. melakukan koordinasi, pembinaan, pengawasan dan memfasilitasi kerja

sama serta penyelesaian perselisihan atas penyelenggaraan Pemerintah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota;

b. meminta laporan secara berkala atau sewaktu-waktu atas

penyelenggaraan Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota;

c. melakukan pemantauan dan koordinasi terhadap proses pemilihan,

pengusulan, pengangangkatan, pemberhentian Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota serta penilaian atas pertanggungjawaban Bupati/Walikota;

d. melakukan pelantikan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota

atas nama Presiden;

e. mensosialisasikan kebijakan nasional dan memfasilitasi penegakan

Peraturan Perundang-Undangan di Provinsi;

f. melakukan pengawasan atas pelaksanaan administrasi kepegawaian dan

(33)

33

g. membina hubungan yang serasi antara Pemerintah dan Pemerintah

Daerah serta antar Pemerintah Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

h. memberikan pertimbangan dalam rangka pembentukan, penghapusan,

penggabungan dan pemekaran Daerah;

i. memimpin penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai

Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRPdan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP dan MRP;

j. mengajukan rancangan Perdasi dan Perdasus;

k. menetapkan Perdasi dan Perdasus yang telah mendapat persetujuan

bersama DPRP;

l. menyusun dan mengajukan rancangan Perdasi tentang APBD kepada DPR

untuk dibahas dan ditetapkan bersama;

m. mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM

penduduk Papua;

n. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk

kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan

o. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur memberikan persetujuan penyelidikan dan penyidikan terhadap pejabat pemerintahan daerah;

Pasal 66

(1) Wakil Gubernur mempunyai tugas:

a. membantu Gubernur dalam:

1) penyelenggaraan kewenangan dan urusan pemerintahan sesuai

Undang-undang ini dan peraturan perUndang-undang-Undang-undangan terkait dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRPdan/atau kebijakan yang ditetapkan bersama DPRP dan MRP;

2) mengoordinasikan kegiatan perangkat Provinsi dan instansi vertikal di

Provinsi;

3) menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat

pengawasan;

4) melaksanakan kebijakan pemberdayaan kelembagaan adat dan pranata

sosialnya, kelembagaan agama dan pemberdayaan perempuan dan pemuda;

5) mengupayakan pemenuhan hak-hak dasar Orang Asli Papua dan HAM

Penduduk Provinsi;

6) pengembangan dan pelestarian adat istidat dan sosial budaya dan

(34)

34

b. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten

dan kota;

c. memberikan saran dan pertimbangan kepada Gubernur dalam

penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah;

d. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan

oleh Gubernur; dan

e. melaksanakan tugas dan wewenang Gubernur apabila Gubernur

berhalangan.

(2) membantu Gubernur dalam melaksanakan tugas, kewenangan dan

kewajibannya.

(3) membantu mengkoordinasikan kegiatan instansi Pemerintah di Provinsi.

(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wakil

Gubernur bertanggung jawab kepada Gubernur.

(5) Wakil Gubernur menggantikan Gubernur sampai habis masa jabatannya

apabila Gubernur meninggal dunia, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus menerus dalam masa jabatannya.

Pasal 67

(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 65 dan Pasal 66, Gubernur dan Wakil Gubernur mempunyai kewajiban:

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta

mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. mengakui, menghargai dan menghormati serta melindungi dan memajukan

hak-hak dasar Orang Asli Papua;

c. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dan khususnya Orang Asli

Papua;

d. melindungi dan melestarikan budaya Papua;

e. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;

f. mencerdaskan kehidupan rakyat Papua;

g. melaksanakan kehidupan demokrasi;

h. mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;

i. menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;

j. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;

k. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik;

l. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan

daerah;

m. menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan

semua perangkat daerah;

n. menyelenggarakan Pemerintahan dan melaksanakan pembangunan sesuai

dengan RPJPD dan RPJMD secara bersih, jujur dan bertanggung jawab; dan

Referensi

Dokumen terkait

Seba rupakan ibu ahiran lebih esar 71 samp hasil rata- dalah 26,4 n: 25 tahun d kan faktor r dapat diketa ar sampel a an usia anta sebanyak 17 Meskipun en telah be aman, nam apat

Dari perencanaan ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:  Unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolah air banjir di Surabaya menjadi air minum adalah unit

Flowchart menu utama ini terdapat pada client, ketika program aplikasi dijalankan maka akan tampil menu utama yang di dalamnya terdapat lima pilihan yaitu info,

Hasil analisis data juga telah menjelaskan bahwa bangunan Gedung Sekretariat ASEAN lama dan baru, telah memenuhi seluruh prinsip Arsitektur Ikonik sehingga pada

Penelitian ini menggunakan instrumen SGRQ versi Indonesia sebagai alat pengumpul data untuk mengukur kualitas hidup pada pasien yang sedang mengalami kontrol PPOK di

FOURTH NATIONAL PROGRAM FOR COMMUNITY EMPOWERMENT IN RURAL AREA (PNPM IV) (P122810).. Operation Name: FOURTH NATIONAL PROGRAM

Dari hasil percobaan yang telah dilakukan disimpulkan bahwa padat penebaran mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan panjang mutlak, laju pertumbuhan bobot harian, dan

Pengkayaan stok teripang pasir telah dilakukan di Kepulauan Seribu melalui 2 tahapan, yaitu pembesaran benih (intermediate culture) yang dilakukan di perairan Pulau Kongsi dan