• Tidak ada hasil yang ditemukan

“REPRESENTASI CITRA DIRI DALAM IKLAN LA LIGHT S” (Studi Semiotik Representasi Citra Diri dalam Iklan LA Lights Versi “Bersandiwara” di Media Televisi).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“REPRESENTASI CITRA DIRI DALAM IKLAN LA LIGHT S” (Studi Semiotik Representasi Citra Diri dalam Iklan LA Lights Versi “Bersandiwara” di Media Televisi)."

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

:

RANI IK A WIJAYANT I NPM. 0843010104

YAYASAN KESEJAHTE RAAN PE NDIDIK AN DAN PER UMAHAN UNIVERSITAS PE MBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA TI MUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLI TIK PROGRAM STUDI IL MU KOMUNIKASI

(2)

“Bersandiwa ra” d i Media Televisi)

Disusun Oleh :

Rani Ika Wijayan ti 0843010104

Telah disetuj ui untuk mengik uti Ujian Skripsi

Menyetu jui, DOSEN PE MBIMBING

Dra. Dyva Claretta, MSi NPT. 366019400251

DEKAN

(3)

Rani Ika Wijayan ti 0843010104

Telah dipertah ank an dihad apan dan diterima oleh Tim Penguj i Skr ipsi Ju rusan Ilm u Komunikasi Fak ultas I lmu Sosial dan Ilmu Politik Univer sitas P embangu nan Nasional

“Veter an” Jawa Tim ur pada tan ggal 13 Jun i 2012

PEMB IMBING TIM PENGUJI :

1. KETUA

Dra. Dyva Claretta, MSi Ir. H. Didiek Tr anggono, MSi.

NPT. 366019400251 NIP. 1958122519900110001

2. SEKRET ARIS

Dra. Herlina Suksmaw ati, MSi NIP. 196412251993092001 3. ANGGOTA

Dra. Dyva Claretta, MSi. NPT. 366019400251

DEKAN

(4)

x

Penelitian ini memiliki latar belakang adanya representasi citra diri dalam kehidupan sehari-hari yang divisualisasikan dalam sebuah iklan. Dalam iklan ini terdapat perwakilan dari citra diri positif yang dibangun oleh sesorang untuk menutupi kondisi sebenarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi citra diri dalam iklan L.A Lights versi “Bersandiwara” di media televisi.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi non verbal, komunikasi interpersonal dan model semiotika menurut John Fiske, yang terbagi dalam tiga level, yaitu level realitas, level representasi dan level ideologi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis semiotik, untuk menginterpretasikan penggambaran citra diri dalam iklan L.A Lights.

Berdasarkan hasil penelitian, iklan L.A Lights versi “Bersandiwara” sarat akan representasi citra diri. Representasi citra diri ini divisualisasikan dengan penggunaan topeng, gerakan serta ekspresi model yang menunjukkan kondisi sebenarnya.

Kata kunci : representasi citra diri, iklan, metode semiotik Fiske

ABSTRACT

RANI IKA WIJAYANTI, SELF IMAGE REPRESENTATIVE AT L.A LIGHTS ADVERTISING (Self Image Semiotic Studies at L.A Lights advertising “Drama” version on Television)

This examination background has a self image representative on daily life that visualized by media advertise. On this advertisement there is a positivity personal representation build by someone to manipulated condition. The purpose of examination is to understand personality representative on L.A Lights “Drama” version on television advertisement.

To be more efficient, this examination using non-verbal communication theory, interpersonal communication, and John Fiske’s semiotics model that depend on three level : reality level, representation level, and ideology level.

By using descriptive-qualitative with semiotic analysis as the examination methods so this can be useful to interpretation personality description on L.A Lights advertisement.

(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : Representa si Citra Diri dalam Iklan LA Lights (Studi Semiotik Represe ntasi Citr a Diri dala m Iklan LA Lights Versi “Bersandiwara” di Media Televisi).

Penulis akui bahwa kesulitan selalu ada di setiap proses pembuatan skripsi ini, tetapi faktor kesulitan itu lebih banyak datang dari diri sendiri. Semua proses kelancaran pada saat pembuatan skripsi tidak lepas dari segala bantuan dari berbagai pihak yang sengaja maupun tak sengaja telah memberikan sumbangsihnya.

Selama melakukan penulisan penelitian ini, tak lupa penulis menyampaikan rasa terima kasih pada Ibu Dra. Dyva Claretta M.Si sebagai dosen pembimbing yang telah membantu penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

Adapun penulis sampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Allah SWT. Karena telah melimpahkan segala karuniaNya, sehingga penulis mendapatkan kemudahan selama proses penulisan skripsi ini.

2. Ibu Dra. Hj. Suparwati, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur.

3. Bapak Juwito, S.Sos, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi. 4. Dosen-dosen Ilmu Komunikasi yang telah banyak memberikan ilmu dan

(6)

Serta tak lupa penulis memberikan rasa terima kasih secara khusus kepada:

1. Almarhum Bapak Sudirin dan Ibu Kundayani tercinta terimakasih atas segala dukungan dan doa yang telah diberikan pada penulis ♥.

2. Pakde Kodrat, Bude Kuntari, Mbak Rini, serta keluarga atas doa, dukungan moral maupun material dan kepercayaannya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan baik ♥.

3. My Huru-Hara Girls, Ratih, Lisa, Citra, Angel, Aridah, Maria, Burky atas motivasi serta kebersamaan yang kalian berikan kepada penulis ♥.

4. My Emogurlsxx Audy, Fiqi, Niza, Nita, Jottie terima kasih atas semangat yang kalian berikan ♥.

5. Sahabatku Rayi, Mate dan Rachma, terimakasih atas dukungan dan selalu menghibur penulis. Love you ♥.

6. Dulur-dulur X-Phose ku tercinta, terimakasih atas dukungannya.

7. Seluruh teman-teman Ilmu Komunikasi, juga kakak-kakak kelas yang telah membantu serta membimbing penulis selama ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah dibutuhkan guna memperbaiki kekurangan yang ada.

Akhir kata semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca, khususnya teman-teman di Jurusan Ilmu Komunikasi.

Surabaya, 14 Mei 2012

(7)

LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI ... . ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... x

Bab I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

Bab II KAJ IAN PUSTAKA ... 13

2.1 Landasan Teori ... 13

2.1.1 Periklanan ... 13

2.1.1.1 Iklan sebagai Bentuk Komunikasi Massa ... 15

2.1.1.2 Iklan Televisi ... 18

2.1.2 Citra Diri ... 20

2.1.3 Komunikasi Nonverbal ... 25

2.1.3.1 Ekspresi Wajah dan Tatapan Mata ... 29

2.1.3.2 Artefak ... 30

2.1.3.3 Busana ... 30

(8)

2.1.8 Konsep Makna ... 42

2.1.9 Model Semiotika John Fiske ... 44

2.1.10 Respon Psikologi Warna ... 48

2.2 Kerangka berpikir ... 50

Bab III MET ODE PENELITI AN ... 52

3.1 Metode Penelitian ... 52

3.2 Kerangka Konseptual ... 53

3.2.1 Corpus ... 53

3.3 Definisi Operasional ... 59

3.3.1 Representasi ... 59

3.3.2 Citra Diri ... 60

3.3.3 Komunikasi Nonverbal ... 61

3.3.4 Komunikasi Interpersonal ... 61

3.4 Unit Analisis ... 62

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 63

3.6 Teknik Analisis Data ... 63

Bab IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian ... 64

4.1.1 Gambaran Umum Perusahaan ... 64

4.1.1.1 Tahun-tahun Awal ... 64

(9)

4.2.2.1 Tampilan Visual Scene 7 ... 70

4.2.2.2 Tampilan Visual Scene 8 ... 74

4.2.2.3 Tampilan Visual Scene 10 ... 77

4.2.2.4 Tampilan Visual Scene 12 ... 81

4.2.2.5 Tampilan Visual Scene 16 ... 86

4.2.2.6 Tampilan Visual Scene 17 ... 89

4.2.2.7 Tampilan Visual Scene 18 ... 93

4.3 Analisis Keseluruhan Iklan LA Lights ... 97

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN ... 101

5.1 Kesimpulan ... 101

5.2 Saran ... 102

DAFTAR TABEL ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 104

(10)
(11)

1.1 Latar Belakang Masalah

Iklan adalah berita atau pesan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:322). Dari definisi diatas, terdapat beberapa komponen utama dalam sebuah iklan yakni “mendorong dan membujuk”. Dengan kata lain, iklan adalah proses penyampaian pesan atau info kepada sebagian atau seluruh khalayak mengenai penawaran suatu produk atau jasa dengan menggunakan media dan harus memiliki sifat persuasi.

Iklan tidak hanya menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lain seperti gambar, warna, dan bunyi. Pada dasarnya lambang yang digunakan dalam iklan terdiri dari dari dua jenis yaitu verbal dan non verbal. Lambang verbal adalah bahasa yang kita kenal, lambang non verbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan yang tidak secara khusus meniru rupa atas bentuk realitas.

(12)

memperhatikan etika dan norma-norma sosial yang berlaku dan berkembang di masyarakat. Sedangkan dari aspek estetis, iklan tersebut sedapat mungkin membutuhkan apresiasi masyarakat terhadap apa yang disebut dengan nilai-nilai keindahan. Dengan kata lain, iklan dapat mempengaruhi pola pikir dan pandangan khalayak akan sesuatu yang berujung pada perubahan sikap secara sosial kultural. Untuk aspek artistik, iklan yang disajikan sebaiknya mampu merepresentasikan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh produsen (pengiklan) secara optimal. Sehingga akan berakibat pada terbentuknya kesan atau

image positif pada khalayak sasaran yang dituju, lain halnya dengan etika bisnis, seperti yang disampaikan oleh (Sumartono, 2002:134) bahwa materi atau isi pesan yang disajikan dalam iklan harus mengandung atau berisi tentang informasi yang jelas, akurat, faktual dan lengkap sesuai dengan kenyataan dari produk atau jasa yang ditawarkannya.

(13)

sebuah cerminan dari produk yang diiklankan, namun hal tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Seringkali iklan terperangkap di dalam skema permainan tanda (free play of sign), dalam rangka menciptakan citra palsu sebuah produk yang seringkali mengabaikan bagian integral, substansial atau fungsional produk tersebut. Akan tetapi melalui kemampuan retorika sebuah iklan, citra-citra tersebut justru menjadi model rujukan dalam mempresentasikan produk.

Suatu iklan juga didasarkan pada konsep segmen-segmen yang akan dituju. Definisi dari segmen itu sendiri adalah kelompok masyarakat tertentu yang menjadi sasaran penjualan suatu produk. Segmen harus diketahui dan ditentukan oleh pengiklan agar tidak salah sasaran. Dengan kata lain, iklan tersebut efektif dalam menyampaikan pesan atau informasi produk seperti yang dikehendaki oleh pengiklan

(14)

Iklan memperlihatkan nilai-nilai kehidupan pada setiap zamannya. Iklan barang dan jasa menunjukkan suatu gambaran, bagaimana orang hidup dan menginginkan kehidupannya (Suhandang, 2010:13).

Citra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rupa; gambar; gambaran. Sedangkan pencitraan yang berdasarkan kata citraan memiliki makna cara membentuk citra mental pribadi, atau gambaran sesuatu (KBBI, 1990:169). Pasti semua orang menyukai dicitrakan sebagai orang baik, atau berpribadi unggul. Orang yang memiliki citra baik akan teruntungkan dalam banyak hal (http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1824-pencitraan-diri.html).

Citra diri menurut H. Fadhil Zainal Abidi adalah anggapan yang tertanam dalam pikiran bawah sadar seseorang tentang dirinya sendiri. Citra diri bisa tertanam dalam pikiran bawah sadar oleh pengaruh orang lain, pengaruh lingkungan, pengalaman masa lalu atau sengaja ditanamkan oleh pikiran sadar. Ditambahkan lagi bahwa Citra diri merupakan blueprint kehidupan seseorang, ia akan menjalani kehidupannya sesuai gambaran mental yang ada dalam citra dirinya. ( http://www.scribd.com/doc/52467716/22700858-Hubungan-Antara-

Citra-Diri-Dan-Motivasi-Berprestasi-Mahasiswa-Penerima-Beasiswa-Bantuan-Belajar-Fip-Um.html).

(15)

sendiri juga adalah sebuah merk yang harus dijaga reputasinya. Bila reputasi sudah bagus dan terpercaya, seseorang kemudian bisa merencanakan beberapa pengembangan diri agar cita-cita hidup yang

belum tercapai bisa segera diraih

(http://kosmo.vivanews.com/news/read/164699-membangun-citra-diri-positif). Sebuah merk itu mahal sekali, sama seperti sebuah pencitraan diri untuk seseorang. Bukan cuma produk yang perlu menjaga image, diri seseorang juga perlu di-branding.

Gambaran penilaian diri kita atau cara memandang diri sendiri adalah konsep diri. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetpi juga penilaian anda tentang diri anda. Anita Taylor mendefinisikan konsep diri sebagai „all you think and feel about you,

the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself‟ (Taylor dalam Rakhmat, 2004:100). Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra-diri (self

image), dan komponen afektif disebut harga-diri (self esteem).

(16)

cara-cara objektif tentang siapa dan apa dia itu. Karena orang memiliki kebutuhan untuk berperilaku secara konsisten dengan citra diri mereka, maka persepsi diri sendiri akan membentuk sebagian dasar kepribadian mereka. Dengan bertindak secara konsisten dengan citra diri mereka, para konsumen mempertahankan hargai diri mereka dan memperoleh prediktabilitas dalam berinteraksi dengan orang lain.

Orang yang memiliki citra diri positif bisa melihat bahwa hidupnya jauh lebih indah dari segala krisis dan kegagalan jangka pendek yang harus dilewatinya. Segala upaya yang dijalaninya dengan tekun akan mengalahkan masalah yang sedang terjadi dan meraih kembali kesuksesan yang sempat diraih. Secara alamiah akan membangun rasa percaya diri, yang merupakan salah satu kunci sukses. Citra diri yang positif dapat mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Selain itu, orang yang mempunyai citra diri positif senantiasa mempunyai inisiatif untuk menggulirkan perubahan

positif bagi lingkungannya

(http://www.slideshare.net/deepyudha/membangun-citra-diri-11725860.html).

(17)

memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Ia benar-benar tidak tahu siapa dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya atau apa yang dihargai dalam hidupnya. Kondisi ini umumnya dialami oleh remaja. Konsep diri mereka kerapkali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan hal ini terjadi pada masa transisi dari peran anak ke peran orang dewasa. Tetapi pada orang dewasa hal ini merupakan suatu tanda ketidakmampuan menyesuaikan.

Kedua, dari konsep diri negatif hampir merupakan kebalikan dari tipe yang pertama. Di sini konsep diri terlalu stabil dan terlalu teratur, dengan kata lain, kaku. Mungkin karena didikan orang tua yang terlalu keras, individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak mengijinkan adanya penyimpangan dari aturan-aturan yang menurutnya merupakan cara hidup yang tepat. Brook dan Emmert (Rahmat, 1985) menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif antara lain :

1. Peka terhadap kritik

2. Responsif terhadap pujian, meskipun ia berpura-pura untuk menghindarinya.

3. Hiperkritis terhadap orang lain.

4. Merasa tidak disenangi oleh orang lain, sehingga sulit menciptakan kehangatan dan keakraban dengan orang lain. 5. Pesimis terhadap kompetisi.

(18)

Perasaan individu bahwa ia tidak mempunyai kemampuan yang ia miliki. Padahal segala keberhasilan banyak bergantung kepada cara individu memandang kualitas kemampuan yang dimiliki. Pandangan dan sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang sulit untuk diselesaikan (www.belajarpsikologi.com).

Seringkali permasalahan yang terkait dengan citra diri adalah ketidakpercayadirian. Orang yang tidak percaya diri atau minder sulit untuk mengembangkan kemampuan dirinya kearah yang lebih baik karena orang yang percaya diri adalah ketika orang tersebut yakin bisa dan punya kapasitas untuk mendapatkan apapun yang Anda inginkan di dalam hidup ini, dan bisa mengatasi situasi seperti apapun (www.percayadiri.com). Selain minder, permasalahan yang berkaitan adalah berpura-pura atau menutupi sesuatu hal yang negatif agar bisa memenuhi keinginan-keinginan tertentu seperti misalnya ingin dilihat sebagai pribadi yang baik, mengikuti aturan atau tata cara tertentu dalam sebuah kelompok.

(19)

peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat nonverbal (Knapp dalam Mulyana, 2007:347).

Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari, namun tidaklah mudah memberikan definisi yang dapat diterima semua pihak. Littlejohn (1999) memberikan definisi komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara individu-individu. Komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara verbal maupun nonverbal.

(20)

model dalam iklan tersebut. Iklan ini merepresentasikan citra diri positif yang ingin ditampilkan dalam setiap kegiatan. Model-model yang terdapat pada iklan ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki keinginan untuk menjadi pribadi yang baik dengan menunjukkan citra diri positif. Citra diri yang positif diwakilkan dengan penggunaan topeng. Topeng tersebut digunakan untuk mengkamuflasekan ekspresi sebenarnya yaitu, mengantuk pada adegan berjalan, tertarik kepada wanita lain pada adegan memberikan bunga dan muak pada adegan pamer perhiasan. Topeng adalah penutup muka dari kayu, kertas yang menyerupai muka orang, binatang, dan sebagainya. Arti kata lain dari topeng adalah kepura-puraan untuk menutupi maksud sebenarnya (http://www.artikata.com/arti-354906-topeng.html). Ekspresi-ekspresi seperti bosan, malas, mengantuk, pamer yang ditunjukkan oleh model-model yang berada di iklan ini adalah perwujudan dari hal negatif yang dimiliki setiap manusia namun berusaha ditutupi dengan memunculkan citra diri yang positif melalui penggunaan topeng yang berekspresi gembira.

(21)

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengungkapkan representasi dibalik iklan tersebut dengan melakukan penelitian menggunakan teori yang sesuai dengan objek penelitian, peneliti tertarik untuk melihat begitu menariknya tanda-tanda yang terkandung dalam sebuah iklan, maka jalan terbaik untuk mengamati sebuah iklan adalah dengan menggunakan analisis semiotik.

Komunikasi sebagai sebuah proses dapat disebut apabila tercapai kesamaan makna terhadap informasi yang dipertukarkan antara komunikan dan komunikator. Untuk itu diperlukan perpaduan yang tepat antara kode-kode, media, dan konteks untuk menyampaikan informasi dengan cepat, hemat, akurat. Proses tersebut tidak bisa lepas dari kenyataan bahwa manusialah yang menterjemahkan informasi yang didapatkan dari media tertentu dalam konteks khusus dan memaknainya, istilah semiotik disini berperan.

(22)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Representasi Citra Diri Terhadap Iklan LA. Lights Versi Bersandiwara?”.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana representasi citra diri pada iklan rokok LA Lights versi Bersandiwara.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Kegunaan teoritis

Analisis semiotik ini bermanfaat untuk memberikan penggambaran tentang citra diri yang berkaitan dengan komunikasi interpersonal.

2. Kegunaan praktis

(23)

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Periklanan

Dalam konsep bahasa yang sederhana, „iklan‟ memiliki arti

„menarik perhatian kepada sesuatu‟ atau menunjukkan atau memberi

informasi kepada seseorang atas suatu hal (Dyer, 1996:2). Dyer juga

menambahkan bahwa pada awalnya fungsi utama dari sebuah iklan

adalah untuk memperkenalkan berbagai variasi barang kepada publik

sehingga mendukung terciptanya perekonomian bebas. Istilah iklan

sendiri berasal dari bahasa inggris yaitu Advertising yang menunjukkan suatu proses atau kegiatan komunikasi yang melibatkan pihak-pihak

sponsor (pemasang iklan atau advertiser), media massa, atau agen periklanan (biro iklan). Ciri utama dari kegiatan tersebut adalah

kegiatan pembayaran yang dilakukan para pemasang iklan melalui biro

iklan atau langsung kepada media massa terkait atas dimuatnya atau

disiarkannya penawaran barang dan jasa yang dihasilkan si pemasang

iklan tersebut (Aaker dalam Widyatama, 2007:7).

Namun seiring dengan perkembangan jaman, dunia periklanan

telah menjadi semakin jauh terlibat dalam manipulasi nilai-nilai sosial

dan perilaku, menampilkan wajah komersialisasi secara dominan

(24)

pengiklan dan pada akhirnya semakin tidak berkaitan langsung dengan

esensi komunikasi (dalam hal ini, media massa) mengenai informasi tentang barang dan jasa dan pada akhirnya menjadikan media sebagai

bagian dari sistem kapitalisme global.

Iklan yang baik sangat penting bagi pemasaran. Iklan akan

meningkatkan kepercayaan masyarakat pada produk yang

dipromosikan. Iklan dapat membuat penjualan meningkat dan

memperendah biaya produksi. Tujuan dasar iklan adalah memenangkan

hati dan pikiran sasaran pasar. Dalam kondisi dan situasi pasar yang

makin kompetitif, pencipta iklan harus kreatif sehingga iklan yang

diciptakannya dapat berdampak positif. (Kuswandi, 2008:113)

Menurut pandangan Dunn dan Barban (1978) bahwa iklan

merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan

lewat media dengan membayar ruang yang dipakainya untuk

menyampaikan pesan yang bersifat membujuk (persuasif) kepada

konsumen oleh perusahaan, lembaga non komersial, maupun pribadi

yang berkepentingan (Widyatama,2007:15)

Dari beberapa pengertian iklan terdapat enam prinsip dasar yang

terkandung dalam iklan, yaitu:

1. Adanya pesan tertentu, sebuah iklan tidak akan ada tanpa

(25)

2. Dilakukan oleh komunikator (sponsor), pesan iklan ada karena

dibuat oleh komunikator.

3. Dilakukan dengan cara non personal, dari beberapa pengertian iklan, hampir semua berpendapat bahwa iklan merupakan

penyampaian pesan yang dilakukan secara non personal.

4. Disampaikan untuk khalayak tertentu, iklan diciptakan oleh

komunikator karena ingin ditujukan kepada khalayak tertentu.

5. Dalam penyampaian pesan tersebut, dilakukan dengan cara

membayar.

6. Penyampaian pesan tersebut, mengharapkan dampak tertentu.

Dalam sebuah visualisasi iklan, seluruh pesan dalam iklan

semestinya merupakan pesan yang efektif.

(Widyatama,2007:16)

Kesimpulannya, secara prinsip iklan adalah bentuk penyajian pesan

yang dilakukan oleh komunikator secara non personal melalui media

untuk ditujukan pada komunikan dengan cara membayar.

2.1.1.1 Iklan sebagai Bentuk Komunikasi Massa

Periklanan adalah suatu cara untuk menciptakan kesadaran dan

pilihan. Iklan ada karena ia memiliki fungsi. Dilihat sebagai alat, iklan

(26)

kemana komunikator hendak mengarahkan pesannya

(Widyatama,2005:144).

Iklan memiliki beberapa tujuan yaitu tujuan jangka pendek yang

artinya iklan diharapkan mampu memberikan dampak segera setelah

iklan disampaikan di tengah masyarakat. Berbeda dengan tujuan jangka

pendek iklan juga memiliki tujuan jangka panjang yaitu, dampak yang

baru dapat dipetik dalam kurun waktu yang lama setelah iklan

diluncurkan. Iklan tidak sekedar menjual barang; ia juga

menginformasikan, membujuk, menawarkan status, membangun citra,

dan bahkan menjual mimpi. Pendeknya, iklan merekayasa kebutuhan

dan dan menciptakan ketergantungan psikologis (Hamelink, 1983:16).

Karena sifatnya yang persuasif, iklan menurut Tilman dan Kirk Patrick

merupakan komunikasi massa yang menawarkan janji kepada

konsumen.

Melalui pesan yang informatif sekaligus persuasif mereka

menjanjikan :

1. Adanya barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan.

2. Tempat memperolehnya,

3. Kualitas dari barang dan jasa

Menurut Alo Liliweri (1998), iklan mempunyai fungsi yang

sangat luas. Fungsi-fungsi tersebut meliputi, fungsi pemasaran, fungsi

(27)

Fungsi pemasaran adalah fungsi iklan yang diharapkan untuk

membantu pemasaran atau menjual produk. Artinya, iklan digunakan

untuk mempengaruhi khalayak untuk membeli dan mengkonsumsi

produk. Yang kedua adalah fungsi komunikasi artinya, bahwa iklan

sebenarnya merupakan sebentuk pesan dari komunikator kepada

khalayaknya. Fungsi yang ketiga menurut Liliweri adalah fungsi

pendidikan. Fungsi ini mengandung makna bahwa iklan merupakan alat

yang dapat membantu mendidikan khalayak mengenai sesuatu agar

mengetahui dan mampu melakukan sesuatu. Fungsi keempat dari iklan

adalah fungsi ekonomi, yang artinya iklan mampu menjadi penggerak

agar kegiatan ekonomi tetap dapat berjalan. Yang terakhir adalah fungsi

sosial. Dalam fungsi ini iklan ternyata telah mampu menghasilkan

dampak sosial psikologis yang cukup besar, iklan membawa berbagai

pengaruh dalam masyarakat, misalnya munculnya budaya

konsumerisme, menciptakan status sosial baru, menciptakan budaya

pop dan sebagainya. Karena iklan ditujukan untuk khalayak ramai,

maka dengan demikian iklan bukan merupakan komunikasi

interpersonal melainkan non personal. Oleh karena itu, tepat rasanya

bila komunikasi semacam ini digolongkan dalam bentuk komunikasi

massa. Iklan memang menonjolkan sifat persuasifnya, yakni bagaimana

seorang individu berubah sikap sebagai hasil transaksi dengan pihak

(28)

Komunikasi massa dapat diartikan sebagai suatu proses dimana

komunikator secara profesional menggunakan media massa didalam

menyebarkan pesannya guna mempengaruhi khalayak banyak, baik

menggunakan media massa cetak maupun elektronik.

2.1.1.2 Iklan Televisi

Televisi sebagai media massa yang merupakan media dari

jaringan komunikasi yang berlangsung satu arah, komunikatornya

melembaga, mempunyai pesan bersifat umum atau luas sasarannya

menimbulkan keserempakan serta komunikasinya bersifat heterogen.

Kelebihan televisi yaitu bersifat audio visual, artinya dapat dilihat dan

didengar (Effendy, 1991:24).

Iklan menjadi wacana penting dalam bisnis, terutama dalam

proses membangun merek atau branding. Kegiatan periklanan yang efektif dipandang mampu mempengarui kecenderungan mengkonsumsi

dalam masyarakat. Iklan yang efektif juga akan mengubah pengetahuan

publik mengenai ketersediaan dan karakteristik sebuah produk,

elastisitas permintaan produk akan sangat dipengaruhi aktivitas

periklanan. Iklan televisi atau TVC sesungguhnya hanya sebagian kecil

dalam proses branding, masih banyak elemen-elemen lain dalam

mencapai sebuah merek yang kuat dan (diharapkan) mempunyai brand

life cycle yang panjang bahkan abadi.

Periklanan dipandang sebagai media paling lazim digunakan

(29)

konsumen. Iklan ditujukan untuk mempengaruhi perasaan,

pengetahuan, makna, kepercayaan, sikap dan citra konsumen yang

berkaitan dengan suatu produk atau merk. Tujuan ini bermuara pada

upaya mempengaruhi perilaku konsumen dalam membeli, meskipun

tidak secara langsung berdampak pada pembelian. Iklan menjadi sarana

untuk membantu pemasaran yang efektif dalam menjalin komunikasi

antara perusahaan ke konsumen dan sebagai upaya perusahaan dalam

menghadapi pesaing. Kemampuan ini muncul karena adanya suatu

produk yang dihasilkan suatu perusahaan. Bagaimanapun bagusnya

suatu produk jika harus dirahasiakan dari konsumen maka tidak ada

gunanya.

Pada dasarnya media televisi bersifat transistory atau hanya sekilas dan penyampaian pesannya dibatasi oleh durasi (jam, menit,

detik). Pesan dari televisi memiliki kelebihan tersendiri, tidak hanya

didengar tetapi juga dapat dilihat dalam gambar yang bergerak (audio

visual). Televisi merupakan media yang paling disukai oleh para

pengiklan. Hal tersebut disebabkan keistimewaan televisi yang

mempunyai unsur audio dan visual, sehingga para pengiklan percaya

bahwa televisi mampu menambah daya tarik iklan dibanding media

lain. Televisi juga diyakini sangat berorientasi mengingatkan khalayak

sasaran terhadap pesan yang disampaikan (Kasali,1992:172).

Televisi memiliki daya tarik yang sangat kuat melebihi media

(30)

hidup yang menimbulkan kesan mendalam bagi penontonnya. Televisi

menimbulkan dampak yang kuat bagi pemirsanya. Hal ini disebabkan

karena adanya tekanan pada sekaligus kedua indera, yakni pengelihatan

dan pendengaran, selain itu televisi juga memiliki kombinasi gerak dan

suara.

Untuk tujuan komersial, televisi dipandang sebagai media yang

efektif karena televisi memiliki kemampuan menjangkau khalayak

sasaran yang sangat luas dan televisi memiliki kemampuan yang kuat

untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Masyarakat lebih

sering meluangkan waktunya didepan televisi guna mendapatkan

informasi dan hiburan. Televisi telah menjadi cerminan budaya

tontonan pemirsa dalam era informasi dan komunikasi saat ini.

2.1.2 Citra Diri

Citra dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah rupa; gambar;

gambaran. Sedangkan pencitraan yang berdasarkan kata citraan

memiliki makna cara membentuk citra mental pribadi, atau gambaran

sesuatu (KBBI, 1990:169).

Citra diri terbentuk dari sebuah konsep tentang diri yaitu

pandangan dan perasaan kita tentang diri kita dapat bersifat psikologi,

sosial dan fisis (Brooks dalam Rakhmat, 2007:99). Terdapat dua

komponen konsep diri; komponen afektif dan komponen kognitif.

Dalam psikologi sosial, komponen afektif disebut harga diri (

(31)

Faktor-faktor pembentuk citra diri terdiri dari campur tangan dari

orang lain dan kelompok rujukan (reference group). Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana orang lain

menilai diri seseorang akan membentuk konsep diri orang tersebut.

Konsep diri yang telah berubah menjadi citra diri ini sudah terbentuk

dan akan selalu ingin dipertahankan sehingga menimbulkan bias apakah

citra tersebut timbul karena kemampuan diri orang tersebut atau karena

pujian orang lain. Ada kelompok yang secara emosional mengikat kita,

dan berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri kita yang disebut

dengan kelompok rujukan. Citra diri seseorang yang mengikuti sebuah

kelompok rujukan akan menyesuaikan dengan ciri-ciri kelompoknya.

Gambaran penilaian diri kita atau cara memandang diri sendiri

adalah konsep diri. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran

deskriptif, tetapi juga penilaian anda tentang diri anda. Anita Taylor

mendefinisikan konsep diri sebagai „all you think and feel about you,

the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself‟ (Taylor dalam Rakhmat, 2004:100). Dengan demikian, ada dua

komponen konsep diri: komponen kognitif dan komponen afektif.

Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra-diri (self

image), dan komponen afektif disebut harga-diri (self esteem).

Supranto dan Limakrisna (2007:139), “citra diri didefinisikan

sebagai keseluruhan pemikiran dan perasaan individu yang merujuk

(32)

dan Minor (2002 : 271), “citra diri merupakan totalitas pikiran dan

perasaan individu yang mereferensikan dirinya sendiri sebagai objek.”

Hal ini seolah-olah individu „berubah sama sekali‟ dan mengevaluasi

cara-cara objektif tentang siapa dan apa dia itu. Karena orang memiliki

kebutuhan untuk berperilaku secara konsisten dengan citra diri mereka,

maka persepsi diri sendiri akan membentuk sebagian dasar kepribadian

mereka. Dengan bertindak secara konsisten dengan citra diri mereka,

para konsumen mempertahankan hargai diri mereka dan memperoleh

prediktabilitas dalam berinteraksi dengan orang lain.

Orang yang memiliki citra diri positif bisa melihat bahwa

hidupnya jauh lebih indah dari segala krisis dan kegagalan jangka

pendek yang harus dilewatinya. Segala upaya yang dijalaninya dengan

tekun akan mengalahkan masalah yang sedang terjadi dan meraih

kembali kesuksesan yang sempat diraih. Secara alamiah akan

membangun rasa percaya diri, yang merupakan salah satu kunci sukses.

Citra diri yang positif dapat mendorong seseorang untuk melakukan

sesuatu yang lebih baik. Selain itu, orang yang mempunyai citra diri

positif senantiasa mempunyai inisiatif untuk menggulirkan perubahan

yang bersifat positif bagi lingkungan sekitarnya

(http://www.slideshare.net/deepyudha/membangun-citra-diri-11725860).

Seringkali karena pencitraan diri yang negatif, akan

(33)

diharapkan atau dari norma umum yang berlaku dalam masyarakat.

Menurut Coulhoun (1990) ada dua jenis konsep diri negatif. Pertama,

pandangan seseorang tentang dirinya benar-benar tidak teratur. Ia tidak

memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Ia benar-benar tidak tahu siapa

dirinya, apa kekuatan dan kelemahannya atau apa yang dihargai dalam

hidupnya. Kondisi ini umumnya dialami oleh remaja. Konsep diri

mereka kerapkali menjadi tidak teratur untuk sementara waktu dan hal

ini terjadi pada masa transisi dari peran anak ke peran orang dewasa.

Tetapi pada orang dewasa hal ini merupakan suatu tanda

ketidakmampuan menyesuaikan.

Kedua, dari konsep diri negatif hampir merupakan kebalikan dari

tipe yang pertama. Di sini konsep diri terlalu stabil dan terlalu teratur,

dengan kata lain, kaku. Mungkin karena didikan orang tua yang terlalu

keras, individu tersebut menciptakan citra diri yang tidak mengijinkan

adanya penyimpangan dari aturan-aturan yang menurutnya merupakan

cara hidup yang tepat. Brook dan Emmert (Rahmat, 1985) menyebutkan

ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif antara lain :

1. Peka terhadap kritik

2. Responsif terhadap pujian, meskipun ia berpura-pura

menghindarinya.

3. Hiperkritis terhadap orang lain.

4. Merasa tidak disenangi oleh orang lain, sehingga sulit

(34)

5. Pesimis terhadap kompetisi.

(http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aktualisasi_diri/bab3-konsep_diri.pdf).

Perasaan individu bahwa ia tidak mempunyai kemampuan yang ia

miliki. Padahal segala keberhasilan banyak bergantung kepada cara

individu memandang kualitas kemampuan yang dimiliki. Pandangan

dan sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki

mengakibatkan individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal

yang sulit untuk diselesaikan (www.belajarpsikologi.com).

Seringkali permasalahan yang terkait dengan citra diri adalah

ketidakpercayadirian. Orang yang tidak percaya diri atau minder sulit

untuk mengembangkan kemampuan dirinya kearah yang lebih baik

karena orang yang percaya diri adalah ketika orang tersebut yakin bisa

dan punya kapasitas untuk mendapatkan apapun yang Anda inginkan di

dalam hidup ini, dan bisa mengatasi situasi seperti apapun

(www.percayadiri.com). Selain minder, permasalahan yang berkaitan

adalah berpura-pura atau menutupi sesuatu hal yang negatif agar bisa

memenuhi keinginan-keinginan tertentu seperti misalnya ingin dilihat

sebagai pribadi yang baik, mengikuti aturan atau tata cara tertentu

(35)

2.1.3 Komunikasi Nonverbal

Citra diri yang ditampilkan seseorang dapat dimunculkan dengan

cara verbal dan nonverbal. Seringkali tanda-tanda yang di tampilkan

secara nonverbal inilah yang memberikan banyak makna. Istilah

nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua peristiwa

komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama

kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku nonverbal

ini ditafsirkan melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini,

peristiwa dan perilaku nonverbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat

nonverbal (Knapp dalam Mulyana, 2007:347).

Tidak ada struktur yang pasti mengenai hubungan antara

komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal. Akan tetapi, kita dapat

menemukan setidaknya tiga perbedaan pokok antara komunikasi verbal

dan komunikasi nonverbal. Pertama, sementara perilaku verbal adalah

saluran tunggal, perilaku nonverbal bersifat multisaluran. Kata-kata

datang dari satu sumber, tetapi isyarat nonverbal dapat dilihat, didengar,

dirasakan, dibaui, atau dicicipi, dan beberapa isyarat boleh jadi

berlangsung secara simultan (Verderber dalam Rakhmat, 2007:348).

Kedua, pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal

sinambung. Artinya orang dapat mengawali dan mengakhiri pesan

verbal kapanpun ia menghendakinya, sedangkan pesan nonverbalnya

tetap mengalir, sepanjang ada orang yang hadir di dekatnya. Ketiga,

(36)

daripada komunikasi verbal. Kata-kata umumnya digunakan untuk

menyampaikan kata-kata sedangkan pesan nonverbal lebih potensial

untuk menyatakan perasaan seseorang.

Petunjuk-petunjuk nonverbal yang dapat merepresentasikan citra

diri seseorang dapat dijabarkan melalui beberapa petunjuk, antara lain:

1. Deskripsi verbal, rangkaian kata sifat dari persepsi

seseorang untuk menggambarkan diri anda seperti

humoris, kritis, mudah bergaul, pemarah, pendiam, dan

sebagainya.

2. Petunjuk proksemik, jarak yang dibuat oleh individu

dalam hubungannya dengan orang lain menunjukkan

tingkat keakraban di antara mereka. Robert T. Hall

menamakan studinya dengan istilah proxemic (Sunarto, 2002). Hall membagi jarak dalam interaksi sosial

menjadi 4 batasan jarak, yaitu:

a. Jarak intim, yaitu interaksi yang terjadi dengan

jarak 0 – 45 cm. Hubungan ini melibatkan secara

intensif panca indera kita misalnya, penglihatan,

bau badan, suhu badan, suara, sentuhan kulit,

hembusan nafas.

b. Jarak pribadi, yaitu pada jarak interaksi 45 cm

hingga 1,22 m. Pada jarak ini penggunaan panca

(37)

biasanya dengan orang-orang yang memiliki

hubungan yang dekat misalnya keluarga,

suami-istri. Jarak terjauh adalah interaksi yang terjadi saat

berolah raga atau senam dengan jarak rentangan

kedua tangan. Pada jarak ini hubungan relatif dekat

dan dengan orang yang tentunya telah kita kenal.

c. Jarak sosial, yaitu pada jarak interaksi 1,22 m

hingga 3,66 m. Pada jarak ini interaksi terjadi dalam

pembicaraan normal namun tidak saling

menyentuh. Biasanya, jarak ini terjadi dengan

melibatkan beberapa pihak dalam kegiatan kerja

sama informal. Sedangkan jarak terjauh dari jarak

pribadi terjadi dalam kerja sama formal. Interaksi

sosial dapat terjadi walaupun posisi keduanya

berada pada jarak yang cukup jauh misalnya

melalui telepon. Pada jarak ini interaksi terjadi di

antara individu-individu yang saling mengenal dan

tidak selalu mengenal secara dekat.

d. Jarak publik, yaitu interaksi yang ini terjadi pada

jarak lebih dari 3,66 m. Jarak ini terjadi pada saat

individu harus berbicara di depan umum.

Pembicaraan pada jarak ini memerlukan

(38)

interaksinya, semakin keras suara yang dikeluarkan

(http://www.docstoc.com/docs/26427318/Interaksi-Sosial).

3. Petunjuk artifaktual, meliputi segala macam

penampilan (appearance) sejak potongan tubuh,

kosmetik yang dipakai, baju, tas, pangkat, badge dan

atribut-atribut lainnya (Rakhmat, 2007:88). Setiap

orang memiliki cara untuk menunjukkan dirinya

melalui atribut-atribut yang dikenakan.

4. Petunjuk wajah, wajah sudah lama menjadi informasi

dalam komunikasi interpersonal. Inilah alat yang sangat

penting dalam menyampaikan makna. Dalam beberapa

detik ungkapan wajah dapat menggerakkan kita ke

puncak keputus-asaan. Kita menelaah wajah rekan dan

sahabat kita untuk perubahan-perubahan halus dan

nuansa makna dan mereka pada gilirannya, menelaah

kita (Leathers dalam Rakhmat, 2007:87).

5. Petunjuk kinesik, yaitu perepresentasian gerakan tubuh

seseorang. Sikap tubuh seseorang yang digambarkan

dengan ungkapan-ungkapan seperti membusungkan

dada (sombong), berdiri tegak (berani), bertopang dagu

(sedih), menadahkan tangan (bermohon), dan

(39)

sehingga bila petunjuk-petunjuk lain seperti ucapan

bertentangan dengan petunjuk kinesik, orang

mempercayai yang terakhir. Karena petunjuk kinesik

adalah yang paling sukar untuk dikendalikan secara

sadar oleh orang yang menjadi stimuli.

6. Petunjuk paralinguistik, yaitu cara bagaimana orang

mengucapkan lambang-lambang verbal. Ini meliputi

tinggi rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal

(dialek), dan interaksi (perilaku ketika melakukan

komunikasi).

2.1.3.1 Ekspresi Wajah dan Tatapan Mata

Banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling

banyak “berbicara” adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata,

meskipun mulut tidak berkata-kata. Okuleksika (Oculesic) merujuk pada studi tentang penggunaan kontak mata dalam berkomunikasi.

Menurut Albert Mehrabian, andil wajah bagi pengaruh pesan adalah

55%, sementara vokal 30%, dan verbal hanya 7% (Mehrabian,

1974:87).

Kontak mata punya dua fungsi dalam komunikasi antarpribadi.

Pertama, fungsi pengatur, untuk memberi tahu orang lain apakah anda

(40)

Kedua, fungsi ekspresif, memberi tahu bagaimana perasaan anda

terhadapnya (Wenburt dan Wilmort, 108).

Ekspresi wajah merupakan perilaku nonverbal utama yang

mengekspresikan keadaan emosional seseorang. Sebagian pakar

mengakui, terdapat beberapa keadaan emosional yang dikomunikasikan

oleh ekspresi wajah yang tampaknya dipahami secara universal:

kebahagiaan, kesedihan, ketakkutan, keterkejutan, kemarahan, kejijikan

dan minat. Ekspresi-ekspresi wajah tersebut dianggap “murni”,

sedangkan keadaan emosional lainnya (misalnya rasa malu, rasa

berdosa, bingung, puas) dianggap “campuran”, yang umumnya lebih

bergantung pada interpretasi (Kayle, 108).

2.1.3.2 Artefak

Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan

manusia. Aspek ini merupakan perluasan lebih jauh dari pakaian dan

penampilan. Benda-benda yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan

hidup manusia dan dalam interaksi manusia, sering mengandung

makna-makna tertentu. Benda-benda yang terdapat di lingkungan kita

adalah pesan-pesan bersifat nonverbal, sejauh dapat diberi makna

(Rakhmat, 2007:433).

2.1.3.3 Busana

Sebagian orang berpandangan bahwa pilihan seseorang atas

(41)

konservatif, religius, modern, atau berjiwa muda. Tidak dapat pula

dibantah bahwa pakaian, seperti juga rumah, kendaraan, perhiasan,

digunakan untuk memproyeksikan citra tertentu yang diinginkan

pemakainya. Penampilan merupakan salah satu bagian penting dari

pembentukan citra diri. Penampilan bertugas untuk menciptakan kesan

pertama siapa diri anda yang akan mempengaruhi proses komunikasi

selanjutnya (http://www.jakartaconsulting.com/art-13-02.htm).

2.1.4 Komunikasi Sebagai Proses Simbolik

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS

Poerwadinata disebutkan, simbol atau lambang adalah semacam tanda,

lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu

hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya warna putih

merupakan lambang kesucian, lambang padi merupakan lambang

kemakmuran, dan kopiah merupakan salah satu tanda pengenal bagi

warga negara Indonesia. (Sobur,2004:156)

Dalam “bahasa” komunikasi, simbol seringkali diistilahkan

sebagai lambang. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang

dipergunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan

kesepakatan kelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan

verbal), perilaku non verbal, dan objek maknanya disepakati bersama,

misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan

(42)

menggunakan lambang verbal memungkinkan perkembangan bahasa

dan menangani hubungan antara manusia dengan objek tersebut.

(Sobur,2004:157)

Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda

dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun

ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan. Ikon adalah suatu

benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang

direpresentasikannya. Representasi itu ditandai dengan kemiripan,

misalnya patung Soekarno adalah ikon Soekarno dan foto anda pada

KTP adalah ikon anda. (Mulyana,2005:84)

Pada intinya dalam berkomunikasi, secara tidak langsung pesan

yang kita komunikasikan terhadap orang lain akan mengandung

simbol-simbol yang dalam penerimaannya simbol-simbol tersebut dapat dimengerti

bergantung sesuai dengan kehidupan sosial budaya dari masing-masing

individu yang menerima pesan tersebut.

2.1.5 Representasi

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia representasi berarti apa

yang mewakili atau perwakilan. Piliang (2003:21), dalam bukunya

Hipersemiotika, mengungkapkan bahwa representasi merupakan

tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar

dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol. Representasi juga berarti

(43)

penandaan yang tersedia; dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb.

Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

Ada empat komponen dasar dalam industri media yang mengemas

pesan dan produk :

1. Khalayak yang memperoleh pesan dan mengkonsumsi produk

2. Pesan atau produk itu sendiri

3. Teknologi yang selalu berubah, yang membentuk baik industri

maupun bagaimana pesan tersebut dikomunikasikan.

4. dan penampakan akhir dari produk itu tersebut.

Komponen – komponen ini yang secara bersamaan berinteraksi di

sekitar dunia sosial dan budaya, menempati suatu ruang yang

diperjuangkan secara terus – menerus. Perubahan garis bentuk ruang ini

dapat menimbulkan pola-pola dominasi dan representasi yang

berbeda-beda. Film dan televisi mempunyai bahasa sendiri dengan sintaksis

(susunan kalimat) dan tata bahasa yang berbeda.

Tata bahasa ini terdiri dari bermacam unsur yang akrab, seperti

pemotongan gambar (cut), pengambilan gambar jarak dekat (close up), pengambilan dua gambar (two shot), dan lain-lain. Akan tetapi, bahasa tersebut juga meliputi kode-kode representasi yang lebih halus, yang

tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah

hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbiter (berubah-ubah)

serta metafora. Tingkatan representasi yang paling sederhana mencakup

(44)

video mulai bermain begitu khalayak ingin melakukan lebih banyak,

misalnya memperlihatkan wajahnya dari jarak dekat, memperlihatkan

dari depan bergerak menuju kamera, dan dari belakang menjauhi

kamera, dan seterusnya. Representasi gabungan akan mengedit seluruh

pengambilan gambar yang berbeda ke dalam satu rangkaian.

Rangkaian-rangkaian ini merupakan sumber dasar film (Sardar,

Ziaudin, 2005: 156)

Menurut Stuart Hall (1977), representasi adalah salah satu praktek

penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan

konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi.

Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama jika

manusia-manusia yang ada di situ membagi pengalaman yang sama, membagi

kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang

sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara khalayak dalam

memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa

mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem

representasi lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan,

atau gambar) khalayak mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide

tentang sesuatu makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara khalayak

mempresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang khalayak gunakan dalam merepresentasikan sesuatu atau bisa terlihat

(45)

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa

bekerja, khalayak bisa memaknai representasi. Pertama adalah

pendekatan reflektif. Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai cermin

yang merefleksikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang

ada di dunia. Kedua, pendekatan intensional di mana khalayak

menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan

cara pandang khalayak terhadap sesuatu. Dan yang ketiga adalah

pendekatan konstruksionis, pendekatan ini khalayak percaya bahwa

khalayak mengkonstruksikan makna lewat bahasa yang khalayak pakai.

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama,

representasi mental, yaitu konsep tentang “sesuatu” yang ada dikepala

kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih

berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua, adalah bahasa, yang berperan

penting dalam proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada di

dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang “lazim”,

supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang

sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

2.1.6 Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda dan makna (Sobur,2004:15). Secara etimologis istilah semiotika

(46)

didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang

terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.

Menurut Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari

bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan

dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti

bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal sama

objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi

sistem terstruktur dari tanda (Barthes dan Kurniawan dalam Alex

Sobur,2004:15)

Sedangkan menurut John Fiske, semiotika adalah studi tentang

penandaan dan makna dari sistem tanda; ilmu tentang tanda, tentang

bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi tentang

bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang

mengkomunikasikan makna.(Fiske,2004:282)

Terdapat tiga bidang penting dalam studi semiotik,yakni:

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda

yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan

makna, dan cara-cara itu terkait dengan manusia yang

menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa

dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini

(47)

kebutuhan suatu masyarakat atau budaya untuk mengeksploitasi

saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat tanda dan kode bekerja. Ini pada gilirannya

bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk

keberadaan dan bentuknya sendiri (Fiske,2004:60).

Dari beberapa pendapat di atas maka diketahui bahwa semiotika

merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda, tentang bagaimana

memaknai tanda yang ada dalam pesan komunikasi.

2.1.7 Komunikasi Interpersonal

Menurut Devito (1989), komunikasi interpersonal adalah

penyampaian pesan oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang

lain atau sekelompok kecil orang, dengan berbagai dampaknya dan

dengan peluang untuk memberikan umpan balik dengan segera

(Effendy, 2003:30). Definisi lain, dikemukakan oleh Arni Muhammad

(2005:153), komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran

informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya

atau biasanya di antara dua orang yang dapat diketahui langsung

balikannya (komunikasi langsung).

Secara sederhanana dapat dikemukakan suatu asumsi bahwa proses

komunikasi interpersonal akan terjadi apabila ada pengirim

menyampaikan informasi berupa lambang verbal maupun nonverbal

kepada penerima dengan medium suara manusia (human voice),

(48)

dikatakan bahwa dalam proses komunikasi interpersonal terdapat

komponen-komponen komunikasi yang secara integratif saling

berperan sesuai dengan karakteristik komponen itu sendiri, yaitu:

1. Sumber / komunikator

Merupakan orang yang mempunyai kebutuhan untuk

berkomunikasi, yakni keinginan untuk membagi keadaan

internal sendiri, baik yang bersifat emosional maupun

informasional dengan orang lain. Kebutuhan ini dapat berupa

keinginan untuk memperoleh pengakuan sosial sampai pada

keinginan untuk mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang

lain. Dalam konteks komunikasi interpersonal komunikator

adalah individu yang menciptakan, memformulasikan, dan

menyampaikan pesan.

2. Encoding

Encoding adalah suatu aktifitas internal pada komunikator dalam menciptakan pesan melalui pemilihan simbol-simbol

verbal dan nonverbal, yang disusun berdasarkan aturan-aturan

tata bahasa, serta disesuaikan dengan karakteristik komunikan.

Encoding merupakan tindakan memformulasikan isi pikiran ke dalam simbol-simbol, kata-kata, dan sebagainya sehingga

komunikator merasa yakin dengan pesan yang disusun dan cara

(49)

3. Pesan

Merupakan hasil encoding. Pesan adalah seperangkat simbol-simbol baik verbal maupun non verbal, atau gabungan

keduanya, yang mewakili keadaan khusus komunikator untuk

disampaikan kepada pihak lain. Dalam aktivitas komunikasi,

pesan merupakan unsur yang sangat penting. Pesan itulah yang

disampaikan oleh komunikator untuk diterima dan

diinterpretasi oleh komunikan. Komunikasi akan efektif apabila

komunikan menginterpretasi makna pesan sesuai yang

diinginkan oleh komunikator.

4. Saluran

Merupakan sarana fisik penyampaian pesan dari sumber ke

penerima atau yang menghubungkan orang ke orang lain secara

umum. Dalam konteks komunikasi interpersonal, penggunaan

saluran atau media semata-mata karena situasi dan kondisi tidak

memungkinkan dilakukan komunikasi secara tatap muka.

Prinsipnya, sepanjang masih dimungkinkan untuk dilaksanakan

komunikasi secara tatap muka, maka komunikasi interpersonal

tatap muka akan lebih efektif.

5. Penerima / komunikan

Adalah seseorang yang menerima, memahami, dan

menginterpretasi pesan. Dalam proses komunikasi

(50)

melakukan pula proses interpretasi dan memberikan umpan

balik. Berdasarkan umpan balik dari komunikan inilah serang

komunikator akan dapat mengetahui keefektifan komunikasi

yang telah dilakukan, apakah makna pesan dapat dipahami

secara bersama oleh kedua belah pihak yakni komunikator dan

komunikan.

6. Decoding

Decoding merupakan kegiatan internal dalam diri penerima. Melalui indera penerima mendapatkan macam-macam data

dalam bentuk “mentah”, berupa kata-kata dan simbol-simbol

yang harus diubah ke dalam pengalaman-pengalaman yang

mengandung makna. Secara bertahap dimulai dari proses

sensasi, yaitu proses di mana indera menangkap stimuli. Proses

sensasi dilanjutkan dengan persepsi, yaitu proses memberi

makna atau decoding.

7. Respon

Yakni apa yang telah diputuskan oleh penerima untuk dijadikan

sebagai sebuah tanggapan terhadap pesan. Respon dapat

bersifat positif, netral, maupun negatif. Respon positif apabila

sesuai dengan yang dikehendaki komunikator. Netral berarti

respon itu tidak menerima ataupun menolak keinginan

komunikator. Dikatakan respon negatif apabila tanggapan yang

(51)

komunikator. Pada hakikatnya respon merupakan informasi

bagi sumber sehingga ia dapat menilai efektivitas komunikasi

untuk selanjutna menyesuaikan diri dengan situasi yang ada.

8. Gangguan (noise)

Gangguan atau noise atau barier beraneka raga, untuk itu harus didefinisikan dan dianalisis. Noise dapat terjadi di dalam komponen-komponen manapun dari sistem komunikasi. Noise merupakan apa saja yang mengganggu atau membuat kacau

penyampaian dan penerimaan pesan termasuk yang bersifat

fisik dan psikis.

9. Konteks komunikasi

Komunikasi selalu terjadi dalam suatu konteks tertentu, paling

tidak ada tiga dimensi yaitu ruang, waktu, dan nilai. Konteks

ruang menunjuk pada lingkungan kongkrit dan nyata tempat

terjadinya komunikasi, seperti ruangan, halaman, jalanan.

Konteks waktu menunjuk pada waktu kapan komunikasi

tersebut dilaksanakan. Konteks nilai, meliputi nilai sosial dan

budaya yang mempengaruhi suasana komunikasi. Agar

komunikasi interpersonal dapat berjalan secara efektif, maka

masalah konteks komunikasi ini kiranya perlu menjadi

perhatian. Artinya pihak komunikator dan komunikan perlu

(52)

Model komunikasi Sirkular Osgood dan Schramm berbeda sekali

dengan model komunikasi Matematikal Shannon dan Weaver. Kalau

dalam model komunikasi Matematikal Shannon dan Weaver sifat

alurnya searah, maka dalam model komunikasi Osgood dan Schramm

alur komunikasinya bersifat timbal balik atau berbalik arah. Artinya

dalam satu sisi Penyandi kode informasi (encoder) yang menyampaikan inforrmasi maka pada suatu saat encoder tersebut akan menjadi decoder (penerima informasi), jika decoder pertama tersebut telah

menginterpretasikan / menafsirkan pesan dari encoder pertama. Dengan

demikian apabila dalam proses komunikasi menggunakan model

Osgood dan Schramm, maka besar kemungkinan akan terjadi sebuah

sistem komunikasi yang akan menghasilkan pemahan terhadap sesuatu

hal (pesan komunikasi) menjadi lebih berkembang karena proses

komunikasi tidak berhenti ketika pesan komunikasi telah sampai

kepada penerima pesan

(http://www.scribd.com/doc/21215557/Model-Komunikasi).

2.1.8 Konsep Makna

Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan

kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The Meaning of

meaning, Ogden dan Ricardsitelah mengumpulkan tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan sebagai istilah,

(53)

dalam bidang linguistic dalam penjelesan Umberto Reeo, makna dari sebuah wahana tanda (sign-vehicle) adalah satuan cultural yang diperagakan oleh wahana-wahana tanda yang lainnya serta dengna

begitu secara semantik mempertunjukkan pula ketidaktergantungan

pada wahana tanda yang sebelumnya.

Makna ada dalam diri manusia. Menurut Devito, makna tidak

terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Manusia

menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin

dikomunikasikan. Tetapi kata-kata ini tidak secara sempurna dan

lengkap menggambarkan makna yang dimaksudkan. Demikian pula

makna yang didapat dari pendengar dari pesan-pesan, akan sangat

berbeda dengan makna yang ingin digunakan untuk memproduksi

pesan dibenak pendengar. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses

parsial dan selalu bias salah. Ada tiga hal yang dijelaskan para filsuf

dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna.

Ketiga hal itu, yakni:

1. Menjelaskan makna secara alamiah.

2. Mendeskripsikan kalimat secara alamiah.

3. Menjelaskan makna dalam proses komunikasi.

(54)

2.1.9 Model Semiotika John Fiske

John Fiske adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi dalam

bukunya Cultural And Communication Studies, disebutkan bahwa

terdapat dua persepektif dalam mempelajari ilmu komunikasi sebagai

transmisi pesan, sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi

sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua,

studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan, metode

studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna)

(Fiske, 2006:9).

John Fiske memperkenalkan konsep the codes of television atau kode-kode televisi. Dalam konsep tersebut menunjukkan kode yang

digunakan dan muncul pada sebuah tayangan televisi dan bagaimana

kode-kode tersebut saling berhubungan dalam membentuk sebuah

makna. Menurut Fiske, sebuah kode tidak ada begitu saja. Namun

sebuah kode dipahami secara komunal oleh komunitas penggunanya.

Lebih lanjut mengenai teori ini, kode ini digunakan sebagai

penghubung antara produser, teks dan penonton.

Teori yang dikemukakan John Fiske dalam The Codes of

Television (Fiske,1987) menyatakan bahwa peristiwa yang telah dinyatakan telah diencode oleh kode-kode sosial adalah sebagai berikut:

1. Level Realitas (Reality)

Level ini menjelaskan suatu peristiwa yang dikonstruksikan

(55)

sosial antara lain: penampilan (appearance), kostum (dress), riasan (make up), lingkungan (environment), kelakuan (behaviour), dialog (speech), gerakan (gesture), ekspresi (expression), dan suara (sound). 2. Level Representasi

Di sini kita menggunakan perangkat secara teknis. Level

representasi berhubungan dengan kode-kode sosial antara lain: kamera

(camera), pencahayaan (lighting), perevisian (editing), musik (music) dan suara (sound) yang ditranmisikan sebagai kode-kode representasi yang besifat konvensional.

a. Teknik kamera, jarak dan sudut pengambilan.

- Long shot : Pengambilan yang menunjukkan semua bagian dari objek, menekankan pada background. Shot ini

biasanya dipakai dalam shot yang lebih lama dan

lingkungannya dari pada individu sebagai fokusnya.

- Estabilishing shot : Biasanya digunakan untuk mebuka suatu adegan.

- Medium Shot : Menunjukkan subjek atau aktornya dan lingkungannya dalam ruang yang sama. Biasanya

digunakan untuk memperlihatkan kehadiran dua atau tiga

aktor secara dekat.

- Close Up : Menunjukkan sedikit dari scene, seperti karakter wajah dalam detail sehingga memenuhi layar, dan

(56)

memfokuskan pada perasaan dan reaksi dari seseorang, dan

kadangkala digunakan dalam percapakan untuk

menunjukkan emosi seseorang.

- View Point : Jarak dan sudut nyata darimana kamera memandang dan merekam objek.

- Point of view : Sebuah pengambilan kamera yang mendekatkan posisinya pada pandangan seseorang yang

ada dan sedang memperlihatkan aksi lain.

- Selective focus : Memberikan efek dengan menggunakan peralatan optikal untuk mengurangi ketajaman dari image

atau bagian lainnya. Misalnya : Wide angle shot, title shot,

angle shot dan two shot.

b. Teknik Editing

- Cut : Perubahan secara tiba-tiba dari suatu pengmbilan sudut pandang atau lokasi lainnya. Ada bermacam-macam

cut yang mempunyai efek untuk merubah scene,

mempersingkat waktu, memperbanyak point of view, anda membentuk kesan terhadap image atau ide.

- Jump cut : Untuk membuat suatu adegan yang dramatis. - Motived cut : Bertujuan untuk membuat penonton segera

ingin melihat adegan selanjutnya yang tidak ditampilkan

(57)

c. Penggunaan Suara

- Commentar voice-over narration : Biasanya digunakan untuk memperkenalkan bagian orang tertentu dari suatu

program, menambah informasi yang tidak ada dalam

gambar, untuk menginterpretasikan kesan pada penonton

dari suatu sudut pandang, menghubungkan bagian atau

sequences dan program secara bersamaan.

- Sound effect : Untuk memberikan tambahan ilusi pada suatu kajian.

- Musik : Untuk mempertahankan kesan dari suatu fase untuk

mengiringi suatu adegan, warna emosional pada musik

turut mendukung keadaan emosional suatu adegan.

d. Pencahayaan : Macamnya soft and hard lighting, dan

backlighting. Cahaya menjadi unsur media visual, karena cahayanya informasi dapat dilihat. Cahaya ini pada mulanya

hanya merupakan unsur teknis yang membuat benda dapat

dilihat. Namun dalam perkembangannya ternyata fungsinya

berkembang semakin banyak. Yakni mampu menjadi

informasi waktu, menunjang mood atau bisa menunjang

dramatik adegan (Biran,2006:43)

3. Level ideologi.

Ideologi tidak hanya berisi kompleksitas arti sebuah pesan

Gambar

gambar dilakukan di luar ruangan (outdoor). Setting outdoor
Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

Lights menthol versi lukisan Monalisa di media cetak, dengan teori yang digunakan antara lain : teori iklan dengan pendekatan semiotik Charles S.. Metode yang digunakan

Djarum versi Djarum Black dan Djarum Special ini yang berfungsi sebagai simbol adalah ekspresi dan pose dari model iklan tersebut yang disimbolkan sebagai perempuan penggoda

Tokoh-tokoh dalam iklan, karakter yang dimainkan, aktivitas-aktivitas yang dilakukan menjadi representasi kenakalan pelajar dalam iklan ini berhasil disampaikan kepada

Dari data yang dianalisa, peneliti menarik kesimpulan bahwa iklan ini sarat akan muatan representasi maskulinitas pada seorang perempuan tidak hanya dapat dilihat dari ciri- ciri

situasi persaingan pesan iklan di dalam media massa yang sangat ketat,.. namun sekali lagi, pemilihan elemen tanda yang meleset justru

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi citra perempuan dan makna sebenarnya yang terdapat dalam iklan Samsung Galaxy S7. versi The SmartesS7 Always

Korpus yang digunakan ialah iklan Televisi Tim Tam Slam versi ”Titi Kamal sebagai Pramugari”, yang telah dilakukan pemotongan gambar terhadap iklan tersebut di mana gambar yang

Dari serangkaian penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam iklan rokok LA Lights ‘Yang Lain Bersandiwara, Gue Apa Adanya!’ versi topeng monyet memiliki pesan sosial yang