• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TEORI PENUNJANG. 8 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. TEORI PENUNJANG. 8 Universitas Kristen Petra"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2. TEORI PENUNJANG

2.1. Experiential Marketing

2.1.1. Definisi Experiential Marketing

Menurut Schmitt (1999) experience adalah kejadian - kejadian yang terjadi sebagai tanggapan stimulasi atau rangsangan, contohnya sebagaimana diciptakan oleh usaha - usaha sebelum dan sesudah pembelian, sedangkan Experiential Marketing didefinisikan oleh Schmitt sebagai suatu pendekatan pemasaran yang

melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengan menciptakan pengalaman- pengalaman yang positif dan tak terlupakan sehingga konsumen mengkonsumsi dan fanatik terhadap produk tertentu. Berbeda dengan pemasaran tradisional.

Schmitt (1999, p.25) menjelaskan bahwa, Experiential Marketing fokus pada pengalaman pelanggan. Pengalaman terjadi sebagai akibat dari menghadapi atau menjalani hidup melalui situasi. Hal tersebut menjadi pemicu rangsangan indera, hati, dan pikiran. Pengalaman juga menghubungkan perusahaan dan merek dengan gaya hidup konsumen dan menempatkan tindakan konsumen atau individu dan kesempatan pembelian dalam konteks sosial yang lebih luas.

Menurut Smilansky (2009) Experiential Marketing adalah proses mengidentifikasi dan memuaskan kebutuhan dan aspirasi pelanggan yang menguntungkan, melibatkan mereka melalui komunikasi dua arah yang membawa kepribadian merek untuk hidup dan menambah nilai target audiens. Kertajaya (2004) mendefinisikan Experiential Marketing sebagai suatu konsep pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi pelanggan dengan menciptakan pengalaman - pengalaman positif dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap jasa dan produk yang dibeli konsumen.

Kotler dan Keller (2009) menjelaskan bahwa Experiential Marketing adalah bukan hanya sekedar mengkomunikasikan fitur dan manfaat dari suatu produk saja, tetapi juga menghubungkan suatu produk atau jasa dengan pengalaman yang unik dan menarik. Pada Experiential Marketing perusahaan tidak hanya berorientasi pada fitur dan benefit tetapi juga mengutamakan emosi pelanggan dengan memberikan fasilitas - fasilitas yang biasa memberikan

(2)

kepuasan bagi pelanggan sehingga tercapai memorable experience (Putri dan Astuti, 2012, p.193). Selain itu, konsep Experiential Marketing ini juga mendorong perusahaan semakin kreatif memikirkan bagaimana langkah pemasaran menarik minat konsumen untuk membeli dan menjadi loyal terhadap produk tersebut.

2.1.2. Elemen Experiential Marketing

Schmitt (1999) mengeksplorasi bagaimana perusahaan - perusahaan menciptakan Experiential Marketing dengan mempertimbangkan lima elemen dasar yaitu Sense, Feel, Think, Act, dan Relate. Kelima dimensi tersebut merupakan modul yang digunakan untuk menciptakan berbagai pengalaman bagi konsumen atau yang umum disebut sebagai SEMs (Strategic Experiential Modules) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

2.1.2.1 Sense

Sense merupakan pengalaman yang merupakan aspek - aspek berwujud

dan dapat dirasakan dari suatu produk yang dapat ditangkap oleh kelima indera manusia, meliputi pandangan, suara, bau, rasa, dan sentuhan yang akan muncul untuk menciptakan pengalaman. Schmitt (1999, p.64), menambahkan bahwa Sense dapat digunakan untuk membedakan perusahaan dan produk, untuk

memotivasi pelanggan, dan untuk menambah nilai produk. Kemudian Schmitt (1999, p.109) juga menjelaskan bahwa terdapat tiga kunci strategis dapat memotivasi pemasaran Sense, yaitu: 1) suatu organisasi dapat menggunakan pemasaran Sense untuk membedakan dirinya dan produk - produknya di pasar, perbedaan yang muncul adalah hasil dari stimuli yang diberikan oleh perusahaan;

2) memotivasi pelanggan untuk membeli produknya, dapat diperoleh melalui bagaimana proses stimuli (Process) yang dilakukan perusahaan; 3) memberikan nilai kepada pelanggan yang merupakan bagian dari konsekuensi (Consequences).

Schmitt (1999, p.111), model S-P-C (Stimuli, Process, dan Consequences) berfungsi untuk memberikan Sense impact kepada konsumen. Menurut Hendarsono dan Sugiharto (2013), indikator variabel Sense diukur dari desain dan layout yang menarik, ruangan bersih, musik yang diputar sesuai, kemudian

(3)

ditambahkan oleh Tetanoe dan Dharmayanti (2014) bahwa Sense juga dapat diukur dari kebersihan peralatan yang higenis, tekstur yang disajikan mengundang selera, memiliki aroma produk yang mengundang selera, serta papan nama jelas dan mudah ditemukan.

2.1.2.2 Feel

Schmitt (1999, p.66) Feel merupakan tipe pengalaman yang muncul untuk menyentuh perasaan terdalam dan emosi pelanggan dengan tujuan menciptakan pengalaman yang afektif. Feel ditujukan terhadap perasaan dan emosi konsumen dengan tujuan mempengaruhi pengalaman yang dimulai dari suasana hati yang lembut sampai dengan emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan.

Lebih lanjut, Schmitt (1999, p.66) menjelaskan bahwa Feel menarik bagi perasaan batin konsumen dan emosi, dengan tujuan untuk menciptakan pengalaman afektif yang berkisar dari suasana hati yang sedikit positif terkait dengan merek dengan emosi yang kuat sukacita dan kebanggaan. Oleh karena itu iklan emosional standar seringkali tidak pantas karena tidak menargetkan perasaan selama konsumsi. Schmitt (1999, p.123), moods adalah sebuah perilaku afektif yang tidak pasti, konsumen bisa saja menjadi salah kaprah dan tidak mengetahui mengenai penyebab bad mood konsumen. Emosi (Emotions), perbedaan yang jelas antara emosi dan moods adalah emosi bersifat intens. Berpikir mengenai kemarahan, iri, cemburu, dan cinta. Emosi selalu disebabkan oleh sesuatu atau seseorang

Apa yang dibutuhkan untuk Feel adalah pemahaman yang mendalam tentang rangsangan dapat memicu emosi tertentu serta kesediaan konsumen untuk terlibat dalam perspektif mengambil dan empati. Schmitt (1999, p.137) Feel Experience dapat menjadi bentuk apapun, dimulai dari suasana hati ringan sampai emosi yang kuat. Indikator variabel Feel diukur dari pelayanan cepat dan tepat, pemilik dan karyawan bersikap ramah dan sopan (Hendarsono dan Sugiharto, 2013), indikator variabel lainnya adalah konsep kafe yang nyaman (Tetanoe dan Dharmayanti, 2014).

(4)

2.1.2.3 Think

Think merupakan tipe pengalaman yang bertujuan untuk menciptakan

pengalaman kognitif. Perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan pengalaman dalam berpartisipasi memecahkan suatu masalah (problem solving experiences), dan mendorong konsumen untuk berinteraksi secara kognitif atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk (Schmitt, 1999, p.67). Lebih lanjut Schmitt (1999, p.67) menjelaskan bahwa Think menarik untuk melibatkan konvergen pelanggan dan berpikir divergen melalui kejutan, intrik dan provokasi. Berpikir secara konvergen melibatkan pendekatan logika berbasis hasil dan solusi, sementara divergen melibatkan eksplorasi dan kreatifitas dalam pemecahan masalah. Kampanye Think yang umum untuk produk teknologi baru, tetapi Think tidak terbatas hanya untuk produk teknologi baru. Think juga telah digunakan dalam desain produk, ritel, dan dalam komunikasi di banyak industri lainnya. Tujuan dari Think adalah untuk melibatkan konsumen berpikir kreatif.

Proses kreatif bahwa pelanggan terlibat meliputi konvergen dan berpikir divergen.

Kreatifitas dapat dipicu oleh 4 fase, yaitu 1) fase persiapan analitis; 2) fase inkubasi; 3) fase penerangan "Aha!"; 4) fase evaluasi. Pemikiran divergen berada pada fase 2 dan 3, sedangkan konvergen berada pada fase 1 dan 4, Schmitt (1999, p.146). Schmitt (1999, p.148), ada beberapa resep untuk mencapai kesuksesan dalam kampanye Think, diantaranya melalui: 1) kejutan, mengakibatkan konsumen ingin mendapatkan sesuatu melebihi ekspektasinya; 2) intrik, intrik memberikan tantangan tersendiri kepada konsumen dengan menjadikan kejutan layaknya seperti puzzle yang harus dipecahkan; 3) provokasi, provokasi menstimulasi diskusi, menciptakan kontroversial atau shock, berdasarkan maksud yang ingin disampaikan.

Prinsip kunci untuk memberikan motivasi yang tepat untuk Feel adalah menggabungkan kejutan dengan intrik dan kadang - kadang provokasi (Schmitt, 1999, p.153). Indikator variabel Think menurut Hendarso dan Sugiharto (2013) antara lain adalah menghasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen, memberikan kesempatan konsumen untuk ikut mengeluarkan ide. Indikator variabel Think menurut Tetanoe dan Dharmayanti (2014) antara lain adalah

(5)

kesesuaian harga dengan kualitasnya menjawab kebutuhan konsumen, dan adanya informasi yang jelas mengenai produk yang baru kepada konsumen.

2.1.2.4 Act

Act merupakan salah satu cara untuk membentuk persepsi konsumen

terhadap produk dan jasa yang bersangkutan. Act merupakan tipe pengalaman yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen (Schmitt, 1999, p.68). Act adalah tindakan yang berhubungan dengan keseluruhan individu (pikiran dan tubuh) untuk meningkatkan hidup dan gaya hidupnya. Lebih lanjut Schmitt (1999, p.68) menjelaskan bahwa Act experience memperkaya kehidupan konsumen dengan meningkatkan pengalaman fisik konsumen, menunjukkan kepada konsumen cara - cara alternatif dalam melakukan sesuatu (misalnya, di B2B dan pasar industri), gaya hidup alternatif, dan interaksi. Dalam literatur pemasaran, gaya hidup merupakan pola hidup konsumen yang ditunjukkan melalui aktifitas yang dilakukan konsumen. Untuk mengekspresikan gaya hidup konsumen, konsumen harus menunjukkan gaya hidup tersebut melalui tanda - tanda atau indikator - indikator; konsumen membutuhkan simbol gaya hidup. Di dalam pasar, sudah selayaknya perusahaan memberikan pengalaman sesuai gaya hidup konsumen, lebih baik apabila bisa menjadi trendsetter dan memiliki reputasi yang baik. Hendarsono dan Sugiharto (2013) mengatakan indikator variabel dari Act adalah memiliki reputasi yang baik.

Tetanoe dan Dharmayanti (2014) menambahkan bahwa image dapat meningkatkan prestige konsumennya, serta mengkonsumsi produk sesuai gaya hidup merupakan indikator variabel Act.

2.1.2.5 Relate

Relate merupakan tipe pengalaman yang digunakan untuk mempengaruhi

konsumen dan menggabungkan seluruh aspek Sense, Feel, Think, dan Act serta menitikberatkan pada persepsi positif di mata konsumen (Schmitt, 1999, p.68).

Kemudian Schmitt (1999, p.68) menjelaskan bahwa Relate menarik keinginan individu untuk perbaikan diri. Relate menghubungkan konsumen ke suatu sistem sosial yang lebih luas (subkultur, negara, dll), sehingga membangun hubungan

(6)

merek yang kuat dan komunitas merek. Menurut Hendarsono dan Sugiharto (2013) indikator variabel Relate antara lain adalah pertalian erat antara pemilik, karyawan dan konsumen. Kemudian ditambahkan oleh Tetanoe dan Dharmayanti (2014) bahwa indikator variabel Relate juga dapat diukur dari konsumen membeli produk atas rekomendasi orang lain, konsumen menceritakan pengalamannya.

2.2. Minat Beli Ulang

2.2.1. Pengertian Minat Beli Ulang

Kinnear & Taylor menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara pembelian aktual dengan minat pembelian ulang, dimana pembelian aktual adalah pembelian yang benar - benar dilakukan oleh konsumen, maka minat pembelian ulang adalah niat untuk melakukan pembelian kembali pada kesempatan mendatang (Saidani dan Arifin, 2012).

Menurut Peter dan Olson (2000, p.110) konsumen melakukan pembelian ulang karena adanya suatu dorongan dan perilaku membeli secara berulang yang dapat menumbuhkan suatu loyalitas terhadap apa yang dirasakan sesuai untuk dirinya. Jadi, minat beli ulang dapat disimpulkan sebagai suatu kecenderungan untuk melakukan pembelian ulang, serta memperoleh respon positif atas tindakan masa lalu. Minat beli ulang merupakan minat pembelian yang didasarkan atas pengalaman pembelian yang telah dilakukan dimasa lalu. Minat beli ulang yang tinggi mencerminkan tingkat kepuasan yang tinggi dari konsumen ketika memutuskan untuk mengadopsi suatu produk. Keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu produk timbul setelah konsumen mencoba suatu produk tersebut dan kemudian timbul rasa suka atau tidak suka terhadap produk tersebut. Rasa suka terhadap produk timbul bila konsumen mempunyai persepsi bahwa produk yang konsumen gunakan berkualitas baik dan dapat memenuhi atau bahkan melebihi keinginan dan harapan konsumen. Dengan kata lain produk tersebut mempunyai nilai yang tinggi di mata konsumen. Tingginya minat beli ulang ini akan membawa dampak yang positif terhadap keberhasilan produk di pasar (Thamrin, 2003).

Menurut Schiffman & Kanuk (2010, p.6), pembelian yang dilakukan oleh konsumen terdiri dari dua tipe, yaitu pembelian percobaan dan pembelian ulang.

(7)

Jika konsumen membeli suatu produk dengan merek tertentu untuk pertama kalinya, maka disebut pembelian percobaan. Jadi, pembelian percobaan merupakan tahap penyelidikan dari perilaku pembelian dimana konsumen berusaha mengevaluasi produk dengan langsung mencoba. Jika suatu produk dibeli dengan percobaan ternyata memuaskan atau lebih memuaskan dari merek sebelumnya; maka konsumen berkeinginan untuk membeli ulang, tipe pembelian semacam ini disebut pembelian ulang.

Menurut Ferdinand (2002, p.25-26), minat beli ulang dapat diidentifikasi melalui indikator - indikator sebagai berikut:

a. Minat transaksional : Kecenderungan seseorang untuk membeli produk yang telah dikonsumsinya.

b. Minat referensial : Kecenderungan seseorang untuk mereferensikan produk yang sudah dibelinya, agar juga dibeli oleh orang lain, dengan referensi pengalaman konsumsinya.

c. Minat preferensial : Minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang memiliki prefrensi utama pada produk tersebut.

Preferensi ini hanya dapat diganti bila terjadi sesuatu dengan produk preferensinya.

d. Minat eksploratif : Minat ini menggambarkan perilaku seseorang yang selalu mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari informasi untuk mendukung sifat - sifat positif dari produk yang diprioritaskan.

2.3. Hubungan antara Experiental Marketing dengan Minat Beli Ulang Experiential Marketing didefinisikan oleh Schmitt (1999) sebagai suatu pendekatan pemasaran yang melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengan menciptakan pengalaman - pengalaman yang positif dan tak terlupakan sehingga konsumen mengkonsumsi dan fanatik terhadap produk tertentu (Putri dan Astuti, 2012, p.193). Strategi Experiential Marketing berusaha menciptakan pengalaman yang positif bagi konsumen dalam mengkonsumsi produk atau jasa yang dapat dijadikan referensi bagi pemasar untuk memprediksi perilaku konsumen dimasa mendatang berupa tindakan pembelian ulang (Kusumawati, 2011).

(8)

Kertajaya dalam Putri dan Astuti (2012) mendefinisikan Experiential Marketing sebagai suatu konsep pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi pelanggan dengan menciptakan pengalaman - pengalaman positif dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap jasa dan produk yang dibeli konsumen. Hal ini didukung dengan Jatmiko dan Andharini (2012) yang menyatakan bahwa dalam bidang pemasaran, Experiential Marketing memiliki peran sangat strategis dalam meningkatkan jumlah konsumen. Dalam hal ini, strategi Experiential Marketing yang baik akan dapat memberikan dampak pada niat konsumen untuk melakukan pembelian ulang.

Hal ini menunjukkan bahwa perilaku konsumen di masa - masa mendatang memerlukan faktor pentingnya emosi dan perasaan konsumen dalam menciptakan pengalaman - pengalaman yang positif untuk melakukan pembelian ulang.

2.3.1. Hubungan Sense dengan Minat Beli Ulang

Sense merupakan tipe pengalaman yang muncul untuk menciptakan pengalaman panca indera melalui mata, telinga, kulit, lidah dan hidung (Schmitt, 1999). Ketika konsumen merasakan pengalaman yang baik pada elemen ini akan dapat mempengaruhi niat konsumen untuk melakukan pembelian ulang.

Sense merupakan pengalaman seseorang yang dirasakan melalui panca inderanya. Seseorang yang merasakan pengalaman berbeda yang dapat dirasakan melalui panca inderanya akan memiliki keinginan untuk mencobanya kembali, sehingga menimbulkan minat untuk melakukan pembelian ulang. Dalam hal ini, pengunjung kafe yang merasakan pengalaman melalui indera penglihatan seperti interior dan eksterior yang menarik, indera suara seperti musik yang enak didengar, indera sentuhan, indera perasa seperti cita rasa minuman yang khas, dan indera penciuman seperti aroma ruangan yang wangi dapat memberikan value tersendiri dimata konsumen. Pengalaman tersebut kemudian dapat menimbulkan motivasi konsumen untuk mau membeli kembali produk atau layanan yang telah digunakannya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendarsono dan Sugiharto (2013) yang meneliti pengaruh elemen - elemen Experiential Marketing terhadap minat

(9)

beli ulang pada Café Buntos 99, dimana hasilnya membuktikan bahwa secara parsial salah satu komponen Experiential Marketing yaitu Sense Experience berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli ulang.

Pernyataan ini menunjukkan pentingnya pengalaman sesorang yang dapat dirasakan melalui panca inderanya baik penglihatan, telinga saat mendengar, guna menimbulkan minat untuk melakukan pembelian ulang.

2.3.2. Hubungan Feel dengan Minat Beli Ulang

Menurut Schimtt (1999), Feel dapat menyentuh inner feelings dan emosi, dengan sasaran membangkitkan pengalaman afektif, sehingga ada rasa gembira dan bangga. Menurut Kartajaya (2004, p.164), Feel adalah suatu perhatian – perhatian kecil yang ditujukan kepada konsumen dengan tujuan untuk menyentuh emosi konsumen secara luar biasa. Dalam hal ini, pelayanan yang diberikan secara personal termasuk keramahan dan sopan santun karyawan, pelayanan yang tepat waktu, dan sikap simpatik yang membuat konsumen merasa puas sehingga mendorong konsumen untuk melakukan pembelian ulang.

Feel merupakan penciptaan perasaan melalui pengalaman konsumsi yang dapat menggerakkan imajinasi konsumen yang diharapkan dapat mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli. Feel dapat ditampilkan melalui ide dan kesenangan juga reputasi akan pelayanan yang diberikan oleh pemberi layanan kepada konsumen. Feel dapat memberikan pengalaman terkait kenyamanan, keamanan, keramahan dan kecepatan pelayanan yang diberikan oleh pihak pemberi layanan. Dalam hal ini, pengalaman konsumen yang diperoleh melalui pelayanan yang diberikan oleh karyawan akan dapat mempengaruhi keputusannya untuk melakukan pembelian ulang atau tidak.

Hasil dalam penelitian yang dilakukan oleh Hendarsono dan Sugiharto (2013) yang meneliti pengaruh elemen - elemen Experiential Marketing terhadap minat beli ulang pada Café Buntos 99, dimana hasilnya membuktikan bahwa secara parsial salah satu komponen Experiential Marketing yaitu Feel Experience berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli ulang. Feel Experience juga merupakan variabel yang paling dominan mempengaruhi minat beli ulang menurut Hendarsono dan Sugiharto (2013) dan Tetanoe dan Dharmayanti (2014).

(10)

2.3.3. Hubungan Think dengan Minat Beli Ulang

Think merupakan tipe experience yang bertujuan untuk menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berpikir kreatif (Schmitt, 1999). Elemen Think dalam Experiential Marketing menunjukkan bahwa perusahaan berusaha untuk menantang konsumen, dengan cara memberikan problem-solving experience, dan mendorong pelanggan untuk berinteraksi secara kognitif atau secara kreatif dengan perusahaan atau produk.

Tujuan dari Think adalah untuk mempengaruhi konsumen agar terlibat dalam pemikiran yang kreatif dan menciptakan kesadaran melalui proses berpikir yang berdampak pada evaluasi ulang terhadap perusahaan, produk dan jasanya.

Hasil dalam penelitian yang dilakukan oleh Hendarsono dan Sugiharto (2013) yang meneliti pengaruh elemen - elemen Experiential Marketing terhadap minat beli ulang pada Café Buntos 99, dimana hasilnya membuktikan bahwa secara parsial salah satu komponen Experiential Marketing yaitu Think Experience berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli ulang.

Pendapat tersebut menunjukkan Think memiliki peran penting akan kesadaran yang timbul secara kognitif dalam pemikiran konsumen guna menciptakan kesadaran konsumen untuk ikut terlibat. Dalam hal ini, konsumen diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapat dan masukannya kepada perusahaan guna kemajuan perusahaan, dimana melalui hal tersebut dapat menghasilkan evaluasi kembali mengenai perusahaan dan adanya reward yang diberikan dapat memberikan pengalaman konsumen yang akan menimbulkan minatnya untuk melakukan pembelian ulang.

2.3.4. Hubungan Act dengan Minat Beli Ulang

Act merupakan tipe experience yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen. Act adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi konsumen terhadap produk dan jasa yang bersangkutan (Schmitt, 1999). Act Experience dapat memberikan pengaruh positif terhadap minat beli ulang konsumen. Ketika Act Experience mampu memenuhi kebutuhan dan gaya hidup konsumen maka akan berdampak positif terhadap

(11)

minat beli ulang karena konsumen merasa produk atau jasa tersebut sesuai dengan gaya hidup konsumen.

Hasil dalam penelitian yang dilakukan oleh Hendarsono dan Sugiharto (2013) yang meneliti pengaruh elemen - elemen Experiential Marketing terhadap minat beli ulang pada Café Buntos 99, dimana hasilnya membuktikan bahwa secara parsial salah satu komponen Experiential Marketing yaitu Act Experience berpengaruh tidak signifikan terhadap minat beli ulang.

Act merupakan teknik pemasaran yang menciptakan pengalaman konsumen terkait dengan physical body, lifestyle, dan interaksi dengan orang lain, sehingga ketika suatu produk atau layanan mampu mempengaruhi perilaku dan gaya hidup konsumen maka akan berdampak positif terhadap minat beli ulang karena konsumen merasa produk atau jasa tersebut sesuai dengan gaya hidup konsumen.

2.3.5. Hubungan Relate dengan Minat Beli Ulang

Relate merupakan kombinasi Sense, Feel, Think, Act yang bertujuan untuk mengkaitkan individu dengan sesuatu yang berada di luar dirinya, dengan orang lain, maupun kelompok – kelompok sosial dalam pekerjaan, gaya hidup, etnis, atau bahkan dengan ruang lingkup sosial yang lebih luas seperti budaya, masyarakat, dan negara (Schimtt, 1999). Kartajaya (2004, p.175) mendefinisikan Relate Experience sebagai salah satu cara membentuk atau menciptakan komunitas konsumen dengan komunikasi. Relate Experience dapat memberikan pengaruh yang positif atau negatif terhadap minat beli ulang. Relate Experience dapat memberikan pengaruh yang positif apabila Relate mampu membuat konsumen masuk dalam komunitas serta merasa bangga dan diterima dan Relate dapat memberikan pengaruh yang negatif apabila Relate Experience tidak berhasil mengaitkan individu dengan apa yang ada diluar diri konsumen.

Hasil dalam penelitian yang dilakukan oleh Hendarsono dan Sugiharto (2013) yang meneliti pengaruh elemen - elemen Experiential Marketing terhadap minat beli ulang pada Café Buntos 99, dimana hasilnya membuktikan bahwa secara parsial salah satu komponen Experiential Marketing yaitu Relate Experience berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli ulang.

(12)

2.4. Kerangka Pemikiran

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Experiential Marketing

Minat Beli Ulang (Y) 1. Melakukan pembelian ulang atas produk yang pernah dikonsumsi 2. Mereferensikan produk yang pernah dibeli kepada orang lain

3. Selalu membeli produk yang pernah dibeli dan hanya akan digantikan bila terjadi sesuatu pada produk tersebut.

4. Mencari informasi mengenai produk yang diminati untuk mendukung sifat - sifat positif dari produk yang diprioritaskan tersebut.

Sumber: Ferdinand (2002) Sense

(X1) 1. Desain dan

layout menarik 2. Ruangan bersih 3. Kebersihan

peralatan yang higienis 4. Musik yang

diputar tepat 5. Aroma produk

yang mengundang selera

6. Memiliki cita rasa yang tinggi 7. Produk yang

disajikan memiliki temperatur yang tepat

8. Papan nama jelas dan mudah ditemukan

Sumber: Schmitt (1999), Hendarsono dan Sugiharto (2013), Tetanoe dan Dharmayanti (2014)

Feel (X2) 1. Pelayanan cepat

dan tepat 2. Pemilik dan

karyawan bersikap ramah dan sopan 3. konsep cafe

yang nyaman

Sumber : Schimtt (1999), Hendarsono dan Sugiharto (2013), Tetanoe dan Dharmayanti (2014)

Think (X3) 1. Menghasilkan

produk yang melebihi

ekspektasi konsumen 2. Memberikan

kesempatan konsumen untuk ikut mengeluarkan ide

3. Kesesuaian harga dengan

kualitasnya 4. Adanya info yang

jelas mengenai produk baru kepada konsumen

Sumber :Schmitt (1999), Hendarsono dan Sugiharto (2013),

Tetanoe dan

Dharmayanti (2014)

Act (X4) 1. Memiliki

reputasi yang baik 2. Image dapat

meningkatkan prestige konsumennya 3. Mengkonsumsi

produk sesuai dengan gaya hidup 4. Terlibat secara

fisik dalam pembuatan produk

Sumber :Schmitt (1999), Hendarsono dan Sugiharto (2013), Tetanoe dan Dharmayanti (2014)

Relate (X5) 1. Pertalian erat

antara pemilik, karyawan dan pelanggan 2. Konsumen

membeli produk atas rekomendasi orang lain 3. Konsumen

menceritakan pengalamannya dalam

mengkonsumsi produk tersebut

Sumber :Schmitt (1999), Hendarsono dan Sugiharto (2013),

Tetanoe dan

Dharmayanti (2014)

Konig Coffee & Bar

(13)

Kerangka pemikiran diatas menggambarkan pengaruh Experiential Marketing (X) terhadap Minat Beli Ulang (Y) di Konig Coffee & Bar. Dimana Experiential Marketing (X) memiliki lima dimensi, yaitu Sense (X1), Feel (X2), Think (X3), Act (X4), dan Relate (X5) dimana indikator variabel lima dimensi tersebut dikembangkan dari Schmitt (1999), Hendarsono dan Sugiharto (2013), Tetanoe dan Dharmayanti (2014). Kemudian variabel Minat Beli Ulang(Y) diperoleh dari Ferdinand (2002)

2.5. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:

H1 : Elemen Experiential Marketing Sense berpengaruh positif dan signifikan terhadap Minat Beli Ulang Konsumen Konig Coffee & Bar.

H2 : Elemen Experiential Marketing Feel berpengaruh positif dan signifikan terhadap Minat Beli Ulang Konsumen Konig Coffee & Bar.

H3 : Elemen Experiential Marketing Think berpengaruh positif dan signifikan terhadap Minat Beli Ulang Konsumen Konig Coffee & Bar.

H4 : Elemen Experiential Marketing Act berpengaruh positif dan signifikan terhadap Minat Beli Ulang Konsumen Konig Coffee & Bar.

H5 : Elemen Experiential Marketing Relate berpengaruh positif dan signifikan terhadap Minat Beli Ulang Konsumen Konig Coffee & Bar.

H6 : Elemen Experiential Marketing Feel berpengaruh dominan terhadap Minat Beli Ulang Konsumen Konig Coffee & Bar.

Gambar

Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Experiential Marketing

Referensi

Dokumen terkait

Ukuran : 80 x 70 x 100 mm Bahan : Plastik PS (injeck) Warna : Berwarna, transparan Deskripsi : Alat Ini digunakan untuk menunjukkan rumus volume dengan menggunakan media pasir /

Sedangkan menurut Grewal&Levy (2008), loyalty program bertujuan untuk menciptakan ikatan secara emosional antara perusahaan dengan pelanggan, serta untuk memenuhi

Reaksi pasar tidak hanya ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham yang tercermin dari abnormal return, indikator kedua yang dapat digunakan dalam melihat

Restoran yang menerapkan metode table service memberikan servis kepada pelanggan dengan cara membawakan makanan dan minuman yang dipesan oleh pelanggan ke meja makan dan

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hastopo, dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tindak pidana pemerasan adalah Pasal 368 Ayat (1) KUHP, yang mengandung

Namun begitu, terdapat banyak responden tidak terlibat dalam program kerajaan disebabkan oleh masalah pihak kerajaan. Antaranya termasuklah, 1) kekurangan kemahiran

Teknologi informasi dan komunikasi yang terdiri dari personal digital assistant (PDA), wireless fidelity (WI-FI), dan liquid crystal display (LCD) television digunakan oleh

Menurut Kertajaya menyatakan experiential marketing adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi pelanggan