• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TEORI PENUNJANG. 8 Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. TEORI PENUNJANG. 8 Universitas Kristen Petra"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Nalar Masing-masing Konsep 2.1.1. Tip

2.1.1.1. Pengertian dan tujuan pemberian tip

Budaya memberikan tip sudah ada sejak abad ke-18. Dan dari semua indikasi yang ada, budaya pemberian tip ini masih bertahan, bahkan telah berkembang (Sabath, 1993, p.113). Pernyataan ini didukung pula oleh Ayres dan Nalebuff (2004), bahwa pemberian tip layaknya suatu norma yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tetapi pada abad ke-20 pemberian tip sering dilihat sebagai suatu tindakan yang buruk dan merendahkan martabat (p.136). Lynn (2001) menyatakan bahwa pemberian tip oleh pelanggan merupakan perilaku yang menarik, karena tip adalah pembayaran sukarela setelah servis diberikan oleh waiter kepada pelanggan di suatu restoran.

Penulis menemukan pengertian tip berdasarkan bermacam-macam sumber. Dan semua sumber memiliki esensi yang sama mengenai tip.

Tip dalam Kamus Lengkap Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris (Bambang dan Munir, n.d) adalah uang persen.

Dalam The New Grolier International Dictionary of the English Language (1976), tip adalah a small present of money bestowed for services, as to a porter, cab driver, or waiter. Yang artinya, tip adalah sejumlah kecil uang yang diberikan atas servis, seperti kepada porter di hotel, supir taksi, atau kepada waiter restoran.

Sabath (1993) membagi tip menjadi dua jenis, yaitu:

1. Influential tip

Yaitu tip yang diberikan kepada seseorang untuk menunjukkan penghargaan terhadap layanan yang akan diberikan.

2. Thank-you tip

Yaitu tip yang diberikan berdasarkan pengakuan terhadap seseorang yang telah memberikan layanan. Tip ini diberikan kepada waiter setelah pelanggan tersebut telah menerima layanan (p.113).

(2)

Mathews (2005) mengatakan bahwa, tip adalah “a gift, usually in the form of money, given in return for services”, yang artinya, tip adalah hadiah atau pemberian, biasanya berbentuk uang, diberikan sebagai imbalan atas servis.

Menurut empat pengertian tip di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa tip adalah sejumlah uang yang diberikan oleh pelanggan kepada pemberi layanan atas servis jasa yang didapat.

Tujuan pemberian tip sangat universal dan berbeda-beda, menurut Sabath (1993), tujuan pemberian tip adalah untuk menjamin kecepatan layanan (p.113).

Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Ayres dan Nalebuff. Ayres dan Nalebuff (2004) mengatakan bahwa tip berasal dari istilah “To Insure Promptness”, yang secara harafiah artinya adalah untuk menjamin ketangkasan, maksudnya adalah, pemberian tip mempunyai tujuan untuk memancing seseorang untuk dapat memberikan servis yang cepat dan baik. Tetapi Ayres dan Nalebuff mendefinisikan tip saat ini menjadi “To Insure Prejudice”, yang secara harafiah berarti untuk menjamin prasangka. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah jumlah pemberian tip saat ini sudah menjadi salah satu pemikiran bagi pelanggan.

Sedangkan Tomren (2004) beranggapan, tujuan pemberian tip adalah untuk menunjukkan apresiasi atau penghargaan atas servis yang baik.

Penulis dapat menyimpulkan bahwa pemberian tip oleh pelanggan pada dasarnya bertujuan untuk memacu dan memancing pemberi layanan agar memberikan servis yang dapat mendatangkan kepuasan bagi pelanggan itu sendiri.

Dari definisi dan tujuan pemberian tip dapat diketahui bahwa ruang lingkup tip sangat luas, dan tip sendiri telah menjadi bagian dari kehidupan sehari- hari. Tiap-tiap pelanggan yang memberikan tip juga mempunyai pemikiran dan pertimbangan sendiri mengenai pemberian tip.

2.1.1.2. Tip dan Pelanggan

Menurut penelitian yang dilakukan oleh tipping.org pada tahun 2001, ada 7 alasan pelanggan memberikan tip (Tipping, 2001):

(3)

1. Membayar servis yang didapat

Tip merupakan balasan dari servis yang diberikan oleh waiter, waiter membawakan makanan dari dapur hingga ke meja pelanggan. Tetapi, terdapat argumen bahwa servis yang diberikan oleh waiter kepada pelanggan merupakan suatu kewajiban waiter itu sendiri. Dan waiter memang dibayar untuk memberikan layanan. Jadi, sebenarnya seorang pelanggan tidak perlu memberikan tip.

2. Karena pelanggan merasa diperlakukan dan dilayani dengan baik

Tip merupakan balasan dari perhatian dan perlakuan waiter di restoran kepada pelanggan. Argumen ini merupakan argumen yang lemah, karena sudah seharusnya waiter memperlakukan dan memperhatikan pelanggan dengan baik. Hal itu merupakan bagian dari pekerjaan waiter di suatu restoran.

3. Karena waiter mendapatkan gaji yang minim, lebih sedikit dibanding upah minimum karyawan. Hal ini sebenarnya bukan merupakan tanggungan pelanggan. Upah yang di bawah rata-rata adalah tanggung jawab pemilik restoran, bukan tanggung jawab pelanggan.

4. Karena pekerjaan waiter restoran merupakan pekerjaan yang sangat berat/susah/penuh tekanan, dan lain-lain. Alasan ini bukanlah alasan yang kuat. Karena, secara umum, pelanggan tidak memberikan tip kepada pemberi layanan yang lainnya, yang juga mempunyai pekerjaan yang sangat berat/susah/penuh tekanan, seperti karyawan restoran cepat saji, supir bis, kasir di sebuah supermarket.

5. Karena semua orang memberikan tip

Argumen ini tidaklah kuat, karena tidak semua yang telah dilakukan oleh orang lain secara otomatis merupakan suatu keharusan bagi semua pelanggan untuk memberikan tip.

6. Karena gengsi

Pelanggan yang memberikan tip yang hanya karena peduli akan tanggapan orang lain terhadap diri pelanggan itu sendiri bukanlah suatu alasan yang tepat. Pelanggan tersebut hanya bereaksi terhadap tekanan sosial, takut akan tidak diterima dalam suatu golongan apabila pelanggan tersebut berlaku lain dari golongan tersebut.

(4)

7. Karena dapat membuat pelanggan merasa baik hati

Apabila tidak ada pelanggan yang memberikan tip, hal ini dapat menyebabkan sedikit tenaga kerja yang mau bekerja sebagai waiter dengan upah yang rendah.

Regular pelanggan seringkali merupakan pemberi tip yang baik. Dan biasanya, regular pelanggan mempunyai waiter favorit di restoran tersebut, dimana regular pelanggan tersebut hanya mau dilayani oleh waiter favorit tersebut (Gibbs, 2001).

Menurut Klara (2005), besarnya jumlah tip yang diberikan oleh pelanggan tidak hanya dipengaruhi oleh kualitas layanan yang diberikan oleh waiter. Tetapi dipengaruhi juga pada keadaan sosial dan faktor-faktor lain, antara lain:

1. Kartu kredit

Pelanggan cenderung memberikan tip lebih ketika membayar dengan kartu kredit.

2. Grup

Walaupun jumlah bon dari grup yang makan di suatu restoran sangatlah besar, tetapi tip yang diberikan cenderung sedikit.

3. Alkohol

Pelanggan yang mengkonsumsi alkohol di suatu restoran atau bar sering mengalami kesulitan dalam menghitung jumlah tip yang harus diberikan.

Sehingga tip yang diberikan bisa melenceng dari jumlah tip yang seharusnya diberikan, entah jauh lebih kecil, ataupun jauh lebih besar.

4. Cuaca

Cuaca yang bagus dan menyenangkan dapat merangsang pelanggan memberikan tip yang besar.

5. Pria

Pria yang sedang makan malam dengan seorang wanita cenderung memberikan tip besar untuk menunjukkan bahwa pria tersebut adalah tipe pria yang eksekutif, professional dan royal.

(5)

6. Mood

Pelanggan yang sedang memilki mood yang bagus cenderung memberikan tip yang lebih.

Masih menurut Klara (2005), beberapa penelitian mengenai tip menemukan bahwa jumlah tip yang diberikan oleh pelanggan hanya memiliki hubungan yang sangat kecil, atau bahkan tidak ada hubungan sama sekali dengan kepuasan layanan yang didapat pelanggan. Survei yang dilakukan oleh tipping.org menunjukkan bahwa:

1. 25% dari 100% publik lebih memilih restoran yang harganya mahal jika hal itu berarti tidak perlu memberikan tip.

2. 67% dari 100% pelanggan yang datang ke restoran merasa harus memberikan tip, walaupun servis yang didapat sangatlah buruk.

3. 67% dari 100% publik membenci kotak tip (pp.18-19).

Dalam memberikan tip, pelanggan juga menilai beberapa faktor yang dapat menentukan jumlah tip yang akan diberikan. Berikut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah tip yang diberikan kepada waiter di suatu restoran:

1. Keramahan dan tingkah laku waiter

Keramahan dan tingkah laku waiter adalah faktor utama dalam memberikan tip. Makanan yang tidak enak yang disajikan adalah tanggung jawab chef.

Tetapi, keramahan dan tingkah laku waiter bukanlah tanggung jawab siapa- siapa selain tanggung jawab waiter itu sendiri.

2. Kualitas makanan

Kesalahan pada makanan yang dipesan oleh pelanggan adalah kesalahan chef.

Tetapi waiter yang baik juga harus teliti terhadap makanan yang dipesan oleh pelanggan dan lebih teliti saat penyajian pesanan tersebut.

3. Seberapa besar inisiatif seorang waiter dalam melayani pelanggan

Dalam hal ini contohnya adalah mengisi ulang air di gelas pelanggan yang hampir habis.

4. Langkah dalam menyajikan makanan (service sequence)

Waiter yang baik harus mampu melakukan service sequence yang benar.

Diawali dengan menyajikan hidangan pembuka, sup, hidangan inti, dan

(6)

hidangan penutup. Penyajian hidangan-hidangan ini harus sesuai dengan waktu yang tepat. Sehingga pelanggan tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menikmati hidangan yang dipesan. Hidangan haruslah disajikan dengan lancar, mulai dari pelanggan tersebut duduk, hingga pelanggan tersebut meninggalkan restoran (How Much, 2005).

Lynn (2001) menegaskan bahwa pemberian tip oleh pelanggan kepada waiter mempunyai hubungan yang sangat tipis dengan kualitas layanan yang diberikan (p.14). Dan juga jumlah tip yang diberikan tidak bergantung kepada kepuasan pelanggan. Pelanggan yang puas dengan servis yang didapat tidak selalu memberikan tip yang besar. Begitu juga dengan pelanggan yang mendapat servis yang buruk, pelanggan ini bisa saja memberikan tip yang besar (p.20). Hal ini sangat menarik, karena selama ini anggapan yang terjadi dalam suatu restoran dan oleh waiter sendiri adalah bahwa tip sangat tergantung dari kualitas layanan yang diberikan.

2.1.1.3. Tip dan waiter

Selama ini waiter beranggapan bahwa untuk mendapatkan tip yang besar, maka layanan yang diberikan kepada pelanggan harus baik. “Tipping is done to reward good. Better service = bigger tip” (Klara, 2005, p.18). Informan tersebut mengungkapkan trik-trik yang dilakukan waiter untuk mendapatkan tip yang besar, yaitu:

1. Memperkenalkan diri dengan nama.

2. Memanggil pelanggan dengan nama pelanggan tersebut.

3. Melakukan pendekatan dengan pelanggan secara perlahan-lahan.

4. Membungkukkan badan ketika taking order (tidak dilakukan di fine dining restoran).

5. Menggambarkan karikatur wajah lucu di bon (hanya untuk waiter wanita).

6. Waiter melayani dengan ketangkasan dan kecepatan sesuai dengan acara pelanggan (misalnya jika terlihat bahwa pelanggan tersebut sedang melakukan pertemuan untuk bisnis, maka layanan yang diberikan haruslah formal dan cepat).

(7)

7. Waiter wanita memakai bunga cantik di rambutnya.

8. Waiter menghibur pelanggan dengan lelucon kecil ketika pelanggan sudah selesai makan hidangan penutup.

9. Waiter memberikan permen yang diletakkan di check tray.

Banyak restoran manajer yang menilai kinerja karyawan (khususnya waiter) berdasarkan jumlah tip yang didapat. Para restoran manajer juga menjadikan tip sebagai motivasi bagi waiter untuk dapat bekerja lebih baik dengan memberikan servis yang sempurna (Lynn, 2001, pp.19-20). Yang pasti waiter tidak hanya mengandalkan upah yang didapat, walaupun hal itu masih menjadi suatu bagian yang penting dari pendapatan waiter, "tambahan gaji”

didapatkan dari pelanggan dan bukan dari pihak restoran. Waiter beranggapan jika ingin meningkatkan pendapatannya, maka keterampilan yang dimilki haruslah meningkat (Sanders, Paz & Wilkinson, 2002, p.7). Pernyataan ini berarti waiter beranggapan bahwa kualitas layanan yang diberikan kepada pelanggan sangatlah berhubungan dengan besar tip yang akan didapat.

Tip yang diberikan oleh pelanggan memang bergantung pada waiter, walaupun tidak sepenuhnya bergantung pada kualitas layanan. Segi menarik lainnya dari pemberian tip adalah, tip saat ini sudah menjadi salah satu pendapatan bagi waiter, dan juga pendapatan bagi restoran.

2.1.1.4. Tip sebagai pendapatan di suatu Restoran

Jika waiter semakin banyak mendapatkan tip, maka pihak manajemen restoran tersebut dapat menetapkan gaji pokok yang tidak terlalu tinggi. Dimana, hal ini sangat menguntungkan pihak restoran, karena hal ini berarti mengurangi beban manajemen restoran tersebut dalam hal gaji pegawai (Sanders, Paz &

Wilkinson, 2002, p.4).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi pendapatan restoran adalah:

1. Jam kerja yang lebih banyak atau lebih sedikit.

2. Bekerja di dua atau lebih tempat makan atau minum.

3. Shift kerja: pada jam sarapan, makan siang, atau makan malam.

4. Akhir pekan atau hari biasa.

(8)

5. Banquet atau acara spesial.

6. Kegagalan peralatan.

7. Faktor musim.

8. Hari libur-hari libur.

9. Fluktuasi musim berdasarkan jumlah pelanggan.

10. Kemampuan produk.

11. Kekurangan karyawan.

12. Tip pooling

Hal ini (diijinkan secara legal) terjadi jika semua tip dikumpulkan dalam sebuah wadah yang biasanya disebut kotak tip, dan dibagi sama rata kepada karyawan. Mathews (2005) mengatakan bahwa tempat seperti Starbucks, deli, dan café meletakkan kotak tip di dekat kasir. Biasanya salah satu karyawan bertanggung jawab terhadap pembagian dan prosentase pembagian tip tersebut.

13. Tipping out other positions

Di dalam sistem ini, persentase tip yang dibagikan ke tiap orang juga ditentukan oleh posisi sebagai berikut: pemilik, bar waiter, cocktail waiter, atau bus attendants.

14. Harga dalam menu

Harga dalam menu sangat mempengaruhi pendapatan di suatu restoran.

Penghitungan food cost, labour cost, dan lain-lain harus diperhatikan dalam pencantuman harga dalam menu.

Beberapa teori diatas menghubungkan keberadaan tip dengan waiter. Sedangkan hubungan tip sendiri sangatlah kompleks, tip dapat berhubungan dengan pelanggan, waiter, dan pendapatan di suatu restoran.

2.1.2. Industri Food Service

Industri food service menurut Jones (1997) adalah suatu jenis usaha yang menyediakan makanan dan minuman yang siap dikonsumsi jauh dari rumah (p.3), mencakup restoran, kantin sekolah, rumah sakit, kafetaria, dan lain-lain (p.7).

(9)

Industri food service mengalami kemajuan yang sangat pesat. Di Amerika, konsumsi makanan yang jauh dari rumah meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan oleh:

1. Peningkatan pendapatan

Faktor utama yang menyebabkan peningkatan konsumsi food service adalah pendapatan orang-orang di Amerika yang meningkat dari sebelumnya.

2. Keluarga kecil

Faktor lain yang menyebabkan meningkatnya konsumsi food service di Amerika adalah menurunnya jumlah keluarga besar. Banyak sekali wanita yang saat ini menjadi wanita karir dan menunda kehamilan. Dengan pendapatan ganda (dari sang suami dan sang istri), dan karena lelah setelah seharian bekerja, keluarga kecil di Amerika saat ini lebih memilih pergi keluar untuk makan, atau memesan makanan untuk dikirim ke rumah daripada harus mempersiapkan makanan sendiri di rumah. Dan lagi, lebih mudah untuk keluar makan dengan keluarga kecil daripada keluarga besar.

3. Perubahan gaya hidup

Kebiasaan dalam suatu keluarga telah berubah saat ini, dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu. Faktor-fakor yang menyebabkan meningkatnya konsumsi food service adalah perubahan gaya hidup. Perubahan gaya hidup ini antara lain:

a. Masyarakat di Amerika mengalami penurunan semangat dalam menyiapkan makanan di rumah.

b. Anak-anak sekolah dan orang kantoran sudah tidak lagi membawa bekal dari rumah. Hal ini disebabkan karena di sekolah atau kantor telah tersedia industri food service dengan harga yang tidak mahal. Seperti kantin, kafetaria, dan lain-lain.

c. Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki mobil, dan dapat dengan mudah pergi ke luar untuk mencari makan (Dittmer, 2002, pp.113-114).

Kennedy, Way & Ryan (2003) menemukan bahwa menurut survei yang dilakukan oleh National Restaurant Association, pria lebih cenderung makan di restoran daripada wanita (91% banding 85% untuk pria banding wanita, menurut

(10)

survei yang dilakukan dalam seminggu). Menurut hasil survei tersebut, terdapat empat jenis pelanggan restoran yang dibedakan melalui tingkah laku pelanggan tersebut dalam memilih suatu restoran:

1. Petualang

Pelanggan tipe ini biasanya lebih antusias untuk mencoba jenis makanan baru.

Pelanggan tipe ini biasanya berpendidikan tinggi dan tergolong sebagai orang kelas atas.

2. Tradisional

Pelanggan tipe ini tidak menyukai mencoba jenis makanan baru. Pelanggan tipe tradisional ini kebanyakan tinggal di kota kecil.

3. Peduli kesehatan

Pelanggan tipe ini sangat peduli dengan makanan yang disajikan. Pelanggan tipe ini merupakan tipe pelanggan yang sangat memilih jenis makanan.

Pemilihan jenis makanan berdasarkan tingkat gizi, protein, serta kesehatan.

4. Tidak peduli kesehatan

Tipe pelanggan yang tidak peduli ini, merupakan kebalikan dari tipe pelanggan yang peduli kesehatan. Tipe pelanggan ini tidak ambil pusing mengenai gizi, protein, serta kesehatan yang terkandung dalam makanan yang akan dikonsumsi.

Sedangkan Paz, Sanders, & Wilkinson (2002), membagi tipe pelanggan menjadi:

1. Procrastinator

Pelanggan macam ini adalah tipe pelanggan yang tidak dapat menentukan pilihan dengan cepat.

2. The sceptic

Pelanggan macam ini adalah tipe pelanggan yang meragukan perihal kualitas makanan atau bagaimana cara makanan itu disajikan.

3. The sender backer

Pelanggan macam ini adalah tipe pelanggan yang tahu akan menu yang diinginkan, dan sangat mengerti tentang standar makanan yang dipesan.

(11)

4. The handicapped guest

Pelanggan macam ini adalah tipe pelanggan yang harus dibantu dalam pemesanan tipe menu. Contoh: apabila pelanggan tipe ini tidak menggunakan tangannya dengan baik, maka waiter seharusnya mengusulkan menu yang tidak terlalu memerlukan bantuan tangan (tanpa memotong).

5. The older guest

Servis ekstra diperlukan dalam melayani pelanggan yang lebih tua. Contohnya memberikan bantuan pada saat akan duduk, membaca menu, membaca bill pesanan, atau berbicara lebih keras.

6. The child

Selalu tanyakan pada orang tua, apakah diperlukan kursi khusus untuk anak- anak, atau hanya cukup menggunakan kursi biasa. Hati-hati agar tidak membuat anak tersebut merasa tersinggung.

7. The wise guy

Pelanggan tipe macam ini adalah tipe pelanggan yang suka mencari perhatian, dan dapat menjadi suatu gangguan.

8. The talker

Tipe pelanggan macam ini adalah tipe pelanggan yang ingin tahu lebih detail mengenai makanan yang dipesan.

9. The silent type

Tipe pelanggan ini adalah tipe pelanggan yang pendiam dan jarang sekali mengutarakan komentar dan pendapat. Tipe pelanggan ini biasanya juga memiliki suara yang pelan, sehingga perlu perhatian ekstra dalam menangani pelanggan ini.

10. The dieter

Tipe pelanggan macam ini adalah tipe pelanggan yang sangat peduli dengan kalori yang terkandung dalam makanan yang disajikan. Untuk itu waiter yang menghadapi pelanggan tipe ini harus benar-benar menguasai produk dalam menu.

(12)

11. The blind guest

Pelanggan tipe ini adalah pelanggan yang tidak dapat melihat. Waiter yang profesional harus mampu memberikan servis kepada pelanggan ini tanpa memberi kesan kasihan.

12. The coffee drinker

Pelanggan tipe ini biasanya hanya memesan kopi dan duduk berlama-lama sambil membaca koran.

13. The budgeter

Tipe pelanggan ini adalah tipe pelanggan yang sangat sensitif terhadap harga suatu produk.

14. The bad tipper

Pelanggan tipe ini adalah pelanggan yang tidak pernah memberikan tip, kalaupun pernah, jumlah tip yang diberikan sangat sedikit (pp.120 - 123).

Dittmer (2002) juga membedakan lima karakteristik penting dalam operasional food service, yaitu:

1. Item dalam menu

Perbedaan item dalam menu, dapat mengkategorikan industri food service tersebut.

a. Menu yang terdiri dari beberapa halaman dengan berbagai macam jenis makanan.

b. Menu terbatas, yang hanya menawarkan beberapa item untuk makan siang atau makan malam. Misalnya, dua hidangan pembuka, tiga hidangan utama, dan dua hidangan penutup.

c. Menu terbatas, yang hanya menawarkan hidangan tertentu, seperti hidangan dari daerah tertentu. Misalnya rumah makan Sunda, rumah makan Jawa, restoran Italia, restoran Jepang, dan lain-lain.

d. Menu terbatas, yang hanya menawarkan satu jenis hidangan khusus.

Seperti restoran vegetarian, seafood restoran, dan lain-lain.

e. Menu terbatas, yang hanya menawarkan hidangan untuk kalangan tertentu. Seperti kantin sekolah yang menawarkan makanan untuk murid- murid di sekolah itu.

(13)

2. Kualitas hidangan

Kualitas hidangan adalah tingkat kesempurnaan dari makanan atau hidangan yang disajikan. Tingkat kualitas hidangan dicerminkan dari tiga elemen penting, yaitu:

a. Kualitas bahan yang digunakan.

b. Keahlian dalam membuat serta menyajikan.

c. Waktu dan tenaga yang dibutuhkan dalam mempersiapkan hidangan tersebut.

3. Harga dalam menu

Harga dalam menu dapat mempengaruhi perkembangan suatu industri food service. Di satu pihak, harga rendah yang ditulis dalam menu menunjukkan kemungkinan bahwa:

a. Pihak industri food service ini mengharapkan keuntungan bukan dari tingginya harga, melainkan kuantitas pembeli.

b. Tujuan utama pihak industri food service bukanlah untuk mencari keuntungan, melainkan hanya untuk memberikan servis kepada kalangan tertentu, seperti anggota perkumpulan, pasien rumah sakit, dan lain-lain.

Di pihak lain, beberapa industri food service mematok harga tinggi dalam menunya. Hal ini bisa saja karena pihak industri food service ini sudah dapat mengira bahwa industri food service tidak akan mudah menarik banyak pengunjung atau pembeli. Alasan lain dari variasi pencantuman harga dalam menu, adalah biaya operasional, jumlah karyawan, dan perkiraan perkembangan usaha tersebut.

4. Servis

Macam-macam metode servis:

a. Table service

Dalam table service, waiter biasanya mencatat pesanan yang dipilih oleh pelanggan berdasarkan menu, kemudian mengantarkan pesanan tersebut kepada pelanggan di meja makan.

(14)

b. Counter service

Pelanggan memesan hidangan melalui sebuah counter. Dimana pelanggan tersebut bisa duduk ataupun hanya berdiri di dekat counter tersebut.

Counter service dapat diterapkan seperti di toko roti, dan lain-lain.

c. Room service

Pelanggan berada jauh dari area makan. Hidangan yang dipesan diantarkan ke kamar. Biasanya metode room service ini dilakukan di kamar hotel atau kamar rumah sakit.

d. Self service

Self service merupakan salah satu metode layanan yang diterapkan dalam industry food service. Dalam metode self service ini, pelanggan memilih hidangan yang diinginkannya melalui gambar, display, ataupun menu.

Pelanggan membawa sendiri pesanannya, dengan atau tanpa nampan ke tempat dimana pelanggan tersebut akan mengkonsumsi pesanan tersebut.

Kafetaria, prasmanan, dan salad bar adalah tiga contoh industri food service yang menerapkan metode ini.

e. Take out atau delivery service

Kedua metode ini memiliki dua persamaan, yaitu:

1. Pelanggan tidak mengkonsumsi hidangan yang dipesan di tempat itu.

2. Dalam kedua metode ini, dibutuhkan wadah seperti kotak, styrofoam, plastik, dan lain-lain.

Hanya saja, take out service, adalah servis yang diberikan kepada pelanggan yang datang, memesan, kemudian membawa pulang pesanannya tersebut. Sedangkan delivery service, adalah metode servis yang diberikan kepada pelanggan yang memesan hidangan melalui telepon atau faks, dan layanan diberikan ketika pesanan diantarkan ke tujuan.

5. Suasana

Dalam industri food service, suasana adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan dampak emosional dari pelanggan berdasarkan keadaan fisik industri food service tersebut. Suasana dalam industri food service ini mencakup perabotan, cahaya, suara, dekorasi, tema, tatanan meja, penampilan, sikap karyawan, dan lain-lain. Restoran keluarga biasanya mempunyai tata

(15)

cahaya yang terang, menyenangkan, dan informal. Restoran lainnya biasanya memilih cahaya yang tidak terlalu terang (remang-remang), dengan dilengkapi taplak meja putih, seperangkat pecah belah, alat-alat makan (sendok, garpu, pisau, dan lain-lain) yang terbuat dari perak, dan waiter yang profesional.

Industri food service untuk kalangan mahasiswa, biasanya memiliki suasana lebih hidup, lebih berisik, dan dilengkapi dengan iringan musik-musik popular (pp.115-119).

2.1.3. Self service

Self service adalah servis sendiri (Kamus Lengkap Bahasa Inggris- Indonesia Indonesia-Inggris, n.d). Reed Elsevier, Inc (2004) memberi pemikiran bahwa penerapan metode self service oleh suatu industri food service berdasarkan beberapa pertimbangan, seperti pertimbangan biaya dan sumber daya manusia.

Menurut Kennedy, Way & Ryan (2003), semakin banyak pelanggan yang mulai tertarik untuk menggunakan teknologi dan restoran yang menggunakan metode self service ini. Sedangkan McGovern (2004), mengatakan bahwa “untuk dapat meraih sukses dalam self service, sangat diperlukan untuk mengerti bagaimana cara pelanggan berpikir dan bertingkah laku. Jika pelanggan melakukan servis sendiri, pelanggan tersebut harus merasa nyaman dan percaya diri”. Masih menurut McGovern, sukses dalam self service tergantung pada pengetahuan mengenai tingkah laku pelanggan yang menjadi pangsa pasar. Contohnya, pada restoran yang mewah (table service) terdapat waiter yang berpengalaman untuk membantu dan memberikan nasehat kepada pelanggan. Sedangkan, pada restoran self service, dibutuhkan penataan ruangan yang dapat memudahkan pelanggan dalam mendapatkan apa yang diperlukan. Sedangkan menurut Kennedy, Way &

Ryan (2003), dalam hasil survei mengenai tren restoran self service menemukan bahwa 42% dari orang dewasa lebih tertarik untuk mengkonsumsi makanan di restoran yang menyediakan metode self service. Terdapat 10 langkah untuk mencapai kesuksesan dalam self service, yaitu:

1. Fokus pada alur pelanggan.

2. Mementingkan keuntungan pelanggan.

3. Melakukan servis dengan mudah dan cepat.

(16)

4. Mencanangkan self service lebih jelas.

5. Memberikan penghargaan kepada pelanggan atas usaha pelanggan tersebut dalam melakukan self service.

6. Siap menghadapi permintaan dan jumlah pelanggan yang tinggi.

7. Memastikan pelanggan dapat dengan mudah mendapatkan bantuan.

8. Mendengarkan komplain pelanggan.

9. Merencanakan untuk menghadapi saat-saat ramai pengunjung.

10. Siap untuk menggunakan teknologi generasi ketiga dan merencanakan merubah alat-alat dan mesin-mesin yang lebih canggih mulai dari sekarang (10 Steps, n.d).

2.1.4. Table service

Table service (full service) merupakan salah satu metode servis selain self service. Restoran yang menerapkan metode table service (full service) memberikan servis yang lebih kasat mata kepada pelanggan dibandingkan restoran yang menerapkan metode self service maupun di restoran cepat saji.

Restoran yang menerapkan metode table service memberikan servis kepada pelanggan dengan cara membawakan makanan dan minuman yang dipesan oleh pelanggan ke meja makan dan membersihkan meja makan pelanggan tersebut, serta memberikan layanan-layanan lain yang diinginkan oleh pelanggan tersebut.

Terdapat lima tipe servis dalam table service, yaitu:

1. Butler service

Servis tipe butler service diberikan di cocktail party. Appetizer dalam porsi yang sangat kecil dan minuman diletakkan di nampan yang dibawa oleh waiter yang kemudian ditawarkan kepada pelanggan secara keliling.

2. American service

Tipe servis ini adalah tipe servis yang sangat sering digunakan, karena sangat sederhana dan cepat. Makanan disajikan kepada masing-masing pelanggan dengan menggunakan tangan kanan dari arah kanan maupun kiri pelanggan, tergantung dari situasi pada saat itu.

(17)

3. English service

Tipe layanan ini merupakan tipe layanan yang diadaptasi dari layanan tradisional Inggris. Tipe ini biasanya dilakukan pada saat makan keluarga di perayaan-perayaan khusus, seperti natal, tahun baru, maupun thanksgiving.

4. Russian service.

Dalam tipe layanan ini, makanan ditunjukkan terlebih dahulu kepada pelanggan oleh waiter, dan waiter meletakkan makanan di piring yang sudah disediakan untuk pelanggan didepan pelanggan itu sendiri.

5. French service

Tipe layanan French service hampir sama seperti tipe layanan Russian service. Hanya saja, dalam tipe servis ini, pelanggan mengambil sendiri makanan yang ditunjukkan terlebih dahulu oleh waiter, dan meletakkan makanan tersebut di piring yang sudah disediakan untuk pelanggan tersebut (Sanders, Paz & Wilkinson, 2002, pp.34-39).

Masih menurut Sanders, Paz, dan Wilkinson (2002), sebuah restoran yang menerapkan metode table service dibuat untuk membuat pelanggan mendapatkan apa yang diharapkan dan didesain untuk memberikan apa yang dibutuhkan pelanggan. Tiap-tiap restoran memiliki metode servis tersendiri yang sesuai dengan tema dan kondisi restoran itu sendiri. Karena itu, seorang waiter yang profesional harus mampu belajar bagaimana mengikuti standar servis yang diterapkan di restoran tersebut, sehingga servis yang diterapkan di restoran tersebut, dapat diberikan dengan baik dan benar. Terdapat beberapa standar umum servis untuk restoran yang menerapkan metode table service, antara lain:

1. Selama waktu makan pagi, memberikan servis yang cepat dan efisien kepada pelanggan. Banyak pelanggan yang terburu-buru dan dikejar waktu pada waktu makan pagi. Servis yang diberikan mungkin hanya terbatas pada penyajian jus segar, roti bakar, dan kopi.

2. Selama waktu makan siang, memberikan servis yang cepat, karena banyak pelanggan yang harus kembali bekerja dan hanya mempunyai waktu istirahat untuk makan siang selama 30 menit. Waiter yang profesional harus mampu membedakan situasi. Waiter harus mampu memberikan layanan sesuai dengan

(18)

kondisi pelanggan. Waiter harus mampu membedakan layanan yang diberikan kepada pelanggan yang terburu-buru, pelanggan yang sedang merayakan ulang tahun, ataupun pelanggan yang sedang melakukan pertemuan bisnis.

3. Selama waktu makan malam biasanya waiter dapat memberikan perhatian dan layanan yang lebih kepada pelanggan. Karena waktu makan malam, biasanya pelanggan datang untuk santai dan dilayani dan tidak dikejar-kejar oleh waktu (p. 46).

2.1.5. Waiter

2.1.5.1. Waiter yang berkualitas

Pekerjaan sebagai waiter membutuhkan kemampuan dalam bidang psikologi, teknik menjual, keahlian sebagai perawat, dan penampilan menarik selayaknya seorang tuan rumah. Kedisiplinan, kerja keras, dan dedikasi yang tinggi diperlukan oleh seorang waiter, dan hal ini yang membuat pekerjaan sebagai waiter tidak mudah. Di lain pihak, kepuasan akan melayani pelanggan, serta mengumpulkan uang tip dalam waktu yang singkat, merupakan keuntungan seorang waiter yang membuat pekerjaan sebagai waiter tidak sesulit yang dikatakan sebelumnya (Sanders, Paz, Wilkinson, 2002, p.118).

Menurut Sanders, Paz & Wilkinson (2002) waiter yang baik dapat dilihat dari 14 kategori di bawah ini, yaitu:

1. Latar belakang pendidikan

Ada beberapa sekolah yang melatih dan mendidik para siswa untuk menjadi waiter yang profesional. Pendidikan formal yang dimiliki oleh seorang waiter sangatlah penting, tetapi bukan merupakan suatu keharusan. Waiter yang pandai mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan mampu mempelajari tugas serta tanggung jawab sebagai waiter dalam waktu yang singkat.

2. Pandai

Waiter yang sukses harus selalu waspada dan berjaga-jaga setiap saat.

Pekerjaan sebagai waiter membutuhkan daya tangkap dan daya pemikiran

(19)

yang cepat, dan mampu menyesuaikan tindakan yang diambil dengan waktu dan waktu dan situasi yang tepat.

3. Pengetahuan produk

Waiter harus memahami deskripsi makanan dan minuman yang tertera dalam menu. Hal ini bertujuan untuk membimbing dan mengarahkan pelanggan pada saat pelanggan hendak memilih pesanan.

4. Pengetahuan servis.

Pengetahuan mengenai metode servis, teknik, dan standar servis haruslah dimiliki oleh waiter yang profesional. Pengetahuan mengenai metode servis, teknik, dan standar servis dapat diberikan melalui pelatihan dan training internal yang diadakan untuk meningkatkan kemampuan dan keahlian waiter tersebut.

5. Ketepatan waktu dan ketelitian

Melayani pelanggan di suatu restoran sama halnya dengan menyampaikan lelucon. Penyampaian pada saat yang tepat, membuat lelucon tersebut dapat diterima dengan baik. Training dan pelatihan dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan waiter dalam memilih waktu yang tepat dan ketelitian dalam melayani pelanggan di suatu restoran.

6. Kepribadian

Seorang waiter harus memiliki kepribadian yang menarik dan mampu menunjukkan keramahan walaupun waiter tersebut sedang di bawah tekanan.

7. Inisiatif

Seorang waiter harus bertanggung jawab di setiap station yang merupakan bagian dari tanggung jawab waiter tersebut. Pada setiap station, seorang waiter yang profesional harus mampu melayani pelanggan dan memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan pelanggan tersebut.

8. Tingkah laku yang positif

Tingkah laku seorang waiter, baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi penampilan waiter itu sendiri.

9. Kemampuan bekerja dalam tim

Seorang waiter harus mampu bekerja dalam tim, tidak hanya bekerja secara individu.

(20)

10. Tatakrama yang baik

Seorang waiter yang baik harus memiliki pengertian dan kemampuan untuk bertindak secara sopan, hormat, dan menghargai rekan sekerja dan tentu saja pelanggan.

11. Jujur

Seorang waiter yang profesional harus menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam hal:

a. Menangani pembayaran.

b. Pembagian tip.

c. Pembagian tugas dan tanggung jawab terhadap sesama rekan kerja.

12. Selera humor

Selera humor yang tinggi sangat penting dimiliki oleh waiter agar waiter tersebut dapat bertahan dari tekanan yang diterima dari atasan, rekan sekerja, maupun dari pelanggan.

13. Keterampilan yang beraneka ragam

Perbedaan gaya hidup, etnik, dan kebangsaan dari rekan kerja dan pelanggan menuntut seorang waiter untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang luas, sehingga waiter tersebut dapat beradaptasi dan mampu memberikan layanan kepada pelanggan yang berasal dari beraneka ragam negara.

14. Kesungguhan

Seorang waiter harus bersungguh-sungguh dalam bekerja. Waiter yang profesional harus selalu tepat waktu serta mampu memberikan layanan yang baik kepada pelanggan. Waiter yang profesional juga harus mampu melakukan tugas dan tanggung jawab pada setiap shift kerja, pada opening shift, middle, dan closing (pp.11-12).

Smith (1995) juga mengungkapkan 8 poin untuk menjadi waiter yang baik, yaitu:

1. Dapur adalah markas waiter. Tiga hal yang harus diingat : a. Membawa sesuatu dari dapur ke meja.

b. Mencatat pesanan pelanggan.

c. Mengembalikan sesuatu yang ada di meja ke dapur.

(21)

2. Keahlian yang paling penting adalah keahlian dalam memperhatikan area sekitar. Yaitu dengan cara mengawasi area sekitar dalam restoran tersebut.

3. Mengelilingi tiap-tiap meja untuk mengetahui apabila ada pelanggan yang membutuhkan bantuan.

4. Ramah dan bersahabat terhadap pelanggan dan mampu menilai tipe pelanggan tersebut.

5. Kemauan untuk membantu pelanggan. Misalnya membantu pelanggan dalam memahami menu.

6. Selalu terlihat ceria dan segar.

7. Selalu akurat dalam menjelaskan menu dan memberikan rekomendasi kepada pelanggan.

8. Jika sedang melayani pelanggan, dan pelanggan lain meminta bantuan pada saat yang bersamaan, seorang waiter yang baik harus memberi tahu untuk menunggu.

Standar servis yang ada saat ini merupakan suatu perilaku atau tindakan yang positif. Menjadi ramah tanpa berlebihan dan memberikan servis yang cepat serta servis yang sesuai dengan yang diinginkan oleh pelanggan merupakan tugas utama seorang waiter. Nuansa restoran serta perilaku waiter yang bekerja di restoran, serta gaya berkomunikasi dapat berpengaruh terhadap kenyamanan pelanggan. Menjadi seorang waiter sama halnya dengan menjadi seorang psikiater. Seorang waiter harus memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami bagaimana pola pikir berbagai macam tipe pelanggan (Susie, n.d).

2.1.5.2. Berkomunikasi dengan pelanggan

Paz, Sanders, & Wilkinson (2002) menyatakan bahwa waiter adalah seseorang yang mewakili kepribadian dan bentuk suatu restoran. Waiter adalah seorang penjual dan penyedia, menjual makanan dan minuman, dan menyediakan servis. Tugas waiter adalah:

1. Melayani pelanggan dan memberikan layanan kepada pelanggan hingga pelanggan tersebut merasa puas.

2. Mewakili restoran dan manajemen tempat waiter tersebut bekerja.

(22)

3. Menampilkan standar kualitas dan layanan restoran.

4. Mendapatkan keuntungan dari tip yang diberikan oleh pelanggan.

5. Selalu senyum.

6. Berpenampilan rapi.

7. Bertindak cepat.

8. Memiliki postur tubuh yang baik.

9. Memperhatikan pelanggan.

10. Bersahabat.

11. Cekatan.

12. Berbicara dengan jelas.

13. Bertanggung jawab (pp.118-119).

2.2. Hubungan Antar Konsep

Konsep tip mempunyai hubungan dengan self service dan table service.

Dimana, menurut Mathews (2005), tip diberikan sebagai hadiah atau pemberian, biasanya berbentuk uang, diberikan sebagai imbalan atas servis di industri food service khususnya di industri restoran. Sedangkan self service dan table service merupakan salah satu metode servis di suatu industri restoran tersebut. Lubbock Avalanche (1997) mengungkapkan bahwa pelanggan yang makan di sebuah restoran yang menerapkan metode self service seharusnya tidak perlu memberikan tip, kecuali waiter di restoran tersebut membawakan semua atau sebagian dari pesanan pelanggan tersebut, mengisi ulang minuman, dan membersihkan meja.

Jika waiter di restoran self service melakukan salah satu tindakan tersebut, maka menurut informan tersebut, tip yang diberikan adalah sebesar 10% dari total pembelian. Sedangkan menurut Mathews (2005) pada restoran yang menerapkan metode table service, tip yang diberikan berdasarkan kualitas servis yang diberikan. Tip sebesar 10% dari total pembelian diberikan jika kualitas servis yang didapat dibawah standard, dan 15% dari total pembelian jika kualitas servis yang diterima adalah servis yang standard, dan 20% dari total pembelian atau bahkan lebih, jika pelanggan mendapatkan servis yang sangat baik dan luar biasa.

Bahkan, teori yang diungkapkan oleh Klara (2005, p.18) menunjukkan bahwa interpersonal waiter, baik itu berupa keramahan, kecekatan, bahkan hanya bahasa

(23)

tubuh yang diberikan kepada pelanggan mampu menggugah pelanggan untuk memberikan tip. Maka dari itu, Sanders, Paz & Wilkinson (2002, pp.11-12) berpendapat bahwa untuk merekrut waiter, kemampuan interpersonal waiter tersebut juga perlu diperhitungkan. Menurut Mathews (2005), kebanyakan orang memberikan tip hanya di restoran yang benar-benar menyediakan layanan seperti bar, salon, atau restoran yang menerapkan metode full service. Sehubungan dengan pernyataan tersebut, Klara (2005, p.18) mengemukakan bahwa saat ini restoran yang menerapkan metode servis self service juga berusaha mendapatkan tip dengan cara meletakkan kotak tip di dekat kasir.

Hubungan antara konsep tip, self service dan table service dapat terlihat dari dasar-dasar teori yang telah dikemukakan di atas.

(24)

2.3. Kerangka Pemikiran dan Penjelasan.

2.3.1. Kerangka Berpikir

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir Starbucks Coffee Discovery

Mall-Bali menerapkan metode self service.

Pelanggan asing (non domestic) memberikan

tip.

Faktor-faktor yang menyebabkan pelanggan asing (non domestic) memberikan tip baik di metode self

service maupun di table service.

The Wave Coffee Bar -Bali menerapkan metode table

service.

Pelanggan asing (non domestic) memberikan

tip.

Persamaan dan perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi pelanggan

asing (non domestic) memberikan tip di metode

self service dan table service.

Pengaruh pemberian tip oleh pelanggan asing terhadap interpersonal dan keahlian karyawan di Starbucks Coffee

Discovery Mall-Bali dan The Wave Coffee Bar-Bali.

(25)

2.3.2. Penjelasan

Starbucks Coffee Discovery Mall-Bali menerapkan metode self service dan The Wave Coffee Bar-Bali menerapkan metode table service. Di kedua tempat tersebut pelanggan asing (non domestic) memberikan tip. Penulis ingin mencari dan mendapatkan faktor-faktor yang menyebabkan pelanggan asing tersebut memberikan tip di Starbucks Coffee Discovery Mall-Bali yang menerapkan metode self-service dan di The Wave Coffee Bar-Bali yang menerapkan metode table service. Kemudian, faktor-faktor tersebut dicari perbedaan dan persamaannya. Setelah itu, pihak penulis ingin mencari tahu pengaruhnya terhadap interpersonal dan keahlian karyawan di Starbucks Coffee Discovery Mall-Bali dan The Wave Coffee Bar-Bali.

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka BerpikirStarbucks Coffee Discovery

Referensi

Dokumen terkait

Kertajaya dalam Putri dan Astuti (2012) mendefinisikan Experiential Marketing sebagai suatu konsep pemasaran yang bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara

Sedangkan menurut Grewal&Levy (2008), loyalty program bertujuan untuk menciptakan ikatan secara emosional antara perusahaan dengan pelanggan, serta untuk memenuhi

Menurut Rangkuti (2002, p.30), “kepuasan konsumen didefinisikan sebagai respon konsumen terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual

Penelitian Taylor, Celuch, dan Goodwin (2004) melakukan penelitian di bidang industri alat berat dengan jumlah sampel 457 responden yang berjudul “The importance

Reaksi pasar tidak hanya ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham yang tercermin dari abnormal return, indikator kedua yang dapat digunakan dalam melihat

Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah karyawan yang melakukan layanan langsung ke pelanggan dan pelanggan pada restoran dan cafe yang melayani secara table service

Menurut O’Shannessy dan Minett (2003), dalam segala bidang jasa yang sering digunakan oleh manusia baik itu transportasi, retail, maupun perhotelan pasti diharapkan

Balasubramanian dan Mahajan, (2001) mengatakan bahwa approval utility berhubungan dengan kepuasan konsumen yang lain, ketika konsumen tersebut menyetujui pendapat konsumen