• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI GAYA BAHASA SEBAGAI CERMINAN KEARIFAN LOKAL BAHASA KAILI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BENTUK, MAKNA, DAN FUNGSI GAYA BAHASA SEBAGAI CERMINAN KEARIFAN LOKAL BAHASA KAILI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

FORM, MEANING, AND FUNCTION OF LANGUAGE STYLE AS REFLECTION OF LOCAL CULTURE OF KAILINESE LANGUAGE

Tamrin a, Nursyamsi b Balai Bahasa Sulawesi Tengah

Jalan Untad I, Bumi Roviga, Tondo, Palu, Indonesia Pos-el: thamrin21@ymail.com

Naskah diterima: 21 September 2020; direvisi: 21 Oktober 2020; disetujui: 8 Desember 2020

Abstract

Local wisdom was human intelligence which was owned by ethnicity community which was gotten through society experiences but now, the local wisdom as if downing by effect of foreign culture. This research purposed to describe form, meaning and function of local wisdom in expression of language style in Kailinese language. The method which was used in this research was data provision of data, data analysis, and presentation of analysis result. The analysis result showed that local culture in language expression form in Kailinese language which could be made as local culture of kailinese was language style based on its meaning, such as eufemisme, similarity or smile, metaphor, personification, eponym, and irony. Function and meaning in expression of Kailinese language style still relevant to be made as form of local culture by kailinese ethnicity society. As for its function of language style as tool of controller and supervisor of social norm, tool of communication, tool of society controller, tool of child education, maintenance facilities and strengthen of harmony between religious society and between interethnic. That meaning was made as media of local widson by parents, religious leader, public figure in giving advice, forbidden and religious teaching.

Keywords: Kailinese language, culture, language style, local culture, expression

Abstrak

Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnik tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Namun, setakat ini, kearifan lokal tersebut seakan tenggelam tergerus oleh pengaruh budaya asing. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna kearifan lokal dalam ungkapan gaya bahasa dalam bahasa Kaili. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Hasil analisis menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam bentuk ungkapan gaya bahasa dalam bahasa Kaili yang dapat dijadikan sebagai kearifan lokal masyarakat Kaili adalah gaya bahasa berdasarkan makna, seperti eufemisme, persamaan atau simile, metafora, personifikasi, eponym, dan ironi. Fungsi dan makna dalam ungkapan gaya bahasa Kaili masih tetap relavan untuk dijadikan sebagai bentuk kearifan lokal oleh masyarakat etnik Kaili. Adapun fungsi gaya bahasa tersebut sebagai alat pengendali dan pengawas norma sosial, alat komunikasi, alat pengendali masyarakat, alat pendidikan anak, serta sarana pemeliharaan dan pemerkuat kerukunan antarumat beragama dan antaretnik. Makna ungkapan tersebut dijadikan sebagai media kearifan lokal oleh orang tua, pemuka agama, tokoh masyarakat dalam menyampaikan nasihat, larangan, dan ajaran agama.

Kata kunci: bahasa Kaili, budaya, gaya bahasa, kearifan lokal, ungkapan

PENDAHULUAN

Setakat ini, nilai-nilai budaya asli Indonesia mulai keluar dari bingkainya.

Langkah nyata yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan dan mengembalikan budaya kehidupan yang harmonis adalah dengan

menggali kembali tradisi lisan kearifan lokal masyarakat Indonesia. Nilai budaya kearifan lokal yang pernah dijunjung tinggi dan diimplementasikan dalam kehidupan nenek moyang yang terekam dalam tradisi lisan perlu digali dan diungkap. Pola pikir dan tata nilai

(2)

yang pernah hidup dan dijunjung tinggi oleh leluhur dapat dijadikan pedoman untuk menjalani kehidupan pada masa kini dan masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan pernyataan (Dananjaya, J. 1984:32) yang mengatakan bahwa kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi lisan merupakan proyeksi, alat untuk pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, sebagai alat pembentukan budi pekerti (pendidikan moral), dan alat untuk pengawasan norma masyarakat. Pernyataan itu mencerminkan betapa penting dan bernilainya kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi lisan dalam masyarakat. Oleh karena itu, bentuk, makna, dan fungsi kearifan lokal dalam tradisi lisan khususnya ungkapan gaya bahasa perlu digali dan diperkenalkan kepada masyarakat terutama generasi muda sebagai generasi penerus bangsa.

Di tengah perkembangan zaman seperti sekarang ini, bahasa dan budaya daerah perlu dilestarikan karena budaya dan bahasa daerah tersebut mengandung nilai-nilai yang sangat luhur. Sekaitan dengan itu, (Soekanto, 1999) memandang kebudayaan sebagai suatu yang superorganic karena kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi tetap hidup terus menerus. Dalam bahasa dan budaya daerah terdapat kearifan lokal yang perlu terus digali di samping tetap menikmati kebudayaan yang modern. Apabila masyarakat melupakan kearifan lokal yang ada berarti mengingkari eksistensi warisan budaya nenek moyang yang sangat bernilai tinggi. Salah

satu kearifan lokal yang ada di seluruh nusantara adalah ungkapan melalui gaya bahasa.

Selanjutnya, Arsyad, dkk. (1986) mengemukakan bahwa gaya bahasa dikenal dengan istilah style dalam retorika. Kata style berasal dari kata stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Kemudian pengertian ini berkembang dengan penekanan pada keahlian menggunakan kata-kata secara indah. Gaya bahasa dalam bahasa daerah merupakan pesan dan nasihat kepada seluruh anggota masyarakat pemiliknya yang tinggal di daerah itu. Oleh karena itu, sangat wajar jika adat, kebiasaan, tradisi, tata nilai, dan kebudayaan masyarakat lingkungannya juga terekam di dalam gaya bahasa pada bahasa daerah tersebut. Hal tersebut perlu dilakukan guna menghidupkan kembali kearifan lokal sebagai tatanan kehidupan yang harmoni.

Apabila hal ini terabaikan, karakter budaya dan bahasa tertentu akan menjadi semakin samar dan tergantikan dengan budaya global yang bersifat umum. Kecenderungan warna budaya tertentu yang berbasis budaya etnik akan semakin luntur.

Saat ini sudah saatnya konsep globalisasi dimaknai ulang agar budaya dapat berdiri kukuh bersanding dengan budaya lain baik di tingkat nasional, regional, maupun pada tingkat internasional.

Demikian juga dalam bahasa Kaili terdapat ungkapan gaya bahasa yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Budaya Kaili dari zaman dahulu terkenal sebagai budaya yang menyimpan banyak nilai yang sangat luhur

(3)

mulai dari etika dan sopan santun di dalam rumah sampai sopan santun di ranah publik.

Bagaimana mengeluarkan pendapat, berbicara kepada orang tua, berpakaian, makan, memperlakukan orang lain, dan sebagainya semuanya telah ada dalam budaya Kaili. Bahasa dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya, baik yang sekarang maupun yang telah diawetkan dan yang akan datang (dengan cara mewariskannya). Tanpa bahasa tidak akan ada budaya. Setiap masyarakat budaya mempertahankan konsepnya melalui nilai budaya dan sistem budaya dengan mempertahankan fungsi, satuan, batas, bentuk, lingkungan, hubungan, proses, masukan, keluaran, dan pertukaran. Oleh karena itu, tinggi rendahnya nilai budaya sangat bergantung pada pertahanan masyarakatnya dalam meng- operasionalkan sistem tersebut.

Ungkapan dalam gaya bahasa termasuk dalam budaya Kaili memiliki kearifan lokal yang sangat kaya. Kearifan lokal terdapat dalam semua aspek kehidupan budaya Kaili. Kekayaan dan keberagaman kearifan lokal inilah yang akan dikembangkan sebagai bahan pem- belajaran muatan lokal terhadap etnik Kaili.

Selain kandungan kearifan lokal yang sangat menarik, saat ini juga ada anjuran UNESCO untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan kearifan lokal kepada masyarakat dunia yang dapat digunakan sebagai solusi alternatif dalam menangani permasalahan kehidupan. Oleh karena itu, kearifan lokal budaya Kaili dalam ungkapan gaya bahasa perlu diangkat,

didokumentasikan, dilestarikan, dan direvitali- sasi.

Sejalan dengan itu, Haryati Soebadio dalam (Ayatrohaedi, 1986: 18--19) berpendapat bahwa kearifan lokal merupakan suatu identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Sementara itu, Moendardjito dalam Ayatrohaedi, (1986:40) mengatakan bahwa unsur budaya daerah berpotensi sebagai kearifan lokal karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah

1. mampu bertahan terhadap budaya luar, 2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,

3. mempunyai kemampuan mengintegrasi- kan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,

4. mempunyai kemampuan mengendalikan, dan

5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya .

Selanjutnya, nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam tradisi lisan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan, terutama sebagai muatan lokal khususnya di Kota Palu. Di samping itu, dapat dijadikan sebagai rujukan dalam upaya kepedulian terhadap kekhawatiran bergesernya budaya-budaya lokal di tengah berkembangnya arus modernisasi dan kecanggihan teknologi.

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

(4)

penguatan keberadaan kearifan lokal sebagai muatan lokal wajib di semua jenjang sekolah.

Selain itu, juga dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam pengadaan guru bahasa daerah sebagai jalinan kemitraan antara perguruan tinggi penyedia guru dengan pemerintah dan masyarakat.

Beberapa kajian mengenai gaya bahasa dan peribahasa sebagai cerminan dalam kearifan lokal telah dilakukan. Tulisan yang berjudul Kearifan Lokal Masyarakat Kaili di Sulawesi Tengah yang ditulis oleh Sukmawati yang membahas masalah kearifan lokal masyarakat Kaili yang mengandung nilai positif secara turun-temurun dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku masyarakat Kaili yang merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Sulawesi Tengah. Selanjutnya, Tulisan yang berjudul “Peribahasa Jawa sebagai Cerminan Watak, Sifat dan Prilaku Manusia Jawa” ditulis oleh Prihatmi, dkk. (2003).

Dalam tulisan tersebut diuraikan tentang peribahasa Jawa merupakan telangkai komunikasi. Dalam komunikasi antarmanusia sering terjadi gejala eufimisme atau pemakaian kata-kata kalimat yang tepat untuk mengungkapkan maksud pembicara.

Selanjutnya, tulisan yang berjudul “Peribahasa:

Cerminan Kepribadian Budaya Lokal dan Penerapannya di Masa Kini” di tulis oleh Widyastuti, (2010). Tulisan tersebut membahas masalah pentingnya mem-pertahankan dan menghayati peribahasa-peribahasa bahasa Jawa beserta maknanya yang luhur sebagai warisan

negeri generasi muda. Selanjutnya, dalam tulisan tersebut juga membahas masalah peribahasa-peribahasa yang tidak relavan lagi diterapkan dalam konteks masa kini. Lebih lanjut Sunanri, dkk. (2019) dalam tulisan berjudul “Makna Budaya Leksikon Mizu yang Tercermin dalam Peribahasa Jepang dan Padanannya dalam Peribahasa Sunda” tahun 2019 membahas masalah makna budaya mizu

“air” dalam bahasa Jepang dan padanannya dalam peribahasa Sunda. Hasil analisis tulisan tersebut menyebutkan bahwa mizu “air”

merupakan zat yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia di antaranya masyarakat Jepang dan Sunda. Sepanjang pengetahuan penulis kajian yang membahas masalah gaya bahasa sebagai cerminan kearifan lokal belum pernah dikaji, apalagi gaya bahasa sebagai cerminan kearifan lokal dalam bahasa Kaili. Hal itulah yang memotivasi penulis untuk mengkaji permasalahan tersebut, yaitu bentuk, makna, dan fungsi gaya bahasa sebagai cerminan kearifan lokal dalam bahasa Kaili.

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah bentuk, fungsi, dan makna kearifan lokal dalam ungkapan gaya bahasa dalam bahasa Kaili? Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna kearifan lokal dalam ungkapan gaya bahasa dalam bahasa Kaili.

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai sumbangan bagi pengembangan khazanah keilmuan dalam kajian

(5)

etnolinguistik, khususnya kearifan lokal dalam bidang pendidikan karakter bangsa agar tidak bergeser dari bingkainya. Secara praktis, yang diharapkan melalui penelitian ini adalah agar kearifan lokal dalam tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat etnik Kaili dapat dikenal dan diapresiasi dengan baik oleh masyarakat etnik Kaili pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

LANDASAN TEORI

Kearifan lokal merupakan suatu bentuk warisan budaya Indonesia yang telah berkembang sejak lama. Di dalam kearifan lokal terkandung nilai-nilai, norma-norma, sistem kepercayaan, dan ide-ide masyarakat setempat.

Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnik tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.

Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut (Rahyono, 2009:7) Pemahaman tersebut menggambarkan bahwa dalam sebuah budaya terdapat nilai-nilai yang muncul dalam kecerdasan masyarakat semasa masyarakat tersebut ada. Artinya, kearifan lokal masyarakat sudah teruji oleh waktu dan melekat pada masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, perlu diupayakan wacana alternatif dalam

dekonstruksi globalisasi sesuai dengan pemaknaan yang dimunculkan oleh Hoed (2008:107).

Kearifan lokal memiliki banyak fungsi seperti yang diungkapkan oleh Sartini, (2004) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa:

nilai, norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi tersebut antara lain adalah:

1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.

2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.

3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan.

Kearifan lokal berkaitan erat dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

Namun, seiring perkembangan waktu kedudukan kearifan lokal semakin terpinggirkan. Dewasa ini, kearifan lokal mengalami tantangan-tantangan, diantaranya perkembangan teknologi yang semakin pesat diikuti dengan adopsi teknologi berlebihan tanpa mempertahankan pengetahuan lokal.

Penggunaan teknologi yang berlebihan dapat merusak keseimbangan alam dan lingkungan.

Banyak diantara masyarakat yang tidak menyadari esensi sesungguhnya dari kearifan lokal dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan

(6)

yang telah dibangun sejak lama oleh nenek moyang mereka. Kegiatan mewariskan kearifan- kearifan lokal kepada generasi penerus untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan telah memudar bahkan ditinggalkan.

Sekaitan dengan itu, antara bahasa, budaya, dan cara pandang manusia saling berkaitan dalam membentuk sebuah tatanan kehidupan manusia yang harmoni. Selanjutnya, Ratna (2010:26) juga menyebutkan apabila secara definitif, kebudayaan merupakan keseluruhan kelakuan dan hasil kelakuan manusia, maka masyarakat adalah jaringan manusia yang mewadahi kebudayaan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, uraian ini sangat relevan dikaitkan dengan kajian linguistik antropologi. Linguistik antropologi, yang pada dekade 1940-an di Amerika dikenal sebagai etnolinguistik, didefinisikan oleh Hymes sebagai studi tentang bahasa dan ujaran dalam konteks antropologi. Selanjutnya, Duranti (1997:28) juga menegaskan bahwa linguistik antropologi merupakan ilmu yang mempelajari bahasa sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai praktik budaya.

Selanjutnya, Frans Boas, (berkebangsaan Amerika) mengkaji masalah tersebut dengan menamakan antropologi linguistik dan di Eropa dipakai istilah etnolinguistik (Duranti, 1997).

Pandangan Crystal (1992:54) menyatakan bahwa pada dasarnya etnolinguistik, linguistik kebudayaan, dan antropologi linguistik secara umum memiliki kesamaan. Lebih lanjut, Malinowski dalam Hymes, 1964:4) menyatakan

bahwa melalui etnolinguistik manusia dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya, sosial, mental, dan psikologis. Penggunaan bahasa dalam berkomunikasi cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling memengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan (Hymes, 1964:5). Franz Boas adalah salah seorang yang berkontribusi dalam pengembangan antropologilinguistik. Frans Boas menyatakan pula bahwa bahasa tidak bisa dipisahkan dari fakta sosial budaya masyarakat pendukungnya. Salah satu kontribusi Sapir dalam Bonvillian (1997:49) yang sangat terkenal adalah gagasannya yang menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial tempat penutur suatu bahasa bermukim. Hubungan antara kosakata dan nilai budaya bersifat multidireksional.

Berdasarkan dari beberapa pendapat, bahasa merupakan medium untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung nilai. Sejalan dengan itu, James (1986) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, dijadikan pedoman serta prinsip- prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut James, relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh karena itu, nilai dapat dilihat sebagai pedoman bertindak dan sekaligus sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat (1987), nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang

(7)

hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak.

Sehubungan dengan uraian tersebut, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori linguistik antropologi yang diadopsi dari teori Duranti yang mengemukakan bahwa linguistik antropologi merupakan ilmu yang mempelajari bahasa sebagai sumber budaya dan ujaran sebagai praktik budaya. Selain itu, juga digunakan teori Hymes yang menyatakan bahwa penggunaan bahasa dalam berkomunikasi cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling memengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan. Pertuturan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertuturan ungkapan dalam gaya bahasa yang dapat dijadikan sebagai pedoman kearifan lokal dalam sebuah etnik. Untuk melengkapi kajian tersebut digunakan pula teori Koentjaraningrat yang menyatakan bahwa sebuah nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat mulia.

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-kualitatif. Metode ini suatu prosedur untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan (Semi, 1990). Selanjutnya, tahapan metode dalam penelitian ini mengikuti

saran Sudaryanto (2015), yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis.

Penyediaan data dilakukan dengan metode cakap dan teknik lanjutan teknik cakap semuka.

Teknik rekam dan catat juga digunakan. Dari hasil wawancara terkumpul ungkapan gaya bahasa dan selanjutnya dianalisis. Penyajian hasil analisis dirumuskan dengan cara informal, yaitu dengan menggunakan kata-kata atau uraian kualitatif.

Selain itu, penelitian ini juga termasuk jenis penelitian lapangan dengan pendekatan sosiolinguistik. Oleh karena itu, pengkajian memakai pendekatan ilmu-ilmu sosial sebagaimana disarankan oleh Fasold (1984), suatu kajian sosiolinguistik melihat fenomena pemakaian bahasa sebagai fakta sosial yang menempatkan pemakaian suatu ragam bahasa sebagai sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya yang berhubungan dengan pemakian bahasa dalam konteks yang sebenarnya. Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi. Sosiolinguistik mempelajari hubungan antara pembicara dan pendengar, berbagai macam bahasa dan variasinya, penggunaannya sesuai dengan berbagai faktor penentu, baik faktor kebahasaan maupun lainnya, serta berbagai bentuk bahasa yang hidup dan dipertahankan di dalam suatu masyarakat.

(8)

Gagasan itu mengandung pengertian bahwa sosiolinguistik mencakupi bidang kajian yang luas, bukan hanya menyangkut wujud formal bahasa dan variasi bahasa melainkan juga penggunaan bahasa di masyarakat. Penggunaan bahasa tersebut bertemali dengan berbagai faktor, baik faktor kebahasaan itu sendiri maupun faktor nonkebahasaan, seperti faktor sosial budaya, termasuk tata hubungan antara pembicara dan pendengar. Implikasinya adalah bahwa tiap-tiap kelompok masyarakat mempunyai kekhususan dalam hal nilai-nilai sosial budaya dan variasi penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.

PEMBAHASAN

Ungkapan dan pribahasa dibangun dengan pola- pola gaya bahasa yang merupakan bentuk yang berisi pernyataan, pendapat, atau suatu kebenaran umum. Ungkapan dan pribahasa kaya akan makan yang dibangun dari aspek bahasa dan aspek kebudayaan masyarakat pemakainya.

Pembahasan dalam penelitian ini akan mengamati gaya bahasa dari segi makna pada ungkapan dan pribahasa dalam bahasa Kaili.

Ungkapan dan peribahasa tersebut dijadikan sebagai bentuk kearifan lokal etnik Kaili. Arsyad dkk. (1999) mengemukakan bahwa gaya bahasa berdasarkan makna, yaitu gaya bahasa dilihat dari segi ketidaklangsungan (penyimpangan) makna dan dapat juga disebut sebagai gaya bahasa kiasan.

Demikian juga ungkapan dalam bahasa Kaili yang dapat dijadikan sebagai bentuk

kearifan lokal dalam lingkungan etnik Kaili.

Dalam ungkapan gaya bahasa eufemisme, persamaan atau simile, metafora, personifikasi, eponiym, dan ironi. Semua bentuk tersebut adalah ungkapan dan peribahasa etnik Kaili yang mengandung pesan moral penghormatan, perbandingan antara yang baik dan yang buruk.

Selanjutnya, bentuk gaya bahasa berupa ungkapan perbandingan, yaitu ungkapan dan peribahasa yang mengandung makna kiasan, secara semantis dan terdapat unsur yang dibandingkan. Unsur yang dibandingkan adalah manusia dengan perilaku serta watak manusia.

Gaya bahasa dalam ungkapan tersebut seperti berikut ini.

1. Bentuk Kearifan Lokal dalam Gaya Bahasa Berdasarkan Makna

a. Eufemisme

Gaya bahasa eufemisme adalah gaya bahasa bahasa acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan. Dengan kata lain ungkapan-ungkapan yang dianggap tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan diganti dengan ungkapan-ungkapan yang lebih halus.

Contoh:

1. Tinana nolipamo.

‘Ibunya telah berjalan’

Ibunya sedang menarik napas terakhir (sakratul maut)

2. Ledo nikava posoka

‘Tidak terjangkau penjolok’

Tidak diundang

(9)

3. Nogurumo tai.

‘Perut telah berbunyi’

Sudah lapar

Ungkapan-ungkapan tersebut menghaluskan makna. Contoh ungkapan (1), kata nolipamo

‘telah berjalan’ bermakna sedang menarik napas terakhir (sakratul maut) menggantikan kata atau frasa nangata nyava ‘akan habis nyawa’.

Contoh (2), frasa nikava posoka ‘terjangkau penjolok’ bermakna turut mengundang menggantikan frasa nigaga ‘diundang’ yang dirasakan kurang halus. Contoh (3), kata nogurumo tai ‘telah berbunyi perut’ bermakna

telah merasa lapar menggantikan ungkapan naaramo tai ‘sudah kosong perut (lapar)’.

b. Persamaan atau Simile

Gaya simile menunjukkan kesamaan-kesamaan.

Simile adalah gaya pertautan yang membandingkan dua hal yang secara hakiki berbeda, tetapi dianggap mengandung segi yang serupa, dinyatakan dengan kata-kata seperti, laksana, bagaikan, dan sebagainya. Dalam pribahasa bahasa Kaili gaya bahasa ini ditandai dengan kata-kata eva ‘seperti’ dan mpo

‘bagaikan’.

Contoh:

4. Eva vula dongga

‘seperti bulan purnama’

5. Eva asu ante taveve.

‘Seperti anjing dan kucing’

6. Nalai mpo ule.

‘Pergi bagaikan ular’

Pada contoh gaya bahasa (4), (5), dan (6) adalah sesuatu yang dibandingkan tidak dinyatakan secara langsung karena pembicara dan yang mendengarkan telah mengetahui sebelumnya.

Contoh (4), yang dibandingkan dengan bula dongga ‘bulan purnama’ dikatakan kepada

orang yang cantik jelita, rupawan, dan wajah yang bersinar. Pada contoh (5) yang dibandingkan adalah asu ante taveve ‘anjing dan kucing’ membandingkan perilakunya. Hal ini biasa dikatakan kepada dua orang yang saling bermusuhan dan tidak bisa didamaikan.

Selanjutnya, contoh (6) bukan dibandingkan, tetapi disamakan, nalai mpo ule ‘pergi bagaikan ular’ bermakna perilaku yang kurang baik. Gaya bahasa ini biasa dikatakan kepada orang yang pergi tanpa berpamitan.

c. Metafora

Gaya bahasa metafora adalah gaya bahasa yang menyatakan perbandingan antara dua hal secara langsung. Metafora sebagai perbandingan langsung menghubungkan pokok pertama dengan kedua. Keterangan mengenai persamaan pada pokok pertama secara berangsur-angsur dihilangkan. Maksudnya, selain dengan kata- kata benda dapat pula dengan kata kerja.

Contoh:

7. Tuakana petidomboa tinana

‘Kakaknya merupakan sandaran ibunya’

8. Nompaka jua lara jaritana

‘Menyakitkan hati tutur katanya’

(10)

9. Niposumbaka tonamo pohedona

‘Telah menjadi buah mulut orang tingkah lakunya’

Unsur-unsur yang berhubungan pada pokok pertama dan kedua pada contoh tersebut tampak dengan jelas. Pada contoh (7) potidomboa

‘sandaran’ merupakan unsur pembanding terhadap tuakana ‘kakaknya’ adalah unsur yang dibandingkan. Gaya bahasa ini sering dikatakan kepada orang (kakak) yang menjadi tumpuan keluarganya karena ayahnya sebagai pencari nafkah telah meninggal dunia. Selanjutnya contoh (8) nompaka jua lara ‘menyakitkan hati’

secara implisit merupakan pembanding terhadap jaritana ‘ceritanya’ yang berfungsi sebagai

unsur yang dibandingkan. Gaya bahasa tersebut dikatakan kepada orang yang bercerita kasar dan menyakitkan hati terhadap orang yang dibicarakan. Lebih lanjut contoh (9) niposumbaka tonamo ‘menjadi buah mulut

orang’ merupakan pembanding, sedangkan pahedona ‘tingkah lakunya’ adalah unsur yang

dibandingkan. Hal ini biasa dikatakan kepada orang yang bertingkah laku tidak sopan sehingga dianggap sebagai sampah bagi masyarakat Kaili dan menjadi pembicaraan orang di sekitarnya.

d. Personifikasi

Personifikasi adalah gaya bahasa yang memberikan sifat-sifat manusia ke benda yang tidak bernyawa (Sudjiman, 1992). Personifikasi merupakan suatu corak khusus dari metafora yang mengiaskan benda mati bertindak atau berbuat seperti manusia. Dalam ungkapan atau

peribahasa Kaili ditemukan gaya personifikasi seperti dalam contoh berikut ini.

10. Nombarumpa votona mboto jaritana

‘Menubruk dirinya sendiri ceritanya’

Ceritanya juga yang membuatnya celaka

11. Patujuna manjudu langi, rakuya naede bata

‘maksudnya menyentuh langit, apa daya pendek badan’

12. Talua mompatuvu kami

‘Kebun menghidupi kami’

Kami hidup dari hasil perkebunan

Contoh ungkapan (10) merupakan benda yang diinsankan adalah jaritana ‘ceritanya’. Benda tersebut seakan-akan bertindak tanduk, berperasaan bagaikan watak manusia. Makna ungkapan nombarumpa votona mboto jaritana

‘ceritanya juga yang membuatnya celaka’ biasa dikatakan kepada orang yang selalu mengumbar kesalahan orang lain sementara dia juga berada dalam lingkaran kesalahan tersebut.

Selanjutnya, contoh (11) patuju juga merupakan benda yang seakan-akan berperasaan. Pada contoh tersebut patujuna manjudu langi, rakuya naede bata ‘maksudnya menyentuh langit, apa

daya pendek badan’ biasa dikatakan kepada orang yang bercita-cita tinggi tetapi tidak ada daya, tidak ada biaya untuk menggapai cita-cita itu. Lebih lanjut, contoh ungkapan (12) terdapat kata yang seakan-akan berwatak seperti manusia yaitu talua ‘kebun’. Kebun seakan-akan berprilaku seperti manusia yang mampu menghidupi atau menafkahi seseorang.

Ungkapan tersebut biasa dikatakan kepada

(11)

seorang petani di kebun dan dengan hasil kebun itu dia mampu menghidupi keluarganya.

e. Ironi

Ironi adalah sindiran yang ingin menyatakan sesuatu dengan makna atau maksud yang berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. Dalam ungkapan atau peribahasa bahasa Kaili ditemukan gaya ironi, seperti dalam contoh berikut ini.

13. Dopa nangande komiu, dako randua njurava.

‘Kamu belum makan, baru dua piring.’

14. Raipa norongo ia hei, dako aona anana.

‘Ia belum kawin, baru enam orang anaknya.’

15. Nasintampu komiu, nagaro puramo tona.

‘Cepat sekali kamu tiba, telah bubar orang.’

Kamu tiba cepat sekali, orang semua sudah bubar.

Maksud yang terkandung di dalam pernyataan gaya ironi hanya dapat diketahui apabila pendengar menyimak dengan saksama dan terlebih dahulu mengetahui situasi awal. Contoh ungkapan (13) Dopa nangande komiu, dako randua njurava ‘Kamu belum makan, baru dua

piring’ sindiran ini biasa dikatakan kepada orang yang rakus, makan berlebihan tanpa mengenal waktu. Segala sesuatu yang berlebihan dari seharusnya akan memberikan dampak negatif, termasuk saat makan. Makan berlebihan bisa membahayakan bagi kesehatan tubuh, yaitu dapat menyebabkan obesitas, meningkatkan risiko terjadinya penyakit kronik,

bahkan bisa menyebabkan masalah mental.

Selanjutnya, ungkapan (14) Raipa norongo ia hei, dako aona anana ‘Ia belum kawin, baru

enam orang anaknya’ sindiran ini biasa dikatakan kepada orang yang hendak menikah lagi tetapi telah mempunyai istri dan anak. Lebih lanjut, contoh ungkapan (15) Nasintampu komiu, nagaro puramo tona ‘Kamu tiba cepat

sekali, orang semua sudah bubar’. Ungkapan tersebut dalam etnik Kaili biasa dikatakan kepada orang yang sering datang terlambat, kurang disiplin, dan pemalas. Berdasarkan hasil wawancara terhadap informan bahwa etnik Kaili taat pada aturan dan waktu. Menurutnya, kedisiplinan dapat meng-arahkan seseorang untuk menyesuaikan diri terutama dalam menaati peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan. Sikap disiplin wajib dimiliki bagi setiap orang. Disiplin sangat penting dan dibutuhkan oleh setiap orang dan menjadi prasyarat bagi pembentukan sikap, perilaku, dan tata tertib kehidupan berdisiplin. Ungkapan dan peribahasa merupakan bentuk bahasa yang mengandung makna kiasan, secara semantik terdapat unsur yang dibandingkan. Dalam ungkapan dan peribahasa Kaili yang dibandingkan atau diumpamakan terdiri atas manusia dan perilakunya, wataknya, dan situasi.

2. Bentuk Kearifan Lokal dalam Gaya Bahasa Berdasarkan Perbandingan

a. Manusia dan Perilaku

Manusia secara utuh tidak hanya dilihat dari struktur organik, tetapi harus dilihat dari struktur

(12)

psikologi yang secara fungsional terkait dengan struktur tersebut. Perilaku atau sifat buruk yang digambarkan dalam ungkapan dan peribahasa Kaili antara lain asusila, meresahkan orang lain, dan tidak tahu menjaga rahasia atau bertindak tergesa-gesa. Di samping perilaku buruk, perilaku baik pun digambarkan pula dalam ungkapan dan peribahasa Kaili, antara lain bekerja keras, bergotong royong, saling menolong dan kerja sama. Berikut adalah contohnya.

(16) Lau sala ‘Arah salah’

Tidak tentu arah

(17) Raipa sangguya nontendemo ‘Belum berapa sudah melompat’

Belum apa-apa sudah melompat Kegirangan

(18) Nosiala pale

‘Saling mengambil tangan’

Bekerja sama (bergotong royong)

Ungkapan (16) Lau sala ‘Tidak tentu arah’

diungkapkan kepada seseorang yang tidak menentu arah dan tujuan hidupnya. Dalam masyarakat Kaili, perilaku seperti ini dicontohkan pada seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mau bekerja serta arah dan tujuan hidupnya tidak menentu.

Hal ini oleh masyarakat Kaili dinilai sebagai perilaku buruk. Selanjutnya, contoh ungkapan (17) Raipa sangguya nontendemo ‘Belum apa- apa sudah melompat kegirangan’ meng- gambarkan sifat bangga pada hal yang dibanggakan belum berarti apa-apa. Sifat seperi ini terkadang menimbulkan sifat sombong.

Lebih lanjut, contoh ungkapan (18) Nosiala pale

‘Bekerja sama (bergotong royong)’

menggambarkan perilaku atau sifat kegotong- royongan. Sifat ini merupakan sifat yang sangat positif di kalangan masyarakat Kaili. Sifat ini digambarkan dengan kata nosiala ‘saling mengambil’ dan pale ‘tangan’ bermakna saling menolong dan kerja sama.

b. Watak Manusia

Sama halnya dengan perilaku yang digambarkan melalui ungkapan dan peribahasa, watak manusia pun digambarkan atas dua jenis, yaitu watak baik dan watak buruk. Watak baik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah sifat yang melekat pada seseorang, antara lain jujur, ramah tamah, sopan, dan memiliki kasih sayang.

Sebaliknya watak buruk, yaitu curang, mencelakakan orang lain, kikir, sombong, dan banyak omong. Berikut adalah contohnya.

(19) Sangu mbo sanggoto, sanggoto mbo Sakide

‘Satu masing-masing sepotong, sepotong masing-masing satu.’

Bila ada satu bagilah separuh-separuh dan bila ada separuh bagilah sedikit- sedikit

(20) Namomi lara ‘Manis hati’

Baik hati

(21) Namundo daa ‘Diam jahat’

Diam tapi jahat

(22) Da ri uluna da nosiromu, ri layanapa nompenga-pengamo

‘Masih dahulunya masih berkumpul, di hilirnya sudah bercabang-cabang’

(13)

Di hulunya masih bersatu, setelah di hilirnya sudah bercabang-cabang

Contoh nomor 19—22 menggambarkan watak yang baik dan watak yang buruk. Contoh (19) menggambarkan watak seseorang yang berlaku adil, mengasihi sesama, dan peduli terhadap orang lain. Contoh (19) tersebut menggambarkan watak seseorang yang memiliki rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan setia kawan. Demikian juga contoh (20) namomi lara ‘baik hati’ menggambarkan watak

yang baik yaitu watak yang disukai oleh orang lain. Ungkapan biasa dikatakan kepada orang yang berhati manis, baik, dan tidak membeda- bedakan sesama manusia. Sebaliknya contoh nomor (21) menggambarkan sifat atau watak jahat. Ungkapan namundo daa ‘diam tetapi jahat’ menggambarkan watak seseorang pendiam tetapi pada dasarnya berwatak jahat.

Kata nomundo ‘diam’ dan daa ‘jahat’, dalam arti diam melakukan perhitungan-perhitungan, memikirkan jalan apa yang ditempuh untuk mencapai sesuatu tujuan walaupun merugikan orang lain. Watak seperti ini cenderung dianggap paling berbahaya dalam kehidupan bermasyarakat oleh etnik Kaili. Demikian juga contoh nomor (22) juga menggambarkan watak buruk. Contoh (22) menggambarkan watak yang cenderung menipu. Klausa da ri uluna da nosiromu, ri layanapa nompenga-pengamo

‘Masih di hulunya masih berkumpul, di hilirnya sudah bercabang-cabang’ menggambarkan seperti sungai dari hulu masih menyatu airnya,

setelah di hilir terbagi-bagi dalam sungai kecil- kecil. Hal ini menggambarkan watak seseorang yang dalam kehidupan sehari-hari semula masih mengikuti aturan yang sebenarnya, lama kelamaan telah meninggalkan aturan tersebut demi memperoleh keuntungan dari orang lain.

c. Situasi

Situasi dalam hal ini menggambarkan keadaan, baik keadaan manusia maupun keadaan barang (selain manusia), masing-masing meliputi dua jenis, yaitu baik dan buruk. Situasi baik pada diri manusia antara lain, memperoleh hasil yang memuaskan dalam suatu usaha, dikaruniai anak yang sehat, berhasil dalam pendidikan, dan memperoleh informasi atau penghargaan.

Sebaliknya, situasi buruk yang terdapat pada barang, yaitu turun harga dan menjadi bahan celaan. Berikut adalah contoh ungkapan dan peribahasa keadaan baik dan keadaan buruk yang dapat dijadikan sebagai kearifan lokal dalam etnik Kaili.

(23) Naoni nggosi ‘Nyaring siul’

Siul terdengar nyaring

(24) Eva kuni bo toila

‘Bagaikan kunyit dan kapur’

Bagaikan kunyit dan kapur

(25) Pai rahi ‘Pahit rezeki’

Kurang rezeki

(26) Ane ri tanggamo bimba nuapamo pangulina

‘Kalau di tangga sudah domba, apalagi sudah perkataannya’

(14)

Kalau domba sudah di tangga, hendak apa dikata

Contoh nomor 23—24 menggambarkan situasi baik terhadap seseorang. Contoh (23) menggambarkan keadaan bunyi nyaring yang dibentuk melalui alat artikulasi. Siul berarti bunyi suara melalui mulut. Bunyi siul nyaring pertanda orang bersiul dalam keadaan senang.

Tampak situasi senang terhadap seseorang bila bersiul selalu dengan lagu-lagu yang disenangi.

Selanjutnya, contoh (24) menggambarkan situasi yang baik dari orang yang bertemu dan bersahabat hampir sama cantiknya diumpamakan bulan dan matahari.

Lebih lanjut, contoh nomor 25—26 menggambarkan situasi buruk terutama terhadap diri seseorang. Contoh (25) menggambarkan situasi kurang rezeki atau bernasib sial walaupun telah berusaha. Contoh (26) menggambarkan situasi bingung yang dihadapi oleh seseorang (keluarga). Seorang anak gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang jejaka, padahal jejaka tersebut tidak pernah dikenalnya.

Dalam peribahasa tersebut, jodoh diumpamakan sebagai bimba ‘domba’. Ri tanggamo bomba

‘domba sudah di tangga’ bermakna jodoh telah tiba, nuapamo pangulina ‘apa hendak dikata’, dalam apa yang hendak diperbuat, padahal jejaka tersebut tidak dikenal. Hal menimbulkan situasi yang membingungkan bagi gadis yang dijodohkan oleh orang tuanya.

d. Barang

Barang yang dimaksud dalam tulisan ini adalah benda atau sesuatu yang bersifat abstrak.

Berikut adalah contohnya.

(27) Poiri tona ‘Angin orang’

Sihir

(28) Totua ngata

‘Orang tua kampung’

Tokoh masyarakat

(29) Posambei ompa ‘Pengganti tikar’

Istri mantan dari seorang lelaki mantan suami kakaknya

(30) Ledo nomba mpo bengga bunto ‘Tidak terwujud seperti kerbau dosa’

Kecelakaan dalam waktu singkat

Ungkapan 27—30 menggambarkan sesuatu yang abstrak maupun konkret. Contoh (27) menggambarkan sesuatu, yaitu angina dan orang. Poiri tona ‘angin orang’ dalam etnik Kaili bermakna sihir atau guna-guna yang ditujukan kepada seseorang dan dapat mencelakakan orang yang dituju. Contoh (28) menggambarkan sesuatu dengan kata totua

‘orang tua’ dan ngata ‘kampung’ yang berarti orang tua kampung. Makna orang tua kampung adalah tokoh masyarakat atau pemimpin yang bijak dalam masyarakat.

Selanjutnya, contoh (29) bermakna seorang wanita menjadi istri dari seorang lelaki mantan suami kakaknya. Biasanya, hal ini terjadi karena kakaknya telah meninggal dunia.

(15)

Contoh (30) menggambarkan kecelakaan dalam waktu singkat terjadi pada seseorang, padahal sebelumnya sama sekali tidak ada dalam benak orang tersebut. Hal ini dinyatakan dalam peribahasa ‘tidak terwujud seperti kerbau dosa’.

PENUTUP

Ungkapan gaya bahasa dalam bahasa Kaili yang dapat dijadikan sebagai kearifan lokal dalam etnik Kaili tumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat etnik Kaili. Ungkapan gaya bahasa tersebut merupakan pikiran dan perasaan masyarakat yang mengandung nilai- nilai sosial budaya masyarakat setempat yang dapat dijadikan sebagai kearifan lokal dalam membendung tradisi-tradisi dari luar yang bertentangan dengan adat masyarakat Indonesia.

Bentuk ungkapan gaya bahasa dalam bahasa Kaili yang dapat dijadikan sebagai kearifan lokal masyarakat Kaili adalah gaya bahasa berdasarkan makna, seperti eufemisme, persamaan atau simile, metafora, personifikasi, eponym, dan ironi. Semua bentuk tersebut adalah ungkapan dan peribahasa etnik Kaili yang mengandung pesan moral penghormatan, perbandingan antara yang baik dan yang buruk.

Selanjutnya, bentuk gaya bahasa berupa ungkapan perbandingan, yaitu ungkapan dan

peribahasa yang mengandung makna kiasan, secara semantis dan terdapat unsur yang dibandingkan. Unsur yang dibandingkan adalah manusia dan perilaku serta watak dan manusia.

Fungsi dan makna dalam ungkapan gaya bahasa Kaili masih tetap relavan untuk dijadikan sebagai bentuk kearifan lokal oleh masyarakat pendukungnya. Adapun fungsi gaya bahasa tersebut adalah sebagai alat pengendali dan pengawas norma sosial, alat komunikasi, alat pengendali masyarakat, alat pendidikan anak, serta sarana pemeliharaan dan pemerkuat kerukunan antarumat beragama dan antaretnik.

Selain itu, juga dapat dijadikan sebagai penangkal budaya-budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat Kaili dan masyarakat Indonesia.

Makna ungkapan tersebut dapat dijadikan pedoman bagi kelompok sosial pendukungnya.

Makna ungkapan tersebut dijadikan sebagai media kearifan lokal oleh orang tua, pemuka agama, tokoh masyarakat dalam menyampaikan nasihat, larangan, dan ajaran agama. Ungkapan dan peribahasa tersebut disampaikan dengan bahasa yang klise untuk menghindarkan kelugasan arti sehingga tidak menyinggung perasaan orang lain yang mendengarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, dkk. 1999. Buku Materi Pokok 3: Gaya Bahasa dan Pengarang PINA4442/2 SKS/03.

Jakarta: BPS.

Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa Local Geneius. Pustaka Jaya.

(16)

Bonvillian, N. 1977. Language, Culture and Communication: The Meaning of Message New Jersey:

Prentice-Hall.

Crystal, D. 1992. A Dictionary of Languistics and Phonetics. Blackwell. New York: Blackwell.

Dananjaya, J. 1984. Foklor Indonesia. Ilmu Gosip Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Press.

Duranti, A. 1998. Linguistic Anthropologi. Cambridge: Cambridge University Press.

Fasold, R. 1984. The Sociolinguistic of Society. Oxford: Basil Blackwell.

Hoed, B. H. 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indoneia.

Hymes, D. (Ed.). 1964. Language in culture and society. New York: Harper and Row.

James H. Wolfe, T. A. C. 1986. Introduction to International Relations. Power and Justice, Third Edition.Longman. Inc. Hlm, 306–307.

Koentjaraningrat. 1987. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Prihatmi, S. R. dkk. 2003. Peribahasa Jawa sebagai Cerminan Watak, Sifat dan Perilaku Manusia Jawa. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Rahyono, F. X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wadatama Widya Sastra.

Ratna, N. K. 2010. Dian Nathalia Inda: Budaya Jawa dalam Novel Mars Karya Aishworo Ang:

Tinjauan Antropologi Sastra”. Dalam Telaga Bahasa, 5 (2), 213–226.

Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara sebuah Kajian filsafati. Dalam Jurnal Filsafat (Vol. 37, Issue 2, pp. 111–120). http://www.search-document.com/pdf/1/1/Menggali-Kearifan- Lokal-Nusantara-Sebuah-Kajian-Filsafati.html

Semi, M. A. (1990). Saefuddin: Pantangan dan Larangan Masyarakat Dayak Halong dalam Lingkungan Adat Berbasis Kearifan Lokal”. Dalam Multilingual, 15 (2), 135–147.

Soekanto, S. (1999). Adi Syaiful Mukhtar: Fungsi dan Pengaruh Mitos Eyang Ronggo Galih terhadap Masyarakat Desa Durenan Kecamatan Sidorejo Kabupaten Magetan”. Dalam Totobuang, 2 (1), 33–41.

Sudaryanto. (n.d.). Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Sanata Dharma University Press.

Sudjiman, P. (n.d.). Serba- Serbi Semiotika. Gramedia Pustaka Utama. Editor.

Sunanri, N. dan J. J. 2019. Makna Budaya Leksikon Mizu yang Tercermin dalam Peribahasa Jepang dan Padanannya dalam Peribahasa Sunda. Jounal of Japanase Language Education and Linguistics. Unismuh Yogyakarta.

Widyastuti, S. 2010. Peribahasa: Cerminan Kepribadian Budaya Lokal dan Penerapannya di Masa Kini. Proceding of National of Yogyakarta, University of Technology.

Referensi

Dokumen terkait

Based on the fact, the researcher concluded that the feedback technique was effective to improve the students reading comprehension in the second grade students of

Kandungan total mikroba ( total plate count = TPC) susu kambing segar selanjutnya diuji menggunakan t-test dan menunjukkan populasi total mikroba lebih tinggi secara

Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Untuk mengetahui berapa besar pendapatan pada daerah penelitian.(2)Untu mengetahui Strategi pengembangan usaha budidaya Tambak Ikan Nila

20 Saya senang untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apabila dalam kegiatan terdapat teman seusia saya. 21 Saya senang memiliki pemikiran yang sama dengan

Anggapan seperti itu harus dijawab oleh penyelenggara pendidikan di Perguruan Tinggi Hindu dengan melahirkan mahasiswa-mahasiswa yang intelek dan bertanggungjawab terhadap

Oleh karena itu, untuk membantu meningkatkan proses bisnis yang ada pada Rumah Sakit XYZ, dan untuk memberikan gambaran tentang pengimplementasian solusi untuk

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi (migas) di dunia. Potensi migas Indonesia tersebar secara merata hampir di seluruh wilayah