• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 tentang Terminal dan Retribusi Terminal di Kota Salatiga T1 312012716 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penegakan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 tentang Terminal dan Retribusi Terminal di Kota Salatiga T1 312012716 BAB II"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Penegakan Hukum

1.1Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum bertujuan agar terjadinya ketertiban hukum yaitu dalam perwujudannya ada 2 aspek utama yaitu :1

1. Adanya tatanan kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, haruslah memiliki ketentuan hukum yang jelas dan mengandung kepastian hukum. Maksudnya agar memperkokoh landasan keteraturan dan ketertiban, karena ia bertujuan untuk mencegah penggunaan kewenangan yang di luar batas.

2. Keseluruhan tindakan dalam hukum dan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, benar-benar di laksanakan atas dasar ketentuan hukum. Maksudnya adalah menumbuhkan sistem dan iklim kehidupan masyarakat yang serasi selaras dan seimbang.

Banyak pengertian mengenai penegakan hukum, beberapa ahli mengartikan penegakan hukum sebagai berikut :

 Menurut kamus besar bahasa Indonesia Penegakan hukum secara umum mempunyai arti sebagai suatu proses atau perbuatan atau cara menegakkan peraturan yang diberlakukan oleh para petugas-petugas yang berhubungan dengan proses peradilan.2

1

Sukarto Marmosudjono, Penegakan Hukum Di Negara Pancasila, Pustaka Kartini, Jakarta, 1986, hal 3. 2

(2)

16

Penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan-pandangan nilai yang mantap dan sikap tidak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian hidup.

Penegakan hukum secara umum adalah merupakan kepatuhan atau ketaatan terhadap hukum itu sendiri yang merupakan salah satu unsur pokoknya. Hal ini disebabkan karena derajat efektifitas hukum ditentukan antara lain taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, dengan kata lain penegakan hukum merupakan penyerasian antara nilai dan kaidah serta perilaku nyata manusia.3

 Penegakan hukum merupakan suatu cara dalam rangka memenuhi rasa keadilan pada masyarakat.4

 Proses penegakan hukum itu sendiri merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut keinginan-keinginan hukum adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum.5

Penegakan hukum dapat dibicarakan dalam 2 kategori, yaitu (1) semata- mata dilihat dari peraturan, yaitu sebagai kelanjutan logis atau proses logis diciptakannya peraturan hukum dan (2) sebagai keterlibatan manusia dalam proses bekerjanya hukum6

1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor adalah suatu kondisi atau persyaratan untuk terjadinya sesuatu, jadi dalam kaitannya dalam penegakan hukum, maka yang disebut faktor adalah satu atau beberapa kondisi atau syarat yang boleh jadi dapat mengganggu kepengaruhan hukum terhadap perilaku-perilaku anggota masyarakat ataupun yang boleh jadi dapat mengganggu jalannya penegakan hukum.

3

Soekanto,Soerjono, Sosiologi Hukum dan Masyarakat, Rajawali, Jakarta, 1980, (selanjutnya disingkat Soekanto Soerjono III) , hal 13.

4

Sukarton Marmosudjono, op.cit, hal 7. 5

Rahardjo,Satjipto, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2004, hal 24. 6

(3)

17 Adapun didalam proses penegakan hukum itu ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut adalah :7

1. Faktor Hukum

Diartikan perundang-undangan dalam arti materiil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Dengan demikian, maka perundang-undangan dalam arti materiil mencakup :

 Peraturan pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara.

 Peraturan setempat yang hanya berlaku umum di suatu tempat atau daerah saja.

2. Faktor Penegak Hukum

Di dalam proses penegakan hukum, bisanya terjadi bahwa kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan melekat pada hukum itu sendiri yang justru menjadi sumber kegagalan proses penegakan hukum. Hal itu tidak mustahil sebab kadangkala terdapat rumusan atau kaedah hukum yang tidak jelas dan memberikan penafsiran yang beragam, atau antara kaedah hukum yang satu dengan yang lainnya mengenai hal yang sama bertentangan. Sikap hukum yang demikian yang sering kali menimbulkan keraguan terhadap subyek hukum.

Secara sosiologis, setiap penegak hukum tersebut memiliki kedudukan dan peranan. Kedudukan dan peranan sosial merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan. Kedudukan tersebut sebenarnya suatu wadah, yang isinya hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban itu merupakan peranan. Oleh karena itu,

7

(4)

18 seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan. Suatu peranan tertentu dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai berikut :8

a) Peranan yang ideal (ideal role)

b) Peranan yang seharusnya (expected role)

c) Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) d) Peranan yang seharusnya dilakukan (actual role)

Kesenjangan antara peran yang diharapkan dengan peran yang ditampilkan inilah yang merupakan tantangan terbesar dalam penegakan hukum. Harapan atau “role expectation

terhadap penegak hukum adalah bahwa mereka : a. Memberikan dan menegakkan keadilan ;

b. Menindak dan menuntut mereka yang bersalah dan melanggar hukum ; c. Menemukan kebenaran ;

d. Mendidik masyarakat agar mentaati hukum ; e. Memberikan teladan dalam kepatuhan hukum ;

f. Selain itu mereka juga diharapkan memiliki pemahaman dan persepsi yang sama terhadap suatu ketentuan hukum.

Halangan-halangan yang mungkin ditemui pada peranan yang seharusnya dari golongan penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut adalah :9

 Keterbatasan kemampuan untuk menenmpatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi

8

Soekanto,Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakata, 1993, (selanjutnya disingkat Soekanto Soerjono V) hal 13.

9

(5)

19

 Tingkat aspirasi yang relativ belum tinggi

 Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit sekali untuk membuat suatu proyeksi

 Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiil.

 Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatif.

3. Faktor Sarana dan Prasarana

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hokum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadahi, sumber dana yang cukup. Masalahnya sampai sejauh mana fasilitas yang ada akan dapat mendukung terlaksananya peraturan perundang-undangan tersebut, karena sering terjadi bahwa suatu peraturan yang sudah diberlakukan tetapi fasilitasnya belum tersedia dengan lengkap. Peraturan yang semula bertujuan memperlancar proses malah mengakibatkan terjadinya kemacetan, atau peraturan perundang-undangan sudah baik dan juga mentalitas penegak baik, akan tetapi bila sarana atau fasilitas yang ada kurang memadahi, maka penegak hukum tidak akan dapat berjalan dengan semestinya.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut.

(6)

20 Jadi seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau pelapisan masyarakat yang ada dilingkungan tersebut, beserta tatana status atau kedudukan dan peranan yang ada. Dari pengetahuan dan pemahaman terhadap stratifikasi sosial tersebut, akan dapat diketahui lambing-lambang kedudukan yang berlaku dengan segala macam gaya pergaulannya.

Dengan mengetahui dan memahami terhadap stratifikasi sosial, maka akan dapat mengidentifikasi nila-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku dilingkungan tersebut. Pengetahuan serta pemahaman terhadap nilai-nilai serta norma-norama atau kaidah-kaidah sangat penting di dalam menyelesaikan perselisihan-perselisihan yang terjadi.

1.3 Elemen – Elemen Penegakan Hukum

Agar ide-ide tersebut dapat diwujudkan, tentu saja dibutuhkan suatu organisasi. Dalam hal ini peranan negaralah yang diperlukan untuk membentuk lembaga-lembaga seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan sebagainya. Walaupun lembaga-lembaga tersebut mempunyai fungsi yang berbeda, namun tugasnya sama yaitu menegakkan hukum dalam masyarakat. Tanpa lembaga-lembaga tersebut, hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.

(7)

21 penegakan hukum itu diartikan secara luas seperti dikemukakan diatas, maka penegakan hukum menjadi tugas dari pembentuk undang-undang, hakim, dan instansi pemerintah10

Unsur-unsur yang melibatkan dalam penegakan hukum antara lain ; unsur-unsur yang mempunyai keterlibatan yang agak jauh dan yang dekat. Dengan mengambil badan-badan pembuat undang-undang dan polisi sebagai wakil.

Konsep pemikiran yang dipakai yaitu penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. Penegakan hukum suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum tersebut merupakan pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.

Proses penegakan hukum menjangkau pula pada pembuatan hukum. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Proses penegakan hukum memuncak pada pelaksanaannya oleh pejabat penegak hukum. Kedisiplinan dan kaidah-kaidah yang merupakan rambu-rambu yang mengikat dan membatasi tingkah laku orang-orang dalam masyarakat termasuk didalamnya para pejabat penegak hukum.

Peranan peraturan hukum berhubung erat dengan pelaksanaan peraturan yang dilakukan oleh penegak hukum. Sehingga keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dimulai sejak peraturan hukum tersebut dibuat. Hal ini terjadi karena badan pembuat undang-undang sebagai lembaga legislatif dalam membuat undang-undang tidak didukung oleh sarana yang mencukupi, sehingga aturan itu gagal dijalankan. Bisa juga pembuat aturan yang mengharuskan rakyat untuk melakukan sesuatu, seperti harus menanam jenis tanamansesuatu, ternyata mendapat perlawanan dari rakyat. Berhadapan dengan situasi semacam

10

(8)

22 itu maka penegak hukum dapat menggunakan kekuatan memaksa dan sebaliknya penegak hukum dapat menyerah pada perlawanan rakyat.11

Pemahaman secara normatif terhadap organisasi penegak hukum cenderung menerima bentuk-bentuk formal dari organisasi tersebut sebagai satu-satunya kemungkinan yang dapat dilihat dan dipelajari. Bagaimana suatu lembaga penegak hukum itu akan bekerja sebagai respon terhadap peraturan-peraturan hukum merupakan fungsi dari peraturan yang ditujukan kepadanya sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek dari kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang bekerja atasnya dan umpan-umpan balik yang dating dari para pemegang peran.

1.4 Klasifikasi Penegakan Hukum

Menurut Sudarto, sistem penegakan hukum dibedakan menjadi 3 macam, yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi. Masing-masing penegakan hukum ini didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau bias disebut alat penegak (aparatur) yang mempunyai aturan-aturan sendiri12

Menurut Sudarto, penegakan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu :13 1. Penegakan hukum preventif

Penegakan hukum preventif merupakan penegakan hukum yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran, dengan kata lain dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran, yang dapat merugikan masyarakat.

2. Penegakan hukum represif

11

Ibid,hal 25. 12

Ibid, hal 112. 13

(9)

23 Penegakan hukum represif yaitu kewajiban melakukan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan menindak pelaku pelanggaran.

3. Penegakan hukum kuratif

Penegakan hukum kuratif merupakan usaha preventif dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu dalam usaha penanggulangan kejahatan. Tindakan kuratif ini merupakan segi lain dari tindakan reprsif dan lebih di titik beratkan pada tindakan orang yang melakukan kejahatan, misalnya melakukan pembinaan.

2. Peranan

2.1Pengertian Peranan

Peranan adalah suatu sistem norma-norma yang berisi patokan-patokan tingkah laku pada kedudukan atau posisi-posisi tertentu seseorang di dalam masyarakat. Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang saja atau rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah , yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak-hak dan kewajibantadi merupakan peranan (role). Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu lazimnya dinamakan pemegang peran (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur sebagai berikut 14 :

a. Peranan yang ideal (ideal role)

b. Peranan yang seharusnya (expected role)

c. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) d. Peranan yang seharusnya dilakukan (actual role)

14

(10)

24 Peranan ideal ,sebagaimana di rumuskan atau yang diharapkan oleh masyarakat. Peranan ideal itu merumuskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terkait pada status-status tertentu.15

Peranan yang seharusnya, atau peranan yang diharapkan menunjuk pada sikap tindak seseorang yang mengandung kualitas logis,ethi.s dan estetis.16 Artinya di dalam menjalankan peranannya, seseorang diharapkan bertindak secara benar (logis), baik (ethis), dan wajar (estetis) sesuai norma-norma yang mengatur tindakan-tindakan sehubungan dengan jabatannya.Soerjono Soekanto, secara gabungan mengatakan bahwa peranan yang ideal dan peranan yang seharusnya, dating dari fihak (atau fihak-fihak) lain, sedangkan peranan yang seharusnya dilakukan dan peranan yang dianggap benar oleh diri sendiri berasal dari diri sendiri.17

Peranan yang dianggap oleh diri sendiri merupakan hal yang oleh individu harus dilakukan pada situasi tertentu. Artinya, seorang individu menganggap bahwa, dalam situasi-situasi tertentu (yang dirumuskan sendiri), dia harus melaksanakan peranan tertentu.18

Peranan yang dilaksanakan atau di kerjakan merupakan peranan yang sesungguhnya dilaksanakan oleh individu di dalam kenyataannya, yang terwujud dalam perikelakuannya.19

Hal ini mengandung arti bahwa peranan yang sebenarnya dilakukan adalah tindakan nyata dari pemegang peran. Peranan yang sebenarnya dilakukan kadang-kadang juga dinamakan

role performance” atau “role playing”.20 Ini berarti, bahwa dalam menjalankan tugas jabatannya, seseorang bertindak atau berbuat secara kongkret sebagai jawaban atau tanggapan atas situasi

15

Soekanto, Soerjono, Memperkenalkan Sosiologi, Rajawali, Jakarta, 1983, (selanjutnya disingkat Soekanto Soerjono VI) hal 30-31.

16

Purbacaraka,Purnadi & Soekanto Soerjono, Masalah Penegakan Hukum Di Indonesia, UI Press, Jakarta, 1983 : 40

17

Soekanto Soerjono, V, op.cit., hal 14

18

Soekanto Soerjono & Otje Salman, Disiplin Hukum Dan Disiplin Sosial: Bahan Bacaan Awal, Rajawali, Jakarta, Cetakan Kedua, 1988 : 97.

19

Ibid, hal 31. 20

(11)

25 yang dihadapi. Jadi, peranan yang sesungguhnya adalah peranan yang di manifestasikan dalam kenyataan, yang tidak jarang sikap tindak dalam kenyataan tersebut menyimpang dari sikap tindakan yang ideal dan sikap tindakan yang di harapkan. Kalau hal ini terjadi, dapat dikatakan bahwa suatu kaedah hukum tertentu tidaklah efektif oleh karena tidak mencapai tujuannya dan karena tidak di taati dalam kenyataannya.21

Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role) merupakan sikap tindak yang muncul sebagai akibat dari kreativitas dan penafsiran seseorang terhadap peranannya.22 Peranan ini pun tidak jarang bertentangan atau menyimpang dari peranan yang ideal dan peranan seharusnya. Itulah sebabnya, baik peranan yang sebenarnya dilakukan maupun peranan yang dianggap oleh diri sendiri dikatakan sebagai bersumber atau di tentukan oleh orang itu sendiri.

2.2 Peranan Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Mengenai tugas dan fungsi dari Dinas Perhubungan Kota Salatiga telah diatur dalam Peraturan Walikota Salatiga Nomor 54 Tahun 2011 Tentang Tugas Pokok, Fungsi, dan Uraian Tugas Pejabat Struktural Pada Dinas Daerah :23

Pasal 166 ayat (1)

Bidang Lalu Lintas mempunyai tugas pokok menyususun rencana kegiatan, mengoordinaskan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan bidang lalu lintas dan angkutan jalan serta melakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas, pengendalian, penilaian, monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas.

21

Soekanto Soerjono & Otje Salman, loc.cit. 22

Soekanto, Soerjono, VI, op.cit., hal 22. 23

(12)

26

Pasal 166 ayat ( 2) sub. d

Pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan pengawasan, penertiban, patroli dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan.

Berkaitan dengan penelitian penulis, maka selaku pihak yang memiliki tugas dan fungsi seperti yang tetulis diatas maka Dinas Perhubungan Kota Salatiga berkewajiban melakukan penegakan hukum terhadap para sopir bus yang tidak memasuki terminal sesuai yang diamanahkan dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Setiap otobis umum yang beroperasi dan/ atau melewati wilayah kotamadya Salatiga diharuskan memasuki/ memulai/ mengakhiri perjalanannya diterminal bus dan diatur sesuai dengan jadwal yang ditentukan”

B. HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Dinas Perhubungan Kota Salatiga

1.1Profil Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No. 8 Tahun 1958, sejarah awal mula Dinas Perhubungan Salatiga bernama Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR). Dimana dinas ini merupakan kepanjangan tangan dari Dinas Propinsi yang melaksanakan tugas dan kewenangan DLLAJR Propinsi Jawa Tengah. DLLAJR ini masih bersifat vertikal, yaitu pemerintahan masih berada pada pemerintah pusat, sehingga tanggung jawab juga diserahkan kepada pusat dan begitu pula dengan pendapatan dari setiap daerah juga diserahkan pada pemerintah pusat.

(13)

27 Penjelasan dari UU No. 22 Tahun 1999 itu sendiri mencakup pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.

UU No. 22 ini juga diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Infonesia. UU ini juga diperbarui dengan Perda No. 8 Tahun 1999, yang menetapkan perubahan nama Dinas Transportasi dan Perpakiran menjadi Struktur Organisasi dan Tata Kerja. Dalam Perda ini juga terdapat paham tentang pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999.

(14)

28 Perubahan undang-undang menjadi UU No. 32 Tahun 1999 menyebabkan adanya pergantian Peraturan Daerah (Perda No. 8 Tahun 1999) dengan Perda No. 8 Tahun 2004, dimana nama Dinas Transportasi dan Perpakiran berubah menjadi Dinas Perhubungan Kota Salatiga yang berlokasi di Jl. Magersari Tegalrejo Salatiga, Jawa Tengah.

1.2Visi dan Misi Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Visi

Visi dari Dinas Perhubungan Konunikasi Kebudayaan dan Pariwisata adalah Terwujudnya Sisten Transportasi di Kota Salatiga yang menjamin Keamanan, Kenyamanan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintasnya serta terjangkau oleh masyarakat.

Misi

a) Menciptakan sistem transportasi di Kota Salatiga yang menjamin keamanan, ketertiban, kelancaran, kenyamanan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

b) Meningkatkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan Sumber Daya Aparatur Dinas Perhubungan Komunikasi Kebudayaan dan Pariwisata yang dilandasi dengan sikap mental yang baik sebagai aparatur yang profesional dalam bidangnya.

c) Meningkatkan dan mendorong kesadaran masyarakat untuk disiplin, tertib dan taat dalam berlalu lintas.

d) Menggali sumber-sumber pendapatan dalam bidang perhubungan guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah.

(15)

29

1.3 Struktur Organisasi Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Susunan organisasi Dinas Perhubungan Kota Salatiga Terdiri atas : 1. Kepala Dinas

2. Sekretariat, yang terdiri dari :

a. Subbagian Perencanaan, Evaluasi dan Pelaporan b. Subbagian Keuangan; dan

c. Subbagian Umum dan Kepegawaian.

3. Bidang Lalu Lintas, terdiri dari :

a. Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas; dan b. Seksi Pengendalian dan Pengamanan

4. Bidang Angkutan, terdiri dari : a. Seksi Angkutan Orang; dan

b. Seksi Angkutan Barang dan Khusus.

5. Bidang Kelaikan Kendaraan, terdiri dari : a. Seksi Pengujian Kendaraan; dan b. Seksi Pembengkelan Umum.

6. Bidang Telekomunikasi dan Informatika, terdiri dari : a. Seksi Komunikasi; dan

b. Seksi Informatika.

7. Bidang Kebudayaan dan Pariwisata, terdiri dari : a. Seksi Kebudayaan; dan

(16)

30 8. Unit Pelaksana Teknis Dinas

(17)

31

Struktur Organisasi Dinas Perhubungan Kota Salatiga

Sumber : Dinas Perhubungan Kota Salatiga

KASUBAG

KEPALA DINAS

SEKRETARIS JABATAN

FUNGIONAL

KASUBAG KASUBAG

Kepala Bidang

Kepala Bidang

Kepala Bidang

Kepala Bidang

Kepala Bidang

(18)

32

1.4Tugas Pokok Dan Fungsi

Berkaitan dengan penelitian penulis, maka pihak yang memiliki kompetensi didalam Dinas Perhubungan yang menyangkut penegakan hukum adalah Bidang Lalu Lintas yang dibagi menjadi 2 seksi, yaitu seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas dan seksi Pengendalian dan Pengamanan, serta bagian UPTD. Tugas Pokok dan Fungsi dari Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan adalah sebagai berikut :

Bidang Lalu Lintas

Bidang Lalu Lintas mempunyai tugas pokok menyusun rencana kegiatan, mengoordinasikan, melaksanakan pembinaan dan pengembangan bidang lalu lintas dan angkutan jalan serta melakukan manajemen dan rekayasa lalu lintas, pengendalian, penilaian, monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas.

a. Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas mempunyai tugas pokok menyiapkan bahan rencana dan melaksanakan kegiatan, pengadaan, penempatan dan pemeliharaan rambu-rambu lalu lintas, marka jalan dan alat pemberian isyarat lalu lintas Jalan Kota, Jalan Nasional di wilayah daerah serta menyajikan data sebagai bahan evaluasi.

b. Seksi Pengendalian dan Pengamanan

(19)

33

UPTD

Melaksanakan sebagian tugas Dinas dalam menyusun rencana, mengkoordinasikan, melaksanakan, mengendalikan, mengawasi dan mengembangkan pengelolaan dan pengoperasian unit terminal transportasi jalan.

2. Responden Penegak Hukum

Hukum terutama dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah – kaidah atau peraturan - peraturan hukum terkandung tindakan yang harus dilaksanakan. Dari sinilah faktor penegak hukum sangat berperan penting dalam hal penegakan hukum, karena tanpa adanya penegak hukum, maka cita - cita hukum tidak akan tercapai.

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai

kemampuan – kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat

berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu

membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Golongan panutan

juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat dalam memperkenalkan norma –

norma atau kaidah – kaidah hukum yang baru, serta memberikan keteladanan yang baik.24

Dalam hal ini maka yang dimaksud dengan penegak hukum disini adalah mereka yang langsung berkecimpung dalam hal penegakan hukum yaitu Dinas Perhubungan Kota Salatiga. Adapun telah penulis uraikan di atas mengenai tugas dan fungsi masing – masing bidang di dalam institusi Dinas Perhubungan, maka bidang yang langsung berkaitan dengan penegakan adalah Bidang Lalu Lintas dan UPTD.

24

(20)

34

Bidang Lalu Lintas

Dibidang Lalu Lintas ini terdapat 1 Kepala Bidang, 1 Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, 1 Seksi Pengendalian dan Keamanan, dan staf yang terdiri dari 8 orang. Jadi total keseluruhan personil yang terdapat dalam Bidang Lalu Lintas terdapat 11 personil. Dengan Jumlah personil yang hanya terdiri dari 11 orang. Berikut data personil yang bertugas di Bidang Lalu Lintas:25

1) M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT : Kepala Bidang Lalu Lintas

2) Ari Harsodi, BA : Kepala Seksi Pengendalian dan Keamanan

3) Dwi Nopi Awatiy, S.SiT, MT : Kepala Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas

4) Subkhan Ahmadi : Staf 5) Rahardian Pradipta, S.SiT : Staf 6) Yuli Arif Adrianto : Staf

7) Slamet Jarwanto : Staf

8) Hari Purwanto : Staf

9) Koko Edarmoko : Staf

10)Didik Sarwiadi : Staf

11)Priyo Utomo : Staf

Untuk fasilitas yang didapat oleh Bidang Lalu Lintas, 2 unit mobil,1 mobil jenis pick up dan 1 mobil jenis mini bus, 4 unit motor, dan 11 HT yang masing masing personil mendapatkan fasilitas HT guna memperlancar dalam hal komunikasi.

25

(21)

35

UPTD ( Unit Pelaksana Teknis Dinas )

Pada bidang UPTD ini terdiri dari 1 Kepala UPTD, dan 6 staf , dan 10 pegawai lapangan jadi total secara keseluruhan terdapat 17 personil.

1) Slamet Muzamil : Kepala UPTD

2) Sularto : Staf

3) Gunarito : Staf

4) Chaeruddin : Staf

5) Zainudin : Staf

6) Sumarini : Staf

7) Riky : Staf

8) Tugiyanto : Pegawai Lapangan

9) Winarno : Pegawai Lapangan

10)Sularno : Pegawai Lapangan

11)Damsiri : Pegawai Lapangan

12)Sujiono : Pegawai Lapangan

13)Suparmo : Pegawai Lapangan

14)Janadi : Pegawai Lapangan

15)Harjianto : Pegawai Lapangan 16)Dwi Susatyo : Pegawai Lapangan

17)Djuardi : Pegawai Lapangan

(22)

36 kendaraan yang diterima oleh UPTD, ini tentunya sangat berpengaruh bagi pelaksanaan tugas dan fungsi dari UPTD.

Dengan hanya memiliki 3 motor dengan rincian 1 motor untuk operasional staf, dan 2 motor untuk operasional pegawai lapangan ini tentunya menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pelaksanaan tugas dan fungsi dari UPTD menjadi kurang maksimal. Adapun dalam pelaksanaan tugas dalam keseharian, pegawai lapangan ini dibagi menjadi 2 bagian atau sif. Sif pertama atau pagi dimulai dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB, dan sif kedua dimulai dari pukul 13.00 WIB sampai pukul 19.00 WIB.26

2.1 Pelaksanaan Penegakan Hukum

Dalam rangka penegakan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1981,Dinas Perhubungan telah melakukan upaya. Upaya – upaya tersebut berupa penegakan hukum preventif dan penegakan hukum represif.

Penegakan Hukum Preventif

Penegakan hukum preventif merupakan penegakan hukum yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran, dengan kata lain untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran, yang dapat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan penegakan hukum preventif tersebut, petugas Dinas Perhubungan selama tahun 2014 telah melakukan beberapa upaya yaitu :

1. Penyuluhan terhadap paguyuban – paguyuban bus yang beroperasi di Salatiga.

2. Kegiatan pemilihan pelopor keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan dan sosialisasi kebijakan Lalu Lintas Angkutan Jalan guru dan pelajar.

3. Pendidikan keselamatan jalan bagi pelajar dan pramuka.

26

(23)

37 Upaya – upaya yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran hukum dikalangan masyarakat, sehingga dapat meminimalisir pelanggaran yang terjadi.

Penegakan Hukum Represif

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi dari Dinas Perhubungan dalam proses penegakan hukum, yang disini berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh para supir bus dengan tidak memasuki terminal sesuai aturan yang berlaku,maka aparat/petugas melaksanakan operasi. Operasi/pemeriksaan ini dibedakan menjadi 2 kategori yaitu :

a. Pemeriksaan tanpa pendampingan pihak Kepolisian

Dalam melakukan operasi ini biasanya petugas melakukan operasi di dalam terminal atau pada jembatan timbang.Meskipun tanpa pendampingan pihak Kepolisian dalam tahap penyerahan berita acara, harus diserahkan kepada pihak Kepolisian, yang nantinya akan teruskan ke pihak Pengadilan untuk kemudian di sidangkan.

b. Pemeriksaan dengan pendampingan pihak Kepolisian

(24)

38

Tabel 2.1 Operasi Gabungan Selama Tahun 2014

No Bulan Jumlah Operasi

1 Januari -

2 Februari -

3 Maret -

4 April 2 kali operasi

5 Mei

-6 Juni

-7 Juli 2 kali operasi

8 Agustus

-9 September

-10 Oktober 2 kali operasi

11 November

-12 Desember

-Total 6 kali operasi

Sumber : Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan

(25)

39

Mekanisme Operasi Gabungan

Sumber : Data Sekunder diolah dari Peraturan Pemerintah Nomor 80 tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Dijalan DanPenindakan Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan

Surat Perintah Operasi

alasan dan pola pemeriksaan Kendaraan Bermotor

waktu pemeriksaan Kendaraan Bermotor

tempat pemeriksaan Kendaraan Bermotor

penanggung jawab dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor

daftar Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di

bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ditugaskan melakukan pemeriksaan Kendaraan

Bermotor.

Pelaksanaan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan

Secara Berkala

Petugas Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya dengan di

dampingi Kepolisian

Tindak Pidana Ringan

Penindakan Pelanggaran

Tindak Pidana Pelanggaran Tertentu

Penerbitan Surat Tilang

Pelaporan Hasil Pemeriksaan

Penanggung jawab Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala

wajib melaporkan hasil pemeriksaan kepada atasan Petugas Pemeriksa dengan

(26)

40

2.2 Kendala-Kendala Aparat Dalam Melaksanakan Penegakan Hukum

Dalam proses penegakan hukum Dinas Perhubungan tentunya memiliki kendala-kendala yang dihadapi. Kendala-kendala yang dihadapi Dinas Perhubungan dalam melaksanakan proses penegakan hukum yaitu :

a. Birokrasi Penegakan Hukum

Penulis disini juga akan membandingkan antara peraturan perundang - undangan yang lama dan peraturan perundang – undangan yang baru yaitu Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 dan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009. Penulis berpendapat bahwa terdapat perbedaan dalam hal penegakan hukum oleh petugas,khususnya disini Dinas Perhubungan. Dalam Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 secara umum masih memberikan “ruang gerak” yang luas kepada Dinas Perhubungan sebagai Pegawai Penyidik Negeri Sipil ( PPNS ) untuk melakukan pemeriksaan kendaraan dijalan, ini terlihat pada Pasal 16 ayat (2) yang menyebutkan bahwa :

Pasal 16 ayat (2)

Untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, dapat dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.

Sedangkan Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 Dinas Perhubungan selaku Pegawai Penyidik Negeri Sipil ( PPNS ) membatasi “ruang gerak” pemeriksaan kendaraan bermotor

(27)

41

Pasal 262 ayat (2)

Kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap.

Pasal 262 ayat (3)

Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Melihat perbandingan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 diatas, penulis berpendapat bahwa ini merupakan suatu hambatan tersendiri dari Dinas Perhubungan untuk melakukan penegakan hukum khususnya dalam hal pemeriksaan dijalan. Ini juga diakui oleh Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT , beliau berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Perhubungan semakin “dipersempit” dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 ini. Beliau juga menyatakan bahwa dengan diberlakukannya Undang – Undang ini, petugas yang berada dilapangan tidak bisa maksimal dalam menjalankan tugasnya, hal ini dikarenakan apabila terjadi pelanggaran dijalan, petugas tidak dapat secara langsung menindak, akan tetapi harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak Kepolisian. Hal ini tentunya menjadi suatu hambatan tersendiri bagi Dinas Perhubungan dalam hal melakukan penegakan hukum karena harus melalui birokrasi yang bertele-tele.27

b. Fasilitas Dinas Perhubungan

Dengan fasilitas yang baik,maka petugas dapat menjalankan tugasnya dengan baik pula. Oleh karena itu fasilitas juga berpengaruh dalam hal penegakan hukum. Seperti yang penulis

27

(28)

42 juga telah paparkan diatas, fasilitas yang dimiliki oleh masing – masing bidang terutama Bidang Lalu Lintas dan UPTD adalah sebagai berikut.

Tabel 2.2 Fasilitas Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan

No Jenis Barang Jumlah

1 Mobil 2 unit

2 Motor 4 unit

3 HT 11 unit

Sumber : Bidang Lalu Lintas

Tabel diatas merupakan fasilitas yang dimiliki oleh Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan. Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT mengaku untuk fasilitas yang dimiliki oleh Bidang Lalu Lintas saat ini masih kekurangan untuk kendaraan,terutama sepeda motor yang hanya berjumlah 4 unit. Dalam hal alat komunikasi, beliau juga mengungkapkan bahwa server untuk berkomunikasi sekarang, Bidang Lalu Lintas masih menyewa pada salah satu provider swasta, hal ini tentunya menurut beliau masih menjadi suatu hambatan tersendiri. Ini di karenakan pihak Dinas Perhubungan tentunya masih harus membayar uang sewa kepada provider tersebut, berbeda apabila Dinas Perhubungan memiliki server sendiri, sehingga akan menghemat dalam hal anggaran.28

28

(29)

43

Tabel 2.3 Fasilitas UPTD Terminal

No Nama Barang Jumlah

1 Motor 3 unit

2 HT 12 unit

3 Lampu Senter 10 unit

4 Peluit 17 unit

Sumber : UPTD Terminal

Tabel diatas merupakan fasilitas yang dimiliki oleh UPTD, dari tabel diatas tentunya dapat terlihat masih kurangnya fasilitas yang dimiliki oleh UPTD terutama jumlah sepeda motor yang dimiliki oleh UPTD. Kepala UPTD Bapak Slamet Muzamil juga menyatakan bahwa hambatan yang dialami oleh UPTD saat ini adalah jumlah sepeda motor. Dengan hanya memiliki fasilitas sepeda motor yang berjumlah 3 unit ini tentunya sangat berpengaruh dalam hal penegakan hukum oleh petugas dilapangan.29

c. Anggaran Operasi Gabungan Dinas Perhubungan

Faktor anggaran ini berpengaruh pada setiap agenda yang telah dijadwalkan oleh pihak Dinas Perhubungan, khususnya dalam hal melakukan operasi. Semakin besarnya anggaran yang dimiliki, maka akan semakin banyak/maksimal pula agenda operasi yang ditentukan. Menurut hasil wawancara penulis dengan Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT, beliau mengungkapkan bahwa anggaran untuk operasi per tahun dinilai masih minim. Beliau juga memaparkan bahwa setiap kali melakukan operasi , jumlah personil yang dikerahkan berjumlah 20 personil dari pihak Dinas Perhubungan, dan 2 personil dari pihak Kepolisian. Untuk tiap kali melakukan operasi tiap – tiap personil mendapatkan anggaran Rp. 50.000,00 ( Lima puluh ribu rupiah ). Jadi untuk anggaran setiap kali melakukan operasi paling tidak Dinas

29

(30)

44 Perhubungan mengeluarkan anggaran sebesar Rp. 1.100.000,00 ( Satu juta seratus ribu rupiah ). Beliau juga mengakui bahwa anggaran untuk agenda operasi per tahun dari pemerintah masih sangat kurang, jadi dengan kurang lebih mengeluarkan anggaran Rp. 1.100.000,00 per operasi, maka Dinas Perhubungan belum bisa melaksanakan operasi secara maksimal dalam tiap tahunnya.Hal ini dapat dilihat pada tahun 2014, petugas hanya melakukan operasi 6 kali dalam satu tahun.30

d. Sumber Daya Manusia Dinas Perhubungan

Seperti yang telah penulis kemukakan diatas, berkaitan dengan jumlah personil yang dimiliki oleh Dinas perhubungan adalah sebagai berikut, Di bidang Lalu Lintas terdapat 1 Kepala Bidang, 1 Seksi Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, 1 Seksi Pengendalian dan Keamanan, dan staf yang terdiri dari 8 orang. Jadi total keseluruhan personil yang terdapat dalam Bidang Lalu Lintas terdapat 11 personil. Dengan Jumlah personil yang hanya terdiri dari 11. Sedangkan personil yang dimiliki oleh UPTD ( Unit Pelaksana Teknis Dinas ) terdiri dari 1 Kepala UPTD, dan 6 staf , dan 10 pegawai lapangan jadi total secara keseluruhan terdapat 17 personil.

Berbicara mengenai Sumber Daya Manusia, penulis juga akan melihat tentang tingkat pendidikan personil. Tingkat pendidikan ini menurut penulis sangat berpengaruh dalam hal penegakan hukum, karena bagaimana mungkin suatu penegakan hukum dapat terjadi apabila pengetahuan akan hukum oleh para penegaknya masih rendah. Disisni penulis menemukan bahwa pada Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan seluruh personil memiliki tingkat pendidikan akademisi / perguruan tinggi , sedangkan pada UPTD hanya meliputi Kepala UPTD dan Staf yang memiliki pendidikan sampai perguruan tinggi, sedangkan untuk pegawai lapangan hanya menempuh sampai SMA.

30

(31)

45

3. Responden Masyarakat ( Sopir Bus )

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Dalam hal ini masyarakat yang di maksud penulis adalah masyarakat pengemudi bus trayek Salatiga – Kopeng – Magelang - PP dan trayek Salatiga – Ambarawa – PP yang menjadi objek dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 tahun 1981 tentang Terminal dan Retribusi Terminal.

[image:31.612.91.529.286.598.2]

Melihat fenomena yang terjadi, banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh sopir bus, yaitu dengan tidak singgah/memasuki terminal sesuai dengan peraturan yang ada.

Gambar 2.1 : lokasi tempat bus-bus mangkal di jalan Hassanudin Salatiga.

(32)
[image:32.612.73.518.182.632.2]

46 pertimbangan / penelitian subyektif dari penelitian, jadi dalam hal ini penulis menentukan sendiri responden mana yang dianggap dapat mewakili populasi. Dari jumlah keseluruhan populasi yang berjumlah 41 responden, penulis membaginya kedalam jumlah 10 responden untuk sampel pengemudi bus trayek Salatiga – Kopeng – Magelang dan 10 sampel untuk pengemudi bus trayek Salatiga – Ambarawa . Jadi jumlah keseluruhan sampel adalah 20 sampel.

Tabel 2.4 Jumlah Responden

No Trayek Jumlah %

1 Salatiga - Kopeng – Magelang 10 50%

2 Salatiga – Ambarawa 10 50%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Penulis juga menanyakan tingkat pendidikan masing – masing responden.

Tabel 2.5 Tingkat Pendidikan Responden

No Tingkat Pendidikan Jumlah %

1 SD 9 45%

2 SMP 4 20%

3 SMA 7 35%

4 Perguruan Tinggi - -

Total 20 100%

Sumber : data primer

(33)
[image:33.612.75.537.95.351.2]

47

Tabel 2.6 Usia Responden

No Usia (dalam tahun) Jumlah %

1 25 – 30 2 10%

2 30 – 35 6 30%

3 35 – 40 4 20%

4 40 – 45 7 35%

5 45 – 60 1 5%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Menurut hasil dari data diatas usia responden paling banyak berkisar antara 40 tahun – 45 tahun yang berjumlah 7 responden ( 35%) yang kemudian di ikuti pada usia 30 tahun – 35 tahun yang berjumlah 6 responden ( 30% ) , usia 35 tahun – 40 tahun 4 responden ( 20% ) , usia 25 tahun – 30 tahun 2 responden ( 10 % ) , dan yang terakhir pada usia 45 tahun – 60 tahun terdapat 1 responden ( 5% )

Tabel 2.7 Status Perkawinan Responden

No Status Jumlah %

1 Kawin 16 80%

2 Tidak Kawin 4 20%

Total 20 100%

Sumber : data primer

[image:33.612.69.540.226.595.2]
(34)
[image:34.612.68.547.109.604.2]

48 menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan sehari – hari bisa diasumsikan tinggi, karena 80% responden telah berkeluarga.

Tabel 2.8 Lama Responden Berprofesi

No Lama Berprofesi (dalam tahun) Jumlah %

1 1 – 5 4 20%

2 5 – 10 6 30%

3 10 Keatas 10 50%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas menunjukkan bahwa sebagian besar atau setengah dari jumlah responden telah berprofesi sebagai pengemudi bus selama lebih dari 10 tahun yang berjumlah 10 responden ( 50% ) , yang kedua adalah antara 5 tahun – 10 tahun yang berjumlah 6 responden ( 30% ) , dan yang terakhir antara 1 tahun – 5 tahun yang berjumlah 4 responden ( 20% ).

Tabel 2.9 Rata – Rata Pendapatan Responden Per Hari

No Pendapatan Jumlah %

1 < Rp.50.000 6 30%

2 Rp.50.000 < Rp.100.000 14 70 %

3 >Rp.100.000 - -

Total 20 100%

Sumber : data primer

(35)
[image:35.612.73.539.191.635.2]

49 makan dan biaya bahan bakar minyak. Ketika penulis melakukan wawancara terhadap responden, apakah pendapatan tersebut mencukupi untuk memenuhi kebutuhan tiap hari, responden mengaku pendapatan yang di peroleh tiap harinya belum mencukupi untuk kehidupan sehari – hari. Responden juga mengakui bahwa dengan semakin banyaknya angkutan – angkutan umum, mobil atau motor pribadi berdampak besar pada pendapatan tiap hari. Penulis juga menanyakan mengapa responden masih mau berprofesi sebagai pengemudi bus. Responden mengakui bahwa sekarang lapangan pekerjaan semakin sulit dicari, responden juga menambahkan bahwa apabila ada pekerjaan yang lebih baik ( pendapatan lebih ) maka responden akan beralih profesi, karena responden juga mengakui bahwa berprofesi sebagai pengemudi bus merupakan pekerjaan yang berat dengan pendapatan yang minim.31

Tabel 2.10 Pengetahuan Responden Wajib Memasuki Terminal

No Pengetahuan Jumlah %

1 Mengetahui 20 100%

2 Tidak Mengetahui - -

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas menunjukkan bahwa keseluruhan responden ( 100% ) mengetahui kewajiban untuk memasuki / memulai / mengakhiri perjalanan di terminal bus dalam hal ini terminal Tingkir Salatiga sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 tahun 1981 Pasal 3 ayat (1).

31

(36)
[image:36.612.78.466.125.253.2]

50

Tabel 2.11 Alasan Responden Tidak Memasuki Terminal Tingkir

No Alasan Jumlah %

1 Sepi Penumpang 7 35%

2 Pemborosan BBM ( Solar ) 12 60%

3 Permintaan Penumpang 1 5%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas menunjukkan bahwa faktor pemborosan bahan bakar minyak menjadi alasan terbanyak dengan jumlah 12 responden ( 60 % ) , faktor sepi penumpang 7 responden ( 35 % ) dan faktor permintaan penumpang 1 responden ( 5 % ). Penulis berpendapat bahwa ketiga faktor diatas saling berkaitan erat mengapa para sopir bus/responden tidak memasuki terminal. Hal ini juga dikuatkan dengan hasil wawancara penulis dengan sopir bus/responden dengan mengakui bahwa untuk sampai ke terminal Tingkir jaraknya sangat jauh, apalagi dengan jarak yang jauh tersebut mengakui sulit mendapatkan penumpang sepanjang perjalanan menuju terminal, tentunya hal ini menjadi permasalahan tersendiri bagi sopir bus karena dengan penumpang yang sedikit atau bahkan dengan kecenderungan yang tidak ada , maka hal ini hanya akan menjadi pemborosan bahan bakar. Mengenai faktor penumpang, sopir bus juga mengatakan bahwa penumpang cenderung memiliki tujuan ke pusat keramaian atau pasar daripada ke terminal. Hal ini terlihat pada pangkalan – pangkalan bus yang terjadi di Pasar Sapi ataupun Pasar Jetis.32

(37)
[image:37.612.75.535.78.720.2]

51

Tabel 2.12 Operasi Oleh Petugas Kepada Responden

No Keterangan Jumlah %

1 Pernah 20 100%

2 Tidak Pernah - -

Total 20 100%

Sumber : data primer

Melihat data diatas bahwa semua atau 20 responden ( 100% ) mengakui bahwa pernah dilakukan operasi oleh petugas. Hal ini menunjukkan bahwa petugas telah berupaya untuk menertibkan pengemudi bus yang tidak memasuki/singgah di Terminal.

Tabel 2.13 Tingkat Frekuensi Operasi Yang Dilakukan Oleh Petugas

No Tingkat

Frekuensi

Jumlah %

1 Sering - -

2 Jarang 7 35%

3 Sangat Jarang 13 65%

Total 20 100%

Sumber : data primer

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa upaya yang dilakukan petugas masih sangat minim, yaitu dengan responden yang mengakui bahwa operasi yang dilakukan petugas sangat jarang yaitu 13 responden ( 65% ) dan responden yang mengakui bahwa operasi yang dilakukan petugas jarang 7 responden ( 35% ).

Tabel 2.14 Pengenaan Sanksi Terhadap Responden

No Keterangan Jumlah %

1 Pernah - -

2 Tidak Pernah 20 100%

Total 20 100%

(38)

52 Data diatas menunjukkan bahwa 20 responden ( 100% ) menyatakan tidak pernah dikenai sanksi sesuai Pasal 12 Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 tahun 1981. Responden menyatakan bahwa tindakan petugas hanyalah sebatas himbauan kepada para responden/sopir bus.

C. Analisis

1. Analisis Pelaksanaan Penegakan Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun

1981 di Kota Salatiga.

Ditengah perkembangan jaman seperti sekarang ini, sarana transportasi menjadi kebutuhan yang sangat penting bagi masyarakat. Begitu juga yang terjadi di Salatiga, masyarakat di Salatiga menyadari arti penting akan sarana transportasi guna pemenuhan kebutuhan sehari – hari. Mengingat kebutuhan masyarakat yang besar akan transportasi tersebut, maka semakin banyaklah sarana transportasi, salah satunya adalah bus. Dengan semakin banyaknya bus di Salatiga, maka dibutuhkan pengaturan agar bus dapat menjadi sarana transportasi yang aman, nyaman, dan tertib. Pemerintah Kota Salatiga sendiri telah mengeluarkan aturan yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 tentang Terminal dan Retribusi Terminal. Khususnya dalam Pasal 3 ayat ( 1 ) menyebutkan bahwa “Setiap otobis umum yang

beroperasi dan /atau melewati wilayah kotamadya Salatiga diharuskan memasuki/memulai/mengakhiri perjalanannya di Terminal bus dan diatur sesuai dengan jadwal yang ditentukan”. Apabila melihat sekarang ini, telah banyak terjadi pelanggaran yang dilakukan

(39)

53 Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 3 ayat (1) diatas. Padahal untuk rute trayek sendiri telah ditetapkan dalam Keputusan Walikota Salatiga Nomor 551.2/2/114/2002 Tentang Penutupan Terminal Pembantu Rejosari dan Perubahan Rute Angkutan Bus dan Non Bus.

Dinas Perhubungan khususnya Bidang Lalu Lintas sebagai pihak yang memiliki tugas dan fungsi dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan pengawasan, penertiban, patroli dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan sesuai dengan yang terdapat dalam Peraturan Walikota Nomor 54 Tahun 2011 Pasal 166 ayat (2) sub.d. berkewajiban untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan para sopir tersebut.

Dalam rangka penegakan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1981, Dinas Perhubungan telah melakukan upaya. Upaya – upaya tersebut berupa penegakan hukum preventif dan penegakan hukum represif.

Penegakan Hukum Preventif

Penegakan hukum preventif merupakan penegakan hukum yang dilakukan sebelum terjadinya suatu pelanggaran, dengan kata lain untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran, yang dapat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan penegakan hukum preventif tersebut, petugas Dinas Perhubungan selama tahun 2014 telah melakukan beberapa upaya yaitu :

a) Penyuluhan terhadap paguyuban – paguyuban bus yang beroperasi di Salatiga.

b) Kegiatan pemilihan pelopor keselamatan Lalu Lintas Angkutan Jalan dan sosialisasi kebijakan Lalu Lintas Angkutan Jalan guru dan pelajar.

c) Pendidikan keselamatan jalan bagi pelajar dan pramuka.

(40)

54 tersebut, maka para sopir bus dapat langsung menyampaikan alasan-alasan kenapa para sopir tersebut tidak masuk ke terminal kepada Dinas Perhubungan.

Penegakan Hukum Represif

Penegakan hukum represif yaitu kewajiban melakukan segala usaha, pekerjaan dan kegiatan menindak pelaku pelanggaran. Hal ini dapat terlihat pada serangkaian operasi yang yang dilakukan oleh petugas sesuai dengan tabel 2.1 tentang operasi gabungan yang dilakukan selama tahun 2014. Dari data tersebut penulis melihat masih banyaknya kekurangan, diantaranya agenda operasi yang dilakukan dalam periode tahun 2014 yang hanya dilakukan sebanyak 6 kali operasi.

Dari serangkaian operasi gabungan yang dilakukan petugas, penulis melihat bahwa petugas tidak memiliki ketegasan menerapkan sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 12 yang menyatakan bahwa “Pelanggaran terhadap

ketentuan Pasal 3, 4, 5, 8, 9, 10, dan 11 Peraturan Daerah ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 ( tiga ) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 25.000,- ( Dua puluh lima ribu rupiah ).” Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.12 tentang operasi oleh petugas kepada responden dari data tersebut diketahui bahwa keseluruhan responden/sopir bus pernah terkena operasi, akan tetapi para sopir tersebut tidak dikenakan sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada tabel 2.14 tentang pengenaan sanksi kepada responden, keseluruhan responden tidak pernah dijatuhi sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 12.

(41)

55 Nomor 16 Tahun 1981 Tentang Terminal dan Retribusi Terminal, karena para petugas mengetahui berapa pendapatan para sopir ini. Untuk mencukupi kebutuhan harian saja susah, apalagi dikenai sanksi.33 Hal ini dapat dilihat dari tabel 2.9 rata – rata pendapatan responden per hari sebagian besar responden berpendapatan antara Rp.50.000,00 sampai Rp.100.000,00

2. Analisis Mengenai Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Peraturan Daerah

Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Di Kota Salatiga.

Banyaknya pelanggaran yang dilakukan para sopir bus dengan tidak memulai/mengakhiri perjalanannya di terminal sesuai dengan amanat Peraturan Daerah Kota Salatiga No 16 Tahun 1981 Tentang Terminal dan Retribusi Terminal Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Setiap otobis umum yang beroperasi dan /atau melewati wilayah kotamadya Salatiga diharuskan memasuki/memulai/mengakhiri perjalanannya di Terminal bus dan diatur sesuai dengan jadwal yang ditentukan”, maka Dinas Perhubungan selaku pihak yang memiliki peran atau tugas dan fungsi seperti yang tercantum dalam Peraturan Walikota Nomor 54 Tahun 2011 Pasal 166 ayat (2) sub.d. yaitu melakukan pelaksanaan dan penyelenggaraan kegiatan pengawasan, penertiban, patroli dan pengendalian lalu lintas dan angkutan jalan diwajibkan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan para sopir tersebut. Akan tetapi apabila melihat kenyataan yang ada, dalam proses penegakan hukum yang dilakukan pihak Dinas Perhubungan tersebut memiliki beberapa faktor yang mempengaruhi dalam prosesnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

33

(42)

56

a) Proses Penegakan Hukum Yang Bertele-tele

Konsekuensi dengan diterapkannya suatu peraturan didalam masyarakat adalah bahwa masyarakat tersebut mau atau tidak mau harus mematuhi peraturan tersebut, sebab peraturan tersebut adalah bertujuan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Penulis disini akan membandingkan antara peraturan perundang - undangan yang lama dan peraturan perundang – undangan yang baru yaitu Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 dan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009. Penulis berpendapat bahwa terdapat perbedaan dalam hal penegakan hukum oleh petugas,khususnya disini Dinas Perhubungan. Dalam Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 secara umum masih memberikan “ruang gerak” yang luas kepada Dinas

Perhubungan sebagai Pegawai Penyidik Negeri Sipil ( PPNS ) untuk melakukan pemeriksaan kendaraan dijalan, ini terlihat pada Pasal 16 ayat (2) yang menyebutkan bahwa :

Pasal 16 ayat (2)

Untuk keselamatan, keamanan, dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan, dapat dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan.

Sedangkan Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 Dinas Perhubungan selaku Pegawai Penyidik Negeri Sipil ( PPNS ) membatasi “ruang gerak” pemeriksaan kendaraan bermotor hanya di tempat – tempat tertentu yaitu Terminal dan/atau tempat alat penimbangan yang dipasang secara tetap, dan apabila pemeriksaan terjadi dijalan selain tempat – tempat yang sudah ditentukan tersebut Dinas Perhubungan wajib berkoordinasi dengan pihak Kepolisian. Hal ini dapat dilihat pada pasal 262 ayat ( 2 ) dan ( 3 ) yang menyebutkan bahwa :

Pasal 262 ayat (2)

(43)

57

Pasal 262 ayat (3)

Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Jalan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil wajib berkoordinasi dengan dan harus didampingi oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Setelah melihat perbandingan Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas diatas, penulis berpendapat bahwa ini merupakan suatu hambatan tersendiri dari Dinas Perhubungan untuk melakukan penegakan hukum khususnya dalam hal pemeriksaan dijalan. Ini juga diakui oleh Kepala Bidang Lalu Lintas Bapak M.Sidqon Effendi, S.SiT,MT , beliau berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Perhubungan semakin “dipersempit” dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 tahun 2009 ini. Beliau juga menyatakan bahwa dengan diberlakukannya Undang – Undang ini, petugas yang berada dilapangan tidak bisa maksimal dalam menjalankan tugasnya, hal ini dikarenakan apabila terjadi pelanggaran dijalan, petugas tidak dapat secara langsung menindak, akan tetapi harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak Kepolisian. Hal ini tentunya menjadi suatu hambatan tersendiri bagi Dinas Perhubungan dalam hal melakukan penegakan hukum karena harus melalui birokrasi yang bertele-tele.34 Peranan peraturan hukum cukup besar dalam hubungannya dengan pelaksanaan peraturan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Dengan kata lain, bahwa keberhasilan atau kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan yang harus dijalankan tersebut dibuat. Apabila melihat kenyataannya diatas, maka penulis berpendapat bahwa dengan diberlakukannya Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009

34

(44)

58 tersebut yang “mempersempit” kewenangan dari Dinas Perhubungan menjadi hambatan tesendiri

bagi petugas Dinas Perhubungan dalam penegakan hukum.

b) Ketidaktegasan Petugas

Ketidaktegasan petugas dalam hal ini adalah penerapan sanksi yang terdapat dalam Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Pasal 12 yang menyebutkan bahwa “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 3, 4, 5, 8, 9, 10, dan 11 Peraturan Daerah ini diancam

dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 ( tiga ) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 25.000,- ( Dua puluh lima ribu rupiah ).” Hal ini dapat dilihat selama melakukan operasi petugas tidak pernah melakukan penerapan sanksi seperti yang terdapat dalam tabel 2.14 tentang pengenaan sanksi oleh responden. Dalam tabel tersebut keseluruhan responden/sopir bus ini tidak pernah dikenai sanksi seperti yang terdapat dalam pasal 12 Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981, mereka hanya mendapat himbauan saja untuk memasuki terminal. Penulis menilai bahwa sebenarnya tindakan penerapan sanksi kepada para sopir bus yang tidak memasuki terminal dapat menjadikan efek jera kepada para pelanggar.

Tindakan petugas yang tidak menerapkan sanksi inilah yang menurut penulis juga menjadi suatu faktor yang mempengaruhi/menghambat proses penegakan hukum, karena penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Dalam hal ini keinginan hukum yang dimaksud adalah Peraturan Daerah Kota Salatiga No 16 Tahun 1981 Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi “Setiap otobis umum yang beroperasi dan /atau melewati wilayah kotamadya Salatiga diharuskan memasuki/memulai/mengakhiri perjalanannya diterminal bus dan diatur sesuai dengan jadwal yang ditentukan”. Maka dapat disimpulkan bahwa ketidaktegasan petugas dengan tidak

(45)

59

c) Sarana dan Prasarana Yang Kurang Memadahi

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadahi, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Penulis melihat masih adanya faktor sarana dan prasarana ini yang masih belum memadahi, diantaranya adalah sebagai berikut :

Fasilitas jumlah unit motor

Dengan jumlah motor yang dimiliki oleh petugas Dinas Perhubungan khususnya UPTD selaku pelaksana unit yang berada dilapangan, terlihat masih kurangnya fasilitas yang dimiliki oleh UPTD terutama jumlah sepeda motor yang dimiliki oleh UPTD. Kepala UPTD Bapak Slamet Muzamil juga menyatakan bahwa hambatan yang dialami oleh UPTD saat ini adalah jumlah sepeda motor. Dengan hanya memiliki fasilitas sepeda motor yang berjumlah 3 unit ini tentunya sangat berpengaruh dalam hal penegakan hukum oleh petugas dilapangan.35 Penulis melihat dengan rincian 1 unit sepeda motor untuk bagian staf dan 2 unit sepeda motor untuk pegawai lapangan tentunya ini menjadi kendala tersendiri bagi pegawai lapangan yang berjumlah 10 personil. Bapak Slamet Muzamil juga menambahkan, bahwa bawahannya sering kewalahan dalam menangani pelanggaran yang terjadi dilapangan akibat kurangnya fasilitas motor.

Anggaran Operasi Gabungan

Mengenai faktor anggaran, penulis melihat bahwa minimnya anggaran yang diterima Dinas Perhubungan menjadi faktor sedikit banyaknya agenda operasi yang selama ini telah terjadi, apabila kita melihat dalam tabel 2.1 tentang Operasi gabungan yang terjadi selama 2014 hanya terlaksana 6 kali operasi saja. Seperti telah dijelaskan penulis, jika dalam 1 kali operasi gabungan, Dinas Perhubungan menganggarkan kurang lebih Rp 1.100.000,- ( Satu juta seratus

35

(46)

60 ribu rupiah ) nominal tersebut didapati penulis,dengan mengakumulasi seluruh petugas yang melakukan operasi yang berjumlah 20 personil dari pihak Dinas Perhubungan dan 2 personil dari pihak Kepolisian dengan masing-masing personil mendapatkan anggaran Rp. 50.000,- per orang. Dengan jumlah anggaran kurang lebih Rp. 1.100.000,- tiap kali melakukan operasi, maka Dinas Perhubungan belum bisa melakukan operasi secara rutin dan berkala, akibat minimnya anggaran operasi yang didapatkan Dinas Perhubungan selama setahun. Untuk besaran nominal ideal untuk penyelenggaraan operasi gabungan dalam satu tahun, penulis tidak mendapatkan besaran nominal yang spesifik, akan tetapi menurut salah satu petugas Bidang Lalu Lintas menyatakan untuk anggaran operasi sekarang ini dinilai masih kurang jika harus mengadakan operasi rutin untuk tiap bulannya. Sehingga menurut penulis, anggaran ini berpengaruh besar terhadap pelaksanaan penegakan hukum yang dilakukan petugas.

Tingkat Pendidikan Penegak Hukum

(47)

61 maksimal karena pengetahuan akan hukum yang minim tersebut. Tentunya ini juga yang menjadi salah satu faktor yang menghambat dalam proses penegakan hukum, karena dalam kesehariannya petugas lapangan inilah yang secara langsung berhadapan oleh para supir bus yang melanggar aturan yang mengharuskan setiap bus yang beroperasi diwilayah Salatiga harus memasuki terminal.

d) Tingkat Kesadaran Hukum Masyarakat

Tingkat pendidikan pengemudi bus yang sebagian besar hanya tamat SD (Sekolah Dasar) sebanyak 9 orang atau 45% sesuai tabel 2.5 tentang Tingkat Pendidikan Responden ternyata tidak berpengaruh besar terhadap pengetahuan akan hukum. Ini dibuktikan dengan seluruh responden/supir bus mengetahui bahwa tindakannya dengan tidak memasuki/singgah di terminal merupakan tindakan yang melanggar hukum sesuai dengan tabel 2.10 tentang pengetahuan responden wajib memasuki terminal sesuai Pasal 3 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 16 Tahun 1981 Tentang Terminal dan Retribusi Terminal. Akan tetapi pengetahuan hukum para supir bus ini tidak serta merta menunjukkan kesadaran akan hukum oleh para supir bus. Adapun indikator - indikator untuk mengukur tingkat kesadaran hukum adalah sebagai berikut :36

1. Pengetahuan hukum, artinya seorang mengetahui bahwa perilaku – perilaku tertentu diatur oleh hukum. Hukum yang dimaksud disini adalah hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis, pengetahuan tersebut menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

2. Pemahan hukum, artinya seorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan

pemahaman mengenai aturan – aturan tertentu, terutama dari segi isinya.

3. Sikap hukum, artinya seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian

tertentu terhadap hukum.

4. Perilaku hukum, artinya dimana seseorang berperilaku sesuai dengan hukum yang berlaku.

36

(48)

Gambar

Tabel 2.1 Operasi Gabungan Selama Tahun 2014
Tabel 2.2 Fasilitas Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan
Tabel 2.3 Fasilitas UPTD Terminal
Gambar 2.1 : lokasi tempat bus-bus mangkal di jalan Hassanudin Salatiga.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut sesuai dengan temuan hasil observasi awal yang dilakukan oleh penulis di Le Beringin Hotel Salatiga, bahwa banyaknya karyawan yang memiliki dedikasi

Hasil penelitian disimpulkan bahwa sistem pengendalian intern atas pengelolaan retribusi parkir Kota Salatiga sudah memadai, meskipun masih ada kurangnya penegakan

Hasil penelitian disimpulkan bahwa sistem pengendalian intern atas pengelolaan retribusi parkir Kota Salatiga sudah memadai, meskipun masih ada kurangnya penegakan

Penelitian ini kemudian mengerucut pada bagaimana pola komunikasi antara pemerintah kota Salatiga dengan para awak media di Salatiga yang tergabung dalam Komunitas

Responden dari Dinas Perhubungan Kota Salatiga dalam hal ini kepala Dinas UPTD4. Parkir

Model pengelolaan parkir di Salatiga terpetakan sebagai model Perparkiran Berizin, Perparkiran Warga dengan izin UPT Perparkiran, dan perparkiran warga tanpa izin

yang mempermudah kembali ke menu awal. Lambang yang terlalu kecil dan tidak adanya filosofi Kota Salatiga juga menjadi salah satu kekurangan website tersebut. Berdasarkan

Dampaknya program ini belum dapat menurunkan tingkat pelanggaran lalu lintas di kalangan pelajar di Kota Salatiga, menurut data tingkat pelanggaran lalu lintas yang