1
Jurnal Dhammavicaya:
Volume: I No.1 Juli 2018 Halaman:1-10 Tersedia secara online
http://https://stabnalanda.e-journal.id/dv ISSN:2580-8028
Groupthink Dalam Kelompok Keagamaan Buddha (Studi Kasus Pola
Komunikasi Yang Menimbulkan Groupthink Dalam Kelompok
Masyarakat Buddhis Di Wonogiri)
Situ Asih
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya
ABSTRACT
The aim of the research are to describe and analyze the role of communicator, in this case is a religious figure, role of audience or mambers of group to formming groupthink and pattern of communicate group, that is the Buddhist community group in district Wonogiri. Using qualitative research method of case study, the analitical technique uses a combined technique of Miles and Huberman, Spradly and Yin. The results showed that the role of religious figure or administrators in formming groupthink are (1). As a good audiences, (2). As a consoler, (3). As a decision markers, while the role of members of the Buddhist community in the district of wonogiri are (1). Patterns of interpersonal communication that can be seen from the activity, Urun rembug, Getok tular, Anjangsana, and daily conversation between the management and mambers of the community, (2). The pattern of group communication seen from the activities, Gongyo, Daimoku,meeting of woman, meeting of the young generation, Buddhis Sunday School and various other activities undertaken by the Buddhist community in the district of Wonogiri.
Key words : Groupthink, Communicators, Audience and the patterns of communication
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan dan menganalisis peran komunikator dalam hal ini adalah tokoh agama, peran audiens atau anggota kelompok dalam membentuk Groupthink dan pola komunikasi kelompok yakni kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri, dengan menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus. Teknik analisisnya menggunakan teknik gabungan dari Miles dan Huberman, Spradley dan Yin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran tokoh agama atau pengurus dalam membentuk Groupthink adalah: (1) sebagai komunikator, (2) sebagai konselor dan (3) sebagai pengambil keputusan. Sedangkan peran anggota masyarakat Buddhis sebagai komunikan adalah: (1) sebagai audiens yang baik, (2) terlibat dalam kepanitiaan, (3) sebagai komunikator. Adapun pola komunikasi yang terbentuk dalam masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri adalah (1) Pola komunikasi interpersonal yang dapat dilihat dari kegiatan urun rembug, gethok tular, Anjangsana dan percakapan sehari-hari antara pengurus dan anggota masyarakat, (2) Pola komunikasi kelompok yang telihat dari kegiatan Gongyo Daimoku, pertemuan Wanita, Pertemuan Generasi Muda, Sekolah minggu Buddha dan perbagai kegiatan lain yang dilakukan oleh masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri. Kata kunci : Groupthink, Komunikator, Audiens dan pola komunikasi
Riwayat Artikel : Diterima: 2 April 2018 Disetujui: Mei 2018 Alamat Korespondensi:
Situ Asih,
Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Raden Wijaya Wonogiri Jawa Tengah
E-mail : [email protected]
Agama Buddha pernah mengalami kejayaan di bumi nusantara, hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti fisik seperti Candi Borobudur di Magelang Jawa Tengah dan banyak peninggalan lain yang berupa karya sastra seperti: Kitab Sanghyang Kamahayanikan, Sutasoma, Negara Kertagama dan karya sastra yang lain yang pada umumnya menggunakan bahasa Sansekerta. Pada tahun 2010, berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 - BPS Republik Indonesia jumlah umat Buddha hanya 1.703.254 orang, hanya sekitar 0,6 % dari total jumlah penduduk Indonesia yakni 237.641.326 orang. Sedangkan untuk wilayah Provinsi Jawa Tengah jumlah penduduk beragama Buddha adalah 53.009 orang, tidak lebih dari 1 % dari jumlah penduduk yang tinggal di Provinsi Jawa Tengah yang mencapai 32.382.657 orang. Diantara 53.009 orang umat Buddha tersebut lebih dari 500 keluarga tinggal di Kabupaten Wonogiri. Diantara 500 Keluarga beragama Buddha di Kabupaten Wonogiri, lebih dari 700 orang umat Buddha di bawah binaan Majelis Niciren Syoshu Buddha Dharma Indonesia (MNSBDI) distrik Wonogiri yang
tersebar dalam 7 Cetya dan 10 Dharmasala, pada tahun 2017 Distrik Wonogiri dipimpin oleh pandita Taruna Parmin.
Keberlangsungan agama Buddha di Kabupaten Wonogiri sampai dengan saat ini tidak terlepas dari peran para pemimpin kelompok keagamaan Buddha yang terdiri dari: Bhikkhu, Pandita, penyuluh (Dharmaduta) dan guru agama Buddha. Masyarakat Buddhis di Indonesia pada umumnya merupakan fenomena budaya yang bukan hanya unik, tetapi juga penuh dengan pesan. Keunikan masyarakat Buddhis terletak pada perilakunya yang dianggap berbeda dengan masyarakat pada umumnya, letak perbedaan itu terletak pada beberapa Kegiatan yang dilakukan oleh umat Buddha MNSBDI yang tinggal di Kabupaten Wonogiri, selain upacara ritual rutin ada berbagai kegiatan keagamaan lain, diantaranya:
1. Perayaan Waisak 2. Perayaan Oesyiki
3. Pujhabhakti dan Dhammadesanna
4. Kensyu Gosyo 5. Pertemuan anjangsana 6. Pembabaran Dharma 7. REACH 8. Idefest 9. Hype
10. Sekolah Minggu Buddhis
Komunikasi di dalam kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri, pada dasarnya tidak terlepas dari aspek komunikasi yang terdiri dari komunikator, pesan, audiens atau komunikan dan efek yang timbul setelah terjadinya komunikasi. Pada kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri, komunikasi antara anggota kelompok dengan para tokoh agama, serta antar anggota kelompok terjadi tidak hanya pada kegiatan atau waktu-waktu tertentu melainkan berlangsung setiap saat dan setiap waktu-waktu, karena anggota kelompok merupakan bagian dari masyarakat yang selalu berinteraksi. Hubungan (relationship) dan komunikasi yang terjalin dengan erat diantara anggota kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri membuat masyarakat menjadi kelompok yang solid (kuat). Kohesivitas (keterpaduan) merupakan faktor yang dapat menyebabkan munculnya groupthink. Keterpaduan ini membawa konsekwensi tertentu, dalam pengambilan keputusan kelompok. Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakekat suatu masalah dengan pengumpulan fakta dan data serta menentukan alternative yang matang untuk mengambil satu tindakan yang tepat (Siregar, 2013: 2) dan serta menentukan alternative yang matang untuk mengambil satu tindakan yang tepat.
Adalah hal yang menarik, ketika sebuah kelompok memiliki kohesivitas yang sangat tinggi dan memiliki keeratan hubungan antara anggota yang satu dengan yang lain, tetapi di sisi yang lain kelompok yang solid dan kohesiv tersebut memiliki hubungan yang baik dengan kelompok atau masyarakat lain yang tinggal di satu derah. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas peneliti merusmuskan masalah sebagai berikut: (1) Bagaimana pola komunikasi yang menimbulkan Groupthink pada kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri? (2) Bagaimana peran komunikator yang dalam hal ini adalah tokoh agama Buddha di Kabupaten Wonogiri sehingga terbentuk Groupthink? Dan (3) Bagaimana peran Audiens yang dalam hal ini adalah umat Buddha di Kabupaten Wonogiri sehingga terbentuk Groupthink?
Adapun teori-teori yang dipakai oleh peneliti dalam penelitian ini diantaranya: teori tentang komunikasi, dimana Berelson dan Gary A. Steiner yang dikutip oleh Scheidel (1976: 5) komunikasi didefinisikan sebagai proses transmisi informasi, ide, gagasan, emosi, ketrampilan dan lain sebagainya dengan menggunakan simbol-simbol tertentu, dapat berupa kata, gambar, grafik, figur ataupun simbol yang lainnya. Rogers yang dikutip oleh Cangara (1998: 18) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses dimana suatu ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan tujuan untuk merubah tingkah laku penerima. Lasswell (Mulyana, 2013: 69) menyebutkan unsur-unsur komunikasi yang terdiri dari 5 (lima) unsur, yakni: Sumber (source) yakni pengirim pesan (Sender), pesan, saluran atau media, penerima dan efek.
Setiap individu dapat disebut sebagai seorang komunikator, karena setiap individu berupaya menyampaikan ide atau gagasan kepada orang lain, dalam menyampaikan ide atau gagasan yang dimiliki setiap individu memiliki sifat yang berbeda-beda sehingga Digman dalam Trait Theory membagi 5 (lima) model, yang terdiri dari: (1) Neuriticism, (2) Extraversion, (3) Opennes, (4) Agree-ableness dan (5) Concientiousness (Digman,
Situ Asih, Groupthink Dalam Kelompok Keagamaan Buddha 3
1990: 417-440). Menurut Teori Kredibilitas, seorang komunikator yang baik adalah seseorang yang memiliki kredibilitas yang tinggi, dimana menurut Aristoteles kredibilitas yang tinggi diperoleh mana kala seorang komunikator memiliki Etos, Patos dan Logos (Rohim, 2009: 73-74). Komunikator agar berhasil dalam menyampaikan pesan maka harus menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, karena menurut teori ini individu memiliki rasa suka dan tidak suka untuk menilai seseorang (Goldberg, 1985: 49-50).
Unsur komunikasi yang ke dua adalah pesan oleh Verdeber (1978: 8) diartikan sebagai seperangkat simbol baik verbal ataupun non verbal yang mewakili perasaan, nilai, gagasan atau maksud dari komunikator, sehingga pesan haruslah memiliki 3 (tiga) komponen, yakni: makna, simbol yang digunakan untuk menyampaikan makna dan bentuk atau organisasi pesan. Pesan yang disampaikan oeh komunikator bukan hanya berupa bahasa verbal yang keluar dari mulut, tetapi juga berupa bahasa non verbal, sehingga menurut teories of non verbal coding bahasa non verbal dapat berupa ekspresi wajah, gerak tangan ataupun tubuh, hal ini seperti yang dijelaskan oleh Burgoon dalam Littlejhon (2009: 96-101) bahwa “Non verbal code systems are often classified according to the type of activity used in the code” Genree dalam (Baxter, 2008: 23-55), menjelaskan bahwa pesan dibentuk dengan terlebih dahulu seorang komunikator mengorganisasikan pengetahuan dan pikiran, sehingga seorang komunikator yang baik sudah seharusnya memiliki pengetahuan dan ide yang banyak.
Unsur komunikasi yang ke tiga adalah Media, Media menurut McQuail seperti yang dikutip oleh Littlejhon (2011: 333) adalah sebagai berikut: “media are windows that enable us to see beyond our immediate surroundings, interpreters that help us make sense of experience, platforms or carriers that convey information, interactive communication that includes audience feedback, signposts that provide us with instructions and directions, filters that screen out parts of experience and focus on others, mirrors that reflect ourselves back to us. And barriers that block the truth”
Fungsi utama dari media komunikasi adalah untuk pengawasan, memberikan informasi tentang lingkungan, korelasi, menyajikan pilihan untuk memecahkan masalah, dan transmisi, bersosialisasi dan mendidik (Bryson, 1994: 203). Pentingnya media sehingga menurut Sandra Ball-Rokeach dan Defleur bahwa khalayak tergatung pada informasi media yang sesuai dengan kebutuhan dan dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, namun khalayak tidak tergantung pada media sebesar mereka membutuhkan informasinya (Ball-Rokeach, 1976: 3-21). Unsur komunikasi selanjutnya adalah komunikan disebut juga dengan khalayak (audiens), pendengar (listener), penafsir (interpreter) atau penerima (receiver) yakni menurut Mulyana (2013: 71) komunikan adalah orang yang menerima pesan dari sumber. Menurut model komunikasi Gudykunst dan Kim, lingkungan sangat mempengaruhi komunikan dalam menyandi balik, sehingga dikatakan bahwa lokasi geografis, iklim, lingkungan fisik dan persepsi sangat mempengaruhi cara komunikan menafsirkan rangsangan yang datang (Effendy, 2011: 19). Pola komunikasi merupakan cara berkomunikasi satu sama lain dalam suatu masyarakat yang telah menjadi kebiasaan dan dilakukan secara berulang- ulang (Widiyanti, 2007: 25). Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami” (Djamarah, 2004:1). Pola komunikasi atau hubungan menurut Tubbs dan Moss, (2001:26) dapat dicirikan oleh dua hal yakni: komplementaris atau simetris. Sedangkan Nurudin dalam Liliweri (2003:21) menyatakan bahwa pola komunikasi dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) yakni: komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok kecil, komunikasi public, komunikasi organisasi dan komunikasi massa.
Membahas tentang pola komunikasi tidak terlepas dari komunikasi antar pribadi yaitu komunikasi yang tidak sesederhana melibatkan pertukaran pesan, melainkan melibatkan penciptaan dan perubahan makna, sebagai sebuah implikasi penting yang selalu mengikuti pesan (Hartley, 1999: 24) hal ini dapat diartikan bahwa dalam sebuah pesan mengandung makna yang harus diinterprestasikan dengan berbagai cara. Dalam jangka panjang pola hubungan dapat menjadi relatif stabil, tetapi peristiwa dapat mendorong hubungan ke arah baru dan kadang-kadang tidak terduga (Littlejhon, 2011: 229).
Altman dan Taylor membahas hubungan sebagai transaksi ekonomi (Miller, 1987: 257-277) dimana individu melakukan hubungan dengan tujuan untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan biaya. Altman dan Taylor menyarankan empat tahap perkembangan relasional: (1) Orientation, (2) Exploratory affective exchange, (3) affective exchange dan (4) Stable exchange. Selanjutnya Montgomery dan Baxter juga menegaskan bahwa hubungan menyediakan konteks di mana individu dapat mengelola kontradiksi (Montgomery, 1998: 160) menurut Montgomery setiap kelompok terdiri dari berbagai kontradiksi terkait yang dapat terjadi dalam hubungan.
Ketika mengembangkan hubungan, menurut Carol Werner dan Leslie Baxter ada lima kualitas yang berubah yaitu: Amplitude, Salience, Scale, Sequence and pace/rhythm (Knapp, 1994: 323-379).
Berhubung penelitian ini membahas tentang komunikasi kelompok maka Michael Burgoon dan Michael Ruffner (2002: 54) dalam buku: Human Communication, memberi batasan komunikasi kelompok sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu guna memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagi informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya dengan akurat. Goldberg dan Larson (2006: 5-9) bahwa komunikasi kelompok terbagi dalam komunikasi kelompok kecil dan komunikasi kelompok besar. Dalam fungsi persuasi (Berger, 2014: 230), seorang anggota kelompok berupaya mempersuasikan anggota lainnya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seseorang yang terlibat usaha-usaha persuasif dalam suatu kelompok, membawa resiko untuk tidak diterima oleh para anggota lainnya.
Fungsi kelompok dicerminkan dengan kegiatan-kegiatannya untuk memecahkan persoalan dan membuat keputusan-keputusan. Pemecahan masalah (problem solving) berkaitan dengan penemuan alternatif atau solusi yang tidak diketahui sebelumnya; sedangkan pembuatan keputusan (decision making) berhubungan dengan pemilihan antara dua atau lebih solusi. Jadi, pemecahan masalah menghasilkan materi atau bahan untuk pembuatan keputusan (Holingshead, 1996: 28). Menurut Bales, posisi individu dalam kelompok merupakan fungsi dari tiga dimensi: (1) dominan versus patuh, (2) persahabatan versus tidak bersahabat, dan (3) instrumen versus emosional (Griffin: 2012: 92-93). Sedangkan mengenai kelompok Putnam dan Cynthia Sthol mengatakan bahwa kelompok bonafid adalah kelompok alami, semua kelompok adalah bagian dari sistem yang lebih besar, kelompok bonafid dianggap sebagai perspektif untuk melihat kelompok yang lebih besar dan perspektif ini telah digunakan untuk mempelajari kelompok-kelompok seperti juri, tim bedah, kelompok manajemen, komite penggalangan dana, dan kelompok pendukung remaja (Poole, 2005: 185).
Dalam teori tentang munculnya keputusan (decision emergence), Fisher menguraikan empat tahap proses interaksi dalam kelompok yakni: orientasi, konflik, pemecahan masalah, dan penguatan, sehingga dengan memahami teori Fisher ini seseorang akan menyadari perubahan in put menjadi out put (Littlejhon, 2011: 271). Membahas tentang kelompok, dapat dimungkinkan dalam sebuah kelompok terjadi Groupthink dimana menurut Irvings Janis 1972 dalam (Rogers, 1994: 316-355) adalah istilah untuk keadaan ketika sebuah kelompok membuat keputusan untuk menolak anggapan atau opini publik yang sudah nyata buktinya, dan memiliki nilai moral. Kurt Lewin (Littlejhon, 2011: 281) menyatakan bahwa Groupthink adalah akibat langsung adanya keterpaduan dan kekompakan dalam kelompok. Analisis Janis’s tentang Groupthink lebih berfokus pada politik dan keputusan militer, tetapi potensi terjadinya groupthink dapat terjadi dalam sebuah kelompok ataupun organisasi (Finkelstein, 2003; Miller, 1990; Tasa & Whyte, 2005).
Menurut Johnson, (2001: 6-9) terdapat beberapa karakteristik yang menandai terjadinya Groupthink dalam sebuah kelompok, diantaranya: “illusion of invulnerability, belief in inherent morality of group, rasionalisasi kolektif, out-group stereotypes, self-censorship, illusion of unanimity, direct pressure on dissenters, self appointed mind guards”. Kelompok yang solid dan kohesiv dapat melahirkan stereotip, stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Liliweri, 2005: 49), sedangkan menurut Pearson dan Nelson (1979: 29) penstereotipan diartikan sebagai menggeneralisasikan orang-orang berdasarkan sedikit informasi dan membentuk asumsi mengenai mereka berdasarkan keanggotaan mereka dalam sebuah kelompok, atau dengan kata lain bahwa stereotip adalah proses menempatkan orang atau objek dalam kategori yang dianggap sesuai daripada berdasarkan karakteristik individual mereka. Stereotip muncul dalam kehidupan manusia karena disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) manusia cenderung membagi dunia dalam dua kategori kita dan mereka, (2) stereotip tampaknya bersumber dari kecenderungan individu untuk melakukan kerja kognitif sedikit mungkin (Baron, 1991: 53). Stereotip atau pengkategorian individu yang terjadi menurut Secord (1974: 29) biasanya bersifat berlebihan dan keliru sama sekali.
METODE
Penelitian ini bermaksud untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang komprehensif mengenai fenomena Groupthink dalam kelompok keagamaan, yakni pada kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri. Dengan demikian maka strategi penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriftif, dengan pendekatan studi kasus. Adapun teknik untuk memperoleh data dengan menggunakan Wawancara mendalam dan dokumentasi,
Situ Asih, Groupthink Dalam Kelompok Keagamaan Buddha 5
adapun teknik pemilihan informan dengan menggunakan maximum varians sampling. Teknik analisis data dengan menggunakan teknik gabungan dari Miles dan Huberman, Spradley dan Yin, yang terdiri dari 5 langkah yaitu: Menyediakan catatan lapangan, menyimpulkan tema-tema yang telah ditentukan, menyajikan data, membangun asumsi, dan menguji keabsahan data.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara administratif Kabupaten Wonogiri adalah salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah, letaknya berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Timur di bagian timur, bagian utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar, Sebelah barat dengan Kabupaten Sukoharjo dan barat daya dengan Provinsi DIY, sedangkan di bagian selatan berbatasan langsung dengan benua australia . Masyarakat Buddhis yang tinggal di Kabupaten Wonogiri tersebut hidup berdasarkan asal-usul leluhur. Aktifitas keagamaan kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari, dimana setiap pagi sebelum anggota masyarakat Buddhis tersebut melaksanakan kegiatan atau aktifitas selalu diawali dengan penyalaan Dupa dan lilin sebagai penghantar dalam berdoa (Gongyo Pagi). Selain itu memberikan sesaji atau persembahan baik berupa buah, kue, dan makanan di altar keluarga sehingga ketika memasuki rumah umat Buddhis di Kabupaten Wonogiri maka kita akan menjumpai adanya altar sebagai objek pemujaan bagi umat Buddha.
Masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri terbilang sebagai komunitas yang memiliki banyak kegiatan untuk kegiatan formal biasanya berupa Acara acara ritual seperti gongyo pagi dan sore hari, pertemuan pembabaran Dharma di tingkat Dharmasala, Cetya maupun distrik, kensyu Gosyo, Pertemuan anjangsana, pertemuan Generasi muda, pertemuan bagian wanita, bagian pria, dan profesional muda serta Sekolah Minggu Buddhis. Sedangkan kegiatan non-formal seperti tilikan, kunjungan anggota, urun rembug, ngobrol-ngobrol ataupun ngumpul-ngumpul. Dalam penelitian ini kelompok masyarakat Buddhis dibedakan menjadi pengurus sebagai komunikator dan anggota masyarakat Buddhis sebagai komunikan, yang masing-masing memiliki peran dalam membentuk Groupthink. Adapun alasan menjadi pengurus berdasarkan hasil wawancara dengan responden diantaranya adalah: (1) karena aktif dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap agama Buddha, (2) Sering membantu pengurus yang lain, (3) merasa menjadi pengurus adalah tanggung jawab sebagai umat Buddha. Adapun peran pengurus dalam membentuk Groupthink diantaranya adalah: (1) Pengurus sebagai komunikator. Pimpinan yang terdiri dari para tokoh agama yakni Pandita, ketua Vihara, sesepuh agama, Dharmaduta, TIM Distrik dan staf majelis serta para guru sekolah minggu Buddha, merupakan orang-orang yang dapat dikatakan sebagai komunikator. Karena dari para pengurus ini segala informasi atau pesan sampai pada komunikan yakni masyarakat Buddhis. Para pengurus ini menyampaikan berbagai macam informasi, baik berupa Dharma atau ajaran Buddha, ataupun informasi yang berhubungan dengan berbagai macam kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri. (2) Pengurus sebagai konselor, berdasarkan data yang diperoleh peneliti para pengurus yang berada di dalam kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri selain bertindak sebagai komunikator juga berperan sebagai seorang konselor. Hal tersebut dapat diketahui dari beberapa hasil wawancara yang menyatakan bahwa banyak anggota masyarakat Buddhis yang sering menceritakan berbagai permasalahan kepada pengurus atau pimpinan dengan maksud untuk mendapatkan solusi atau jalan terang. Karena anggota masyarakat Buddhis sudah menganggap pengurus atau pemimpin sebagai bagian dari keluarga, maka ketika menemui suatu permasalahan, para anggota masyarakat Buddhis sering melakukan konsultasi ataupun diskusi dengan para pengurus tersebut. (3) Pengurus sebagai Pengambil keputusan, berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri dalam mengambil sebuah keputusan baik yang berhubungan dengan diri pribadi ataupun yang berhubungan dengan kelompok sering menggantungkan kepada pengurus atau tokoh agama, sehingga dapat dikatakan bahwa pengurus atau tokoh agama sebagai pengambil keputusan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa sumber dapat dijelaskan bahwa anggota masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri sudah percaya dengan apa yang menjadi keputusan pengurus, karena berdasarkan pengalaman keputusan pengurus adalah keputusan yang baik, yang sudah dipikirkan berbagai resiko atau kekurangannya.
Adapun peran anggota masyarakat Buddhis sebagai komunikan pada kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri dalam membentuk Groupthink diantaranya: (1) Masyarakat Buddhis sebagai audiens, yakni ketika para pengurus menyampaikan sebuah informasi, baik mengenai ajaran Agama dalam ceramah Dhamma ataupun dalam kegiatan urun rembug, dimana pengurus bertindak sebagai fasilitator serta sebagai komunikator. Pola komunikasi yang terbentuk dalam hal Gongyo Daimoku dan berbagai perayaan dapat dijelaskan bahwa anggota asyarakat Buddhis berperan sebagai komunikan tetapi juga sebagai komunikator, karena masyarakat
Buddhis tidak hanya sebagai pendengar ketika Pandita, Dharmaduta ataupun pengurus yang lain menyampaikan ceramah Dhamma. Akan tetapi masyarakat Buddhis juga bisa berperan sebagai pembicara, moderator dan pembawa acara dalam kegiatan tersebut. (2) masyarakat Buddhis terlibat dalam kepanitiaan, keterlibatan anggota masyarakat Buddhis dalam perbagai kegiatan seperti menjadi panitia panitia hari besar dan acara tilikan ataupun rewang merupakan salah satu bentuk kekuatan yang dimiliki oleh kelompok masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri. Para pengurus tidak pernah memaksakan kepada anggota masyarakat Buddhis untuk aktif dalam kegiatan, akan tetapi motivasi dari para pengurus telah membangun kesadaran, sehingga masing-masing individu yang tergabung dalam masyarakat Buddhis telah memiliki sense of belonging, loyalitas dan solidaritas diantara sesama anggota masyarakat Buddhis. (3) Masyarakat Buddhis sebagai Komunikator, masyarakat Buddhis ketika menyampaikan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam hidupnya kepada pengurus, yakni kepada Pandita, Dharmaduta ataupun pengurus yang lain, maka anggota masyarakat tersebut berperan sebagai komunikator, karena mereka menyampaikan informasi yang berupa masalah yang dialami, adapun umpan balik yang diperoleh dari para pengurus kelompok masyarakat Buddhis adalah berupa saran ataupun solusi untuk membantu memecahkan masalah. Selain hal tersebut, anggota masyarakat Buddhis sebagai komunikator dapat terlihat dari kegiatan Gethok Tular, yakni memberikan informasi kepada anggota masyarakat Buddhis yang lain mengenai acara Tilikan ataupun acara lain ketika para pengurus menyampaikan informasi dan ada anggota yang tidak hadir dalam kegiatan.
Kohesivitas masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri terlihat dari beberapa hal diantaranya: (1) rasa memiliki atau sense of belonging, di dalam kelompok masyarakat Buddhis, sense of belonging memang terlihat sangat kuat, karena mereka merasa memiliki visi dan misi atau tujuan hidup yang sama, yakni mengembangkan ajaran Buddha di bumi nusantara, selain itu prinsip hidup yang berasal dari satu sumber yaitu ajaran Buddha menjadikan mereka adalah satu keluarga. (2) loyalitas, Salah satu ciri bahwa seseorang memiliki rasa loyal terhadap kelompok adalah tidak ada niat untuk meninggalkan kelompok meski apapun terjadi dalam kelompok. Berdasarkan hasil wawancara baik pengurus ataupun anggota masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri menyatakan rasa loyal terhadap kelompok, rasa loyal tersebut dinyatakan dengan pernyataan untuk tidak meninggalkan kelompok apapun yang terjadi, sudah merasa sreg atau cocok dengan ajaran Buddha menjadikan mereka tidak mau meninggalkan agama Buddha, perasaan seperti ini sangat wajar ditemukan di dalam kelompok yang memiliki kohesivitas yang tinggi. (3) solidaritas yang dapat diartikan sebagai semangat kesatuan, sehati, sepikir dan sepenanggungan dalam menjalankan aktivitas organisasi. Solidaritas antara pengurus dan anggota merupakan modal yang sangat penting dalam suatu organisasi. Solidaritas adalah salah satu nilai luhur yakni rasa simpati dan rasa empati terhadap orang lain. Berdasarkan wawancara dengan beberapa sumber, bahwa bentuk solidaritas baik antara pengurus dan anggota, ataupun sesama pengurus dan sesama anggota masyarakat Buddhis sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari prinsip dari umat Budha bahwa dalam hidup ini harus maitri karuna, yakni mengembangkan rasa simpatik dan cintakasih kepada semua makhluk. Bentuk dari solidaritas tersebut diantaranya tiap kali ada umat yang memiliki masalah biasanya mereka bercerita tentang masalahnya tersebut, baik kepada pengurus ataupun dengan sesama umat dengan tujuan untuk meringankan beban orang yang lagi menghadapi masalah.
Komunikasi yang terjadi pada masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri dibedakan menjadi beberapa bentuk, diantaranya: (1) komunikasi sesama masyarakat Buddhis, yakni ketika seluruh pengurus dan warga sedang membaur menjadi satu tanpa melihat apakah ia pengurus atau warga biasa, mengobrol membicarakan berbagai hal secara langsung dengan cara tatap muka dengan tujuan untuk semakin mempererat keakraban atau kekeluargaan diantara masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri. Bentuk komunikasi lain sebagai bentuk keakraban diantara sesama masyarakat Buddhis adalah saling berpelukan, “cipika-cipiki” hal ini seperti yang sempat terlihat oleh peneliti, ketika warga masyarakat Buddhis datang di Vihara untuk melakanakan kegiatan. (2) komunikasi pengurus dengan anggota masyarakat Buddhis terlihat sangat dekat, sebagai bukti kedekatan antara pengurus dan warga masyarakat Buddhis adalah seringnya ngobrol ataupun urun rembug diantara pengurus dan warga mayarakat Buddhis. Tidak jarang juga umat yang sedang memiliki masalah meminta nasehat atau solusi kepada pemimpin atau pengurus. (3) Komunikasi masyarakat Buddhis dengan Out Group, komunikasi yang terjalin antara masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri dengan masyarakat non Buddhis atau disebut dengan Out Group terbilang sangat dekat atau akrab. Hal ini dapat terlihat dari berbagai aktifitas yang dilakukan secara bersama-sama. Ketika umat Muslim mengucapkan salam Assalamualaikum warga masyarakat Buddhis membalas salam tersebut dengan mengucapkan salam Nammobudaya dengan tangan bersikap anjali, hal seperti ini sudah tidak aneh lagi terjadi pada masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri. Bentuk kegiatan yang dilakukan bersama-sama
Situ Asih, Groupthink Dalam Kelompok Keagamaan Buddha 7
diantaranya adalah Jumat bersih, pada acara jumat bersih warga masyarakat membaur menjadi satu, bersama-sama membersihkan jalan ataupun memperbaiki berbagai fasilitas umum, masing-masing bertanggung jawab untuk menyelesaikan pekerjaan tanpa melihat agama apa yang dianut.
Selain kegiatan jumat bersih masyarakat di Kabupaten Wonogiri juga memiliki budaya yakni melakukan acara tilikan, yakni menjenguk warga masyarakat yang sedang sakit, perbedaannya dengan tilikan pada masyarakat Buddhis adalah tidak memandang siapa yang sakit, tidak melakukan doa bersama, hanya mengumpulkan uang untuk diserahkan kepada orang yang sedang sakit. Acara lain yang dilakukan bersama-sama antara masyarakat Buddhis dengan out group adalah pertemuan rutin di RT, pertemuan rutin di tingkat RT dilakukan setiap “selapan” (35) hari sekali. Adapun pola komunikasi yang membentuk Groupthink pada masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Pola komunikasi interpersonal yang melibatkan pandita, Dharmaduta, Tim Distrik dan Staf Majelis, sebagai sumber (source) dalam unsur komunikasi. Adapun pesan (message) yang disampaikan secara interpersonal berupa: motivasi untuk mengikuti kegiatan keagamaan, pesan tentang ajaran agama, solusi atas permasalahan hidup yang dihadapi oleh masyarakat, anjuran untuk meningkatkan Dana Paramita, anjuran untuk meningkatkan solidaritas dan loyalitas terhadap kelompok dalam saluran (Channel) kunjungan anggota, percakapan sehari-hari, urun rembug, gethok tular dan tilikan serta anjangsana, sedangkan komunikannya (receiver) adalah seluruh umat Buddha atau anggota masyarakat Buddhis.
Ketua dan Tim wanita sebagai source memberikan message berupa motivasi untuk mengikuti pertemuan bagian wanita, solusi atas permasalahan para perempuan Buddhis, pemberian keterampilan untuk Life Skill, serta solusi atas permasalahan anak dengan memanfaatkan Channel berupa forum komunikasi pertemuan wanita, percakapan sehari-hari antara anggota masyarakat Buddhis dengan Tim Wanita, sehingga dapat dikatakan bahwa para perempuan Buddhis di Kabupaten Wonogiri berperan sebagai Receiver. Tim GM dalam perannya sebagai Source memberikan pesan berupa motivasi untuk mengikuti kegiatan REACH, Idefest dan pertemuan generasi muda, solusi atas permasalahan para pemuda Buddhis, informasi tentang jadwal kegiatan, dengan memanfaatkan saluran komunikasi berupa pertemuan GM, dan percakapan sehari-hari. Dalam hal ini yang berperan sebagai Receiver adalah Generasi muda Buddhis di Kabupaten Wonogiri. Guru dan Pengurus Sekolah Minggu Buddha dalam perannya sebagai Source sekaligus sebagai Receiver, saling memberikan informasi (message) berupa materi pelajaran, jadwal pelaksanaan kegiatan, motivasi untuk meningkatkan loyalitas dan solidaritas terhadap kelompok, dengan memanfaatkan kegiatan komunikasi yang berupa Urun Rembug. Dan ketika Siswa sekolah minggu Buddha berperan sebagai Receiver, pesan yang disampaikan berupa pelajaran agama, motivasi untuk aktif dalam kegiatan, solusi atas permasalahan pendidikan di sekolah formal, serta motivasi untuk meningkatkan loyalitas dan solidaritas kelompok, dengan memanfaatkan Channel berupa kegiatan sekolah minggu Buddha, dan percakapan sehari-hari.
Gambar 1.
Sedangkan Anggota masyarakat Buddhis berperan sebagai Source sekaligus Receiver ketika
membicarakan informasi tentang jadwal kegiatan ritual dan kegiatan sosial, dalam Channel Urun
Rembug, Gethok Tular dan percakapan sehari-hari. Sedangkan ketika masyarakat Buddhis berperan
sebagai source maka Out Group sebagai Receiver yakni dalam percakapan sehari-hari yang membahas
tentang berbagai tema selain ajaran Buddha. Dalam kaitannya pengurus sebagai konselor dapat dijelaskan
melalui banyaknya anggota masyarakat Buddhis yang sering menceritakan berbagai permasalahan kepada
pengurus atau pimpinan dengan maksud untuk mendapatkan solusi, dan jika digambarkan pola
komunikasi yang terbentuk adalah sebagai berikut:
SIMPULANDANSARAN
Gambar 2.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa selain sebagai komunikator, dan konselor, tokoh agama,
ketua Vihara, Pandita, Tim Distrik dan Guru sekolah minggu juga berperan sebagai pengambil keputusan.
Pola komunikasi yang terbentuk, dalam perannya pengurus sebagai pengambil keputusan dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.
Berkaitan dengan fenomena Groupthink yang terjadi pada masyarakat Buddhis di Kabupaten
Wonogiri, dapat dilihat dari kohesivitas yang tinggi diantara anggota masyarakat Buddhis, selain itu
berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan bahwa anggota masyarakat Buddhis tersebut memiliki
loyalitas, solidaritas dan sense of belonging yang kuat terhadap keberadaan kelompok, hal ini seperti yang
dikatakan oleh Janis, bahwa dalam sebuah kelompok yang memiliki kohesivitas yang tinggi cenderung
terbentuk Groupthink. Selain itu hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Kurt Lewin, bahwa akibat
langsung adanya keterpaduan dan kekompakan dalam kelompok adalah Groupthink. Akan tetapi peneliti
menemukan bahwa kohesivitas pada masyarakat Buddhis di Kabupaten Wonogiri terbentuk bukan karena
adanya anggapan bahwa mereka kebal, akan tetapi kohesivitas yang tinggi tersebut muncul karena adanya
perasaan bahwa kelompok masyarakat Buddhis adalah kelompok minoritas, sehingga Pandita,
Dharmaduta, Tim Distrik dan Staf Majelis selalu memotivasi untuk lebih meningkatkan hubungan antara
yang satu dengan yang lain dalam berbagai bentuk kegiatan.
Pengurus / konselor Komunikan/ masyarakat Buddhis Masalah: 1. Masalah keluarga 2. Masalah pendidikan anak 3. Masalah sosial yang lain
Solusi atas sebuah masalah Dengan pendekatan pada ajaran
Situ Asih, Groupthink Dalam Kelompok Keagamaan Buddha 9 Simpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal, diantaranya mengenai peran pengurus dalam membentuk Groupthink yang dapat dibedakan menjadi: Pengurus sebagai komunikator, pengurus sebagai konselor dan pengurus sebagai pengambil keputusan, adapun peran anggota masyarakat Buddhis dalam membentuk Groupthink dapat dibedakan menjadi: masyarakat Buddhis sebagai audiens, masyarakat Buddhis terlibat dalam kepanitiaan, dan masyarakat Buddhis sebagai komunikator. Adapun pola komunikasi yang terbentuk dapat dibedakan menjadi pola komunikasi interpersonal yang dapat terlihat dalam bentuk saluran urun rembug, percakapan sehari-hari, gethok tular, kunjungan anggota, tilikan dan anjangsana. Sedangkan pola komunikasi kelompok yang membentuk Groupthink dapat terlihat dalam bentuk berbagai kegiatan, seperti Gongyo Daimoku di Vihara, Pembabaran Dharma, pertemuan Wanita, pertemuan GM, dan Sekolah Minggu Buddha.
DAFTAR RUJUKAN
Ball-Rokeach, Sandra and Melvin L DeFleur. 1976. A Dependency Model of Mass Media Effects: Communication Research 3. New York: Longman.
Baron, Robert A dan Paul B Paulus. 1991. Understanding human Relations: A Practical Guide to People at Work. Boston: Allyn and Bacon.
Baxter, Leslie A and Dawn O Braithwaite. 2008. Engaging Theories in Interpersonal Communication: Multiple Perspectives. California: Sage.
Berger, Carles R and Michael E Rollof. 2014. Handbook Ilmu Komunikasi. Bandung: Nusa Indah. Bryson, Lyman. 1994. The Communication of Ideas. New York: Free Press.
Burgoon, Michael dan Michael Ruffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication. Cangara, Hafied. 2013. Perencanaan dan Strategi Komunikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Digman, Jhon M. 1990. Personality Structure: Emergence of The Five-factor model. Annual Review of psychology.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga. Jakarta: PT Rineka Cipta Effendy, Onong Uchjana. 2011. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Griffin, Em. 2012. A first look at Communication Theory Eighth edition., an imprint of The McGraw-Hill Companies, Inc., 1221 Avenue of the Americas, New York: McGraw-Hill.
Goldberg, Alvin, A. dan Carl E. Larson. 1985. Komunikasi Kelompok. Jakarta: UI Press. Hartley.P. 1999. Interpersonal Communication Second Edition. London: Routledge.
Holingshead, A.B and M.S Poole.1996. The Rank-Order effect in Group Decision Making Organizational Behavior and Human Decision Process. Thousand Oaks, CA: Sage.
Johnson, Philip M. 2001. Effects of Groupthink on Tactical Decision-Making. A Monograph, School of Advanced Military StudiesUnited States Army Command and General Staff CollegeFort Leavenworth, Kansas, Rev: 8-98.
Knapp, Mark L and Gerald R Miller. 1994. Handbook of Interpersonal Communication. Thousand Oaks, CA: Sage. Liliweri. A. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKIS.
Littlejhon, Stephen W and Karen Foss. 2009. Encyclopedia of Communication Theory, Vol 1. California: Sage. ... 2011. Theories of Human Communication, Tenth Edition. United States of America:
Waveland Press, Inc.
Miller, Gerald R dan Michael Rolloff. 1987. Interpersonal Processes: New Directions in Communication Research. Newbury Park, CA: Sage.
Montgomery, Barbara M and LeslieBaxter. 1998. Dialectical Approaches to Studying Personal Relationships. Mahwah, NJ: Erlbaum.
Mulyana, Deddy. 2013. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosda karya.
Pearson, Judy C dan Paul E Nelson. 1979. Understanding and Sharing AnIntruduction to Speech Communication. Dubuque, Lowa: Wm.C.Brown.
Poole, Marshal Schott and Andrea B Hollingshead. 2005. Theories of Small Groups: Interdisciplinary Perspective. Thausand Oaks, CA: Sage.
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi Perspektif, Ragam dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Rogers, Everett M. 1994. A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: Free Press. Scheidel, Thomas M. 1976. Speech Communication and Human Interaction. Glenville, Ill: Scott, Foresman and Co. Secord, Paul F dan Carl W. Backman. 1974. Social Psicology. New York: McGraw-Hill.
Siregar, Lisdi. P. 2013.Groupthink dalam Komunikasi Kelompok. Skripsi Departemen Ilmu Komunikasi. Tubbs, Stewart L dan Sylvia Moss. 2001. Human Communication. Bandung: Remaja Rosda Karya. Verderber, Rudolf F. 1978. Communicate, 2Th Edition. California: Wadsworth.
Widiyanti, Emi. 2007. Pola Komunikasi Petani Dalam Rangka Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Di Desa Ngabeyan Kecamatan Sidoharjo Kabupaten Wonogiri. M’Power. No 5 Vol. 5
11
Jurnal Dhammavicaya:
Volume: I No.1 Juli 2018 Halaman:11-16 Tersedia secara online
http://https://stabnalanda.e-journal.id/dv ISSN:2580-8028
Peran Guru Dhammasekha Dalam Menumbuhkan Rasa Nasionalisme
Melalui Keterampilan Bercerita Buddhis
Sujiono
Program Studi Dharmacarya STABN Raden Wijaya Wonogiri
ABSTRACT
This study aims to describe the Role of Dhammasekha Surya Jaya teachers in Temanggung in instilling the nationalism sense through Buddhist storytelling skills. This study is naturalistic research. Data collection technique used interviews, observation and documentation. Data validity used source and method triangulation. Data analysis technique used interactive model of analysis. The results of this study are: the Role of Dhammasekha Surya Jaya teachers in Temanggung in instilling the nationalism by using Abhiha Jātaka. During the learning, teachers relate the content of Abhiha Jātaka to instill the nationalism sense. The teachers insert the nationalism sense to students. The teachers use pictures to explain Abhiha Jātaka. The use of media is able to present a fun learning, not boring and encouraging students. The teachers encourage students to practice the attitudes of mutual assistance, homeland loving, love development, and loyalty. The teachers set up the students to retell the Jataka story learned by using their own language and interpretation. The Students are prepared to loyal to The Unitary State of Indonesia
Key words : Role, Dhammasekha teacher, Nationalism instilling, Abhiha Jātaka
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Peran guru Dhammasekha Surya Jaya di Temanggung dalam menanamkan rasa nasionalisme melalui keterampilan bercerita Buddhis. Penelitian ini adalah penelitian naturalistik. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Validitas data menggunakan triangulasi sumber dan metode. Teknik analisis data menggunakan model analisis interaktif. Hasil penelitian ini adalah: Peran guru Dhammasekha Surya Jaya di Temanggung dalam menanamkan nasionalisme dengan menggunakan Abhiha Jātaka. Selama pembelajaran, para guru menghubungkan isi Abhiha Jātaka untuk menanamkan rasa nasionalisme. Para guru memasukkan rasa nasionalisme kepada siswa. Para guru menggunakan gambar untuk menjelaskan Abhiha Jātaka. Penggunaan media mampu menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan, tidak membosankan dan menyemangati siswa. Para guru mendorong siswa untuk mempraktikkan sikap saling membantu, mencintai tanah air, perkembangan cinta, dan kesetiaan. Para guru mengatur siswa untuk menceritakan kembali kisah Jataka yang dipelajari dengan menggunakan bahasa dan interpretasi mereka sendiri. Para Siswa dipersiapkan untuk loyal kepada Negara Kesatuan Indonesia
Kata kunci : Peran, guru Dhammasekha, Nasionalisme menanamkan, Abhiha Jātaka Riwayat Artikel : Diterima: April 2018 Disetujui: Mei 2018 Alamat Korespondensi:
Sujiono,
Program Studi Dharmacarya STABN Raden Wijaya Wonogiri E-mail : [email protected]
Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan berbahasa terdiri dari keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Keterampilan berbahasa sangat penting dikembangkan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui keterampilan berbahasa seseorang dapat menunjukan rasa nasionalisme bagi bangsa dan negaranya. Rasa nasionalisme dapat ditunjukkan melalui berbagai kegiatan diantaranya memiliki rasa cinta air, lomba-lomba dalam rangka peringatan hari kemerdekaan, mengikuti kegiatan upacara bendera, melalui kegiatan keagamaan yang berorientasi pada cinta negara. Namun kenyataannya, dewasa ini nasionalisme di Indonesia sedang diuji. Rasa nasionalisme yang telah diwariskan oleh para pendahulu belum sepenuhnya dimiliki generasi saat ini.
Mulai pudarnya nasionalisme terindikasi melalui munculnya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang kurang sejalan dengan Pancasila. Melihat gejolak mulai pudarnya rasa nasionalis pemerintah dengan sigap mengambil tindakan. Pada tanggal 10 Juli 2017, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dewasa ini rasa nasionalisme dikalangan muda terindikasi mulai luntur. Pernyataan ini diperkuat kutipan sebagai berikut: Mata Air Fondation dan Alvara Research Center melakukan survei yang menunjukkan bahwa 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah. Survei Alvara secara khusus dilakukan untuk mengukur sikap dan pandangan keagamaan kalangan pelajar SMA dan Mahasiswa di Indonesia. Survei dilakukan terhadap 1.800 mahasiswa di 25 perguruan tinggi unggulan di Indonesia, serta 2.400 pelajar SMAN unggulan di Pulau Jawa dan Kota-kota besar di Indonesia. Hasanuddin mengatakan, dari survei ini diketahui bahwa ada 23,5 persen mahasiswa dan 16,3 pelajar menyatakan Negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan agama Islam secara kaffah. Diterangkan juga bahwa mayoritas pelajar dan mahasiswa memang setuju dengan NKRI sebagai bentuk negara dibandibg khilafah. Namun, perlu diingat bahwa ada 17,8 persen mahasiswa dan 18,3 persen pelajar yang memilik Khilafah dibanding NKRI. Demikian juga tentang idiologi Pancasila, ada 18,6 persen pelajar memilih idiologi Islam sebagai idiologi bernegara dibanding Pancasila. Sedangkan dikalangan mahasiswa sebanyak 16,8 persen memilih idiologi Islam dibanding Pancasila sebagai idiologi bernegara. (tribunnews.com)
Berdasarkan kutipan hasil penelitian dari Mata Air Fondation dan Alvara Research Center di atas dapat disintesiskan bahwa rasa nasionalisme dikalangan perlu mendapatkan perhatian khusus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rasa nasionalisme dalam ancaman. Ideologi Pancasila perlu ditanamkan lebih serius kepada generasi muda. Ancaman lunturnya rasa nasionalisme tidak bisa dibiar begitu saja. Generasi muda perlu diselematkany dari paham yang anti Pancasila. Rasa nasionalisme perlu dibangun kembali.
Siswa Dhammasekha sebagai bagian warga negara Republik Indonesia. Nasionalisme setiap warga negara perlu terus dikembangkan. Siswa sebagai generasi penerus bangsa memerlukan pendidikan untuk menanamkan nasionalisme. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu mempelajari serta menjalankan ajaran agama yang dianut secara baik dan benar. Bercerita Buddhis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang perlu dimiliki siswa Sekolah Dhammasekha. Melalui keterampilan bercerita Buddhis dapat menumbuhkan rasa nasionalisme bagi siswa. Berdasarkan uraikan latar belakang diatas dan mengingat pentingnya keterampilan bercerita Buddhis untuk menumbuhkan rasa nasionalisme, maka penulis tertarik untuk mengkaji “Peran Guru Sekolah Dhammasekha Surya Jaya dalam Menanamkan Rasa Nasionalisme Melalui Keterampilan Bercerita Buddhis.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana peran guru Sekolah Dhammasekha Surya Jaya Temanggung dalam menanamkan rasa nasionalisme melalui keterampilan bercerita Buddhis? Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran guru Sekolah Dhammasekha Surya Jaya Temanggung dalam menanamkan rasa nasionalisme melalui keterampilan bercerita Buddhis.
Bangsa Indonesia meraih kemerdekaan melalui perjuangan yang luar biasa. Hal ini dapat diketahui melalui perjuangan para pendahulu. Sebagai generasi penerus bangsa tugas yang harus diemban adalah mengisi kemerdekaan. Warga negara dalam mengisi kemerdekaan tentunya menghadapi tantangan yang berat. Salah satu tantangan yang terjadi ialah mulai pudarnya rasa nasionalisme. Nasionalisme merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam mengisi kemerdekaan dan menjaga kedaulatan NKRI.
Menurut Hans Kohn (dalam Moesa, 2006:31) menjelaskan secara etimologis Nasionalisme, Natie dan National, kesemuanya berasal dari bahasa Latin Natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran; dari kata nascie yang berarti dilahirkan, maka jika dapat dihubungkan secara objektif maka yang paling lazim dikemukakan adalah bahasa, ras, agama dan peradaban, wilayah negara serta kewarganegaraan. Lebih lanjut Britannica Encyclopaedia (dalam Moesa, 2006:31) nasionalisme adalah sikap mental dimana loyalitas tertinggi dari individu untuk negara-negara (a state of mind in wich a spreme loyaliti of the individual is felt to the due to the nation state). Mengacu pada kutipan ahli di atas dapat disintesiskan nasionalisme adalah merupakan sikap mental yang menunjungan loyalitas tertinggi seorang warga negara yang ditujukan kepada bangsa dan negaranya. Nasionalisme didorong rasa persatuan dan kesatuan dari persamaan sebagai bagian bangsa dan negara.
Kemerdekaan yang telah diraih dengan susah payah, perjuangan yang keras, dan pengorbanan yang tidak dapat ditawar-tawar, pada gilirannya mesti menjadi komitmen dan cita-cita ideal mahasiswa dalam mengisi kemerdekaan dengan jalan mengaplikasikan keilmuan yang dimilikinya untuk kepentingan orang banyak. Salah satu upaya adalah dengan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Dalam artian, kita harus menunjukkan kepedulian dan perhatian kepada bangsa yang mempunyai cita-cita lepas dari segala bentuk kapitalisme, hedonisme, konsumerisme, dan materialisme (Illahi, 2012:43). Berdasarkan kutipan di atas dapat
Sujiono, Peran Guru Dhammasekha 13
dijelaskan bahwa nasionalisme sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Melalui nasionalisme yang terjaga dengan baik maka kemerdekaan yang telah diraih dengan susah payah akan terjaga dengan baik. Segenap masyarakat perlu mengisi kemerdekaan dengan mengaplikasi ilmu demi kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara.
Rasa nasionalisme menjadi harga mati bagi setiap warga negara. Sumbangan terbesar dari Guru Agung Buddha Gotama adalah dharma. Dharma sebagai pedoman hidup juga mampu menumbuhan rasa nasionalisme. Salah satu bagian dharma yang menarik untuk dipelajari adalah cerita Buddhis. Menurut Sujiono (2015:22) Bercerita Buddhis adalah suatu proses penuturan tentang terjadinya suatu peristiwa, kejadian yang termuat dalam jataka. Setiap cerita yang disampaikan mengandung nilai-nilai Buddhis, seperti kejujuran, kedermawanan, persahabatan, bakti, dan lain-lain). Berdasarkan kutipan di atas dapat disintesiskan bahwa cerita Buddhis merupakan penuturan tentang sebuah peristiwa, kejadian yang terkait dengan agama Buddha. Peristiwa yang menjadi objek tuturan terkandungan dalam Tipitaka. Cerita Buddhis di dalamnya mengandung makna nilai-nilai dharma yang Guru Agung Buddha ajarkan.
Bercerita Buddhis memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini karena setiap cerita Buddhis terkandung Dharma. Salah satu contoh dharma yang terkandung dalam cerita Buddhis diantaranya tentang kemoralan, cinta kasih, kedermawan. Cerita Buddhis sebagain besar terdapat dapat jātaka. Cerita Buddhis bermanfaat untuk menanamkan sifat-sifat baik dalam diri anak. Adapun sifat-sifat baik yang terkandung dalam cerita Buddhis diantaranya; kesetiaan, kesabaran, ,kesusilaan, penyadaran, cinta kasih, ketenangseimbangan, kewelasan, kebenaran, kedermawanan, pelayanan, kejujuran, kerendahan hati, kebijaksanaan, keteguhan, pengupayaan; dan keberanian. Sifat-sifat kebaikan dari bercerita Buddhis tentunya sangat bermanfaat untuk menanamkan rasa nasionalisme siswa kepada bangsa dan negara.
Cerita Buddhis yang terkandung dalam jātaka didalamnya mengandung ajaran kebaikan-kebaikan yang sangat bermanfaat untuk menanamkan rasa nasionalisme. Isi dari jātaka menggambarkan kesetiaan, kemoralan. Hal ini merupakan dasar dalam menanamkan rasa nasionalisme. Melalui kesetiaan yang tertanaman sejak diri akan mengkonsikan tumbuhnya rasa nasionalisme. Kemoralan menjadi dasar bagi setiap warga negara sebagai landasan kehidupan sekaligus memajukan bangsa dan negera sebagai wujudkan rasa nasionalisme. Jadi Cerita jātaka sangat bermanfaat untuk menanamkan rasa nasionalisme. Jātaka yang isi ceritanya untuk menanamkan rasa nasionalisme diantaranya Abhiṇha Jātaka.
Berikut isi dari Abhiṇha Jātaka, sebagaimana mengutip buku Jātaka Kisah Kelahiran Buddha, sebagai berikut: Alkisah, ada seekor anjing yang mengunjungi kandang gajah kerajaan setiap hari. Anjing tersebut makan ceceran nasi yang terjatuh dari tempat makan sang gajah. Anjing dan gajah itu bersahabat erat hingga gajah hanya mau makan jika anjing itu juga makan bersamanya. Jika tidak, gajah kerajaan tidak mau makan sekali. Suatu hari, seorang penduduk desa membeli anjing itu dan membawanya pulang. Sejak kehilangan anjing itu gajah kerajaan menolak makan, minum, maupun mandi. Penjaga gajah segera melaporkan hal tersebut kepada raja. Raja kemudian mengirim seorang menterinya untuk mencari sebab hal tersebut.
Di kandang gajah, menteri melihat betapa sedihnya gajah itu. Maka ia bertanya kepada penjaga gajah apakah gajah itu mempunyai teman. Penjaganya menjawab, “Ada persahabatan yang hangat antara dia dengan seekor anjing.” Menteripun mencari tahu mengenai anjing tersebut dan melaporkan kepada raja. Raja pun berkata, “Baiklah. Sampaikan pengumuman untuk menemukan anjing tersebut, barang siapa yang ketahuan menyembunyikan anjing kesayangan gajah kerajaan akan dihukum.”
Pengumuman itu sampai kepada orang yang membawa pergi anjing tersebut, ia segera melepaskannya. Begitu dilepaskan, anjing segera menelusuri jalan pulang ke kandang gajah kerajaan. Gajah mengambil anjing itu dengan belalainya dan menempatkan anjing itu dikepalanya sambil berlinang air mata haru. Kemudian ia menurunkan anjing tersebut kembali ke tanah, lalu ia makan setelah ia melihat anjing itu makan terlebih dahulu (Vijjānanda, 2015: 128-129).
Berpijak pada kutipan dari Abhiṇha Jātaka di atas Guru Agung Buddha mengajarkan pentingnya kesetiaan. Kesetiaan merupakan dasar dalam menanamkan rasa nasionalisme. Rasa setiap kepada bangsa dan negara merupakan modal dasar dalam nasionalisme. Sebagai warga negara Indonesia hendaknya memiliki kesetian kepada bangsa dan negara. Melalui kesetiaan kepada NKRI akan mengkondisikan komponenan warga negara untuk senantiasa berjuang mengisi kemerdekaan. Seluruh kemampuan dan potensi dicurahkan sebagai wujud rasa nasionalisme.
METODE
Tempat penelitian ini di Sekolah Dhammasekha Surya Jaya, Kec. Kaloran, Kab. Temanggung Pendekatan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif naturalistik. Data dalam penelitian ini berupa kata-kata yang didukung oleh tindakan yang dilakukan informan. Penelitian ini menempatkan informan memiliki posisi yang sangat penting. Pernyataan ini diperkuat oleh Supoto (Sutopo, 2006: 57) yang menyebutkan penelitian kualitatif posisi sumber data yang berupa manusia (narasumber) sangat penting perannya sebagai individu yang memiliki informasinya. Sumber data dalam penelitian adalah pengurus, guru, dan siswa Sekolah Dhammasekha Surya Jaya Temanggung.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti melalui wawancara, observasi, dan dokumen. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data mengenai peran guru Sekolah Dhammasekha Surya Jaya. Informan dalam wawancara adalah pengurus Dhammasekha, Kepala, guru, dan siswa Dhammasekha Surya Jaya Temanggung. Observasi dalam penelitian dilakukan untuk mengetahui berbagai peristiwa dan ditandakan yang dilakukan informan terkait pokok permasalah dalam penelitian ini. Peran guru Dhammasekha Surya Jaya dalam menanamkan rasa nasionalisme melalui keterampilan cerita Buddhis dapat diketahui melalui observasi.
Peneliti untuk memperoleh data yang valid menggunakan trianggulasi. Menurut Flick, 1992 (dalam Denzin dan Lincoln, 2009: 307-308) menjelaskan teknik trianggulasi biasanya merujuk pada suatu proses pemanfaatan persepsi yang beragam untuk mengklarifikasi makna. Teknik trianggulasi juga dapat digunakan untuk mengklarifikasi makna dengan cara mengidentifikasi cara pandang yang berbeda terhadap berbagai fenomena. Trianggulasi yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu trianggulasi sumber dan trianggulasi metode. Teknik analis data yang dipergunakan Model Interaktif (Miles dan Hubermen. Analisis terdiri dari tiga unsur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan/verifikasi (Miles dan Hubermen, 2014: 16).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dhammasekha Surya Jaya merupakan wujud respon terhadap perkembangan pendidikan yang semakin berkembang. Pembelajaran di Dhammasekha Surya Jaya berbasis pada nilai religus, kreatif, inovatif dan menunjung nilai kebudayaan. Dhammasekha Surya Jaya bertujuan membentuk peserta didik yang memiliki pribadi dan karakter Buddhis serta kreatif. Dhammasekha Surya Jaya memiliki peran memberikan pendidikan nonformal yang sesuai kebutuhan peserta didik yang beragama Buddha. Budi pekerti dan religius sebagai bagian budaya Buddhis yang wajib dijaga dan diwariskan kepada peserta didik Buddhis berdasarkan semangat Sigalovada Sutta. Visi Dhammasekha “Surya Jaya Temanggung” adalah taqwa, terampil, berpengetahuan, dan berbudi luhur. Adapun misi Visi Dhammasekha “Surya Jaya Temanggung”, sebagai berikut;
1. Terwujudnya siswa yang memiliki ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
2. Terwujudnya siswa yang memiliki keyakinan kuat terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha; 3. Siswa dapat menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri;
4. Terwujudnya siswa yang mempunyai berbagai macam kecakapan hidup/lifeskill;
5. Terwujudnya siswa yang memiliki kemampuan dalam seni budaya sesuai ajaran Buddha; 6. Siswa dapat memiliki jiwa entrepreneurship/kewirausahaan;
7. Terwujudnya siswa yang memiliki pengetahuan tentang keagamaan dan sains sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
8. Terwujudnya siswa yang memiliki etika sesuai dengan Pancasila Buddhis. Tata tertib
Dhammasekha Surya Jaya keberadaannya sangat berperan penting dalam membangun generasi muda Buddhis di Kabupaten Temanggung. Masyarakat umat Buddha menyambut baik dengan didirikannya Dhammasekha khususnya di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung. Para siswa Buddhis sangat senang didirikannya Dhammasekha Surya Jaya. Melalui Dhammasekha banyak hal yang dilakukan untuk memajukan pendidikan Buddhis di Temanggung. Para siswa memperoleh pelatihan keterampilan seperti karawitan Buddhis, membatik bercirikan Buddhis, memainkan angklung dengan lagu-lagu Buddhis, memarnai, dan les pembelajaran baik pelajaran agama Buddha maupun pelajaran umum.
Sujiono, Peran Guru Dhammasekha 15
Dhammasekha Surya Jaya Temanggung didirikan untuk mewujudkan pendidikan bernilai religius, kreatif, inovatif dan menjunjung nilai kebudayaan. Pendirian Dhammasekha Surya Jaya untuk mengkondisikan siswa Buddhis Temanggung yang mempunyai pribadi dan karakter baik sesuai dengan Dharma. Siswa Buddhis di Temanggung difasilitasi oleh Dhammasekha untuk memiliki kreativitas. Pendidikan Dhammasekha Surya Jaya berbasis religius. Hal ini untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Dhammasekha Surya Jaya mampu memberikan sebuah proses pembelajaran sebagaimana harapan para siswa Buddhis.
Manfaat adanya Dhamamsekha Surya Jaya mampu menghadirkan sebuah model pembelajaran yang berbeda. Masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan Buddhis di Temanggung. Dhammasekha Surya Jaya memberikan kebahagiaan bagi masyarakat Buddhis di Temanggung. Melalui Dhammasekha siswa Buddhis di Temanggung mendapatkan pelatihan ilmu pengetahuan maupun seni budaya. Siswa Dhammasekha mendapatkan pelatihan seni tari, seni lukis, seni batik, bernyanyi Buddhis. Siswa juga mendapatkan bimbingan les pelajaran sekolah. Kegiatan di Dhammasekha Surya Jaya Temanggung akan semakin menumbuhkan saddha (keyakinan) terhadap Buddha Dhamma dan Sangha. Siswa Dhammasekha diajarkan untuk menjadi pribadi yang mandiri dan percaya diri. Siswa juga mendapatkan pelajaran tentang kecapakan hidup. Siswa Dhammasekha mendapatkan pembelajaran keterampilan bermain musik. Alat-alat musik yang dimiliki Dhammasekha cukup memadai. Hal inilah yang menjadi siswa senang belajar di Dhammasekha. Siswa juga memperoleh keterampilan membatik bercirikan Buddhis, karawitan, dan angklung. Masyarakat Buddhis di Temanggung sangat mendukung kegiatan Dhammasekha. Hal ini terlihat animo masyarakat dalam mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh Dhammasekha. Selain menyelenggarakan pendidikan bagi siswa, Dhammasekha juga menyelenggarakan kegiatan perayaan hari raya agama Buddha.
Guru Dhammasekha surya Jaya Temanggung memiliki peran dalam menanamkan rasa nasionalisme. Guru menanamkan rasa nasionalisme kepada siswa saat proses pembelajaran. Guru menjelaskan cerita jataka sebagai bahan pembelajaran. Saat pembelajaran guru menjelaskan cerita jataka dengan mengaitkan nasionalisme. Guru menggunakan cerita Buddhis sebagai bahan pembelajaran di Dhammasekha. Salah satu cerita jataka yang dipergunakan sebagai bahan pembelajaran yaitu Abhiha Jātaka. Guru menggunakan media gambar yang terkait Abhiha Jātaka untu menjelaskan isi dari jataka. Media gambar yang dipergunakan guru memberikan kemudahan bagi siswa untuk memahami is Phala Jātaka. Guru mengajarkan pentingnya kesetiakawan. Siswa diajak untuk meneladasi kesetiaan baik kepada teman, bangsa dan negara. Siswa dikondisikan untuk setia kepada Negara Kesatuan Indonesia (NKRI). Guru mengajak siswa untuk mempraktikan sikap.
Guru mengajak siswa untuk mengingat setiap peristiwa penting terkait perjuangan para pahlawan. Hal ini dilakukan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme pada diri siswa. Saat proses pembelajaran cerita jataka sebagai bahan pembelajaran. Guru mengaitkan isi cerita jataka untuk menanamkan rasa nasionalisme pada diri siswa. Saat hari kemerdekaan guru mengajak siswa untuk mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah berjuang. Guru menumbuhkan rasa nasionalisme pada siswa dengan meneledani semangat juang para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Guru mengkondisikan siswa untuk meneladani semangat perjuangan para pahlawan. Pahlawan menjadi inspirasi bagi guru untuk menanamkan rasa nasionalisme.
SIMPULANDANSARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat ambil kesimpulan peran guru Dhammasekha Surya Jaya Temanggung dalam menanamkan rasa nasionalisme yaitu dengan menggunakan Abhiha Jātaka. Saat pembelajaran guru mengaitkan isi Abhiha Jātaka untuk menanamkan rasa nasionalisme. Guru menyisipkan penanaman rasa nasionalisme kepada siswa. Guru menggunakan media gambar untuk menjelaskan Abhiha Jātaka. Penggunaan media mampu menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan, tidak membosan dan membangkitkan semangat siswa. Guru mengajak siswa untuk mempraktikkan kesetiakawan terhadap NKRI. Guru mengkondisikan siswa untuk menceritakan kembali cerita jataka yang dipelajari dengan menggunakan bahasa
sendiri. Siswa dikondisikan untuk meneladani kesetiaan baik kepada teman, bangsa dan negara. Siswa dikondisikan untuk setia kepada Negara Kesatuan Indonesia (NKRI).
Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan yang telah diuraikan di atas, dapat dituliskan saran sebagai berikut;
1. Guru hendaknya tetap menjaga semangat dan dedikasi dalam mencerdasarkan siswa Dhammasekha sehingga menjadi generasi yang unggul dan berjiwa pancasila.
2. Siswa Dhammasekha hendaknya mampu menjadi teladan dan inspirasi umat lain dalam mengamalkan Dhamma dan pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
3. Orang tua disarankan untuk lebih mendorong anaknya lebih semangat, aktif mengikuti kegiatan
Dhammasekha, sehingga kedepan mampu memiliki keterampilan pendukung baik secara Buddhis maupun umum.
4. Pengelola Perguruang Tinggi Keagamaan Buddha hendaknya lebih meningkatkan tri dharma perguran tinggi khususnya pemberian pendampingan kepada guru Dhammasekha untuk menghadapi tantantangan dan persaingan kemajuan pendidikan.
5. Direktorat Jenderal Bimas Buddha Kementerian Agama Republik Indonesia hendaknya lebih meningkatkan pemberian perhatian melalui pemenuhan sarana dan media pembelajaran yang medai dan kesejahteraan tenaga pendidik di Dhammasekha.
DAFTAR RUJUKAN
Pengelolaan referensi artikel menggunakan Mendeley, dengan Style APA 6th edition
Ali, Hasanuddin. (2017). Survei: 23,4 Persen Mahasiswa dan Pelajar Terjangkit Paham Radikal.online. tribunnews.com. 31/10/2017. Diunduh 21 November 2017.
Denzin K. Norman dan Yvonna S. Lincoln, (2009). Handbook of Qualitative Research. Penerjemah Dariyatno, dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sutopo, H.B.. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi-2. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Ilalahi, Mohammad Takdir. (2012). Nasionalisme Dalam Bingkai Pluralitas Bangsa Paradikma Pembangunan dan Kemandirian Bangsa. Jogyakarta: AR-Ruzz Media.
Miles, B. Matthew dan A. Michael Hubermen. (2014). Qualitative Data Analysis: Analisis Data Kualitatif. Penerjemah Tjetjep Rohendi Ronidi. Jakarta: Universitas Indonesia.
Moesa, Ali Maschan. 2006. Agama dan Politik Studi Kontroksi Sosial Kiai tentang Nasionalisme Pasca Orde Baru. Desertasi. Universitas Airlangga: Surabaya
Sujiono. (2015). “Metode Bercerita Berdasarkan Rangsangan Visual Dan Suara Untuk Mengembangkan Keterampilan Bercerita Buddhis (Studi Kasus Di Smb Dharma Virya Desa Karangduwur, Kec. Ayah, Kab. Kebumen)”. Penelitian Dosen. STABN RadenWijaya: Wonogiri.
17
Jurnal Dhammavicaya:
Volume: I No.1 Juli 2018 Halaman:17-23 Tersedia secara online
http://https://stabnalanda.e-journal.id/dv ISSN:2580-8028
Hubungan Antara Adversity Quotient (Kecerdasan Menghadapi
Rintangan atau Kesulitan) dengan Peningkatan Motivasi Intrinsik Orang
Tua dalam Pendirian Paud yang Bercirikan Buddhis (Studi Kasus di
Dukuh Guwo Desa Blingoh, Kec. Donorojo, Kab. Jepara)
Jo Priastana, Jeny Harianto, Sutrisno
Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Jakarta
ABSTRACT
This study aims to determine the relationship between adversity quotient (intelligence to face obstacles or difficulties) wit h increased intrinsic motivation of parents in the establishment of PAUD which is characterized by Buddhism. This research was conducted at Giri Santi Loka Vihara, Guwo Hamlet, Blingoh Village, Donorojo District, Jepara. Sampling is done by a non-random sampling technique called convenience sampling. From a population of 30 people, a sample of 28 people was taken. The study was conducted using quantitative methods. The instrument used was a questionnaire. Before being distributed, the questionnaire was validated using the Cronbach's Alpa reliability test, and content validity sought expert opinion. Based on the calculation of the Cronbach Alpha formula and by using the SPSS 15.0 program for windows the reliability of variables X and Y is above 0.7, which means reliable. Based on data processing using SPSS 15.0 for windows, the r value of 0.702 is obtained, which means there is a strong relationship between adversity quotes with an increase in parents' motivation in establishing a Buddhist-style PAUD. Based on these results, the variable X is contaminated with Y by 49.28%. For t count of 5.02 and t table for 30 respondents with a 5% significance level of 2.056, then t count is greater than t table, which means there is a significant relationship between adversity quotient with an increase in parental intrinsic motivation in early childhood establishment characterized by Buddhist The results of this study are expected to provide input from the parties in the form of concrete steps to establish PAUD in Guwo Hamlet, Blingoh Village, and Jepara Regency.
Key words : Adversity Quotient and Intrinsic Motivation
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara adversity quotient (kecerdasan menghadapi rintangan atau kesulitan) dengan peningkatan motivasi intrinsik orang tua dalam pendirian PAUD yang bercirikan Buddhis. Penelitian ini dilakukan di Vihara Giri Santi Loka, Dukuh Guwo, Desa Blingoh, Kecamatan Donorojo, Jepara. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik non-random sampling yang disebut dengan convenience sampling. Dari populasi sebanyak 30 orang, diambil sampel sebanyak 28 orang. Penelitian dilakukan menggunakan metode kuantitatif. Instrumen yang digunakan adalah angket. Sebelum disebarkan, angket sudah divalidasi dengan menggunakan uji reliabilitas Cronbach’S Alpa, dan content validity meminta pendapat ahli. Berdasarkan perhitungan formula Alpha Cronbach dan dengan menggunakan program SPSS 15.0 for windows reliabilitas variabel X dan Y di atas 0,7 yang berarti reliabel. Berdasarkan pengolahan data dengan menggunakan SPSS 15.0 for windows diperoleh hasil nilai r sebsar 0,702 yang berarti terdapat hubungan yang kuat antara adversity quoteint dengan peningkatan motivasi orang tua dalam pendirian PAUD yang bercirikan Buddhis. Berdasarkan hasil tersebut, variabel X berkontrinusi terhadap Y sebesar 49,28%. Untuk t hitung sebesar 5,02 dan t tabel untuk 30 respoden dengan taraf signifikan 5% sebesar 2,056, maka t hitung lebih besar dari t tabel, yang artinya ada hubungan yang significan antara adversity quotient dengan peningkatan motivasi intrinsik orang tua dalam pendirian PAUD yang bercirikan Buddhis. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan para pihak berupa langkah konkrit untuk mendirikan PAUD di Dukuh Guwo, Desa Blingoh, dan Kabupaten Jepara.
Kata kunci : Adversity Quotient dan Motivasi Intrinsik
Riwayat Artikel : Diterima: Februari 2018 Disetujui: April 2018 Alamat Korespondensi:
Jo Priastana, Jeny Harianto, Sutrisno., Dharma Acariya
Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Jakarta Alamat Instansi/Perguruan Tinggi
E-mail: penulis
Pendidikan Usia Dini merupakan usia pendidikan penting dan merupkan pondasi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya. Pendidikan usia dini merupakan jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya