KRITIK SOSIAL
DALAM CERPEN “TYH, WARGA KOTA” KARYA PUTU WIJAYA
Oleh: I Ketut Sudewa Prodi Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana Jl. Nias 13 Denpasar, telp. (0361) 224121 Email: sudewa.ketut@yahoo.co.id, Hp. 081338651955
ABSTRACT
The works Putu Wijaya (especially prose and drama) full of surprises and make the reader constantly reconstruct its interpretation every time I read. This situation makes his works contain multiple interpretations. In addition, the theme of the story is always the actual story technique that is usually dominated by engineering dreams, flashbacks, and stream of counsiousness. Short story "Yth, Warga Kota" is one of the works that have the theme Putu Wijaya actual flashback narrative technique, imagery, letters, and reports. All of the techniques used by the author of this story to express social criticism.
Seen from the point of sociological literature, short stories contain social criticism in the legal field and from the point of psychology literature describes the inner conflict characters in deciding a case. A judge was having mind conflict in preparing the final decision for the accused. The mind conflict arising from the experience of deciding a case that is not right before. In addition, because of pressure from the community or city residents to do justice to punish the perpetrators severely punished, even though the accused was the son of an official. On the other hand, the defendant's family also tried to free the defendant from punishment in various ways, including promises of certain positions for judges. Finally, although the final decision has been made by the judge to severely punish the accused as the demands of society, but the judge personal sadness and heavy with the decision taken.
Keywords: social criticism, multiple interpretations, mind conflict
1. Pendahuluan
Putu Wijaya merupakan salah seorang sastrawan Indonesia yang terkenal tidak hanya di
Indonesia, tetapi juga di luar Indonesia. Karya-karya sangat kreatif dengan mengetangahkan
persoalan-persoalan (tema) yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang sifatnya aktual.
Persoalan masyarakat tersebut biasanya dikemas dalam suatu teknik cerita, seperti teknik mimpi,
flashback, dan stream of counsiousness. Dari sudut pembaca atau penikmat, tema dan teknik
cerita menjadi dua unsur cerita yang sangat menentukan menarik atau tidaknya karya
bersangkutan. Walaupun temanya menarik dan aktual, tetapi disajikan dengan teknik cerita yang
tidak menarik, maka karya sastra tersebut tidak akan menarik juga untuk dibaca. Dalam konteks
makna suatu karya sastra sebagai penyambut (Hawkes, 1978:156-157; Pradopo, 1995:106-107).
Pembacalah yang akan menentukan perjalanan sejarah suatu karya sastra. Tanpa pembaca, maka
karya sastra bersangkutan sesunggunnya tidak pernah ada dan sekaligus sastrawan juga tidak
pernah lahir.
Tema yang sering diungkapkan oleh Putu Wijaya di dalam karya-karyanya adalah berupa
kritik sosial. Tema ini memang sering menjadi perhatian para sastrawan mengingat tema ini
memiliki peranan penting dalam menata kehidupan pemerintahan dan masyarakat kea rah yang
lebih baik. Karya sastra menjadi salah satu sarana yang efektif untuk menyampaikan kritik
sosial di samping pers dan gerakan pisik berupa demonstrasi. Ketika jurnalisme (media massa)
sebagai salah satu lembaga yang berfungsi sebagai pengontrol sosial dalam masyarakat melalui
fakta-fakta dibungkam fungsinya, maka Ajidarma menyarankan, sastra harus bicara karena
sastra bicara tentang kebenaran (1977:1).
Walaupun penyampaian kritik sosial terutama melalui karya sastra membawa risiko yang
besar, tetapi sastrawan tidak pernah surut menyuarakan kritik sosial itu melalui karya-karyanya.
Keadaan ini kuat terjadi ketika berlangsungnya pemerintahan Orde Baru yang bersifat otoriter,
seperti yang pernah dialami oleh WS. Rendra (Haryono, (ed)., 2009:65-66). Tampaknya, karya
sastra akan terus dipakai untuk menyampaikan kritik sosial sepanjang masih terjadi
persoalan-persoalan sosial dalam masyarakat.
Salah satu karya Putu Wijaya yang mengandung kritik sosial adalah cerpennya yang
berjudul “Yth, Warga Kota” (selanjutnya disingkat “YWK”). Cerpen ini merupakan salah satu
dari 17 cerpen yang ada di dalam antologi BOM (1992:22-35). Cerpen ini di tulis tahun 1970 dan
petama kali dimuat di harian Kompas serta ditulis kembali dalam bentuk naskah sandiwara
dengan judul Dor (Wijaya, 1983:149). Walaupun cerpen ini sudah cukup lama, tetapi selalu
menarik untuk diapresiasi dan diinterpretasi karena memiliki kelebihan dibandingkan dengan
cerpennya yang lain. Di samping temanya yang aktual, juga teknik ceritanya yang menarik
karena di dalam cerpen ini digunakan beberapa teknik cerita secara bersamaan. Hal inilah yang
menyebabkan kritik sosial yang terkandung di dalam cerpen ini memiliki kekuatan yang besar
Untuk membahas kandungan kritik sosial di dalam cerpen ini digunakan teori sosiologi
sastra dan didukung oleh teori lain yang relevan, seperti teori psikologi. Teori sosiologi sastra
dipakai untuk mengungkapkan keadaan sosial masyarakat yang tergambar di dalam cerpen
“YWK”. Hal ini sesuai dengan pandangan Junus (1986:7) yang mengatakan bahwa karya sastra
sebagai refleksi dari realitas. Cerpen ini merefleksikan keadaan sosial masyarakat (Indonesia)
terutama di bidang hukum yang sifatnya aktual sampai sekarang. Karya sastra yang seperti
inilah oleh Endraswara (2008:77) disebut sebagai karya sastra yang berhasil karena karya sastra
tersebut mampu merefleksikan zamannya.
Keadaan sosial masyarakat (Indonesia) terutama yang memiliki kekuasaan, sering
mengabaikan keadilan karena kepentingan-kepentingan tertentu. Keadaan ini membuat penegak
hukum seperti hakim yang idealis mengalami tekanan psikis dalam memutuskan suatu perkara,
terutama menyangkut pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Terjadi pertarungan antara
idealisme dengan pragmatisme di dalam diri penegak hukum. Untuk mengungkapkan keadaan
ini, maka teori psikologi sastra menjadi penting kehadirannya. Psikologi sastra adalah analisis
terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan relevansi aspek-aspek psikologis, kejiwaan
yang terkandung di dalamnya. Psikologi sastra banyak berkaitan dengan unsur-unsur penokohan
dalam karya sastra, di samping psikolgi pengarang dan pembaca (Kutha Ratna, 2013:382). Dalam konteks tulisan ini dilihat keadaan psikologis tokoh cerita di dalam cerpen “YWK”.
2. Pembahasan
Cerpen “YWK” mengisahkan tentang konplik batin seorang hakim bernama Tubagus
Negara di dalam menyusun keputusan akhir dalam kasus pembunuhan seorang pelacur bernama
Nurma yang dilakukan oleh anak seorang Wali Kota Ribu yang bernama Rony Ribu. Konplik
batin yang dialami oleh Tubagus Negara disebabkan oleh beberapa hal, seperti: (1) sebelumnya,
ia pernah melakukan tindakan yang salah ketika memutuskan suatu perkara yang sama. Ia
dianggap ceroboh oleh masyarakat dalam memutuskan sesuatu; (2) tuntutan dari masyarakat
yang berupa tulisan di surat kabar dan surat kaleng agar Tubagus Negara berani menghukum
Rony Ribu dengan hukuman yang berat, walaupun ia anak Wali Kota Ribu; (3) desakan dari
keluarga korban, terutama dari ibu kandung Rony Ribu agar anaknya dibebaskan dengan janji
sebuah jabatan penting (sebagai Wali Kota yang baru). Terjadinya konflik batin Tubagus Negara
pembayangan, surat, dan reportase. Dengan bebagai teknik cerita ini, membuat cerpen ini
semakin menarik untuk dibaca dan diapresiasi secara terus menerus dengan berbagai tafsir
pemaknaannya.
Cerpen ini dibuka oleh Putu Wijaya dengan gaya bahasa perbandingan. Gaya bahasa ini
terkesan membuka suatu kejutan yang akan terjadi di dalam cerita selanjutnya. Perhatikanlah
gaya Putu Wijaya membuka ceritanya sebagai berikut.
Bagaikan anjing mengorek tong sampah hakim tua itu meneliti berkas perkara di depannya. Seorang pelacur dari daerah yang paling eceran telah terbunuh pada tanggal 10 Nopember, tahun yang lalu dengan peluru pistol yang mengenai dada dan rahimnya (Wijaya, 1992:22)
Kutipan di atas menggambarkan keadaan psikis seorang hakim tua (Tubagsu Negara) untuk
memutuskan perkara pembunuhan yang dialami oleh seorang pelacur rendahan (eceran). Hakim
sangat serius dan berhati-hati menangani kasus ini. Walaupun Nurma tidak memiliki kerabat
tetapi ia dibela dan didukung oleh masyarakat dan wartawan (pers) yang selalu menyoroti
peristiwa ini. Dengan gaya bahasa perbandingan yang kuat, pengarang berhasil menggambarkan
nasib sangat tragis yang dialami oleh seorang pelacur eceran dan sekaligus mamapu “meneror”
pembaca untuk mengikuti cerita selanjutnya.
Peristiwa meninggalnya Nurma mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Masyarakat
mengikuti kelanjutan kasus ini melalui media massa, bahkan berita ini mengalahkan berita lain
yang sesungguhnya lebih besar karena menyangkut keadaan ekonomi masyarakat. Perhatikanlah
Kutipan berikut.
Seluruh kota bergelora. Kenaikan harga gula dan pengumuman dari Mentri Keuangan tentang penambahan uang seri baru kurang mendapat sorotan. Setiap orang yang bertemu di jalan sibuk dengan soal keadilan (Wijaya, 1992:23)
Keadaan dalam kutipan di atas terjadi karena kasus terbunuhnya Nurma melibatkan anak
seorang pejabat Wali Kota Ribu. Apabila tidak melibatkan anak seorang pejabat, kemungkinan
besar kasus Nurma tidak mendapat perhatian dari masyarakat. Dalam konteks ini, peran pers
menjadi sangat besar dalam membentuk opini publik.
Hakim yang akan memutuskan pembunuhan Nurma, yakni Tubagus Negara mendapat
perhatian khusus masyarakat. Masyarakat menginginkan dan mendesak agar hakim tidak takut
menanti dengan was-was keputusan hakim. Dalam suasana seperti ini, pengarang menggunakan
teknik reportase dan sudut pandang orang pertana jamak “kita” dalam mengajak masyarakat
menanti keuputusan hakim. Putu Wijaya menulis: “Marilah kita ikuti terus bagaimana besok pagi
jawaban dari tertuduh sendiri atas Jaksa yang tetap pada tuntutannya: Membunuh dengan sengaja” (1992:24)..
Masyarakat meyakini bahwa keadilan akan ditegakkan oleh hakim dan menaruh harapan
yang besar kepada Tubagus Negara agar berani dan adil dalam memutuskan pembunuhan
Nurma. Dengan sudut pandang pertama jamak pengarang menulis sebagai berikut.
Kita tidak menyangsikan keadilan yang kini kita percayakan kepada penegak-penegak hukum kita. Kita tidak mungkin tidak percaya kepada Hakim Ketua Tubagus Negara yang telah puluhan tahun menduduki jabatannya. Marilah kita menjadi saksi bahwa keadilan akan ditegakkan di atas warga kota. Nurma, seorang yang menjadi korban kesesastan pemimpin-pemimpin kita sendiri (Wijaya, 1992:25-25)
Sehari sebelumnya atau sehari sebelum Tubagus Negara menyusun keputusan akhir kasus
pembunuhan Nurma, telah diadakan sidang dengan acara mendengarkan pembelaan (pledoi)
terdakwa. Pengarang mengetengahkan peristiwa ini dengan teknik flashback untuk
mengeksploitasi perilaku anak pejabat dalam menghadapi tuduhan pembunuhan. Pengarang
menggambarkan suasana sidang sebagai berikut.
Tertuduh Rony Ribu berumur 22 tahun mahasiswa Fakultas Ekonomi menangis dalam sidang ketika memberikan jawabannya atas tuduhan jaksa. Ia semula bagaikan arjuna yang mulus dengan tubuh yang kerempeng rambut beatles dan muka yang cakap duduk di kursinya dan memberikan keterangan-keterangan dengan singkat dan tenang. Pada permulaan jawabannya ia kelihatan seperti seorang dewa yang tak bersalah. Dengan kesombongan seorang pemuda yang percaya kepada kebersihannya ia berkata: “Hakim yang mulia. Jaksa yang terhormat dengan ini saya menerangkan bahwa memang benar saya memperlihatkan kepadanya bagaimana bohongnya adegan dalam film-film cowboy Itali. Memang malam itu juga saya mengajak Tapa Sudana untuk jalan-jalan tapi ia menolak. Dan memang benar malam itu saya bertemu di pinggir jalan dengan Nurma ketika saya memarkir mobil untuk membeli rokok. Tetapi, tetapi lalu saya pergi. Saya pergi. Ya pergi dari situ dengan mobil saya sendirian. Saya bersumpah….” (Wijaya:1992:26)
Dengan teknik cerita flashback dan gaya bahasa perbandingan (“bagaikan”, “seperti”)
pengarang berusaha menggambarkan penampilan dan perilaku Rony Ribu sebagai anak Wali
Kota Ribu di dalam sidang pengadailan. Pengarang juga menggambarkan kegugupan dan
Akhirnya Tubagus Negara berhasil menyusun redaksi keputusan tentang kasus
pembunuhan Nurma. Perhatikanlah kutipan berikut.
Tubagus Negara sebagai seorang hakim yang bertugas menjalankan undang-undang telah selesai membuat redaksi dari keputusan. Rony dijatuhi hukuman 12 tahun, terbukti membunuh serta menyangkal segala tuduhan dalam sidang. Bahwa tertuduh selama hidupnya baru sekali melakukan kejahatan merupakan hal yang meringankan. Biaya perkara ditanggung oleh tertuduh (Wijaya, 1992:28)
Rony Ribu dihukum 12 tahun oleh hakim dengan melihat berbagai pertimbangan yang
meringankan dan yang memberatkan. Dalam konteks ini, hakim berani menjatuhkan hukuman
seperti itu. Keputusannya itu justru membuat Tugabus Negara menjadi hanyut ke dalam
impiannya dan angan-angannya. Di dalam pengembaraan angan-angannya, ia kembali melihat
beberapa surat kaleng yang pernah diterimanya yang pada umumnya berisi dukungan agar
Tubagus Negara berani menengakkan keadilan dengan menghukum terdakwa seberat-beratnya.
Ia juga membaca kembali surat dari ibu kandung Rony Ribu (istri Wali Kota Ribu) yang isi
suratnya berusaha mempengaruhi Tubagus Negara agar membebaskan anaknya dari hukuman
dengan janji dukungan untuk jabatan yang lebih tinggi. Pengarang menggambarkan isi surat istri
Wali Kota dalam mempengaruhi hakim sebagai berikut.
“Saya Ibu Rony tak hendak mencampuri kebijaksanaan Bapak sebagai hakim yang terpandang. Saya percaya. Tetapi saya bersumpah bahwa Rony adalah anak yang baik, anak yang pandai dan tahu membawa diri. Ia memang seorang anak muda biasa yang kadang-kadang juga nakal. Tapi saya tak percaya ia melakukan kekejaman begitu. Saya ibunya, saya tahu bagaimana sikapnya……..Maaf, saya pun paham bahwa Bapak sebagai orang yang terpandang adalah calon utama yang akan bisa menggantikan kedudukan suami saya. Percayalah bahwa kami sekeluarga setuju sekali dengan itu. Suami saya secara pribadi malah menyokong pencalonan bapak….”
Tangan Tubagus Negara gemetar membaca surat itu. Wanita yang terhormat itu telah kehilangan akal. Ia berdaya dengan segala apa saja untuk menyelamatkan putranya. Tubagus dapat memaklumi kerendahan budinya dalam surat itu (Wijaya, 1992:30)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa perilaku keluarga pejabat senantiasa menggunakan
kekuasaan yang dimilikinya dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan peribadinya. Keadaan
ini secara faktual terjadi dalam kehidupan masyaraka. Makna di balik kutipan di atas
Di sisi lain, Tubagus Negara juga mendapat tekanan dari masyarakat dan pers agar berani
menghukum Rony Ribu dengan hukuman yang berat agar di kemudian hari pejabat atau keluarga
pejabat tidak berbuat sewenang-wenang kepada rakyat kecil. Tekanan yang diterima hakim
berupa surat kaleng dan ancaman secara pisik. Dengan teknik surat, pengarang menggambarkan
tekanan yang diterima melalui surat kaleng seperti berikut.
“ Kami berdoa dan berseru agar Bapak tetap berpegang kepada hukum. Janganlah takut kepada Walikota. Beliau memang seorang yang baik. Tetapi siapa tahu di balik
kebaikannya itu tersembunyi kejahatan yang tidak kita ketahui. Mengenai Rony terang ia bersalah. Hukumlah anak itu seberat-beratnya agar menjadi contoh bagi para pemuda kita di kemuadian hari agar jangan bergaul dengan pelacur dan agar jangan main koboi-koboian mentang-mentang anak pembesar. Sekian. Terima kasih. Merdeka. Tertanda. Semangat empat lima” (Wijaya, 1992:29).
Di samping melalui surat kaleng, Tubagus Negara juga mendapat tekanan secara pisik.
Dengan gaya personifikasi, pengarang menulis sebagai berikut.
Malam melenggok dengan sepi. Hakim tua itu meneguk kopi tanpa merasa mengantuk sedikit pun. Ia teringat kepada seorang yang ugal-ugalan yang memaksa bertemu tiga hari yang lalu. Tubuhnya kekar mukanya kasar jelas otaknya tak seberapa bagus. Bersama dengan empat orang kawannya ia mengaku wartawan. Mereka ingin mengadakan wawancara. Namun pada kenyataannya kemudian mereka sendiri yang lebih banyak bicara. Mereka berbicara tentang keadilan. Pada pokoknya hanya ingin agar Rony dihukum.
“Seandainya Bapak berani menghukum Rony kami akan menjadi penyokong Bapak dalam pencalonan Walikota yang akan datang. Bukan kami saja tapi seluruh kota. Kita harus tumbangkan mitos dan omong kosong politik yang banci itu,” kata mereka sambil menjabat tangannya dengan semangat (Wijaya, 1992:30-31)
Tubagus Negara menghadapi dua tekanan dari sisi yang berlawanan. Di sisi lain,
sebelumnya ia pernah membuat keputusan yang salah tentang kasus Lan Fa juga ikut
memperkuat konplik batin pada dirinya. Akan tetapi, sebagai hakim yang sudah berpengalaman,
semuanya tidak banyak berpengaruh kepada keputusannya. Pengarang menggambarkan keadaan
tersebut seperti tampak pada kutipan berikut.
Konplik batin Tubagus Negara membuatnya ia membayangkan kembali menurut
bayangannya (pikirannya) sendiri peristiwa yang dialami oleh Nurma. Secara psikologis perilaku
Tubagus Nagara seperti itu masuk akal karena berhadapan dengan dilema yang sangat berat.
Dengan teknik cerita pembayangan, pengarang menggambarkan sebagai berikut.
Orang tua itu memejamkan matanya. Tangannya terkepal. Ia melihat Rony dengan pistolnya menghentikan mobil di pinggir jalan. Ia melihat Rony terkejut melihat wanita itu mengecerkan dirinya kembali dengan rendah. Ia melihat betapa tiba-tiba keruntuhan melanda semangat pemuda itu. Ia melihat pemuda itu menyeret Nurma ke mobilnya. Ia melihat Nurma menjadi galak karena diperlakukan begitu di depan orang lain. Hakim tua itu seakan-akan mendengar pertengkaran mereka yang seru. Ia melihat pula pemuda itu menunggui di mobilnya sampai Nurma mau diajaknya pergi. Jelas sekali ia melihat bagaimana Rony kemudian karena tak sabar meluap marah menyeret wanita itu ke mobilnya dan melarikan ke luar kota. Lantas di dalam gubuk di luar kota, ia mendengar perdebatan mereka. Ia mendengar kemarahan Rony. Tangannya gemetaran. Ia mendengar pula wanita itu dengan angkuhnya mempersetan segala harapan Rony yang jujur. Ia begitu angkuh. Ia tidak mau diikat. Ia adalah seorang yang sombong. Seorang yang tinggi hati. Seorang yang mempunyai kehormatan. Rony terpukul bagaikan kaca yang pecah. Seorang pelacur sudah tidak membutuhkannya lagi. Ia merasa dirinya sangat tak berharga. Ia menjadi kalap. Pistol itu diangkat. Ditembaknya wanita itu. Ditembaknya.
Ditembaknya…… (Wijaya, 1992:33)
Kutipan di atas menunjukkan keadaan psikis Tubagus Negara dalam memutuskan suatu
perkara. Konplik batin yang begitu besar dan kuat membuat ia seakan-akan melihat (dalam
bayangan) peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Rony terhadap Nurma. Keperibadian
seperti ini, menurut teori psikoanalisa dari Sigmund Freud adalah keperibadian orang
bersangkutan dikuasai oleh das Es (the Id), yakni aspek biologis manusia yang bertujuan untuk
mengejar kenikmatan (kenyamanan) (Freud, 1984:xxxix; Suryabrata, 1993:143). Konplik batin
Tubagus Negara semakin memuncak dan digambarkan oleh pengarang dengan menggunakan
gaya bahasa perbandingan dan mengulang berkali-kali kata “Ia melihat” seolah olah peristiwa
akan menuju klimaks. Pengarang tampak “meneror” psikologis pembaca untuk mengikuti
kehendaknya melanjutkan cerita menuju klimaks.
Pada saat Tubagus Negara membayangkan peristiwa pembunuhan Nurma seperti tergambar
di dalam kutipan di atas, sesungguhnya ia sedang duduk santai membaca surat kabar dan surat
kaleng sambil minum kopi. Konplik batin yang kuat dan besar yang dialami oleh Tubagus
Negara menyebabkan perilakunya tidak terkontrol seperti tampak di dalam kutipan berikut.
bagai seorang yang sedang menembak, sehingga isinya bertumpahan. Ia galak sekali. Ia lakukan itu dengan bersemangat, jauh lebih bersemangat daripada kalau ia memukulkan palunya di pengadilan.
“Tor! Tor!” teriaknya dengan suara bernafsu sekali.
Imah terbangun dari tidurnya mendengar suara gaduh. Ia bergegas ke ruang tengah. Ia mengusap matanya tak peraya ketika melihat perangai Tubagus. Tapi ia seorang yang tabah. Ia tidak menjerit atau pinsan. Ia mendekati orang tua yang sedang main koboi itu. “Tuan, tuan….! Tegurnya menyadarkan orang tua itu.
Tubagus Negara cepat tersadar. Mula-mula ia heran melihat keadaan dirinya. Ketika ia dapat melihat Imah gelas itu terjatuh dari tangannya. Ia merasa sesuatu terjadi dengan jantungnya. Kepalanya pening dan tubuhnya berlumuran keringat. Ia hampir terjatuh kalau tidak dipapah oleh Imah. Wanita itu mendudukkannya lalu memijit punggungnya dengan balsem (Wijaya, 1992:33-34)
Di dalam keadaan yang lemah karena mengalami konplik batin yang hebat, Tubagus
Negara ingin menuliskan sesuatu di atas kertas. Imah (pembantunya) berusaha melarangnya.
Akan tetapi, Tubagus berusaha untuk menulis tetapi tidak berhasil. Perhatikanlah cara pengarang
menyelesaikan cerita ini dalam kutipan berikut.
“Biar, biarkan aku,” katanya dengan suara yang pelan dan capek, “Jantungku. Barangkali aku akan mati…..” Ia hendak menulis tapi tenaganya tak ada. Ia memberi isyarat Imah menuliskan kata-katanya. Imah pun menulis.
“Yang terhormat warga kota. Saya jalankan undang-undang untuk saudara-saudara. Tetapi saya tidak rela atas nama pribadi saya….karena saya kenal siapa wanita
itu…..Baginya sudah adil….Kenapa…..”
Orang tua itu terkulai. Imah cepat-cepat memijit pundaknya kembali. Air matanya bercucuran (Wijaya, 1992:35)
Kutipan di atas menunjukkan konplik batin yang begitu hebat dalam diri Tubagus Negara
menyebabkan ia menjadi korban karena idelaismenya sendiri. Pengarang tidak eksplisit
menyelesaikan cerita ini, tetapi mengambang. Akan tetapi, dari kalimat penutup dapat ditafsirkan
bahwa hakim Tubagus Negara meninggal dunia. Seorang hakim menjadi korban karena
idealismenya sendiri.
3. Penutup
Dilihat dari sudut sosiologis sastra, cerpen ini mengandung kritik sosial di bidang hukum
dan dari sudut psikologi sastra menggambarkan konplik batin tokoh cerita dalam memutuskan
suatu perkara. Seorang hakim yang bernama Tubagus Negara sedang mengalami konplik batin
yang hebat di dalam menyusun keputusan akhir bagi terdakwa pembunuhan. Pembunuhan
dari pengalaman memutuskan suatu perkara yang tidak tepat sebelumnya. Di samping itu, karena
desakan dari masyarakat atau warga kota untuk berbuat adil yakni menghukum pelaku
pembunuhan seberat-beratnya, walaupun terdakwa adalah anak seorang pejabat. Di sisi lain,
keluarga terdakwa juga berusaha membebaskan terdakwa dari hukuman dengan berbagai cara
termasuk janji-janji jabatan tertentu bagi hakim. Akhirnya, walaupun keputusan akhir sudah
dibuat oleh hakim dengan menghukum secara berat terdakwa seperti tuntutan masyarakat, tetapi
konlik batinnya semakin kuat dan memuncak. Akibatnya, hakim terkena serangan jantung dan
meninggal dunia, walaupun pengarang tidak secara eksplisit menyatakan hakim meninggal
dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. 1997. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra Epistemologi, Model, Teori Dan Aplikasi. Yogyakarta: CAPS
Freud, Sigmund. 1984. Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: PT Gramedia
Haryono, Edi (ed.). 2009. Ketika Rendra Baca Sajak. Jakarta: Burung Merak Press.
Hawkes, Terence, 1978. Structuralism and Semiotics. London: Methuen & Co. Ltd.Pradopo,
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra: Persoalan Teori dan Metode. Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia
Kutha Ratna, I Nyoman. 2013. Glosarium: 1.250 Entri Kajian Sastra, Seni, dan Sosial Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata. Sumadi. 1993. Psikologi Keperibadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Wijaya, Putu 1983. Proses Kreatif Mengapa dan Bagimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gramedia