• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KURBAN DALAM FIQH SYAFI IYYAH. Kata kurban berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qaruba artinya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KURBAN DALAM FIQH SYAFI IYYAH. Kata kurban berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qaruba artinya"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

KURBAN DALAM FIQH SYAFI’IYYAH

A.Pengertian Kurban

Kata kurban berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata qaruba artinya dekat. Ibadah kurban adalah ibadah yang dilaksanakan pada waktu tertentu yakni pada hari „Idul Adha yang dilaksanakan dengan cara menyembelih hewan kurban

dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah

(Damanhuri,2014:12).Aktifitas menyembelih atau berkurban dalam bahasa Arab ada beberapaistilah :

Pertama, disebut dengan dhahhaa, dikatakan: dhahhaa bi syatatin minal udh-hiyah artinya dia berkurban dengan kambing kurban.Adapun hewan kurba-nya sendiri lebih dikenal dengan istilah al-Udh-hiyah, jamaknya al-Adhaahiy. Oleh karena itu hari penyembelihan disebut „Idul Adha (Hari Raya Kurban). Sementara pengorbanan adalah tadh-hiyah (Damanhuri,2014:14).

Kedua, dalam al-Qur‟an, aktifitas menyembelih hewan kurban juga disebut nahr (diambil dari kata nahara – yanhuru – nahran).Oleh karena itu, hari raya kurban dikenal dengan Yaumun Nahri.

Ketiga, dalam al-Qur‟an juga, aktifitas menyembelih hewan kurban juga disebut nusuk (diambil dari kata nasaka-yansuku-nusukan).

Keempat, dalam al-Qur‟an juga, aktifitas menyembelih disebut dhab-ha

▸ Baca selengkapnya: kata sawara dari segi bahasa artinya adalah

(2)

Kelima, dalam al-Qur‟an aktifitas tersebut juga disebut al-Hadyu

(Damanhuri,2014:15).

Adapun hewan dalam istilah fiqh hewan kurban disebut dengan istilah

udh-hiyah yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik.Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya kurban dan hari-hari tasyriq sebagai pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah (Damanhuri, 2014:12).

Kurban secara iuran (patungan) dalam istilah fiqh disebut dengan istilah “isytirak” (Khatib Syarbini Juz 2, t.th:278) yaitu berserikatnya tujuh orang

mengumpulkan uang guna membeli sapi atau unta lalu mereka menyembelihnya, sebagai kurban dan masing masing berhak atas sepertujuh dari kurban itu. Tentang kurban yang diperoleh dari uang iuran, baik untuk seekor kambing atau sapi, tentu tetap ada pahalanya. Para ulama tidak menyebut sebagai kurban, tetapi bernilai sebagai sedekah biasa atau sedekah tathawwu‟ (Rofiq, 2005:241).

Wahbah Azzuhaili dalam Fiqh Islam Wa Adillatuhu menyatakan bahwa, ulama sepakat bahwa untuk kurban yang berupa domba atau kambing hanya boleh berasal dari satu orang saja, sementara untuk unta dan sapi boleh dari 7 orang(Az-Zuhaili IV, 2011:276).Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan Jabir r.a.

ِوَّللا ِدْبَع ِنْب ِرِباَج ْنَعَو

: َلاَق

«

ِوَّللا ِلوُسَر َعَم اَنْرََنَ

-

َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص

-

ٍةَعْ بَس ْنَع َةَرَقَ بْلاَو ٍةَعْ بَس ْنَع َةَنَدَبْلا ِةَيِبْيَدُْلْا َماَع

: »

.ٌمِلْسُم ُهاَوَر

“Dari Jabir bin Abdillah berkata, "Kami pernah menyembelih bersama

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang" (HR. Muslim) (Al-Asqolani no. 1163, t.tp, :745).

Mengenai kurban iuran (patungan), syaikh Muhammad Syarbini al-Khatib dalam

(3)

للها ىضر رباج نع ملسم هاور الم ةعبس نع اهنم لك ئزيج ة رقبلاو يرعبلاو

وسر عم انجرخ( لاق ونع

لا

ىلص لله

ا

نأ انرمأف جلْاب ينلهم ملسو ويلع لله

فى كترشن

) ةندب فى انم ةعبس لك رقبلاو لبلإا

“Diperbolehkan (kurban) dari tiap-tiap unta dan sapi atas nama 7 (tujuh) orang, karena dasar hadits riwayat Muslim dari Jabir berkata : (kami keluar bersama Rasulullah saw berihram haji, lalu nabi memerintahkan kami untuk berpatungan (kurban) dari hewan unta dan sapi, setiap 7 (tujuh) orang dari kami berkurban 1 (satu) unta)” (Khatib Syarbini, 1958:285).

Sayyid Abu Bakar Al-Bakri di dalam bukunya I‟anat At-Thalibin juga menyatakan sebagai berikut :

أزجأ ةرقب وأ ةندب اوجرخأو تويب ةعبس وأ صاخشأ ةعبس عمتجا ول

“Seandainya tujuh orang atau tujuh rumah (keluarga) berserikat, lalu mengeluarkan satu ekor unta atau sapi (untuk berkurban), maka itu diperbolehkan (Al-Bakri, t.tp:332).

B.Sejarah Kurban

Peristiwa terjadinya kurban yang pertama ialah dilakukan oleh dua anak Adam, yaitu Habil dan Qabil. Mereka berkurban dengan barang yang sejenis dan dengan cara yang sama. Akan tetapi ternyata tidak setiap yang dinamakan “kurban” diterima Allah karena nilai suatu pengurbanan tidaklah ditentukan atau diukur dengan harganya, bentuk barangnya, atau jumlahnya, tetapi pengurbanan dinilai berdasarkan niat, keikhlasan, kelayakan yang berimbang dengan kemampuanya, dan semata-mata melaksanakan takwa kepada Allah swt. (Abdurrahman, 2014:2).

Setelah diketahui bahwa kurbannya seorang anak Adam tidak diterima Allah swt., ia marah. Setan menyusup ke dalam hatinya untuk membangkitkan rasa iri, hasud dan dengki.Kemudian terwujudlah dalam bentuk ancaman terhadap

(4)

saudaranya yang beruntung karena kurbanya diterima Allah swt. Saudara membela diri dengan mengatakan: “Kurbanmu ditolak bukanlah karena salahku, melainkan karena salahmu sendiri. Kamu berkurban, tetapi tidak mencerminkan keikhlasan” (Abdurrahman, 2014:2). Hal ini termaktub di dalam Qur‟an al-Maidah ayat 27 :

َأَبَ ن مِهيَلَع ُلتٱَو

َنِم لَّبَقَ تُ ي َلََو اَِهِِدَحَأ نِم َلِّبُقُ تَ ف اناَبرُق اَبَّرَ ق ذِإ ِّقَلْٱِب َمَداَء َنَبٱ

َينِقَّتُلمٱ َنِم ُوَّللٱ ُلَّبَقَ تَ ي اََّنَِّإ َلاَق َكَّنَلُ تقََلأ َلاَق ِرَخلأٱ

ٕ٢

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa" (QS. Al-Maidah:27).

Kedua, Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, yang telah lama mendambakan keturunan, dan sempat berdo‟a: “Rabbi hab li min ashshalihin”, Ya Tuhanku anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh (QS. Ash-Shaffat, 37:100), adalah untuk mengatur kepatuhan (ta‟abbud)-nya.Do‟anya itu dikalbulkan oleh Allah SWT.“Maka Kami beri khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (yaitu Nabi Ismail as) (QS. Ash-Shaffat,37:101) (Rofiq, 2004:238).

Yang menarik adalah pada saat nabi Ismail menginjak remaja dan mampu mengikuti bapaknya (+berumur 13 tahun), melalui mimpi nabi Ibrahim diperintah agar menyembelih putranya yang sangat disayangi itu. Dari mimpinya ini, Nabi Ibrahim berkata kepada putranya :

َٰىَرَ ت اَذاَم رُظنٱَف َكَُبَذَأ ِّنَِّأ ِماَنَلمٱ ِفِ َٰىَرَأ ِّنِِّإ ََّنَُ بََٰي َلاَق

“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu ?”.

(5)

َنيِِبََِّٰصلٱ َنِم ُوَّللٱ َءاَش نِإ ِنُِّدِجَتَس ُرَمؤُت اَم لَعفٱ ِتَبَأََٰي َلاَق

ٕٔٓ

“Ia (Ismail) menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapati termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shafaat,37: 102).

Tatkala keduanya berserah diri dan dengan penuh kepatuhan, Ismail dibaringkan untuk disembelih, Allah memanggilnya.Dan karena kepatuhannya itu, Allah menggantinya dengan sembelihan yang besar berupa seekor kambing.Ini adalah sebagian ganjaran bagi orang yang berbuat baik (QS.Ash-Shafaat 37: 103-107). Kisah Nabi Ibrahim mengandung teladan (ibrah) yang jelas akan sebuah pengorbanan. Betapa besar pengorbanan yang dilakukan Ibrahim. Itulah yang disebut dengan ridha Allah. Nabi Ibrahim merupakan sosok keluarga yang ideal. Keluarganya telah dipersembahkan hanya kepada Allah, dan bukan kepada selain-Nya, sehingga Allah memuji dan meridhainya. Pengorbanan yang besar hanya bisa dilakukan dengan kepasrahan dan kesabaran yang besar pula serta didasari tawakkal kepada Allah SWT.

Sejak saat itulah menyembelih kurban menjadi syari‟at dan perintah bagi yang mampu untuk melaksanakannya. Perintah kurban ini, selain memiliki makna sebagai manifestasi kepatuhan hamba kepada Khaliq-nya, juga terkandung pesan teologi ekonomi untuk membebaskan orang-orang yang tidak mampu dari “belenggu” kemiskinan (Rofiq, 2004:239).

Ketiga, sejarah kurban pada zaman Jahiliyah.Pada zaman Jahilliyah Abdul Mutholib telah menyembelih seratus ekor unta sebagai kurban, dan dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir miskin.Sekalipun kurban tersebut dilakukan dengan niat yang baik, tidaklah termasuk kurban yang benar karena diperbuat bukan semata-mata niat ikhlas karena Allah (Abdurrahman,2014:4).

(6)

Abdul Muthalib, ketika hendak menggali kembali sumur Zamzam, mendapat banyak kesulitan serta rintangan. Namun, ia dapat juga mengatasinya. Oleh karena itu, ia bernazar, bila ia dikaruniai sepuluh anak laki-laki serta umurnya panjang sehingga mencapai usia dewasa, serta mampu pula membantunya pada saat-saat menemukan masalah kelak, ia akan menyembelih salah seorang dari putranya itu di dekat Ka‟bah (Abdurrahman,2014:4).

Abdul Muthalib dengan hati tulus memenuhi nazarnya.Kemudian dilakukan undian atas kesepuluh anaknya itu di hadapan patung Hubal. Undian pun jatuh pada anaknya yang bernama Abdullah (ayah Rasulullah saw.). Kaumnya, yakni kaum Quraisy, berkeberatan Abdullah dijadikan sebagai kurban untuk memenuhi nazarnya(Abdurrahman, 2014:4).

Sesampainya di Mekkah, Abdul Muthalib segera melakukan undian untuk mengundi unta dan Abdullah. Setiap kali undian terjadi, selalu jatuh pada nama Abdullah. Dan setiap kali undian jatuh pada nama Abdullah, dilakukan penyembelihan 10 ekor unta sebagai penebusnya. Demikianlah undian tersebut berkali-kali diulangi, tetapi senantiasa jatuh pada Abdullah, bukan pada unta. Baru setelah kesepuluh kalinya, undian jatuh pada unta. Maka setelah itu barulah Abdullah terbebas dari tuntutan nazar, dan dilakukan sembelihan sebagai penebus dengan sepuluh kali sepuluh unta sama dengan seratus ekor unta (Abdurrahman, 2014:5).

Sedangkan kurban masa nabi Muhammad saw merupakan penerus kurban pada masa nabi Ibrahim. Landasan pensyariatannya dapat ditemukan dalam al-Qur‟an, as-Sunnah, dan ijma‟ (Az-Zuhaili, 2007:255). Landasan kurban dari Kitabullah adalah firman Allah swt,

(7)

رَنَٱَو َكِّبَرِل ِّلَصَف

٢

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah” (QS. Al-Kautsar:2).

Asbabun nuzul dari ayat ini adalah, ketika Ka‟ab bin Asyraf, seorang

pembesar kaum Yahudi, datang ke kota Makkah kaum kafir Quraisy menyambutnya dengan penuh hormat. Orang-orang Quraisy berkata: “Tuan adalah pembesar orang Madinah. Bagaimanakah pendapat tuan tentang Muhammad yang berpura-pura menjadi orang sabar yang diisolasikan kaumnya. Ia beranggapan bahwa dirinya lebih mulia daripada kita semua. Padahal kita selalu menyambut orang yang selalu beribadah haji. Memberi makan dan minum kepada mereka, dan kita pula yang menjaga dan memelihara Ka‟bah”. Jawab Ka‟ab bin Asyraf: “Kamu lebih mulia daripada Muhammad”. Mendengar kata-kata yang demikian Rasulullahsaw gelisah resah, merasa susah. Untuk menenangkan hati Rasulullahsaw yang gundah gulana, maka Allah Swt, menurunkan ayat-ayat yang terkandung dalam surat al-Kautsar. Yakni sebagai bantahan terhadap ucapan Ka‟ab bin Asyraf, sehingga beliau tiada merasa susah lagi. Tetap tegak dan gembira penuh ceria dalam mengembangkan misi Islam (Mahali, 2002:957).

Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya bahwa Anas bin Malik r.a. berkata, “Ketika Rasulullahsaw, berada di tengah-tengah kami di dalam masjid, tiba-tiba beliau pingsan sejenak. Kemudian mengangkat kepalanya sambil tersenyum.Kami bertanya, „Apa yang telah membuat engkau tersenyum wahai

Rasulullah?‟Beliau menjawab,‟Baru saja diturunkan satu surat kepadaku‟.Lalu

beliau membaca, „Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu nikmat yang

(8)

banyak.Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu adalah orang-orang yang terputus‟. „Tahukah kalian al-Kautsar itu?‟ tanya beliau, Kami menjawab, „Hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu‟. Rasulullah Saw, bersabda, „Ia adalah sebuah sungai yang telah dijanjikan Allah kepadaku. Di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak sekali.Ia adalah sebuah kolam yang akan di datangi oleh umatku pada hari kiamat nanti. Bejana untuk minumnya adalah sejumlah bintang yang ada di langit. „Tiba-tiba ada seorang hamba yang ditarik dari kalangan mereka, Maka aku akan berkata, „Ya Tuhan, dia adalah salah seorang dari umatku, „Allah menjawab, Engkau tidak tahu apa yang telah kau perbuat setelahmu,” dengan adanya riwayat ini, ada sebagian ahli qira‟at bahwa surat ini madaniyyah (Nasib Ar-Rifai, 2000:1059).

C.Dasar Hukum Kurban

1. Diantara dalil al-Qur‟an tentang kurban adalah: Firman Allah dalam surat al-Kautsar ayat 2:

رَنَٱَو َكِّبَرِل ِّلَصَف

٢

“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah” (QS. Al-Kautsar:2).

Dan firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 36-371:

اَهيَلَع ِوَّللٱ َمسٱ ْاوُرُكذٱَف يرَخ اَهيِف مُكَل ِوَّللٱ ِرِئََٰعَش نِّم مُكَل اَهََٰنلَعَج َندُبلٱَو

َكِلََٰذَك َّرَ تعُلمٱَو َعِناَقلٱ ْاوُمِعطَأَو اَهنِم ْاوُلُكَف اَهُ بوُنُج تَبَجَو اَذِإَف َّفاَوَص

َنوُرُكشَت مُكَّلَعَل مُكَل اَََٰنَرَّخَس

ٖ٣

َلاَنَ ي نَل

نِكََٰلَو اَىُؤاَمِد َلاَو اَهُموُُلْ َوَّللٱ

1

Surat al-Hajj ayat 36-37 ini memiliki munasabah dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan bahwa Allah memerintahkan agar manusia menghormati syi‟ar Allah. Di antara syi‟ar-syi‟ar Allah itu ialah berkurban, sedangkan pada ayat-ayat ini menerangkan bahwa menyembelih binatang, dan menumpahkan darahnya untuk mendkatkan diri kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Tidak saja disyari‟atkan kepada umat nabi Muhammad tetapi juga telah disyari‟atkan pada uamt-umat terdahulu (Kemenag RI, 2012:408).

(9)

ِرِّشَبَو مُكَٰىَدَى اَم َٰىَلَع َوَّللٱ ْاوُرِّ بَكُتِل مُكَل اَىَرَّخَس َكِلََٰذَك مُكنِم َٰىَوقَّتلٱ ُوُلاَنَ ي

َينِنِسحُلمٱ

ٖ٢

“(36)Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rembah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur. (37) Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu.Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” (Kemenag RI,2012:407).

Pada ayat ini Allah menerangkan, bahwa Dia menciptakan unta agar diambil manfaatnya oleh manusia dan menjadikan unta itu sebagai salah satu syi‟ar-syi‟ar Allah, dengan menyembelihnya sebagai binatang kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah.Kemudian Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berkurban pahala yang berlipat ganda di akhirat (Kemenag RI, 2012:408).

2. Hadits yang diriwayatkan Aisyah ra., yaitu sabda Rasulullah saw,.

لمعام

نبا

لامع رحنلا موي مدا

أ

بح

إ

للها لى

لجو زع

قارىا نم

ة

مدلا

ونإو

لي

اىراعشأو انَورقب ةمايقلا موي تيأ

هللا نم عقيل مدلا ناو اهف لاظأو

لجو زع

بم

عقي نأ لبقناك

ىلع

سفن ابه اوبيطف ضرلأا

ا

“Tidaklah anak Adam mengamalkan satu amalan pada hari nahar yang lebih Allah „Azza wa Jalla cintai dari mengalir darah (berkurban), dan sesungguhnya ia (hewan kurban) itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, dan rambut-rambutnya dan sesungguhnya darah itu pasti menempat disisi Allah „Azza wa Jalla di satu tempat sebelum jatuh ke bumi, maka relakanlah itu” (Al-Jaza‟iri, 2009:572).

(10)

Hadits Anas ra:

«

َِّبَِّنلا َّنَأ

-

َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص

-

،ِْينَ نْرَ قَأ ِْينَشْبَكِب يِّحَضُي َناَك

اَمِهِحاَفِص ىَلَع ُوَلْجِر ُعَضَيَو ،ُرِّ بَكُيَو ،يِّمَسُيَو

. »

“Bahwasannya Nabi Saw, telah berkurban dengan dua ekor kambing gibas yang bulunya putih kehitaman keduanya, bertanduk keduanya, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau serta menyebut Asma Allah dan bertakbir serta meletakkan kaki beliau di atas sisi leher kedua kambing tersebut” (Al-Asqolani, 2015:741).

Juga sabda Nabi Muhammad saw:

نم

ذ

باصأو وكسن تم دقف ةلاصلا دعب حبذ نمو وسفنل انَّاف ةلاصلا لبق حب

ينملسلما ةنس

“Barang siapa yang menyembelih sebelum shalat (Id) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya, dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat (Id), maka sempurnalah amalanya dan mengikuti sunnah umat muslim” (Riwayat Bukhari) (Al-Jaza‟iri,2009:575).

Dalam riwayat lain diterangkan bahwa sembelihan (kambing) itu daging biasa saja (bukan kurban sebab disembelihnya bukan pada waktunya). Oleh karena itu kurbannya tidak sah dan hendaklah menyembelih seekor lagi setelah shalat

„Idul Adh-ha (Abdurrahman,2014:8).

Dan juga sebagaimana perkataan Ayub al-Anshari:

لوسر دهع فِ لجرلا ن اك

ا

ىلص لله

ا

ونع ةاشلاب يحضي ملسو ويلع لله

وتيب لىا نعو

“Adalah seorang laki-laki di zaman Rasulullah saw, berkurban dengan seekor kambing atas nama dirinya dan keluarganya” (HR. At-Tirmidzi dan dia mensahihkannya) (Al-Jaza‟iri,2009:572).

D.Hukum Kurban dalam Pandangan Ulama’ Syafi’iyyah

Hukum berkurban para fuqaha‟ berbeda pendapat tentang hukum berkurban, apakah wajib atau sunnah. Muhammad Fadhal menyatakan bahwa

(11)

hukum kurban adalah sunnah muakkad, bagi orang Islam, baligh, mempunyai akal yang sehat dan merdeka (Nawawi, t.th, :269).

Ibadah kurban adalah sunah muakkadah bagi yang mampu melakukanya lalu meninggalkan ibadah itu, maka ia dihukumkan makruh. Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa kurban itu wajib”. Sementara dalam mazhab Syafi‟i muncul pendapat bahwa kurban hukumnya sunnah„ain (menjadi tanggungan individu ) bagi setiap individu sekali dalam seumur hidup dan sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga, namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya (Damanhuri,2014:16).

Selanjutnya, menurut mereka sangat dianjurkan bagi orang yang mampu untuk mengeluarkan kurban bagi setiap anggota keluarganya. Meskipun jika orang itu hanya berkurban sendirian lantas meniatkannya sebagai perwakilan dari seluruh anggota keluarganya, atau orang-orang yang dalam tanggungannya, maka kurban bersangkutan tetap dipandang sah (Az-Zuhaili, 2007:256).

Pendapat yang menyatakan wajib oleh ulama adalah sabda Rasulullah saw :

ّنبرقي لاف حضي ملف ةعس دجو نم

انلاصم

“Siapa yang kondisi mampu lalu tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami” (Al-Asqolani no. 1157, t.tp, :745). Menurut mereka, ancaman yang seperti ini tidak akan diucapkan Nabi saw, terhadap orang yang meninggalkan suatu perbuatan yang tidak wajib. Di samping itu, berkurban adalah satu bentuk ibadah yang ditentukan waktunya secara khusus, yaitu yang disebut dengan “hari berkurban”.Penisbatannya pada

(12)

hari tertentu seperti itu mengindikasikan kewajiban hukum melaksanakannya.Sebab, penisbatannya tersebut berarti pengkhususan adanya penyembelihan hewan pada hari itu. Padahal, hanya status wajib sajalah yang bisa memaksa masyarakat secara umum untuk mewujudkan kurban pada hari itu (Az-Zuhaili, 2007:257).

Adapun, jumhur ulama‟ menetapkan sunnah hukumnya berkurban bagi setiap orang yang mampu. Hal ini didasarkan pada beberapa hadits seperti disebutkan dibawah ini:

للاى متيأر اذإ

ذ

هرعش نع كسميلف يحضي نأ مكدحأدارأو : ةجلْا ي

هرافظأو

ىحضي تىح

“Jika kalian telah melihat hilal tanda masuknya bulan Dzulhijjah lalu salah seoarang ingin berkurban, maka hendaklah ia tidak memotong rambut dan kukunya (hingga datang hari berkurban)” (Al-Jaza‟iri, 2009:577).

Jumhur ulama menyatakan bahwa pada hadits ini tindakan berkurban dikaitkan dengan keinginan.Sementara itu, pengaitan sesuatu dengan keinginan menunjukan ketidakwajiban. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas yang berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda,

يلع نى ىحضلاةلاصلاو رحنلاو رتولا عوطت مكل نىو ضئ ارف ثلاث

“Ada tiga hal yang bagi saya hukumnya adalah fardu sementara bagi kalian sunnah, yaitu shalat witir, berkurban, dan mengerjakan shalat dhuha”, (Az-Zuhaili, 2007:257).

Selain itu, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan sabda Rasulullah saw, sebagai berikut:

مكل ةنس وىو رحنلاب ترما

“Saya perintahkan untuk berkurban, sementara bagi kalian hukumnya adalah sunnah” (Az-Zuhaili, 2007:257).

(13)

Hal di atas dikuatkan dengan kenyataan bahwa hewan yang disembelih sebagai kurban tidak wajib dibagi-bagikan dagingnya, sehingga hukumnya tidak wajib seperti halnya aqiqah. Lebih lanjut, dalam sebuah atsar sahabat juga disebutkan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak melakukan kurban, karena khawatir orang-orang yang memandangnya sebagai perbuatan yang wajib. Padahal, hukum dasarnya adalah tidak wajib (Az-Zuhaili, 2007:258).

Adapun dalil madzhab Syafi‟i dalam menyatakan bahwa hukum berkurban sunnahkifayah bagi setiap keluarga adalah hadits yang diriwayatkan oleh Miknaf bin Sulaiman yang berkata, “Suatu ketika, kami (para sahabat) melaksanakan wukuf bersama rasulullah saw,.Saya lantas mendengar beliau bersabda, wahai manusia, wajib bagi setiap satu keluarga berkurban setiap tahunnya.” Di samping itu, para sahabat juga telah melaksanakan kurban pada masa Nabi saw, (meskipun tidak seluruh mereka melakukannya) sehingga Rasulullah saw pasti mengatakan kondisi tersebut, namun tidak membantahnya. Sementara dalil madzhab Syafi‟i dalam menyatakan berkurban hukumnya sunnah „ain bagi setiap orang satu kali seumur hidup adalah dikarenakan suatu perintah sesungguhnya tidak wajib dijalankan lebih dari sekali (Az-Zuhaili, 2007:258).

E.Tata Cara Kurban dalam Fiqh Syafi’iyah

Tata cara kurban yang disyari‟atkan dalam konteks fiqh Syafi‟iyah yang diulas di antaranya:

1. Syarat-syarat kurban

Yang pertama, syarat wajib sunnahkurban, untuk dijadikan kurban wajib ataupun sunnah dia mampu disyaratkan melaksanakannya. Orang yang

(14)

dianggap mampu ialah mereka yang mempunyai harta untuk membeli binatang kurban yang lebih dari kebutuhannya dan keperluan mereka yang di bawah tanggunganya untuk hari raya dan hari-hari tasyrik, karena inilah rentang waktu untuk melakukan kurban tersebut. Kedudukanya sama seperti dalam masalah zakat fitrah, di mana disyaratkan ia hendaklah merupakan kelebihan dari kebutuhan seseorang juga keperluan mereka yang ada di bawah tanggunganya pada hari raya dan juga malamnya.

Syarat yang kedua, syarat mereka yang dituntut berkurban diantaranya: Islam, merdeka, baligh, bermukim atau musafir, berkemampuan. Yang ketiga syarat sahnya berkurban,untuk sahnya kurban, disyaratkan hal-hal di bawah ini.

a. Hewan yang akan dikurbankan itu terbebas dari cacat-cacat yang nyata dan biasanya membawa pada berkurang daging atau timbulnya penyakit yang membahayakan kesehatan orang-orang yang memakanya. Sebagai contoh adalah, empat macam cacat yang disepakati para ulama sebagai penghalang bagi suatu hewan untuk dikurbankan, yaitu buta parah disalah satu mata, sakit parah, pincang dan kondisi badan sangat kurus (Sabiq,1987:160).

Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits nabi:

َو اَهُضَرَم ُِّينَ بْلا ُةَضيِرَمْلاَو ،اَىُرَوَع ُِّينَ بْلا ُءاَرْوَعْلا :اَياَحَّضلا ِفِ ُزوَُتَ َلا ٌعَبْرَأ

ُءاَجْرَعْلا

يِقْنُ ت َلا ِتَِّلا ُةَيرِبَكْلاَو ،اَهُعْلَض ُِّينَ بْلا

»

“Ada empat macam yang tidak boleh ada pada hewan kurban; buta sebelah yang jelas butanya, yang sakit jelas sakitnya, yangpincang jelas pincangnya, dan hewan yang tidak mempunyai sum-sum” (Al-Jaza‟iri,2009:575) atau (Al-Asqolani no. 1159, t.tp, :745).

(15)

b. Kurban tersebut dilaksanakan pada waktu yang ditentukan.

Kurban tidak sah bila disembelih sebelum shalat „Idul Adh-ha sebagaimana diterangkan sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang menyembelih setelah shalat

(„Idul-Adh-ha), maka telah sempurnalah ibadah (kurbannya) dan cocok dengan

sunnah (cara yang telah digariskan) untuk umat Islam (Abdurrahman,2014:8).

Waktu berkurban adalah tanggal sepuluh, sebelas, dua belas dan tiga belas Dzulhijjah.Mencakup malam-malamnya, yaitu yang terdiri atas malam tanggal sebelas dan kedua belas.

c. Yang melakukan penyembelihan hendaklah seorang muslim.

Dengan demikian, tidak sah penyembelihan yang dilakukan orang kafir, sekalipun dari Ahlu Kitab, dan walaupun yang bersangkutan mendapat mandat dari si pemilik kurban untuk melakukan penyembelihan itu.Akan tetapi, jika penyembelihan tetap terjadi maka daging hewan tadi tetap boleh dimakan.

2. Syarat dan ketentuan hewan kurban

Mengenai jenis hewan kurban,seluruh ulama sepakat bahwa berkurban hanya dibolehkan dengan hewan ternak yakni, unta, sapi (termasuk juga kerbau), domba (termasuk juga kambing) dengan berbagai jenisnya; juga mencakup yang jantan dan yang betina serta yang dikebiri atau pejantan. Dengan begitu, tidak boleh berkurban dengan selain hewan ternak seperti sapi liar, kijang, dan lainya (Sabiq,1987:158).

(16)

عنلاا تميبه نم مهقزر ام ىلع للها مسا اوركذيل اكسنم انلعج ةما لكلو

ا

م

ينتبخلما رشبو اوملسا ولف دحاو ولا مكلهاف

“(34) Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya.Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh” (Kemenag RI, 2012:402).

Di samping itu, tidak pernah juga diketahui bahwa Rasulullah saw, dan seluruh sahabatnya menyembelih kurban selain dari jenis hewan ternak. Lebih lanjut, kurban merupakan jenis ibadah yang terkait dengan hewan, sehingga realisasinya hanya dibolehkan dalam bentuk hewan ternak, seperti halnya zakat hewan. Sementara itu, dalam madzhab Syafi‟i disebutkan bahwa hewan yang berasal dari peranakan dua jenis hewan ternak dibolehkan untuk kurban dan yang dijadikan patokan untuk (menentukan jenis) anaknya itu jenis induknya yang lebih tua usianya. Di samping itu, peranakan antara domba dan kambing harus berusia minimal dua tahun sebelum dikurbankan (Az-Zuhaili, 2007:272).

3. Usia hewan yang dijadikan kurban

Adapun usia binatang untuk kurban tersebut ditentukan, untuk kambing adalah ketika sudah sempurna usia setahun dan memasuki tahun kedua, untuk sapi telah sempurna usia dua tahun dan masuk tahun ketiga, sedangkan unta telah sempurna usia lima tahun dan telah menginjak tahun keenam. Ketentuan batasan umur hewan kurban berdasarkan hadits Nabi saw;

ِوَّللا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ٍرِباَج ْنَع

-

َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص

-« :

َّلاإ اوَُبَْذَت َلا

وَُبَْذَتَ ف ْمُكْيَلَع َرَّسَعَ ت ْنإ َّلاإ ،ًةَّنِسُم

ِنْأَّضلا ْنِم ًةَعَذَج ا

»

(17)

“Dari Jabir, ia berkat: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam

bersabda: “Janganlah engkau menyembelih kecuali musinnah akan tetapi jika engkau merasa berat hendaklah menyembelih kambing

Jadza‟ah” (HR. Ahmad), (Al-Asqolani no. 1163, t.tp, :745) atau (Damanhuri, 2014:27).

Sedangkan yang dimaksud jadza‟ah menurut pendapat jumhur ulama adalah kambing atau domba yang berumur empat tahun, tetapi ada yang yang berpendapat bahwa jadza‟ah adalah anak kambing usia enam bulan sampai satu tahun. Menurut penelitian, batas umur demikian itu menunjukkan hewan yang bersangkutan itu telah dewasa. Dilanjutkan umur unta lima tahun, melebihi umur kambing atau lembu, karena nilai daging unta di bawah dari nilai gizi daging lembu dan kambing(Damanhuri, 2014:27).

4. Sifat-sifat hewan kurban

Hewan yang dikurbankan harus sehat, hendaklah dipilihkan yang baik. Tidak sah berkurban dengan hewan yang cacat yang jelas kecacatanya seperti: kelihatan jelas berpenyakit, termasuk kudis, buta, pincang, terlalu kurus, rusak telinga sehingga kelihatan jelas. Sebagaimana hadits Nabi Saw.:

اَهُضَرَم ُِّينَ بْلا ُةَضيِرَمْلاَو ،اَىُرَوَع ُِّينَ بْلا ُءاَرْوَعْلا :اَياَحَّضلا ِفِ ُزوَُتَ َلا ٌعَبْرَأ

يِقْنُ ت َلا ِتَِّلا ُةَيرِبَكْلاَو ،اَهُعْلَض ُِّينَ بْلا ُءاَجْرَعْلاَو

»

“Ada empat penyakit yang dengan kurban tidak memadai; buta yang nampak jelas, penyakit yang nampak, yang pincang dan yang kurus tidak berlemak sama sekali”(Al-Asqalani no. 1159, t.tp, :743).

.

Tentang hewan yang dikebiri sejauh ini tidak ditemukan adanya larangan, meskipun sebenarnya ada cacat, khususnya dalam reproduksi, namun cacat dalam reproduksi ini tidak menyebabkan suatu binatang dilarang untuk dijadikan kurban (Damanhuri, 2014:28).

(18)

5. Ketercukupan hewan kurban

Para ulama sepakat bahwa untuk kurban yang berupa domba atau kambing hanya boleh berasal dari satu orang saja, sementara untuk unta dan sapi boleh dari 7 (tujuh) orang. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Jabir r.a.

: َلاَق ِوَّللا ِدْبَع ِنْب ِرِباَج ْنَعَو

«

ُسَر َعَم اَنْرََنَ

ِوَّللا ِلو

-

َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَّلَص

-

ٍةَعْ بَس ْنَع َةَرَقَ بْلاَو ٍةَعْ بَس ْنَع َةَنَدَبْلا ِةَيِبْيَدُْلْا َماَع

: »

.ٌمِلْسُم ُهاَوَر

“Dari Jabir bin Abdillah berkata, "Kami pernah menyembelih bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam pada tahun Hudaibiyyah seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang" (HR. Muslim) (Al-Asqalani no. 1163, t.tp, :745).

Di samping itu, dalam hadits riwayat Imam Muslim juga dinyatakan, “Kami melakukan perjalanan haji bersama Rasulullah saw, sambil terus membaca talbiyah. Rasulullah saw, lantas menyuruh kami berpatungan dalam menyembelih kurban yang berupa unta dan sapi; tujuh orang untuk satu unta” (Az-Zuhaili, 2007:276).

Madzhab Hambali membolehkan seorang laki-laki menyembelih satu ekor domba atau sapi atau unta untuk dirinya sekaligus untuk seluruh keluarganya. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah saw menyembelih kurban berupa satu ekor kambing jantan untuk diri beliau dan keluarganya sekaligus; sementara dalam kesempatan lain beliau menyembelih kurban berupa dua ekor kambing jantan yang putih dan bertanduk dimana yang satu untuk dirinya dan satu lagi untuk umatnya. Lebih lanjut, Ibnu Majah dan Tirmidzi juga meriwayatkan suatu hadits yang dipandang shahih oleh Abu Ayyub bahwa pada masa Rasulullah

(19)

saw hidup tidak jarang seorang laki-laki berkurban dengan satu ekor domba untuk dirinya dan keluarganya. Kurban itu lalu dimakan dan didistribusikan kepada orang banyak(Az-Zuhaili, 2007:276-277).

Sementara itu, madzhab Maliki membolehkan seorang laki-laki menyembelih kurban berupa seekor kambing, sapi, atau unta untuk dirinya dan keluarganya sekaligus. Bahkan mereka juga membolehkan mengikutsertakan lebih dari tujuh orang dalam satu hewan kurban dengan syarat keikutsertaan itu adalah dalam hal pahala berkurban, ditetapkan sebelum penyembelihan berlangsung, dan orang-orang yang dilibatkan itu adalah mereka yang memenuhi tiga kriteria berikut: merupakan kerabat orang yang berkurban, berada di bawah tanggungan orang itu dalam hal nafkah, dan tinggal serumah dengannya. Tentang hal ini telah saya jelaskan pada bahasan terdahulu tentang syarat sahnya kurban.

Adapun menurut madzhab Syafi‟i, jika salah seorang dari anggota suatu keluarga telah berkurban, maka telah terpenuhi kewajiban sunnah kifayat

dari keluarga tersebut. Artinya, kurbannya itu sudah sah sekalipun anggota keluarga yang lain tidak berkurban (Az-Zuhaili, 2007:277). Hal ini sebagaimana bunyi hadits :

سو ويلع لله ىلص لله لوسر دهع فِ لج رلا ن اك

ّحضي مل

ونع ةاشلاب ي

وتيب لىا نعو

“Adalah seorang laki-laki di zaman Rasulullah saw, berkurban dengan seekor kambing atas nama dirinya dan keluarganya” (HR. At-Tirmidzi dan dia mensahihkannya) (Al-Jaza‟iri,2009:572).

Sepertujuh unta atau sapi bisa menggantikan nilai kurban seekor kambing. Sehingga sepertujuh unta atau sapi telah cukup memenuhi qurban

(20)

sejumlah orang yang bisa tercukupi dengan seekor kambing. Oleh karena itu jika ada orang berkurban sebanyak sepertujuh onta atau sapi untuk diri dan keluarganya maka sah-sah saja, karena Nabi menjadikan sepertujuh unta atau sepertujuh sapi sebagai pengganti seekor kambing dalam masalah hadyu. Demikian pula hal ini juga berlaku untuk kurban, karena tidak ada perbedaan antara hadyu dan kurban dalam hal ini. Oleh sebab itu seekor kambing tidak bisa dijadikan sebagi hewan kurban patungan untuk dua orang atau lebih, karena dalam hal ini tidak terdapat dalil dalam al-Kitab dan Sunnah.

Demikian pula halnya tidak diperkenankan bergabungnya delapan orang atau lebih untuk berkurban dengan seekor onta atau seekor sapi, karena ibadah itu harus berdasarkan tuntunan, tidak boleh melampaui batas yang telah ditetapkan oleh dalil, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini berbeda dalam hal memperoleh pahala kurban secara bersama-sama, karena terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jumlah orang yang bisa memperoleh pahala dari seekor hewan kurban itu tidak dibatasi (Al-Utsaimin, 2003 :45-56).

6. Niat untuk berkurban

Berkurban adalah termasuk amal ibadah, dan amal ibadah mestilah didahului dengan niat untuk membedakannya dengan adat (kebiasaan). Syekh Wahbah az-Zuhaili hafizhahullah menerangkan:

ضلأ ئزتَلا

ح

لا ةينلا نودب ةي

، ةبرقلل نوكي دقو محلل نوكي دق حبذلا ن

ةينلا نودب ةبرق نوكيلا لعفلاو

لامعلآ انَّإ( : ملاسلاو ةلاصلا ويلع ولوقل

ون ام ئرما لكل انَّاو تاينلاب

ى

ةبرق وى لمع ونم دارلماو : نِّاسكلا لاق )

.ةينلاب لاإ ةيحضلأا ينعتت لاف ,

“Kurban tidaklahsah tanpa niat, karena sembelihan akan menjadi daging akan menjadi kurban (sarana mendekatkan diri kepada Allah

(21)

Ta‟ala), dan perbuatan tindaklah dinilai sebagai kurban tanpa dengan niat, sesuai sabdanya: “Sesungguhnya amal perbuatan hanyalah dengan niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan apa-apa yang sesuai yang diniatkanya”.Al-Kisani mengatakan: “Maksudnya adalah amal perbuatan untuk kurban, maka berkurbanlah tidaklah memiliki nilai kecuali dengan niat” (Damanhuri,2014:30).

7. Doa Menyembelih Kurban

Setiap orang yang berkurban tentunya berharap ibadahnya tersebut diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta‟ala. Di samping itu memperhatikan jenis hewan kurban, umur dan kondisi hewan kurban yang selamat dari cacat, kita juga memperhatikan tata cara. Secara ringkas, bagi orang yang ingin menyembelih hewan kurban disunnahkan baginya saat menyembelih untuk membaca: (Damanhuri,2014:32).

نَع اذى ,كلو كنم اذى مهللا بِكأ للهاو مهللا للها مسب

“Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, ya Allah ini dari Mu dan untuk-Mu dan untuk-Mu, ini kurban dariku.”

8. Pembagian daging kurban

Daging kurban wajib disedahkan dalam keadaan mentah dan boleh

mudhahhi memakan sebagainnya, kecuali kurban itu dinadzarkan, maka harus disedekahkan keseluruhanya.

Adapun yang berhak menerima daging kurban adalah orang fakir sebagaimana yang dijelaskan di dalam al-Qur‟an:

قفلا سئابلا اومعطأو اهنم اولكف

ير

“Maka makanlah sebagian daripadanya dan berikanlah (sebagian yang lain) untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir”. Ijtihad para fuqaha‟ tentang pembagian daging kurban ini setidaknya ada tiga pendapat: yang pertama, disedekahkan seluruhnya kecuali sekedar hanya untu lauk-pauk. Yang kedua, dimakan sendiri separo dan disedekahkan

(22)

separo.Yang ketiga, sepertiga dimakan sendiri, sepertiga dihadiahkan dan sepertiganya lagi disedehkahkan (Damanhuri, 2014:40).

F. Tujuan dan Manfaat Kurban

Tujuan dalam melakukan ibadah kurban adalah:

1. Mendekatkan diri kepada ada Allah swt. Hal ini sebagaimana firman Allah swt:

رَنَٱَو َكِّبَرِل ِّلَصَف

٢

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkurbanlah” (QS.Al-Kautsar:2) (Al-Jaza‟iri,2009:573).

Allah swt juga berfirman:

َينِمَلََٰعلٱ ِّبَر ِوَّلِل ِتياََمََو َياَيَمََو يِكُسُنَو ِتي َلاَص َّنِإ لُق

ٔ٣ٕ

ُوَل َكيِرَش َلا

ۖۥ

ُلَّوَأ اَنَأَو ُترِمُأ َكِلََٰذِبَو

َينِمِلسُلمٱ

٣٦١

“Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlahnyang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)” (QS. Al-An‟am: 162-163) .

Adapun yang dimaksud dengan An-Nusuk disini adalah menyembelih hewan sebagai taqarrub kepada Allah (Al-Qur‟an & Terjemahnya: Kemenag RI, 2012:283).

2. Mengikuti sunnah Nabi Ibrahim as

Allah swt, telah mewahyukan kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya yaitu Nabi Ismail tetapi, Allah swt kemudian mengganti Nabi Ismail dengan domba, maka beliau menyembelih domba tersebut sebagai ganti dari Nabi Ismail.

(23)

َع ٍحبِذِب ُوََٰنيَدَفَو

ميِظ

ٔٓ٢

“Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (QS.Ash-Shaffat:107) atau (Al-Jaza‟iri,2009:574).

3. Memberi kelapangan kepada keluarga pada hari Id, dan memberikan kasih sayang kepada fakir miskin.

4. Sebagai rasa syukur kepada Allah swt.

5. Membangun mentalitas kepedulian sosial yang tinggi, utamanya bagi mereka yang mampu. Selain kekayaan tidak hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja, juga kokohnya ikatan “persaudaraan” yang dikemas dalam bahasa ekonomi.Karena bagaimanapun juga, kepedulian sosial dalam perspektif ini memiliki “nilai ibadah” yang sangat tinggi, dibanding dengan nilai ritualnya sendiri (Rofiq,2004:241).

G. Batal atau Rusaknya Kurban

1. Saling berbangga dan menyombongkan diri dalam hal berkurban.

Hendaklah kurban dilakukan dengan ikhlas untuk menanggapi ridha Allah, bukan mengejar strata sosial, bukan ingin mencari pujian manusia dan bukan

riya‟. Rasulullah saw, diperintahkan Allah agar menerangkan suatu peristiwa yang terjadi pada zaman dahulu, yakni tatkala dua anak Adam berkurban yaitu, Habil dan Qabil (Abdurrahman,2014:2).

2. Hewan yang akan dikurbankan terlihat cacat yang nyata

Dengan demikian, sesuai dengan penegasan dalam hadist, tidak dibolehkan berkurban dengan hewan yang buta parah sebelah matanya, yang menderita sakit parah, yang jelas kepincangan salah satu kakinya, dan yang kurus badanya sehingga tidak terlihat bersumsum (Az-Zuhaili,2007:261).

(24)

3. Kurban yang dilakukan tidak tepat waktu

Tidak sah kurban yang dilakukan pada malam hari raya, yaitu malam tanggal sepuluh, begitu pula malam tanggal tiga belas Dzulhijjah.Hal itu didasarkan pada ucapan sekelompok sahabat yang menyatakan bahwa hari untuk berkurban hanya tiga hari.Lafal hari disini secara kebahasaan tentu saja mencakup malamnya, namun dipandang makruh hukumnya menyembelih pada malam hari (Az-Zuhairi,2007:262).

4. Yang melakukan penyembelihan bukan orang muslim

Dengan demikian, tidak sah penyembelihan yang dilakukan orang kafir, sekalipun dari Ahlul Kitab, dan walaupun yang bersangkutan mendapat mandat dari sipemilik kurban untuk melakukan penyembelihan itu (Az-Zuhaili,2007:262).

Sementara itu, menurut madzhab selain Malikiyah, hukumnya hanya dianjurkan agar penyembelihan itu tidak dilakukan oleh selain muslim, sebagaimana makruh hukumnya penyembelihan yang dilakukan oleh seorang kafir dzimmi dari Ahlul Kitab. Alasannya, penyembelihan kurban adalah sebuah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, sementara orang kafir tidak berkompeten untuk melakukan aktivitas seperti itu (Az-Zuhaili,2007:262).

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan penelitian Sudaryanto dan Wedhawati dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah adanya penjelasam tentang distribusi interjeksi, fungsi dan makna

Kurikulum Berbasis Komptensi bidang TIK yang mengacu pada kebutuh dunia usaha atau dunia Industri dirancang secara sistematis dalam Aplikasi Perkantoran yang mencakup

Pemerintah yang tidak masuk dalam kategori belanja Kementerian/ Lembaga, transfer daerah, subsidi, pembayaran bunga utang, dan dana desa.. Transfer

Hasil evaluasi atas sub komponen “Pemenuhan Evaluasi” menunjukkan nilai sebesar 1,88 dari nilai maksimal 2,00, dengan uraian sebagai berikut:. a) Dinas Pekerjaan Umum

Untuk identifikasi masalah 2 dianalisis dengan menggunakan model regresi berganda untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor (pendidikan ibu rumah tangga, pekerjaan, pendapatan

Skripsi yang ditulis oleh Arini Safitri (IIC10822), jurusan Psikologi Fakultas Kedokteran, Tahun 2013, yang berjudul "Hubungan Dukungan Orangtua dengan

132 Iwan Sukoco Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Riset Kompetensi Dosen Unpad ANALISIS POTENSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI DAN BISNIS MASYARAKAT DESA CINTARATU

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, guru sebagai salah satu unsur yang berperan penting dalam proses pembelajaran harus mampu memilih media,