• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh) Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekowisata Leuser (Studi Etnografi Tentang Pengembangan Usaha Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser Pada Masyarakat di Kecamatan Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh) Chapter III V"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

Perkembangan Kawasan Ekosistem Leuser

3.1 Sejarah Singkat Ekosistem Leuser

Hutan Leuser adalah Mega Biodiversity dan sebuah ekosistem, bukanlah

suatu hutan tanpa penghuni akan tetapi ada masyarakat di sekitarnya juga

merupakan bagian dari ekosistem yang harus dijaga. Rimba raya dalam perspektif

budaya masyarakat Aceh menyimpan kandungan spiritual dan misteri, keberadaan

hutan rimba di tengah masyarakat agraris Aceh telah memancarkan semangat

untuk menaklukkan misteri yang masih belum terungkap itu, nilai – nilai sosial,

ekonomi, politik dan budaya akan lebih terancam oleh masuknya mesin

penggerogot ekonomi, menggilas semua kepentingan dan kearifan budaya lokal

mereka, mungkin suatu saat hutan hilang dan tak menyisakan apapun kecuali

kesengsaraan akibat bencana alam.

Konsep pemikiran tentang hutan berbasis adat yang pernah diungkapkan

oleh mukim–mukim di Aceh harusnya di ambil kembali sebagai aturan dalam

pengelolaan hutan, kembali menggunakan alat tradisional seperti adanya pawang

uteun, Kejruen Blang, pawang krueng dan menggunakan kearifan lokal lainnya

dalam mengapresiasi hutan sebagai bagian dari kebudayaan, tapi aturan ini hilang

ditelan oleh keserakahan ekonomi global, mesin-mesin canggih terus berserakan

di hutan, gergaji mesin, tractor dan buldozer menghancurkan hutan tersisa.

Kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,

(2)

strategi konservasi ekosistem dan strategi konservasi in-situ yang diarahkan

sebagai fungsi pokok perlindungan/suaka dan pelestarian alam. Amanat tentang

kawasan konservasi baik Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian

Alam (KPA) dijelaskan dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi

Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA.

Salah satu contoh bentuk kawasan konservasi adalah taman nasional.

Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam, yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya,

pariwisata dan rekreasi. Adapun Kawasan Pelestarian Alam didefinisikan sebagai

kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang

mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan

keanekaragaman jenis Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL), serta pemanfaatan secara

lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sebagai Kawasan Pelestarian

Alam, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berfungsi utama sebagai sistem

penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan

perwakilan ekosistem Leuser yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati

yang sangat tinggi serta habitat penting bagi keberadaan beberapa spesies

lambang/kebanggaan (flagship species). Namun demikian, TNGL juga merupakan

hotspot keterancaman degradasi keanekaragaman hayati yang tinggi, yang

disebabkan oleh illegal logging, perambahan kawasan, kebakaran, dan aktivitas

(3)

Secara yuridis formal keberadaan TNGL untuk pertama kali dituangkan

dalam Pengumuman Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret

1980 tentang peresmian 5 (lima) TN di Indonesia, yaitu; TN. Gunung Leuser, TN.

Ujung Kulon, TN. Gede Pangrango, TN. Baluran, dan TN. Komodo. Berdasarkan

Pengumuman Menteri Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser

adalah 792.675 ha. Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti

dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan No. 719/Dj/VII/1/80 tanggal 7 Maret

1980 yang ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser dengan isi penting

yaitu pemberian status kewenangan pengelolaan TNGL kepada Sub Balai KPA

Gunung Leuser. Sebagai dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan

kawasan hutan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.

276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan TNGL seluas 1.094.692 hektar yang terletak di

Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Aceh) dan Provinsi Sumatera

Utara.

Merujuk pada Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional, Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2004

dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 41 Tahun 2008 tentang Pedoman

Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian

Alam, maka pengelolaan TNGL harus didasarkan atas perencanaan jangka

panjang, jangka menengah, dan jangka pendek dengan mengakomodasikan

aspirasi Publik serta pelibatkan para pihak dan pakar untuk menjaring pendapat

berbagai sektor dan disiplin ilmu untuk pengkayaan materi. Pengelolaan TNGL

(4)

secara optimal dan menjamin legitimasi keberadaannya secara jangka panjang

dengan semangat perubahan demokratis, transparan dan bertanggung-gugat

(accountable), serta tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Historis lahirnya Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berawal pada

tahun 1920-an atau zaman Pemerintah Kolonial Belanda, melalui serangkaian

proses penelitian dan ekplorasi seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van

Heurn di Aceh. Dalam perkembangannya muncul inisiasi positif yang didukung

para tokoh masyarakat untuk mendesak Pemerintah Kolonial Belanda agar

memberikan status kawasan konservasi (wildlife sanctuary) dan status

perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai

Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai

Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara.

Kronologis Sejarah Lahirnya Taman Nasional Gunung Leuser.

 Pada tahun 1927 Pemimpin lokal Aceh meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi kawasan Lembah Alas dari penebangan.

 Pada bulan Agustus 1928 Usulan pertama diajukan oleh Dr.Van Heurn kepada Pemerintah Belanda untuk melindungi kawasan Singkil (hulu

Sungai Simpang Kiri) bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah

lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian Utara.

 Pada 6 februari 1934, Deklarasi Tapak Tuan, Tekad perwakilan masyarakat lokal untuk melestarikan kawasan Leuser untuk selamanya

sekaligus juga mengatur sanksi pidananya (penjara dan denda). Deklarasi

(5)

 Pada 3 juli 1934 , keputusan Zelfbestuurs Belsuit (ZB) No. 317/35 berisi keputusan Pembentukan Suaka Alam Gunung Leuser seluas 142.800 ha.

 Pada 8 agustus 1935, keputusan ZB. No 138 , berisi keputusan Pembentukan kelompok hutan Langkat Sekundur. Tata batas dilakukan

pada 12 Agustus 1936.

 Pada 26 oktober 1936, keputusan ZB No. 122/AGR, berisi keputusan Pembentukan Suaka Margasatwa Kluet seluas 20.000 ha.

 Pada 30 oktober 1938, keputusan sultan Langkat, berisi keputusan Penetapan Kelompok Hutan Langkat Sekundur, Langkat Selatan, dan

Langkat Barat sebagai Suaka Margasatwa Sekundur dengan nama

Wilhelmina Katen, dengan total luas 213.985 ha.

 Pada 10 Desember 1976, keputusan SK Menteri Pertanian No. 69/Kpts/Um/12/1976, berisi keputusan Penunjukkan SM Kappi seluas

150.000 ha.

 Pada 6 Maret 1980, keputusan SK Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um/ II/1980, berisi keputusan Deklarasi TN. Gunung Leuser seluas 792.675 ha.

 Pada 7 Maret 1980, keputusan SK Dirjen Kehutanan No. 719/Dj/VII/1/1980, berisi keputusan Sub Balai Perlindungan dan

Pelestarian Alam (PPA) Gunung Leuser diberi kewenangan mengelola

TNGL.

(6)

 Pada 3 maret 1982, keputusan SK Menteri Pertanian No. 166/Kpts/Um/3/ 1982, berisi keputusan Penunjukan Hutan Wisata Lawe Gurah, yang

berasal dari sebagian SM Kappi (7.200 ha), dan Hutan Lindung

Serbolangit (2.000 ha).

 Pada tahun 1982, keputusan SK Menteri Pertanian No. 923/Kpts/UM/12/ 1982, berisi keputusan TNGL di Sumatera Utara seluas 213.985 ha,

gabungan dari SM Langkat Selatan, SM Langkat Barat, SM & TW

Sekundur.

 Pada tahun 1982, keputusan SK Menteri Pertanian No. 924/Kpts/UM/12/ 1982, berisi keputusan TNGL di DI Aceh seluas 586.500 ha, gabungan

dari SM Kluet, SM GunungLeuser, SM Kappi, dan TW Lawe Gurah.

 Pada 12 mei 1984, keputusan SK Menteri Kehutanan No. 096/Kpts-II/1984, berisi keputusan Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Balai

TNGL di bawah Ditjen PHPA.

 Pada tahun 11 Desember 1984, keputusan SK Dirjen PHPA No. 46/ Kpts/VI-Sek/84, berisi keputusan Penunjukan wilayah kerja TNGL,

mencakup SM Gunung Leuser, SM Langkat Barat, SM Langkat Selatan,

SM Sekundur, SM Kappi, SM Kluet, TW Lawe Gurah, TW Sekundur,

Hutan Lindung Serbolangit dan Hutan Produksi Terbatas Sembabala.

 Pada tahun 1984 berisi keputusan Ditetapkan sebagai ASEAN Park Heritage.

(7)

 Pada 10 juni 2002, keputusan SK Menteri Kehutanan No. 6186/Kpts-II/2002, berisi keputusan Organisasi dan Tata Kerja Taman Nasional,

sebagaimana telah diganti dengan Permenhut No. 03 Tahun 2007.

 Pada juli 2004, keputusan Komite Warisan Dunia, berisi keputusan Penetapan TNGL, TNKS, dan TNBBS sebagai kelompok Tropical

Rainforest Heritage of Sumatra.

 Pada 1 februari 2007, keputusan PerMenHut No. P.03/ Menhut-II/2007, berisi keputasan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman

Nasional.

3.1.1 Sejarah Pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser

Sejarah pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser dimulai pada tahun 1920

sebelum Indonesia merdeka ketika Pemerintah Kolonial Belanda yang berkuasa di

Indonesia (terutama di Pulau Sumatera bagian utara) memberikan ijin kepada

seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk mencoba

mengekplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di

Provinsi Aceh tetapi wilayah yang dijejakinya tidak menemukan sumber-sumber

tersebut. Menurut Van Heurn, para pemuka adat setempat pada saat itu

menginginkan agar dia mendiskusikan hasil penemuannya karena para pemuka

adat tersebut merasa takut apabila Pemerintah Kolonial Belanda akan menduduki

secara permanen daerah tersebut untuk mengeksploitasi sumber mineral yang ada.

Mereka peduli tentang barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di puncak

Gunung Leuser.14 Van Heurn juga melaporkan bahwa sebenarnya pada saat itu dia

(8)

tidak menemukan kandungan mineral yang besar. Sebagai ganti mendiskusikan

hasil penemuannya, dia menawarkan bantuan kepada para wakil pemuka adat

tersebut (yaitu para Datoek dan Oeloebalang) untuk mendesak Pemerintah

Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (wildlife

sanctury).

Bagi masyarakat adat, wilayah Gunung Leuser sendiri adalah kawasan

yang dianggap sakral dan suci. Akhirnya setelah berdiskusi dengan Komisi

Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928, sebuah proposal

diberikan kepada Pemerintah Kolonial Belanda di Indonesia untuk memberikan

status perlindungan terhadap sebuah kawasan yang terbentang dari Singkil (pada

hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan, ke arah

lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara (Griffiths 1992;

UML 1998; Dasrul et al. 2006). Sebagai seorang naturalis, Van Heurn terpanggil

untuk terus mengusahakan perlindungan formal untuk daerah tersebut karena

disadarinya bahwa daerah ini begitu unik dan kaya akan keanekaragaman

hayatinya dan di dalamnya terdapat berbagai jenis habitat penting. Atas

pendekatannya dengan Pemerintah Belanda dan para pemuka adat setempat,

akhirnya pada tanggal 6 Pebruari 1934, semua perwakilan masyarakat lokal

menandatangani sebuah deklarasi yaitu “Deklarasi Tapaktuan” dalam sebuah

upacara adat di daerah Tapaktuan dan deklarasi tersebut ditandatangani oleh

(9)

3.1.2 Fungsi Kawasan Ekosistem Leuser

Kawasan yang luas wilayahnya dua juta hektar yang menjamin

kelangsungan hidup flora dan fauna dan menyediakan kesempatan ekonomi yang

berkelanjutan, zona zoobiography hutan Indo Malaya bagian barat, wilayah

admintisrasi KEL masuk dalam pemerintahan di dua provinsi pertama Pemprov

Aceh dan kedua provinsi Sumut. Rincian kabupaten Propinsi Aceh dan Sumut

yang termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser antara lain Kabupaten Aceh

Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tamiang, Aceh Timur,

Aceh Utara, Aceh Singkil, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya dan Aceh

Barat. Kabupaten di provinsi Sumut : Langkat, Deli Serdang, Dairi, Karo,

kawasan ini dicadangkan sebagai suatu unit kawasan ekologis makro yang masih

memiliki habitat yang cukup untuk mendukung keberadaan spesies utama dalam

jumlah yang menjamin kelangsungan hidup mereka. Fungsi hutan tersebut antara

lain hutan pelesetarian alam seperti Taman Nasional Gunung Leuser, Tahura

Bukit Barisan, Suaka Marga Satwa Rawa Singkil, Cagar Alam Serba Jadi di Aceh

Timur, hutan produksi yang ditetapkan berdasarkan Tata Guna Hutan

Kesepakatan (TGHK), dan sebaran desa enclave dalam KEL, beberapa potensi

fauna terdapat 176 jenis binatang menyusui lima diantaranya merupakan spesies

kunci seperti badak Sumatera (Dicherorhinus sumatrensis), orang utan Sumatera

(Pongo abelii) yang hanya terdapat di propinsi Aceh, Harimau Sumatera (Panthera

trigis sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Beruang

(Helarctos malayanus), 194 jenis binatang melata, 56 jenis amfibi, 320 jenis

(10)

Sumatera dipterocarpaceae antara lain didominasi oleh jenis pohon kapur

(Drynabalanops aromatica), Gaharu (Aquilaria,sp), Meranti (Shorea.sp). Medang

(litsea.Sp) damar (Pinus merkusii) dan lain-lain.

3.1.3 Lembaga Pengelola Kawasan Ekowisata Leuser

Secara administrasi pengelolaan KEL terdapat banyak kelembagaan yang

menaunginya antara lain terdapat Yayasan Leuser Internasional (YLI), Dinas

Kehutanan Aceh seperti mengelola Hutan Produksi (TGHK), Balai Besar Taman

Nasional Gunung Leuser (TNGL), BKSDA Aceh, BP KEL, tentu saja terjadi

tumpang tindih dalam admnistrasi pengelolaan KEL antar lembaga dan

departemen seperti BKSDA dan Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan dan Dinas

Pertanian Tanaman Pangan, Departemen Perhubungan (Infrastuktur), Departemen

Pertambangan dan Energi, Departemen Transmigrasi, Departemen Pemukiman

dan Prasarana Wilayah, ini juga yang menjadi masalah dalam pengelolaan KEL

dan sering terjadi konflik kepentingan, khususnya dalam pengembangan kawasan.

Lembaga WWF Seorang peneliti orang utan Sumatera (Pongo abelii),

berkebangsaaan Belanda yang bernama Herman D, Rijksen yang bekerja untuk

Universitas Wagening yang didanai oleh WWF Belanda dan mendirikan stasiun

Penelitian Ketambe pada tahun 1971 di Desa Balai Lutu, kecamatan Badar,

Kabupaten Aceh Tenggara. Stasiun penelitian Ketambe merupakan stasiun riset

pertama di Indonesia dan di stasiun riset inilah yang merupakan cikal bakalnya

WWF hadir di provinsi Aceh dengan program rehabilitasi orang utan Sumatera.

Pada awalnya, stasiun penelitian Ketambe merupakan lokasi untuk

(11)

pada tahun 1980 pengelolaan Stasiun Ketambe diserahkan ke Departement

Kehutanan (PHPA), sejak itu Ketambe dijadikan sebagi pusat penelitian primata,

mamalia besar lainnya hingga jenis burung dan ekologi lainnya, sedangkan pusat

rehabilitasi orang utan Sumatera dipindahkan ke Bukit Lawang Bahorok,

Kabupaten Langkat, SUMUT. Sejalan dari itu, setelah beberapa Tahun mengelola

KEL dan pada tahun 1997, WWF di Aceh yang berkantor cabang di Aceh Selatan

ditutup, pada tahun 2003, WWF kembali beroperasi di Aceh dengan membuka

kantor program yang bernama WWF kantor program Aceh tapi WWF tidak lagi

fokus terhadap KEL, Yayasan Leuser International (YLI) beriring sejalannya

waktu, berawal dari keprihatinan terhadap kondisi KEL, beberapa tokoh Aceh

diantaranya H.Rahman Ramli, Bustanil Arifin dan Ibrahim Hasan pada tanggal 24

september 1994, mengadakan jumpa pers dengan tujuan mengumumkan

berdirinya Yayasan Leuser Internasional (YLI), pendirian lembaga ini disebabkan

rasa khawatir yang mendalam terhadap kerusakan hutan dimana HPH mulai

merambah KEL, akibatnya perlu dijaga dan dipeliharanya ekosistem tersebut,

serta diharapkan dengan dengan adanya lembaga yang menangani KEL akan

memperkuat kampanye dan edukasi KEL untuk masyarakat sekitar akibat kurang

kesadaran mayarakat setempat terhadap pentingnya hutan tropis KEL sebagai

penyangga dunia. Dalam keterangan pers yang disampaikan oleh ketua sekaligus

pendirinya H. Rahman Ramli menyatakan bahwa yayasan itu berdiri secara

independen dan berusaha keras untuk tidak sekedar peduli dengan lingkungan

hidup tetapi juga menyelamatkan sebuah struktur ekologi yang kaya dengan

(12)

Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan YLI yang dipimpin oleh AR

Ramli mantan Dubes RI Untuk Amerika Serikat telah berhasil menarik perhatian

internasional terutama masyarakat Uni Eropa, usaha ini berhasil mendapatkan

sejumlah bantuan sekitar 32 Juta Euro bagi keperluan pelestarian ekosistem

Leuser ini, operasional pengelolaannya untuk tujuh tahun mendatang telah

dipercayakan kepada YLI berdasarkan Keputusan Menhut nomor 227/Kpts-11/95

tanggal 21 April 1995, YLI saat ini masih eksis mengawal beberapa program di

KEL.

Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BP–KEL) Pemerintah Aceh

di masa kepemimpinan Gubernur Irwandi Yusuf membentuk sebuah gugus tugas

dalam pengelolaan KEL dengan didirikannya Badan Pengelola Kawasan

Ekosistem Leuser melalui Peraturan Gubernur No. 52 tahun 2006, setelah

mendapat persetujuan dari DPR Aceh. Adapun tugas dan wewenang dari BPKEL

yang sebagian besar erat kaitannya dengan masalah pengelolaan akan dijelaskan

lebih lanjut di dalam dokumen tersebut, dengan berlakunya Undang-Undang No.

11 tahun 2006 dan Peraturan Gubernur No.52 tahun 2006 tersebut, maka

kewenangan pengelolaan yang selama ini ada dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat

telah ditugaskan kepada Pemerintah Aceh melalui BP-KEL. Pada tahun 2006

yang mengelola KEL seluas 2,6 Juta Hektar Unit Pengelola Tehknis Daerah

(UPTD-KEL) Seiring waktu dan berubahnya peta politik Aceh dan terjadi

perubahan kepemimpinan Aceh, di masa gubernur baru Dr. Zaini Abdulalah maka

kebijakan pengelolaan KEL dan kewenangan KEL diubah dan BP-KEL

(13)

menurut informasi Pemerintah Aceh pada tahun2013 ini berencana akan

mengelola KEL di bawah koordinasi Dinas Kehutanan Provinsi dengan

membentuk UPTD KEL.

3.1.4 Peraturan Kawasan Ekosistem Leuser

Aturan dalam pengelolaan hutan di KEL yang pertama, Ikrar Tapak Tuan

yaitu musyawarah Ulebalang “Raja Kecil di kabupaten Aceh Selatan dan

Kabupaten Aceh Tenggara di Tapak Tuan” tentang bagaimana menjaga

keselamatan hutan, binatang di kawasan Antara (Tanah Gayo) dan sekitar daerah

tersebut, ditanda tangani oleh Ule Balang Kedjoroen Petimbang Gajo Loeas

Penampa’an atau Landschaap Gajo Loeas, De Betuurscommisie Vat het Lanschap

Bambol Voorzittor, Laden, Kejoeroen lanschap Powlau Mas atau De

Zelfbestuurde van Manggeng, De Zelfbestuurder van Meuke (Meukek) yang

bernama Teuku raja Di Gunong, De Zelfbestuurder van het Lanschap Lho Pawoh

Noordz (sekarang Lhok Pawoh,Sawang) Defd. Controleur de Onderafdeeling

Gajo loeas De fd.Controleur de Ondrafdeeling Alaslanddan Onderrafealing

Tapatoean.c.m. dat Zelbeutuurder van manggeng geen ambtutempel heeft. Kedua,

Goeverneur vant Atjeh en Onderhoorigheden vaardezen, de asisetent resident der

Weskunt van Atjeh pada tanggal 3 february 1934. Ketiga, Taman Nasional

Gunung Leuser (TNGL) telah dikukuhkan dengan surat Menteri Pertanian No

811/kpts/II/1980 melalui Surat Menteri Kehutanan No 096/Kpts-II/1984 yang

meliputi areal seluas 830.000 Ha. Untuk selanjutnya aturan lain dibuat yang

dituangkan level Propinsi dan kabupaten terdapat Deklarasi Leuser di propinsi

(14)

diantaranya Ibrahim Hasan, Ali Hasyimi, H.Bustanil Arifin, Syamsudin Mahmud,

Safwan Idris, Syaed Mudahar, Deklarasi Masyarakat Karo pada tanggal 27-28

tahun 1999. Berdasarkan keputusan Menhut Nomor 227/Kpts-11/95 tanggal 21

April 1995 telah memberi hak kepada Yayasan Leuser Internasional (YLI ) untuk

mengkonversikan dan mengembangkan Kawasan ekositem Leuser yang terletak

di dua propinsi yaitu Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Sumatera utara

dengan luas 1.790.000 ha. Pada Tanggal 29 Mei 1995 telah ditandatangani

”Financial Memorandum Agreement, No ALA 94/95” antara pemerintah RI

(diwakili Menteri Negara PPN/Ketua Bapenas) dan Uni Eropa dengan Kucuran

dana 32 juta ACU dari Uni Eropa dan Pihak RI 18 juta ACU, Surat Menteri

Negara / Ketua Bapenas No SK 219/Ket/8/1995 Tanggal 29 Agustus 1995 telah

membentuk organisasi yang mengelola proyek pengembangan dan pelestarian

Ekosistem Leuser , disebut Unit Management Leuser. Tim koordinasi daerah yang

dibentuk berdasarkan surat keputusan bersama Gubernur Daerah Istimewa Aceh

dan Gubernur Sumatera Utara (SKB 552.51/538/1995 tim ini berperan

memfasilitasi keikutsertaan berbagi pihak terkait. Tim ini dipimpin oleh Sekwilda

di kedua propinsi secara operasionalnya dikepali oleh Ketua Bapeda dimasing -

masing propinsi tersebut, pada tanggal 28 februari 1998 Presiden Republik

Indonesia telah menandatangani Kepres No 33 tahun 1998 tentang pengelolaan

Kawasan Ekosistem Leuser Pasal 3 (1) Kepres berbunyi, dalam rangka

pelaksanaan pengeloaan Kawasan ekosistem Leuser, Pemerintah bekerjasama

dengan Yayasan Leuser Internasional yang didirikan berdasarkan akte notaris

(15)

tersebut membantu pemerintah sebagai pelaksana pengelola kawasan, lingkup

kerjasama pelaksanaan pengelolaan sebagai mana yang dimaksud dalam ayat (1)

mencakup upaya konservasi dan pengembangan Kawasan Ekositem Leuser, yang

meliputi perlindungan dan pengamanan, pengawetan, pemulihan fungsi kawasan

dan pemanfaatan secara lestari, UUPA (undang – Undang Pemerintahan Aceh)

BAB XX tentang Perencanaan Pembangunan Dan Tata Ruang, Pasal 150 yang

berisikan : pertama, Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan

pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk

pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan

pemanfaatan secara lestari. Kedua, Pemerintah-pemerintah Aceh, dan pemerintah

kabupaten/kota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan

ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ketiga, dalam

melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh

melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota dan dapat melakukan

kerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak lain. Dalam rangka pelaksanaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah berkewajiban menyediakan

anggaran, sarana, dan prasarana.

Idiom atau sebutan paradox untuk Kawasan Ekosistem Leuser adalah

sebagai paru – paru dunia, Kawasan Ekositem Leuser jika dikelola dengan baik

secara profesional, aspiratif, partisipatif dan akuntabilitas akan mempunyai

potensi menjadikannya salah satu kawasan konservasi hutan tropis terbaik di

dunia, jika spesifikasi Leuser dapat diangkat menjadi kawasan ekosistem terbaik

(16)

pengelolaan dan pengawasan ekosistem Leuser yang profesional juga sekaligus

akan menimbulkan kesan dari dunia Internasional bahwa negara Republik

Indonesia mampu dan dapat memprioritaskan perlindungan alam sebagai salah

satu upaya pembangunan yang mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan.

3.1.5 Kawasan Ekosistem Leuser Yang Sekarang

Nama Leuser diambil dari nama gunung kedua tertinggi di Pulau Sumatra

yaitu Gunung Leuser yang tingginya mencapai 3404 m dpl. Kata Leuser sendiri

berasal dari kata Leusoh yang dalam bahasa Gayo berarti “diselubungi awan”.

Tetapi menurut seorang informan saya yang bernama bang Bedu (27 tahun) dia

bekerja di staff TNGL , Leuser berarti “surga terakhir bagi satwa”.

Bang Bedu mengatakan :

“Bagaimanapun manusia harus bisa hidup selaras dengan alam yang bisa kita perbuat adalah menjaganya sebelum kerusakan terjadi dan akan merugikan kita karena ekologi yang rusak menghambat aktivitas makhluk hidup dan keberlangsungannya, Alam itu tidak bisa dilawan, makanya kita jaga selalu”

Kawasan Ekosistem Leuser diperkenalkan melalui Surat Keputusan (SK)

Menteri Kehutanan No.227/Kpts-II/1995 tahun 1995 yang kemudian dikuatkan

dengan Keputusan Presiden (Keppres) No.33 tahun 1998. Kawasan sangat penting

bukan hanya karena keanekaragaman hayatinya yang tinggi tetapi juga karena

fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitarnya dan sebagai kawasan

hutan alami. Kawasan Ekosistem Leuser terdiri dari Taman Nasional Gunung

Leuser, Suaka Margasatwa, Hutan Lindung, Cagar Alam, Hutan Lindung, dan

lain-lain (UML 1998; Consortium SAFEGE 2014). Mengapa Kawasan Ekosistem

(17)

Sumatera dalam 6 dekade terakhir ini menunjukkan bahwa hutan-hutan asli di

Pulau Sumatera mulai mengalami perusakan yang parah mulai era tahun 1980-an.

Kerusakan semakin parah ketika Pemerintah Indonesia mulai menerapkan sistem

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan memberikan hak tersebut kepada beberapa

perusahaan besar yang kemudian memegang monopoli pengusahaan hutan. Dalam

prakteknya ternyata sistem ini tidak banyak memberi manfaat kepada masyarakat

yang tinggal di sekitar hutan tetapi malah lebih banyak merugikan. Kerusakan

hutan yang parah telah menyebabkan rusaknya keseimbangan lingkungan yang

ditandai dengan hampir punahnya spesies hayati penting, bencana alam dan

konflik antara manusia dengan satwa.

3.1.6 Program Penelitian untuk Kawasan Ekowisata yang dilindungi

Pengaruh manusia terhadap planet bumi sudah demikian besar sehingga

sulit untuk membayangkan adanya kawasan alam yang benar-benar alami atau

stabil. Perlindungan terhadap alam, baik berupa satu spesies yang penting ataupun

suatu ekosistem keseluruhan yang mewakili, memerlukan campur tangan

pengelola untuk menjamin agar lingkungan yang cocok terpelihara. Mengelola

alam pada tingkat efisiensi dan keselamatan manapun, pengelola harus

mengetahui dan memahami banyak hal mengenai cara bekerjanya berbagai

ekosistem.

Lokasi Stasiun Penelitian Ketambe berjarak kurang lebih 32 km dari Ibu

Kota Kabupaten Aceh Tenggara Kutacane dan dapat ditempuh dalam waktu

(18)

merupakan stasiun penelitian yang mempunyai fasilitas yang terlengkap diantara

stasiun penelitian yang ada di TNGL, yang terdiri dari;

(i). Areal penelitian dengan luas ± 450 ha dan sudah dilengkapi dengan sistem

trail,

(ii). 1 (satu) bangunan kayu untuk kantor manager stasiun,

(iii). 1 (satu) bangunan kayu untuk kantor asisten lapangan,

(iv). 4 (empat) bangunan kayu dengan 13 kamar tidur untuk akomodasi peneliti

(v). 1 (satu) bangunan permanen untuk dapur dan ruang pustaka

(vi). 1 (satu) pos penyeberangan merangkap pos jaga

(vii). 1 (satu) unit stasiun pencatatan curah hujan dan suhu udara

(viii). 1 (satu) unit generator untuk penerangan pada malam hari,

(ix). 1 (satu) perahu untuk penyeberangan Sungai Alas (UML 1998).

Stasiun Penelitian Ketambe menempati urutan pertama dalam hal jumlah

peneliti/mahasiswa yang melakukan penelitian di sana. Jumlah dan asal mereka

mencapai ratusan peneliti. Sebagian besar peneliti mengadakan penelitian dengan

dana sendiri ataupun disponsori oleh lembaga lain. Dalam hal ini pihak TNGL

hanya memberikan fasilitas tempat penelitian dan membantu mereka terkait

dengan administrasi penelitian. Selain untuk penelitian, sebagian peneliti dan

mahasiswa datang ke Stasiun Penelitian Ketambe untuk orientasi lapangan

sebelum mereka melakukan penelitian yang sesungguhnya. Selain itu, Stasiun

Penelitian Ketambe juga sering dikunjungi murid SLTA yang biasanya

(19)

kegiatan pengenalan tumbuhan, hewan, dan para tamu lainnya yang ingin melihat

keluarganya yang sedang melakukan penelitian.

Ada enam bidang pokok di mana informasi hayati ilmiah diperlukan

pengelola, sebelum ia membuat rencana menyeluruh mengenai pengelolaan

jangka panjang kawasan yang dilindungi, yaitu:

(i) Inventarisasi, flora, fauna, dan sumberdaya apa yang ada

(ii) Kunatifikasi, berapa jumlah dari setiap spesies yang ada,

bagaimana penyebarannya dalam ruang dan waktu

(iii) Hubungan ekologi, siapa yang makan apa?, bersaing dengan

siapa?, apa yang bergantung pada apa?.

(iv) Dinamika perubahan, diperlukan studi mengenai kolonisasi

kawasan yang terganggu, suksesi seral komunitas tumbuhan,

perubahan aliran sungai, evolusi rawa, invasi spesies baru, dan

kecenderungan populasi di dalam spesies.

(v) Kebutuhan spesies, sebanyak mungkin informasi mengenai spesies

yang memerlukan pengelolaan khusus perlu dikumpulkan,

misalnya persyaratan habitat, kebutuhan tempat berlindung,

makanan, mineral, dan air.

(vi) Prakiraan manipulasi terhadap ekosistem, bila proses perubahan

alami berlawanan dengan tujuan pengelolaan, pengelola tentu ingin

mencegah terjadinya perubahan atau mempengaruhi arah

(20)

mengenai pengaruh langsung dan tidak langsung, jangka pendek

dan jangka panjang berbagai pengelolaan yang dipilih .

Taman Nasional Gunung Leuser adalah salah satu Kawasan Pelestarian

Alam di Indonesia seluas 1.094.692 hektare yang secara administrasi

pemerintahan terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Provinsi Aceh yang

terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh

Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang, sedangkan Provinsi

Sumatera Utara yang terdeliniasi TNGL meliputi Kabupaten Dairi, Karo,

dan Langkat.

Taman nasional ini mengambil nama dari Gunung Leuser yang menjulang

tinggi dengan ketinggian 3404 meter di atas permukaan laut di Aceh. Menurut

informan saya pak Johan beliau dulu merupakan staff konservasi TNGL namun

keluar di tahun 2008, beliau mengatakan bahwa :

Taman nasional ini meliputi ekosistem asli yang diliputi oleh hutan lebat khas hujan tropis, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Gunung Leuser memiliki 3 (tiga) fungsi yaitu :

Untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”

Secara yuridis formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk

pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor:

811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman

Nasional di Indonesia, yaitu; TN. Gunung Leuser, TN. Ujung Kulon, TN. Gede

(21)

Pertanian tersebut, ditunjuk luas TN. Gunung Leuser adalah 792.675 ha.

Pengumuman Menteri Pertanian tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Direktorat

Jenderal Kehutanan Nomor: 719/Dj/VII/1/80, tanggal 7 Maret 1980 yang

ditujukan kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser. Dalam surat tersebut

disebutkan bahwa diberikannya status kewenangan pengelolaan TN. Gunung

Leuser kepada Sub Balai KPA Gunung Leuser.

Diterimanya Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera ke daftar Situs

Warisan Dunia pada tahun 2004, membuat Taman Nasional Gunung Leuser juga

masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, bersama dengan Taman

Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Sebagai

dasar legalitas dalam rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan telah

dikeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 276/Kpts-II/1997 tentang

Penunjukan TN. Gunung Leuser seluas 1.094.692 hektare yang terletak di

Provinsi daerah Istimewa Aceh dan Sumatera Utara. Dalam keputusan tersebut

disebutkan bahwa TN. Gunung Leuser terdiri dari gabungan:

1. Suaka Margasatwa Gunung Leuser : 416.500 hektare

2. Suaka Margasatwa Kluet : 20.000 hektare

3. Suaka Margasatwa Langkat Barat : 51.000 hektare

4. Suaka Margasatwa Langkat Selatan : 82.985 hektare

5. Suaka Margasatwa Sekundur : 60.600 hektare

6. Suaka Margasatwa Kappi : 142.800 hektare

7. Taman Wisata Gurah : 9.200 hektare

(22)

Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.03/Menhut-II/2007, Saat ini

pengelola TNGL adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal

Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA)Departemen Kehutanan

yaitu Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL) yang dipimpin

oleh Kepala Balai Besar (setingkat eselon II).

Untuk lebih menjaga TNGL dari kerusakan yang lebih parah maka

dibentuklah suatu kawasan yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser. Kawasan

yang memiliki luas 2,6 juta hektare ini meliputi area yang lebih datar di sekeliling

TNGL dan berfungsi sebagai penyangga (buffer).

3.2 Keanekaragaman Hayati

Keanekaragaman spesies fauna di Taman Nasional Gunung Leuser

(TNGL) cukup lengkap meliputi Mamalia, Aves, Reptilia, Amphibia, Ikan dan

spesies Invertebrata lainnya. Tercatat 739 jenis fauna. Mamalia (termasuk

Primata), tercatat sekitar 176 spesies, dimana 32 spesies diantaranya merupakan

spesies mamalia yang ada di dunia atau mewakili 25% spesies mamalia yang ada

di Indonesia.

Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) terletak di desa Ketambe,

merupakan salah satu Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia dengan luas sekitar

1.094.692 ha. Di Pulau Sumatera, Gunung Leuser adalah satu-satunya kawasan

yang masih dihuni oleh orang utan. Orang utan yang sudah hampir punah ini tidak

ditemukan di Pulau Sumatera kecuali di Gunung Leuser. Namun selain orang

utan, kita bisa menemukan spesies lainnya seperti Rangkong, Rusa Sambar,

(23)

pada Taman Nasional Gunung Leuser telah dinobatkan sebagai Cagar Biosfir oleh

UNESCO ini menawarkan berbagai obyek wisata, misalnya Arum Jeram di

Sungai Alas, trekking ke Gunung Leuser dan Gunung Kemiri. Bahorok

merupakan tempat kegiatan rehabilitasi orang utan. Jika ingin melihat penelitian

primate yang ada di TNGL dan perpustakaan, bisa mengunjungi Ketambe. Kluet

merupakan obyek wisata untuk menikmati liburan dengan mengarungi sungai dan

danau sambil bersampan tentu menjadi pengalaman yang tidak terlupakan.

Sebaiknya jika melakukan wisata ke daerah ini menggunakan jasa pemandu

wisata agar tidak tersesat saat menyusuri kawasan, keindahan sungai di TNGL.

TNGL merupakan laboratorium alam yang kaya keanekaragaman hayati

sekaligus juga merupakan ekosistem yang rentan. Leuser memperoleh skor

tertinggi untuk kontribusi konservasi terhadap kawasan konservasi di seluruh

kawasan Indo-Malaya. Leuser merupakan habitat sebagian besar fauna, mulai dari

mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata. Hampir 65% atau 129

spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil di Sumatera tercatat ada

di tempat ini. Berbagai jenis ekosistem, flora, fauna, maupun mikrobiologi

mewarnai keindahan TNGL, mempunyai ekosistem asli dari pantai sampai

pegunungan tinggi, meliputi hutan hujan tropis dan dikelola dengan sistem zonasi

yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, pendidikan, budidaya,

pariwisata, dan rekreasi. TNGL juga memiliki beberapa Pusat Rehabilitasi Satwa,

seperti Pusat Rehabilitasi Orangutan di Bahorok, Pusat Rehabilitasi Satwa Langka

di Sikundur, dan Pusat Penelitian Alam di Katambe, Aceh. Pak Johan juga

(24)

“ekowisata memiliki fungsi sebagai pelindung habitat asli satwa yang ada di TNGL seperti Harimau Sumatera (Panthera tigris), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Tapir (Tapirus indicus), Owa (Hylobathes lar), dan Kedih (Presbytis thomasii).”

TNGL juga merupakan kawasan dengan daftar spesies burung terbanyak

di dunia dengan 380 spesies dan rumah bagi 36 dari 50 spesies burung Sundaland.

Hampir 65% atau 129 spesies mamalia dari 205 spesies mamalia besar dan kecil

di Sumatera tercatat ada ditempat ini. Leuser merupakan habitat sebagian besar

fauna, mulai dari mamalia, burung, reptil, ampibia, ikan, dan invertebrata. Maka

dari itu, tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut TNGL sebagai laboratorium

alam yang menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya.

3.2.1 Flora

Vegetasi di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser termasuk flora

Sumatera dan erat hubungannya dengan flora di Semenanjung Malaysia, Pulau

Jawa, Pulau Kalimantan, dan bahkan Philipina. Formasi vegetasi alami di Taman

Nasional Gunung Leuser ditetapkan berdasarkan 5 kriteria, yaitu bioklimat (zona

klimatik ketinggian dengan berbagai formasi floristiknya). Tanaman-tanaman

menakjubkan seperti Rafflesia (bunga terbesar di dunia) dan Amorphophallus

(bunga tertinggi di dunia) adalah beberapa tanaman yang dilindungi di sana

seperti tumbuhan pencekik dan lain sebagainya.

Selain itu kawasan ini memiliki struktur geografis yang unik yaitu

gabungan antara pantai dan hutan hujan tropika serta terhampar mulai dari dataran

rendah hingga dataran tinggi, maka kita bisa berharap untuk menemukan berbagai

(25)

dan air terjun. Tentu saja di area-area wisata tersebut kita bisa melakukan

berbagai aktivitas yang menyenangkan, seperti arum jeram, berenang,

berpetualang, berendam, dan lain sebagainya. Semua itu membuat obyek wisata

Taman Nasional Gunung Leuser menjadi sangat menarik untuk dikunjungi.

Empat kriteria lainnya adalah hubungan antara komposisi floristik dengan

biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar dan tanah. Pembagian wilayah

tumbuh-tumbuhan di Taman Nasional Gunung Leuser dalam beberapa zona, yaitu: Zona

Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 mdpl). Zona Tropika

merupakan daerah berhutan lebat dengan jenis tegakan kayu yang berdiameter

besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter. Pohon atau tegakan kayu yang

terdapat pada Zona Tropika digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai

tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan lainnya. Zona

peralihan dari Zona Tropica ke Zona Colline dan Zona Sub-Montane ditandai

dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan berbeda jenis

tumbuhan dengan Zona Tropika karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi

suatu tempat maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan

makin banyak dijumpai jenis rotan berduri. Zona Montane (termasuk zona sub

montane,terletak 1000 – 1500 mdpl). Zona montane disebut juga dengan hutan

montane. Tegakan kayu yang terdapat pada Zona Montane tidak terlalu tinggi

hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Pada Zona Montane Tidak terdapat jenis

tumbuhan liana. Pada Zona ini terdapat Lumut yang banyak menutupi tegakan

kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup

(26)

pada zona ini tidak dijumpai lagi pohon-pohon tinggi. Hutan Ercacoid terdiri dari

lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan

beberapa pohon berbentuk payung (familia Ericacae) yang menjulang tersendiri

serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut.

3.2.2 Fauna

Taman Nasional Gunung Leuser merupakan habitat dari mamalia, reptil,

burung, ampibi, ikan, dan invertebrata. Kawasan ini juga merupakan habitat

burung dengan daftar spesies burung sebanyak 380 dengan 350 spesies di

antaranya merupakan hidup menetap di Taman Nasional Gunung Leuser.

Diprediksi bahwa 36 dari 50 jenis burung endemik di Sundaland, dapat juga

ditemukan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Dari 129 spesies mamalia

besar dan kecil di seluruh Sumatera, 65% di antaranya berada di kawasan taman

nasional ini

Beberapa mamalia penting (key species) yang terdapat di TNGL antara

lain orangutan (Pongo pygmaeus), serudung (Hylobates lar), siamang (Hylobates

syndactylus), kera (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestriana), kedih

(Presbytis thomasi), macan dahan (Neofalis nebulosa), beruang (Helarctos

melayanus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), badak Sumatera

(Dicerorhinus sumatrensis), buaya muara (Crocodylus porosus), dan kambing

hutan (Capricornis sumatrensis) Untuk spesies burung (Aves) di TNGL terdapat

paling sedikit 350 spesies yang sudah diidentifikasi. Jumlah ini mewakili 80%

spesies burung yang ada di Pulau Sumatera. Sedangkan untuk spesies Reptilia dan

(27)

spesies ikan yang khas terdapat di TNGL adalah ikan jurung yang hidup

dibeberapa sungai yang mengalir di KEL.

Kekayaan fauna di Taman Nasional Gunung Leuser yang banyak terdapat

di kawasan yang terletak di ketinggian 0-1000 mdpl. komposisi fauna mengalami

perubahan dan keberadaannya mulai terbatas terdapat di daerah yang lebih tinggi..

Taman Nasional Gunung Leuser dan kawasan di sekitarnya yang disebut sebagai

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan habitat dari gajah Sumatera

(Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae),

badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Orangutan Sumatera (Pongo abelii),

Siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), Owa (Hylobates lar), Kedih

(Presbytis thomasi). Satwa langka dan dilindungi yang terdapat di Taman

Nasional Gunung Leuser antara lain mawas/orangutan (Pongo abelii), siamang

(Hylobates syndactylus), gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), badak

Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis sumatrensis), harimau Sumatera (Panthera

tigris sumatrae), kambing hutan (Capricornis sumatraensis), rangkong (Buceros

bicornis), rusa sambar (Cervus unicolor), dan kucing hutan (Prionailurus

bengalensis sumatrana).

Diperkirakan ada sekitar 89 spesies langka dan dilindungi berada di

Taman Nasional Gunung Leuser, di antaranya:

 Orangutan sumatera (Pongo pygmaeus abelii)

 Badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis)

 Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae)

(28)

 Beruang madu (Helarctos malayanus)

 Rangkong papan (Buceros bicornis)

 Ajag (Cuon Alpinus)

 Siamang (Hylobates syndactylus).

Diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung di Taman Nasional Gunung Leuser, di

antaranya: rangkong badak (Buceros rhinoceros). Fauna reptilia dan amphibia

didominasi ular berbisa dan buaya (Crocodillus sp). Di sini terdapat ikan

jurung (Tor sp), ikan endemik Sungai Alas yang bisa mencapai panjang 1 meter.

Di sini juga terdapat kupu-kupu. Ekosistem memiliki keanekaragaman hayati

yang berlimpah dan saat ini terhitung langka.

3.3 Pengetahuan dan pandangan Penduduk Setempat mengenai Ekosistem Leuser

Tanah Rencong (Aceh) adalah tanah perjuangan, hidup dan mati kita di

sini. Hutan Leuser adalah tempat Para Pejuang Muslimin Aceh bergerilya hidup

mati mempertahankan Republik ini dari Penjajahan Belanda, maka harapan

penyelamatan hutan Leuser harus terus dipertahankan, sejalan dengan masih

adanya hutan tersisa di Leuser, walau harapan sulit, tapi harus tetap ditumbuhkan

kembali dibumi Serambi Mekah. Nama Leuser diambil dari bahasa gayo yang

berarti LEUSOH yang berarti ”yang diselubungi awan”, dalam bahasa lokal Gayo

kawasan Leuser ini juga disebut dengan ”Padang Sri Bulan” tempat semua hewan

(29)

Leuser, hal ini seperti perumpaan bagi "Shangrila" sebuah nama pegunungan di

daratan china yang diartikan dalam bahasa China yang berarti surga yang

diselubungi Awan, ini menunjukan sebuah indikator hutan tropis yang masih

terawat dengan baik, menurut mitos masyarakat Gayo.

Menurut Kepala Adat pak Saparudin (40 tahun) di desa ketambe menyatakan

“kawasan ekosistem leuser dulu hingga sekarang sangat banyak mengalami perubahan, baik dari segi SDA maupun SDMnya.”

Sehingga Ecotourism atau yang disebut ekowisata merupakan pariwisata

alternative yang menekankan perjalanan ke daerah-daerah yang masih asli untuk

memahami kebudayaan dan lingkungan alami sambil memelihara keseimbangan

ekosistem dan memberikan keutungan sosial ekonomis bagi penduduk setempat.

Mengutamakan kelestarian lingkungan, menikmati alam tanpa merusak

lingkungan dan berkontribusi terhadap perbaikan standar kesejahtraan sosial

ekonomi penduduk setempat merupakan inti pengertian ecotourism.15

Partisipasi masyarakat lokal didalam perencanaan, implementasi dan

pengelolaan proyek ekowisata adalah kunci dari kesuksesan proyek. Menurut

informan saya yang bernama Kamarudin (30 tahun) atau sapaan yang sering saya

ucapkan paman Udin merupakan Kepala Dusun Desa Jambur Laklak, beliau juga

salah satu pegawai di Wisma Cinta Alam milik pak Johan, dan juga sebagai

Guide. Paman udin menjelaskan bahwa

“untuk kesuksesan konservasi habitat, maka masyarakat lokal harus menjadi pemain utama dalam proyek pembangunan. Masyarakat harus mendapatkan keuntungan ekonomi secara signifikan dari proyek sebagai kompensasi dari kehilangan akses terhadap sumberdaya tersebut.”

(30)

Mengambil pelajaran dari kegagalan beberapa proyek ekowisata karena

kurangnya kontrol lokal dan menggabungkannya dengan beberapa contoh

keberhasilan program ekowisata seperti beberapa saran dalam perencanaan

ekowisata di masa akan datang adalah :

 Level Pedesaan : semua direncanakan dan diterapkan pada level desa,

walaupun proyek tersebut mempunyai cakupan yang lebih luas.

 Integrasi Lokal : Ekowisata yang murni harus mengintegrasikan

masyarakat lokal sebagai mitra sejajar dalam disain, pelaksanaan dan

setiap aspek kegiatan proyek.

 Kekuatan lokal yang sah dan berskala luas : Masyarakay harus

berpendidikan dan diperkuat dalam hal manajemen dan administrasi

pekerjaan. Proyek harus berbasis luas dengan derajat partisipasi yang luas

daripada hanya segelintir orang atau lembaga.

 Penggunaan sumberdaya yang tersedia : Penggunaan tenaga kerja,

pemandu dan bahan-bahan lokal yang tersedia.

 Cakupan atas skala yang memadai : rancangan dan pembangunan harus

pada skala yang tepat dengan kondisi kehidupan setempat, struktur sosial,

pandangan budaya, pola subsistem dan organisasi kemasyarakatan.

 Kelestarian / kesinambungan : Bekerja untuk kelestarian jangka panjang

dan berkesinambungan usaha-usaha konservasi.

 Kebutuhan lokal dan konservasi adalah hal utama : kebutuhan turis harus

merupakan prioritas kedua, setelah usaha konservasi sumberdaya termasuk

(31)

 Profesionalisme harus menjadi bagian : Melibatkan para ahli untuk ikut

merancang dan diikutsertakan dalam kegiatan praktis yang berhubungan

dengan tanggungjawab dan manfaat konservasi.

 Konservasi adalah strategi pembangunan yang hidup

 Dukungan pemerintah : Pemerintah dan juga kelompok konservasi

nasional harus aktif mendorong masyarakat lokal kedalam ekowisata.

 Investor dan operator yang berhati-hati : Investor asing harus didorong

untuk menanam modal pada proyek ekoturisme yang berbasis masyarakat

sebagai mitra sejajar dengan masyarakat lokal ataupun investor lokal.

Kegiatan penelitian dalam bidang ekowisata barangkali merupakan

kegiatan yang tidak ada habis-habisnya, dan perlu dilaksanakan pada berbagai

tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga ke monitoring. Melalui

penelitian akan diperoleh informasi yang diinginkan, sehingga dapat

dipergunakan sebagai dasar untuk melaksanakan suatu program. Penelitian juga

dapat membantu memformulasikan aturan dan kebijakan terhadap kegiatan

ekoturisme. Salah satu konsep yang ditawarkan dalam pengembangan ekoturisme

adalah menggunakan prinsip Participatory Action Research (PAR) yang

dikemukakan oleh Ryan dan Robinson (1990), secara umum mempunyai lima

prinsip penelitian yaitu :

1. Penelitian harus melibatkan masyarakat secara penuh dan aktif mulai dari

proses penelitian.

2. Penelitian harus melibatkan seluruh komponen masyarakat secara penuh:

(32)

3. Proses penelitian dapat membuat sadar masyarakat sebagai pemilik

sumberdaya dan menggerakkan untuk membangun kepercayaan diri.

4. Metode penelitian yang digunakan harus teliti dan menggunakan analisis

autentik berdasarkan realitas sosial.

5. Peneliti adalah orang yang mempunyai komitmen dan belajar dari proses

penelitian

Sedangkan kegiatan pendidikan ekowisata pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu

pendidikan untuk para ekoturis dan pendidikan bagi para penyelenggara kegiatan

ekowisata. Aspek pendidikan yang akan diterima oleh para ekoturis sangat

bergantung dari kualitas program yang diikutinya. Program yang diikuti para

ekoturis merupakan akumulasi pengetahuan para stakeholder, khususnya

penyelengga (operator) turisme. Oleh karena itu pendidikan bagi penyelenggara

kegiatan ekoturisme merupakan hal yang sangat penting (Ani Mardiastuti, 2000).

Kegiatan pendidikan umum diperlukan oleh semua stakeholder yang

terlibat dalam kegiatan ekoturisme, yaitu pemerintah, masyarakat, LSM,

pengusaha, lembaga donor, biro perjalanan, tour operator, tour guide, pelaksana

home stay, pembuat dan pedagang cinderamata, serta peneliti. Pendidikan ini

diperlukan untuk menyamakan visi dan pemahaman tentang konsep ekoturisme

diantara para stakeholders, pendidikan khusus ditujukan kepada stakeholder

tertentu untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, atau keterampilan dari

stakeholder tersebut (Ani Mardiastuti, 2000). Pelestarian Kawasan ini diharapkan

(33)

penyangga kehidupan manusia dalam bentuk udara dan air bersih. Oleh sebab itu,

penyelamatan KEL adalah pertempuran terakhir untuk menyelamatkan hutan.

3.4 Kearifan Tradisional Masyarakat Ketambe dalam Melestarikan Ekosistem Leuser

Masyarakat Gayo adalah salah satu suku asli yang mendiami provinsi

Aceh, khususnya berada di dataran tinggi Gayo (Kabupaten Aceh Tengah, Bener

Meriah dan Gayo Lues dan Aceh Tenggara) dan menempati posisi kedua sebagai

suku asli terbesar di Aceh. Berdasar perkiraan bahasa Gayo digunakan sekitar

260.000 orang (Eides, 2005: 3; Eades dan Hajek, 2006: 107). Dalam Grammar of

Gayo: A Language of Aceh Sumatera dikemukakan bahwa bahasa Gayo termasuk

keluarga bahasa Austronesia (Nias, Mentawai, Enggano, dan Batak) dan sebagian

besar kosa katanya atau sekitar 40 persen secara leksikal berasal dari bahasa

Melayu (Eades, 2005: 5; Melalatoa, 1982: 56).

Masyarakat Gayo (urang Gayo)mempunyai hubungan genealogis dengan

orang Melayu Tua. Dalam Aceh Sepanjang Abad, Said (1985: 76) mengemukakan

bahwa nenek moyang orang Gayo berasal dari Melayu Tua yang menyingkir dari

pesisir pantai ke pedalaman disebabkan kedatangan Melayu Muda dari Indo-Cina

dan Kamboja pada tahun 300 SM. Mereka menetap di sepanjang pantai utara dan

timur Aceh dan di sepanjang aliran sungai Jambo Aye, Peureulak, dan Kuala

Simpang.

Seorang pemakalah Seminar Temu Budaya Nusantara pada Pekan

(34)

yang berasal dari Campa tiba di Aceh, kawasan ini didiami suku-suku lain dari

Austronesia, misalnya orang Gayo, di samping bangsa Mantir (Mente) yang

tergolong dalam rumpun Mon Khmer” (Ibrahim, 2007: 8). Hikayat Raja-Raja

Pasai (ditulis tahun 1814 M.) merupakan literatur tertua yang mendeskripsikan

pola hidup sekelompok orang yang mendiami dataran tinggi ini (diyakini sebagai

leluhur suku Gayo) dan telah mengembangkan pola bercocok tanam untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya (Bowen, 1993: 54).

Berdasar narasi yang berkembang luas di kalangan masyarakat Gayo

(kekeberen), kerajaan pertama dikawasan tersebut didirikan Genali yang datang

dari Rum (Turki) sekitar abad X Masehi (Melalatoa, 1982: Gayatri, 2008: 90).

Menurut versi ini, Raja Linge sudah berhubungan dengan raja Johor melalui

pengiriman hadiah dan utusan, bahkan raja Linge menikahi putri raja Johor.

Rombongan pengiring putri kerajaan Johor yang terdiri dari 30 orang, akhirnya

tinggal di Gayo dan diberi gelar Cik, Kejurun, Reje dan Penghulu. Dengan

bertambahnya penduduk, kerajaan Linge dipecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil,

yaitu kerajaan Bukit di sekitar Danau Laut Tawar, kerajaan Serule, kerajaan Syiah

Utama, bahkan meluas hingga daerah Batak Karo di Sumatera Utara dengan

kerajaan Sibayak Lingga, dan di Sumatera Barat dengan kerajaan Wi Apuk dan

Bedagai (Gayatri, Ed., 2008: 90).

Setelah berdirinya kerajaan Islam Pereulak dan terjadinya serbuan

kerajaan Sriwijaya pada tahun 986 M, adik Sultan Peureulak yang bernama Malik

Ishak bersama pelarian politik lainnya yang berjumlah sekitar 300 orang menetap

(35)

Tengah yang sekarang), yang kemudian bernama Kerajaan Malik Ishaq (Syukri,

2007: 91; Ibrahim, 2007: 1). Kajian mengenai eksistensi masyarakat Gayo telah

dimulai sejak awal abad ke-20 oleh kolonial Belanda sebagai bagian dari strategi

militer melumpuhkan perjuangan rakyat Aceh. Orientalis kenamaan dan sekaligus

penasehat kebijakan politik Belanda, C. S. Hourgrounje dipandang sebagai

peletak kajian mengenai suku Gayo (Melalatoa, 1982). Tulisan Hourgrounje

mengenai masyarakat Gayo dipublikasikan pertama kali tahun 1906 berjudul Het

Gayoland en Zijne Bewoners, yang telah dialih-bahasakan menjadi Tanoh Gayo

dan Penduduknya (1996). Peneliti lain mengenai masyarakat Gayo di Kabupaten

Aceh Tengah juga dilakukan Bowen (1984; 1991; 1993; 2003), yang dimulai dari

studi penyelesaian disertasi antropologinya di Universitas Chicago pada

penghujung 70-an dan berlanjut sampai awal tahun 80-an.

Penelitian mengenai masyarakat Gayo juga dilakukan seorang putra

daerah, Junus Melalatoa. Pada tahun 70-an, Melalatoa adalah mahasiswa

antropologi Universitas Indonesia dan setelah menyelesaikan studinya diangkat

sebagai dosen dan guru besar etnologi di almamaternya. Melalatoa terlibat dalam

penelitian dan pendokumentasian kebudayaan Gayo yang dibiayai Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, yang kemudian dipublikasikan dalam sejumlah

buku, di antaranya: Kamus Bahasa Gayo-Indonesia (1966); Kesenian Didong dan

Perubahan Masyarakat di Gayo (1971); Sastra Lisan Masyarakat Gayo (1980);

Kebudayaan Gayo (1982); dan disertasi Pseudo-Moiety Gayo: Satu Analisa

tentang Hubungan Sosial Menurut Kebudayaan Gayo (1983). Karya-karya

(36)

berbagai dimensi budaya Gayo pada masa-masa selanjutnya.

Dikalangan masyarakat Gayo sendiri, terdapat beberapa penulis yang

karyanya dikenal luas, diantaranya adalah A.R. Hakim Aman Pinan dan Drs. H.

Mahmud Ibrahim. Pinan adalah pegawai departemen pendidikan dan kebudayaan

sejak 1948 dan menjabat sebagai sekretaris Lembaga Kebudayaan Aceh (LKA)

sejak tahun 1959. Aman Pinan dikenal sebagai tokoh adat Gayo dan dipercaya

sebagai ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Kabupaten Aceh

Tengah sejak tahun 1991 sampai meninggalnya tahun 2004. Di antara karya yang

telah dihasilkan Aman Pinan adalah: Daur Hidup Gayo (1998); Hakikat Nilai

Budaya Gayo (1998); 1001 Pepatah-Petitih Gayo (1993); Asal Linge Awal Serule

(2002). Bersama Mahmud Ibrahim, Aman Pinan merampungkan seri buku

mengenai Syariat dan Adat Istiadat Gayo sebanyak tiga jilid (Ibrahim dan Pinan,

2002; 2003; 2010). Sejumlah penelitian dalam bentuk skripsi, tesis, dan disertasi

juga dalam beberapa tahun terakhir mulai menunjukkan perhatian mengenai

aspek-aspek kearifan masyarakat setempat, meskipun lebih banyak lagi aspek

kearifan yang belum terungkap dan sebahagian diantaranya hilang tergerus

perkembangan zaman.

3.4.1 Kearifan Lokal Masyarakat Gayo

Sebagai entitas sosial yang dinamis, masyarakat Gayo mengkonstruksi

kearifan lokal sebagai pandangan-dunia (world-view) dalam memaknai realitas

(Bowen, 1991: 4). Kearifan lokal yang merupakan representasi budaya sebuah

komunitas diartikulasikan baik dalam wujud kasat mata (tangible) maupun yang

(37)

terdapat lima kategori kearifan lokal: pertama, kearifan yang berupa pandangan

hidup (filosofi); kedua kearifan berupa sikap hidup sosial, nasihat dan iktibar yang

diungkap dalam bentuk pepatah, perumpamaan, pantun syair atau cerita rakyat

(folklor); ketiga, kearifan dalam seremoni atau upacara adat; keempat, kearifan

berupa prinsip, norma, dan tata aturan yang berwujud menjadi sistem sosial; dan

kelima, kearifan berupa kebiasaan, prilaku sehari-hari dalam pergaulan sosial

(Rasyidin, Siregar dan Batubara, dalam Afif, Bahri dan Saeful, Ed., 2009: 236).

Dalam konteks masyarakat Gayo, kearifan lokalnya terangkum dalam konsep

¨ed¨et atau adat, yang meliputi praktik, norma, dan tuntutan kehidupan sosial yang

bersumber dari pengalaman yang telah melalui islamisasi (Bowen, 2003: 29).

Wujud kearifan lokal yang terdapat dalam masyarakat Gayo meliputi bahasa

Gayo, sistem tata kelola pemerintahan (sarakopat), norma bermasyarakat

(sumang), ekspresi estetik (didong), konsep nilai dasar budaya Gayo, dan lain-lain

(Ibrahim dan Pinan, 2010; Melalatoa, 1982).

Dimensi kearifan lokal dalam masyarakat Gayo terangkum dalam nilai

dasar budaya yang merepresentasikan filosofi, pandangan hidup dan karakter ideal

yang hendak di capai. Merujuk klasifikasi Melalatoa terdapat tujuh nilai budaya

Gayo, dimana terdapat satu nilai puncak yang merupakan representasi kearifan

lokal yang berbasis nilai-nilai Islami. Sistem nilai budaya Gayo menempatkan

harga diri (mukemel) sebagai nilai utama. Untuk mencapai tingkat harga diri

tersebut, seseorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai

penunjang: tertip (tertib/patuh pada peraturan), setie (komitmen),

(38)

(demokratis), alang-tulung (empatik). Untuk mewujudkan berkembangnya

ke-tujuh nilai penunjang perlu nilai penggerak, yang menurut Melalatoa (1982)

disebut semangat kompetitif melakukan kebaikan, bersikekemelen. Berikut

dikemukakan penjelasan singkat mengenai sistem nilai ini.

Mukemel

Konsep mukemel berkenaan dengan harga diri. Istiah kemel pada dasarnya berarti

malu. Dalam aplikasinya malu dipahami dalam makna yang lebih luas, sehingga

mencakup makna harga diri atau iffah dalam konsep studi akhlak. Konsep ini

merujuk pada kemampuan menjaga diri agar tidak terjerumus pada pikiran dan

tindakan yang dapat menyebabkan hilangnya harga diri. Seorang yang

mempunyai sikap mukemel konsisten mempertahankan harga diri dengan

mencegah diri atau keluarganya terjebak pada perbuatan-perbuatan tercela atau

bertentangan dengan tuntunan agama (syariat) dan norma kebiasaan (adat).

Tertib

Kata ini berasal dari bahasa Arab, tartib, artinya teratur atau berurutan. Dalam

konsep fiqh, istilah tertib berkenaan dengan syarat dan rukun dalam pelaksanaan

ibadah, di mana tidak terpenuhinya syarat ini dapat membatalkan atau paling tidak

mengurangi kesempurnaan pelaksanaan ibadah. Dalam konteks masyarakat Gayo,

tertib berkenaan dengan sikap hati-hati sehingga tindakan dan perlakukan

dilakukan dengan memperhatikan konteks. Salah satu ungkapan bahasa Gayo

menyatakan, tertib bermejelis, umet bermulie (artinya, keteraturan dalam

kehidupan bersama merupakan prasyarat mewujudkan kemuliaan umat).

(39)

ditinjau dari keahlian, minat, kecenderungan, pengalaman dan perbedaan usia

diperlukan tata tertib yang dapat mengatur terwujudnya harmonisasi sosial.

Setie

Setie artinya mempunyai komitmen, teguh pendirian atau setia. Kata ini merujuk

pada sikap yang tidak mudah menyerah demi memperjuangkan kebenaran yang

diyakini. Komitmen bersama yang disepakati dalam musyawarah misalnya,

memerlukan keteguhan sikap dalam mewujudkannya. Dalam ungkapan Gayo

disebutkan, setie murip, gemasih papa, yang menegaskan kesetiaan pada

komitmen bersama merupakan kunci penyelesaian seberat apapun tantangan yang

ada. Dalam ungkapan lainnya disebutkan, ike jema musara ate, ungke terasa gule.

Ike gere musara ate, bawal terasa bangke, ungkapan ini bermakna, kalau hati

sudah sepakat sepahit apapun tantangan yang menghadang mudah diselesaikan,

sebaliknya apabila tidak terdapat komitmen bersama persoalan kecil dapat

memicu munculnya masalah baru yang lebih besar.

Semayang-gemasih

Nilai budaya Gayo dalam konsep semayang-gemasih, artinya kasih sayang.

Konsep ini berkaitan dengan prilaku terpuji dalam Islam, bahkan dua nama Allah

yang baik (asmaul husna) dalam al-Qur’an adalah Maha Pengasih (al-Rahman)

dan Maha Penyayang (al-Rahim). Dalam ungkapan bahasa Gayo, nilai

semayang-gemasih ini tercantum dalam pribahasa; kasih enti lanih, sayang enti lelang, yang

berkaitan dengan pentingnya kemampuan bertindak proporsional dalam berkasih

(40)

terlalu memanjakan anak atau memberi disertai sikap merendahkan, pamer atau

penyesalan tidak akan mencapai taraf kesempurnaan kasih sayang (Ibrahim dan

Pinan, 2010: 28).

Mutentu

Nilai budaya mutentu berarti rajin, ulet, bekerja keras atau melaksanakan sesuatu

sesuai aturan (rapi). Nilai ini memberi penekanan pada pembentukan sikap tidak

terburu-buru atau ceroboh, tetapi berdasarkan perenungan dan perencanaan yang

matang. Sifat ini merupakan indikator sangat penting dalam menilai karakter dan

mempengaruhi kepercayaan orang lain. Seseorang yang terlanjur melakukan

perbuatan yang mencederai kepercayaan yang diberikan kepadanya akan cacat

status sosialnya dalam pergaulan.

Amanah

Amanah berasal dari bahasa Arab, yang artinya terpercaya, jujur dan

bertanggungjawab. Amanah berkaitan dengan kesesuaian antara ucapan dan

perbuatan, keselarasan antara idealitas dan realitas. Sifat amanah dibuktikan oleh

kemampuan seseorang menunaikan tugas atau kepercayaan yang diembankan

secara bertanggungjawab, persesuaian ucapan dan perbuatan, menegakkan

keadilan, ikhlas dan jujur, mengendalikan hawa nafsu (Ibrahim dan Pinan, 2010).

Genap-Mupakat

Genap-mupakat atau keramat-mupakat merupakan nilai budaya Gayo yang

berkaitan dengan perwujudan harmoni sosial. Genap-mupakat merupakan

pengejewantahan prinsip musyawarah untuk mencari solusi terbaik. Hurgronje

(41)

orang republik yang bebas dan berani mengungkapkan pendapat tanpa terlalu

terikat hierarki kekuasaan, sebagaimana berlaku dalam masyarakat feodal. Dalam

perspektif masyarakat Gayo, penggunaan musyawarah merupakan bagian penting

yang harus dipertimbangkan dalam memutuskan persoalan-persoalan yang

menyangkut hajat hidup publik.

Alang-Tulung

Nilai budaya Gayo lainnya adalah sikap tolong-menolong, sebagaimana tercermin

dalam ungkapan alang-tolong berat-berbantu. Nilai ini menegaskan eksistensi

manusia sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan interaksi sosial yang

memungkinan proses memberi dan menerima (give and take, bukan take and give

sebagaimana sering disebut) sebagai perekat kohesi sosial.

Bersikekemelen

Untuk mengaktualisasi sitim nilai-nilai budaya Gayo, Melalatoa (1982)

mengungkapkan kemestian adanya nilai penggerak, bersikekemelen atau sikap

kompetitif dalam mengamalkan ke tujuh nilai penunjang, dalam bahasa agama

dikenal dengan prinsip berlomba-lomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat.

Melalui nilai bersikekemelen, nilai-nilai lain akan lebih kokoh keberadaannya.

Prinsip perlombaan dalam melakukan kebaikan ini mencakup pada upaya untuk

meningkatkan martabat kehidupan, misalnya dalam pengembangan ilmu

pengetahuan, perbaikan taraf ekonomi dan bahkan dalam mengamalkan ajaran

(42)

BAB IV

PENGEMBANGAN USAHA EKOWISATA EKOSISTEM LEUSER DI DESA KETAMBE

4.1 PENGINAPAN

Sebuah akomodasi adalah sarana untuk menyediakan jasa pelayanan

penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan makan dan minum serta

jasa lainnya. Gust House atau Penginapan Sejenis akomodasi yang dapat

dimiliki oleh suatu perusahaan atau instansi yang diperuntukkan bagi para

tamu yang menginap dan mendapatkan pelayanan makan dan minum. Dalam

pengertian aslinya, guest house merupakan akomodasi yang mempunyai

fasilitas sederhana. Daftar Penginapan yang ada di desa Ketambe :

4.1.1 PAK MUS

Gambar 3. Penginapan Pak Mus

Penginapan Pak Mus Guest House berada di Jl. Kutacane - Blangkejeren Bale Lutu, Kutacane. Nama pemiliknya adalah Dan manasyeh amad penginapan

Pak Mus memiliki jumlah kamar 13, dan penginapan ini pertama kali kita jumpai

(43)

pemesanan dapat menghubungi Rega: +6281290990804, Mus +6282277500507 atau mengirimkan email : pakmusketambe@gmail.com .

4.1.2 SADAR WISATA

Gambar 4. Penginapan Sadar Wisata

Penginapan Sadar Wisata, berada di Jalan Belangkejeren KM 32, Ketambe,

Kutacane, Aceh Tenggara 24652. Nama pemiliknya adalah Bintang berayun, penginapan sasadr wisata memiliki jumlah kamar 7. Untuk pemesanan dapat

menghubungi nomor 0852-7065-2242. 4.1.3 FRIENDSHIP

Gambar

Gambar 3. Penginapan Pak Mus
Gambar 4. Penginapan Sadar Wisata
Gambar 6. Penginapan Thousand Hill
Gambar 7. Penginapan Pondok Wisata
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Model P engelolaan Perikanan Melalui Penentuan Efektivitas dan Zonasi Berbasis ekosistem di kawasan konservasi Aru

Tingginya kekayaan jenis herba di hutan sekunder kawasan Ekosistem Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara diduga disebabkan berbagai faktor lingkungan yang cukup

Muhammad Idaham : Dampak Penetapan Batas Kawasan Ekosistem Leuser Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam..., 2004 USU e-Repository © 2008... Muhammad Idaham : Dampak Penetapan

Skripsi ini berjudul “Aktivitas Kuau Raja ( Argusianus argus ) pada Arena Kawin (Mating Ring) di Stasiun Penelitian Soraya Kawasan Ekosistem Leuser Kota Subulussalam”,

Strategi alternatif pengelolaan ekowisata mangrove yang diprioritaskan di kawasan ekowisata mangrove Desa Lubuk Kertang adalah pertama meningkatkan usaha pengelolaan

Berdasarkan aktivitas tersebut, aktivitas yang paling dominan dilakukan oleh Pongo abelii di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Ketambe Kabupaten Aceh Tenggara

Pada transek 3 pada penelitian yang dilakukan di kawasan Restorasi Soraya Ekosistem Leuser memiliki cadangan karbon yang tinggi pada tumbuhan bawah karena pada daerah ini relatif

Tujuan penelitian ini, yaitu mengetahui struktur komunitas mangrove dan potensi ekowisata dalam upaya konservasi di Kawasan Ekosistem Esensial KEE Muara Kali Ijo.. Bahan yang digunakan