• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak dan harta Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2974 (Studi pada Pengadilan Agama Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akibat Hukum Perceraian Terhadap Anak dan harta Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2974 (Studi pada Pengadilan Agama Medan)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN

A. Pengertian Perkawinan

Pasal 1 UUPK memberikan definisi Bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia) dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 (lima) Unsur dalam perkawinan, yaitu:

1. Ikatan lhair batin

2. Antara seorang pria dengan seorang wanita 3. Sebagai suami-istri

4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.7

Perkawinan merupakan perikatan yang suci, dan salah satu janji suci antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga bahagia. Perkawinan merupakan suatu peristiwa dalam kehidupan orang yang sangat mempengaruhi status hukum orang tersebut. KUHPerdata tidak memberikan definisi mengenai pengertian perkawinan.8 suatu “ikatan bathin” adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, walau tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan

7

Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-Harta benda dalam Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo, 2016) , hlm. 42.

8

(2)

batin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.9Digunakan kata “seorang pria dan wanita” mengadung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antar jenis kelamin yang

berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu itu dilegalkan oleh beberapa negara barat. Digunakan ungkapan “sebagai suami istri” mengandung arti bahwa Perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” dalam defenisi diatas disebutkan bahwa tujuan perkawinan ialah

membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal yang menafikan sekaligus perkawinan temporer sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut‟ah dan perkawinan tahlil. Berdasarkan agama Islam menunjukkan bahwa perkawinan itu adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.10 Menurut Pasal 26 KUHPerdata dinyatakan UU memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata, dan dalam Pasal 81 KUHPerdata dinyatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh di selenggarakan, sebelum kedua belah pihak membuktikan bahwa perkawinan dihadapan pengawai catatan sipil telah berlangsung.11 Dalam Pasal 2 KHI dinyatakan bahwa perkawinan adalah pernikahan yang akadnya sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, melakukan perbuatan

9

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1976) , hlm. 14.

10

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Perdana Media, 2007) , hlm. 40.

11

(3)

ibadah berarti melaksanakan ajaran agama12. Selanjutnya dalam Pasal 3 KHI ditegaskan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum Islam (Pasal 4 KHI).13 Perkawinan dalam bahasa arab di sebut dengan al-nikah yang bermakna al-wathi dan al-dammu wa-al-jam‟u,

atau ibarat an al-alwath wa al-aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad, beranjak dari makna etimologi inilah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis.14

Definisi perkawinan menurut para ulama-ulama fikih sebagai berikut:

a. Menurut Wahbah al-Zuhaily, Perkawinan/akad adalah yang telah di tetapkan oleh syari‟ agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan

istimta‟ dengan seorang wanita atau sebaliknya.

b. Menurut Hanafiah, „nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut‟ah untuk beristimta‟ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar‟i.

c. Menuurut Hanabalih nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.

d. Menurut al-Malibari mendefiniskan perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah atau tazwij.

e. Menurut Muhammad abu zahrah di dalam kitabnya ahwal al-syakhsiyyah,mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban diantara keduanya.15

12

Rosnidar Sembiring, Op.cit., hlm. 43. 13

Libertus Jehani, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, (Jakarta barat: ForumSahabat, 2008) , hlm. 63.

14

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam di Indonesia studi Kristis Perkembangan hukum Islam dari fikh, UU NO. 1 tahun 1997 sampai KHI, (jakarta: Kencana, 2006) , hlm. 38.

15

(4)

Definisi beberapa pakar Indonesia sebagai berikut:

1) Menurut Sajuti Thalib, Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih mengasihi, tenteram dan bahagia.16

2) Hazairin menyatakan bahwa inti dari sebuah perkawinan adalah hubungan seksual. Menurutnya tidak ada nikah (perkawinan) bila tidak ada hubungan seksual.17

3) Mahmud Yunus mendefiniskan perkawinan sebagai hubungan seksual. Sedangkan Ibrahim Hosein mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.18

B. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Terputusnya suatu perkawinan menurut UUPK terdapat dalam Pasal 38 dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena:

1. Kematian 2. Perceraian

3. Atas keputusan pengadilan

16

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1995) , hlm. 20.

17

Hazairin Dalam buku Amiur Nuruddin, dkk, Op.cit, hlm. 40. 18

(5)

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian

Kematian merupakan suatu peristiwa alam yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Kematian ini tentu menimbulkan akibat hukum. Kematian dalam hal perkawinan merupakan suatu peristiwa meninggalnya salah satu pihak atau kedua pihak yang menjadi subjek hukum dalam perkawinan. Jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia dengan sendirinya perkawinan itu terputus, pihak yang masih hidup diperbolehkan kawin lagi, apabila segala persyaratan yang telah di tentukan oleh ketentuan yang berlaku di penuhi sebagaimana mestinya. UUPK tidak menyebutkan berapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalkan seseorang itu, melihat KUHPerdata Pasal 493 ada dinyatakan bahwa apabila selain terjadinya meninggalkan tempat tinggal dengan sengaja, seorang diantara suami istri selama genap sepuluh tahun tidak hadir di tempat tinggalnya, sedangkan kabar tentang hidup atau matinya pun tidak pernah diperolehnya, maka istri atau suami yang ditinggalkannya atas izin dari Pengadilan Negeri tempat tinggal suami istri bersama berhak memanggil pihak yang tidak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum berturut-turut dengan cara seperti yang di atur dalam Pasal 467 dan 468.19 Selanjutnya menurut Lili Rasjidi, yang dimaksudkan dengan Pasal 467 KUHPerdata yang disebutkan oleh pasal tersebut diatas ialah ketentuan yang berkenaan dengan di anggap meninggalnya seseorang dimana antara lain disyaratkan paling tidak ada kabar beritanya untuk masa lima tahun atau lebih, yakni jangka terakhir terdengar berita orang masih hidup, pengadilan akan

19

(6)

memanggil orang yang mengatakan hal ersebut melalui sebaran umum untuk menghadap dalam waktu tiga bulan, panggilan ini akan diulangi tiga kali jika panggilan yang pertama dan kedua tidak mendapatkan sambutan maka setelah itu barulah pengadilan akan membuat suatu ketetapan tentang telah dianggapnya meninggalnya orang itu.20 Dengan putusnya perkawinan karena kematian maka terbukanya hak mewarisi antara suami dan istri, suami memperoleh bagian dari harta warisan istrinya, tidak mungkin terhalang oleh siapa pun dan tidak pernah menghalangi ahli waris lain, akan tetapi bagian suami bisa berbeda antara ada anak dari istri atau tidak ada anak. Jika istrinya mempunyai anak, maka suami mendapat bagian warisan ¼ dan bila istrinya tidak mempunyai anak maka suami mendapat ½ dari harta warisan. Sedangkan istri tidak pernah terhalang mendapat harta warisan dan tidak pernah menghalangi orang lain untuk mendapat harta warisan akan tetapi bagian warisan istri bisa berkurang menjadi 1/8 karena ada anak dari suami dan jika tidak ada anak dari suaminya, maka istri mendapat ¼.21 Apabila perkawinan putus karena kematian Pasal 39 (a) PP Perkawinan ketetapan ini berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan tidak hamil. Lain halnya bila istri yang ditinggal dalam keadaan hamil waktu tunggunya adalah sampai melahirkan.22

2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

20

Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian dimalaysia dan Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982) , hlm 291.

21

Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012) , hlm. 88.

22

(7)

Perceraian adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri.23 Dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga sering kali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan istri tidak lagi merasa tenang dan tentram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling mencintai satu sama lain yang berakibat akan terjadinya perceraian.24

Perceraian berakibat hukum putusnya perkawinan. Abdul Ghofur Anshori menjelaskan bahwa putusnya perkawinan berarti berakhirnya hubungan suami istri. Putusnya perkawinan itu tergantung kepada siapa yang menginginkannya. Dalam hal ini ada 3 penjelasan bahwa :

1) Putusannya Perkawinan atas kehendak suami karena adanya alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu Perceraian dalam bentuk ini disebut talak.

2) Putusnya Perkawinan atas kehendak istri karena istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan. Sedangkan suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang di sampaikan istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu. Yang diartikan sebagai “khulu”

3) Putusnya Perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu suami dan istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dijalankan. Yang diartikan sebagai

“ fasakh”.25

Berdasarkan hal tersebut terdapat tiga hal yang memerlukan penjelasan yaitu :

a.) Tidak hadirnya salah satu pihak.

Apabila salah satu pihak tidak hadir baik suami maupun istri maka terdapat beberapa ketentuan yang mengatur lebih lanjut yaitu :

(8)

(1) Berdasarkan Pasal 493 KUHPerdata yang sudah di terangkan di atas demi izin dari pengadilan negeri tempat tinggal suami istri bersama, bentuk memanggil tak hadir tadi dengan tiga kali panggilan umum, berturut-turut dengan cara seperti teratur dalam Pasal 467 dan 468 KUHPerdata.

(2) Kecuali ketentuan tersebut di atas terdapat ketentuan lain di dalam pasal berikut yang pada prinsipnya menegaskan apabila setelah panggilan yang ketiga kali, tidak datang menghadap baik suami istri tidak hadir, maupun, yang membuktikan tentang masih hidupnya, maka Pengadilan Negeri boleh memberi izin kepada istri atau suami yang ditinggalkan, untuk kawin dengan orang lain. Ketentuan-ketentuan Pasal 469 berlaku dalam hal ini.

(3) Didalam Pasal 495 KUHPerdata dinyatakan apabila setelah pemberian izin ini, namun sebelum perkawinan berlangsung, suami istri tidak hadir kiranya pulang kembali, atau seorang lain datang membuktikan tentang masih hidupnya, maka izin yang telah diberikan, demi hukum tak berlaku lagi.26

Didalam Pasal 209 KUHPerdata menyebutkan alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah

1. Zinah

2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad jahat

26

(9)

3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atas dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. 4. Melukai berat atau penganiaya, dilakukan oleh suami atau istri terhadap

istri atau suaminya, yang demikian, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan.27

3. Putusnya Perkawinan Atas Keputusan Pengadilan

Putusnya perkawinan atas keputusan pengadilan juga bisa terjadi karena adanya permohonan dari salah satu pihak suami atau istri atau para anggota keluarga. Putusan pengadilan sangat penting karena hakim sesuai dengan kewenangan memiliki apa yang dikonsepsikan sebagai rule of recognition yaitu kaidah yang menetapkan kaidah perilaku mana yang di dalam masyarakat hukum tertentu harus dipatuhi.28 Putusan pengadilan menurut UUPK adalah sumber hukum terpenting setelah peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UUPK dan peraturan pelaksanannya yang memuat ketentuan imperatif bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, ini berarti bahwa tidak ada perceraian jika tidak ada putusan pengadilan. Sebaliknya tidak ada putusan pengadilan jika tidak ada perkara perceraian.

Putusan pengadilan mengenai perceraian yang diharuskan oleh UUPK dapat menjadi yurisprudensi dalam arti jika semua hakim di pengadilan menggunakan metode penafsiran yang sama terhadap suatu norma-norma hukum

27

Sudarso, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005) , hlm. 148-155.

28

(10)

perceraian dalam peraturan perundang-undangan dan menghasilkan kejelasan yang sama, serta diterapkan secara terus-menerus dan teratur terhadap perkara atau kasus hukum perceraian yang serupa maka terbentuklah hukum perceraian yang berlaku umum yang harus ditaati oleh setiap orang, jika perlu dapat digunakan paksaan oleh alat-alat negara supaya hukum perceraian yang dibentuk oleh hakim di pengadilan tersebut betul-betul ditaati.29

Perceraian bagi pemeluk agama Islam proses dan penyelesaiannya dilakukan di depan Pengadilan Agama, sedangkan bagi pemeluk agama non Islam proses dan penyelesaianya dilakukan di depan Pengadilan Negeri. Walaupun perceraian itu adalah urusan pribadi baik atas kehendak bersama maupun kehendak salah satu pihak yang seharusnya tidak perlu adanya campur tangan dari pemerintah, namun demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum maka perceraian harus melalui lembaga Pengadilan.30 Sebenarnya secara teori hampir tidak ada perbedaan antara perceraian dengan putusnya perkawinan atas dasar putusan pengadilan sebab perceraian sendiri harus berdasarkan putusan pengadilan juga, letak perbedaannya ada pada dasar bahwa :

a. Alasan yang dipergunakan untuk mencapai putusan pengadilan tersebut, disebut pada penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUPK. Dimana untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

29

Ibid.

30

(11)

b. Perceraian itu merupakan proses yang memperlihatkan adanya perselisihan antara pihak sepihak dari pihak suami atau istri.31

Tetapi pendapat di atas ditinjau dari segi teoritisnya, sehingga dalam praktek sangat sulit membedakannya, ada dua alasan lagi yang tidak disebut dalam pasal UUPK yaitu:

1.) Karena tidak sanggup memberi nafkah

Apabila suami tidak mampu mencukupi nafkah istri dapat meminta kepada pengadilan agar perkawinannya dapat batal atau putus.

2.) Alasan yang bener-bener murni putusan pengadilan adalah karena suami atau istri hilang tidak tahu kemana perginya.32

Tapi dalam hal ini harus dibedakan dengan alasan meninggalkan tempat kediaman bersama selama dua tahun tanpa persetujuan izin dari salah satu pihak. Dalam hal hilang, atau perginya dari tempat kediaman diketahui dan atas persetujuan bersama antara suami dan istri. Tujuan tersebut diketahui karena sebab sesuatu seperti kecelakaan atau oleh karena bencana alam, tidak lagi diketahui keberadaannya sekalipun telah diadakan perceraian. Ukuran waktu dalam UUPK hal itu tidak ada diatur. Tapi sekedar orentasi hukum, hukum Islam pada umumnya berpegang pada jangka waktu empat tahun. Akan tetapi dalam hal tersebut istri dapat meminta putusan dari pengadilan bahwa perkawinannya telah putus dengan suaminya berdasarkan keadaan hilangnya suami.33

31

M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 179. 32

Ibid.

33

(12)

C. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan

1. Akibat Putusnya Perkawinan Terhadap Suami dan istri.

Perkawinan adalah suatu perjanjian yang menimbulkan perikatan antara suami dan istri, yang menempatkan suami dan istri dalam kedudukan yang seimbang dan mengandung hak dan kewajiban yang seimbang pula bagi kedua belah pihak, penting dipahami bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian dalam perkawinan itu adalah perikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki yang kemudian berstatus sebagai suami dan seorang perempuan yang kemudian berstatus sebagai istri, yang secara logis bertujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang harmonis dan bahagia dalam nuansa penuh kasih dan sayang pada hakikatnya adalah kasih dan sayang dari Tuhan yang Maha pengasih dan penyayang.

Perjanjian yang menimbulkan hubungan terhadap suami dan istri dalam arti hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau tidak untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.34 Hal tersebut di atur di dalam UUPK Pasal 29 yang menyebutkan bahwa :

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan penjanjian tertulis yang disahkan oleh pengawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

34

(13)

b. Perjanjian tersebut tidak dapat di sahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.

c. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. d. Selama perkawinan belangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Penjelasan diatas merupakan bahwa perjanjian itu dilaksanakan sebelum perkawinan itu dilaksanakan sebelum perkawinan maka ketika sebelum berlangsungnya perkawinan pihak suami dan istri membuat suatu perjanjian atau pihak suami istri tidak membuat perjanjian tidak rmasalah karena perjanjian itu atas kemauan suami dan istri. Dari bunyi pasal ini sebenarnya tidak begitu jelas maksud dari perjanjian perkawinan tersebut.

Menurut Martiman Prodjohamidjodjo, perjanjian dalam Pasal 29 UUPK ini jauh lebih sempit dan yang bersumber pada persetujuan saja dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum. Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat menjelaskan perjanjian perkawinan namun dapat diberikan batasan sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak.35 Menurut Henry Lee A Weng di dalam disertasinya menyatakan perjanjian perkawinan lebih luas dari huwelijksche voor waarden seperti yang diatur didalam perdata. Perjanjian perkawinan bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan tetapi melainkan juga meliputi syarat-syarat/keinginan-keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang tidak melanggar

35

(14)

batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.36 Menurut Soemiyati, yang dimaksud dengan hak ialah suatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang diperolehnya dari hasil perkawinannya, hal ini juga dapat hapus apabila yang berhak rela apabila haknya tidak dipenuhi atau dibayar oleh pihak lain. Adapun yang dimaksud kewajiban ialah hal-hal yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami istri untuk memenuhi hak dari pihak lain.37 Pada saat perjanjian perkawinan diselenggarakan maka calon-calon mempelai laki-laki dan perempuan dapat menyelenggarakan perjanjian perkawinan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian bersifat notariil atau dibawah tangan dan harus memuat yaitu:

1) Atas persetujuan/kehendak bersama. 2) Secara tertulis

3) Kemudian disahkan oleh pengawai pencatatan nikah

4) Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.

Perjanjian itu berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan diletakkan pada akta surat nikah dan merupakan bagian tak terpisahkan dengan surat nikah. Setelah perkawinan berlalu akan ada kehendak selama perkawinan merubah perjanjian perkawinan, pada dasarnya selama perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan tersebut tidak dapat dirubah, kecuali ada persetujuan kedua pihak dan perubahan itu tidak merugikan kepentingan pihak ketiga.38 Jika di bandingkan apa

36

Hendry Lee A Wen, Beberapa Segi Hukum dalam Perjanjian Perkawinan, (jakarta: Rimbow, 1990) , hlm. 9.

37

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1982) , hlm. 36.

38

(15)

yang ditentukan oleh KUHPerdata pada Pasal 139-142 telah ditentukan dengan terperinci beberapa ketentuan yang tidak boleh dijadikan persyaratan dalam perjanjian perkawinan antara lain yaitu :

a) Tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata)

b) Perjanjian tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga (140 ayat 1 KUHPerdata) c) Dalam Perjanjian suami dan istri tidak boleh melepaskan hak mereka

untuk mewarisi budel tinggalkan anak-anak mereka (Pasal 141 KUHPerdata)

d) Dalam perjanjian ini tidak boleh ditentukan bahwa dalam hal campur harta, apabila milik bersama ini dihentikan sisuami atau si istri akan membayar bagian utang yang melebihi perimbangan dan keuntungan bersama (Pasal 142 KUHPerdata)

e) Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja kepada peraturan yang berlaku dalam suatu negara asing (Pasal 143 KUHPerdata)39

Kedudukan, hak, dan kewajiban suami dan istri diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UUPK. Menurut Pasal 30 UUPK, suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Kedudukan suami dan istri itu adalah sama, baik dalam kedudukannya sebagai manusia (human being) maupun dalam kedudukannya

39

(16)

dalam melaksanakan fungsi keluarga. Benar bahwa pada dasarnya kedudukan pria dan wanita sebagai manusia adalah sama derajatnya, karena sama-sama ciptaan Tuhan. Hak dan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri juga ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (2) UUPK yang memuat ketentuan bahwa suami dan istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut K. Wantjik Saleh, pasal ini mengandung asas persamaan, yang berarti baik suami maupun istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Misalnya seorang istri dapat saja mengadakan perjanjian jual beli dan lain-lain perbuatan hukum sendiri tanpa memerlukan bantuan atau pendampingan dari suami, bahkan diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan gugatan kepada pengadilan apabila salah satu pihak melalaikan kewajibannya.40 Dalam perceraian pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya kehidupan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Ketentuan normatif dalam pasal ini mempunyai kaitan dengan Pasal 11 UUPK yang memuat ketentuan normatif bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu, yang kemudian Pasal ini telah dijabarkan dalam PP RI No 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat PP Perkawinan) yang memuat imperatif bahwa bagi seorang janda yang perkawinannya putus karena perceraian, maka waktu tunggu bagi janda yang datang bulan ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya sembilan puluh hari. Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan. Menurut Penjelasan Mahmud

40

(17)

Yunus, apabila terjadi perceraian antara suami dan istri menurut hukum Islam, maka akibat hukumnya ialah dibebankan kewajiban mantan suami terhadap mantan istrinya untuk memberi mut‟ah yang pantas berupa uang atau barang dan memberi nafkah hidup, pakaian dan tempat kediaman selama mantan istri dalam masa iddah, serta melunasi mas kawin perjanjian ta‟lik talak dan perjanjian lainnya.41

Akibat hukum dari Perceraian terhadap kedudukan, hak, dan kewajiban mantan suami/istri yang diatur dalam hukum Islam, telah di positivisasi dalam KHI, khususnya Pasal 149 yang memuat ketentuan imperatif bahwa apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib melakukan hal berikut :

(1) Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla aldukhul.

(2) Melunasi nafkah, maskawin dan kiswah kepada bekas istri selama masa

iddah, kecuali bekas istri telah di jatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

(3) Melunasi mahar yang masih terutang seluruh, dan separuhnya apabila

qobla aldukhul.

(4) Memberikan hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.42

2. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Terhadap Anak

Memperoleh anak dalam perkawinan bagi kehidupan manusia mengadung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang

41

Mahmud Yunus Daulay, dkk, Studi Islam II, (Medan: Ratu Jaya, 2012) , hlm. 35. 42

(18)

bersifat umum (Universal). Secara yuridis, kedudukam anak dalam perkawinan diatur dalam Pasal 41 UUPK yang memuat ketentuan definitif bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah. Kemudian menurut ketentuan limitatif UUPK, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam kasus Machica menikah siri dengan Moerdiono pada 20 Desember 1993. Buah dari pernikahan itu lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama M Iqbal Ramadhan. Ternyata pernikahan yang tak diakui negara karna terbentunya dengan asas monogami. Keduanya memutuskan berpisah pada tahun 1998. Setelah itu, Machica hanya sendirian membesarkan dan menafkahi anaknya, namun anak tersebut tidak juga diakui, badai kembali menerjang pelantun lagu 'ilang' tersebut. Pada Juli 2008 keluarga besar Moerdiono melalui jumpa pers menegaskan jika Iqbal bukanlah darah daging menteri yang dikenal dekat dengan Soeharto itu. Machica Mochtar telah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) tentang Anak Biologis dan MK telah mengabulkannya, sehingga Pasal 43 ayat (1) UUPK diubah dan menjadi "anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.43

43

(19)

Putusan MK dalam amar Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 sebagai berikut.

a. Pasal 43 ayat (1) UUPK yang menyatakan “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/ atau alat buktu lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

b. Pasal 43 ayat (1) UUPK yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus di baca,” Anak

yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan.44

Berdasarkan ketentuan tersebut, MK merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili

44

(20)

perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945 (selanjutnya disingkat UUD) .. Memang terkadang ada beberapa putusan MK yang melebihi kewenangannya. MK memang memiliki kewenangan membatalkan suatu UU jika bertentangan dengan Konstitusi. Namun bukan berarti perubahan dampak putusan MK untuk hal baru tetap harus melalui mekanisme pembentukan atau amandemen UU sesuai mekanisme yang berlaku.45

Berdasarkan pasal 24 C ayat 1 UUD yang ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat 1 huruf a sampai dengan d UU 24/2003, Kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai berikut :

1) menguji undang-undang terhadap UUD NRI Th.1945;

2) memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Th.1945;

3) memutus pembubaran partai politik;

4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.46

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian UUPK khususnya dalam Pasal 43 ayat 1 dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal

45

Ibid.

46

Jimly Asshiddiqie, status anak luar kawin,

(21)

anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya. Jadi putusan MK memberikan hak keperdataan yang selama ini tidak diakui negara. Makanya akta lahirnya itu tidak mencantumkan nama ayah, dan tentu ini akan berimplikasi tidak mendapatkan “hak waris” dan tidak bisa mencantumkan siapa bapaknya,

tetapi hal itu merugikan anaknya dan juga pengakuan keperdataan dalam bentuk identitas nama dan kewarganegaraan itu harus diberikan oleh negara, tidak harus bergantung pada sah tidaknya perkawinan. Tetapi juga sebagai hak konstitusi, hak keperdataan, itu adalah hak yang sangat mendasar dan konstitusional.47 Kesimpulan dari putusan MK ini bahwa anak kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dan keluarga ayahnya dan juga mendapatkan hak waris.48 ditentukan dalam UUPK hanya kedudukan anak sah dan tidak sah dan tidak mengatur tentang kedudukan anak lainnya, seperti kenyataanya di dalam kehidupan keluarga/rumah tangga dalam masyarakat. Misalnya tentang anak tiri, anak angkat, anak asuh, dan sebagainya yang ada kaitannya dengan kedudukan orang tua dan perkawinannya yang berlaku dalam masyarakat adat.49 Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UUPK memuat ketentuan imperatif bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara

47

Ibid.

48

Rosnidar Sembiring, Op.Cit., hlm. 142. 49

(22)

kedua orang tua putus. Jadi kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai mereka kawin dan dapat berdiri sendiri, ini juga berarti bahwa meskipun anak sudah kawin, tetapi dalam kenyataan orang tua untuk memelihara anak dan cucunya, walaupun terjadi perceraian yang memutuskan ikatan perkawinan kedua orang tuanya, anak yang belum mencapai umur 18 (Delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, menurut Pasal 47 ayat (1) UUPK anak tersebut ada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka (orang tua) tidak dicabut dari kekuasaannya., orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan. Rasio hukum dari ayat (2) Pasal 47 UUPK ini adalah anak yang belum dewasa tidak cakap melakukan perbuatan hukum dalam lapangan hukum keperdataan, sehingga perbuatan hukum anak tersebut diwakili oleh orang tuanya, dalam arti orang tuanya yang melakuk an perbuatan hukum untuk dan atas nama anaknya, baik di dalam maupun di luar pengadilan.50 Kedudukan, hak, dan kewajiban anak dalam keluarga atau rumah tangga menurut hukum Islam telah dipositivisasi dalam KHI, khususnya Pasal 98- Pasal 106. Pasal 98 KHI memuat ketentuan definitif bahwa batas usia anak yang mampu berdiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Pengadilan Agama dapat menujuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Kemudian Pasal 99 KHI memuat ketentuan

50

(23)

definitif bahwa anak yang sah adalah ank yang di lahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. Hasil pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut, anak yang lahir di luar perkawinan,

Pasal 104 KHI membebankan tanggung jawab atas semua biaya penyusuan anak kepada ayahnya. Apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberikan nafkah kepada ayah atau walinya. Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya..51 Berdasarkan hal tersebut, bahwa putusan MK tidak perlu dipertentangkan atau dinyatakan sesuai dengan syari‟ah karena secara hakiki tidak ada yang sesuai dan tidak ada yang bertentangan dengan syari‟ah. Sehubungan dengan itu, Ketua Majelis Hakim Mahfud MD menyatakan anak lahir di luar hubungan pernikahan atau di luar hubungan resmi tetap memiliki hubungan dengan ayahnya. Setelah adanya putusan ini, wanita bisa menuntut pria yang menghamilinya untuk memberi nafkah sang anak.52 Secara resmi, MK sudah menetapkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan masih punya hubungan dengan ayah secara perdata.53 Kemudian, status anak tersebut tetap sah secara hukum, namun masih terlalu dini untuk menyatakan bahwa anak luar nikah berhak atas warisan bapaknya. Dalam hal ini namanya bukan warisan, karena akan bertabrakan dengan konsep dasar hukum Islam, namun bisa diganti dengan

51

Ibid, hlm. 363-364.

52

Didi Syafirdi, Perjuangan hasil nikah siri, https://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-machica-mochtar-perjuangkan-anak-hasil-nikah-siri-ke-mk.html. Diakses pada tanggal 8 Juli 2017. Pukul 11:00 Wib.

53

(24)

sedekah atau hibah tetapi untuk melindungi anak tersebut Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa salah satunya adalah dengan untuk melindungi kehidupan si anak. 54

3. Akibat Hukum Putusnya Perkawinan Terhadap Harta

Harta bersama merefleksikan adanya benda yang dimiliki secara bersama atau dimiliki oleh lebih dari satu orang dan harta bersama dalam arti bahwa harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung sejak perkawinan dilangsungkan hingga perkawinan berakhir atau putusnya perkawinan akibat perceraian kematian maupun putusan pengadilan,55 secara yuridis, kepemilikan atas suatu benda oleh lebih dari satu orang dapat ditemukan pengaturan hukumnya dalam Pasal 526 dan Pasal 527 KUHPerdata yang esensinya bahwa milik bersama dibedakan menjadi “milik bersama yang terikat” dan “milik bersama yang bebas”.

Namun, kelemahan normatifnya, dalam KUHPerdata tidak diberikan definisi secara jelas mengenai milik bersama yang terikat dan milik bersama yang bebas tersebut. Secara doktrinal, perbedaan antara hak milik bersama yang bebas dan hak milik bersama terikat.56

No Hak Milik Bersama yang Bebas Hak Milik Bersama Yang Terikat 1 Kebersamaan para pemilik serta

hanya didasarkan atas pemilikan mereka bersama-sama atas benda milik bersama tersebut.

Keterikatan antara para pemilik serta (yang satu terhadap yang lain) dikuasai atau diatur oleh hukum tersendiri yang mengatur tentang

54

Rosnidar Sembiring, Op.Cit., hlm. 144.

55

Ibid., hlm. 91. 56

(25)

pemilikan bersama mereka. 2 Hak bagian (andil) para pemilik

serta atas benda milik bersama tertentu dapat dinyatakan dalam pecahan atau suatu bagian sebanding tertentu.

Tidak dapat

3 Masing-masing pemilik serta mempunyai kebebasan yang lebih besar untuk mengambil tindakan pengurusan (beheer) mempunyai kebebasan yang lebih kecil untuk mengambil tindakan pengurusan dan pemilikan atas hak

Sumber dari J.satrio mengenai hukum waris tentang pemisahan boedel57

J. satrio mengemukakan beberapa contoh dari pemilikan bersama yang terikat, yaitu harta persatuan dalam suatu perkawinan yang dimiliki bersama antara suami

57

(26)

istri, pemilikan bersama antara para pesero atas harta perseroan, pemilikan bersama atas harta kekayaan perkumpulan yang tidak mempunyai status badan hukum, dan pemilikan bersama para ahli warisan yang belum terbagi.58

Harta bersama dalam UUPK, menurut Subekti, didasarkan pola hukum adat.59 Menurut hukum adat, yang dimaksud dengan harta perkawinan ialah harta yang dikuasai suami dan istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta perseorangan yang berasal dari harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah. Dalam kedudukannya sebagai modal kekayaan untuk membiayai kehidupan rumah tangga suami-istri, maka harta membiayai kehidupan rumah tangga suami istri, maka harta perkawinan itu dapat digolongkan dalam beberapa macam, yaitu:

a. Harta yang diperoleh suami atau istri sebelum perkawinan yaitu harta bawaan.

b. Harta yang diperoleh suami atau istri secara perorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu harta penghasilan.

c. Harta yang diperoleh suami atau istri bersama-sama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.

d. Harta yang diperoleh suami istri bersama ketika upacara perkawinan sebagai hadiah yang disebut hadiah perkawinan.60

Harta benda dalam perkawinan yang dipergunakan UUPK sesungguhnya mempertegas pemikiran tentang pembedaan hukum benda dengan hukum orang yang dianut di dalam KUHPerdata, karena aturan-aturan hukum tentang benda berkaitan dengan hak kebendaan, sedangkan perkawinan merupakan hukum pribadi atau hukum orang, dalam suatu keluarga diperlukan harta kekayaan untuk

58

Ibid.

59

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1994) , hlm. 31. 60

(27)

memenuhi kebutuhan demi kelangsungan suatu perkawinan yang dibentuk. Kebutuhan akan harta kekayaan dalam suatu perkawinan merupakan salah satu usaha untuk menciptakan suatu keluarga yang sejahtera lahir bathin, akan sulit di mengerti bagaimana kelangsungan suatu perkawinan apabila dalam perkawinan tersebut tidak didukung oleh adanya harta kekayaan.61

Suami dan istri dapat bertindak terhadap harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak, misalnya menjual atau menggadaikan, sedangkan terhadap harta bawaan suami dan istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya atas harta bawaan tersebut. Mereka dapat mengadakan persetujuan untuk diurus oleh satu pihak ataupun berada di bawah penguasaan masing-masing, jadi, jenis harta suami dan isteri yang perlu mendapat perlindungan hukum, yaitu:

1) Harta yang bersumber dari orang tua, yang dapat berupa warisan, hibah dan hibah wasiat (Legaat)

2) Harta yang bersumber dari orang lain, yang dapat berupa hibah dan hibah wasiat

3) Harta yang bersumber dari diri sendiri berupa pengahasilan.62

Alquran dan hadis tidak menjelaskan secara konkret bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya, dan juga tidak menjelaskan secara konkret bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan perkawinan itu menjadi milik bersama. Ini berarti bahwa keberadaan harta benda dalam perkawinan merupakan persoalan yang perlu

61

Ibid., hlm. 86. 62

(28)

dijelaskan oleh para ahli hukum Islam dengan metode ijtihad, yaitu penggunaan akal pikiran manusia yang mampu menalar yang harus sesuai dengan dan bersumber dari jiwa hukum Islam, dan hukum Islam tidak melihat adanya harta harta bersama dan lebih memandang adanya keterpisahan antara harta suami dan istri. Dalam kitab-kitab fikih63 Pengaturan hukum Islam tentang harta benda dalam perkawinan telah dipositivisasi dalam KHI, Khususnya Pasal 86 sampai dengan Pasal 97, yang menegaskan adanya harta bersama meskipun tidak tegas. Menurut Pasal 1 huruf f KHI, harta benda dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh, baik sendiri-sendiri atau bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Adanya harta bersama dalam perkawinan itu, menurut Pasal 85 KHI, tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Kemudian, menurut Pasal 86 KHI, pada dasarnya, tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Ini berarti bahwa harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri serta harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, menurut Pasal 87 KHI, adalah dibawah penguasaan masing masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah, atau lainnya, suami dibebankan tanggung jawab oleh Pasal 89 KHI

63

(29)

untuk menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri. Sebaliknya, istri dibebankan oleh Pasal 90 KHI untuk turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya.

Pasal 91 KHI dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga. Harta benda yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainya. Dalam Pasal 92 KHI suami dan istri tidak diperbolehkan untuk menjual atau mengalihkan harta bersama tanpa persetujuan pihak lain. Apabila terjadi perselihan antara suami istri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada pengadilan agama berdasarkan Pasal 88 KHI. Pasal 95 KHI, dapat meminta pengadilan agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama, seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya. Selama masa sita, dapat dilakukan perjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.64 UUPK merumuskan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai harta benda yang diperoleh sabagai hadiah atau warisan adalah bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa terdapat beberapa penggolongan harta benda dalam perkawinan.yaitu :

64

(30)

a) Harta bersama (Pasal 35 ayat 1) UUPK

b) Harta Bawaan yang dibedakan atas harta bawaan masing-masing hadiah atau warisan (Pasal 35 Ayat (2) UUPK).

c) Harta yang berasal dari hibah atau warisan adalah harta masing-masing suami-istri tabg diperoleh bukan karena usaha bersama-sama maupun sendiri-sendiri tetapi diperoleh karena hibah, warisan atau wasiat, dalam arti jenis harta ini adalah harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak diperoleh sebagai hasil dari mata pencaharian suami dan istri tersebut.65

Berdasarkan penggolongan jenis-jenis harta tersebut maka sebagai konsekuensinya terdapat 2 (dua) macam penggolongan hak milik terhadap harta yaitu:

(1) Adanya hak milik secara kolektif atau bersama khusus mengenai harta yang digolongkan sebagai harta hasil dari mata pencaharian, pengaturannya adalah hak kepemilikan terhadap harta tersebut dimiliki secara bersama-sama oleh pasangan suami istri. Dengan adanya hak pemilikan secara kolektif ini tentunya wewenang dan tanggung jawab terhadap harta bersama tersebut berada di tangan suami dan istri. Apabila suami hendak menggunakan harta bersama maka suami mendapat persetujuan dari istri, demikian juga sebaliknya.

(2) Adanya hak milik pribadi secara terpisah, pada harta yang digolongkan seabgai jenis harta yang kedua yaitu harta bawaan dan jenis harta ketiga

65

(31)

yaitu harta yang diperoleh dalam perkawinan tetapi tidak berasal mata pencaharian, terhadap keduanya pengaturan terhadap hak milik pada dasarnya dilakukan secara terpisah, yaitu masing-masing suami istri mempunyai hak milik secara terpisah terhadap harta dimilikinya sebelum terjadinya perkawinan.66

Dalam harta juga sering terjadi perselihan dalam perkawinan, di indonesia berlaku dua sistem peraturan tentang harta benda perkawinan, yang satu sama lain berhadapan secara diam artinya berseberangan satu sama lain yakni : Hukum Islam dan hukum Perdata. Hukum Islam menganggap kekayaan suami dan istri masing-masing terpisah satu dengan lainnya. harta benda milik masing-masing pihak pada waktu perkawinan dimulai (berjalan) tetap menjadi miliknya masing-masing, demikian juga segala barang-barang mereka masing masing yang didapat atau di peroleh selama perkawinan berlangsung, tidak dicampur melainkan terpisah satu sama lain, artinya atas harta benda milik suami, istri tidak mempunyai hak, dan terhadap barang-barang milik istri, suami tidak mempunyai hak, hal ini berarti suami tidak dapat mempergunakan atau memakai barang milik istri dan sebaliknya, tetapi pemakaian ini berdasarkan atas perjanjian meminjam antara suami dan istri. Perjanjian ini tidak dilakukan secara tegas melainkan secara diam-diam saja, bahwa konsekuensi menurut hukum Islam, status harta benda seorang perempuan tidak mengubah dengan adanya perkawinan. Harta seorang perempuan tidak menjadi milik bersama antara suami dan istri, karena pernikahan, istri mempunyai hak penuh atas harta miliknya, boleh menjual

66

(32)

menggadai menghibahkan hartanya itu terlepas dari kekuasaan orang lain, termasuk suaminya, suami tidak boleh bertindak atas harta benda istrinya, sekalipun mereka telah menikah, telah diikat dengan perkawinan, tetapi segala harta benda istrinya tetap menjadi milik pribadinya, bahkan suami berkewajiban untuk turut menjadi dan memeliharanya, tetapi tidak menjadi hak bagi suami untuk bertindak secara hukum. Sedangkan di dalam KUHPerdata, sebalikanya menganggap sebagai pokok pangkal bahwa apabila suami dan istri pada waktu akan melakukan pernikahan tidak mengadakan perjanjian pisah harta di antara mereka maka akibat dari perkawinan itu ialah percampuran kekayaan suami dan istri menjadi satu kekayaan milik berdua dan bersama-sama dan bagian masing-masing dalam kekayaan bersama itu adalah setengah, bagian setengah ini merupakan bagian tak terpisahkan Onverdeeld aandel artinya tidak mungkin masing-masing suami atau istri meminta pembagian kekayaan itu, kecuali jika perkawinannya sendiri terputus, atau jika dilakukan perceraian dari meja dan tempat tidur atau perceraian harta kekayaann yang hanya dapat terjadi dengan melalui suatu cara tertentu termuat dalam KUHPerdata. Jika calon mempelai laki-laki dan wanita mengadakan perjanjian pisah harta sebelum perkawinan dilakukan, perjanjian yang berdasarkan KUHPerdata dan dapat merupakan berbagai berbentuk yang masing-masing diatur dalam KUHPerdata antara lain campur keuntungan dan kerugian atau campuran penghasilan.67

67

Referensi

Dokumen terkait

Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang masih memberikan nafas kehidupan, sehingga saya dapat menyelesaikan pembuatan makalah

Adapun tujuan dibuatnya buku penilaian ini, yaitu untuk menguji kompetensi peserta pelatihan setelah selesai menempuh buku informasi dan buku kerja secara komprehensif

Penurunan kualitas lingkungan hidup yang terlihat dari berbagai indikator, khususnya kondisi udara, berkaitan langsung dengan penggunaan energi, yang dalam hal ini

SUTAEDI: “PENGARUH KEGIATAN EKSTRA KURIKULER KEAGAMAAN TERHADAP PERILAKU KESEHARIAN MURID SEKOLAH DASAR (SD) NEGERI SUKARASA KECAMATAN DARMA KABUPATEN

barat Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat yang menyebabkan kesenian-kesenian Cilacap mendapat pengaruh dari kebudayaan Sunda termasuk juga kesenian

Peta Lokasi Benteng Somba Opu (Bandar Niaga Kerajaan Gowa)/ (Repro Koleksi Museum Karaeng Pattingalloang)..

Demikian berdasarkan hasil post intervensi pada kelompok yang hanya mendapatkan terapi generalis menunjukan penurunan perilaku kekerasan dalam respon fisik skor

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang selama ini telah memeberikan cinta kasih-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan