• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Hemodialisis dan Skor Pruritus pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Hemodialisis dan Skor Pruritus pada Pasien yang Menjalani Hemodialisis di RSUP Haji Adam Malik Medan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit ginjal kronik

2.1.1 Pendahuluan

Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis yang

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif yang ditandai dengan

penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dan pada umumnya berakhir

dengan gagal ginjal.1 Sedangkan gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dpengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada stadium

5, yang membutuhkan penatalaksanaan penggantian ginjal tetap, berupa

dialisis atau transplantasi ginjal.1,2

Penyakit ginjal stadium akhir didefinisikan sebagai “gangguan ginjal

yang membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal untuk dapat bertahan

hidup”.

16

Istilah penyakit ginjal stadium akhir menunjukkan suatu stadium

dari penyakit ginjal kronik dimana terjadi akumulasi toksin-toksin, cairan dan

elektrolit yang secara normal diekskresikan oleh ginjal yang menyebabkan

terjadinya sindrom uremikum. Sindrom ini dapat menyebabkan kematian jika

toksin-toksin tersebut tidak dikeluarkan dengan terapi penggantian ginjal,

dengan menggunakan dialisis atau transplantasi ginjal. Penyakit ginjal

stadium akhir adalah istilah untuk penyakit ginjal kronik stadium 5.2

Penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang meningkatkan

risiko penyakit ginjal kronik, bahkan pada individu yang memiliki LFG

(2)

autoimun, usia yang lebih tua, keturunan Afrika, riwayat keluarga menderita

penyakit ginjal, episode gagal ginjal akut sebelumnya, dan adanya

proteinuria, sedimen urin yang tidak normal atau abnormalitas traktus

urinarius.2

2.1.2 Epidemiologi

Insidensi PGK di Amerika Serikat pada tahun 1995-1999 diperkirakan

100 kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat 8% setiap

tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800

kasus baru gagal ginjal per tahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya

insidensi ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per 1 juta penduduk per tahun.1 Prevalensi penyakit ginjal stadium akhir pada tahun 2003, didapatkan

lebih dari 320.000 pasien yang menderita penyakit ginjal stadium akhir di

Amerika Serikat, dan prevalensinya diperkirakan meningkat menjadi 650.000

pada tahun 2010 dan 2 juta pada tahun 2030.

Dari survei yang dilakukan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia

pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia adalah sekitar

12,5%.

3

4

Sedangkan data di Kota Medan adalah berdasarkan penelitianpada

tahun 2010 didapatkan 265 orang penderita PGK di RSUD dr. Pirngadi

Medan dan penelitianpada tahun 2011 terdapat 633 orang penderita PGK di

(3)

2.1.3 Etiologi dan Patogenesis

Etiologi PGK sangat bervariasi pada berbagai negara. Di Amerika

Serikat (tahun 1995-1999) disebutkan penyebabnya diantaranya adalah

diabetes melitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit sistemik lain seperti

lupus dan vaskulitis, neoplasma dan penyakit lainnya. Di Indonesia (tahun

2000), penyebab PGK pada pasien yang menjalani hemodialisis antara lain

adalah glomerulonefritis, diabetes melitus, obstruksi dan infeksi, hipertensi

dan sebab-sebab lain.1

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses

yang terjadi kurang lebih sama. Patofisiologi penyakit ginjal kronik

melibatkan dua rangkaian mekanisme kerusakan, yaitu: (1) mekanisme awal

yang spesifik terhadap etiologi yang mendasarinya (misalnya kompleks imun

dan mediator-mediator inflamasi dalam jenis tertentu dari glomerulonefritis,

atau pajanan toksin pada penyakit-penyakit tertentu dari tubulus renal dan

interstisium); dan (2) suatu rangkaian dari mekanisme progresif, yang

melibatkan hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron-nefron yang tersisa, yang

merupakan konsekuensi umum dari etiologi yang mendasarinya tersebut.

2

Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa, sebagai upaya kompensasi, yang

diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan

kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,

(4)

tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang

progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya

peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian

diperantarai oleh berbagai growth factor. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,

hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variasi antara individu untuk

terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.

Penelitian yang menggunakan micro-puncture menunjukkan bahwa tekanan intra glomerulus meningkat pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah

sistemik meningkat. Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan

aktivitas berbagai hormon vasoaktif, seperti angiotensin-II dan endotelin.

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan

daya cadang ginjal, pada keadaan LFG masih normal atau malah meningkat.

Kemudian terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai

dengan peningkatan urea dan kreatinin serum. Sampai LFG 60%, pasien

masih belum merasakan keluhan (asimtomatik). Sampai LFG 30% mulai

terjadi keluhan misalnya seperti nokturia, badan lemah dan sebagainya.

Sampai LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia

yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan

metabolisme kalsium dan fosfor, mual, muntah dan sebagainya. Pada LFG

dibawah 15% akan terjadi komplikasi yang lebih serius dan memerlukan

terapi penggantian ginjal antara lain dialisis atau transplantasi. Pada keadaan

ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

1,2

(5)

2.1.4 Pendekatan diagnostik

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: (a) sesuai

dengan penyakit yang mendasari, (b) sindrom uremia, yang terdiri dari lemah,

letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan,

neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma, (c) gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi

renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit

(sodium, kalium, klorida).

Kriteria dan klasifikasi

1

Kriteria PGK meliputi1

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural dan fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG

dengan manifestasi kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal,

termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam

tes pencitraan (imaging tests). :

2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2

Klasifikasi PGK dapat ditentukan berdasarkan stadium penyakit, yaitu:

selama 3 bulan, dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

1. Stadium 1: Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat, yaitu >

90 ml/menit/1,73 m

1,2

2. Stadium 2: Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan, yaitu 60-90

ml/menit/1,73 m

2

3. Stadium 3: Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang, yaitu 30-59

ml/menit/1,73 m

2

(6)

4. Stadium 4: Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat, yaitu 15-29

ml/menit/1,73 m

5. Stadium 5: Gagal ginjal dengan LFG < 15 (atau dialisis).

2

Gambaran laboratorium PGK meliputi: (a) sesuai penyakit yang

mendasarinya, (b) penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum

dan kreatinin serum, dan penurunan LFG, (c) kelainan biokimiawi darah

meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper

atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,

hipokalsemia dan asidosis metabolik, dan (d) kelainan urinalisis meliputi

proteinuria, hematuri, leukosuria, cast dan isostenuria. Pemeriksaan radiologis dan histopatologi juga membantu untuk mengetahui kerusakan

ginjal yang terjadi, mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan

mengevaluasi hasil terapi yang diberikan.1

2.1.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan PGK meliputi terapi spesifik terhadap penyakit

dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat

pemburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit

kardiovaskuler, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, terapi pengganti

ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada gagal ginjal kronik, tanpa

terapi penggantian ginjal, kematian akibat kelainan metabolik dapat terjadi

(7)

2.2 Hemodialisis

Hemodialisis adalah suatu sistem penggantian ginjal modern yang

menggunakan dialisis melalui difusi dan hemofiltrasi untuk mengeluarkan air,

yang membawa serta zat terlarut yang tidak diinginkan, yang dilakukan pada

pasien-pasien gagal ginjal kronik.5

Hemodialisis memiliki prinsip adanya difusi zat-zat terlarut melewati

membran semipermeabel. Perpindahan dari produk-produk sisa metabolisme

berpindah sesuai dengan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dialisat. Laju

transportasi difus meningkat sebagai respons terhadap berbagai faktor, termasuk

besarnya gradien konsentrasi, daerah permukaan membran dan koefisien transfer

massa dari membran tersebut. Yang terakhir merupakan fungsi dari porositas dan

ketebalan membran, ukuran molekul terlarut dan keadaan aliran dari kedua sisi

membran.

Modalitas ini dilakukan kira-kira selama 3-4 jam dengan sesi dialisis

intermiten.

Pada hemodialisis, darah dipompa melewati satu sisi membran

semipermeabel sementara cairan dialisat dipompa melewati dari sisi lain dengan

arah gerakan yang berlawanan. Membran biasanya diletakkan di dalam wadah

sebagai lembaran yang memiliki lubang ditengahnya. Jumlah cairan yang

dikeluarkan melalui ultrafiltrasi dikontrol dengan mengubah tekanan hidrostatik

darah dibandingkan dengan cairan dialisat. Cairan dialisat terbuat dari konstituen

esensial plasma yaitu natrium, kalium, klorida, kalsium, magnesium, dan glukosa,

dan suatu bufer seperti bikarbonat, asetat, atau laktat. Darah dan dialisat mencapai

kesetimbangan di kedua sisi membran. Dengan demikian, komposisi plasma dapat

dikontrol dengan mengubah komposisi dialisat. Konsentrasi kalium dalam dialisat

(8)

biasanya lebih rendah daripada dalam plasma sehingga memacu pergerakan

kalium keluar dari darah. Heparin digunakan dalam sirkuit dialisis untuk

mencegah penggumpalan darah.5

Berdasarkan asas difusi, semakin besar molekul, semakin lambat laju

perpindahannya melewati membran. Sebuah molekul yang kecil, seperti ureum

(60 Da), dapat melalui klirens substansial, sementara sebuah molekul yang lebih

besar, seperti kreatinin (113 Da), lebih sedikit yang dibersihkan secara efisien.

Selain proses pembersihan yang difus, perpindahan produk-produk sisa dari

sirkulasi ke dialisat dapat terjadi sebagai hasil dari ultrafiltrasi. Proses

pembersihan konvektif terjadi oleh sebab tarikan dari pelarut, dengan zat-zat

terlarut ikut terbuang bersama dengan air melewati membran dialisis

semipermeabel.

2

Durasi hemodialisis dilaporkan dari lamanya pasien menjalani

hemodialisis, yaitu dari awal pasien mengikuti hemodialisis yang rutin sampai

pada saat pemeriksaan. Sebuah penelitian di Iran mengelompokkan durasi

hemodialisis menjadi <1 tahun, 1-5 tahun dan >5 tahun.

12

Sementara penelitian

lain menghitung durasi hemodialisis dengan memakai satuan bulan.9,21

2.3 Pruritus Uremikum

2.3.1 Pendahuluan

Pruritus, biasanya dikenal sebagai rasa gatal, adalah suatu sensasi

yang secara khusus ditemukan pada kulit, yang dapat didefinisikan sebagai

(9)

menggaruk.28 Pruritus dapat disebabkan oleh penyebab-penyebab dermatologis maupun non dermatologis.14,28

Pruritus dengan penyebab dermatologis adalah puritus karena

kelainan-kelainan kulit seperti eksema atopi, psoriasis, xerosis, skabies,

dermatitis kontak, insect bite, liken planus, dermatofitosis, pedikulosis, folikulitis, urtikaria dan liken simpleks kronis. Pruritus nondermatologis

dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit sistemik, seperti penyakit ginjal

kronik, kolestasis, limfoma Hodgkin, polisitemia vera, infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan hipertiroidisme; penyakit-penyakit neuropati, seperti pruritus brakioradial, parestetika notalgia dan gatal pada

pasca herpetika; dan penyakit-penyakit psikogenik, seperti gangguan obsesif

kompulsif, delusi parasitosis dan penyalahgunaan obat. Pada

penyakit-penyakit psikogenik ini dapat ditemukan gambaran ekskoriasi neurotik

berupa garis-garis linier berkrusta yang tersebar. Gambaran ini dapat terjadi

dibagian tubuh yang dapat dijangkau oleh pasien, walaupun paling sering

ditemukan pada daerah ekstremitas.

Pruritus uremikum adalah istilah yang dipakai untuk pruritus yang

dialami oleh pasien-pasien yang menderita penyakit ginjal kronik atau

penyakit ginjal stadium akhir,

29,30

3

dengan tidak disertai oleh penyakit-penyakit

lain yang dapat menyebabkan gatal.23

2.3.2 Epidemiologi

Pruritus uremikum adalah satu dari gambaran prevalensi uremia yang

(10)

menjalani hemodialisis. Rentang yang begitu lebar mungkin disebabkan oleh

beberapa faktor diantaranya kesulitan dalam menentukan gejala yang sangat

subjektif, terbatasnya jumlah pasien pada kebanyakan penelitian, dan

sifat-sifat retrospektif dari beberapa informasi.11 Menurut yang dilaporkan oleh

Dialysis Outcomes and Practice Pattern Study (DOPPS) pruritus mengenai 42% pasien-pasien yang sedang menjalani hemodialisis.8 Selama 20 tahun terakhir insidensi pruritus menurun dari 85% pada awal tahun 1970-an

menjadi 30% pada akhir tahun 1990-an.16 Prevalensi pruritus uremikum telah menurun sebagai hasil dari kemajuan teknik-teknik dialisis dan manajemen

pasien.

Razeghi et al tidak mendapatkan perbedaan yang signifikan antara

kelompok yang menderita pruritus dan yang tidak pruritus terhadap durasi

dari dialisisnya.

3,9

31

Narita et al menyebutkan tidak didapatkan adanya

hubungan antara penyakit ginjal yang mendasarinya dengan pruritus.9

2.3.3 Etiologi dan Patogenesis

Etiologi pruritus uremikum bersifat multifaktor dan faktor-faktor

metabolik terlibat dalam patogenesisnya. Faktor-faktor metabolik tersebut

diantaranya adalah hiperkalsemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroidisme

sekunder, dan hipermagnesemia. Keithi-Reddy et al membagi penyebab

(11)

Terdapat beberapa mekanisme yang diajukan untuk menjelaskan

tentang patogenesis pruritus pada pasien-pasien dengan penyakit ginjal

stadium akhir. Lima teori yang berlaku pada literatur-literatur tentang ginjal

adalah33

2.3.3.1 Xerosis (kulit kering) :

Walaupun xerosis tidak berkaitan dengan pruritus secara

konsisten, terdapat bukti bahwa kira-kira 50% pasien-pasien dialisis

dengan pruritus melaporkan kulit kering dan mengartikannya sebagai

penyebab sensasi gatal. Xerosis pada penyakit ginjal kronik terutama

terjadi berkaitan dengan tiga hal seperti dehidrasi kulit, fungsi barier

yang mengalami perubahan dan iritasi yang jelas terhadap

substansi-substansi eksternal seperti surfaktan. Atrofi kelenjar sebasea dan

sekresi dan porsi duktus dari kelenjar ekrin, menyebabkan kadar lipid

permukaan kulit yang lebih rendah dan hilangnya integritas dari

kandungan air pada stratum korneum kulit oleh karena disfungsi

barier kulit, penting juga dalam patogenesis xerosis uremikum.

2.3.3.2 Substansi-substansi pruritogenik

Akumulasi dari substansi-substansi yang tidak dikeluarkan

secara adekuat dengan dialisis yang dapat menginduksi pruritus,

disebut substansi pruritogenik. Beberapa dari substansi ini adalah

vitamin A, histamin, dan ion-ion divalen seperti kalsium, fosfor, dan

(12)

reseptor-reseptor yang memediasi sensasi gatal, atau secara sentral

dengan memodulasi jalur yang menyebabkan persepsi gatal.

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa ion-ion divalen

mengendap pada lapisan epidermis kulit dan menghasilkan efek yang

mensensitisasi pruritus. Kadar histamin serum telah ditemukan

meningkat pada sebagian besar pasien dengan pruritus. Selain itu,

peningkatan hormon paratiroid telah memiliki korelasi terhadap gejala

pruritus. Namun hormon paratiroid sendiri tampaknya bukan

merupakan zat pruritogenik.

9

10

Toksin-toksin uremikum sendiri, baik yang berupa senyawa

kecil yang larut dalam air (berat molekul < 500 Dalton),

molekul-molekul menengah (> 500 Dalton) dan molekul-molekul-molekul-molekul yang terikat

protein (sebagian besar memiliki berat molekul < 500 Dalton, juga

berperan untuk terjadinya pruritus uremikum. Senyawa-senyawa kecil

mudah dibersihkan melalui proses hemodialisis, molekul-molekul

menengah hanya dapat dipindahkan dengan strategi tertentu,

sedangkan molekul-molekul yang terikat protein terhambat pola

pemindahannya karena ikatannya dengan protein tersebut.

34

2.3.3.3 Etiologi neuropatik

Mekanisme potensial terhadap pruritus yang berkaitan dengan

PGK adalah proliferasi yang abnormal dari serat-serat saraf sensoris

yang menyebabkan sensasi gatal. Dengan kata lain, pruritus

(13)

didukung oleh penemuan bahwa gabapentin, suatu agen yang

digunakan untuk nyeri neuropatik, telah terbukti efektif dalam

mengobati pruritus yang berkaitan dengan PGK.3

2.3.3.4 Ketidakseimbangan peptida opioid

Beberapa reseptor opioid terlibat dalam jalur pruritus, seperti

yang sudah dikonfirmasi dengan observasi bahwa morfin, suatu

agonis opioid, dapat menginduksi gatal.10 Sebaliknya, agen-agen yang

menstimulasi reseptor κ-opioid dapat mengurangi rasa gatal. Pada

pruritus yang berkaitan dengan PGK, diyakini bahwa terdapat

ketidakseimbangan antara peptida opioid endogen yang menstimulasi

dan yang menghambat jalur pruritus.3

2.3.3.5 Keadaan proinflamasi

Dianggap bahwa PGK menyebabkan abnormalitas sistem imun

yang menyebabkan keadaan pro inflamasi, yang bermanifestasi

sebagai pruritus. Hal ini didukung oleh studi-studi yang menunjukkan

penurunan pruritus sebagai respons dari terapi-terapi imunosupresan

termasuk sinar ultraviolet B (UVB), takrolimus, dan talidomid.3

2.3.4 Pendekatan diagnostik

Pruritus uremikum bersifat simetris dan daerah yang paling sering

terlibat adalah punggung, lengan, dada dan kepala, namun pruritus yang

(14)

kulit kering dapat mengeksaserbasi pruritus uremikum, sementara mandi

dengan air hangat atau dingin, suhu yang dingin dan aktivitas dapat

mengurangi pruritus. Manifestasi yang terlihat pada kulit adalah berupa

ekskoriasi akibat garukan, dengan atau tanpa adanya lesi impetigo, prurigo

maupun likenifikasi yang timbul sebagai suatu fenomena sekunder. Separuh

pasien mengalami agitasi atau depresi. Durasi, derajat keparahan dan

karakteristik pruritus bervariasi, dapat berubah sepanjang waktu dan

berbeda-beda pada tiap pasien. Sebagian pasien mengalami pruritus dalam jangka

waktu yang singkat sementara sebagian lainnya merasakannya sepanjang hari

dan sepanjang malam. Pruritus biasanya lebih berat dirasakan pada malam

hari sehingga sering menyebabkan gangguan tidur.

Diagnosis pruritus uremikum ditegakkan dari anamnesis adanya suatu

rasa gatal yang terjadi pada individu yang menderita penyakit ginjal kronik,

yang ditetapkan dengan anamnesis. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang juga dapat membantu menegakkan diagnosis pruritus uremikum.

Diagnosis dengan penamaan pruritus uremikum sering dianggap suatu

kesalahan dalam penamaan oleh karena beberapa alasan berikut ini:

10,20

1. Pruritus pada pasien-pasien penyakit ginjal stadium akhir tidak universal

3

2. Pruritus ini tidak memiliki korelasi dengan tingkat keparahan uremia

3. Bahkan dialisis dengan aliran tinggi tidak meringankan masalah

4. Pruritus tidak didapati pada pasien-pasien gagal ginjal akut

Walaupun istilah “pruritus yang terkait uremia” telah diajukan, namun

(15)

penyakit ginjal kronik” adalah nomenklatur yang lebih tepat untuk kondisi

ini.

Untuk kepentingan epidemiologi, kriteria spesifik yang digunakan

untuk mendiagnosis pruritus uremikum adalah apabila didapatkan salah satu

dari gejala-gejala yang berikut ini:32

1. Pruritus timbul segera sebelum dialisis, atau kapan saja, tanpa adanya

bukti penyakit aktif lainnya yang dapat menjelaskan terjadinya pruritus.

2. Lebih dari atau sama dengan tiga episode gatal selama suatu periode 2

minggu, dengan gejala yang timbul beberapa kali sehari, terjadi paling

tidak beberapa menit, dan mengganggu pasien.

3. Timbulnya suatu keadaan gatal dalam pola yang teratur selama periode 6

bulan, tetapi frekuensinya lebih sedikit daripada yang disebutkan diatas.

2.3.5 Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan yang

digunakan untuk membantu mengarahkan diagnosis pruritus uremikum.

Pemeriksaan laboratorium yang biasanya dibutuhkan pada pruritus yag

generalisata meliputi pemeriksaan darah lengkap, profil kimia darah meliputi

ureum dan kreatinin serta pemeriksaan urin lengkap. Untuk pruritus

uremikum dapat juga dilakukan pemeriksaan elemen-elemen darah lain yang

terkait seperti kalsium, fosfor, magnesium, aluminium, fosfatase alkali dan

(16)

2.3.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk pruritus uremikum meliputi penatalaksanaan

nonfarmakologis, farmakologis dan dengan mengatasi penyakit yang

mendasarinya. Penatalaksanaan nonfarmakologis meliputi pengobatan secara

fisik, seperti fototerapi, akupunktur dan sauna, sampai dengan tindakan

paratiroidektomi. Penatalaksanaan farmakologis meliputi penatalaksanaan

topikal dan sistemik. Emolien, kapsaisin dan steroid topikal adalah

penatalaksanaan topikal yang dilaporkan. Obat-obatan sistemik meliputi

pemberian diet rendah protein, minyak primrose, lidokain dan metiksilin, antagonis opioid, charcoal aktif, kolestiramin, antagonis serotonin, talidomid,

nicergoline dan nalfurafine. Pruritus uremikum juga dapat diatasi jika penyakit yang mendasarinya dapat diatasi, yaitu dengan transplantasi ginjal,

dialisis yang efisien maupun eritropoietin.32,36

2.4 Derajat keparahan pruritus

Penilaian pruritus adalah problematik, sebab sifat-sifat alaminya dan

lokalisasinya yang tidak jelas. Secara umum, penilaian pruritus dapat dibagi

menjadi 2 kelompok utama: evaluasi subyektif dari rasa gatal dan penilaian

garukan. Kelompok pertama mencakup penilaian sederhana terhadap derajat

keparahan rasa gatal [seperti VAS, numeric rating scale (NRS), verbal rating scale (VRS)], kuesioner gatal yang menyediakan data kualitas gatal, sistem analisis terkomputerisasi, dan penilaian ambang persepsi pruritus. Kelompok

kedua adalah penilaian garukan, yaitu dengan bantuan pengamatan adanya

(17)

aktivitas pergelangan tangan, sensor tekanan), transduser vibrasi kuku jari-jari

tangan (sensor piezo film, pruritometer) dan sistem evaluasi akustik dari garukan. Selain itu, teknik-teknik pencitraan fungsional (functional magnetic resonance,

positron emission tomography) telah digunakan untuk menganalisis aktivitas otak selama episode gatal).24

Pada studi klinis terhadap pruritus biasanya direkomendasikan untuk

menggunakan kombinasi paling sedikit dua metode penilaian rasa gatal yang

independen. Namun, rekomendasi ini dapat terlalu menghabiskan waktu pada

pengunaan klinis sehari-hari, dan karenanya dibutuhkan suatu metode yang

sederhana dan dapat dipercaya untuk penilaian intensitas gatal.

24,37

2.4.1 Visual analogue scale (VAS)

VAS merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan untk

penilaian pruritus, oleh sebab VAS memberikan estimasi rasa gatal yang

mudah dan cepat.24 VAS dinilai dengan meminta pasien menandai skala 1-10 pada kertas baik horizontal maupun vertikal, untuk menunjukkan derajat

keparahan pruritus yang dirasakan pasien.10,18,23,24 Hal yang perlu diingat adalah VAS memiliki keterbatasan pada pasien-pasien yang berusia tua. Pada

usia ini pasien dapat memiliki penurunan kognitif, sehingga sulit untuk

mengerti skala yang dimaksud atau membutuhkan waktu untuk mengubah

suatu hasil grafik menjadi metrik, maupun dalam hal motorik, sehingga sulit

(18)

2.4.2 Penilaian pruritus modifikasi Duo dan Mettang

Derajat keparahan pruritus dapat dinilai dengan suatu metode yang

didasarkan pada metode yang diusulkan oleh Duo (1987) dan dimodifikasi

oleh Mettang et al. Skor dinilai oleh peneliti yang sama terhadap semua

pasien. Metode ini didasarkan pada kriteria yang mencakup scratching, keparahan, frekuensi dan distribusi pruritus, dan gangguan tidur yang

berkaitan dengan pruritus, yaitu sebagai berikut8,12

1. Scratching: Pruritus yang dilaporkan dengan periode waktu: pagi, sore, dan malam, dan masing-masing memiliki 1 skor.

:

2. Keparahan:

1 skor : sensasi gatal ringan tanpa perlu menggaruk

2 skor : beberapa kali menggaruk

3 skor : sering menggaruk

4 skor : menggaruk tanpa ada rasa berkurang

5 skor : pruritus yang dirasakan terus menerus.

3. Distribusi: Setiap lokasi misalnya lengan, tungkai bawah, dan batang

tubuh mendapatkan masing-masing 1 skor.

1 skor : 1 lokasi

2 skor : 2 lokasi

3 skor : 3 lokasi

4 skor : 4 lokasi

5 skor : pruritus generalisata.

4. Frekuensi: Jumlah episode pruritus dan durasinya. Yang dimaksud dengan

(19)

1 skor : 1 episode panjang atau 2 episode singkat

2 skor : 2 episode panjang atau 4 episode singkat, atau

1 episode panjang dan 2 episode singkat

3 skor : 3 episode panjang atau 6 episode singkat, atau

1 episode panjang dan 4 episode singkat 2 episode panjang dan 2 episode singkat, atau

4 skor : 4 episode panjang, atau

3 episode panjang dan 2 episode singkat, atau

2 episode panjang dan 4 episode singkat, atau

1 episode panjang dan 6 episode singkat, atau

8 episode singkat

5 skor (maksimal):

> 5 episode panjang, atau

4 episode panjang dan 2 episode singkat, atau

3 episode panjang dan 4 episode singkat, atau

2 episode panjang dan 6 episode singkat, atau

1 episode panjang dan 8 episode singkat, atau

> 10 episode singkat.

5. Gangguan tidur: Keadaan yang dinilai adalah jumlah jam tidur dan

frekuensi gangguan tidur oleh karena rasa gatal. Skor 0 jika memiliki > 7

jam tidur pada malam hari dan skor 10 jika tidak dapat tidur sama sekali.

Gangguan tidur juga dinilai dari jumlah berapa kali pasien terbangun pada

malam hari oleh karena rasa gatal.

(20)

2 skor : untuk 2 kali terbangun

3 skor : untuk 3 kali terbangun

4 skor : untuk 4 kali terbangun

5 skor : untuk > 5 kali terbangun.

Untuk keparahan, distribusi dan frekuensi, penilaian skor dilakukan pagi dan

siang. Sehingga skor paling tinggi selama 24 jam adalah 48.12,25 Penelitian yang menggunakan penilaian derajat pruritus pernah dilakukan dengan

menentukan skor pruritus yang dievaluasi dalam 4 minggu terakhir.

Gradasi derajat keparahan pruritus adalah sebagai berikut: 1-16

dikelompokkan menjadi pruritus ringan, 17-32 pruritus sedang, dan 33-48 pruritus

berat.

8,38

12

Pada penelitian DOPPS I 45% pasien dilaporkan mengalami pruritus

sedang ke berat dan dan DOPPS II melaporkan 42% pasien yang mengalami

pruritus sedang ke berat.8 Mirnezami et al melaporkan bahwa pruritus ringan jauh lebih banyak didapatkan, yaitu dari 100 pasien, didapatkan 55,6% mengalami

pruritus ringan, 33,3% pruritus sedang dan 11,1% pruritus berat.12

2.5 Hubungan hemodialisis dengan kejadian pruritus

Hemodialisis memiliki efikasi dengan mengeluarkan zat terlarut yang tidak

diinginkan dengan cara difusi melalui membran semipermeabel. Molekul-molekul

kecil dan sebagian molekul yang lebih besar dapat dibersihkan, dimana substansi

(21)

pruritus uremikum, yaitu dengan mengeluarkan substansi-substansi pruritogenik

dari dalam tubuh.

Namun dialisis juga dilaporkan sebagai suatu pemicu penting dari pruritus.

Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh deposit atau akumulasi yang lambat

dari pruritogen alami yang belum jelas diketahui.

10,13

22

Walaupun xerosis juga dapat

ditemukan pada penderita penyakit ginjal kronik sebelum dialisis, peningkatan

yang signifikan dari frekuensi xerosis diamati pada pasien-pasien yang memulai

dialisis. Deplesi air pada dermis, yang disebabkan oleh pergantian cairan selama

satu sesi dialisis, telah diajukan sebagai suatu penjelasan terjadinya xerosis

uremikum. Perfusi kulit juga telah terbukti terganggu pada pasien-pasien yang

menjalani dialisis, dapat berkontribusi terhadap proses dehidrasi kulit.

Sementara beberapa laporan menyebutkan adanya penurunan pruritus

uremikum setelah adanya hemodialisis,

39

10

beberapa penelitian melaporkan

perburukan pruritus dengan meningkatnya durasi hemodialisis,13,22 beberapa penelitian lain melaporkan tidak ditemukannya hubungan antara durasi

(22)

2.6 Kerangka Teori

Hemodialisis Transplantasi

(23)

2.7 Kerangka Konsep

Dari landasan teori yang telah diuraikan dapat disusun kerangka konsep

penelitian sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka konsep

2.8 Hipotesis

Terdapat hubungan lama menjalani hemodialisis dan skor pruritus pada

pasien-pasien yang menjalani hemodialisis di Unit Hemodialisis RSUP Haji

Adam Malik Medan.

Lama menjalani Hemodialisis

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka teori

Referensi

Dokumen terkait

Rancangan pengembangan produk yang akan dilaksanakan sebagai berikut: (1) merumuskan tujuan penggunaan produk yaitu untuk menambah kreatifitas pendidik dan

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press..

Kemampuan komputer untuk menyelesaikan pekerjaan tidak hanya dibidang komputasi, pengolahan data, multimedia dan informasi melainkan dapat digunakan untuk interface yang

Namun, fakta ini tidak semata-mata terjadi di industri humas, melainkan di hampir semua industri.Tujuan dari artikel ini adalah untuk menganalisa permasalahan yang

ﻰﻓ ﺱﺎﻨﺠﻟﺍ .( ﺎﺳﺎﻨﺟ ﻪﻤﻜﺣﻭ ﻪﻧﺎﻴﺑ ﻦﻣ ﺭﺎﺘﺨﻤﻟﺍ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﺪﺟﻮﻳ ﻢﻟﻭ , ﻡﺎﺘﻟﺍ ﺮﻴﻏ ﺱﺎﻨﺟ ﻲﻫ.. Kajian Jinas merupakan bagian dari Ilmu Balaghah, khusunya pada

Melakukan konstruksi realitas model peta analog, artinya membuat pemberitaan secara faktual dan eksklusif, serta tidak dibuat-buat dan mengikuti alur (Soekanto, 2014), serta

Universitas Sumatera Utara.. Kajian Jinas merupakan bagian dari Ilmu Balaghah, khusunya pada Ilmu Badi’, bagian Muhassinatul Lafzhi. Dalam pembahasan Jinas hal yang menarik

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Uiian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam.. Bidang Ilmu