BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pemerintah adalah entitas masyarakat dalam suatu negara yang diberi
kewenangan untuk menjalankan pemerintahan. Pelaksanaan pemerintahan hanya
dapat dilaksanakan dengan adanya beberapa unsur pendukung, salah satunya
adalah tersedianya dana yang memadai. Dana yang diperoleh negara merupakan
penerimaan yang dipergunakan untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Anggaran tersebut merupakan uraian pembiayaan yang
dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan keperluan pembangunan.
Penyelenggaraan pemerintahan secara rutin banyak menggunakan sumber dana,
apalagi disertai dengan pembangunan. Sumber-sumber dana tersebut dapat
diperoleh dari dalam negeri. Salah satu penerimaan negara adalah dari sektor
pajak. Sektor pajak memiliki posisi yang sangat strategis bagi pendapatan negara,
sehingga hampir tidak disangkal bahwa pajak merupakan andalan pemasukan
uang bagi negara. Negara menggunakan hasil pajak untuk membiayai
kesejahteraan umum, penyelenggaraan pemerintahan, pertahanan dan lain-lain.
Pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan yang dipungut
berdasarkan undang-undang, tanpa ada manfaat yang secara langsung bisa
dirasakan atau didapatkan oleh Wajib Pajak dan hasilnya digunakan untuk
menjalankan tata pemerintahan yang baik. Pada dasarnya tujuan pemungutan
tujuan pemungutan pajak mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tujuan
negara, sehingga tujuan pajak tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara.
Dalam mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah
menyelenggarakan otonomi daerah. Kebijakan dalam sistem pemerintahan
Republik Indonesia memberikan keleluasaan kepada daerah untuk
menyelenggarakan otonomi daerah yang menekankan pada prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperbaiki
potensi dan keanekaragaman daerah.Maka dari itu pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
otonomi daerah dan telah diperbaharui menjadi Undang-Undang No 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan maksud agar pemerintah daerah dapat
menjalankan dan mengatur pemerintahannya dengan landasan yang kuat. Di
dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2014 juga diatur mengenai kebijakan
desentralisasi. Dimana konsep desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan
atau penyerahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
dalam rangka pengambilan keputusan atau kebijakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Khususnya dalam kebijakan desentralisasi fiskal yang akan
mendukung pelaksanaan otonomi daerah. Adanya kebijakan desentralisasi fiskal
membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk menggali dan
mengoptimalkan sumber daya yang ada di daerahnya dalam meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Maka dari itu dilihat dari kebijakan desentralisasi, sistem perpajakan
yang lama sudah tidak sesuai lagi dengantingkat kehidupan sosial ekonomi
laju pembangunan nasional yang telah dicapai. Di samping itu, sistem perpajakan
yang lama tersebutbelum dapat menggerakkanperan dari semua lapisan subjek
pajak yang besar peranannya menghasilkan penerimaan dalam daerah yang
sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan dan peningkatan
pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (PDRD).
Undang-undang ini memuat ketentuan umum dan tata cara perpajakan
yang pada prinsipnya diberlakukan bagi undang-undang pajak tersebut.
Pengesahan Undang-undang Pajak daerah dan Retribusi Daerah ini sangat
strategis, dalam dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat
perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembai hubungan
keuangan antara pusat dan daerah yang selama ini dirasakan kurang memenuhi
rasa keadilan bagi suatu daerah.
Perubahan tersebut juga bertujuan untuk lebih memberikan keadilan secara
merata, meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan
penegakan hukum, serta mengantisispasi kemajuan dibidang teknologi informasi
dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan dan juga tujuan utama dari
pembaharuan Sistem Perpajakan Nasional adalah untuk lebih menegakkan
kemandirian Indonesia dalam membiayai pembangunan nasional dengan cara
lebih mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki di setiap daerah.Selain itu,
perubahan tersebut juga dimasukkan untuk meningkatkan profesionalisme aparatur
perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan
Dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan
kesederhanaan, arah dan tujuan perubahan undang-undang tentang ketentuan
umum dan tata cara perpajakan ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai
berikut:
1. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka
mendukung peningkatan pendapatan asli daerah
2. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi
nasyarakat
3. Menyesuaikan tuntutan perkembangan sosial ekonomi
masyarakat serta perkembangan di bidang teknologiinformasi.
4. Meningkatkan keseimbangan antara hak dankewajiban
5. Menyederhanakan prosedur administrasiperpajakan.
6. Meningkatkan penerapan prinsipp self assessment secara
akuntabel dan konsisten
7. Mendukung iklim usaha kearah yang lebih kondusif
dankompetitif
Dengan dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan daerah dalam jangka menengah dan panjang seiring
dengan meningkatkan kepatuhan sukarela dan membaiknya iklim usaha.
Reformasi perpajakan di Indonesia dicetuskan oleh pemerintah Indonesia
pada tahun 1983 atau 38 tahun setelah Indonesia merdeka. Perkembangan
terbaru tentang pajak daerah saat ini yaitu pelimpahan kewenangan pemungutan
pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) yang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD).Dengan adanya kebijakan tersebut maka kegiatan proses pendataan,
penilaian, penetapan, pengadministrasian, pemungutan atau penagihan dan
pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Adapun dasar pemikiran dan alasan pokok dari pengalihan PBB-P2
menjadi pajakdaerah, antara lain: Pertama, berdasarkan teori, PBB-P2 lebih
bersifat lokal (local origin), visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah
(immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang
menikmati hasil pajak tersebut (the benefit tax-linkprinciple). Kedua, pengalihan
PBB-P2 diharapkan dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
sekaligus memperbaiki struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD). Ketiga, untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (public services),
akuntabilitas, dan transparansi dalam pengelolaan PBB-P2. Keempat,
berdasarkan praktek di banyak negara, PBB -P2 atau Property Tax termasuk
dalam jenis local tax.
Wacana pelimpahan kewenangan pemungutan PBB-P2 dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah sebenarnya sudah berlangsung lama, dan baru
terwujud setelah adanya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Mekanisme pemungutan PBB-P2 dahulu dipungut dan
diadministrasikan semuanya oleh pemerintah pusat tetapi hasilnya dibagikan lagi
kepada masing-masing pemerintah daerah untuk pembangunan daerah. Dengan
pengalihan tersebut, penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk ke pemerintah
Kabupaten/Kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan jumlah pendapatan
dana bagi hasil, setelah dialihkan menjadi pajak daerah PBB masuk dalam akun
Pendapatan Asli Daerah. Ketika PBB dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah
Kabupaten/Kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8% hal ini berdasarkan
Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah. Setelah pengalihan ini, semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan
masuk ke dalam kas pemerintah daerah (www.pajak.go.id).
Kebijakan peralihan pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan dari pusat ke daerah tentunya bukanlah hal yang mudah. Ada
banyak persiapan yang harus dilakukan secara matang terkait kebijakan tersebut.
Di Kota Pematangsiantar sendiri, pemerintah Kota Pematangsiantar mengambil
alih kewenangan tersebut pada bulan Desember 2014 yaitu dengan mengeluarkan
Peraturan Daerah Kota Pematangsiantar Nomor 6 Tahun 2011Tentang Pajak
Daerah. Dalam beberapa bulan setelah mengambil alih kewenangan untuk
mengelola pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) tersebut,
Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Pematangsiantar menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai keputusan yang sudah ditetapkan DJP pada 2011 lalu agar
kiranya pajak daerah bisa dimaksimalkan dengan baik.
Karena PBB-P2 akan dialihkan menjadi pajak daerah dan juga penerimaan
dari hasil pemungutan pajak daerah tersebut akan sepenuhnya dimasukkan ke
dalam PAD, maka dari itu pemerintah daerah harus mengoptimalkan potensi dari
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan melalui persiapan yang
matang terkait pelimpahan wewenang tersebut. Potensi Pajak PBB-P2 dapat
peralihan dan sesudah peralihan kebijakan tersebut. Realisasi penerimaan PBB-P2
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1.1. DATA REALISASI PENERIMAAN PBB-P2 KOTA PEMATANGSIANTAR
TAHUN Target PBB-P2 Realisasi PBB-P2
2011 6.796.413.786 446.281.535
2012 7.272.626.298 621.055.694
2013 7.333.745.859 936.058.740
2014 7.557.247.432 1.390.083.707
2015 7.781.604.503 2.255.242.144
2016 7.905.741.010 5.131.506.907
JUMLAH 7.386.749.021
Sumber data : Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Pematangsiantar Tahun 2017
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa realisasi penerimaan PBB-P2
masih jauh dalam mencapai target pada tahun pertama peralihan. Penerimaan
PBB-P2 masih cenderung tidak stabil. Hal tersebut dikarenakan masih banyak
hambatan dalam pemungutan PBB-P2 dimulai dari proses pendataan hingga
pemungutan yang dilakukan Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota
Pematangsiantar.
Karena sistem pemungutan PBB-P2juga mengalami perubahan dan
berbeda dari sebelumnya, dimana sebelumnya dilakukan oleh pemerintah pusat
pelaksanaannya dilakukan oleh Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota
Pematangsiantar. Adapun persiapan yang harus dilakukan Pemerintah Kota
Pematangsiantar diantaranya adalah menyiapkan peraturan peraturan terkait
dengan PBB-P2, kerjasama dengan lembaga yang melayani perpajakan, sarana
prasarana, struktur organisasi dan tata kerja, sumber daya manusia serta
penganggaran dalam pendapatan belanja daerah. Dengan adanya peraturan daerah
tersebut, maka pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(PBB-P2) telah diserahkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kota
Pematangsiantar sejak peraturan itu diterbitkan. Selanjutnya, untuk mengetahui
sejauh mana penerapan pengalihan PBB-P2 di Kota Pematangsiantar dan apa
yang menjadi permasalahan dari penerapan tersebut dan juga perubahan atau
dampak apa yang terjadi tentu selanjutnya akan dibahas secara mendalam oleh
penulis.
Oleh karena itu penulis ingin meneliti terkait bagaimana Implementasi dan
bagaimana kesiapan pemerintah daerah dalam menghadapi peralihan pajak bumi
dan bangunan perdesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah kota
Pematangsiantar.
Dari berbagai pemaparan di atas maka penulis tertarik mengangkat judul
“Implementasi Kebijakan Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang
menjadi rumusan masalah adalah “Bagaimana Implementasi Kebijakan Peralihan
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan Perkotaan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah
(Studi Pada Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Pematangsiantar)”.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah
Implementasi Kebijakan Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
Perkotaan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah (Studi Pada Badan Pengelola Keuangan
Daerah Kota Pematangsiantar) dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
keberhasilan serta penghambat dari proses implementasi kebijakan tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian
Dengan tercapainya tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
1.Manfaat Akademis
Penelitian ini merupakan salah satu syarat penyelesaian program studi
sarjana Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial
Universitas Sumatera Utara.
2. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan serta kepustakaan
untuk melakukan penelitian lanjutan terkait dengan tema dan topik dalam
penelitian ini.
b. Sebagai bahan acuan untuk mengkaji dan menganalisis Implementasi
PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah (Studi Pada Badan Pengelola Keuangan
Daerah Kota Pematangsiantar).
3. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai sarana mengaplikasikan berbagai
ilmu pengetahuan yang telah dipelajari sekaligus untuk menambah
pengetahuan tentang Implementasi Kebijakan Peralihan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan Perkotaan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah (Studi
Pada Badan Pengelola Keuangan Daerah Kota Pematangsiantar).
b. Bagi kantor Badan Pengelola Keuangan Daerah kota Pematangsiantar,
Sebagai bahan masukan dalam mengkaji, mengevaluasi, dan
merevisiImplementasi Kebijakan Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan Perkotaan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah (Studi Pada Badan
Pengelola Keuangan Daerah Kota Pematangsiantar).
1.5. Kerangka Teori
1.5.1 KebijakanPublik
1.5.1.1PengertianKebijakanPublik
Secara etimilogis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa
Yunani“polis” berarti Negara. Akhirnya masuk kedalam bahasa Inggris“policie”
yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah public atau
administrasi pemerintahan, (William N Dunn,2000:22).
Istilah“kebijakan”atau”policy”dipergunakan untuk menunjuk perilaku
seorang actor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu badan
Winarno 2002:14). Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan
relative memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan
sistematis menyangkut analisis kebijakan publik. Sedangkan kata public sendiri
sebagian orang mengartikan sebagai Negara.
Namun demikian, kebijakan public merupakan konsep tersendiri yang
mempunyai arti dan defenisi khusus akademik. Defenisi kebijakan public
menurut pariahli sangat beragam. Menurut Easton, 1969 (Hesel Nogi Tangkilisan
2003:2), kebijakan public adalah sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan
untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup
pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Menurut Carl Friedrich,1963 (BudiWinarno:19), mendefenisikan kebijakan
public sebagai arah tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau
merealisasikan suatu sasaran dan maksud tertentu.
Namun demikian dalam mendefenisikan kebijakan adalah bahwa
pendefenisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang
sebenarnya dilakukan dari pada apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai
suatu persoalan tertentu. Menurut James E Anderson (Ibid2002:16),
mendefenisikan kebijakan public adalah arah tindakan yang mempunyai maksud
masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena
memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan atau bukan pada apa
yang diusulkan atau dimaksudkan.
Berdasarkan pengertian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
kebijakan public merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk
memecahkan masalah demi kepentingan masyarakat.
1.5.1.2Bentuk dan ProsesKebijakanPublik
Terdapat tiga kelompok rentetan kebijakan publik yang dirangkum secara
sederhana yakni sebagai berikut (Nugroho Riant, 2006:3) :
1. Kebijakan Publik Makro
Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum atau dapat juga
dikatakan sebagai kebijakan yang mendasar. Misalnya (a) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (b) Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (c) Peraturan Pemerintah
(d) Peraturan Presiden (e) Peraturan Daerah.
2. Kebijakan Publik Meso
Kebijakan publik yang bersifat meso atau yang bersifat menengah atau
yang lebih dikenal dengan penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat
berupa Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur,
Peraturan Bupati, Peraturan Walikota, Keputusan Bersama atau SKB
3. Kebijakan Publik Mikro
Kebijakan publik yang bersifat mikro, mengatur pelaksanaan atau
implementasi dari kebijakan publik yang diatasnya. Bentuk kebijakan ini
misalnya peraturan yang dikeluarkan oleh aparat-aparat publik tertentu
yang berada di bawah menteri, Gubernur,Bupati dan Walikota.
Adapun kebijakan public memiliki tahap-tahap yang cukup kompleks
karena memiliki banyak proses dan variable yang harus dikaji. Menurut William
Dunn d a l a m Budi Winarno: 28, tahap-tahap kebijakan public adalah sebagai
berikut:
a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada
agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetensi terlebih dahulu
untuk dapat masuk kedalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah
masukke agenda kebijakan pada perumusan kebijakan. Pada tahap ini suatu
masalah mungkin tidak tersentuh sama sekali dan beberapa yang lain pembahasan
untuk masalah tersebut ditunda untuk waktu yang lama
b. Formulasi Kebijakan (Policy Formulation)
Masalah yang telah masuk kedalam agenda kebijakan kemudian dibahas
oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefenisikan untuk
kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal
dari berbagai alternative yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu
masalah untuk masuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan
c. Adopsi Kebijakan (Policy Adoption)
Dari sekian alternative kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus
kebijakan, pada akhirnya salah satu alternative kebijakan tersebut diadopsi
dengan dukungan dari mayoritas legislatif, consensus antara direktur lemabaga
atau keputusan peradilan.
d. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation)
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika
program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan
yang telah diambil sebagai alternative pemecahan masalah harus
diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun
agen-agen pemerintah ditingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil
dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumber daya
financial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan
saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para
pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para
pelaksana.
e. Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation)
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi untuk
melihat sejauh mana kebijakan yang telah mampu memecahkan masalah.
Kebijakan publik yang pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang
diinginkan. Dalam hal ini memperbaiki masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh
karena itu, ditentukanlah kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai
1.5.2 Implementasi Kebijakan
1.5.2.1 Pengertian Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan
elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Implementasi kebijakan
dipandang dalam pengertian yang luas merupakan tahap dari proses kebijakan
segera setelah Undang-Undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai
makna pelaksanaan Undang-Undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur,
dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya
meraih tujuan-tujuan kebijakan dan program-program. Implementasi pada sisi
yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami
sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak
(outcome).
Menurut Riant Nugroho (2007), Implementasi dikonseptualisasikan
sebagai suatu proses, atau sebagai rangkaian keputusan dan tindakan yang
ditujukan agar keputusan yang diterima oleh lembaga legislative bias dijalankan.
Implementasi diartikan dalam konteks keluaran, atau sejauhmana tujuan-tujuan
yang telah direncanakan mendapat dukungan, seperti tingkat pengeluaran belanja
bagi suatu program. Akhirnya, pada tingkat abstraksi yang paling tinggi, dampak
implementasi mempunyai makna bahwa telah ada perubahan yang bias diukur
kedalam masalah.
Menurut Jones (1996), tiga kegiatan utama yang paling penting dalam
implementasi keputusan adalah:
program kedalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat
dijalankan.
2. Organisasi, merupakan unit atau wadah untuk menempatkan
program kedalam tujuan kebijakan.
3. Penerapan, merupakan berhubungan dengan perlengkapan rutin
bagi pelayanan,upah dan lainnya.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa implementasi merupakan
suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu
aktivitas atau kegiatan sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil
yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri.
1.5.3 Model-Model Implementasi Kebijakan A.Model Van Meter dan Van Horn (1975)
Model pendekatan implementasi kebijakan yang dirumuskan Van Meter
dan Van Horn, model ini menjelaskan bahwa kebijakan dipengaruhi oleh
beberapa variable yang saling berkaitan (Subarsono,2005:19). Variabel-variabel
tersebut yaitu:
1. Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisir. Apabila standart dan sasaran kebijakan kabur, maka akan terjadi multi
interpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.
Mengukur kerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan
kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar
dan sasaran tersebut.
2. Sumber Daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumberdaya
manusia maupun sumberdaya non-manusia. Keberhasilan implementasi kebijakan
sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia.
Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan
keberhasilan suatu implementasi kebijakan. Setiap tahap implementasi menuntut
adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang
diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Selain sumber
daya manusia, sumberdaya financial dan waktu menjadi perhitungan penting
dalam keberhasilan implementasi kebijakan.
3. Komunikasi dan Penguatan Aktivitas
Dalam implementasi program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain agar tujuan kebijakan dapat tercapai.
4. Karakteristik Agen Pelaksana
Mencakup struktur birokrasi, norma-norma dan pola-pola yang terjadi
dalam birokrasi, yang semuanya akan mempengaruhi implementasi suatu
program.
5. Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik
Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi, lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana
kelompok-kelompok kepentingan dapat memberikan dukungan bagi implementasi
bagaimana sifat opini public yang ada dilingkungan dan apakah elit politik
mendukung implementasi kebijakan.
6. Disposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yaitu: (a)
respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap
kebijakan; (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang
dimilki oleh implementor.
Model implementasi kebijakan dari Van Meter dan Van Horn dapat dilihat
dalam bagan berikut ini:
Model Implementasi Kebijakan Van Meter dan Van Horn
Gambar 1.1 Model Implementasi Kebijakan Van Meter danVan Horn
Sumber: Subarsono (2005 :100)
B.Model Merilee S Grindle (1980)
bahwa studi implementasi kebijakan ditentukan olehisi kebijakan dan konteks
implementasinya. Grindle juga menyatakan bahwa keberhasilan implementasi
kebijakan ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.
Keunikan model Grindle terletak pada pemahaman yang komprehensif akan
konteks kebijakan khususnya yang menyangkut implementor, penerima
implementasi, dan arena konflik yang mungkin terjadi serta sumberdaya yang
akan diperlukan selama proses implementasi. Secara konsep dijelaskan bahwa
model implementasi kebijakan public yang dikemukakan Grindle menentukan
bahwa keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai kepada tercapainya
hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan
yang cukup, selain dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya.
Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan
5. Siapa pelaksana program
6. Sumberdaya yang dilibatkan
Isi sebuah kebijkan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh
sejumlah besar pengambilan keputusan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang
lainnya hanya ditentukan sejumlah kecil unit pengambilan kebijakan. Selanjutnya
pengaruh dalam konteks lingkungan yang terdiri dari:
1. Kekuasaan kepentingan dan strategi actor yang terlibat
3. Kepatuhan dan daya tangga ppelaksana
Implementasi sebagai proses politik dan administrative menurut Merilee S Grindle
Gambar 1.2.Model Implementasi menurut Merilee S Grindle
Sumber: Subarsono (2005 :94)
C.Model Mazmanian dan Sabatier (1983)
Menyatakan bahwa studi implementasi kebijakan public adalah upaya
melaksanakan keputusan kebijakan. Model ini disebut sebagai kerangka analisis
implementasi. Mazmanian dan Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi
kebijakan kedalam tiga variabel, yaitu:
1. Karakteristik dari masalah,indikatornya adalah:
b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan
2. Karakteristik kebijakan, indikatornya adalah:
a. Kejelasan isi kebijakan
b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis
c. Besarnya lokasi sumber daya finasial terhadap kebijakant ersebut
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar institute
pelaksana
e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan
pelaksana
f. Tingkat komitmen aparat terhadap kebijakan
3. Variabel lingkungan, indikatornya adalah:
a. Kondisi social ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan
teknologi
b. Dukungan public terhadap suatu kebijakan
c. Sikap dari kelompok pemilih
d. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan
Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Proses Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier
Gambar 1.3. Model Implementasi menurut Mazmanian dan Sabatier
Sumber: Subarsono (2005 :95)
D.Model George Edwards III
Menurut Edwards (Dwiyanto Indiahono,2009:32), studi implementasi
kebijakan adalah krusial bagi public administration dan public policy.
Implementasi kebijakan adalah pembuatan kebijakan antara pembentukan
kebijakan dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang
dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mempengaruhi
mungkinakan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan
dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga
akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan
dengan baik oleh para pelaksana kebijakan.
Menurut Edwards, terdapat empat factor atau variable dalam
implementasi kebijakan publik,yaitu:
a. Komunikasi
Menurut Edwards, persyaratan utama bagi implementasi kebijakan yang
efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui apa
yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan
perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi harus akurat dan harus
dimengerti dengan cermat oleh para pelaksana. Akan tetapi, banyak
hambatan yang menghadang transmisi komunikasi pelaksanaan dan
hambatan-hambatan ini mungkin menghalangi pelaksanaan kebijakan.
b. Sumber Daya
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas, dan
konsisten. Tapi, jika para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka implementasi inipun cenderung
tidak efektif. Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan factor yang
penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang penting
yaitu: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang baik untuk melaksanakan
tugas-tugas mereka, wewenang dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan guna
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor
seperti komitmen, kejujuran, dan sikap demokratis. Apabila implementor
memiliki disposisi yang baik terhadap suatu kebijakan tertentu hal ini berarti
adanya dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal. Demikian pula
sebaliknya, bila tingkah laku para implementor berbeda dengan para pembuat
keputusan maka proses pelaksanaan suatu kebijakanakan semakin sulit.
d. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah satu yang paling sering bahkan secara
keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi baik secara sadar atau tidak
sadar memilih bentuk-bentuk organisasi untuk kesepakatan kolektif, dalam
rangka pemecahan masalah-masalah social dalam kehidupan modern.
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi, yakni
prosedur-prosedur kerja ukuran-ukuran dasar atau sering disebut dengan
Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi, yaitu:
1. Berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang
terbatas dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta
keinginan untuk keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang
kompleks dan tersebar.
2. Berasal terutama dari tekanan diluar unit-unit birokrasi, seperti
komite-komite legislatif, kelompok kepentingan, pejabat
eksekutif, konstitusi Negara dan sifat kebijakan yang
FaktorPenentuImplementasimenurutEdwardIII
Gambar 1.4 Model Implementasi Menurut Edward III
Sumber: Subarsono (2005 :91)
1.5.4 Model Implementasi Kebijakan Yang Digunakan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan model implementasi menurut
George Edward III karena beberapa variable dianggap mempengaruhi
implementasi kebijakan peralihan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan menjadi pajak daerah, variabel tersebut antara lain:
1. Komunikasi
Komunikasi merupakan salah satu urat nadi dari sebuah organisasi agar
program-programnya tersebut dapat direalisasikan dengan tujuan sertasa
sarannya. Komunikasi ialah sarana untuk menyebar luaskan informasi, baik dari
atas kebawah maupun sebaliknya. Komunikasi dilakukan untuk menghindari
distorsi implementasi. Sementara itu koordinasi menyangkut persoalan
bagaimana praktik pelaksanaan kekuasaan. Koordinasi berarti adanya kerjasama
pencapaian tujuan implementasi kebijakan.
2. Sumber Daya
Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak memadai (jumlah dan
kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna
karena mereka tidak bias melakukan pengawasan dengan baik. Keberhasilan
proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan
sumberdaya yang tersedia.Sumberdaya menunjukkan setiap kebijakan harus
didukung oleh sumberdaya yang memadai, baik sumber daya manusia, fasilitas,
dan finansial. Ketersediaan sumber daya mempengaruhi efektivitas implementasi
suatu program kebijakan. Oleh karena itu, dinas-dinas yang memiliki tugas dalam
mempertimbangkan sumber daya yang sudah tersedia sebelumnya.
3. Disposisi
Salah satu factor yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan
adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan bagian-bagian isi dari
kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika
pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi
akan mengalami banyak masalah. Ada 3 (tiga) bentuk sikap atau respon
implementor terhadap kebijakan, yaitu:
a. Kesadaran pelaksana
b. Petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program
kearah penerimaan atau penolakan
c. Intensitas dari respon tersebut
Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun
mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi
mengalihkan dan menghindarii mplementasi program.
4. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memilki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
aspek struktur yang penting dari organisasi adalah adanya Standard Operating
Procedures (SOP). Standard Operating Procedures (SOP) menjadi pedoman bagi
setiap implementor untuk bertindak struktur organisasi yang prosedur birokrasi
cukup rumit dan kompleks.
1.5.5 Pajak
1.5.5.1Pengertian Pajak
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak merupakan kontribusi wajib
kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sedangkan pengertian Pajak menurut Mardiasmo, (2011: 1), pajak adalah iuran
rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sementara
menurut Soeparman Soehamidjaja (1964) Pajak adalah iuran wajib berupa
uang/barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna
kesejahteraan umum.
1.5.5.2 Fungsi Pajak
Berdasarkan pada pengertian pajak yang telah dipaparkan, dapat
disimpulkan bahwa fungsi pajak adalah sebagai sumber pendapatan Negara guna
membiayai pengeluaran-pengeluaranumum Negara untuk kesejahteraan
masyarakat. Selain itu,fungsi pajak menurut Mardiasmo (2011:1) yaitu:
1. Fungsi Budgetair (anggaran) yaitu pajak sebagai sumber dana
bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
2. Fungsi Regulair (mengatur) yaitu alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang social
dan ekonomi.
1.5.5.3 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak menurut Mardiasmo(2011:7), terdiri atas
3(tiga) macam, yaitu:
1. Official Assesment System adalah system pemungutan pajak yang member wewenang pemerintah untuk menentukan besarnya
pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. Self Assement System adalah system pemungutan pajak yang member wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan
sendiri besarnya pajak yang terutang.
member wewenag kepada pihak ketiga (bukan fiskus atau Wajib
Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak
yang terutang oleh Wajib Pajak.
1.5.5.4 Asas-Asas Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:13), menyatakan bahwa pemungutan pajak
hendaknya didasarkan pada asas-asas berikut:
1. Asas domisili (asas tempat tinggal), yaitu Negara berhak
mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang
bertempat tinggal diwilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari
dalam maupun dari luar negeri.
2. Asas sumber, yaitu Negara berhak mengenakan pajak atas
penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan
tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Asas kebangsaan, yaitu pengenaan pajak yang dihubungkan dengan
kebangsaan suatu Negara
1.5.5.5 Pengelompokan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011), pengelempokkan pajak terdiri dari 3 (tiga)
macam, yaitu:
1. Pengelompokkan pajak menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang dipikul sendiri oleh wajib
pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada
orang lain. Contoh: Pajak Penghasilan
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.Contoh: Pajak
Pertambahan Nilai
2. Pengelompokkan pajak menurut sifatnya
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada subjeknya,
dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh:
Pajak Penghasilan
b. Pajak objektif, yaitu pajak yang berdasarkan pada objeknya,
tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh : Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Pengelompokkan pajak menurut lembaga pemungut
a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh:
Pajak Penghasilan
b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah
Daerah dan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak
daerah terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Pajak Provinsi (contoh:
Pajak Kendaraan Bermotor) dan Pajak Kabupaten/Kota (contoh:
Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan lain-lain).
1.5.5.6 Tarif Pajak
Ada 4 (empat) macam tariff pajak yang dikemukakan Mardiasmo
(2011), yaitu:
1. Tarif Sebanding atau Proposional yaitu berupa persentase yang
besarnya pajak yang terutang proposional terhadap besarnya nilai
yang dikenai pajak.
2. Tarif Tetap yaitu tariff berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap
berapapun jumlah yang dikenai pajak sehingga pajak yang terutang
tetap.
3. Tarif Progresif yaitu persentase tariff yang digunakan semakin
besar bilaj umlah yang dikenai pajak semakin besar.
4. Tarif Degresif yaitu persentase tariff yang digunakan semakin kecil
bila jumlah yang dikenai pajak semakin besar.
1.5.6 Peraturan Daerah No 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah 1.5.6.1 Pajak Daerah
Berdasarkan Peraturan DaerahKota Pematangsiantar Nomor 6 tahun
2011 tentang Pajak Daerah. Pajak Daerah merupakan kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuranr akyat.
1.5.6.2 Ciri-Ciri Pajak Daerah
Ciri-ciri pajak daerah dapat didefenisikans ebagai berikut:
1. Pajak daerah berasal dari pajak Negara yang diserahkan kepada
daerah sebagai pajak daerah.
2. Penyerahan dilakukan berdasarkan Undang-Undang.
3. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan
4. Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan urusan rumah tangga daerah untuk membiayai
pengeluaran daerah sebagai badan hokum publik.
1.5.6.3 Sistem Pemungutan Pajak Daerah
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menetapkan system pemungutan
pajak untuk setiap Pajak Daerah adalah:
1. Sistem pemungutan pajak daerah
a. Dibayar sendiri oleh wajib pajak
b. Ditetapkan oleh kepala daerah
c. Dipungut pajak daerah
2. Pemungutan pajak daerah
a. Percetakan formulir perpajakan
1.5.6.4 Jenis Pajak Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, pajak daerah terdiri atas :
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
(PBB-P2)
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
1.5.7 Pajak Bumi Dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
1.5.7.1Peralihan PBB-P2
Ada beberapa alasan peralihan pengelolaan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) kepada pemerintah daerah
(Departemen Keuangan, 2009), yaitu sebagai berikut.
a. Transparansi dan akuntabilitas dinilai akan dapat lebih
diwujudkan jika pengelolaan PBB diserahkan kepada
masing-masing daerah otonom. Hal ini pada gilirannya akan membawa
iklim demokrasi yang lebih baik dan berakar langsung pada
persoalan-persoalan konkrit di daerah yang bersangkutan. Mereka
melihat bahwa pembiayaan kebutuhan daerah yang sebagian
besar dibiayai dana transfer dari pusat kurang mencerminkan
akuntabilitas dari pengenaan pajak daerah dan tidak memberikan
insentif bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara efisien.
Asumsinya jika pembiayaan kebutuhan daerah dibiayai sebagian
besar dari alokasi dana pusat, maka otomatis kurang memberikan
dorongan kepada daerah untuk menggunakan dana tersebut bagi
peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya bila
derajat transparansi dan akuntabilitas pengelolaan pajak tersebut
daerah atas pelayanan publik yang langsung mereka nikmati juga
makin tinggi. Bersamaan dengan itu pemerintah daerah akan
terdorong untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
karena setiap pembebanan kepada masyarakat memerlukan
peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
b. Objek pajak PBB P2 dan BPHTB bersifat immobile, dalam arti
tidak dapat direlokasi ke daerah lainnya, sehingga lebih pantas
apabila dijadikan pajak daerah.
c. Objek PBB P2 dan BPHTB tersebut lokasinya berada di suatu
daerah kabupaten/kota, dan aparat pemerintah daerah jelas lebih
mengetahui dan lebih memahami karakteristik dari objek dan
subjeknya sehingga kecil kemungkinan wajib pajak dapat
menghindar dari kewajiban perpajakannya.
Pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB P2 menjadi pajak
daerah didasarkan karena adanya beberapa kenyataan (Supriyanto, 2012),
antara lain sebagai berikut.
a. Mayoritas negara maju menyerahkan urusan Pajak Properti (jika
di Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah.
b. Migas (minyak dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan
sebagai sumber pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi
negara pengekspor minyak bumi, sebaliknya kini sebagai negara
yang mengimpor minyak bumi. Akibatnya, sumber pendapatan
pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi strategis dalam
APBN.
c. Reformasi birokrasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen
Pajak) telah berhasil membentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Pratama yang merupakan peleburan dari KPP, Kantor Pelayanan
PBB (KP PBB), Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Jika
diamati, keberadaan PBB dengan sejumlah permasalahan dan
tidak diimbangi dengan jumlah penerimaannya, memang bisa
dirasakan mengganggu konsentrasi DitjenPajak sebagai tulang
punggung pemenuhan APBN, sehingga pembentukan KPP
Pratama ini merupakan cara cerdas membuat biaya pemungutan
PBB menjadi lebih efisien.
1.5.7.2Pengertian PBB-P2
Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan adalah pajak atas
bumi/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang
pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang
meliputi tanah dan perairan.Bangunan adalah kontruksi secara teknis yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Pasal 77 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyatakan bahwa:
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks
yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks
Bangunan tersebut;
b. jalan tol;
c. kolam renang;
d. pagar mewah;
e. tempat olahraga;
f. galangan kapal, dermaga;
g. taman mewah;
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa
minyak; dan
i. menara.
1.5.7.3Subjek Pajak dan Wajib Pajak PBB-P2
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi
atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau
memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib Pajak Bumi dan BangunanPerdesaan
dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai
suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi,dan/atau memiliki,
menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan (Pasal 78
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
1.5.7.4 Objek Pajak dan Objek Pajak Tidak Kena Pajak PBB Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah
Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Objek Pajak yang tidak
dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah objek
pajak yang (Pasal 77 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009):
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan
pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di
bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan
nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan;
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang
sejenis dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa,
dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat
berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
1.5.7.5 Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek
lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti (Mardiasmo,
1.5.7.6Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) Besar nilai jual objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling rendah sebesar
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Nilai
NJOPTKP ini ditetapkan dengan peraturan daerah (Pasal 77 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009).
1.5.7.7Tarif Pajak PBB
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling
tinggi sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Pasal 80
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Daerah diberikan kewenangan
sepenuhnya untuk menetapkan besaran tarif pajak daerah untuk diberlakukan di
daerahnya sepanjang tidak melampaui tarif minimum dan maksimum yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
1.5.7.8Dasar Pengenaan PBB dan Cara Penghitungan PBB
Dasar pengenaannya adalah nilai jual objek pajak. Besarnya NJOP ditetapkan
setiap tiga tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap
tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya, dan ditetapakan oleh Kepala
Daerah. Besaran pokok pajak bumi dan bangunan yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif yang telah ditentukan dengan dasar pengenaan
pajak setelah dikurangi nilai jual objek pajak tidak kena pajak (Pasal 81
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009).
1.5. Definisi Konsep
Konsep adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan secara
perhatiaan ilmu sosial. (Singarimbun Masri, 1995:37). Tujuannya adalah untuk
memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya intrepretasi ganda dari
variabel yang diteliti. Oleh karena itu untuk mendapatkan batasan yang jelas dari
masing-masing konsep yang diteliti, maka penulis mengemukakan defenisi
konsep dari penelitian ini yaitu :
1. Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang menjadi keputusan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan
untuk memecahkan masalah demi kepentingan masyarakat. Kebijakan
publik berfungsi untuk mengatur, mengarahkan dan mengembangkan
interaksi dalam sebuah komunitas atau pemerintahan. Kebijakan publik
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kebijakan yang terkait atas
Peralihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan PBB-P2
seperti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) serta Peraturan Daerah Kota
Pematangsiantar Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah
2. Implementasi Kebijakan Publik merupakan sebuah proses pelaksanaan
kebijakan pemerintahan yang bertujuan untuk pencapaian tujuan yang
diharapkan sesuai dengan sasaran kebijakan tersebut. Implementasi
kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan yang
telah diputuskan oleh pemerintah dapat mencapai tujuannya . Model
implementasi kebijakan yang digunakan dalam penelitian ini dipengaruhi
oleh empat variabel, yaitu sebagai berikut :
a. Sumber Daya
c. Komunikasi dan Koordinasi
d. Struktur Birokrasi
3. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) adalah
pajak atas bumi/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan
pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan
perairan.Bangunan adalah kontruksicteknis yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
1.6. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konsep, dan
sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, teknik
pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisikan profil dan gambaran umum mengenai Badan Pengelola
Keuangan Daerah Kota Pematangsiantar yang merupakan tempat dilaksanakannya
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memaparkan data yang diperoleh berkaitan dengan penelitian yang
dilakukan mengenai Implementasi Kebijakan Peralihan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan Perkotaan PBB-P2 Menjadi Pajak Daerah (Studi Pada Badan
Pengelola Keuangan Daerah Kota Pematangsiantar).
BAB V ANALISA DATA
Bab ini berisikan uraian data-data yang diperoleh setelah penelitian dari
lapangan.
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diperoleh dari seluruh hasil
penelitian dan didalamnya juga terdapat saran-saran yang berguna dan bermanfaat