TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Tanaman delima diklasifikasikan dengan kingdom Plantae, divisio
Spermatophyta, subdivisio Angiospermae, kelas Dicotyledonae, ordo Myrtales,
famili Punicaceae, genus Punica, species Punica ganatum L
(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, 2013).
Sistem perakaran delima terbagi dua, yaitu perakaran yang tumbuh
vertikal dan horizontal. Bagian akar yang aktif adalah pada kedalaman 20 - 90
cm, tergantung pada perbedaan kedalaman tanah dan kelembaban (Levin, 1999).
Warna batang kuning muda. Cabang muda kadang-kadang memiliki duri
di ujung yang sudah terlihat pada saat muda. Batang yang muda memiliki
cabang poligonal (segi empat). Ketika dewasa batang menjadi bulat. Daun muda
cenderung memiliki warna kemerahan yang berubah menjadi hijau saat dewasa.
Pada varietas dengan kulit merah muda-ungu, warna ini muncul juga pada kulit
kayu dan tangkai daun, pada bagian bawah vena sentral, dan di tepi daun
(Holland, et al., 2009).
Daun berukuran panjang sekitar 0,75-3,5 inc dan lebar 0,4-1,2 inc.
Memiliki tangkai daun (petiolus) yang pendek. Terdapat tiga daun dalam satu
kelompok yang tersusun pada 110-1300. Daun muda berwarna kemerahan dan
akan berubah menjadi hijau ketika dewasa. Bagian atas daun berwarna hijau lebih
gelap dibanding bagian bawah daun, meskipun tangkai daun tetap berwarna
merah (Aston and Silverstein, 2006).
Delima merupakan tanaman menyerbuk sendiri sehingga pada satu bunga
dan berdaging dengan kalix yang berbentuk lonceng (mahkota). Terdapat 5-8
daun mahkota yang berkerut (Aston and Silverstein, 2006).
Buah berkembang dari ovarium dan tergolong buah berry berdaging. Buah
ini hampir berbentuk bulat dan memiliki mahkota kelopak yang menonjol. Puncak
mahkota tidak terbuka lebar, tergantung pada varietas dan tahap pematangan.
Buah terhubung ke pohon dengan tangkai pendek. Setelah buah muncul,
perubahan warna kulit sepal dalam buah berkembang terus menerus dari oranye
kemerah-merahan menjadi hijau. Pada tahap pematangan buah selanjutnya, warna
akan berubah lagi sampai mencapai karakteristik warna buah matang. Warna kulit
luar berkisar dari kuning, hijau, atau pink bercampur dengan merah muda menjadi
merah tua atau nila sampai sepenuhnya merah, merah muda atau ungu tua,
tergantung varietas dan tahap pematangan (Holland, et al., 2009).
Dormansi Benih
Ahli fisiologi benih menyatakan ada empat tahap perkecambahan :
(1) hidrasi atau imbibisi: selama kedua periode tersebut, air masuk ke dalam
embrio dan membasahi protein dan koloid lain, (2) pembentukan atau pengaktifan
enzim, yang menyebabkan peningkatan aktivitas metabolik, (3) pemanjangan sel
radikel, diikuti munculnya radikel dari kulit biji (perkecambahan yang
sebenarnya), dan (4) pertumbuhan kecambah selanjutnya. Lapisan yang
membungkus embrio, yaitu endosperma, kulit biji, dan kulit buah, dapat
mengganggu masuknya air dan atau oksigen. Lapisan itu pun bertindak sebagai
penghalang mekanis agar radikula tidak muncul (Salisbury and Ross, 1992).
Dormansi yang penyebabnya terletak pada kulit benih lazim pula disebut
atau O2, (2) adanya zat penghambat, (3) adanya resistensi mekanis. Kedapnya
kulit benih terhadap air atau 02, karena kulit benih tersebut terlalu keras, terliputi
gabus atau lilin. Tentang zat penghambat dapat berada di sekitar kulit serta di
bagian-bagian dalam benih itu atau menempel pada kulit. Kerasnya kulit benih
dapat menyebabkan resistensi mekanis, dan ini menyebabkan embrio yang
memiliki daya untuk berkecambah tidak dapat menyobek kulit yang berarti pula
tidak dapat merobek kulit yang berarti pula tidak dapat keluar untuk tumbuh
sebagaimana mestinya (Kartasapoetra, 1992).
Dalam istilah pertanian benih-benih yang menunjukkan tipe dormansi ini
disebut sebagai “benih keras”. Hal mana dapat ditemui pada sejumlah famili
tanaman dimana beberapa spesiesnya mempunyai kulit biji yang keras antara lain
: Leguminosae, Malvaceae, Cannaceae, Geraniaceae, Chenopodaceae,
Convolvulaceae, Solanaceae, dan Liliaceae. Di sini pengambilan air terhalang
oleh kulit biji yang mempunyai struktur terdiri dari lapisan sel-sel serupa palisade
berdinding tebal terutama di permukaan paling luar dan bagian dalamnya
mempunyai lapisan lilin dari bahan kutikula (Sutopo, 1993)
Kita dapat menyebut dormansi sebagai kondisi biji saat biji gagal untuk
berkecambah walaupun (1) tersedia cukup banyak kelembaban diluar, (2) biji
dipajankan ke kondisi atmosfer yang lazim ditemukan pada tanah beraerasi baik
atau pada permukaan tanah, dan (3) suhu berada pada rentang yang biasanya
berkaitan dengan aktivitas fisioligi (Salisbury and Ross, 1992).
Pertumbuhan tidak akan terjadi selama benih belum melalui masa
dormansinya, atau sebelum dikenakan suatu perlakuan khusus terhadap benih
benih dalam mengadaptasikan siklus pertumbuhan tanaman terhadap keadaan
lingkungannya, baik musim maupun variasi-variasi yang kebetulan terjadi.
Sehingga secara tidak langsung benih dapat menghindarkan dirinya dari
kemusnahan alam (Sutopo, 1993).
Perlakuan Pematahan Dormansi
Dipandang dari segi ekonomis terdapatnya keadaan dormansi pada benih
dianggap tidak menguntungkan. Oleh karena itu diperlukan cara-cara agar
dormansi dapat dipecahkan atau sekurang-kurangnya lama dormansinya
dipersingkat. Beberapa cara yang telah diketahui adalah perlakuan mekanis,
perlakuan kimia, perlakuan perendaman dengan air, perlakuan pemberian
temperatur tertentu dan perlakuan dengan cahaya (Sutopo, 1993).
Dormansi dapat diatasi kalau kita melakukan perlakuan-perlakuan sebagai
berikut : (1) pemarutan atau penggoresan (skarifikasi ) yaitu dengan cara
menghaluskan dengan cara menghaluskan kulit benih ataupun menggores kulit
benih agar dapat dilalui air dan udara; (2) stratifikasi terhadap benih dengan suhu
rendah (cold stratification) ataupun suhu yang tinggi (warm stratification),
dimana benih yang mengalami dormansi fisiologis dikarenakan rendah selama
waktu tertentu; (3) penggunaan zat kimia dalam perangsangan perkecambahan
benih, dengan bahan misalnya (Kartasapoetra, 1992).
Di laboratorium dan di bidang pertanian (bila perlu) digunakan alkohol
atau pelarut lemak lain (yang menghilangkan bahan berlilin yang kadang
menghalangi masuknya air) atau asam pekat. Sebagai contoh, perkecambahan biji
kapas dan berbagai tanaman kacangan tropika dapat sangat dipacu dengan
satu jam, dan selanjutnya dibilas untuk menghilangkan asam itu
(Salisbury and Ross, 1992).
Perlakuan dengan menggunakan bahan-bahan kimia sering pula dilakukan
untuk memecahkan dormansi pada benih. Tujuannya adalah menjadikan agar kulit
biji lebih mudah dimasuki oleh air pada waktu proses imbibisi. Larutan asam kuat
seperti asam sulfat dan asam nitrat dengan konsentrasi pekat membuat kulit biji
menjadi lebih lunak sehingga dapat dilalui oleh air dengan mudah. Bahan kimia
lain yang juga sering digunakan adalah : potassium hydroxide, asam hidroclorit,
potassium nitrat, dan thiourea (Sutopo, 1993).
Perlakuan Pematahan Dormansi dengan Perendaman H2SO4
Senyawa kimia yang paling umum digunakan untuk mengatasi dormansi
kulit benih adalah asam sulfat pekat. Untuk beberapa spesies perlakuan tersebut
lebih efektif dibanding perendaman air panas. Benih yang telah disimpan dalam
jangka waktu yang lama mungkin memerlukan waktu yang lebih lama dalam
perendaman asam dibanding benih segar (Bhanu and Bhatnagar, 2009).
Perlakuan perendaman dengan H2SO4 tidak mempengaruhi panjang
hipokotil, panjang radikula dan berat kering kecambah dikarenakan biji yang
mampu berkecambah setelah perlakuan H2SO4 hanya terpengaruh pada pelunakan
kulit benih dan tidak sampai ke embrio sehingga embrio tetap dapat tumbuh
dengan normal. Tetapi apabila perlakuan H2SO4 sampai pada embrio benih, maka
embrio tidak akan mengalami pertumbuhan sehingga tidak sampai terjadi
perkecambahan (Suyatmi, et al., 2011).
Perlakuan asam sulfat efektif pada beberapa iklim dan spesis subtropis,
spesies tropis yang efektif dengan perlakuan asam sulfat adalah
Intsia palembanica (60 menit), Parkia javanica (15 menit), Dialium maingayi (5 menit), Acacia albida (20 menit), Acacia nilotica (60-80 menit) dan
Acacia senegal (40 menit), Acacia planifrons (2 jam) dan Prosopis tamarugo (7 menit) (Bhanu and Bhatnagar, 2009).
Perendaman benih dalam H2SO4 pada konsentrasi 70% dan 89% selama
20, 30 dan 40 menit menghasilkan persentase perkecambahan yang lebih tinggi
dari kontrol. Hal ini dikarenakan kombinasi perlakuan ini lebih optimal dan lebih
cepat untuk melunakkan kulit benih daripada benih hanya direndam dalam air
pada lama perendaman yang sama (Suyatmi, et al., 2011).
Di antara semua perlakuan yang diterapkan pada benih delima,
perendaman dalam H2SO4 selama 15 menit dengan stratifikasi suhu dingin selama
60 hari menghasilkan laju perkecambahan terbaik (30 hari) dan persentasi
perkecambahan tertinggi (75,6% dan 69,9%) diikuti oleh perlakuan perendaman
dalam H2SO4 selama 15 menit dan 30 menit. Oleh karena itu, hasil menunjukkan
bahwa perlakuan perendaman dalam H2SO4 selama 15 menit dengan 60 hari
stratifikasi dingin dan kondisi rumah kaca dapat digunakan untuk mengatasi
dormansi perkecambahan delima (Olmez, et al., 2007).
Perbedaan lama perendaman tidak berpengaruh nyata terhadap persentase
perkecambahan karena absorbsi H2SO4 pada perendaman 20 menit sudah
mencapai titik jenuh dan pada perendaman selanjutnya tidak terjadi penyerapan
H2SO4. Jadi perbedaan waktu ini tidak mempengaruhi banyaknya H2SO4 yang
Pelunakan pericarp atau kulit biji terjadi selama perlakuan awal yang
lembab dan benih diberi perlakuan awal dengan stratifikasi lembab untuk
mengatasi dormansi suhu, umumnya dapat mengatasi dormansi mekanis. Lama
stratifikasi tergantung suhu, jenis dan tingkat dormansi, namun umumnya berkisar
antara tiga hingga lima minggu. Perlakuan awal larutan asam umumnya dilakukan
pada benih yang memiliki dormansi ganda (dormansi fisik dan dormansi mekanis)
misalnya pada Pterocarpus angolensis, dimana kecepatan perkecambahan meningkat secara nyata dibanding dengan kontrol dengan perlakuan perendaman
selama 12 menit dalam larutan asam sulfat (Utomo, 2006).
Larutan asam seperti H2SO4 menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan
dapat diterapkan baik pada legum dan non-legum. Namun tidak sesuai dengan
untuk benih yang mudah menjadi permeable karena asam akan masuk dan
merusak embrio. Metode ini paling efektif digunakan untuk benih berkulit keras
(Utomo, 2006).
Perlakuan Pematahan Dormansi dengan Perendaman KNO3
Metode pematahan dormansi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara
antara lain dengan cara mekanis, fisis maupun kimia. Metode kimia dapat
dikatakan metode yang paling praktis karena hanya dilakukan dengan
mencampurkan cairan kimia dengan biji. Larutan kimia yang terkenal murah dan
tersedia banyak di pasaran adalah KNO3. KNO3 juga sudah teruji efektif
mematahkan dormansi beberapa benih tanaman, antara lain padi dan aren
(Faustina, et al., 2012).
KNO3 adalah bahan kimia yang paling banyak digunakan untuk
setiap pengujian perkecambahan dan direkomendasikan oleh Association of
Official Seed Analysts and the Interna-tional Seed Testing Association for
Germination Tests pada banyak spesies (Copeland dan Mc Donald, 2001).
KNO3 berfungsi untuk meningkatkan aktifitas hormon pertumbuhan pada
benih. Pengaruh KNO3 yang ditimbulkan ditentukan oleh besar kecil
konsentrasinya. Perlakuan awal dengan larutan KNO3 berperan merangsang
perkecambahan pada hampir seluruh jenis biji. Perlakuan perendaman dalam
larutan KNO3 dilaporkan juga dapat mengaktifkan metabolisme sel dan
mempercepat perkecambahan (Faustina, et al., 2012).
Perlakuan Pematahan Dormansi dengan Perendaman HCl
Mekanisme perkecambahan biji yang mungkin dipengaruhi oleh H2SO4
adalah karena kemampuan H2SO4 untuk memecah kulit biji yang mengarah ke
penyerapan air dan imbibisi benih. Terjadi peningkatan bertahap dalam persentase
perkecambahan, index perkecambahan dan penurunan laju perkecambahan dan
T50 seiring dengan peningkatan waktu perendaman benih dalam HCl dari
3 sampai 15 jam dan perlakuan dengan H2SO4 selama 20, 40, 60, dan 80 menit
menunjukkan bahwa HCl dan H2SO4 mampu memecah kulit biji R. Capitata
yangkeras untuk menginduksi perkecambahan (Ali, et al., 2011).
Benih yang tidak diberi perlakuan (kontrol) juga berkecambah tetapi
membutuhkan waktu yang sangat lama yaitu 17 hari setelah tanam yang
menghasilkan 60 % persentase perkecambahan dan tinggi kecambah lebih pendek
dari kecambah yang diberi perlakuan asam, skarifikasi mekanik dan uap panas
HCl 50% menghasilkan persentase perkecambahan 70% hanya dalam 20
hari. HCl efektif dalam memecahkan dormansi benih dari Parkia biglobosa.
Perlakuan dengan konsentrasi HCl 50% menunjukkan efektivitas dalam
memecahkan dormansi Parkia biglobosa. Benih yang direndam dengan HCL 50% selama 30 menit menghasilkan persentase perkecambahan 70% dalam
21 hari waktu percobaan (Abubakar and Maimuna, 2013).
Benih yang diskarifikasi dengan HCl (36%) selama 3, 6, 9, 12, 15, dan 18
jam, perkecambahan biji secara signifikan (p <0,05) meningkat dibanding
kontrol. Benih yang diberi perlakuan dengan HCl untuk 12, 15, dan 18 jam
memiliki waktu respon minimum dengan 50% dari perkecambahan benih pada
semua ulangan berturut-turut adalah dalam 1,75 , 1,13 , dan 1,20 hari
(Ali, et al., 2011). Viabilitas Benih
Viabilitas benih atau daya hidup benih yang dicerminkan oleh dua
informasi masing-masing daya kecambah dan kekuatan tumbuh dapat ditunjukkan
melalui gejala metabolisme benih dan atau gejala pertumbuhan. Uji viabilitas
benih dapat dilakukan secara tak langsung, misalnya dengan mengukur
gejal-gejala metabolisme ataupun secara langsung dengan mengamati dan
membandingkan unsur – unsur tumbuh penting dari benih dalam suatu periode
tumbuh tertentu. Struktur pertumbuhan yang dinilai terdiri dari akar, batang, daun
dan daun lembaga (Sutopo, 1993).
Benih yang viabel adalah benih yang bila dihadapkan pada kondisi atau
keadaan yang memungkinkan untuk perkecambahan, maka benih tersebut dapat
Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas dari benih adalah viabilitas awal
benih, tingkat kemasakan benih saat panen, lingkungan sebelum panen, dan
lingkungan selama periode penyimpanan benih (Tim Pengampu, 2011).
Metode perkecambahan dengan pengujian di laboratorium hanya
menentukan persentase perkecambahan total. Dan dibatasi pada pemunculan dan
perkembangan struktur-struktur penting dari embrio, yang menunjukkan
kemampuan untuk menjadi tanaman normal pada kondisi lapangan yang
optimum. Sedangkan kecambah yang tidak menunjukkan kemampuan terebut
dinilai sebagai kecambah yang abnormal. Benih yang tidak dorman tetapi tidak
tumbuh setelah periode pengujian tertentu dinilai sebagai mati (Sutopo, 1993).
Ahli fisiologis benih biasanya menetapkan perkecambahan sebagai
kejadian yang dimulai dengan imbibisi dan diakhiri ketika radikula (akar lembaga;
atau pada beberapa biji, kotiledon/hipokotil) memanjang atau muncul melewati
kulit biji (Bewley dan Black, 1982, 1984; Mayer, 1974). Biji dapat tetap viabel
(hidup), tapi tak mampu berkecambah atau tumbuh karena beberapa alasan;
kondisi luar atau kondisi dalam (Salisbury and Ross, 1992).
Daya kecambah benih memberikan informasi kepada pemakai benih akan
kemampuan benih tumbuh normal menjadi tanaman yang wajar dalam keadaan
biofisik lapangan yang serba optimum. Parameter yang digunakan dapat berupa
persentase kecambah normal berdasarkan penilaian terhadap struktur embrio yang
diamati secara langsung atau tidak langsung dengan hanya melihat gejala
metabolisme benih yang berkaitan dengan kehidupan benih (Sutopo, 1993).
Menurut Tim Pengampu (2011) beberapa faktor yang dapat
1. Viabilitas awal dari benih
Viabilitas awal benih ditentukan oleh riwayat benih tersebut mulai pada saat
penanaman sampai dengan saat panen. Kualitas maksimum yang dicapai benih
pada saat panen akan sangat menentukan tingkat viabilitas benih selanjutnya.
2. Tingkat kemasakan benih saat panen
Viabilitas maksimum benih tercapai pada saat benih mencapai matang
fisiologis asalkan kondisi lingkungan disekitar tanaman induk tidak
menyebabkan terjadinya perkecambahan benih. Setelah matang fisiologi,
viabilitas benih akan terus menurun. Penurunan viabilitas tergantung pada
kondisi lingkungan dan cara penanganan benih. Panen sebelum mencapai
masak fisiologis akan menyebabkan viabilitas benih yang rendah
3. Lingkungan sebelum panen
Kandungan hara mineral tanah, curah hujan/kandungan air tanah, suhu, oksigen
tanah dan cahaya selama masa pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan
mempengaruhi kuantitas dan kualitas benih yang dihasilkan. Lingkungan
pertanaman yang optimal akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan
tanaman optimal. Hal tersebut akan secara langsung berpengaruh terhadap
viabilitas benih yang dihasilkan.
4. Lingkungan saat penyimpanan benih
Penurunan viabilitas benih tidak dapat dicegah hanya dapat dipertahankan atau
hanya dapat diperlambat kemundurannya atau daya simpannya dapat
diperpanjang.
Air merupakan salah satu syarat penting bagi berlangsungnya proses
oleh benih adalah : (a) sifat dari benih itu sendiri terutama kulit pelindungnya dan