• Tidak ada hasil yang ditemukan

etika jawa dalam ber bisnis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "etika jawa dalam ber bisnis"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

ETIKA JAWA SEBAGAI DASAR (BER)BISNIS

(oleh : Eko Kurniawan Wibowo, NIM: 50140014)

Pendahuluan

Orang Jawa adalah orang yang hidup dan berakar dalam kebudayaan Jawa yang bersifat feodal. Ini bisa dilihat bagaimana orang Jawa mempunyai struktur sosial yang hirarkis dalam kehidupan bersosial, dalam berbahasa dan dalam bertingkah laku. Hal tersebut berpengaruh juga dalam memandang dunia bisnis. Dunia bisnis atau pekerjaan berbisnis dianggap pekerjaan yang kasar karena yang dikejar adalah profit. Orang Jawa lebih senang mengejar pangkat yang tinggi sehingga status mereka bisa semakin disegani di lingkungan masyarakat. Berangkat dari pemahaman dalam masyarakat Jawa bahwa berbisnis adalah pekerjaan yang harus dihindari mengakibatkan banyak orang Jawa yang tidak (kurang!) mempunyai jiwa bisnis. Mereka akan lebih terhormat jika mempunyai pangkat (kedudukan) dalam birokrasi pemerintahan. Sehingga status mereka adalah sebagai priyayi. Maka tidak heran orang-orang Jawa berlomba-lomba untuk bisa menjadi pegawai negeri.

Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan yang terjadi saat ini banyak orang Jawa yang juga mulai berbisnis. Maraknya toko, warung, pedagang di pasar yang sudah mulai dilirik oleh orang Jawa dengan cara-cara yang lebih profesional adalah tanda bahwa pandangan atau penilaian orang Jawa tentang bisnis mulai bergeser. Banyak orang-orang Jawa melihat bahwa pekerjaan sebagai pebisnis adalah pekerjaan yang sangat menjanjikan untuk mencapai kesuksesan hidup dan ketika bisnis mereka berhasil secara otomatis tingkat status sosial mereka juga bisa terdongkrak naik. Orang Jawa berlomba-lomba mengembangkan jiwa bisnis mereka supaya bisa disebut sebagai pebisnis yang berhasil dan profesional. Berbisnis dengan profesional dalam era sekarang tentunya membutuhkan suatu etika yang dijalankan dalam dunia bisnis. Masyarakat jawa merupakan masyarakat yang kaya dengan nilai dan etika yang berkembang dalam komunitasnya. Akan tetapi pertanyaan mendasarnya apakah etika tersebut bisa sejalan dengan dunia bisnis?

Banyak orang yang pesimis bahwa etika Jawa tidak sejalan atau selaras dengan dunia bisnis. Etika jawa merupakan konstruk manusia Jawa tradisional yang berakar pada tradisi feodal dan masyarakat agraris. Dunia bisnis yang yang mempunyai nilai profit oriented dianggap tidak

 dibuat untuk memenuhi Tugas Akhir Semester Gasal pada MK Teologi, Bisnis dan Ekonomi

(2)

cocok dengan budaya Jawa yang tidak mengharapkan pamrih (rame ing gawe sepi ing pamrih). Hal-hal tersebut yang akan kita lihat apakah memang etika jawa tidak bisa digunakan dalam berbisnis? Atau justru etika Jawa justru memberi pengaruh yang besar dalam kesuksesan berbisnis.

Pengaruh Budaya dalam Bisnis

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai etika Jawa dan bisnis kita akan mencoba melihat sejauh mana pengaruh budaya terhadap bisnis. Masyarakat Inggris yang sangat maju

dalam berbisnis sangat dipengaruhi penekanan pada pentingnya kerja keras dan kreatifitas. Budaya bisnis yang maju dalam masyarakat Inggris juga mengalami kebangkitan kembali pada

masa sekarang dimana itu ditandai dengan bangkitnya usaha-usaha kecil menengah. Etnis

Tionghwa yang menguasai bisnis di Asia tenggara menurut para ahli ekonomi dan budaya juga dikarenakan pengaruh dari ajaran Konfusianisme yang merupakan latar belakang budaya yang mereka hidupi. Bahwa budaya merupakan pendukung bagi berkembangnya kemajuan bisnis dalam etnis tertentu dikemukakan oleh teori budaya seperti S Gordon Redding dan Jamie

Mackie.

Walau begitu ada pula para pakar budaya yang mengatakan bahwa keberhasilan etnis Tionghwa menguasai pasar di Asia Tenggara bukan karena faktor budaya akan tetapi lebih pada faktor politis di negara Asia Tenggara. Bahkan seorang pengusaha keturunan Tionghwa yaitu Junaedi Yusuf yang merupakan warga negara Indonesia mengatakan bahwa keberhasilan bisnis dia bukan karena faktor budaya Cina, karena dia tidak merasa orang Cina. Faktor yang

membuatnya berhasil adalah karena tekun, kerja keras, disiplin dan dapat dipercaya. Dari

penjelasan ini kita bisa berkesimpulan kalau para pakar budaya dan ekonomi terpecah menjadi dua belah pihak, di satu sisi ada mengatakan bahwa keberhasilan bisnis sangat ditentukan oleh budaya yang dihidupi tetapi di sisi lain ada pula pakar ekonomi dan budaya yang menolaknya. Akan tetapi menurut saya keberhasilan bisnis memang ditentukan juga oleh faktor budaya, akan

 Yahya Wijaya, Kesalehan Pasar: Kajian Teologis Terhadap Isu-isu Ekonomi dan

Bisnis di Indonesia, (Jakarta: Grafika Kreasindo 2010), h. 41.

 Ibid.  Ibid.

 Djoenadi Joesoef, “Sistem Sosial Budaya dan Pengaruhnya terhadap Bisnis China”’, dalam

Etika Bisnis China: Suatu Kajian terhadap Perekonomian di Indonesia, Ed. By Wastu

(3)

tetapi tidak hanya faktor budaya saja yang berpengaruh, faktor ekonomi sendiri, politik, sosial dan keamanan juga saling terkait satu dengan yang lain.

Jalan panjang orang Jawa dalam bermain di dunia bisnis sangat dipengaruhi faktor budaya, sosial, politik dan faktor ekonomi sendiri. Masyarakat Jawa yang mempunyai latar belakang masyarakat agraris dimana penduduknya sebagian besar berprofesi sebagai petani dan

buruh tani. Hal lain yang bisa dilihat tentang budaya agraris dalam masyarakat Jawa adalah mitologis yang berkembang di masyarakat Jawa, dimana ada dewi pelindung pertanian ataupun dewi kesuburan yang sangat terkait dengan dunia pertanian. Berbeda, misalnya dengan masyarakat China yang mempunyai dewa-dewa sebagai pelindung bisnis mereka. Konsep perdagangan sebenarnya sudah ada akan tetapi masyarakat Jawa menganggap sebagai kebutuhan yang sekunder. Ini bisa dilihat melaui pola pasar tradisional yang hanya buka pada hari-hari

tertentu atau hari pasaran, seperti hari pasar Legi, pasar paing, pasar Pon dan lain sebagainya.

Bahkan banyak pedagang yang tidak terlalu memperdulikan jumlah keuntungan mereka, yang

penting ada lebihnya walau sedikit. Jadi dari latar belakang tersebut bisa disimpulkan orang Jawa kurang mempunyai pengalaman dalam dunia bisnis dan hal ini membuat masyarakat Jawa mempunyai pandangan yang kurang baik terhadap bisnis. Bisnis dianggap berhubungan dengan

motif mencari untung, bisnis berhubungan dengan mentalitas buto, bisnis dipenuhi oleh perilaku

kompetitif, manipulatif, dan antisosial. Hal-hal tersebut yang membuat masyarakat Jawa menjadi enggan untuk masuk dalam dunia bisnis. Sejarah panjang masyarakat Jawa memang telah membuktikan bahwa pengaruh budaya ditambah pengaruh politik dan sosial sangat mempengaruhi pola pandang orang Jawa dalam berbisnis.

Dalam berbagai pustaka Jawa memang sangat memandang negatif tentang dunia bisnis. Dalam buku Wulang Reh karya Sri Pakubuwana IV dijelaskan tentang keburukan dari pedagang atau saudagar, yang isinya:

Kaping sakawane ugi, wong ati sudagar awon, mapan suka sugih watekipun, ing rina lan wengi, mung bathine denetang, alumuh lamun kalonga. Iku upamane ugi, sabarang

 F.M, Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1984), h.

 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa,(Jakarta: Balai Pustaka, 1984),. h. 187.  Ibid.

 Buto adalah tokoh raksasa yang jahat dalam dunia pewayangan Jawa

(4)

prakara tamboh, among yen ana wong teka iku, anggagawa ugi, gagadhen pan tumranggal, ulate teka sumringah.

(Saudagar itu sifatnya amat suka mengejar kekayaan, siang dan malam hanya menghitung-hitung keuntungan, enggan terkurangi hartanya sedikit pun. Andai punya sekarung uang sekalipun, belum puas hatinya. Andai uangnya hilang selembar saja, disesalinya hingga empat tahun lamanya, seakan kehilangan sepuluhribu lembar. Orang yang berhati saudagar, tidak peduli dengan perkara apapun, hanya apabila ada orang yang datang kepadanya tlah diketahui membawa sesuatu yang hendak digadaikan, maka berserilah air mukanya).

Akan tetapi bisnis yang dianggap sebagai pekejaan yang kurang terhormat di kalangan orang Jawa, sebenarnya juga cukup diperhatikan. Ini terbukti dari tulisan Mangkunegoro IV dalam

Serat Darmalaksita mengemukakan tentang Asta Gina, yang artinya adalah delapan jalan keutamaan yang penting. Adapun delapan jalan keutamaan itu adalah tentang kerja keras,

kreatifitas, berhemat, teliti dalam bekerja, perhitungan, rajin, pemborosan uang, dan kerja keras.

Konstruk masyarakat feodal Jawa yang membagi kelas-kelas dalam masyrakat, menurut Geertz Priyayi, santri dan abangan. Sementara koentjaraningrat hanya membagi dalam golongan priyayi dan wong cilik. Konstruksi masyarakat memberikan tempat yang tinggi bagi golongan priyayi, dimana yang termasuk golongan priyayi adalah pegawai pemerintah, guru, dan rohaniawan. Sementara dari golongan wong cilik adalah kaum petani dan pedagang juga masuk didalamnya kecuali pedagang tersebut dari golongan pemimpin agama. Bisa dikatakan orang Jawa mengejar kedudukan sebagai pegawai supaya bisa masuk dalam golongan priyayi dan menaikkan derajat mereka. Maka pekerjaan sebagai pedagang (pebisnis) tidak terlalu mendapatkan prioritas dalam kultur masyarakat Jawa tradisional.

Walaupun memang secara umum bisa disimpulkan bahwa perilaku masyarakat Jawa memang cenderung menghindari profesi sebagai pebisnis, akan tetapi posisi pedagang atau pebisnis sebenarnya cukup mendapat tempat di masyarakat Jawa. Orang jawa sudah mengenal pasar walau bersifat tradisional, mengenal bisnis gadai, ada beberapa teks Jawa yang juga mengajar supaya menjadi pedagang yang baik.

 Djoko Pitoyo, “Tuna Satak Bathi Sanak (Kearifan Jawa Dalam Etika Bisnis), Jurnal Filsafat, 2 Agustus 2008, h.142-143.

(5)

Seputar Etika Jawa

Secara sederhana etika Jawa mengacu kepada dua prinsip pokok atau dua kaidah pokok bagi orang-orang Jawa yaitu, prinsip yang pertama adalah prinsip kerukunan dan prinsip kedua

adalah hormat. Dimana setiap orang Jawa dituntut untuk bisa hidup dalam kerukunan dan menjaga kerukunan dengan sesamanya. Begitu pula juga harus bisa saling menghormati sesuai

dengan kedudukan dalam masyarakat ataupun dalam keluarga (pan papan).

Prinsip pertama bertitik tolak bahwa masyarakat Jawa tersusun secara hirarkis, dimana

setiap orang mempunyai kedudukan sesuai dengan derajatnya. Jadi tiap orang mempunyai

tanggung jawab untuk duduk dengan tepat pada kedudukannya. Oleh karena dalam berbicara

dan bertingkah laku orang Jawa harus menyesuaikan dengan derajat dan kedudukannya.

Prinsip kedua adalah hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam

masyarakat teratur secara hirarkis. Dimana setiap orang mengenal tempat dan tugasnya. Mereka yang mempunyai kedudukan lebih tinggi harus dihormati, sedangkan yang kedudukan lebih

tinggi harus mempunyai sifat kebapakan atau keibuan bagi yang lebih rendah derajatnya. Maka dengan melakukan prinsip kerukunan dan prinsip hormat, akan terjadi keselarasan dalam

kehidupan bermasyarakat.

Dua prinsip utama tersebut dijalankan melalui tiga tingkatan: Pertama, bahwa

masyarakat Jawa mempunyai tuntutan supaya konflik itu tidak pecah secara terbuka. Kepentingan, keuntungan, ambisi pribadi tidak boleh ditonjolkan. Lebih baik berdiam diri daripada menimbulkan konflik terbuka. Kedua, dua prinsip dasar tersebut dinternalisasikan dalam pendidikan keluarga melalui ajaran takut (wedi), malu (isin) dan perasaan tidak enak hati

berhadapan dengan orang besar (sungkan). Ketiga, prinsip luhur tersebut didukung oleh nilai-nilai etis yang dihidupi oleh orang Jawa. Dimana nilai-nilai etis tersebut menuntun orang untuk

 F.M, Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa , h. 38.

 Pan papan secara harafiah berarti mampu menempatkan diri pada tempat yang berbeda.  C. Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat Jawa, terj: Aswab Mahasin, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h.

 F.M, Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup

Jawa, h. 38.

(6)

mencapai budi yang luhur dengan bertindak tanpa mengharapkan pamrih. Orang yang bebas dari pamrih akan mengembangkan sikap nrimo atau menerima segala yang ada tanpa menolak atau memberontak. Inti utama dari etika Jawa adalah berusaha memelihara keselarasan hidup yang berpangkal pada bersikap dan berlaku rukun serta bisa menempatkan diri dengan baik.

Etika Bisnis

Motif utama dari bisnis adalah mendapatkan keuntungan, bahkan secara ekonomis bisnis

itu baik jikalau menghasilkan laba yang banyak. Dalam rangka mendapatkan keuntungan tersebut maka akan ditempuh dengan banyak cara atau banyak jalan. Jalan yang ditempuh bisa dianggap negatif ataupun positif, tinggal dari sudut pandang mana kita melihatnya. Dari sudut pandang pebisnis mungkin bisa dianggap rugi tetapi dari sudut pandang konsumen bisa jadi malah akan menguntungkan. Kasus yang terjadi di Indonesian sangat nyata sekali, yaitu penggunaan borak dalam makanan. Persaingan yang terjadi dalam bisnis makanan membuat banyak pengusaha yang berpikir bagaimana mereka tetap bisa bersaing dalam kerasnya persaingan bisnis di sekitar mereka. Harga murah dan biaya produksi yang rendah membuat banyak pengusaha harus memutar otak mereka. Penggunaan boraks adalah dalam rangka menekan angka produksi dan bisa memperoleh hasil yang maksimal. Padahal seperti yang banyak orang ketahui bahwa boraks sangat tidak baik bagi tubuh manusia. Boraks adalah bahan pengawet yang berbahaya. Tetapi tetap saja ada pengusaha yang memakai boraks untuk mengejar keuntungan yang besar. Dari contoh tersebut bisa dimengerti betapa pentingnya sebuah etika dalam berbisnis. Bisnis tidak hanya berbicara mengenai keuntungan saja tetap juga tentang kemanfaatan bagi orang lain demi kesejahteraan bersama. Sudut pandang ekonomis bukan faktor utama dalam melakukan kegiata bisnis. Di samping sudut pandang ekonomis, pelaku bisnis juga perlu melihat dalam sudut pandang moral dan hukum. Sudut pandang moral melihat bahwa tidak

semuanya yang bisa kita lakukan untuk mengejar tujuan kita, boleh kita lakukan semau kita.

Sementara dari sudut pandang hukum bisnis disertai dengan moralitas yang baik

 K. Bertens,Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 19.  Ibid. h 27.

(7)

Etika bisnis yang harus dimiliki oleh pebisnis yang paling utama adalah kejujuran. Dari

contoh diatas kalau semata-mata hanya mengejar keuntungan tentunya para pebisnis tersebut akan menggunakan boraks sebagai bahan pengawet makanan. Jadi apakah dengan begitu dalam berbisnis tidak bisa dilakukan dengan kejujuran? Padahal jelas kalau menggunakan boraks keuntungan pebisnis tentunya lebih besar. Tetapi yang perlu kita perhatikan juga adalah faktor keberlanjutan dari bisnis tersebut. Berlanjut atau tidaknya bisnis tersebut adalah jika ada kepercayaan dari pelanggan atau konsumen. Konsumen akan menjadi tidak percaya lagi jikalau mengetahui bahwa produk atau barang yang dibeli atau dikonsumsinya tersebut ternyata tidak sesuai dengan apa yang dikatakan oleh penjual. Apalagi jikalau produk tersebut membahayakan nyawa konsumen.

Kekeliruan besar jika para pebisnis atau kita beranggapan bahwa ketika kita pintar menipu maka bisnis kita akan maju. Memang dalam jangka pendek akan terasa kalau bisnis yang dilakukan kelihatan sangat maju dengan menipu. Akan tetapi jika berbicara dalam jangka menengah ataupun jangka panjang tentunya prinsip menipu tersebut justru akan sangat merugikan pebisnis tersebut. Bila mutu produk yang diterima sesuai dengan kualitas yang dijanjikan tentunya akan ada kepercayaan yang tumbuh antara pebisnis dan konsumen. Rasa percaya tersbut akan membuat hubungan bisnis tersebut menjadi terus berkembang dan lestari

(sustainable). Justru dengan tingkat kepercayaan yang tinggi tersebut ketika terjadi masalah,

partner dalam bisnis tentunya tidak akan segan-segan menolong bisnis yang dikelola atau bahkan menyelematkan bisnis yang sedang dijalani ketika hampir bangkrut.

Hal lain yang perlu dilihat dalam etika bisnis adalah fairness, dimana sikap ini adalah

berarti tidak mencari untung sendiri tetapi mencari untung yang wajar dan tidak memalukan. Dalam fairness pebisnis tidak menjegal dengan cara-cara yang tidak fair. Sudah menjadi rahasia umum seringkali persaingan dalam bisnis akan menghalalkan segala cara supaya bisa memenangkan kompetisi. Tetapi dengan menghalalkan segala cara justru akan membuka pintu kehancuran bagi bisnis tersebut. Keterbukaan akan membawa sikap yang akan semakin dipercaya oleh partner bisnis ataupun konsumen.

 Franz Magnis Suseno, “Sekitar Etika Bisnis”, Basis, Agustus 1986, h. 283  Ibid. h. 284

(8)

Jadi bisnis yang baik atau good business perlu memiliki good ethics, dua kutub ini tidak

saling bertentangan akan tetapi justru saling mendukung. Etika adalah unsur yang menentukan atau unsur yang strategis bagi kesuksesan dalam berbisnis, khusunya berkaitan dengan bisnis yang berkelanjutan atau lestari. Berbagai survey dan pengalaman telah membuktikan bahwa perusahaan yang mempunyai etika bisnis yang baik justru semakin berkembang dan mendapat tingkat kepercayaan yang tinggi dalam masyarakat.

Nilai Etis Jawa Dalam Etika Bisnis

Seperti yang sudah disinggung diatas nilai etis Jawa seringkali merupakan hambatan bagi orang Jawa untuk terjun dalam berbisnis, terlebih dalam era kompetisi bisnis yang begitu luar biasa. Etika Jawa dianggap tidak cocok dipakai sebagai dasar etika dalam berbisnis. Melihat etika isin atau sungkan tentunya sangat tidak cocok dalam bisnis. Bukankah dalam bisnis orang tidak boleh mengedepankan isin? Begitu pula dengan tuntutan untuk hidup rukun bukankah bisa menjadi penghalang dalam berbisnis. Apakah kita harus mengalah dalam berbisnis demi menjaga kerukunan? Dua hal tersebut seakan-akan menegaskan bahwa etika Jawa tidak bisa dijadikan dasar dalam (ber)bisnis.

Bahkan kalau mau memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat tentang enam sikap negatif orang Indonesia (Jawa khususnya) yaitu meremehkan mutu, suka nrabas, tuna

harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggung dan suka ikut-ikutan (latah).

Melihat hal yang ada diatas mungkin akan semakin menegaskan bahwa orang Jawa dengan etika hidupnya tersebut tidak mungkin bisa menjadi pebisnis atau berbinis. Tetapi yang perlu kita lihat kembali adalah etika Jawa tersebut sudah tumbuh sebelum orang Jawa mengenal dunia bisnis. Etika tersebut tumbuh ketika masyarakat Jawa masih bergelut dalam dunia agraris. Mau tidak mau orang Jawa juga berhadapan dengan dunia bisnis, walau memang ada kelompok orang Jawa yang sebisa mungkin memang tidak mau bersentuhan dengan dunia bisnis, misalnya

kelompok Samin yang hidup berkembang di daerah Blora, Rembang dan Pati.

 Jacqueline Dunckel, Good Ethics Good Business: Your Plan for Success, (North Vancouver: International Self-Counsel Press, 1989), h.

(9)

Tetapi dalam teori perubahan masyarakat seperti yang dikatakan oleh Emile Durkheim yaitu,

Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.

Jadi sangat dimungkinkan pola kehidupan masyarakat yang agraris menjadi masyarakat industrial atau masyarakat bisnis. Faktor perubahan ekologis dimana banyak area pertanian menjadi kawasan hunian atau menjadi pabrik-pabrik, sehingga banyak desa yang berubah menjadi semi kota bahkan menjadi kota. Masyarakat melakukan urbanisasi yang membuat masyarakat menemukan situasi sosial yang berbeda dengan di desa. Berbagai perubahan tersebut menuntut masyarakat atau orang Jawa harus bisa menyesuaikan kondisi yang telah berubah. Hal tersebut bisa diamati dengan maraknya orang Jawa yang mulai melirik dunia usaha yang dirasa lebih menjanjikan secara finansial. Kecenderungan ini bisa diamati banyak orang Jawa yang berurbanisasi di kota besar dan berusaha secara mandiri dengan membuka usaha-usaha dagang. Banyaknya orang Jawa yang berbisnis menunjukkan bahwa bisnis atau dagang tidak lagi dianggap sebagai pekerjaan yang kasar, akan tetapi merupakan pekerjaan yang terhormat. Orang Jawa dalam menjalankan bisnisnya tentunya tidak lepas dari seperangkat aturan main yang harus mereka jalankan dalam berbisnis. Keberhasilan orang Jawa dalam berbisnis tentunya tidak lepas dari etika bisnis yang mereka jalankan. Etika bisnis tersebut tentunya bersumber dari etika Jawa yang dicoba untuk dimaknai ulang. Memang nilai etis yang berhubungan dengan pekerjaan orang Jawa sebenarnya ditujukan untuk kaum petani dan pegawai, tetapi dengan perkembangan jaman nilai-nilai etis tersebut tentunya bisa dimaknai ulang sebagai dasar dalam (ber)bisnis. Adapun nilai-nilai etis yang mendukung dunia bisnis adalah:

Tatag, Tanggon lan Trengginas. Tatag berarti teguh hati dalam berpendirian (konsisten). Dalam bisnis tentunya keteguhan hati sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan dan berani

bertindak tanpa ragu-ragu. Tanggon, artinya bisa dipercaya atau bisa diandalkan. Tentunya dalam berbisnis harus mempunyai karakter yang bisa dipercaya dan diandalkan. Tanpa

 George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari sosiologi Klasik Sampai Perkembangan

Terakhir Postmodern, terj: Saut Pasaribu, Rh. Widada, Eka Adinugraha, (Jakarta: Pustaka

Pelajar, 2012), h. 129-131.

 Djoko Pitoyo, “Tuna Satak Bathi Sanak (Kearifan Jawa Dalam Etika Bisnis), Jurnal Filsafat, 2 Agustus 2008, h.142-147.

 Terjemahan berdasarkan, Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, Kamus Bahasa Jawa

(Bausastra Jawa),(Yogyakarta: Kanisius, 2000)

(10)

kepercayaan bisnis tidak akan bisa berjalan baik. Trengginas adalah cakap serta terampil. Bisnis

tanpa kecakapan dan ketrampilan dalam bidang usaha yang ditekuninya tentunya tidak akan bisa berjalan, karena dalam bisnis dituntut untuk mengetahui, punya pengetahuan dan cepat belajar tentang usahanya yang digeluti. Menurut Wong dan Rae pekerja ataupun pebisnis harus

mempunyai karakter yang kuat yang mempunyai nilai etika yang tinggi dalam mengambil setiap kebijakan atau berhadapan dengan tantangan yang ada.

Gemi, Nastiti dan Ngati-ati. Gemi artinya bertindak irit dan hati-hati dalam memakai

sesuatu baik barang atau uang. Nastiti artinya adalah teliti sekali. Ngati-ati artinya berhati-hati. Sebuah sikap mengenai kehati-hatian dalam menggunkan uang sesuai dengan kebutuhan yang memang diperlukan. Ketelitian dan kehati-hatian dalam bekerja akan membuat pekerjaan yang dilakukan tidak dilakukan secara sembrono. Prinsip ketelitian dan kehati-hatian sangat diperlukan dalam menjalankan bisnis, ini menunjuk pada sikap yang tidak gegabah dalam mengambil keputusan, sekecil apapun keputusan itu. Kesalahan dalam mengambil keputusan akan sangat berdampak bagi kemajuan bisnis.

Tata, Titi, Titis dan Tatas. Tata Titi artinya adalah menata atau mengatur dengan teliti.

Titis artinya tepat sasaran. Tatas artinya selesai dengan baik. Secara harafiah berarti mengatur pekerjaan dengan teliti supaya bisa tepat sasaran dan bisa diselesaikan dengan baik. Dunia bisnis tanpa ada perencanaan yang baik dan teliti tidak akan mampu untuk sampai pada sasaran atau tujuan yang hendak dicapai, dan itu berarti pekerjaan tidak akan bisa selesai dengan tepat waktu dan selesai dengan baik.

Ana rega ana rupa yang berarti ada harga ada bentuknya. Penghargaan kepada nilai barang yang dihasilkan adalah prinsip bisnis. Dengan mampu membuat barang yang berkualitas tentunya konsumen akan bisa menghargai sesuai dengan harga yang dibayarkan karena ada jaminan dan kepuasan akan kualitas produknya.

 Ibid.

 Kenman L. Wong and Scott B. Rae, Business for the Common Good: A Christian

Vision for the Marketplace, (USA: InterVarsity, 2011), h. 167

 Djoko Pitoyo, “Tuna Satak Bathi Sanak (Kearifan Jawa Dalam Etika Bisnis), h.147

 Terjemahan berdasarkan, Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, Kamus Bahasa Jawa

(Bausastra Jawa),(Yogyakarta: Kanisius, 2000).

 Ibid.

(11)

Rawe-rawe rantas malang-malang putung artinya segala sesuatu yang merintangi harus

disingkirkan dan segala hal menghalangi harus dipatahkan. Konsep ini sering dipahami sebagai konsep untuk bergotong royong, bahkan menurut koentjaraningrat tidak sesuai dengan etos kerja

Jawa yang mengatakan aja nggaya atau jangan payah-payah. Tetapi yang perlu dilihat justru

semangat untuk tidak mau kalah dengan masalah yang ada di depan itulah yang harus diterapkan dalam berbisnis, bukankah dalam bisnis diperlukan semangat yang tidak mudah menyerah. Pebisnis yang profesional akan berusaha untuk mengatasi masalah yang ada dengan penuh semangat. Jadi nilai etis rawe-rawe rantas malang-malang putung justru menambah semangat dalam bekerja terlebih jikalau menemukan masalah-masalah dalam pekerjaan.

Kelima ungkapan etis filosofis diatas memang sangat menunjukkan tentang prisip yang utama dalam bekerja atau berbisnis. Bisa dikatakan keempat prinsip tersebut sangat tepat bila diaplikasikan dalam dunia bisnis. Keempat ungkapan etis Jawa tersebut berbicara tentang kemampuan (pengetahuan), keahlian, kehati-hatian, manajemen yang baik dan juga tentang kualitas produk. Tetapi tidak semua nilai etis Jawa bisa dipahami dengan baik seperti ungkapan-ungkapan yang lugas seperti yang telah diuraikan di atas. Persoalannya adalah ada ungkapan-ungkapan etis filosofis dalam masyarakat Jawa yang sangat dihidupi dan banyak orang berpikir itu adalah ungkapan yang sangat merugikan para pebisnis. Ungkapan itu adalah sepi ing pamrih rame ing gawe dan tuna satak bathi sanak. Ungkapan itu sering dipahami sebagai ungkapan yang menunjuk kepada perilaku yang anti bisnis dan berbisnis. Tetapi mari kita mencoba memaknai ulang ungkapan tersebut dengan etika bisnis modern.

Sepi ing pamrih rame ing gawe, sepi ing pamrih adalah perbuatan tanpa mengharapkan

pamrih (balasan). Sikap ini sering dimaknai dengan sikap yang tidak mau mengambil keuntungan, bukankah bisnis tujuannya adalah keuntungan. Menurut Frans Magnis Suseno sepi ing pamrih justru sesuai untuk menegembangkan wawasan menyeluruh yang diperlukan bisnis

modern. Justru ungkapan ini dalam dunia bisnis bermaksud untuk tidak mengurangi kualitas

produk demi mencapai keuntungan sendiri. Rame ing gawe adalah sikap yang menunjukkan komitmen untuk bekerja dengan tekun. Jadi ungkapan ini ingin mengajak untuk tidak semata-mata mengambil keuntungan pribadi dengan mengorbankan kualitas produk, akan tetapi

 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa,(Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 438.  Ibid.

(12)

mengajak bekerja dengan tekun untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Prinsip bisnis modern adalah berusaha memberikan yang terbaik kepada para konsumen, bukankah pembeli adalah raja. Sukses bisnis itu hanya sasaran antara yang akan mengantar kita pada tujuan yang

berdimensi etis, yaitu kesejahteraan umum. Berarti ada kepuasaan dari semua pihak baik pebisnis, masyarakat, mutu dan harga.

Ora kuminter lan Nrimo, ora kuminter berarti tidak merasa pandai. Nrimo berarti pasrah atau menerima. Ora kuminter merupakan bentuk kerendahan hati orang Jawa untuk mau terus

belajar. Nrimo sering dianggap suatu hal yang bersifat pasifisme yaitu menerima segala sesuatu yang ada pada dirinya. Tetapi ini bukan berarti orang Jawa mau menerima untuk diapa-apakan dalam hidupnya. Orang jawa akan berkelahi untuk mempertahankan harga dirinya termasuk keluarga dan pekerjaannya.

Tuna satak bathi sanak, yang artinya rugi sejumlah uang, tetapi keuntungan mendapat saudara. Dari pengertian itu saja tercermin sikap yang anti bisnis, bisnis kok rugi bahkan harus kehilangan uang. Akan tetapi dalam bisnis modern kemampuan untuk mengembangkan jejaring jauh lebih bermakna daripada mengejar keuntungan sesaat. Dengan semakin banyaknya partner binis, tentunya akan semakin banyak peluang-peluang bisnis yang bisa diciptakan. Bisnis modern berani berkorban atau bisa dikatakan tidak untung di depan tetapi keuntungan akan diraih setelah ada kepercayaan dari partner bisnis yang semakin berkembang.

Dari penjelasan diatas jelas sekali bahwa etika Jawa ternyata mencakup banyak hal yang dibutuhkan dalam dunia bisnis. Bisnis tidak hanya sekedar mencari untung atau profit, tetapi bisnis juga berbicara tentang hal yang luhur yaitu kesejahteraan bersama. Prinsip dasar orang Jawa adalah hidup rukun dan hormat, tujuan dari hidup rukun dan hormat adalah untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bersama. Dalam dunia agraris mewujudkan hidup kesejahteraan hidup bersama adalah jika setiap petani boleh merasakan panen yang melimpah untuk keluarga dan berguna bagi masyarakat yang membutuhkan. Konsep itu adalah konstruk manusia Jawa tradisional. Konstruk manusia Jawa modern adalah perubahan cara hidup mereka dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, salah satunya dengan bisnis. Bisnis bukan lagi pekerjaan

 Ibid.

 Franz Magnis suseno,” Nilai Budaya Jawa dan Etika Bisnis”, Driyarkara, 1997, h. 43  Terjemahan berdasarkan, Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, Kamus Bahasa Jawa

(Bausastra Jawa),(Yogyakarta: Kanisius, 2000).

 Ibid.

(13)

yang harus dihindari tetapi justru merupakan peluang yang bisa digunakan untuk mencapai kesejahteraan hidup bersama.

Nilai etis yang sudah hidup dalam masyarakat Jawa jangan dipahami sebagai suatu penghambat untuk memasuki dunia bisnis. Justru nilai etis Jawa menawarkan nilai-nilai luhur yang justru saat ini menjadi kebutuhan orang bisnis kaitan dengan etika bisnis. Memang harus diakui nilai-nilai yang sudah ada tersebut memang bukan semuanya ditujukan untuk para pekerja atau pebisnis, akan tetapi kemampuan kita untuk memaknai ulang atau mendekonstruksi nilai yang ada itulah yang diperlukan. Peralihan dari masyarakat tradisional ke masayarakat yang lebih modern, juga harus diimbangi dengan pemahaman budaya Jawa yang lebih maju dan lebih terbuka. Memang tidak mudah tetapi butuh keberanian dan kemauan untuk bisa mewujudkannya.

Penutup

Menemukan nilai etis Jawa yang langsung bisa dikenakan kepada bisnis memang tidak mudah bahkan bisa dikatakan jejak budaya Jawa kurang memberi porsi bagi cara berdagang atau berbisnis. Berdasarkan hasil dari eksplorasi dan reinterpretasi nilai-nilai etis budaya Jawa bisa ditemukan nilai-nilai luhur yang sangat berguna bagi bekal kehidupan bisnis orang Jawa. Nilai tersebut bisa menjadi etos kerja yang menurut saya bisa menuntun orang Jawa dalam keberhasilan kerjanya tanpa mengabaikan kesejahteraan hidup bersama.

Nilai etis tersebut tetap menjunjung tinggi prinsip dasar orang Jawa yaitu rukun dan hormat. Berusaha menjaga kerukunan dengan menerarapkan bisnis yang berintegritas dan berkarakter tanpa menganggap kompetitornya sebagai musuh. Perasaan hormat kepada partner, investor dan kompetitor justru akan memumpuk semangat saling menghormati sesuai dengan perannya dalam bisnis.

(14)

BIBLIOGRAFI Kamus :

Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, Kamus Bahasa Jawa (Bausastra Jawa), Yogyakarta: Kanisius, 2000

Sumber Buku:

Bertens, K., Pengantar Etika Bisnis, Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Dunckel, J,. Good Ethics Good Business: Your Plan for Success, North Vancouver: International Self-Counsel Press, 1989.

Geertz, C., Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat Jawa, terj: Aswab Mahasin, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

Joesoef, Djoenaidi. “Sistem Sosial Budaya dan Pengaruhnya terhadap Bisnis China”’, dalam

Etika Bisnis China: Suatu Kajian terhadap Perekonomian di Indonesia, Ed. By Wastu Pragantha Zhong, Jakarta: Gramedia, 1996.

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Ritzer, G., Teori Sosiologi: Dari sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, terj: Saut Pasaribu, Rh. Widada, Eka Adinugraha, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Suseno, F.M., Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984.

Wong, K.L, and Rae, S.B., Business for the Common Good: A Christian Vision for the Marketplace, USA: InterVarsity, 2011.

Wijaya, Yahya., Kesalehan Pasar: Kajian Teologis Terhadap Isu-isu Ekonomi dan Bisnis di Indonesia, Jakarta: Grafika Kreasindo, 2010.

(15)

Nugroho, A.A., “Lima Pandangan tentang Etika Bagi Dunia Bisnis: sebuah usaha pemetaan awal”, Driyarkara, 1997

Suseno, F.M.,” Nilai Budaya Jawa dan Etika Bisnis”, Driyarkara, 1997. _____, “Sekitar Etika Bisnis”, Basis, Agustus 1986

Djoko Pitoyo, “Tuna Satak Bathi Sanak (Kearifan Jawa Dalam Etika Bisnis), Jurnal Filsafat, Agustus 2008

Referensi

Dokumen terkait

Proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik di Polres Kota Batu terutama di bagian Unit PPA yang menangani masalah tindak pidana perdagangan orang telah sesuai

Secara khusus, kunjungan kerja spesifik Komisi VI DPR RI ini dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan dan permasalahan yang dihadapi oleh Perum Bulog di Provinsi

(3) evaluasi manajemen sarana dan prasarana dalam meningkatkan perkembangan anak PAUD di KB TK Islam Al Azhar 29 BSB Semarang dilakukan dengan mengevaluasi kekurangan sarana

Perangkat pembelajaran berbasis pendekatan metakognitif pada materi pola bilangan yang dikembangkan telah efektif diketahui berdasarkan: (a) rata-rata ketuntasan belajar

Dengan diketahuinya keberadaan Battra ramuan dengan ramuan tanaman obat yang digunakan, merupakan tantangan bagi para peneliti untuk melakukan penelitian dan pengembangan ramuan

Setelah paket data dari tiap node sensor dapat dikirim dari perangkat mikro kemudian dikirim melalui xbee perangkat akhir dan dikirim ke koordinator, maka yang

Tabel 7 memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah bobot per buah pada perlakuan varietas Ratna berbeda nyata dengan varietas dan galur lainnya dan semua galur yang

Sistem kurikum yang tidak berpihak pada pembelajaran sastra; ketersediaan buku teks sastra yang terbatas; sistem evaluasi tidak mengakrabkan siswa pada karya