• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengoptimalkan Proses dan Hasil Implemen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengoptimalkan Proses dan Hasil Implemen"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Mengoptimalkan Proses dan Hasil Implementasi Dualisme Kurikulum (Matematika) Sekolah untuk Memecahkan Permasalahan Pendidikan

Anak Bangsa

Oleh: Dr.Dadang Juandi, M.Si. (Universitas Pendidikan Indonesia)

Pendahuluan

Dalam Pasal 3 UU No 20 Sisdiknas Tahun 2003 disebutkan bahwa Tujuan Pendidikan Nasional adalah Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan mulia tersebut sejatinya dapat terwujud salah satunya melalui implementasi kurikulum di sekolah formal dengan segala pendukungnya. Karena secara konseptual kurikulum merupakan suatu respon pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat dan bangsa dalam membangun generasi muda bangsanya. Kurikulum harus menjamin pemberdayaan siswa pada semua aspek kompetensi, yang memungkinkan siswa siap menjadi warga masyarakat yang bermutu, yang meliputi semua kesempatan belajar yang diselenggarakan oleh sekolah (Saylor,1974 dalam Wahyudin, 2013). Oleh karena itu pihak sekolah harus memberdayaan siswa dengan segala cara, menata proses pembelajaran sesuai situasi dan lingkungannya. Untuk menjamin terjadinya proses pemberdayaan tersebut, guru memiliki peranan yang sangat vital.

Seiring dengan pergantian kepemimpinan nasional menjelang akhir tahun 2014 yang cukup berdampak pada banyak hal, termasuk terhadap dunia pendidikan. Tak dapat dipungkiri bahwa sebelum masa Presiden Susilo Bambang Yudoyono berakhir, dunia pendidikan kita disibukkan oleh program nasional yang sangat menyita perhatian banyak pihak, yaitu program pelaksanaan Kurikulum 2013. Kesibukkan tersebut dengan mudahnya dapat dihentikan oleh kekuatan politik negeri ini, dunia pendidikan sepertinya tidak pernah luput dari intervensi kepentingan politik.

(2)

implementasinya oleh penguasa baru, bahkan tidak terdapatnya hasil riset unggulan yang merekomendasikan bahwa kurikulum sebelumnya (KTSP) benar-benar telah gagal, juga semakin memperkuat untuk dihentikannya kurikulum 2013, khususnya untuk sekolah yang baru melaksanakannya hanya satu semester. Namun untuk sekolah yang sudah melaksanakannya tiga semester boleh memilih melanjutkan atau kembali ke KTSP. Jika merujuk ungkapan Ketua Umum PB PGRI Sulistiyo yang mengatakan bahwa masalah dalam K-2013 muncul karena kerangka pikir yang sukar dipahami, metode pembelajaran yang direkomendasikan sulit diterapkan, desain pelatihan guru tidak efektif, dan evaluasi yang sangat membebani. Di luar itu, masih ada kesiapan guru dan buku siswa yang kedodoran sehingga ia anggap melahirkan 'malapetaka' bagi kebanyakan sekolah.

Persoalan memilih melanjutkan kurikulum 2013 atau kembali ke KTSP tidaklah semudah mengubah ‘lilin menjadi mainan’ atau sebaliknya, tetapi benar-benar memunculkan berbagai masalah yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Tentu saja selain program pendukung implementasi Kurikulum 2013 seolah-olah seperti kurang berguna, masalah berikutnya adalah terjadinya dualisme kurikulum di sekolah, yang terpaksa harus dijalankan.

Bagi beberapa guru yang selama ini menganggap bahwa KTSP lebih baik bagi mereka, kebijakan pemerintah untuk kembali ke KTSP seperti memiliki semangat baru yang selama ini rontok oleh kerepotan memahami dan melaksanakan kurikulum 2013, sementara bagi mereka yang merasa telah berhasil mengubah mind set, kebijakan tersebut seperti penjegalan semangat dalam memperbaiki proses pendidikan. Dan bagi mereka yang berada di sisi yang lain, yaitu tidak suka dengan KTSP atau Kurikulum 2013, stagnan terhadap perubahan, dan tidak termotivasi mengubah mind set, nampaknya cenderung tidak peduli terhadap apa pun yang akan terjadi, karena urusan berdiri di depan kelas adalah hak guru sepenuhnya. Jadi kurikulum mana pun yang harus dilaksanakan, tidak mampu mempengaruhi sikap dan perilaku mereka di depan kelas.

(3)

pembelajaran yang inovatif, belum membelajarkan siswa dengan menggunakan pendekatan kontekstual, jarang mempersiapkan diri sebelum pembelajaran dilaksanakan, pada saat pelaksanaan pembelajaran masih orientasi pada kegiatan yang berpusat pada guru, memberikan banyak intervensi, kurang berupaya membelajarkan siswa, dan pada kegiatan akhir pembelajaran masih orientasi pada latihan soal rutin. (2) Pada umumnya guru merasa kesulitan dalam merancang bahan ajar yang konstruktivis, merasa kesulitan mempraktekan pembelajaran yang inovatif, dan kesulitan dalam membuat alat evaluasi untuk mengukur kemampuan tingkat tinggi. (3) Mayoritas guru menganggap bahwa kegiatan latihan soal agar siswa sukses dalam ujian nasional lebih penting daripada pengembangan kompetensi melalui pembelajaran inovatif yang memerlukan banyak waktu.

Walau pun hasil survey tersebut bukan gambaran umum secara nasional, namun setidaknya memberikan informasi bahwa pelaksanaan kurikulum KTSP belum mampu memberdayakan guru dalam meningkatkan kompetensinya, hal ini tentu pada gilirannya akan berdampak pada siswa, siswa yang belajar dengan guru yang demikian, sangat mungkin menjadi siswa yang kompetensinya belum sesuai dengan tuntutan kurikulumnya. Jika terjadi seperti itu maka dengan berganti kurikulum yang baru pun, belum tentu berhasil, bahkan guru yang sebelumnya masih kurang kompeten menjadi semakin dibingungkan oleh tuntutan pembelajaran dalam kurikulum baru yang notabene cukup seiring dengan kurikulum sebelumnya dalam tataran filosofi dan tuntutan kinerja guru, yaitu terjadinya pembelajaran yang sudent centre bukan yang teacher centre. Guru guru yang terus membudayakan pembelajaran yang teacher centre sangat mungkin merupakan pewaris budaya yang mereka terima sebelumnya yang memang sulit diubah, sebagaimana dikemukakan Barody (2014) bahwa mengubah budaya (mengaja) itu sangat sulit, guru yang telah magang atau praktek mengajar cenderung melaksanakan pembelajaran yang seperti mereka terima dari guru mereka. Oleh karena itu untuk mengubah prilaku mengajar para guru diperlukan persiapan matang, pelatihan yang berbasis kinerja yang sangat terukur dan berkesinambungan. Konsep pelatihan model Kurikulum 2013 yang menyisakan banyak kebingungan bagi guru sendiri, model ini nampaknya tidak cocok dengan guru-guru kita. Hanya guru yang mau berinovasi saja yang dapat diandalkan untuk menjalankan kurikulum yang sesuai dengan amanah konstitusi.

(4)

akhir Open Lesson para peserta sudah mulai menunjukkan rasa antusiasme yang tinggi. Indikator kehadiran yang konsisten bahwa jumlah 24 orang relatif tetap dapat menghadiri pertemuan demi pertemuan di Rayon Bandung Barat. Hal serupa juga ditemui pada Rayon Bandung Utara. Data wawancara baik di Bandung Barat maupun Bandung Utara memperlihatkan bahwa para peserta justru berada lebih jauh dari keadaan yang diharapkan. Semula peneliti menduga bahwa para peserta hanya mengikuti prosedur yang ada, namun ternyata sudah melampaui batas-batas berinovasi. Peningkatan profesionalisme guru melalui model lesson study sepertinya lebih menjanjikan daripada yang lainnya, sehingga dimungkinkan dapat memperbaiki standar proses pembelajaran.

Diberlakukannya dualisme kurikulum sekolah tentu menambah beban bagi sekolah karena harus memisahkan sekaligus menggabungkan beberapa hal yang harus disesuaikan dengan beberapa aspek penting kurikulum tersebut. Telah diketahui bahwa Bahan Uji Publik Kurikulum 2013, disebutkan bahwa ada empat elemen perubahan dari KTSP 2006 ke kurikulum 2013, yaitu (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar penilaian dan (4) standar kompetensi lulusan. Dalam tulisan ini akan dibahas berbagai masalah pencapain kualitas anak didik melalui implementasi dualisme kurikulum sekolah, khususnya dalam pembelajaran matematika berdasarkan kekuatan dan kelemahan yang mungkin dimiliki sekolah, guru, siswa dan stakeholder lainnya.

Dualisme Kurikulum dalam Standar Isi

(5)

Dualisme dalam Standar Proses

Standar Proses KTSP diatur dalam Permendiknas No 41 Tahun 2007, sedangkan standar proses Kurikulum 2013 diatur dalam Permendikbud No 65 Tahun 2013. Kedua peraturan menteri ini masing-masing menjadi dasar hukum pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah untuk mencapai kompetensi lulusan. Dalam hal ini, dengan berlakunya Permendikbud No 65 Tahun 2013 maka Permendiknas No 41 Tahun 2007 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Permendikbud No 65 Tahun 2013 pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah selanjutnya disebut Standar Proses merupakan kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan dasar dan menengah untuk mencapai kompetensi lulusan. Terdapat beberapa permasalahan berkaitan dengan standar proses KTSP 2006; yang sudah ada upaya perbaikan pada kurikulum 2013. Bagaimana jika kedua kurikulum tersebut diberlakukan?

Dualisme dalam Orientasi Pembelajaran: Pengembangan Kognitif dan Karakter Pada KTSP proses pembelajaran lebih diorientasikan pada pencapaian aspek pengetahuan (cognitive) yang secara dominan dilakukan di dalam kelas. Pencapaian kompetensi disasarkan pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), sehingga jika siswa mendapat nilai yang mencapai KKM maka dapat dianggap pembelajaran telah selesai, aspek sikap (affective) dan keterampilan (psycomotoric) sama sekali tidak menjadi acuan yang seimbang dengan aspek kognitif, padahal jika kita telaah kembali tujuan pendidikan nasional seperti yang diungkapkan di atas, ketiga aspek tersebut sudah tercakup didalamnya, yaitu berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam KTSP diperlukan perubahan yang lebih mengarah pada tujuan nasional tersebut.

Dengan orientasi pembelajaran seperti di atas, hal tersebut mempengaruhi cara guru melaksanakannya di depan kelas, mereka cenderung menyajikan pembelajaran yang monoton, mendominasi pembicaraan, memperbanyak latihan, kurang kontekstual, dan jarang mengajukan masalah yang menantang siswa untuk berpikir, berdiskusi, berkomunikasi, dan enggan melakukan inovasi pembelajaran. Walau pun pada perjalanannya telah dicoba diberikan berbagai ilmu tambahan berkaitan dengan kemampuan pedagogis didaktis berupa pelatihan pembelajaran kontekstual, realistik, dan pembelajaran terbuka, tetapi tetap saja mengubah manusia (guru) itu sangat sulit. Diperlukan usaha yang lebih keras untuk memperbaikinya secara sistemik, sehingga muncullah Kurikulum 2013, walau pun datangnya kurang tepat waktu.

(6)

kepakuman komunikasi antara guru dan siswa, tetapi guru yang seharusnya menjadi fasilitator, kurang memahami perannya, sehingga akhirnya pembelajaran didominasi oleh guru. Dalam pemebalajaran matematika misalnya, sering ditemukan ’malapraktek pembelajaran’, dimana guru merencanakan pembelajaran yang kontekstual atau pembelajaran terbuka (open ended), tapi ketika diobservasi pemebelajaranya tidak menampakkan kesesuaian antara RPP dan implementasinya. Ketika harus menerapkan KD dimana siswa harus ‘mampu menerapkan konsep ilmu matematika dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari’, maka guru merasa cukup dengan hanya memberikan latihan berupa soal-soal terapan, tidak melalui implementasi berupa meyajikan bahan ajar yang menantang untuk memecahkan masalah.

Kembali kepada tujuan pendidikan nasional, yaitu Berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, yang diwujudkan dalam KTSP terlalu berorientasi pada pencapaian kognitif, maka pada Kurikulum 13 sudah lebih diakomodir, dimana tuntutan proses dan hasil belajar berorientasi pencapaian pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Jadi elemen perubahan pada standar proses, khususnya pada pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang dalam KTSP, gagian inti RPP nya harus memuat (a) eksplorasi, (b) elaborasi dan (c) konfirmasi diubah menjadi melalui proses (a) mengamati, (b) menanya, (c) mengolah,(d) menalar, (e) menyajikan, dan menyimpulkan, , selanjutnya disebut 5M. Dengan 5M tadi untutan tercapainya aspek sikap dan keterampilan diharapkan dapat dicapai dimana melalui seluruh pembelajaran bidang studi secara utuh dapat membentuk karakter peserta didik, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.

Tetapi apakah dengan adanya perubahan pada standar proses serta merta dapat mengubah kinerja guru dan memperbaiki kualitas pembelajarannya, sehingga dapat memperbaiki kualitas kompetensi peserta didik? Pertanyaan sulit ini tidak bisa dijawab dalam satu baris, karena berdasarkan beberapa hasil pengamatan dan pengalaman guru sendiri, ternyata lebih banyak guru yang merasa kesulitan dengan pembelajaran saintifik, kesulitan membuat bahan ajar, dan bahkan sangat kesulitan dalam mengadaptasi bahan ajar yang disediakan dalam buku kurikulum 2013.

Selanjutnya dengan adanya kebijakan dualisme yang terpaksa dilakukan beberapa sekolah, maka masalah lainnya akan bermunculan, dalam pengertian jika keduanya dilaksanakan secara ideal sesuai tuntutan masing-masing kurikulum, tentu bukanlah hal mudah. Guru akan semakin kerepotan dalam pelaksanaannya, diperlukan pelatihan yang lebih jelas dan terarah agar mereka dapat melaksanakan amanah pembelajaran sesuai dengan tuntutan yang diminta. Meski pun pembelajaran dengan pendekatan saintifik masih mengandung aspek-aspek eksplorasi, elaborasi, dam konfirmasi, pada umumnya guru masih perlu banyak bantuan dalam melaksnakannya.

(7)

sudah lama mereka tinggalkan, mereka sedemikian jauh merombak system pembelajaran dari yang mekanistik menuju yang realistic, dari yang copy method ke yang open ended, dan dari yang conventional ke yang contextual. Oleh karena itu dengan kurikulum mana pun, KTSP atau Kurikulum 2013, permasalahan pokoknya ada pada kinerja guru yang harus sudah lebih kompeten dan profesional. Untuk melahirkan guru-guru yang lebih kompeten, diperlukan system perekrutan, penyeleksian, dan terutama pembinaan yang berkelanjutan berdasarkan azas pemerataan dan keadilan. Semua guru berhak mendapatkan pembinaan yang layak dan professional, dimana pun ia ditempatkan tidak menjadi masalah. Untuk mendapatkan pembinaan yang layak, lebih baik mewajikan kepada mereka menyisihkan sebagaian uang tunjangan profesinya untuk kepentingan pengembangan profesi, daripada kewajiban menjalankan pembelajaran yang terlalu banyak, tetapi dijalankan secara tidak profesional.

Berkaitan dengan pendidikan kaakter, Dalam Pedoman Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusun oleh tim penulis naskah dari Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementrian Pendidikan Nasional (2010), pada prinsipnya pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan budaya sekolah. Prinsip pembelajaran yang digunakan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa mengusahakan agar peserta didik mengenal dan menerima nilai-nilai budaya dan karakter bangsa sebagai milik mereka dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian, dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Dengan prinsip tersebut, peserta didik belajar melalui proses berpikir, bersikap, dan berbuat. Ketiga proses ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dalam melakukan kegiatan sosial dan mendorong peserta didik untuk melihat diri sendiri sebagai mahluk sosial.

Ada pun tujuan-tujuan dari pendidikan budaya dan karakter bangsa, adalah sebagai berikut:

1. mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-bilai budaya dan karakter bangsa;

2. mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;

3. menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;

4. mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan

(8)

Yang menjadi masalah dalam pengembangan pendidikan karakter adalah bagaimana cara mengintegrasikannya dalam mata pelajaran, pada umumnya para guru masih belum optimal, apalagi jika pembelajarannya dilaksanakan secara konvensional. Pengintegrasian karakter/sikap dalam pembelajaran pada matapelajaran-matapelajaran secara praktik dapat dijelaskan dengan alur pengembangan sebagai berikut. Proses perancangan dan pembelajaran dimulai dari KI-3 (pengetahuan) ke KI-4 (keterampilan) dan selanjutnya memberikan dampak terhadap terbentuknya kompetensi dasar pada KI-2 (sikap sosial) dan KI-1 (sikap spiritual). Pada proses perancangan, setelah KI-3 dan KI 4-tuntas dianalisis, selanjutnya adalah menurunkan materi yang relevan beserta rancangan skenario pembelajarannya, termasuk penugasan dan penilaian. Berdasarkan aktivitas belajar dan penugasan tersebut, dirancang indikator KD pada KI-1 dan KI-2 dengan cara diintegrasikan.

Urutan perancangan dan pelaksanaan pembelajaran mulai dari KI-3 menuju KI-4 sesuai dengan kenyataan bahwa keterampilan hanya dapat dibangun dengan hasil yang baik melalui pengetahuan. Keterampilan yang tidak melalui proses pengetahuan tampaknya tidak akan menghasilkan k arya yang baik. Dalam proses pemerolehan pengetahuan dan keterampilan inilah sikap diintegrasikan ke dalam suatu matapelajaran, dan akhirnya ke seluruh matapelajaran, berkontribusi terhadap pembentukan sikap.

Melalui pembelajaran saintifik memang sangat dimungkinkan tumbuhnya kebiasan-kebiasaan yang memunculkan karakter-karakter yang diharapkan. Jadi kembali kepada masalah penerapan di dalam kelas. Guru sebagai ujung tombak peningkatan kualitas pendidikan harusnya dapat menjadi andalan.

Dualisme dalam Penjurusan dan Peminatan

(9)

Dualisme dalam Proses Penilaian, Autentik dan Non Autentik

Proses evaluasi antara KTSP dan Kurikulum 2013 yang sangat berbeda memberikan beban tersendiri bagi guru dan sekolah, pada KTSP penilaian lebih diorientasikan pada pengukuran aspek kognitif, sedangkan pada Kurikulum 2013 penilaian dilakukan secara autentik dan meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penilaian aspek kognitif melalui penggunaan KKM, dan proses evaluasi pembelajaran dilakukan melalui tes, maka nilai yang ditampilkan siswa sangat mungkin tidak benar-benar menunjukkan kemampuan dirinya. Dengan sistem penilaian autentik menggunakan kriteria minimal, dan mengunkur semua aspek dalam pembelajaran, maka diharapkan siswa benar-benar telah menampilkan seluruh kompetensi hasil belajarnya. Namun pada kenyataanya, untuk menjalankan dua system penilaian juga cukup merepotkan, mungkin bukan dalam hal menghasilkan nilai akhir tetapi dalam prosesnya akan cukup rumit. Diantaranya sekolah harus menyediakan dua model raport, wali kelas harus menulis ulang raport untuk kelas yang kembali ke KTSP.

Dualisme: Penggunaan Buku Teks dan Penyusunan Bahann Ajar Sendiri

Pada masa KTSP 2006, SK dan KD diturunkan dari mata pelajaran memuat pokok-pokok bahasan tertentu. Pokok bahasan disusun dalam suatu buku teks/buku pelajaran untuk siswa. Pokok-pokok bahasan/materi pelajaran untuk tiap KD yang harus dicapai siswa, dan sudah dikemas secara rinci dalam satu buku pelajaran, guru cukup memindahkannya ke papan tulis, dan menyampaikan kembali sepeti yang tertulis di buku teks, hal in sangat menguntungkan bagi guru yang tidak memahami betul inti sari materi, karena tidak perlu mngemas bahan ajar sendiri, cukup meminta siswa memopelajarinya, dan guru memberikan latihan soal. Penggunaan lembar kerja siswa tidak menolong siswa memahami materi secara mendalam, karena sibuk dengan mengisi LKS yang hanya mematri penyelesian soal yang bolong-bolong. Kegiatan siswa mengisi LKS seringkali dimanfatkan guru untuk menyelesaikan urusan administrasi yang harus disetorkan, dengan demikian penggunaan buku teks dan LKS tanpa pengawasan pembelajaran yang baik, membuat guru menjadi lalai dan tidak focus terhadap tujuan pembelajaran seutuhnya. Hal ini juga memungkinkan guru untuk mengejar target materi dalam kurikulum tersebut.

(10)

Menyelenggarakan pembelajaran yang bersifat kontekstual, bukan hanya membahas materi yang termuat dalam buku pelajaran, tetapi harus sesuai konteks dimana satuan pendidikan berada. Selama masa KTSP terdapat kecenderungan bahwa satuan pendidikan dalam menyusun kurikulumnya tanpa mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah secara memadai. Dalam kurikulum 2013, dimana guru diwajibkan mengembangkan bahan ajar sendiri, hal ini merupakan salah satu bentuk kebebasan guru dalam mengembangkan perankat pembelajaran, tetapi karena terbiasa berbasis pada buku teks, maka ketika mnerima buku kurikulum 2013 yang agak berbeda dengan buku teks dalam KTSP, guru kurang dapat mengadaptasi apa yang terdapat dalam buku teks tersebut. Kondisi tersebut merupakan salah satu kelemahan mendasar dalam implementasi kurikulum 2013, tetapi hal ini tidak terdeteksi secara dini karena sewaktu pelatihan, guru kurang mendapat kesempatan untuk mempraktekannya secara langsung, kosep pelatihan oleh guru IN kepada guru lain menjadi kurang efektif.

Kesimpulan

Berkaitan dengan diberlakukannya dualisme kurikulum di beberapa sekolah, berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dari aspek standar isi sekolah pada umumnya dapat menyesuaikan dengan kondisi yang ada, baik guru, buku, dan sumber daya lainnya.

2. Dari aspek standar proses terdapat berbagai kendala serius, terutama kemauan dan kemampuan guru dalam mengimplementasikan model pembelajaran yang seharusnya mengaktifkan siswa, memilih standar proses berdasarkan kurikulum 2013 merupakan pilihan yang lebih strategis untuk mencapai tujuan yang lebih konprehensif.

3. Dari aspek standar penilaian sebaiknya mengkombinasikan kedua kurikulum, tetapi tetap dapat mengakses seluruh komponen baik pengetahuan, sikap, dan keterampilan dengan memilih proses yang tidak terlalu mberatkan guru. 4. Program pembinaan dan pengembangan professional guru harus terus

diupayakan, sebaiknya dipilih yang berbasis praktik lapangan secara kolegiat dan kolaboratif, bukan berbasis ceramah.

5. Pengembangan karakter melalui pembelajaran berbasis penemuan harus terus diupayakan, karena hal tersebut akan menjadi penciri anak bangsa.

(11)

Daftar Pustaka

Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Juandi, D. (2011). Membantu Calon Guru mengembangkan Kompetensinya.

MakalaPengabdia Kepada Masyarakat. Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI.

Juandi,D. dan Suherman,E. (2013). Profil Pembelajaran Guru Matematika di Jawa Barat. Jurnal Sigma Didaktika vol.2 no.2.

Kemendiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter Kementrian Pendidikan Nasional. Jakarta: Kemendiknas.

Pass,F.,van Merrienhoer,J.J.G.,&van Gog,T.(2011). Designing Instruction for the contemporary learning landscape. Dalam K.Harris, S.Graham, &T.Urdan (Penyunting), APA Educational Psychology.Handbook: vol.3.Application to learning and teaching.Washington:American Psychologycal Association. Turmudi, Juandi,D., Wihatma,U. dan Harningsih,E. (2012). Peningkatan Kesadaran

Berinovasi Dalam Pembelajaran Matematika Guru Smp Melalui Lesson Study. Proceeding Seminar Internasional Lesson Study. FMPIPA UPI.

Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Kurikulum 2013. Permendiknas No 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses KTSP2006.

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

1. Identitas

Nama lengkap : Dr. Dadang Juandi, M.Si. Tempat dan Tanggal Lahir : Tasikmalaya, 17 Januari 1964 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Menikah dengan Dra.Hj.Faridah Millah, SH.,M.H. Alamat Rumah : Jl. Pasir Kemiri Blok B No.19 Cigugur Girang

Kec, Parongpong Kab. Bandung Barat Rt18/Rw.02 Telp. HP No. 082218400272

E-mail: d adang.juandi@upi.edu

Pekerjaan : PNS/ Dosen Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Jabatan/Gol. : LektorKepala/Pembina/IV

Alamat Kantor : Jl. Dr. Setiabudi No. 229 Bandung Telp. (022) 2004508

RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI

Tahun

Lulus Jenjang Perguruan Tinggi Jurusan/Bidang Studi

1989 S1 IKIP Bandung Pendidikan Matematika

1997 S2 UGM Yogyakarta Matematika

2006 S3 Universitas Pendidikan Indonesia Pendidikan Matematika

PELATIHAN PROFESIONAL

Tahun Pelatihan Penyelenggara

2010 Pelatihan fineTurning calon dosen PPG UPI

2011 Pelatihan Penjaminan Mutu Manajemen Satuan Penjaminan Mutu UPI

2012 Pelatihan Standar Nasional Satuan Audit Internal UPI

2013 Pelatihan Intruktur Kurikulum Nasional Depdikbud

(13)

Jabatan Institusi Tahun... s.d. ...

Ketua Program Studi Pendidikan Matematika

Pendidikan MatematikaFPMIPA

IKIP/UPI Bandung

2017-sekarang

Ketua Pelaksana Program PPG Matematika

Pendidikan MatematikaFPMIPA UPI

Bandung

210-sekarang

SPESIALISASI MENGAJAR

Mata Kuliah Jenjang Institusi/Jurusan/Program Tahun.. s.d. ..

Kalkulus, Teori Sampling, Teori Bayes,

Statistika Terapan, Statistika Matematis,

Metode Penelitian

S1, S2, S3 Pendidikan Matematika/Matematika

1990-sekarang

A. Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi

Judul Penerbit/Jurnal

Penilai Teknis Buku Pelajaran Matematika yang diselenggarakan oleh Pusbuk Depdiknas

Buku SMP/SMA

Penyusun Pedoman Bimbingan Teknis Peningkatan Kemampuan Profesional Guru SMA

Dikmen

Penenelaah Buku Kurikulum 2013 Puskurbuk

Ketua reviuer Artikel Jurnal Pendidikan Matematika

”Sigma Didaktika”

APMI

Penulis dan reviuer Soal UMPTN DIKTI

PENGHARGAAN/PIAGAM

Tahun Bentuk Penghargaan Pemberi

2002 Piagam Tanda Kehormatan Presiden Megawati

2012 Satya Lencana Karya Bakti Satya Rektor UPI

(14)

PENGALAMAN ORGANISASI

TAHUN NAMA ORGANISASI TEMPAT

1987-SEKARAN

G

ANGGOTA KLUB

KELUARGA BUMI SILIWANGI

UPI

2012-SEKARAN

G

KETUA ASOSIASI PENDIDIK MATEMATIKA INDONESIA

BANDUNG

2013-SEKARAN

G

WAKIL GUBERNUR BIDANG PENDIDIKAN,

INDONESIAN MATHEMATICAL SOCIETY

WILAYAH JABAR,DKI, BANTEN

Bandung,

Dosen yang berangkutan,

.

Referensi

Dokumen terkait

Dipetik Agustus 8, 2016, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): http://kbbi.web.id/pustaka..

ketercapaian indikator yang telah dirumuskan  Membuat soal subyektif untuk mengukur. ketercapaian indikator yang telah dirumuskan  Instrumen

Permintaan adalah keinginan konsumen membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu. Singkatnya permintaan adalah banyaknya

Terlepas dari apakah sikap agresif LJ tersebut benar-benar merupakan fakta sosial atau tidak, yang menarik perhatian di sini adalah bahwa keseluruhan kejadian di atas, mulai

Tinjauan ini dilakukan untuk mengetahui kapasitas ground tank (reservoir air bersih) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bersih setiap unit toko, restaurant, foodcourt,

Agar pengertian konversi dapat dipahami dengan baik maka untuk mengkonversikan pecahan biasa ke bentuk persen dapat dilakukan dengan membagi pembilangnya

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya biaya dan waktu yang dibutuhkanuntuk menyelesaikan pekerjaan gedung

maksimal pada konsumsi isoflavon terhadap kadar estrogen yang dikenai paparan radiasi pada konsumsi 44 mm/hari untuk dapat meningkatkan kadar estrogen dan 131 mg/hari