• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak–Tionghoa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Harga Diri dengan Resiliensi pada Anak Multietnis Batak–Tionghoa"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Resiliensi

1. Definisi Resiliensi

Resiliensi awalnya berasal dari kata Latin `resilire‟ yang artinya

melambung kembali. Dalam dunia psikologi, resiliensi diartikan sebagai

kemampuan yang dimiliki seseorang untuk cepat pulih dari perubahan, sakit,

kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).

Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit

kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Resiliensi adalah proses

mengatasi efek negatif dari resiko yang ada, berhasil mengatasi pengalaman

traumatik dan menghindari dampak negatif terkait resiko (Fergus & Zimmerman,

2005).

Dalam bukunya yang berjudul The Resiliency Advantage, Siebert (2005)

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk

dapat mengatasi perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di

bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan,

merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi

yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.

Selanjutnya Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai

(2)

Greef (2005) menambahkan bahwa resiliensi harus dipahami sebagai

kemampuan dimana individu tidak sekedar berhasil dalam beradaptasi terhadap

resiko atau kemalangan namun juga memiliki kemampuan untuk pulih, bahagia

dan berkembang menjadi individu yang lebih kuat, lebih bijak dan lebih

menghargai kehidupan. Individu yang resilien tidak hanya kembali pada keadaan

normal setelah mereka mengalami kemalangan, namun sebagian dari mereka

mampu untuk menampilkan performance yang lebih baik dari sebelumnya.

Masten (2001) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan pola-pola

adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang signifikan.

Terdapat 3 komponen penting yang mendasari terbentuknya resiliensi, yaitu :

faktor resiko, faktor protektif, dan hasil. Faktor resiko adalah berbagai jenis

kesulitan yang berpengaruh terhadap meningkatnya hasil negatif. Dalam

kehidupan multirasial, rasisme dan invalidasi sosial dinilai merupakan faktor

resiko yang diasosiasikan dengan peningkatan distres. Faktor protektif adalah

aset-aset yang menjadi penyangga terhadap dampak dari kesulitan dengan mediasi

atau moderasi hubungan antara kesulitan dengan hasil. Hasil merujuk pada

variabel tertentu yang diyakini sebagai resiko dari adanya kesulitan.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi

terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan

dimana individu berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres atau tekanan, dan

(3)

2. Fungsi Resiliensi

Menurut Reivich & Shatte (2002) kegunaan resiliensi bagi seseorang

adalah sebagai berikut:

a. Overcoming

Ada banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan stres

yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, setiap individu membutuhkan

resiliensi agar terhindar dari akibat buruk dari hal-hal yang tidak menguntungkan

tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara

pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol

kehidupan sendiri, sehingga individu tersebut dapat tetap merasa termotivasi,

produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di

dalam kehidupan.

b. Steering through

Dalam menghadapi setiap masalah, tekanan, dan konflik yang terjadi

dalam kehidupan sehari-hari, individu yang resilien akan menggunakan sumber

dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus

merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Individu

resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah

sepanjang perjalanan hidupnya.

c. Bouncing back

Tidak dapat dipungkiri, bahwa terkadang beberapa kejadian merupakan

hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga

(4)

sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras

emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk

menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan

tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented

coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi

kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat

mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke

kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan

dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka

rasakan.

d. Reaching out

Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau

menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman

hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar

pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini

melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang

terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan

tujuan dalam kehidupan mereka.

3. Sumber-sumber Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu

sebagai berikut :

(5)

I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu.

Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah

yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga.

Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.

Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan

teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.

b. I Am (kemampuan individu)

I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan

tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.

Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang

menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk

selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan

orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.

Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian

yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli

mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan

ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha

membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.

Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka

sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka

mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan

(6)

dan cukup bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan

kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang

telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.

Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka

percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki

kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.

c. I Can (kemampuan sosial dan interpersonal)

I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan

interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan

semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki

kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.

Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.

Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga

dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka

dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam

perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk

memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada

hal-hal yang tidak baik.

Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain.

Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan

(7)

situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk

meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara

untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi

Menurut Holaday (Southwick, P.C. 2001), faktor-faktor yang mempengaruhi

resiliensi adalah :

a) Dukungan sosial, yaitu berupa dukungan masyarakat, dukungan pribadi,

dukungan keluarga, serta budaya dan komunitas dimana individu tinggal.

b) Kemampuan kognitif, diantaranya intelegensi, cara pemecahan masalah,

kemampuan dalam menghindar dari menyalahkan diri sendiri, kontrol diri

dan spiritualitas.

c) Sumber psikologis, yaitu locus of control internal, empati dan rasa ingin tahu,

cenderung mencari hikmah dari setiap pengalaman serta selalu fleksibel

dalam setiap situasi.

B. Harga diri

1. Definisi Harga diri

Harga diri merupakan penilaian/evaluasi individu yang berkaitan dengan

keyakinan akan kemampuan, perasaan berharga, dan perasaan diterima yang

dimiliki individu mengenai dirinya sendiri. Coopersmith (1981) menyatakan

bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal

(8)

setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai

individu yang mampu, penting dan berharga.

Sedangkan menurut Frey & Carlock (1987) harga diri adalah penilaian

tinggi atau rendah terhadap diri sendiri yang menunjukkan sejauh mana individu

itu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga yang

berpengaruh dalam perilaku seseorang. Penilaian tersebut terlihat dari

penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang

memiliki harga diri yang tinggi akan menerima dan menghargai dirinya sendiri

apa adanya.

Dalam harga diri tercakup evaluasi dan penghargaan terhadap diri sendiri

dan menghasilkan penilaian tinggi atau rendah terhadap dirinya sendiri. Penilaian

tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri, menghargai

kelebihan dan potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada, sedangkan yang

dimaksud dengan penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak

suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri

dengan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998). Dengan

kata lain, harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya yang

diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari.

2. Komponen Harga diri

Harga diri seseorang dapat dilihat dari beberapa komponen.

(9)

a. Feeling of belonging (perasaan diterima), yaitu perasaan individu dimana ia

merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh

anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan

dirinya jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Individu akan menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima

oleh kelompok tersebut.

b. Feeling of competence (perasaan mampu), yaitu perasaan individu bahwa ia

mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia

berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif

terhadap dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan

tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock,

1987).

c. Feeling of worth (perasaan berharga), yaitu perasaan individu bahwa dirinya

berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya

secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri

atau self respect (Frey & Carlock, 1987).

3. Karakteristik Individu Berdasarkan Harga diri

Coopersmith (1981), membagi tingkat harga diri individu menjadi dua

golongan yaitu:

a. Individu dengan harga diri yang tinggi:

1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik;

2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial;

(10)

4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri;

5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya

sendiri;

6) Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai

kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi;

7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya;

8) Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan

sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang

seimbang.

b. Individu dengan harga diri yang rendah:

1) Memiliki perasaan inferior

2) Takut gagal dalam membina hubungan sosial

3) Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi

4) Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan

5) Kurang dapat mengekspresikan diri

6) Sangat tergantung pada lingkungan

7) Tidak konsisten

8) Secara pasif mengikuti lingkungan

9) Menggunakan banyak taktik mempertahankan diri (defense mechanism)

10)Mudah melakukan kesalahan

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Harga diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri (Coopersmith, 1981), antara

(11)

a. Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan

Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap

penting yang berada di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat

interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang.

b. Kelas Sosial dan Kesuksesan

Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan

tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi,

pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar

dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima

keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan

kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang

lain.

c. Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman

Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri

secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang

dianut oleh individu.

d. Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi

Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang

datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang

(12)

C. Multietnis Batak-Tionghoa

1. Pengertian Anak Multietnis

Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa atau etnis

terbanyak di dunia. Menurut data sensus BPS tahun 2010, terdapat 1.340 suku

bangsa di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014).

Meningkatnya interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat

Indonesia yang pluralistik tersebut, memungkinkan terjadinya hubungan

perkawinan (Soimin, 2004).

Hariyono (1993) mengatakan bahwa perkawinan beda etnis adalah

asimilasi perkawinan yang memberi pengertian tentang bersatunya jiwa,

kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin)

yang memiliki perbedaan etnis.

Anak-anak yang lahir dari orangtua yang berbeda ras akan memiliki

identitas etnis lebih dari satu (multietnis atau multiracial). Anak multietnis

memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas rasnya

berdasarkan latar belakang ras orangtuanya (Shih & Sanchez, 2005).

Koentjaraningrat (2007) mengatakan bahwa perkawinan campuran

perantau Tionghoa dengan wanita-wanita Indonesia sering terjadi sejak abad 16

sampai permulaan abad ke-20. Hal ini disebabkan kebanyakan perantau Tionghoa

itu adalah laki-laki.

(13)

Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana

sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai

Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak

Mandailing/Batak Angkola, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah

asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami

daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah simalungun begitu juga dengan

yang lainnya (Koentjaraningrat, 2007).

Etnis Batak juga terikat kuat oleh sistem kekerabatan dan memiliki

budaya dominan dalam mempertahankan garis keturunan yang dikenal dengan

istilah marga, yang sepenuhnya bersifat patrilinear sesuai dengan galur suami

dalam garis laki-laki (Efendy, 2010). Menurut Vergouwen (2004), marga dalam

masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yang keturunan dari kakek

bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga bapak atau patrilineal.

Maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama marga dari ayahnya di

belakang nama kecilnya. Disamping itu masyarakat Batak mempunyai sistem

kekerabatan yang dinamakan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).

Suku Batak juga dikenal menyukai tantangan karena orang-orang

terdahulu atau para nenek moyang tinggal di medan yang sangat keras dan sulit.

Oleh karena itu, bagi anak-anak suku Batak diwarisi ketangguhan ini juga.

Ketangguhan yang akhirnya memupuk mereka menjadi pribadi yang diandalkan.

(14)

memulai, orang Batak berani untuk memulainya lebih dulu. Kata menyerah tidak

identik dengan suku Batak (Sgn, 2012).

Selain itu suku Batak menghormati semua budaya. Kedinamisan orang

Batak juga tampak dari sifat mereka yang menghargai budaya lain. Walau orang

Batak, sangat mencintai Bahasa Batak, namun banyak orang Batak yang fasih

menggunakan bahasa dari daerah lain. Penghargaan mereka terhadap bahasa

budaya lain sangat besar, seperti : orang Batak tidak segan memakai pakaian adat

budaya lain atau ikut dalam upacara-upacara dalam kebudayaan yang berbeda.

Suku Batak tidak pernah menutup diri, walaupun nilai kedaerahan mereka sangat

kuat (Sgn, 2012).

b. Tionghoa

Di kalangan orang yang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk

menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese, ataukah Cino

(Susetyo, 2002). Etnik Cina adalah salah satu kelompok masyarakat non-pribumi

yang bermigrasi ke Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui

gelombang-gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka

didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau

yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda (Suryadinata, 1984).

Menurut Budiman (dalam Susetyo, 2002) sebagai orang keturunan Cina

mengakui bahwa di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan kuat untuk

mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, karena istilah Cina sebenarnya

(15)

menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap

sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun

1965. Oleh karena itu Suryadinata (1999) mengatakan sebutan Tionghoa perlu

diperkenalkan kembali untuk menggantikan sebutan Cina yang dirasa

menyakitkan karena istilah Cina

Etnis Tionghoa menurut Sharley (2009) memegang teguh garis keturunan

laki-laki (patriarki), tidak diperbolehkan menikah dengan etnis lain untuk

mempertahankan keturunan dan budayanya. Disamping itu, kebudayaan etnis

Tionghoa memang sama sekali berbeda dari kebudayaan-kebudayaan yang

dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, khususnya keyakinan (Suparlan,

1984). Bagi masyarakat Tionghoa ada keyakinan tiga agama, yaitu: Buddha,

Kong Fu-Tse dan Tao, yang ketiga-tiganya dipuja bersama-sama

(Koentjaraningrat, 2007).

Menurut Seng (2013) ada 6 prinsip dipegang oleh orang Cina, antara lain :

1. Agresif

2. Jangan melepaskan peluang

3. Berani mengambil resiko

4. Tahan Banting, orang yang dilahirkan sebagai etnis Tionghoa harus memiliki

mental dan jiwa yang kukuh untuk menghadapai tekanan apapun

5. Jangan menyerah pada nasib, orang Tionghoa percaya adanya takdir, tetapi

(16)

apabila menghadapi situasi sulit. Dengan melihat ke depan dan melalui

masalah

6. Semangat berjuang, suku Tionghoa adalah fighter (petarung) dan survivor

(punya cara untuk bertahan hidup). Mereka punya motivasi dan semangat

yang tak kunjung padam. Mereka harus selalu bersemangat dengan apa yang

dilakukannya, dan yakin bahwa kesuksesan pasti akan mereka raih pada

saatnya.

Keturunan Tionghoa sering juga disebut peranakan. Yang dimaksud

dengan, menurut Mely G. Tan (1979) memiliki ciri : (...) mereka yang orientasi

kebudayaannya berintikan kebudayaan setempat, seperti: Jawa, Sunda, Ambon,

Menado, yang di rumahnya menggunakan bahasa setempat; pendeknya mereka

yang mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan kebudayaan di mana

mereka dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang ini biasanya dinamakan orang

“peranakan”.

Hampir sama dengan Melly G. Tan, menurut Gondomono (1996:2-3)

menggolongkan peranakan sebagai golongan Tionghoa-Indonesia :

“Mereka kemudian malahan hidup dengan perempuan setempat dan menetap di Indonesia untuk selama-lamanya. Mereka membentuk komunitas sendiri yang makin lama makin berbeda secara kultural dengan masyarakat leluhur Tionghoa. Maka terbentuklah kelompok yang dalam banyak tulisan disebut sebagai golongan “peranakan”.

Astaman (2011) mengatakan bahwa menjadi Cina memang tidak pernah

jadi pilihan favorit di Indonesia. Karena kata “Cina” berkonotasi sengkek, pelit,

(17)

merasa adanya penolakan terhadap dirinya, baik oleh kelompok Tionghoa maupun

pribumi.

Etnis Tionghoa di Medan berbeda dengan etnis Tionghoa di wilayah

lainnya di Indonesia. Setiono (2007) mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa di

Medan masih kental memelihara budaya Tionghoa dan menggunakan bahasa

Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. M. Rajab Lubis (1995) menambahkan

bahwa etnis Tionghoa di Medan juga memiliki motivasi yang rendah dalam

berafilisiasi terhadap etnis setempat.

2. Tantangan-tantangan Anak Multietnis

Banyak tantangan yang sering dihadapi oleh anak biracial, diantaranya :

a. Kebingungan Identitas

Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis,

anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr

(dalam Liliweri, 2002) identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas

bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya.

Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih

dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota

dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada

penampilan fisiknya (Qian, 2004). Sejalan dengan pendapat ini, Hall (1992)

menyatakan bahwa anak-anak multietnis mencoba menggunakan warisan

(18)

masyarakat dan seringnya penentuan identitas didasarkan pada penampakan

fisiknya.

Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat

anak biracial menjadi tertekan (Coleman & Carter, 2007). Pertanyaan seperti

"Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat

mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-item,

membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis

secara tunggal. (Salahuddin & O'Brien, 2011).

Coleman dan Carter (2007) juga mengatakan bahwa bagi

individu-individu birasial, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas

rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari

keluarga, komunitas, dan konstruksi sosial). Hal ini menyebabkan anak biracial

harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering

merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur

dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka

(Miville, Constantine, Baysden & So-Lloyd, 2005).

b. Rasisme

1) Pengertian

Rasisme didefinisikan dalam berbagai cara yang mencakup perilaku yang

bervariasi yang dapat dianggap rasis; sebagaimana yang diungkapkan oleh Ridley

(2005:29) bahwa rasisme sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang

(19)

hak sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati

peluang-peluang atau hak istimewa tersebut".

2) Jenis-jenis Rasisme

Terdapat dua jenis utama rasisme menurut Ridley (2005), yaitu: individu

dan institusional

a) Individu, apabila rasisme dilakukan oleh satu orang atau sekelompok kecil

orang.

b) Institusional, mengacu pada rasisme yang dilakukan oleh organisasi dan

lembaga. Kedua jenis rasisme, baik individu dan institusi dapat terbuka atau

terselubung. Rasisme terang-terangan selalu merupakan hasil dari niat jahat,

sedangkan rasisme terselubung dapat disengaja dan berbahaya atau tidak

disengaja dan tanpa niat jahat (Ridley, 2005).

Utsey dan Ponterotto (1996) mengidentifikasi jenis lain dari rasisme, yang

mereka sebut rasisme budaya. Rasisme budaya mengacu pada praktek yang

menegakkan satu budaya tertentu sebagai budaya yang ideal, dan mendevaluasi

budaya lain sebagai inferior. Pengalaman-pengalaman rasis menjadi sumber

trauma (Bryant-Davis & Ocampo, 2005), dan dikatakan berhubungan dengan

tekanan darah tinggi (Krieger & Sidney, 1996), stres (Utsey & Ponterotto, 1996),

menurunkan tingkat perasaan kebahagiaan dan identik dengan kepuasan hidup

yang rendah (Jackson, Williams, & Torres, 1995) dan harga diri yang rendah

(Fernando, 1984).

(20)

Invalidasi sosial umumnya dialami oleh individu multiracial

(Rockquemore & Laszloffy, 2003). Invalidasi sosial mengacu pada invalidasi

identitas rasial secara sistematis yang banyak ditemui oleh individu multiracial.

Invalidasi sosial ini mungkin berupa penolakan dari kelompok ras dimana mereka

mengidentifikasi diri mereka, individu lainnya menantang ras identifikasi diri

seseorang, dan kurangnya pengakuan keberadaan multiracial individu (Shih &

Sanchez, 2005).

Validasi sosial, penerimaan, dan persetujuan merupakan hal yang penting

bagi perkembangan identitas individu karena individu mendefinisikan mereka di

bagian mana berdasarkan bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka

(Rockquemore & Laszolffy, 2003; Root, 1994). Lebih khusus, individu

multiracial belajar apa artinya menjadi multiracial dan nilai menjadi bagian

individu yang multiracial melalui persepsi mereka tentang bagaimana orang lain

melihat mereka. Dengan demikian, interaksi positif dengan orang lain adalah

suatu teori yang menghasilkan persepsi positif dari identitas seseorang.

d. Prasangka, Stereotype, dan Diskriminasi

Prasangka adalah sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak

benar tentang sekelompok orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin,

usia, atau perbedaan yang nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang

berprasangka menyiratkan sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok.

Generalisasi yang tidak benar yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype

(21)

tingkah laku atau aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran

prasangka.

Identits ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang

menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan.

Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin

mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo,

2002).

D. Dinamika Hubungan antara Resiliensi dengan Harga diri pada Anak

Multietnis

Anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran antara dua ras atau etnis

berbeda biasanya dikenal dengan istilah anak multietnis. Anak multietnis

memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas etnisnya

berdasarkan latar belakang etnis orangtuanya (Shih & Sanchez, 2005). Dalam

menjalani kehidupan sebagai seorang anak multietnis bukanlah hal yang mudah,

banyak tantangan yang sering dihadapi, diantaranya kebingungan identitas dan

menghadapi diskriminasi.

Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis,

anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr

(dalam Liliweri, 2002) identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas

bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya.

Memilih identitas bukanlah hal yang mudah untuk anak multietnis

(22)

secara sembarangan, karena perkawinan orang Batak apalagi bagi perempuan

Batak yang menikah dengan orang yang bukan Batak masih dianggap banyak

orang sebagai hal yang “mengusik”, “melemahkan” atau bahkan “menghilangkan”

tatanan adat warisan nenek moyang. Hal ini memberikan dampak terutama

kepada anak-anaknya yang akan sulit menjalankan posisi dan peran sebagai

dalam sistem kekerabatan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).

Sebaliknya, memilih Tionghoa sebagai identitas sudah tentu harus

memiliki kesiapan psikologis untuk menghadapi konsekuensi karena identitas

ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis

pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari

stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk

etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo, 2002).

Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat

anak multietnis menjadi tertekan (Coleman & Carter, 2007). Pertanyaan seperti

"Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat

mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-aitem,

membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis

secara tunggal. (Salahuddin & O'Brien, 2011).

Coleman dan Carter (2007) juga mengatakan bahwa bagi

individu-individu multietnis, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas

rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari

(23)

harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering

merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur

dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka

(Miville, Constantine, Baysden & So-Lloyd, 2005).

Selain itu anak multietnis juga kerap mengalami tindakan rasisme.

Rasisme didefinisikan sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang cenderung

sistematis menolak akses suatu anggota kelompok ras ke peluang atau hak

sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati

peluang-peluang atau hak istimewa tersebut" Ridley (2005:29).

Anak multietnis juga kerap mengalami diskriminasi karena prasangka dan

stereotye yang dimiliki oleh lingkungan sosial di sekitarnya. Prasangka adalah

sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak benar tentang sekelompok

orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, usia, atau perbedaan yang

nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang berprasangka menyiratkan

sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok. Generalisasi yang tidak benar

yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype (Lahey, 2005).

Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih

dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota

dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada

penampilan fisiknya (Qian, 2004). Anak yang lahir dari perkawinan beda etnis

Batak-Tionghoa akan mewarisi gen-gen orang Batak dan orang Tionghoa seperti

(24)

etnis Batak-Tionghoa yang muncul, kemungkinannya adalah berbeda dari

keturunan Tionghoa umumnya, seperti memiliki kulit warna coklat, dan juga

berbeda dari keturunan Batak pada umumnya, seperti bermata sipit.

Sejalan dengan pendapat ini, Hall (1992) menyatakan bahwa anak-anak

multietnis mencoba menggunakan warisan budaya campuran dari keluarganya

untuk menentukan posisi mereka dalam masyarakat dan seringnya penentuan

identitas didasarkan pada penampakan fisiknya.

Banyaknya tantangan yang dihadapi anak multietnis tentu bukan hal yang

mudah untuk dihadapi. Persoalan pemilihan identitas yang menimbulkan

kebingungan sebagai tantangan dari dalam diri, dan berbagai perlakuan

diskriminasi dan persoalan stereotype sebagai tantangan dari luar diri merupakan

beberapa masalah yang membutuhkan cara penanganan yang tepat. Apalagi

masalah diskriminasi dan stereotype seringkali muncul dan berkemungkinan

terjadi secara berulang-ulang.

Banyaknya tantangan dan frekuensi kejadian yang berulang-ulang sering

membuat anak multietnis dihadapkan dengan kenyataan yang tidak sesuai

dengan harapan. Bagi anak multietnis yang mempunyai penilaian diri yang positif

maka ia akan mampu melewati hambatan-hambatan yang ada. Selain penilaian

diri yang positif, kesuksesan menghadapi tantangan juga memerlukan sikap

tangguh dan tidak mudah putus asa atau resilien.

Untuk dapat menjadi individu yang resiliensi, anak multietnis

(25)

hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan,

ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga (Grotberg, 1999). Jika

mereka tidak mendapat dukungan dari sekitar mereka, hal ini dapat

mempengaruhi feeling of belonging, yaitu perasaan individu dimana ia

merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh

anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya

jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan

menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok

tersebut. Hal ini akan mempengaruhi harga diri mereka (Felker, 1974). Menurut

Coopersmith (1981) tinggi atau rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh

(a) Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan. Harga diri

seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap penting yang berada

di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang

pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang. (b) Kelas Sosial dan Kesuksesan.

Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat

tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang

lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan

dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material

dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi

meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. (c) Nilai dan Inspirasi

Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman. Kesuksesan yang diterima oleh

individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring

(26)

Individu dalam Menghadapi Devaluasi. Individu dapat meminimalisasi ancaman

berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak

dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka.

Individu yang resilien juga memiliki kekuatan yang meliputi perasaan,

tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien juga

merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa

yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa

percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi

kesulitan tersebut. Anak resiliensi juga memiliki kemampuan untuk melakukan

hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui

interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut

juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah

dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka

dengan baik (Grotberg, 1999).

Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga

dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka

dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam

perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk

memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada

hal-hal yang tidak baik. Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya

(27)

waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat

menangani berbagai macam situasi (Grotberg, 1999).

Hal ini mempengaruhi perasaan individu bahwa ia mampu melakukan

sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai tujuan

maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Selain itu, ia

merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berhubungan

dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987). Selain itu ketika individu tidak

mengalami hambatan dan tantangan yang merugikannya, individu akan merasa

bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai

dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga

diri atau self respect yang positif (Frey & Carlock, 1987).

Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi

yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang

diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat

dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan

berharga.

Proses menghadapi situasi-situasi yang sulit dan menyikapi

hambatan-hambatan yang ada akan selalu berkembang dari satu persoalan ke persoalan

berikutnya, dari waktu ke waktu, mau tak mau memaksa anak multietnis

Batak-Tionghoa untuk membangun kekuatan emosional dan psikologisnya agar tumbuh

(28)

adalah pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang

signifikan.

E. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis

sebagai berikut ”Terdapat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak

Referensi

Dokumen terkait

Untuk membuat maupun menulis file excel sebenarnya tidak terlalu sulit, karena sudah cukup banyak tersedia library atau class yang dibuat khusus untuk menangani

Semangat utama yang harns ditempatkan dalam teori pembangunan demokratik Soedjatmoko adalah penegakkan demokrasi dan kebebasan serta keseimbangan yang harus dijaga antara

30 (Revisi 2007), sewa yang mengalihkan secara substansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset, diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan. Selanjutnya,

Terkait dengan pentingnya pembinaan hubungan sosial dengan masyarakat sekitar, Perusahaan Anda telah melaksanakan upaya peningkatan kemampuan masyarakat dalam sektor ekonomi

I n this paper I present some ideas related to teaching cardiac pump dynamics and regulation to first-year medical students. I emphasize explicit presentation of the relation

Pengaduan yang diterima pada graik di atas merupakan pengaduan konsolidasi yang diterima oleh 17 Kantor Cabang BPD Kaltim melalui laporan pengaduan nasabah yang diterima

Pimpinan mendorong saya untuk mempunyai inisiatif dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di

ABSTRAK Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Petngas Penyuluh Lapangan Pertanian Pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Kehutanan Dan Ketahanan Pangan BP4KKP