BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Resiliensi
1. Definisi Resiliensi
Resiliensi awalnya berasal dari kata Latin `resilire‟ yang artinya
melambung kembali. Dalam dunia psikologi, resiliensi diartikan sebagai
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk cepat pulih dari perubahan, sakit,
kemalangan, atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005).
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit
kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Resiliensi adalah proses
mengatasi efek negatif dari resiko yang ada, berhasil mengatasi pengalaman
traumatik dan menghindari dampak negatif terkait resiko (Fergus & Zimmerman,
2005).
Dalam bukunya yang berjudul The Resiliency Advantage, Siebert (2005)
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi adalah kemampuan untuk
dapat mengatasi perubahan hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di
bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan,
merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi
yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa melakukan kekerasan.
Selanjutnya Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai
Greef (2005) menambahkan bahwa resiliensi harus dipahami sebagai
kemampuan dimana individu tidak sekedar berhasil dalam beradaptasi terhadap
resiko atau kemalangan namun juga memiliki kemampuan untuk pulih, bahagia
dan berkembang menjadi individu yang lebih kuat, lebih bijak dan lebih
menghargai kehidupan. Individu yang resilien tidak hanya kembali pada keadaan
normal setelah mereka mengalami kemalangan, namun sebagian dari mereka
mampu untuk menampilkan performance yang lebih baik dari sebelumnya.
Masten (2001) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan pola-pola
adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang signifikan.
Terdapat 3 komponen penting yang mendasari terbentuknya resiliensi, yaitu :
faktor resiko, faktor protektif, dan hasil. Faktor resiko adalah berbagai jenis
kesulitan yang berpengaruh terhadap meningkatnya hasil negatif. Dalam
kehidupan multirasial, rasisme dan invalidasi sosial dinilai merupakan faktor
resiko yang diasosiasikan dengan peningkatan distres. Faktor protektif adalah
aset-aset yang menjadi penyangga terhadap dampak dari kesulitan dengan mediasi
atau moderasi hubungan antara kesulitan dengan hasil. Hasil merujuk pada
variabel tertentu yang diyakini sebagai resiko dari adanya kesulitan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi
terhadap perubahan, tuntutan, dan kekecewaan yang muncul dalam kehidupan
dimana individu berhasil menghadapi kesulitan, mengatasi stres atau tekanan, dan
2. Fungsi Resiliensi
Menurut Reivich & Shatte (2002) kegunaan resiliensi bagi seseorang
adalah sebagai berikut:
a. Overcoming
Ada banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang menimbulkan stres
yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, setiap individu membutuhkan
resiliensi agar terhindar dari akibat buruk dari hal-hal yang tidak menguntungkan
tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara
pandang menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol
kehidupan sendiri, sehingga individu tersebut dapat tetap merasa termotivasi,
produktif, terlibat, dan bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di
dalam kehidupan.
b. Steering through
Dalam menghadapi setiap masalah, tekanan, dan konflik yang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, individu yang resilien akan menggunakan sumber
dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi setiap masalah yang ada, tanpa harus
merasa terbebani dan bersikap negatif terhadap kejadian tersebut. Individu
resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah
sepanjang perjalanan hidupnya.
c. Bouncing back
Tidak dapat dipungkiri, bahwa terkadang beberapa kejadian merupakan
hal yang bersifat traumatik dan menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga
sendiri. Kemunduran yang dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras
emosional, dan membutuhkan resiliensi dengan cara bertahap untuk
menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi biasanya menghadapi trauma dengan
tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri. Mereka menunjukkan task-oriented
coping style dimana mereka melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengatasi
kemalangan tersebut, mereka mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat
mengontrol hasil dari kehidupan mereka, dan orang yang mampu kembali ke
kehidupan normal lebih cepat dari trauma mengetahui bagaimana berhubungan
dengan orang lain sebagai cara untuk mengatasi pengalaman yang mereka
rasakan.
d. Reaching out
Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau
menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman
hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar
pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini
melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang
terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan
tujuan dalam kehidupan mereka.
3. Sumber-sumber Resiliensi
Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu
sebagai berikut :
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu.
Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah
yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga.
Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.
Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan
teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.
b. I Am (kemampuan individu)
I Am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan
tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.
Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang
menarik dan penyayang sesama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka untuk
selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap perasaan
orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.
Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian
yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli
mereka terhadap peristiwa yang terjadi pada orang lain. Mereka juga merasakan
ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha
membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka
sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka
mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan
dan cukup bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan
kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang
telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.
Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka
percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki
kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.
c. I Can (kemampuan sosial dan interpersonal)
I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan
interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan
semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.
Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga
dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka
dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam
perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk
memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada
hal-hal yang tidak baik.
Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain.
Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan
situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk
meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara
untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Menurut Holaday (Southwick, P.C. 2001), faktor-faktor yang mempengaruhi
resiliensi adalah :
a) Dukungan sosial, yaitu berupa dukungan masyarakat, dukungan pribadi,
dukungan keluarga, serta budaya dan komunitas dimana individu tinggal.
b) Kemampuan kognitif, diantaranya intelegensi, cara pemecahan masalah,
kemampuan dalam menghindar dari menyalahkan diri sendiri, kontrol diri
dan spiritualitas.
c) Sumber psikologis, yaitu locus of control internal, empati dan rasa ingin tahu,
cenderung mencari hikmah dari setiap pengalaman serta selalu fleksibel
dalam setiap situasi.
B. Harga diri
1. Definisi Harga diri
Harga diri merupakan penilaian/evaluasi individu yang berkaitan dengan
keyakinan akan kemampuan, perasaan berharga, dan perasaan diterima yang
dimiliki individu mengenai dirinya sendiri. Coopersmith (1981) menyatakan
bahwa harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal
setuju dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai
individu yang mampu, penting dan berharga.
Sedangkan menurut Frey & Carlock (1987) harga diri adalah penilaian
tinggi atau rendah terhadap diri sendiri yang menunjukkan sejauh mana individu
itu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan berharga yang
berpengaruh dalam perilaku seseorang. Penilaian tersebut terlihat dari
penghargaan mereka terhadap keberadaan dan keberartian dirinya. Individu yang
memiliki harga diri yang tinggi akan menerima dan menghargai dirinya sendiri
apa adanya.
Dalam harga diri tercakup evaluasi dan penghargaan terhadap diri sendiri
dan menghasilkan penilaian tinggi atau rendah terhadap dirinya sendiri. Penilaian
tinggi terhadap diri sendiri adalah penilaian terhadap kondisi diri, menghargai
kelebihan dan potensi diri, serta menerima kekurangan yang ada, sedangkan yang
dimaksud dengan penilaian rendah terhadap diri sendiri adalah penilaian tidak
suka atau tidak puas dengan kondisi diri sendiri, tidak menghargai kelebihan diri
dengan melihat diri sebagai sesuatu yang selalu kurang (Santrock, 1998). Dengan
kata lain, harga diri merupakan penilaian individu tentang dirinya yang
diekspresikan melalui tingkah lakunya sehari-hari.
2. Komponen Harga diri
Harga diri seseorang dapat dilihat dari beberapa komponen.
a. Feeling of belonging (perasaan diterima), yaitu perasaan individu dimana ia
merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh
anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan
dirinya jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Individu akan menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima
oleh kelompok tersebut.
b. Feeling of competence (perasaan mampu), yaitu perasaan individu bahwa ia
mampu melakukan sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia
berhasil mencapai tujuan maka ia akan memberikan penilaian yang positif
terhadap dirinya. Selain itu, ia merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan
tingkah laku yang berhubungan dengan kehidupannya (Frey & Carlock,
1987).
c. Feeling of worth (perasaan berharga), yaitu perasaan individu bahwa dirinya
berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai dirinya
secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga diri
atau self respect (Frey & Carlock, 1987).
3. Karakteristik Individu Berdasarkan Harga diri
Coopersmith (1981), membagi tingkat harga diri individu menjadi dua
golongan yaitu:
a. Individu dengan harga diri yang tinggi:
1) Aktif dan dapat mengekspresikan diri dengan baik;
2) Berhasil dalam bidang akademik dan menjalin hubungan sosial;
4) Percaya pada persepsi dan reaksinya sendiri;
5) Tidak terpaku pada dirinya sendiri atau hanya memikirkan kesulitannya
sendiri;
6) Memiliki keyakinan diri, tidak didasarkan atas fantasi, karena mempunyai
kemampuan, kecakapan dan kualitas diri yang tinggi;
7) Tidak terpengaruh oleh penilaian orang lain tentang kepribadiannya;
8) Lebih mudah menyesuaikan diri dengan suasana yang menyenangkan
sehingga tingkat kecemasannya rendah dan memiliki ketahanan diri yang
seimbang.
b. Individu dengan harga diri yang rendah:
1) Memiliki perasaan inferior
2) Takut gagal dalam membina hubungan sosial
3) Terlihat sebagai orang yang putus asa dan depresi
4) Merasa diasingkan dan tidak diperhatikan
5) Kurang dapat mengekspresikan diri
6) Sangat tergantung pada lingkungan
7) Tidak konsisten
8) Secara pasif mengikuti lingkungan
9) Menggunakan banyak taktik mempertahankan diri (defense mechanism)
10)Mudah melakukan kesalahan
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Harga diri
Faktor-faktor yang mempengaruhi harga diri (Coopersmith, 1981), antara
a. Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan
Harga diri seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap
penting yang berada di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat
interaksi yang pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang.
b. Kelas Sosial dan Kesuksesan
Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan
tempat tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi,
pendapatan yang lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar
dan mewah akan dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima
keuntungan material dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan
kelas sosial yang tinggi meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang
lain.
c. Nilai dan Inspirasi Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman
Kesuksesan yang diterima oleh individu tidak mempengaruhi harga diri
secara langsung, melainkan disaring terlebih dahulu sesuai tujuan dan nilai yang
dianut oleh individu.
d. Cara Individu dalam Menghadapi Devaluasi
Individu dapat meminimalisasi ancaman berupa evaluasi negatif yang
datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak dari orang lain yang
C. Multietnis Batak-Tionghoa
1. Pengertian Anak Multietnis
Indonesia merupakan negara yang memiliki suku bangsa atau etnis
terbanyak di dunia. Menurut data sensus BPS tahun 2010, terdapat 1.340 suku
bangsa di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2014).
Meningkatnya interaksi sosial di antara kelompok-kelompok masyarakat
Indonesia yang pluralistik tersebut, memungkinkan terjadinya hubungan
perkawinan (Soimin, 2004).
Hariyono (1993) mengatakan bahwa perkawinan beda etnis adalah
asimilasi perkawinan yang memberi pengertian tentang bersatunya jiwa,
kepribadian, sifat, dan perilaku dari dua insan (yang berlawanan jenis kelamin)
yang memiliki perbedaan etnis.
Anak-anak yang lahir dari orangtua yang berbeda ras akan memiliki
identitas etnis lebih dari satu (multietnis atau multiracial). Anak multietnis
memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas rasnya
berdasarkan latar belakang ras orangtuanya (Shih & Sanchez, 2005).
Koentjaraningrat (2007) mengatakan bahwa perkawinan campuran
perantau Tionghoa dengan wanita-wanita Indonesia sering terjadi sejak abad 16
sampai permulaan abad ke-20. Hal ini disebabkan kebanyakan perantau Tionghoa
itu adalah laki-laki.
Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang mana
sebagian besar bermukim di Sumatera Utara. Suku yang dikategorikan sebagai
Batak yaitu Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak
Mandailing/Batak Angkola, kategori tersebut dibagi berdasarkan nama daerah
asalnya misalnya Batak Toba mendiami daerah Toba, Batak Karo mendiami
daerah Karo, Batak Simalungun mendiami daerah simalungun begitu juga dengan
yang lainnya (Koentjaraningrat, 2007).
Etnis Batak juga terikat kuat oleh sistem kekerabatan dan memiliki
budaya dominan dalam mempertahankan garis keturunan yang dikenal dengan
istilah marga, yang sepenuhnya bersifat patrilinear sesuai dengan galur suami
dalam garis laki-laki (Efendy, 2010). Menurut Vergouwen (2004), marga dalam
masyarakat Batak merupakan sekelompok masyarakat yang keturunan dari kakek
bersama dimana keturunan tersebut di turunkan dari marga bapak atau patrilineal.
Maka dari itu semua orang Batak membubuhkan nama marga dari ayahnya di
belakang nama kecilnya. Disamping itu masyarakat Batak mempunyai sistem
kekerabatan yang dinamakan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).
Suku Batak juga dikenal menyukai tantangan karena orang-orang
terdahulu atau para nenek moyang tinggal di medan yang sangat keras dan sulit.
Oleh karena itu, bagi anak-anak suku Batak diwarisi ketangguhan ini juga.
Ketangguhan yang akhirnya memupuk mereka menjadi pribadi yang diandalkan.
memulai, orang Batak berani untuk memulainya lebih dulu. Kata menyerah tidak
identik dengan suku Batak (Sgn, 2012).
Selain itu suku Batak menghormati semua budaya. Kedinamisan orang
Batak juga tampak dari sifat mereka yang menghargai budaya lain. Walau orang
Batak, sangat mencintai Bahasa Batak, namun banyak orang Batak yang fasih
menggunakan bahasa dari daerah lain. Penghargaan mereka terhadap bahasa
budaya lain sangat besar, seperti : orang Batak tidak segan memakai pakaian adat
budaya lain atau ikut dalam upacara-upacara dalam kebudayaan yang berbeda.
Suku Batak tidak pernah menutup diri, walaupun nilai kedaerahan mereka sangat
kuat (Sgn, 2012).
b. Tionghoa
Di kalangan orang yang bukan Cina seringkali terjadi kebingungan untuk
menyebut orang Cina dengan sebutan Cina, Tionghoa, Chinese, ataukah Cino
(Susetyo, 2002). Etnik Cina adalah salah satu kelompok masyarakat non-pribumi
yang bermigrasi ke Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui
gelombang-gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka
didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau
yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda (Suryadinata, 1984).
Menurut Budiman (dalam Susetyo, 2002) sebagai orang keturunan Cina
mengakui bahwa di kalangan orang Cina sendiri ada keinginan kuat untuk
mengganti istilah Cina dengan Tionghoa, karena istilah Cina sebenarnya
menggantikan sebutan Tionghoa, karena orang-orang Cina di Indonesia dianggap
sebagai agen pemerintah Cina yang turut mendukung pemberontakan PKI tahun
1965. Oleh karena itu Suryadinata (1999) mengatakan sebutan Tionghoa perlu
diperkenalkan kembali untuk menggantikan sebutan Cina yang dirasa
menyakitkan karena istilah Cina
Etnis Tionghoa menurut Sharley (2009) memegang teguh garis keturunan
laki-laki (patriarki), tidak diperbolehkan menikah dengan etnis lain untuk
mempertahankan keturunan dan budayanya. Disamping itu, kebudayaan etnis
Tionghoa memang sama sekali berbeda dari kebudayaan-kebudayaan yang
dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, khususnya keyakinan (Suparlan,
1984). Bagi masyarakat Tionghoa ada keyakinan tiga agama, yaitu: Buddha,
Kong Fu-Tse dan Tao, yang ketiga-tiganya dipuja bersama-sama
(Koentjaraningrat, 2007).
Menurut Seng (2013) ada 6 prinsip dipegang oleh orang Cina, antara lain :
1. Agresif
2. Jangan melepaskan peluang
3. Berani mengambil resiko
4. Tahan Banting, orang yang dilahirkan sebagai etnis Tionghoa harus memiliki
mental dan jiwa yang kukuh untuk menghadapai tekanan apapun
5. Jangan menyerah pada nasib, orang Tionghoa percaya adanya takdir, tetapi
apabila menghadapi situasi sulit. Dengan melihat ke depan dan melalui
masalah
6. Semangat berjuang, suku Tionghoa adalah fighter (petarung) dan survivor
(punya cara untuk bertahan hidup). Mereka punya motivasi dan semangat
yang tak kunjung padam. Mereka harus selalu bersemangat dengan apa yang
dilakukannya, dan yakin bahwa kesuksesan pasti akan mereka raih pada
saatnya.
Keturunan Tionghoa sering juga disebut peranakan. Yang dimaksud
dengan, menurut Mely G. Tan (1979) memiliki ciri : (...) mereka yang orientasi
kebudayaannya berintikan kebudayaan setempat, seperti: Jawa, Sunda, Ambon,
Menado, yang di rumahnya menggunakan bahasa setempat; pendeknya mereka
yang mengalami proses akulturasi yang mendalam dengan kebudayaan di mana
mereka dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang ini biasanya dinamakan orang
“peranakan”.
Hampir sama dengan Melly G. Tan, menurut Gondomono (1996:2-3)
menggolongkan peranakan sebagai golongan Tionghoa-Indonesia :
“Mereka kemudian malahan hidup dengan perempuan setempat dan menetap di Indonesia untuk selama-lamanya. Mereka membentuk komunitas sendiri yang makin lama makin berbeda secara kultural dengan masyarakat leluhur Tionghoa. Maka terbentuklah kelompok yang dalam banyak tulisan disebut sebagai golongan “peranakan”.
Astaman (2011) mengatakan bahwa menjadi Cina memang tidak pernah
jadi pilihan favorit di Indonesia. Karena kata “Cina” berkonotasi sengkek, pelit,
merasa adanya penolakan terhadap dirinya, baik oleh kelompok Tionghoa maupun
pribumi.
Etnis Tionghoa di Medan berbeda dengan etnis Tionghoa di wilayah
lainnya di Indonesia. Setiono (2007) mengatakan bahwa masyarakat Tionghoa di
Medan masih kental memelihara budaya Tionghoa dan menggunakan bahasa
Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. M. Rajab Lubis (1995) menambahkan
bahwa etnis Tionghoa di Medan juga memiliki motivasi yang rendah dalam
berafilisiasi terhadap etnis setempat.
2. Tantangan-tantangan Anak Multietnis
Banyak tantangan yang sering dihadapi oleh anak biracial, diantaranya :
a. Kebingungan Identitas
Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis,
anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr
(dalam Liliweri, 2002) identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas
bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya.
Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih
dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota
dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada
penampilan fisiknya (Qian, 2004). Sejalan dengan pendapat ini, Hall (1992)
menyatakan bahwa anak-anak multietnis mencoba menggunakan warisan
masyarakat dan seringnya penentuan identitas didasarkan pada penampakan
fisiknya.
Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat
anak biracial menjadi tertekan (Coleman & Carter, 2007). Pertanyaan seperti
"Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat
mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-item,
membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis
secara tunggal. (Salahuddin & O'Brien, 2011).
Coleman dan Carter (2007) juga mengatakan bahwa bagi
individu-individu birasial, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas
rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari
keluarga, komunitas, dan konstruksi sosial). Hal ini menyebabkan anak biracial
harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering
merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur
dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka
(Miville, Constantine, Baysden & So-Lloyd, 2005).
b. Rasisme
1) Pengertian
Rasisme didefinisikan dalam berbagai cara yang mencakup perilaku yang
bervariasi yang dapat dianggap rasis; sebagaimana yang diungkapkan oleh Ridley
(2005:29) bahwa rasisme sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang
hak sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati
peluang-peluang atau hak istimewa tersebut".
2) Jenis-jenis Rasisme
Terdapat dua jenis utama rasisme menurut Ridley (2005), yaitu: individu
dan institusional
a) Individu, apabila rasisme dilakukan oleh satu orang atau sekelompok kecil
orang.
b) Institusional, mengacu pada rasisme yang dilakukan oleh organisasi dan
lembaga. Kedua jenis rasisme, baik individu dan institusi dapat terbuka atau
terselubung. Rasisme terang-terangan selalu merupakan hasil dari niat jahat,
sedangkan rasisme terselubung dapat disengaja dan berbahaya atau tidak
disengaja dan tanpa niat jahat (Ridley, 2005).
Utsey dan Ponterotto (1996) mengidentifikasi jenis lain dari rasisme, yang
mereka sebut rasisme budaya. Rasisme budaya mengacu pada praktek yang
menegakkan satu budaya tertentu sebagai budaya yang ideal, dan mendevaluasi
budaya lain sebagai inferior. Pengalaman-pengalaman rasis menjadi sumber
trauma (Bryant-Davis & Ocampo, 2005), dan dikatakan berhubungan dengan
tekanan darah tinggi (Krieger & Sidney, 1996), stres (Utsey & Ponterotto, 1996),
menurunkan tingkat perasaan kebahagiaan dan identik dengan kepuasan hidup
yang rendah (Jackson, Williams, & Torres, 1995) dan harga diri yang rendah
(Fernando, 1984).
Invalidasi sosial umumnya dialami oleh individu multiracial
(Rockquemore & Laszloffy, 2003). Invalidasi sosial mengacu pada invalidasi
identitas rasial secara sistematis yang banyak ditemui oleh individu multiracial.
Invalidasi sosial ini mungkin berupa penolakan dari kelompok ras dimana mereka
mengidentifikasi diri mereka, individu lainnya menantang ras identifikasi diri
seseorang, dan kurangnya pengakuan keberadaan multiracial individu (Shih &
Sanchez, 2005).
Validasi sosial, penerimaan, dan persetujuan merupakan hal yang penting
bagi perkembangan identitas individu karena individu mendefinisikan mereka di
bagian mana berdasarkan bagaimana orang lain bereaksi terhadap mereka
(Rockquemore & Laszolffy, 2003; Root, 1994). Lebih khusus, individu
multiracial belajar apa artinya menjadi multiracial dan nilai menjadi bagian
individu yang multiracial melalui persepsi mereka tentang bagaimana orang lain
melihat mereka. Dengan demikian, interaksi positif dengan orang lain adalah
suatu teori yang menghasilkan persepsi positif dari identitas seseorang.
d. Prasangka, Stereotype, dan Diskriminasi
Prasangka adalah sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak
benar tentang sekelompok orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin,
usia, atau perbedaan yang nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang
berprasangka menyiratkan sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok.
Generalisasi yang tidak benar yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype
tingkah laku atau aksi negatif terhadap kelompok yang menjadi sasaran
prasangka.
Identits ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang
menguntungkan di mata etnis pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan.
Hal ini dapat dilihat dari stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin
mempertegas citra buruk etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo,
2002).
D. Dinamika Hubungan antara Resiliensi dengan Harga diri pada Anak
Multietnis
Anak yang lahir dari hasil perkawinan campuran antara dua ras atau etnis
berbeda biasanya dikenal dengan istilah anak multietnis. Anak multietnis
memiliki lebih banyak pilihan dalam mengidentifikasi identitas etnisnya
berdasarkan latar belakang etnis orangtuanya (Shih & Sanchez, 2005). Dalam
menjalani kehidupan sebagai seorang anak multietnis bukanlah hal yang mudah,
banyak tantangan yang sering dihadapi, diantaranya kebingungan identitas dan
menghadapi diskriminasi.
Suparlan (1984) mengungkapkan bahwa dalam perkawinan beda etnis,
anak membutuhkan kepastian status sosial dan identitas ras. Menurut Lisa Orr
(dalam Liliweri, 2002) identitas sangat dibutuhkan setiap orang, karena identitas
bermakna 3 hal, yaitu: identitas pribadi, identitas sosial dan identitas budaya.
Memilih identitas bukanlah hal yang mudah untuk anak multietnis
secara sembarangan, karena perkawinan orang Batak apalagi bagi perempuan
Batak yang menikah dengan orang yang bukan Batak masih dianggap banyak
orang sebagai hal yang “mengusik”, “melemahkan” atau bahkan “menghilangkan”
tatanan adat warisan nenek moyang. Hal ini memberikan dampak terutama
kepada anak-anaknya yang akan sulit menjalankan posisi dan peran sebagai
dalam sistem kekerabatan “dalihan na tolu” (Koentjaraningrat, 2007).
Sebaliknya, memilih Tionghoa sebagai identitas sudah tentu harus
memiliki kesiapan psikologis untuk menghadapi konsekuensi karena identitas
ke-Cina-an lekat dengan berbagai citra yang kurang menguntungkan di mata etnis
pribumi maupun kalangan birokrasi pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari
stereotype, prasangka, dan diskriminasi yang semakin mempertegas citra buruk
etnis Tionghoa di mata etnis Indonesia lainnya (Susetyo, 2002).
Keharusan untuk memilih hanya satu identitas tunggal sering membuat
anak multietnis menjadi tertekan (Coleman & Carter, 2007). Pertanyaan seperti
"Anda suku apa?", atau ketika harus menandai satu kolom suku saja pada saat
mengisi kuesioner yang hanya menyediakan pilihan dengan satu suku per-aitem,
membuat anak-anak multiracial merasa dipaksa untuk memilih identitas etnis
secara tunggal. (Salahuddin & O'Brien, 2011).
Coleman dan Carter (2007) juga mengatakan bahwa bagi
individu-individu multietnis, hal ini sering terjadi, dimana mereka harus memilih identitas
rasnya. Pilihan ini sering didasarkan pada pengaruh sosial dan tekanan dari
harus menempatkan dirinya sesuai dengan ras yang disepakatinya dan sering
merasa seperti bunglon. Pengalaman bunglon adalah ketika individu harus berbaur
dengan kelompok ras dan tidak tampak berbeda dari orang di sekitar mereka
(Miville, Constantine, Baysden & So-Lloyd, 2005).
Selain itu anak multietnis juga kerap mengalami tindakan rasisme.
Rasisme didefinisikan sebagai setiap perilaku atau pola perilaku yang cenderung
sistematis menolak akses suatu anggota kelompok ras ke peluang atau hak
sementara memungkinkan anggota kelompok ras lain untuk menikmati
peluang-peluang atau hak istimewa tersebut" Ridley (2005:29).
Anak multietnis juga kerap mengalami diskriminasi karena prasangka dan
stereotye yang dimiliki oleh lingkungan sosial di sekitarnya. Prasangka adalah
sikap berbahaya berdasarkan generalisasi yang tidak benar tentang sekelompok
orang berdasarkan warna kulit, agama, jenis kelamin, usia, atau perbedaan yang
nyata lainnya. Perbedaan ini diyakini oleh orang berprasangka menyiratkan
sesuatu yang negatif tentang seluruh kelompok. Generalisasi yang tidak benar
yang didasarkan oleh prasangka disebut stereotype (Lahey, 2005).
Individu multietnis pada dasarnya dapat mengidentifikasi dirinya lebih
dari satu etnis, namun orang lain mungkin menganggap dia merupakan anggota
dari etnis lain karena penentuan etnis seseorang terutama didasarkan pada
penampilan fisiknya (Qian, 2004). Anak yang lahir dari perkawinan beda etnis
Batak-Tionghoa akan mewarisi gen-gen orang Batak dan orang Tionghoa seperti
etnis Batak-Tionghoa yang muncul, kemungkinannya adalah berbeda dari
keturunan Tionghoa umumnya, seperti memiliki kulit warna coklat, dan juga
berbeda dari keturunan Batak pada umumnya, seperti bermata sipit.
Sejalan dengan pendapat ini, Hall (1992) menyatakan bahwa anak-anak
multietnis mencoba menggunakan warisan budaya campuran dari keluarganya
untuk menentukan posisi mereka dalam masyarakat dan seringnya penentuan
identitas didasarkan pada penampakan fisiknya.
Banyaknya tantangan yang dihadapi anak multietnis tentu bukan hal yang
mudah untuk dihadapi. Persoalan pemilihan identitas yang menimbulkan
kebingungan sebagai tantangan dari dalam diri, dan berbagai perlakuan
diskriminasi dan persoalan stereotype sebagai tantangan dari luar diri merupakan
beberapa masalah yang membutuhkan cara penanganan yang tepat. Apalagi
masalah diskriminasi dan stereotype seringkali muncul dan berkemungkinan
terjadi secara berulang-ulang.
Banyaknya tantangan dan frekuensi kejadian yang berulang-ulang sering
membuat anak multietnis dihadapkan dengan kenyataan yang tidak sesuai
dengan harapan. Bagi anak multietnis yang mempunyai penilaian diri yang positif
maka ia akan mampu melewati hambatan-hambatan yang ada. Selain penilaian
diri yang positif, kesuksesan menghadapi tantangan juga memerlukan sikap
tangguh dan tidak mudah putus asa atau resilien.
Untuk dapat menjadi individu yang resiliensi, anak multietnis
hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah yang menyenangkan,
ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga (Grotberg, 1999). Jika
mereka tidak mendapat dukungan dari sekitar mereka, hal ini dapat
mempengaruhi feeling of belonging, yaitu perasaan individu dimana ia
merupakan bagian dari suatu kelompok dan individu tersebut diterima oleh
anggota kelompok lainnya. Ia akan memiliki penilaian yang positif akan dirinya
jika ia merasa diterima dan menjadi bagian dari kelompok tersebut. Individu akan
menilai sebaliknya jika ia merasa ditolak atau tidak diterima oleh kelompok
tersebut. Hal ini akan mempengaruhi harga diri mereka (Felker, 1974). Menurut
Coopersmith (1981) tinggi atau rendahnya harga diri seseorang ditentukan oleh
(a) Penghargaan dan Penerimaan dari Orang-orang yang Signifikan. Harga diri
seseorang dipengaruhi oleh sikap orang-orang yang dianggap penting yang berada
di sekitar individu. Keluarga merupakan lingkungan tempat interaksi yang
pertama kali terjadi dalam kehidupan seseorang. (b) Kelas Sosial dan Kesuksesan.
Kedudukan kelas sosial dapat dilihat dari pekerjaan, pendapatan dan tempat
tinggal. Individu yang memiliki pekarjaan yang lebih bergengsi, pendapatan yang
lebih tinggi, dan tinggal dalam lokasi rumah yang lebih besar dan mewah akan
dipandang lebih sukses dimata masyarakat dan menerima keuntungan material
dan budaya. Hal ini akan menyebabkan individu dengan kelas sosial yang tinggi
meyakini bahwa diri mereka lebih berharga dari orang lain. (c) Nilai dan Inspirasi
Individu dalam Menginterpretasi Pengalaman. Kesuksesan yang diterima oleh
individu tidak mempengaruhi harga diri secara langsung, melainkan disaring
Individu dalam Menghadapi Devaluasi. Individu dapat meminimalisasi ancaman
berupa evaluasi negatif yang datang dari luar dirinya. Mereka dapat menolak hak
dari orang lain yang memberikan penilaian negatif terhadap diri mereka.
Individu yang resilien juga memiliki kekuatan yang meliputi perasaan,
tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya. Individu yang resilien juga
merasakan kebanggaan akan diri mereka sendiri. Mereka bangga terhadap apa
yang telah mereka capai. Ketika mereka mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa
percaya dan harga diri yang tinggi akan membantu mereka dalam mengatasi
kesulitan tersebut. Anak resiliensi juga memiliki kemampuan untuk melakukan
hubungan sosial dan interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui
interaksinya dengan semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut
juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah
dengan baik. Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka
dengan baik (Grotberg, 1999).
Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga
dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka
dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam
perasaan dan hak orang lain. Mereka juga mampu mengendalikan dorongan untuk
memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada
hal-hal yang tidak baik. Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya
waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat
menangani berbagai macam situasi (Grotberg, 1999).
Hal ini mempengaruhi perasaan individu bahwa ia mampu melakukan
sesuatu untuk mencapai hasil yang diharapkan. Jika ia berhasil mencapai tujuan
maka ia akan memberikan penilaian yang positif terhadap dirinya. Selain itu, ia
merasa percaya terhadap pikiran, perasaan dan tingkah laku yang berhubungan
dengan kehidupannya (Frey & Carlock, 1987). Selain itu ketika individu tidak
mengalami hambatan dan tantangan yang merugikannya, individu akan merasa
bahwa dirinya berharga. Individu yang memiliki perasaan berharga akan menilai
dirinya secara positif, merasa yakin terhadap diri sendiri, dan mempunyai harga
diri atau self respect yang positif (Frey & Carlock, 1987).
Coopersmith (1981) menyatakan bahwa harga diri merupakan evaluasi
yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang
diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju dan menunjukkan tingkat
dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting dan
berharga.
Proses menghadapi situasi-situasi yang sulit dan menyikapi
hambatan-hambatan yang ada akan selalu berkembang dari satu persoalan ke persoalan
berikutnya, dari waktu ke waktu, mau tak mau memaksa anak multietnis
Batak-Tionghoa untuk membangun kekuatan emosional dan psikologisnya agar tumbuh
adalah pola-pola adaptasi positif dalam menghadapi resiko atau kemalangan yang
signifikan.
E. Hipotesa Penelitian
Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut ”Terdapat hubungan antara harga diri dengan resiliensi pada anak