• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelas Menengah Indonesia Terkurung dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kelas Menengah Indonesia Terkurung dalam"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Masyarakat Kelas Menengah Indonesia: Terkurung dalam Paradigma

Kapitalisme Pinggiran

Umar Abdul Aziz

12/332991/SP/25217

Pendahuluan

Laporan Bank Dunia mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal tahun 2012 telah menarik perhatian banyak pihak. Laporan Bank Dunia (2012) tersebut menunjukkan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia telah naik drastis, dari hanya sekitar 80 Juta (37,7%) penduduk menjadi 130 juta pada 2011 (56,5%). Kenaikan jumlah kelas menengah yang sangat signifikan ini kemudian banyak digadang-gadang akan menjadi agen perubahan ekonomi dan demokrasi di Indonesia. Beberapa pihak optimis, namun tidak sedikit pula yang meragukannya. Pada posisi inilah kemudian muncul perdebatan. Apakah kelas menengah ini benar akan menjadi kelas perubahan dalam bidang ekonomi dan demokrasi. Ataukah kelas menengah hanyalah akan menjadi kelas yang terbawa arus oleh perubahan yang digalakkan baik itu oleh kelas atas maupun revolusi kelas bawah?

Pembahasan kelas menengah kali ini akan dibahas dengan menggunakan perspektif ketergantungan. Pendapat para Marxis juga akan beberapa kali dipinjam untuk mempertajam analisis. Penulisan ini juga akan banyak mengkritik perspektif modernis yang dikemukakan oleh S M Lipset.

Siapa itu kelas menengah Indonesia?

(2)

diantara dua kelas besar. Akan tercipta borjuis kecil yang terbentuk akibat dari pengambilalihan faktor produksi mayoritas kapitalis oleh minoritas kapitalis, dan ploretariat besar yang merupaan mayoritas populasi.

Farchan Bulkin (1984) pernah menuliskan sebuah jurnal tentang kelas menengah Indonesia pra Orde Baru dengan perspektif ketergantungan, kemudian tanpa ragu pula menyebut entitas ini sebagai golongan menengah. Menurut Farchan Bulkin golongan menengah adalah kelompok sosial dalam masyarakat yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa, pemimpin suratkabar, kaum pengusaha, pedagang pribumi, ahli hukum dan kelompok-kelompok profesional.

Perbedaan ontologi dari pendapat-pendapat diatas membuat timbul kebingungan dalam pemberian istilah ini. Hal ini juga sempat membuat keraguan para peneliti majalah

Tempo yang akhirnya memutuskan menggunakan istilah kelas konsumen baru dalam ulasannya edisi 20-26 Februari 2012. Hal ini berbeda dengan berita harian terbesar nasional, Kompas yang secara tegas menyebut golongan masyarakat ini sebagai kelas menengah baru. Meskipun berbeda, dan memungkinkan memiliki konsekuensi ontologi yang tersendiri. Erij Hiarij dalam diskusi MAP Corner (2012) mengatakan bahwa keduanya memiliki semangat, angka statis, dan objek yang sama. Berangkat dari hal-hal diatas dapat disimpulkan bahwa persoalan istilah kelas konsumen baru, kelas menengah baru, golongan ekonomi menengah, dll pada dasarnya dapat di sepakati atau dimaklumi merujuk pada penduduk yang menghabiskan 2-20 $/harinya (Bank Dunia: 2012).

Bagaimana kelas menengah dapat terbentuk?

(3)

Tren ini kemudian tidak hilang pada Orde Baru, tidak sedikit masyarakat yang “naik kelas” karena keterlibatan mereka bekerja pada perusahaan asing yang tumbuh subur pada Orde Baru. Namun ada kelas menengah lain yang lahir dari cara yang berbeda. Yaitu para elit pegawai negeri dan ABRI yang bekerja pada negara. Pada masa Orde Baru, kesejahteraan para pegawainya sangat diperhatikan. Sehingga para pegawai negeri dan ABRI mendapat kemakmuan sosial yang lebih. Banyak pihak yang mengatakan bahwa para elit pegawai negeri dan ABRI ini lahir dari rahim negara. Namun sebetulnya argumen ini masih diperdebatkan. Sebab pada Orde Baru, pemerintah telah menjadi “pelayan” yang baik bagi para investor asing di Indonesia. Sehingga kelas menengah ini lahir tidak lepas hubungannya dengan para kapitalis pinggiran di Indonesia.

Pasca reformasi, liberalisasi ekonomi di galakkan diberbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, transportasi, komunikasi, teknologi, pangan, franchice, dll. Liberalisasi ini membuat investor asing semakin menjamur di Indonesia. Para investor asing muncul dengan berbagai rupa. Mulai dari rupa yang “nyata-nyata” adalah perusahaan asing, seperti perusahaan otomotif dengan merk Honda, BMW, Toyota, Yamaha, ataupun perusahaan multi nasional dengan merk seperti Unilever, P&G, Danone, Apple, BlackBerry, Samsung, dll. Ada pula perusahaan-perusahaan lokal yang sahamnya dikuasai asing. Contohnya saja perusahaan-perusahaan rokok di Indonesia, yang kini kesemuanya dimiliki oleh Philip Morris, British Tobacco, Imperial Tobacco,

dll. Hingga BUMN seperti Telkom, Indosat, Semen Gresik, Bank Mandiri, BRI, Kimia Farma, Bukit Asam, Garuda Nusantara, dll yang 85% sahamnya dimiliki oleh investor asing (Beritasatu.com: 2011).

Penguasaan para kapitalis pinggiran di Indonesia dengan strategi liberalisasi ekonominya, nyatanya cukup sukses dan berhasil meraup keuntungan kapitalis yang besar. Bekerja menjadi pegawai rendahan apalagi enjadi direksi perusahaan asing adalah prestise. Tidak hanya prestisem penduduk yang bekerja pada kapitalis pinggiran ini, kemudian mendapat “tetesan” dari para kapitalis pinggiran tersebut. Dari upah tersebut para pegawai perusahaan, profesional, lahir menjadi kelas menengah baru. Beberapa diantaranya dapat menghabiskan upahnya mulai dari 2$/hari hingga 20$/hari.

(4)

Para ilmuwan liberal atau ilmuwan modernis mungkin akan berbangga hati akan semakin baiknya pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang selalu diatas 5% pada sepuluh tahun terakhir ini. Namun para liberalis maupun modernis akan tersengat jika melihat karakter ekonomi-politik kelas menengah ini. Hasil penelitian Litbang Kompas (Edisi 8 Juni 2012) memaparkan bahwa kelas menengah indonesia bergerak semakin jauh dari ideologi liberalis-demokratis. Kelas menengah di Indonesia justru tergerak atau digerakkan untuk menjadi individu yang konservatif, pragmatis, oportunis, konsumtif, dan intoleran.

Hal ini menjadi anti-tesis daripada argumen Lipset (2007) bahwa masyarakat yang semakin modern dan semakin tinggi kemampuan ekonominya, maka akan semakin mendukung terselenggaranya demokrasi yang ideal. Masyarakat kelas menengah digerakkan untuk menghabiskan uang mereka untuk kesenangan pribadi mereka, dibandingkan untuk memenuhi kewajiban terhadap negara, apalagi untuk disalurkan secara suka rela kepada lembaga sosial-agama.

Hal ini terjadi lantaran budaya yang telah menstruktur paradigma masyarakat kelas menengah. Struktur paradigma ini terjadi akibat pengaruh media massa yang selama ini dikuasai oleh kapitalis pinggiran. Hal ini didasari penelitian Litbang Kompas (Edisi 8 Juni 2012) juga bahwa pengaruh media massa terhadap masyarakat kelas menengah sangatlah tinggi. Dari media massa ini terpolarisasi apa yang dianggap “keren”, “trendi”, “membanggakan”, “valuable”, dll. Lihat saja, apa yang ada di saluran-saluran televisi Indonesia saat ini, iklan rokok, otomotif, telekomunikasi, properti, makanan, dll hampir semuanya adalah iklan yang kepemilikannya adalah milik asing. Bahkan yang tidak kasat mata, acara-acara di televisi Indonesia sangat sering menunjukkan kemegahan hidup mewah, seperti dalam sinetron, acara gossip, reality show, dll.

(5)

makanan menjadi porsi terbesar akibat pergeseran perilaku konsumsi pangan masyarakat yang dahulu selalu memasak makanannya sendiri di rumah, namun kini ada yang lebih sering atau bahkan selalu makan di resto/restoran/kafe. Tidak sulit menemukan orang-orang yang penuh sesak makan di resto/restoran/kafe kelas atas mulai dari KFC, McDonald, Solaria, Hoka-Hoka Bento, Pizza Hut, dll yang menghabiskan mulai dari Rp 25.000 sampai dengan Rp 50.000 untuk sekali makan.

Pada sektor telekomunikasi, hasil riset Litbang Kompas (Edisi 8 Juni 2012)

menunjukkan bahwa 54,1 % mayrakat kelas menengah atas telah memiliki smartphone

seperti Blackberry, Samsung Galaxy, iPhone, dll. Bahkan 23,1% diantaranya memeiliki lebih dari satu smartphone. Sedangkan pada masyarakat kelas menengah 31,2% telah memiliki smartphone; 9,2% diantaranya memiliki lebih dari satu.

Pada sektor otomotif, penjualan mobil dan motor di tiap tahunnya sejak 2000-2012 adalah sebagai berikut (Gaikindo News dalam Tempo: 2012):

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 0

345,653299,629317,794354,331483,317533,910318,904434,449607,805486,061764,710898,180 1,028,307

Jumlah penjualan mobil dan motor sangat tidak terbendung. Tidak jarang dalam kurun waktu 13 tahun diatas seorang masyarakat kelas menengah membeli mobil maupun motor lebih dari satu.

(6)

pajak. Namun ternyata hal ini tidak terjadi di tahun 2013, dimana realisasi pajak tahun 2013 menjadi yang terburuk selama kurun waktu 3 tahun terakhir (progresive news: 2013). Penerimaan pajak yang ditargetkan sebesar Rp.1.139,32 triliun dalam APBNP, ternyata realisasinya hanya Rp. 1.040, 32 triliun atau 91,31 % dari target (beritasatu.com:). Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengungkapkan bahwa sejak tahun 2002, Indonesia hanya 2 kali pencapaian pajak sesuai dengan target. Belum lagi masalah rasio pajak di Indonesia yang masih minim yaitu sekitar 12%, padahal idealnya untuk negara lower middle income country seperti Indonesia, rasio pajaknya adalah 19-26%. Fuad Rahmany mengatakan bahwa salah satu penyebab terbesar tidak tercapainya target pajak ini adalah sikap menghindar, ketidakjujuran, dan ketidaktaatan wajib pajak yang terdiri dari kelas menengah bawah sampai kelas atas.

Fakta yang lebih mencengangkan lagi adalah realisasi dari potensi zakat. Potensi zakat yang diperkirakan Baznaz (dalam Okezone: 2013) sekitar Rp 217 Triliun ternyata realisasinya hanya Rp 2,3 Triliun yang artinya hanya 1% saja. Pada sektor BBM, masyarakat kelas menengah juga telah membuat pemerintah kelimpungan karena selalu

ngotot menggunakan BBM bersubsidi, meskipun sudah diserukan pelarangannya berkali-kali (meskipun memang tidak ada hukumannya). Pernyimpangan ini menurut Menteri ESDM, Jero Wacik (dalam Kompas: 2012) menyebabkan subsidi BBM tidak tepat sasaran, sebab sebanyak 77% dinikmati oleh masyarakat atas dan menengah atas, 15% oleh masyarakat menengah kebawah, dan hanya 8% oleh masyarakat miskin.

(7)

seharusnya membayar pajak, zakat, menggunakan BBM non-subsidi, ataupun menggunakan produk dalam negeri justru tidak dilaksanakan.

Perilaku Politik Kelas Menengah: Konservatif-pragmatis, No risk

Perilaku politik kelas menengah di Indonesia dapat kita lihat track record-nya sejak masa Orde Baru sampai dengan masa reformasi sekarang ini. Pada masa Orde Baru, kelas menengah Indonesia saat itu merasa “adem-ayem” saja dengan berbagai tindak-tanduk kebijakan pemerintahan Soeharto. Tidak hanya sekadar diam, tetapi tidak jarang justru para kelas menengah saat itu menjadi kaki-tangan Orde baru sendiri. Mereka tidak mau ambil pusing, tidak mau ambil resiko, tidak mau banyak menuntut pemerintah, melakukan perlawanan, apalagi menjadi oposisi. Masa bodoh dengan HAM, masa bodoh dengan keotoriteran. Selama hidup kelas menengah ini dapat berjalan lancar, maka tidak akan ada perlawanan yang berarti. Pada tiap penyelenggaraan Pemilu di masa Orde Baru, Golkar selalu muncul sebagai pemenang. Presentase kemenangannyapun tidak tanggung-tanggung, rata-rata Golkar selalu memperoleh suara/kursi sebesar 70% (data KPU dalam Budiardjo: 2007). Sikap kelas menengah ini telah menjadi kekuatan bagi Orde Baru sehingga dapat bertahan selama 32 tahun. Namun apa yang terjadi ketika terjadi reformasi? Melihat kekuatan Orde Baru yang semakin rapuh, kapitalis pinggiran yang jadi sasaran amukan, dan krisis ekonomi. Kelas menengah ikut berbondong-bondong bersama kelas bawah untuk menjatuhkan rezim 32 tahun tersebut.

(8)

partisipasi pemilih pada Pemilu 2014, yaitu hanya 75%. Bahkan dengan target sebesar itu, masih banyak pihak yang meragukan, seperti Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang memprediksi tingkat partisipasi pemilih hanya 50% (Suarapembangunan.net: 2013).

Bukan hanya masalah kuantitas partisipasi pemilih. Namun kualitas partisipasi pemilih juga bermasalah. Sigit Pamungkas (dalam seminar Polgov: 2013) mengungkapkan bahwa semakin lama modus pelanggaran Pemilu semakin variatif, kuantifikasi pelanggarannyapun semakin banyak. Data yang diperoleh dari evaluasi Bawaslu (2010) menunjukkan pelanggaran Pemilu yang meningkat drastis. Pada tahun 1999 terjadi sekitar 4290 laporan pelanggaran, 3199 pelanggaran administratif 1091 pelanggaran pidana. Pada tahun 2004 terjadi sekitar 12099 laporan pelangaran, 8946 pelanggaran administratif, 3153 pelanggaran pidana. Pada tahun 2009 diterima sekitar 21360 pelanggaran, 15341 pelanggaran administratif, dan 6019 pelanggaran pidana. Data ini sekiranya membuktikan bahwa pelaksanaan Pemilu di Indonesia diwarnai praktik-praktik yang tidak sehat.

Mungkin akan timbul pertanyaan, apa hubungannya partisipasi pemilih, pelanggaran pemilu dengan teori ketergantungan? Tentu saja ada hubungannya. Para modernis bisa mengelak bahwa keabsenan pemilih adalah bentuk dari legitimasi masyarakat yang sudah puas terhadap pemerintah yang telah berhasil menjalankan demokrasi yang ideal dan sehat. Tesis tersebut sangat bertentangan dengan apa yang dikatakan Rita Abrahamsen (2002) bahwa masyarakat kelas menengah sama sekali masa bodoh dan tidak memahami esensi dan prinsip demokrasi. Masyarakat menengah pada saat Pemilu sekiranya terdiri dari dua bagian, kelompok satu yaitu minoritas masyarakat kelas menengah yang memilki kepentingan pada saat Pemilu. Kelompok inilah yang rentan melakukan pelaggaran pemilu. Kemudian kelompok lainnya adalah masyarakat menengah yang apatis/tidak peduli terhadap pemilu. Mereka berpendapat bahwa memilih atau tidak memilih adalah sama saja, tidak akan berpengaruh apapun terhadap kehidupan mereka. Biasanya mereka baru mau memilih kalau diberikan money politics

dari calon/parpol tertentu. Kelompok inilah yang bersikap konservatif-pragmatis. Hal ini juga menunjukkan demokrasi yang sama sekali tidak sehat telah terjadi di Indonesia.

(9)

demokrasi politik yang dinamis. Sebab pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan industri membutuhkan stabilitas ekonomi dan politik. Para perusahaan asing terus berupaya mengeluarkan produk-produk baru mereka untuk menarik kesibukan dan uang kelas menengah. Sehingga masyarakat kelas menengah akan menjadi acuh, tidak memiliki waktu dan uang lagi untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Ruang politik yang kosong ini kemudian akan disesaki kemudian dengan kepentingan-kepentingan para perusahaan asing. Kapitalis pinggiran tidak akan mendapat tantangan serius dari kelas menengah yang sudah apatis. Alhasil liberalisasi ekonomi dapat terus berjalan dan tumbuh subur di Indonesia.

Kesimpulan

Kelahiran masyarakat kelas menengah baru yang mayoritas lahir dari kemitraannya dengan perusahaan asing adalah awal dari masalah ini. Masyarakat akan mencurahkan waktu dan tenanganya untuk bekerja pada perusahaan asing, mendapat penghasilan dari perusahaan asing, membelanjakan dan menghabiskan waktu untuk membeli produk dan layanan perusahaan asing. Siklus ini seolah menjadi “lingkaran setan”, dimana perputaran uang, dominasi politik dikuasai oleh elit-elit atas. Masyarakat kelas menengah hanya menjadi objek untuk terjebak dalam materialisme dan pragmatisme. Melihat begitu sudah mengguritanya penguasaan asing terhadap masyarakat menengah. Terlalu naif memang jika kita mengharapkan kelas masyarakat menengah dapat menjadi indivu-individu atau kelas kolektif yang akan menjadi agen perubahan ekonomi-politik Indonesia. Apalagi mengingat kesadaran kelas masyarakat menengah ini sangat rendah. Terlalu naif pula apabila kita mengidam-idamkan Indonesia yang berdikari-yang bebas dari perusahaan asing. Namun ketika masyarakat menengah menjadi sangat konsumtif, namun mengabaikan kewajibannya terhadap negara, tentunya ada kesalahan disana.

(10)

bukan hanya partisipasi politik praktis. Berbagai upaya tersebut setidaknya dapat membuat ekonomi-politik Indonesia lebih kokoh, sehat dan independen. Apalagi tantangan kedepannya Indonesia harus menghadapi ASEAN Community dan AFTA 2015 yang sudah terlanjur ditandatangani.

Daftar Pustaka

Enslikopedi

Outhwaite, William. 2008. Pemikiran Sosial Modern(Ed.2). Jakarta: Prenada Media Group

Jurnal

Seda, Fransisca. 2012. Kelas Menengah Indonesia: Gambaran Umum Konseptual. Dimuat dalam Jurnal Prisma Vol 31, No 1, 2012

Bulkin, Farchan. 1984. Kapitaliseme, Kelas Menengah dan Negara. Dimuat dalam Jurnal Prisma No 2 1984

Laporan Resmi

Bank Dunia. 2011. Laporan Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia-Desember 2011.

Buku

Abrahamsen, Rita. Rita Abrahamsen. 2000. Sudut Gelap Kemajuan : Relasi Kuasa Dalam Wacana Pembangunan. Zed Books: New York

Lipset, Seymour M. 2007. Political Man. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Majalah dan Surat Kabar

(11)

Litbang Kompas. 2012. Fokus: Kelas Menengah. Kompas Edisi Jumat/8 Juni 2012

Internet

Administrator. 2013. http://suarapembangunan.net/partisipasi-politik-pemilu-2014-akan-kurang-dari-50-persen&catid=15:politik&Itemid=11, diakes 08/01/2014 Jam 21.00 WIB

Arfi Bambani Amri. 2014. http://politik.news.viva.co.id/news/read/430115-ketua-kpu--ada-tren-partisipasi-pemilu-menurun, diakes 08/01/2014 Jam 22.00 WIB

Erlangga Djumena . 2013.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read//Menteri.ESDM.Pengguna.BBM.Subsidi.77.Per sen.Warga.Kelas.Atas., diakes 08/01/2014 Jam 21.00 WIB

Fajar. 2011. http://www.beritasatu.com/keuangan/16627-saham-bumn-mayoritas-dimiliki-asing.html, diakes 08/01/2014 Jam 21.00 WIB

Hutauruk, Dina Mirayanti. 2013. http://economy.okezone.com/read/-836244/potensi-zakat-di-indonesia-rp217-triliun, diakes 09/01/2014 Jam 20.00 WIB

Investor Daily. 2014. http://www.beritasatu.com/makro/156627-realisasi-penerimaan-pajak-tahun-2013-diprediksi-hanya-9131.html, diakes 09/01/2014 Jam 20.00 WIB

Lestari, Mustiana. 2013. http://www.merdeka.com/politik/sumut-paling-rendah-tingkat-partisipasi-pemilih-di-pilkada.html, diakes 09/01/2014 Jam 20.00 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Kaitannya dengan guru maka motivasi kerja guru ini merupakan suatu kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan, dan memelihara perilaku seorang guru yang berhubungan

Menurut SII 2282-88, kemasan fleksibel adalah bentuk kemasan yang bersifat fleksibel terdiri dari foil, film plastik, selopan, film plastik berlapis logam dan

Nafi’udin Arif, NIM. Kata Kunci: media audio-visual, motivasi belajar, hasil belajar. Pembelajaran matematika dianggap sebagai bidang studi yang paling sulit. Menjadikan

Ini tidak saja karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat yang dikenal memiliki setting tradisi yang gemar melecehkan perempuan, namun kesimpang-siuran dalam memahami

Dari data diatas didapatkan hasil uji statistic Willcoxon bahwa pada kelompok perlakuan hasil pre dan post menunjukkan bahwa p value (0,005) < α (0.05), sehingga

Pada pertemuan ASEAN Regional Forum (ARF) tahun 2013 diadakan pertemuan komisi SEANWFZ dengan para perwakilan kelima negara pemilik nuklir, Inggris kembali

Hasil dari penelitian ini adalah telah dibangun sebuah sistem prototipe pendeteksi banjir peringatan dini menggunakan Arduino dan PHP yang memudahkan pengguna

[r]