• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. beraturan, banyak bercabang, rindang, berdahan pendek, permukaan atas daun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. beraturan, banyak bercabang, rindang, berdahan pendek, permukaan atas daun"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

4 2.1. Tanaman Jeruk

Jeruk merupakan famili Rutaceae, jenis ini hampir selalu berupa semak

atau pohon, dengan daun tunggal atau majemuk yang duduknya tersebar atau

berhadapan, tanpa daun penumpu. Dalam daun dan kulit batang terdapat kelenjar

minyak yang terjadi secara skizolisigen (Tjitrosoepomo, 2002).

Tinggi tanaman jeruk berkisar antara 2-8 m dengan tajuk yang tidak

beraturan, banyak bercabang, rindang, berdahan pendek, permukaan atas daun

berwarna hijau mengkilat dan bagian bawahnya hijau muda. Tangkai daun

bersayap sangat sempit sampai boleh dikatakan tidak bersayap, panjang 0,5-1,5

cm. Helaian daun tanaman jeruk berbentuk bulat telur memanjang, elliptis, atau

berbentuk lanset, dengan ujung tumpul, melekuk ke dalam. Tepi bergerigi

beringgit sangat lemah, panjang 3,5-8 cm (Tjitrosoepomo, 2002). Bunga tanaman

jeruk berdiameter 1,5-2,5 cm. daun mahkota berwarna putih. Buah berbentuk

bola. Sedangkan buah jeruk keprok memiliki panjang 4-7 cm, diameter 5-8 cm,

tebal kulit 0,2-0,3 cm. Kebanyakan daging buah tanaman jeruk berwarna orange,

yang diluputi jaringan seperti reticulatum (Tjitrosoepomo, 2002)

Menurut Tjitrosoepomo (2002) sistematika tanaman jeruk diklasifikasikan

sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

(2)

Ordo : Rutales

Famili : Rutaceae

Genus : Citrus

Spesies : Citrus maxima (Burn.) Merr. atau C. grandis L, atau

C. decumana L.

: C. sinensis (L) Osbeck. atau C. aurantium L. var. sinensis L

: C. hystrix

: C. nobilis Lous

: C. aurantifolia

: C. medica

Varietas : C. nobilis microcarpa Holsk.

: C. nobilis chysocarpa

2.2 Penyakit CVPD pada tanaman jeruk 2.2.1 Gejala serangan penyakit CVPD

Penyakit CVPD menyerang tanaman pada bagian Pucuk daun tanaman

jeruk. Gejala serangan penyakit CVPD yang tampak dengan daun tanaman jeruk

yang mengalami klorosis pada sebagian atau seluruh daun tajuk yang ditandai

dengan tulang daun masih berwarna hijau sedangkan daging daun (lamina) yang

berwarna kuning (Semangun 1994). Menurut penelitian BPTP Kalimantan Barat

(2007), melaporkan bahwa Tanaman jeruk yang terjangkit penyakit CVPD ini

menunjukkan gejala kekuning-kuningan pada daun dewasa, seperti halnya

kekurangan unsur Zn, Mn dan Fe. Tulang - tulang daun halus berwarna lebih hijau

(3)

Gambar 2.1.

Gejala Klorosis pada Daun dan Tanaman Jeruk (Litbang Kalbar, 2007)

Pada tanaman muda gejala yang nampak yaitu adanya kuncup yang

berkembang lambat, pertumbuhan mencuat ke atas seperti sikat, lebih kecil dan

berbecak. Pada tanaman dewasa, gejalanya bervariasi. Pada gejala sektoral,

diawali dengan blotching pada cabang-cabang tertentu, diiringi pertumbuhan

tunas air lebih banyak dari tanaman normal di luar musim pertunasan (Dwiastuti,

2001). Pada gejala berat, daun menjadi lebih kaku, kecil, menebal, tulang daun

primer dan sekunder mengeras (vein corking), dan dapat menguning pada

keseluruhan kanopi, letaknya tersebar dan mengalami dieback yang parah (Planck,

1999).

Gejala-gejala ini mirip dengan gejala defisien Zn. Apabila gejala tersebut

disebabkan oleh defisiensi Zn dalam tanah, seluruh tanaman didalam kebun yang

sama biasanya akan menunjukkan gejala. Penyebaran gejala yang tidak merata

merupakan indikator yang sangat penting bagi adanya penyakit CVPD. Selama

musim hujan, gejala defisiensi Zn biasanya tidak begitu tampak. Buah pada

cabang-cabang terinfeksi biasanya tidak dapat berkembang normal dan berukuran

(4)

buah biasanya muncul warna orange yang berlawanan dengan buah-buah sehat.

Buah-buah yang terserang rasanya masam dan bijinya kempes, tidak berkembang

dan berwarna hitam (Tirtawidjaja, 1964).

Gejala penyakit CVPD juga ada dalam tanaman. Pada irisan melintang

tulang tengah daun jeruk berturut-turut dari luar hingga ketengah daun akan

terlihat jaringan-jaringan epidermis, kolenkim, sklerenkim dan floem. Gejala

dalam pada tanaman jeruk yang terkena CVPD adalah floem tulang daun tanaman

sakit lebih tebal dari floem tulang daun tanaman sehat. Pada floem tulang daun

tanaman sakit terdapat sel-sel berdinding tebal yang merupakan jalur-jalur mulai

dari dekat sklerenkim sampai dekat xilem. Dinding tebal tersebut adalah beberapa

lapis dinding sel yang berdesak-desakan. Didalam berbagai jaringan dalam daun

terjadi pengumpulan secara berlebihan butir- butir halus zat pati (Tirtawidjaja,

1964).

Sistem tanaman yang terinfeksi berkembang jelek, akar serabut relatif

sedikit karena mungkin terjadi defisiensi unsur hara. Pertumbuhan akar baru

tertekan dan sering mengalami pembusukan, dimulai dari akar-akar kecil

(rootless) (da Graca, 1991).

2.2.2 Penyebab Penyakit CVPD

Pada awalnya, penyakit CVPD disebabkan oleh virus (Tirtawidjadja, et al.,

1964), kemudian karena pengembangan penelitian pada penyakit ini, dikatakan

disebabkan oleh mykoplasma-like organism (MLO). Selanjutnya penyakit CVPD

dikatakan disebabkan oleh BLO (bacterium like organism) (Sandrine, et al., 1994)

Sandrine et al. (1994), melakukan penemuan dengan teknik PCR

(5)

BLO yang diisolasi dari tanaman jeruk (varietas poona) yang terserang penyakit

CVPD bahwa mereka telah berhasil mengembangkan satu primer yang spesifik

dari 16S rDNA tersebut untuk mendeteksi patogen penyebab penyakit CVPD dan

sejak itu disimpulkan bahwa penyebab penyakit CVPD adalah bakteri yang

mereka beri nama Liberobacter (Sandrine, et al., 1996). Ditemukan dua spesies

bakteri terbebut yaitu l. asiaticum yang tersebar di kawasan Asia termasuk

Indonesia, dan L. africanum yang tersebar di kawasan Africa.

Bakteri L. asiaticum tergolong Kingdom Proteobacteria, Kelas

Rhodospirilli, Ordo Rhizobiales, Famili Rhizobiaceae, Genus Liberobacter

(Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura). Bakteri Penyebab penyakit

CVPD ini merupakan bakteri gram negatif, memiliki selubung dinding sel 25 nm

(Jagoueix et al., 1994). Bakteri L. asiaticum belum bisa dikultur secara invitro

sehingga informasi mengenai morfologi, fisiologi, biokimia dan genetik bakteri L.

asiaticum terbatas (Nakashima et al., 1996). Pengamatan dengan mikroskop elektron didapatkan, bakteri saat tumbuh berbentuk memanjang yang flexibel

berukuran 100-250 x 500-2500 nm, pada saat dewasa berbentuk batang yang kaku

berukuran 350-550 x 600-1500 nm. Adapula yang berbentuk badan seperti bola

dengan sitoplasma tipis, berdiameter 700-800 nm (Su dan Huang, 1990). Menurut

Garnier dan Bove (1973) bakteri akan tumbuh berbentuk memanjang dan fleksibel

(6)

Bakteri L. asiaticum tumbuh secara maksimum dan konstan pada daun

dewasa. Pergerakan bakteri dalam tanaman jeruk cukup lambat yaitu 30-50 cm

kearah bawah dalam waktu 12 bulan (da Graca, 1991)., dan pada tahap awal

infeksi cenderung tetap berada pada cabang yang diinfeksi vektor (Su dan Hung,

2001).

Bakteri penyebab penyakit CVPD terdapat pada floem tanaman dan

endoseluler (Garnier dan Bove, 1993). Bakteri dalam floem daun pada berbagai

tingkat kematangan atau pada berbagai varietas jeruk, mempunyai kecenderungan

berbiak melimpah pada musim panas dan berkurang pada musim dingin, tetapi

dapat dideteksi dalam jumlah tertentu di sepanjang tahun (Su dan Huang, 1990).

Pertumbuhan bakteri akan konstan dilihat pada daun tanaman jeruk yang yang

sudah dewasa.

Penyakit CVPD dapat menular melalui bibit yang terinfeksi penyakit

CVPD dan oleh serangga vektor (Wijaya, 2003). Penyebaran penyakit CVPD

yang cepat pada pertanaman jeruk dapat terjadi walaupun tidak ditemukannya Gambar 2.2

(7)

serangga vektor di lapangan, hal ini diduga karena tanaman yang mengandung

bakteri sejak bibit walaupun belum menunjukkan gejala penyakit (Wirawan,

2003). Penyakit CVPD juga dapat menular lewat penempelan mata tunas atau

grafting (Su, 2001) tetapi kecepatannya bervariasi karena distribusi bakteri tidak beraturan pada tanaman (Hung et al, 2000), yang menyebabkan dapat diperoleh

tanaman bebas penyakit dari tanaman terinfeksi (Planck, 1999). Walau secara

terbatas alat-alat pertanian seperti alat inokulasi dan pemangkasan diduga dapat

menularkan penyakit (Semangun, 1994).

2.3 Vektor Diaphorina citri Kuwayama

Bakteri Liberobacter asiaticum diketahui disebarkan oleh serangga sejenis

kutu loncat yang bernama Diaphorina citri KUW. D. citri termasuk filum

Arthropoda, klas Insecta, ordo Homoptera, family Psyllidae, Genus Diaphorina,

spesies D. citri Kuw. (Kalshoven, 1981). Nurhadi (1993) melaporkan bahwa

patogen dapat ditularkan oleh serangga vektor dari satu tanaman ke tanaman lain

setelah melalui 1) periode makan akuisisi yaitu waktu 140 hari. yang diperlukan

vektor untuk makan pada tanaman sakit sampai mendapatkan patogen, 2) periode

makan inokulasi yaitu waktu yang diperlukan vektor untuk makan pada tanaman

sehat sampai dapat menularkan patogen dan 3) periode retensi yaitu selang waktu

vektor masih dapat menularkan patogen. Selanjutnya ditambahkan ketepatan

vektor menusukkan stiletnya pada bagian tanaman sakit dan proporsi vektor yang

infektif mempengaruhi laju penularan penyakit CVPD.

D. citri menyerang tangkai, kuncup bunga dan daun, tunas serta daun-daun muda. Bagian tanaman yang terserang parah biasanya mengering secara

(8)

mengeriting dan pertumbuhannya terhambat. Kutu juga menghasilkan sekresi

berwarna putih transparan berbentuk spiral, biasanya diletakkan berserak di atas

daun atau tunas.

D. citri mempunyai tiga stadium hidup yaitu telur, nimfa, dan dewasa. Telur berwarna kuning terang berbentuk seperti buah alpukat, diletakkan secara

tunggal atau berkelompok di kuncup permukaan daun-daun muda, atau

ditancapkan pada tangkai-tangkai daun, setelah 2-3 hari telur menetas menjadi

nimfa. Nimfa yang baru menetas hidup berkelompok di tunas-tunas dan kuncup

untuk menghisap cairan tanaman. Setelah berumur 2 atau 3 hari, nimfa menyebar

dan menyerang daun-daun muda. Nimfa berwana kuning sampai coklat dan

mengalami 5 kali pergantian kulit. Nimfa lebih merusak tanaman dari pada kutu

dewasanya. Stadium nimfa berlangsung selama 17 hari. Pada kondisi panas siklus

hidup dari telur sampai dewasa berlangsung antara 16-18 hari, sedangkan pada

kondisi dingin berlangsung selama 45 hari. Perkawinan segera berlangsung

setelah kutu menjadi dewasa dan segera bertelur setelah terjadi perkawinan.

Seekor betina mampu meletakkan 800 butir telur selama masa hidupnya.

D.citri mampu menghasilkan 9-10 generasi dalam 1 tahun. Stadium dewasa ditandai oleh adanya sayap sehingga mudah meloncat apabila terkena sentuhan.

Serangga dewasa berwarna coklat tua, dengan panjang tubuh 2-3 mm. Apabila

dalam keadaan menghisap cairan sel tanaman, D. citri memperlihatkan posisi

menungging. D. citri lebih aktif pada saat tanaman jeruk dalam fase vegetatif. D.

citri dewasa hinggap pada daun tua dan menghisap cairan selnya. Stadium dewasa ini bisa bertahan hidup selama 80-90 hari (Nurhadi et al., 1986; Trisnawati, 1998).

(9)

Penelitian Wijaya (2010) mengatakan bahwa, pertambahan luas serangan

CVPD berkisar antara 20 – 29% selama 6 bulan. Penelitian dilakukan dengan

pengamatan awal di pengamatan di Desa Taro tanaman terserang CVPD

sebanyak 51% meningkat menjadi 80% pada akhir pengamatan, sedangkan

di Desa Katung berawal dari 39% menjadi 59%. Fenomena ini diperkuat dari

hasil deteksi molekuler yang menunjukkan D. citri mengandung patogen CVPD,

sehingga berpotensi sebagai vektor penyakit CVPD

2.4 Deteksi Penyakit CVPD dengan PCR

Deteksi secara konvensional kurang memberikan hasil yang memuaskan

karena selain konsentrasi bakteri dalam tanaman sangat rendah (Hung et al.,

1999). Deteksi secara visual merupakan cara yang mudah dilakukan tetapi

pengamatan secara visual tidak memberikan hasil yang akurat atau pasti karena

gejalanya mirip dengan gejala seperti tanaman kekurangan unsur hara Zn dan Mn

(Tirtawidjaja, 1983). Deteksi keberadaan bakteri L. asiaticum dapat dilakukan

antara lain dengan uji Pati-yodium, perlakuan ini dilakukan dengan memberikan

yodium pada daun jeruk yang diiris terlebih dahulu, namun cara ini kurang

spesifik karena adanya akumulasi karbohidrat (Dwiastuti, 1992), Indeksing

Biologis adalah cara kedua yaitu dengan melakukan penyambungan jaringan

dengan tanaman indikator, namun cara ini memakan waktu yang lama yaitu

sekitar 4-7 bulan (Marlina, 1998). Pengujian serologis yaitu ELISA

(Enzym-Linked Immuno Sorbent Essay) dan IF (Immunofluorescens) merupakan cara deteksi yang ketiga. Pengujian ini merupakan metode identifikasi secara tepat di

laboratorium, namun cara ini kurang sensitif (Korsten et al., 1996). Mikroskop

(10)

memerlukan keahlian khusus dan peralatan yang sangat canggih dan mahal.

Deteksi dapat dilakukan untuk mengetahui adanya bakteri dalam floem tanaman

dengan mengiris bagian daun secara tipis. Namun apabila konsentrasi bakteri

sangat rendah, maka cara ini sangat kurang praktis (Adiartayasa dkk, 2012). DNA

probes juga dapat mendeteksi keberadaan bakteri penyebab penyakit CVPD. Cara tersebut sangat kurang sensitif untuk mendeteksi rutin, karena tanaman terinfeksi

secara laten hanya menunjukkan signal yang lemah (Hung et al., 1999) dan

kemampuan deteksi strain-strain tergantung dari tinggi rendahnya suhu yang

digunakan (da Graca, 1991). Selain itu cara ini juga membutuhkan waktu yang

cukup lama (Jaqoueix et al., 1996).

Metode PCR merupakan teknik replikasi reaksi berantai yang ditemukan

oleh Kary Mullis pada pertengahan tahun 1980 (Watson et al., 1992). Metode ini

dapat menunjukkan secara pasti tentang replikasi DNA. PCR menggunakan DNA

utas tunggal sebagai template untuk pembentukan komplemen utas baru. Satu utas

DNA yang diproduksi dari utas ganda DNA dengan pemanasan singkat pada suhu

mendekati titik didih. PCR juga memerlukan bagian terkecil dari utas ganda DNA

(primer) untuk memulai sintesis DNA. Oleh karena itu, titik awal sintesis DNA

dapat dispesifikasikan dengan mengaitkan primer oligonukleotida pada titik awal

tersebut. Hal ini merupakan rangkain pertama yang penting pada teknik PCR

dimana polymerase DNA dapat langsung disintesakan pada daerah DNA yang

spesifik.

PCR merupakan teknik laboratorium yang sangat maju, karena teknik

tersebut sangat beraneka ragam dan aplikasinya sangat luas. Materi awal PCR

(11)

yang diperlukan untuk PCR sangat sedikit, DNA yang digunakan untuk PCR

sudah merupakan total DNA dari sel. PCR tidak memerlukan pemurnian DNA.

Rangkaian DNA harus diisolasi terlebih dahulu sebelum diamplifikasi oleh PCR

karena spesifikasi dari reaksi ditentukan oleh primer (Watson et al., 1992). Primer

yang digunakan dalam PCR harus memenuhi syarat yaitu harus bersifat

komplementer, pada satu spesifik site pada DNA template, mempunyai

kandungan G/C -70%, mengandung 14-40 nukleotida, tidak ada urutan yang

komplementer antara ujung 3’ masing-masing primer, sehingga tidak terbentuk

primer dimer yang secara signifikan mengurangi sensitifitas dan spesipitas produk PCR (Boehringer, 1995).

PCR memiliki tiga tahapan reaksi yang berbeda dalam satu siklus. Ketiga

tahapan tersebut yaitu de-naturasi, annealing, dan polimerisasi. Tahap de-naturasi

bertujuan untuk memutuskan ikatan H asam deoksiribonukleat (DNA) double

stranded yang akan diamplifikasi. Hasil yang diperoleh merupakan DNA cetakan untai tunggal untuk penempelan oligonukleotida primer dalam tahap annealing.

Pada tahap kedua yaitu annealing, terbentuk ikatan H baru antara untai tunggal

DNA cetakan dengan oligonukleotida primer. Tahap polimerisasi merupakan

tahap pemanjangan rantai tunggal oligonukleotida primer dari ujung 3’ ke ujung

5’, dengan katalis enzim DNA polymerase. Ketiga tahap ini merupakan fungsi

temperature dengan masing-masing temperatur tahap sebagai berikut : denaturasi

± 95ºC, annealing 45ºC, dan polimerisasi 72ºC.

Deteksi molekuler dengan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain

Reaction) melalui tahapan : Isolasi Total DNA, Amplifikasi DNA dan Visualisasi hasil PCR.

Referensi

Dokumen terkait

5 ayat (2) huruf b Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta Pada Tingkat Ketelitian Peta Skala

Tidak terdapat perbedaan abnormal return dan trading volume activity sebelum dan sesudah peristiwa bencana banjir di Jakarta baik tahun 2007 dan 2013. Hal

Dimensi-dimensi yang ada pada konstruk psychological well-being, yakni penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan

Rata-rata energi aktivasi pembakaran karbon tetap meningkat untuk campuran serbuk gergaji dan serbuk tongkol jagung atau serbuk sekam padi pada ukuran 40+/60- mesh.

merupa upa(an (an -de -dera&a ra&at t (ep (epasti astian= an= unt untu( u( ter& ter&adi adin' n'a a sua suatu tu per perist isti)a i)a 'a 'ang ng

Terkait dengan tekanan populasi penduduk dan penurunan luas lahan untuk produksi pertanian, banyak negara menerapkan pertanian intensif dan diversifikasi untuk meningkatkan

perencanaan, pengorganisasian, pembagian tugas dan penilaian kinerja staf, pengarahan dan bimbingan teknis, komunikasi dan koordinasi, pengawasan dan pengendalian,

Untuk memelihara dan mewujudkan disiplin yang baik, ada banyak faktor yang berpengaruh, namun dalam penelitian ini saya memilih beberapa faktor yang