• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISSN Pengantar DAFTAR ISI. Volume 10 Nomor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISSN Pengantar DAFTAR ISI. Volume 10 Nomor"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ISSN 1907-4263

Volume 10 Nomor 1 2015

DAFTAR ISI

Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan ... 1 (Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach) Erythrina dan Zulkifli Zaini

Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi dan Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah ... 9 (Contribution of Sulfur to Rice Productivity and Atmospheric

Greenhouse Gases in Lowland) A. Wihardjaka dan Poniman

Perbaikan Ketahanan Kedelai terhadap Hama Ulat Grayak ... 19 (Improvement of Soybean Resistance to Armyworm)

Titik Sundari dan Kurnia Paramita Sari

Kontaminasi Aflatoxin dalam Rantai Distribusi Kacang Tanah di

Indonesia ... 29 (Aflatoxin Contamination on the Groundnut Distribution Chain in

Indonesia)

Agustina Asri Rahmianna dan Joko Purnomo

Determinan Agronomis Produktivitas Jagung ... 39 (The Agronomic Factors Determining Maize Productivity)

Sutoro Pada terbitan nomor 1 tahun ke-10, Buletin

Iptek Tanaman Pangan menyajikan lima tulisan review hasil penelitian. Tulisan pertama dan kedua membahas aspek pemupukan pada tanaman padi yang dikaitkan dengan upaya peningkatan produktivitas, pendapatan, dan pelestarian lingkungan. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk mewujudkan swasem-bada beras dan menekan dampak emisi gas rumah kaca dari lahan sawah dengan mitigasi perubahan iklim global.

Tulisan ketiga membahas upaya perbaikan ketahanan varietas kedelai terhadap ulat grayak. Dewasa ini ulat grayak telah berubah status menjadi hama utama kedelai yang tentu saja perlu dikendalikan agar tidak menurunkan produksi.

Aflatoxin pada kacang tanah mem-bahayakan kesehatan konsumen. Penyakit ini juga merusak biji jagung dan beberapa komoditas lainnya. Oleh karena itu, aflatoxin mendapat prioritas untuk diteliti. Tulisan kontaminasi aflatoxin pada kacang tanah juga mengisi Buletin Iptek Tanaman Pangan kali ini. Tulisan berikutnya mem-bahas determinan agronomis produktivitas jagung.

Redaksi

Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, Indonesia

Buletin Iptek Tanaman Pangan merupakan publikasi yang memuat makalah review hasil penelitian tanaman pangan (padi dan palawija).

Redaksi mengutamakan makalah dari peneliti lingkup Puslitbang Tanaman Pangan dan menerima makalah dari semua institusi penelitian tanaman pangan lainnya di Indonesia, termasuk perguruan tinggi, LIPI, dan BATAN. Makalah review yang dikirimkan hendaknya sudah mendapat persetujuan dari pimpinan instansi masing-masing.

Ketentuan penulisan makalah untuk dapat dimuat di buletin ini tertera dalam "Petunjuk bagi Penulis" di halaman terakhir.

(3)

KETENTUAN UMUM

Buletin Iptek Tanaman Pangan memuat tinjauan (review) atau analisis dari sejumlah referensi hasil penelitian menjadi gagasan baru untuk dapat memberikan pemecahan masalah pertanian tanaman pangan.

• Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. • Naskah yang dikirim ke redaksi belum pernah diterbitkan di

media publikasi lain.

• Naskah lengkap dikirim rangkap tiga dalam bentuk print out atau melalui email ke alamat www.pangan.litbang.deptan.go.id. • Bagi naskah yang sudah terbit, penulis berhak menerima satu

buletin asli dan cetak lepas 10 eksemplar.

STANDAR PENULISAN

• Naskah diketik dengan jarak 1½ spasi, dan satu spasi untuk Judul, Abstrak, Tabel, Gambar, dan Lampiran. Bidang ketik berjarak 4 cm dari tepi kiri dan masing-masing 3 cm dari tepi kanan, atas, dan bawah.

• Huruf standar yang digunakan adalah tipe Arial dengan ukuran font 12 untuk teks dan 10-11 untuk Tabel dan Lampiran. • Naskah diketik dalam program Microsoft Word.

• Naskah disusun dengan urutan judul, nama penulis dan instansi, abstrak, pendahuluan, isi/pokok bahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih (kalau ada), dan daftar pustaka.

SISTEMATIKA PENULISAN

Judul: singkat, jelas, spesifik, dan informatif yang

mencerminkan isi naskah.

Nama penulis: sesuai dengan pencantuman untuk pustaka.

Nama lembaga/instansi: disertai dengan alamat lengkap.

Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris,

merupakan intisari naskah, tidak lebih dari 250 kata, dan dituangkan dalam satu paragraf.

Kata kunci (key word): maksimum 5 kata.

Pendahuluan: menggambarkan latar belakang, tujuan,

sasaran dan pustaka yang mendukung.

Isi/Pokok Bahasan: menyajikan dan membahas secara jelas

pokok bahasan dengan mengacu kepada tujuan penulisan. • Kesimpulan: merupakan ringkasan dari substansi pokok

bahasan.

Ucapan terima kasih (kalau ada).

Daftar Pustaka:

a. Menggunakan minimal 25 referensi dalam 10 tahun terakhir dengan proporsi minimal 50% dari jurnal ilmiah.

b. Pengutipan pustaka dari internet hanya diperbolehkan dari sumber yang dapat dipercaya seperti jurnal ilmiah dari instansi pemerintah atau swasta.

c. Memuat nama penulis yang dirujuk dalam naskah, disusun alfabetis dan tahun terbit. Di belakang tahun, baik dalam teks maupun di daftar pustaka dapat dibubuhi huruf kecil (a, b, c) jika penulis yang sama menulis lebih dari satu artikel dalam tahun yang sama. Nama penulis yang lebih dari dua orang, di dalam kutipan teks menggunakan et al. setelah penulis pertama. Di daftar pustaka, semua penulis harus ditulis sesuai dengan kaidah penulisan pustaka.

• Beberapa contoh penulisan sumber rujukan:

Buku

Syam, M. dan A. Musaddad. 1991. Pengembangan kedelai. Puslitbangtan. Bogor. 317 p.

Jurnal

Wahid, A.S. 2003. Peningkatan efisiensi pupuk nitrogen pada padi sawah dengan metode bagan warna daun. Jurnal Litbang Pertanian 22(4):156-161.

Artikel dalam buku

Subandi, A. Harsono, dan H. Kuntyastubi. 2007. Areal pertanaman dan sistem produksi kedelai di Indonesia. Dalam: Kedelai: Teknik Produksi dan Pengembangan. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. p. 135-144.

Internet

Mutert, E. W. 2008. Plant nutrient balances in Asian and Pasific regions. The consequences for agricultural production. http:/ /www.agnet. org/library/eb/415.

Prosiding

Sembiring, H. dan Wasito. 2004. Peluang pengembangan sistem integrasi padi-ternak dalam pemberdayaan kelompok tani untuk meningkatkan kualitas lahan dan pendapatan petani di Sumatera Utara. Prosiding Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak. Denpasar, 20-22 Juli 2004. Kerja sama Puslitbang Peternakan - BPTP Bali- CASREN. Bogor. p. 104-115.

Tesis/disertasi

Koesrini. 2001. Studi metode skrining ketahanan kedelai terhadap aluminium. Tesis. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 127 p.

CARA PENULISAN

Tabel

a. Huruf standar yang digunakan adalah Arial dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 10-11.

b. Judul singkat, jelas, dan hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital, diletakkan di atas Tabel, dan diberi nomor urut dengan angka Arab.

c. Keterangan Tabel ditulis dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 9-10.

Gambar atau Grafik: Judul menggunakan huruf tipe Arial

dengan jarak 1 spasi dan ukuran font 10-11, diletakkan di bawah Gambar atau Grafik berupa kalimat singkat dan jelas. Hanya kata pertama yang menggunakan huruf kapital dan diberi nomor urut sesuai dengan letaknya.

Satuan ukuran: memakai sistem internasional.

Penulisan angka desimal: dalam bahasa Indonesia

dipisahkan dengan koma (,) dan dalam bahasa Inggris dengan titik (.).

(4)

Revitalisasi Pemupukan Padi Sawah Berbasis Lingkungan

(Revitalization of Rice Fertilization Based on Environment Approach)

Erythrina1 dan Zulkifli Zaini2

1Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian

Jl. Tentara Pelajar No. 10 Bogor 16114 E-mail: erythrina_58@yahoo.co.id

2Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Jl. Merdeka No. 147 Bogor 16111, Jawa Barat E-mail: z.zaini@irri.org

Naskah diterima 11 November 2014 dan disetujui diterbitkan 4 Mei 2015

ABSTRACT

IAARD in the Ministry of Agriculture has produced a wide range of technology for site specific nutrient management (SSNM), in form of soil-test kit equipment and software. This paper presents the concept of revitalization the system and direction for an efficient fertilization usage. A more rational use of fertilizers based on a specific locational need is expected in the long term to reduce the amount of fertilizer subsidies, without reducing the rice production. The effect of SSNM had been shown to give opportunities for yield increases per unit of fertilizer, to reduce loss of fertilizer, to improve agronomic efficiency and at the same time had positive influence on the environment. SSNM could be used to develop plan for fertilizer requirement per farmers’ group (RDKK) which in reality was often not compiled by field extension in accordance with the area of land and fertilizer needs. Inaccurate RDKK preparation had been causing problem on the distribution of subsidized fertilizer, because it was often showing an overestimate of the amount of fertilizer needed, as compared with the availability of fertilizer. Funds allocated for the preparation of RDKK could be routed to the procurement of hardware such as computers and to train the agricultural extension workers in each Agricultural Extension Center in Indonesia, to be able to access the website-specific nutrient fertilization through the internet. Assessment Institute of Agricultural Technology located in every province could facilitate this technology transfer process.

Keywords: Fertilizer, SSNM technology, RDKK, rice paddy.

ABSTRAK

Badan Litbang Kementerian Pertanian telah menghasilkan berbagai teknologi pemupukan hara spesifik lokasi (PHSL), baik berupa peralatan maupun perangkat lunak. Tulisan ini menyajikan pemikiran tentang upaya dan arah revitalisasi sistem pemupukan yang efisien. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi dalam jangka panjang diharapkan dapat menurunkan jumlah subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi. Pemupukan hara spesifik lokasi terbukti meningkatkan hasil per unit pemberian pupuk, mengurangi kehilangan pupuk, meningkatkan efisiensi agronomi dari pupuk sekaligus berpengaruh positif terhadap lingkungan. Teknologi PHSL dapat digunakan untuk menyusun RDKK yang dalam kenyataannya seringkali tidak disusun oleh PPL sesuai luas lahan dan kebutuhan pupuknya. Penyusunan RDKK yang tidak akurat menjadi permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi karena sering tidak sesuainya kebutuhan dengan ketersediaan pupuk. Dana yang dialokasikan untuk penyusunan RDKK dapat dialihkan untuk pengadaan perangkat keras seperti komputer dan melatih para penyuluh pertanian di setiap Balai Penyuluhan Pertanian di Indonesia untuk dapat mengakses situs web pemupukan hara spesifik lokasi melalui internet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang terdapat di setiap provinsi dapat mempercepat proses alih teknologi ini.

(5)

PENDAHULUAN

Terminologi revolusi hijau digunakan untuk menjelaskan peningkatan aktivitas fotosintesis dari pigmen hijau daun atau klorofil, untuk dapat menghasilkan lebih banyak karbohidrat. Proses ini tidak hanya melibatkan penggunaan energi matahari dan karbon dioksida secara efektif dari atmosfer, tetapi juga air dan unsur hara, terutama nitrogen, fosfor, dan kalium dari tanah (Horie et

al. 2004). Melalui proses penyilangan dan seleksi,

arsitektur tanaman dimodifikasi dari varietas lokal, dengan postur tanaman tinggi menjadi varietas unggul dengan anakan lebih banyak, daun tegak, berbatang pendek dan kokoh untuk dapat menahan gabah yang lebih banyak pada malai yang terbentuk, jika lahan diberi pupuk dan air yang cukup. Arsitektur tanaman yang lebih pendek dan kokoh mampu menggunakan eksternal input secara efisien yang berasal dari pupuk kimia dan air irigasi untuk menghasilkan gabah dalam jumlah yang lebih banyak dengan umur tanaman yang lebih pendek (Zaini 2012).

Revolusi hijau yang memperkenalkan varietas unggul berdaya hasil tinggi merupakan faktor utama yang memungkinkan sejumlah negara, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan produksi padi dan jagung pada tahun 1970 sampai 1980-an. Dampak positif dari peningkatan produksi adalah menurunnya angka kemiskinan melalui peningkatan pendapatan petani dan tersedianya beras dengan harga yang terjangkau bagi konsumen berpenghasilan rendah, baik di perdesaan maupun perkotaan.

Bagaimanapun, revolusi hijau tidak terlepas dari berbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan, ekonomi maupun sosial. Terjadinya degradasi lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan, perlunya irigasi karena penggunaan air yang lebih banyak, menurunnya biodiversitas akibat hilangnya berbagai varietas lokal, patahnya berbagai ketahanan genetik terhadap hama dan penyakit, teknologi yang hanya dinikmati oleh petani berpendapatan tinggi karena lebih mampu mengadakan input untuk memperoleh hasil tinggi dari varietas unggul baru yang diintroduksikan, sampai memperkecil peluang kerja di pedesaan, terutama bagi wanita tani (Kesavan and Swaminathan 2006).

Di sisi lain, produksi padi cenderung melandai sejak dua dasawarsa yang lalu akibat menurunnya laju peningkatan produktivitas. Dalam periode 1993-2013 laju peningkatan produktivitas padi sawah irigasi hanya 33 kg/tahun (R2=0,674) (BPS 2014).

Pemerintah harus memastikan ketersediaan beras pada tingkat harga yang tidak memberatkan konsumen dan sekaligus memberikan keuntungan yang memadai kepada petani (Menko Perekonomian 2011). Situasi ini

hanya mungkin dicapai bila usahatani padi sawah dapat mengoptimalkan setiap penggunaan input. Pupuk merupakan salah satu input utama untuk memproduksi padi.

Pemerintah telah mengurangi subsidi pupuk kimia sejak 1 April 2010, yang menyebabkan harga pupuk meningkat 25-40% di atas harga eceran tertinggi (HET) yang berlaku (Rachman 2011). Pupuk urea dipatok dengan harga Rp1.800/kg, pupuk majemuk NPK Rp2.300/kg, SP-36 Rp2.000/kg, ZA Rp1.400/kg, dan pupuk organik Rp500/ kg. Harga itu berlaku sejak 2012. Dengan naiknya harga pupuk di pasaran, petani harus lebih efisien dalam mengelola pemupukan padi sawah.

Pupuk berperan penting dalam peningkatan produktivitas dan produksi tanaman pangan. Walaupun penyaluran pupuk bersubsidi terus meningkat (Tabel 1), tetapi ketersediaannya masih terbatas sehingga sering tidak tersedia pada saat petani membutuhkan.

Subsidi pupuk di negara-negara berkembang cenderung meningkat, dengan pola dan ketentuan yang berbeda. Dibandingkan dengan China dan India, subsidi pupuk di Indonesia terbilang kecil, sekitar Rp 21 triliun pada tahun 2015 atau hanya sekitar 5% dari total subsidi yang dikeluarkan pemerintah. Subsidi paling besar dikeluarkan pemerintah untuk energi (61%) dan listrik (26%). Besaran pupuk bersubsidi diperkirakan akan terus meningkat karena kenaikan harga bahan baku dan depresiasi rupiah yang menyebabkan harga pokok produksi (HPP) pupuk terus meningkat.

Tulisan ini menyajikan suatu pemikiran tentang upaya dan arah revitalisasi sistem pemupukan yang efisien. Tingginya subsidi pupuk yang dialokasikan pemerintah membebani anggaran Kementerian Pertanian. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi diharapkan dalam jangka panjang dapat menurunkan jumlah subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi. Penyuluh dan petani harus memahami bahwa penggunaan pupuk sesuai kebutuhan tanaman tidak hanya meningkatkan efisiensi pemupukan dan penghematan pupuk tetapi juga berpengaruh positif terhadap lingkungan.

Tabel 1. Penyaluran pupuk bersubsidi, 2007-2012 (ton).

Tahun Urea SP36 Z A NPK Organik

2007 4.300.000 800.000 700.000 700.000 0 2008 4.800.000 814.400 750.350 962.680 345.000 2009 5.500.000 1.000.000 923.000 1.500.000 450.000 2010 4.931.000 850.000 849.749 2.100.000 750.000 2012 5.100.000 1.000.000 1.000.000 2.593.000 835.000 Laju/tahun 2,88% 6,12% 8,89% 36,55% 24,73% Sumber: Kementerian Pertanian 2012.

(6)

DINAMIKA REKOMENDASI TEKNOLOGI PEMUPUKAN

Pada zaman penjajahan Belanda hanya pupuk nitrogen yang dianjurkan, dengan takaran 20-40 kg N/ha. Air irigasi diperkirakan dapat menyediakan unsur hara lainnya, terutama kalium (Giessen 1942, Dijk 1951). Balai Penyelidikan Teknik Pertanian (sekarang Puslitbang Tanaman Pangan) dengan berbagai keterbatasannya, mampu melaksanakan penelitian efektivitas kombinasi pemupukan N, P, dan K pada varietas lokal Bengawan (dilepas tahun 1943) dan Sigadis (dilepas tahun 1953) di Jawa pada tahun 1961-1962 (Nataatmadja et al. 1988).

Rekomendasi Pemupukan Bersifat Umum

Pada tahun 1980, Program Intensifikasi Khusus (Insus) menerapkan teknologi Sapta Usahatani sebagai penyempurnaan Panca-Usahatani dengan pilar utama penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan responsif terhadap pemupukan hara N, P, dan K sebagai andalan utama revolusi hijau. Implementasi program Insus yang didukung oleh penyuluhan dan perbaikan infrastruktur pertanian mampu meningkatkan produksi padi secara signifikan dan menghantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1984 (Fagi et al. 2009).

Rekomendasi pemupukan padi sawah yang berlaku saat itu masih bersifat umum untuk semua wilayah Indonesia tanpa mempertimbangkan status hara tanah dan kemampuan tanaman menyerap hara (Sofyan et al. 2004). Sementara diketahui bahwa status hara P dan K lahan sawah bervariasi dari rendah sampai tinggi (Adiningsih et al. 1989).

Pemupukan P dan K secara terus-menerus sejak dikembangkan program Insus dan Supra Insus dengan 10 jurus paket D menyebabkan sebagian besar lahan sawah di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Lombok, dan Bali berstatus hara P dan K relatif tinggi (Sofyan et al. 2004). Selain itu penggunaan pupuk P dan K secara terus-menerus menyebabkan ketidakseimbangan hara di tanah. Ketidak seimbangan hara diduga sebagai penyebab terjadinya pelandaian produktivitas (leveling off) padi sawah. Kadar hara P dan K yang tinggi menyebabkan ketersediaan hara mikro seperti Zn dan Cu tertekan (Dobermann and Fairhurst 2000).

Rekomendasi Pemupukan Spesifik Lokasi

Konsep Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi (PHSL) telah dikembangkan sejak pertengahan tahun 1990-an, yang kemudian diteliti pada sekitar 200 lokasi lahan sawah irigasi di enam negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia

pada tahun 1997-2000 (Dobermann et al. 2002, Buresh

et al. 2010).

Penelitian manajemen pemupukan nitrogen (N) telah berubah: (1) dari pendekatan menekan kehilangan hara menjadi pemberian pupuk sesuai kebutuhan tanaman; (2) dari indikator utama recovery efficiency menjadi

agronomic efficiency, yaitu setiap kg kenaikan hasil gabah

per kg pupuk yang diberikan, dan partial factor productivity yaitu jumlah gabah yang dihasilkan untuk setiap kg pemberian pupuk; (3) dari rekomendasi yang bersifat umum menjadi rekomendasi berdasarkan respon tanaman dan efisiensi agronomi; dan (4) dari pemberian N yang berlebihan pada tahap awal pertanaman menjadi pemberian N sesuai stadia dan kebutuhan tanaman (Buresh 2007).

Perubahan ini mengharuskan pemberian pupuk berbeda dosis antar lokasi, musim tanam, dan varietas yang digunakan. Pemupukan spesifik lokasi memberi peluang untuk meningkatkan hasil per unit pemberian pupuk, mengurangi kehilangan pupuk, dan meningkatkan efisiensi agronomi pupuk (Zaini 2012).

Teknologi Pemetaan Status Hara P dan K Tanah

Peta status hara menggambarkan dan memberikan informasi tentang sebaran dan luasan status hara dalam suatu wilayah. Dari peta tersebut dapat diketahui berapa luas tanah yang mempunyai status hara rendah, sedang, tinggi, dan lokasinya. Peta status hara tanah skala 1:250.000 dapat digunakan sebagai dasar alokasi pupuk di tingkat provinsi, sedangkan peta status hara tanah skala 1:50.000 dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rekomendasi pemupukan tingkat kecamatan (Sofyan et al. 2004). Sebagian besar lahan sawah di Indonesia berstatus P sedang dan tinggi, sedangkan yang berstatus P rendah hanya 17% (Tabel 2).

Tabel 2. Status hara P tanah sawah skala 1:250.000 di beberapa pulau di Indonesia.

Status hara P (‘000 ha)

Pulau Total

Rendah Sedang Tinggi

Jawa 543 1.658 1.452 3.653 Sumatera 428 1.081 771 2.280 Kalimantan Selatan 146 164 155 465 Bali 2 16 74 92 Lombok 0 12 111 123 Sulawesi 152 312 433 897 Total 1.271 3.243 3.996 7.510

(7)

Kalium merupakan hara mikro ketiga yang dapat menjadi kendala bila hasil panen diangkut terus-menerus dan jerami tidak dikembalikan ke tanah. Pada lahan sawah yang digenangi selama pertumbuhan tanaman, ketersediaan K relatif tinggi karena perubahan dan pergerakan K terjadi secara cepat. Air irigasi yang mengandung K dan pengembalian jerami yang mengandung K cukup tinggi dapat memperkecil kemungkinan lahan sawah kahat K. Luas lahan sawah yang berstatus K rendah hanya 12% (Tabel 3).

Teknologi Petak Omisi

Petak Omisi atau minus satu unsur hara terdiri atas empat petak yaitu: (1) petak 0 N, yaitu petakan yang diberi pupuk

P dan K tanpa N, (2) petak 0 P, yaitu petakan yang diberi pupuk N dan K tanpa P, (3) petak 0 K, yaitu petakan yang diberi pupuk N dan P tanpa K, dan (4) petak NPK yaitu petakan yang diberi pupuk NPK (Abdulrachman et

al. 2003).

Pasokan hara asli tanah adalah jumlah hara tertentu yang tersedia dalam tanah yang berasal dari segala sumber (misalnya tanah, sisa tanaman, air irigasi), kecuali pupuk anorganik yang diberikan ke tanah, yang tersedia bagi tanaman selama musim tanam (Dobermann and Fairhurst 2000). Indikator pasokan hara dalam tanah yang praktis adalah hasil tanaman pada kondisi hara terbatas, yang dapat diukur dari hasil gabah pada petak omisi (misalnya hasil dengan keterbatasan N pada petak omisi yang dipupuk P dan K, tetapi tidak dipupuk N) (Abdulrachman et al. 2003).

Teknologi PHSL

Hasil penelitian PHSL telah dipublikasikan oleh Buresh

et al. (2006) dan Buresh et al. (2012) yang mengemukakan

bahwa penggunaan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi berpotensi meningkatkan hasil gabah sekitar 400 kg/ha/musim tanam. Hasil uji lapangan di delapan provinsi menunjukkan, dibandingkan pemupukan cara petani (FFP), penggunaan rekomendasi PHSL meningkatkan hasil gabah dari 200 kg/ha di Jawa sampai 600 kg/ha di luar Jawa serta meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp 1,1 juta di Jawa sampai Rp 2 juta di luar Jawa (Gambar 1).

Gambar 1. Rata-rata hasil gabah dan keuntungan usahatani padi dari penggunaan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75 petani di Jawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al. 2012).

Tabel 3. Status hara K tanah sawah skala 1:250.000 di beberapa pulau di Indonesia.

Status hara K (‘000 ha)

Pulau Total

Rendah Sedang Tinggi

Jawa 473 1.172 2.008 3.653 Sumatera 246 1.181 858 2.280 Kalimantan Selatan 66 261 138 465 Bali - - 92 92 Lombok - - 123 123 Sulawesi 90 197 609 897 Total 875 2.806 3.829 7.510

Sumber: Sofyan et al. 2005

Jawa

Luar Jawa

6,7

6,9

5,0

4,4

PHSL

Cara petani

Hasil gabah (kg/ha)

1.134.960

2.082.340

Jumlah petani:

Jawa = 75

Luar Jawa = 231

Jawa

Luar Jawa

(8)

Peningkatan hasil gabah diperoleh dengan penggunaan takaran pupuk yang lebih rendah. Dengan penggunaan PHSL rataan penggunaan pupuk N menurun dari 194 menjadi 94 kg/ha di Jawa dan dari 112 menjadi 85 kg/ha di luar Jawa. Penggunaan pupuk P menurun dari 34 menjadi 20 kg/ha di Jawa dan dari 33 menjadi 26 kg/ha di luar Jawa. Penggunaan pupuk K menurun dari 25 menjadi 18 kg/ha di Jawa tetapi tidak menurun di luar Jawa (Gambar 2).

Temuan ini menunjukkan peningkatan produktivitas padi sawah dapat dicapai dengan pemberian pupuk yang lebih rendah yang mengindikasikan dengan teknologi PHSL mampu meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dimana kenaikan hasil gabah per satuan pupuk makin meningkat.

PENGARUH PHSL TERHADAP LINGKUNGAN Pemakaian pupuk urea di tingkat petani seringkali melebihi dosis anjuran. Dalam perhitungan subsidi pupuk, dosis pemupukan urea yang dianjurkan pemerintah 200-250 kg/ ha, tetapi dalam prakteknya banyak petani menggunakan pupuk urea 350-500 kg/ha (Buresh et al. 2012).

Penggunaan pupuk secara berlebihan karena petani masih beranggapan bahwa pupuk urea sebagai sumber hara N mutlak diperlukan, sementara sumber hara lainnya seperti P dan K merupakan pupuk pelengkap.

Dari total pupuk urea yang diberikan hanya 50% yang dapat diserap oleh tanaman, sedangkan sisanya hilang

karena tercuci maupun menguap ke udara. Emisi gas N2O di lahan sawah meningkat nyata dengan semakin tingginya takaran pupuk N (Engel et al. 2010; Weller et

al. 2015). Terbentuknya N2O dipicu oleh kondisi hara N yang berlebihan di tanah pada kondisi tidak jenuh air (Sander et al. 2014). Keuntungan penerapan PHSL di antaranya menekan secara langsung emisi gas N2O karena pemberian pupuk N sesuai waktu dan jumlahnya. Pemberian N yang sesuai dengan kebutuhan tanaman akan mengurangi kelebihan sisa N dalam tanah (Gaihre

et al. 2014).

DISEMINASI REKOMENDASI PEMUPUKAN SPESIFIK LOKASI

Untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat desa, skala usaha petani yang tidak memadai menjadi faktor pembatas. Pendataan usahatani oleh Badan Pusat Statistik (BPS 2010) pada tahun 2009 menunjukkan kondisi pemupukan padi saat ini, di mana 53,6% kepemilikan lahan sawah tergolong kecil dari 0,5 ha dan 8,2% dari 15 juta rumah tangga petani tidak menggunakan pupuk. Kondisi kepemilikan lahan sawah yang kecil, menyebabkan manajemen pengelolaan lahan beragam antarpetani maupun antarhamparan sawah. Kondisi ini memerlukan teknologi yang tepat guna dan spesifik lokasi untuk usahatani lahan sawah.

Faktor kunci dalam peningkatan produksi padi nasional adalah air irigasi, varietas unggul, dan pupuk. Tidak seperti penyebaran varietas unggul baru, adopsi

Jawa

Luar Jawa

194

94

85

112

PHSL

Cara petani

Pupuk N

Jawa

Luar Jawa

34

20

26

33

PHSL

Cara petani

Pupuk P

Jawa

Luar Jawa

25

18

24

22

PHSL

Cara petani

Pupuk K

Gambar 2. Penghematan penggunaan pupuk N, P2O5, dan K2O dengan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75 petani di Jawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al. 2012).

(9)

teknologi pemupukan spesifik lokasi berjalan sangat lambat (Erythrina dan Zaini 2013, Erythrina et al. 2013). Di lain pihak, pupuk merupakan biaya produksi kedua terbesar dalam usahatani padi. Bila pupuk diberikan terlalu sedikit, terlalu banyak, atau pada waktu yang tidak tepat, maka tanaman tidak memberikan hasil yang tinggi sehingga tidak meningkatkan pendapatan petani.

Badan Litbang Pertanian telah mengembangkan beberapa alat atau piranti untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk pada padi sawah. Pemupukan P dan K berdasar hasil Perangkat Uji Tanah Sawah (soil test

kit) (Setyorini dan Abdulrachman 2008) atau Petak Omisi

(Abdulrachman et al. 2003), peta status hara P dan K (Sofyan et al. 2004) dan Kalender Tanam (Badan Litbang Pertanian 2014).

Rekomendasi pemupukan PHSL padi sawah yang dapat diakses melalui situs web http://webapps.irri.org/ nm/id diresmikan penggunaannya oleh Menteri Pertanian pada Januari 2011 di Jakarta. Teknologi PHSL dapat didiseminasikan melalui dua cara yaitu:

(1) Berbasis Web. Teknologi ini ditujukan untuk teknisi BPTP dan para penyuluh pertanian yang kantor BPPnya dilengkapi dengan fasilitas komputer dan internet. Dalam hal ini, penyuluh dapat mengakses http://webapps.irri.org/nm/id untuk menginput data dan outputnya adalah rekomendasi pupuk dalam bentuk tercetak, dapat diberikan kembali ke masing-masing petani.

(2) Berbasis Android. Teknologi ini juga ditujukan untuk penyuluh pertanian maupun petani yang mempunyai telepon pintar (smart phone) dengan fitur Android. Menggunakan telepon pintar, penyuluh pertanian mendatangi dan mewawancarai para petani secara

offline. Setelah semua pertanyaan terjawab,

informasinya dapat disimpan dalam telepon pintar tersebut. Bila telah terdapat signal ke internet, rekomendasi pemupukan dapat dikirimkan ke masing-masing telepon seluler petani melalui pesan sms.

PHSL SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RDKK

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI, No. 15/M-DAG/PER/4/ 2013, Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok tani (RDKK) adalah perhitungan rencana kebutuhan pupuk bersubsidi yang disusun kelompok tani berdasarkan luasan area yang diusahakan petani anggota kelompok tani dengan rekomendasi pemupukan berimbang spesifik lokasi, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian untuk penyelenggaraan pertanian. RDKK disusun oleh PPL, kemudian digabung

pada tingkat kecamatan oleh GAPOKTAN. Dokumen RDKK digunakan sebagai penyusun kebutuhan pupuk bersubsidi mulai dari kecamatan, kabupaten, dan provinsi kemudian diteruskan ke Kementerian Pertanian.

Penelitian lapangan menunjukkan RDKK tidak disusun oleh PPL sesuai luas lahan dan kebutuhan pupuk (Zaini 2012). Penyusunan RDKK yang tidak akurat menjadi permasalahan dalam penyaluran pupuk bersubsidi karena sering tidak sesuainya kebutuhan dengan ketersediaan pupuk yang meliputi tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu.

Teknologi pemupukan spesifik lokasi,baik yang menggunakan peralatan seperti Perangkat Uji Tanah Sawah atau Peta status hara P dan K maupun piranti lunak seperti Kalender Tanam dan PHSL, dapat digunakan sebagai alat bantu penyusunan RDKK. Dengan cara ini dapat diperhitungkan kebutuhan pupuk, baik berdasarkan individu petani maupun kelompok tani. Dana yang dialokasikan untuk penyusunan RDKK dapat dialihkan untuk pengadaan perangkat keras seperti komputer, printer, dan modem serta melatih para penyuluh pertanian di setiap Balai Penyuluhan Pertanian untuk bisa mengakses situs web pemupukan hara spesifik lokasi melalui internet. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian yang terdapat di setiap provinsi dapat mempercepat proses alih teknologi ini.

KESIMPULAN

1. Dengan teknologi pemupukan hara spesifik lokasi, penggunaan pupuk oleh petani dapat lebih rasional sesuai kebutuhan tanaman sekaligus meningkatkan produksi dan pendapatan petani.

2. Teknologi pemupukan spesifik lokasi, baik berupa peralatan maupun piranti lunak, dapat digunakan sebagai alat bantu penyusunan RDKK.

3. Penggunaan pupuk yang lebih rasional dan spesifik lokasi dalam jangka panjang diharapkan dapat menurunkan subsidi pupuk tanpa menurunkan produksi padi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S., C. Witt, dan T. Fairhurst. 2003. Petunjuk teknis pemupukan spesifik: implementasi petak omisi. Kerjasama IRRI, Balai Penelitian Tanaman Padi dan PPI/PPIC. Singapore. 33 hlm. Adiningsih, J.S., S. Moersidi, M. Sudjadi, dan A.M. Fagi.

1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Hlm. 63-89 Prosiding Lokakarya

(10)

Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung, 25 November 1988.

Badan Litbang Pertanian. 2014. Sistem Informasi Kalender Tanam Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 18 hal.

Badan Pusat Statistik (BPS). 2014. Produktivitas padi 1993-2013. http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php? kat=3&id_subyek=53&notab=0. 09 Oktober 2014. Badan Pusat Statistik (BPS). 2010. Pendataan usaha

tani padi, jagung, dan kedelai, 2009. Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Buresh, R. J. 2007. Fertile progress. Rice today. July-Sept. 2007. p 32-33.

Buresh R.J, D. Setyorini, S. Abdulrachman, F. Agus, C. Witt, I. Las, S. Hardjosuwirjo. 2006. Improving nutrient management for irrigated rice with particular consideration to Indonesia. pp 165-178. In Sumarno, Suparyono, Fagi AM, Adnyana MO (eds.) Rice Industry, Culture and Environment: Book 1. Proceedings of the International Rice Conference, 12-14 September 2005, Bali.

Buresh R.J., M.F. Pampolino, and C. Witt. 2010. Field-specific potassium and phosphorus balances and fertilizer requirements for irrigated rice-based cropping systems. Plant Soil. 335:35-64.

Buresh, R.J., Z. Zaini, M. Syam, S. Kartaatmadja, Suyamto, R. Castillo, J. dela Torre, P.J. Sinohin, S. S. Girsang, A. Thalib, Z. Abidin, B. Susanto, M. Hatta, D. Haskarini, R.Budiono, Nurhayati, M. Zairin, D. W. Soegondo, M. van den Berg, H. Sembiring, M. J. Mejaya, and V. B. Tolentino. 2012. Nutrient manager for rice: a mobile phone and internet application increases rice yield and profit in rice farming. Paper presented at International Rice Seminar, ICRR, Sukamandi.

Dijk, J.W. van. 1951. Plant, bodem en bemesting. J. B. Wolters, Groningen, the Netherlands.

Dobermann, A., and T. Fairhurst. 2000. Rice. Nutrient disorders & nutrient management. International Rice Research Institute and Potash & Phosphate Institute/ Potash & Phosphate Institute of Canada.

Dobermann, A., C. Witt, S. Abdulrachman, H.C. Gines, R. Nagarajan, T.T. Son, P.S. Tan, G.H. Wang, N.V. Chien, V.T.K.Thoa, C.V. Phung, P. Stalin, P. Muthukrishnan, V. Ravi, M. Babu, S. Chatuporn, M. Kongchum, Q. Sun, R. Fu, G.C. Simbahan, and M.A.A. Adviento. 2002. Site-spesific nutrient management for intensive rice cropping systems in Asia. Field Crops Res. 74:37-66.

Engel, R.D.C. Liang, and R. Wallander. 2010. Influence of urea fertilizer placement on nitrous oxide production from a silt loam soil. J. Environment Qual 39:115-125.

Erythrina dan Z. Zaini. 2013. Indonesia Ricecheck procedure: An approach for accelerating the adoption of ICM. Palawija 30(1):6-8.

Erythrina, A R. Indrasti, dan A. Muharam. 2013. Kajian sifat inovasi komponen teknologi untuk menentukan pola diseminasi pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. JPPTP. 17(1):45-55.

Fagi, A.M., C.P. Mamaril, dan M. Syam. 2009. Revolusi hijau. Peran dan Dinamika Lembaga Riset. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. International Rice Research Institute. 34 hlm.

Gaihre, Y.K., R. Wassmann, A. Tirol-Padre, G. Villegas-Pangga, E. Aquino, and B.A. Kimball. 2014. Seasonal assessment of greenhouse gas emissions from irrigated lowland rice fields under infrared warming. Agriculture, Ecosystems & Environment 184: 88-100.

Giessen, C. van der. 1942. Rice culture in Java and Madura. Central Research Institute for Agriculture, Bogor. Contribution No. 11.

Horie, T., T. Shiraiwa, K. Homma, K. Katsura, Y. Maeda, and H. Yoshida. 2004. Can yields of lowland rice resumes the increases that showed in the 1980s?. Paper on International Crop Science Congress. p. 1-24.

Kementerian Pertanian. 2012. Penyaluran pupuk bersubsidi, 2007-2012. Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana, Kementerian Pertanian.

Kesavan, P.C. and M.S. Swaminathan. 2006. From green revolution to evergreen revolution: pathways and terminologies. Current Sci. 91(2): 145-146.

Menko Perekonomian. 2011. Road map peningkatan produksi beras nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Nataatmadja, H., D. Kertosastro, dan A. Suryana. 1988. Perkembangan produksi dan kebijaksanaan pemerintah dalam produksi beras. Dalam Padi, Buku 1 (Ismunadji et al. eds). Puslitbang Tanaman Pangan, hlm. 37-53.

Rachman, B. 2011. Kajian harga pupuk di lima provinsi sentra padi. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Sander, B.O., M. Samson, and R.J. Buresh. 2014. Methane and nitrous oxide emissions from flooded rice fields as affected by water and straw management between rice crops Geoderma 235: 355-36.

(11)

Setyorini, D. dan S. Abdulrachman. 2008. Pengelolaan hara mineral teknologi tanaman padi. Padi: inovasi teknologi dan ketahanan pangan. Buku 1, hlm. 110-150.

Sofyan, A., Nurjaya, dan A. Kasno. 2004. Status hara tanah sawah untuk rekomendasi pemupukan.

Dalam: Tanah sawah dan teknologi pengelolaannya.

Hlm. 83-114. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Weller, S., D. Kraus, K.R.P. Ayag, R. Wassmann, M.C.R. Alberto, K. Butterbach-Bhal and R. Kiese. 2015. Methane and nitrous oxide emissions from rice and maize production in diversified rice cropping systems. Nutr. Cycl. Agroecosyst 101:37-53. Zaini, Z. 2012. Pupuk majemuk dan pemupukan hara

spesifik lokasi pada padi sawah. Iptek Tanaman Pangan 7(1):1-7.

(12)

Kontribusi Hara Sulfur terhadap Produktivitas Padi dan

Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Sawah

(Contribution of Sulfur to Rice Productivity and Atmospheric

Greenhouse Gases in Lowland)

A. Wihardjaka dan Poniman

Balai Penelitian Lingkungan Pertanian

Jl. Jakenan-Jaken Km 5 Kotak Pos 5 Jakenan Pati 59182 Jawa Tengah E-mail: awihardjaka@yahoo.co.id

Naskah diterima 20 Januari 2015 dan disetujui diterbitkan 22 Mei 2015

ABSTRACT

National food demand, especially rice increases in accordance with the rate of population growth. The availability of rice mostly is still relying on the intensification of irrigated and rainfed lowlands, through applying balance nutrients fertilization, including the management of sulfur (S). Sulfur as one of the essential nutrients, is required for protein and enzyme syntheses, amino acids formation and metabolic acticities in plants. However, the program of rice production increases is also impacting on the increase of atmospheric greenhouse gases. The objective of this paper was to discuss sulfur management on rice production system and its impact on greenhouse gas emissions in lowland rice areas in Indonesia. Sulfur fertilization of 20 kg S/ha along with the application of N, P, K fertilizers was considered adequate to provide better plant growth and to yield of 5 t grains/ha. Sulfur fertilization should be applied before active tillering phase by broadcasting on the surface of flooded lowland rice field to obtain higher efficiency of S fertilizer. Besides increasing crop yield, sulfuric fertilization on rice crop played a role in mitigating greenhouse gases emission. The sulfuric fertilizer application reduced atmospheric greenhouse gases (GHGs) release, especially CH4 and N2O from lowland rice. Balance sulfur fertilization could improve yield and grain quality of rice as well as mitigated greenhouse gas emissions from the lowland rice areas.

Keywords: Sulfur, paddy soil, grain yield, emission, greenhouse gas.

ABSTRAK

Kebutuhan pangan nasional terutama beras, terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Penyediaan beras masih mengandalkan intensifikasi lahan sawah beririgasi maupun tadah hujan melalui pemupukan berimbang, termasuk pengelolaan hara sulfur (S). Sulfur dibutuhkan untuk sintesis protein dan enzim, penyusun asam-asam amino, dan terlibat dalam aktivitas metabolisme tanaman. Di sisi lain, budidaya padi sawah dapat menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Tulisan ini membahas kontribusi pengelolaan hara S pada sistem produksi padi dan dampaknya terhadap emisi gas rumah kaca pada lahan sawah di Indonesia. Pemupukan 20 kg S/ha cukup memberikan pertumbuhan dan hasil gabah 5 t/ha, bersamaan dengan pemberian pupuk N, P, K. Pupuk S yang diberikan sebelum fase anakan aktif tanaman padi dengan cara disebar pada permukaa lahan sawah tergenang meningkatkan efisiensi pemupukan. Selain meningkatkan produktivitas tanaman, pemupukan S pada tanaman padi sawah berperan dalam mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK). Pupuk yang mengandung S dapat menekan pelepasan gas rumah kaca, terutama CH4, dan N2O dari lahan sawah ke atmosfer. Pemupukan S secara berimbang memperbaiki hasil dan kualitas gabah yang sekaligus sebagai upaya mitigasi emisi gas rumah kaca dari lahan sawah.

(13)

PENDAHULUAN

Kebutuhan pangan nasional terus meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk. Padi menjadi pangan utama bagi lebih dari 90% populasi Indonesia meskipun Pemerintah telah menggalakan diversifikasi pangan. Stabilitas produksi pangan nasional didukung oleh intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, antara lain pencetakan sawah baru di luar Jawa, penggunaan masukan sarana produksi tinggi seperti benih, bahan agrokimia (pupuk dan pestisida). Namun penggunaan masukan tinggi dan intensif dapat berdampak terhadap ketidakseimbangan ekologi, terjadinya ledakan hama dan penyakit di beberapa daerah, kekahatan hara, keracunan unsur kimia, pencemaran terhadap air dan tanah, dan berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (Kurnia 2008).

Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Salah satu sumber emisi GRK di sektor pertanian adalah budidaya padi sawah sebagai sumber metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O) (Johnson et al. 2007). Indonesia telah berkomitmen menurunkan emisi GRK sebesar 26% secara mandiri pada tahun 2020, dengan target penurunan emisi GRK dari sektor pertanian sebesar 0,008 Giga ton setara CO2 (Balitbangtan 2011). Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang rencana aksi nasional penurunan emisi GRK. Salah satu kegiatan yang mampu menurunkan emisi GRK di sektor pertanian adalah penerapan teknologi budidaya tanaman, antara lain penggunaan pupuk yang mengandung sulfur (S) (Sasa

et al. 2000).

Intensifikasi dan peningkatan produksi tanaman padi nyata meningkatkan penyerapan hara dari dalam tanah, serta diprediksi meningkatkan laju emisi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (van Groenigen et al. 2013). Di beberapa daerah di Indonesia, petani padi umumnya menggunakan pupuk NPK dengan takaran relatif tinggi, misalnya petani padi di Jawa yang umum menggunakan pupuk urea lebih dari 300 kg/ha (Chaerun dan Anwar 2008). Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan antara unsur hara yang diambil tanaman dan hara yang diberikan, sehingga memacu penurunan kesuburan tanah dan kekahatan hara tanaman tertentu, termasuk sulfur dan seng (Mamaril et

al. 1991, Zuzhang et al. 2010).

Dalam upaya peningkatan produksi padi, perhatian lebih besar seyogianya diberikan kepada pengelolaan hara berimbang, termasuk sulfur dan hara-hara esensial selain NPK. Dalam beberapa dekade terakhir jarang diteliti penggunaan hara sulfur bagi tanaman padi. Referensi yang berkaitan dengan pemupukan hara S umumnya terbit pada tahun 1970-80an. Tulisan ini membahas kontribusi hara S pada sistem produksi padi dan dampaknya

terhadap mitigasi emisi gas rumah kaca di lahan sawah di Indonesia.

PERAN SULFUR DALAM BUDIDAYA TANAMAN

Sulfur dalam Tanaman

Sulfur merupakan penyusun asam-asam amino esensial (sistin, sistein, methionin) yang terlibat dalam pembentukan klorofil, dan dibutuhkan dalam sintesis protein dan struktur tanaman (Mengel and Kirby 1987). Sulfur juga sebagai penyusun koenzim A dan hormon biotin dan thiamin yang dibutuhkan dalam metabolisme karbohidrat (Dobermann and Fairhurst 2000). Kahat S menghambat sintesis protein dan menurunkan kualitas produk tanaman. Lebih lanjut, asam-asam amino yang tidak mengandung S seperti asparagin, gluitamin, dan arginin terakumulasi pada tanaman kahat S yang berakibat pada buruknya aktivitas fotosintesis dan gula yang dihasilkan (Mamaril 1994).

Kahat S pada tanah sawah tergenang terjadi akibat konversi sulfat menjadi fero sulfida tidak larut. Ini menjelaskan mengapa banyak petani mendrainase lahannya dengan maksud untuk mengatasi masalah tersebut dan merangsang pertumbuhan tanaman. Melalui drainase, sulfida (bentuk S tereduksi) dioksidasi menjadi sulfat (bentuk S teroksidasi) yang tersedia bagi tanaman (Mamaril et al.1976).

Tanaman padi yang tumbuh pada tanah kahat S dalam percobaan rumah kaca mempunyai kandungan methionin yang lebih rendah dalam gabah daripada yang tumbuh pada tanah cukup S (Ismunadji and Miyake 1978). Hasil penelitian Juliano et al. dalam Mamaril (1995) menunjukkan kandungan sistein dan methionin dalam protein beras merah meningkat dengan pemberian S pada tanah kahat S di Bangladesh dan Indonesia. Kandungan sistein dan methionin rendah dalam protein teramati pada percobaan pot pada beras cokelat dengan nisbah N:S sebesar 16:25. Ini menjelaskan kandungan S dalam asam amino pada protein beras hanya terdeteksi bilamana ada kelebihan serapan N (Mamaril et al. 1991).

Pada percobaan pot dengan menggunakan contoh tanah Grumusol dari Ngale Jawa Timur dengan kandungan sulfur rendah, efektivitas pupuk ZA sama dengan K2SO4 dalam meningkatkan kandungan S tanaman padi pada batas normal. Tanaman tanpa pupuk S hanya mengandung 0,10-0,13% S, yang merupakan nilai batas kritis (Ismunadji et al. 1975).

Hara S kurang mobil dalam tanaman dibanding nitrogen, sehingga kahat S cenderung terlihat pertama

(14)

kali pada daun yang muda. Kahat S menyebabkan reduksi kandungan sistein dan methionin pada tanaman padi (Dobermann and Fairhurst 2000). Gejala kahat S pada tanaman padi umumnya terlihat dari menguningnya daun, tanaman tumbuh kerdil, anakan berkurang, pembungaan tertunda, jumlah gabah hampa tinggi, dan perpanjangan akar terhambat (Yoshida and Chaudhry 1979). Menurut Jones et al. (1982), gejala kekuningan tanaman tidak seragam dan biasanya terjadi selama tahap pertumbuhan awal (dua minggu setelah tanam hingga fase anakan maksimum) pada kondisi tanaman kahat S sedang. Pada fase anakan maksimum, gejala kuning mungkin hilang, tanaman cenderung pulih, menjadi lebih hijau, namun jumlah anakan berkurang.

Kahat S pada tanaman padi sering dilaporkan pada awal abad ke-21. Pada tahun 1970-an, penyakit padi yang disebut ‘mentek’ disebabkan oleh kahat S seperti yang terjadi di Ngale dan Magelang (Ismunadji et al. 1975). Mengapa kahat S pada tanaman padi tidak teramati hingga kini. Hal ini disebabkan karena pupuk yang mengandung S umumnya diberikan lebih awal. Pupuk beranalisis tinggi dan bebas S seperti urea dan TSP telah digunakan secara meluas. Penggunaan varietas padi berdaya hasil tinggi, peningkatan intensitas tanam, penurunan penggunaan pestisida dan fungisida mengandung S, pengendalian emisi SO2 lebih besar pada area industri, penurunan pendaurulangan biomassa dan penurunan pelepasan S tanah juga mendukung terjadinya peningkatan kahat S (Jones et al. 1982, Morris 1988).

Serapan Sulfur oleh Tanaman Padi

Tanaman umumnya menyerap S dalam bentuk SO42- dari

tanah. Namun, ada sejumlah bukti yang (menunjukkan tanaman juga dapat menggunakan SO2 dari atmosfer (Mengel and Kirby 1987). Komponen-komponen pool S dalam tanah yang memasok tanaman padi adalah S-SO4

2-dari larutan tanah dan yang dijerap partikel tanah, sedangkan bentuk ester-sulfat tersedia dalam jumlah yang kecil.

Banyaknya hara S yang diserap tanaman padi bergantung pada banyak faktor, di antaranya varietas, jumlah hara S dan N yang diberikan dan ketersediaan S di tanah, pengelolaan air, dan status hara lainnya di tanah. Sulfur total yang terangkut oleh tanaman padi berkisar antara 7,8-16,8 kg S/ha. Pada ekosistem sawah tadah hujan, serapan S total tanaman padi antarmusim tanam sangat beragam, di mana serapannya pada sistem gogorancah (padi musim hujan) lebih tinggi daripada pada sistem walik jerami (padi musim kering) seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil gabah yang tinggi tidak selalu diikuti oleh jumlah S total yang diangkut tanaman. Bagian hara S yang diambil tanaman lebih banyak terdapat jerami.

Percobaan rumah kaca yang dilaksanakan di Filipina menunjukkan jumlah hara S yang diambil tanaman padi berasal dari pupuk S yang diberikan berkisar dari 7,2-27,7%, bergantung pada tipe tanah dan takaran S yang diberikan (Cacnio and Mamaril 1990).

Respon Tanaman Padi terhadap Sulfur

Masukan S kebanyakan berasal dari penggunaan ammonium sulfat (24% S) atau superfosfat tunggal (12% S). Sulfur yang diberikan dengan takaran 20-40 kg S/ha relatif cukup untuk memperoleh hasil yang tinggi, namun keragaman tanggap tanaman bergantung pada tingkat kekahatan S, potensi hasil varietas, interaksi hara, takaran yang diberikan, dan efisiensi penggunaan S (Dobermann and Fairhurst 2000). Peningkatan hasil rata-rata dari 28 lokasi di Sulawesi Selatan akibat pemberian hara S adalah 19% (Blair et al. 1979). Pada percobaan multilokasi di Sulawesi Selatan, efisiensi penggunaan S berkisar antara 65-157 kg gabah/kg S, berbeda dengan efisiensi penggunaan S di tanah sawah tadah hujan di Jakenan, Jawa Tengah yang hanya 25-33 kg gabah/kg S (Mamaril dalam Dobermann et al. 1998). Di beberapa daerah, tanggap S tidak konsisten. Di Jakenan, Jawa Tengah, tanggap terhadap S konsisten selama musim kering, tetapi tidak pada tanaman musim hujan yang menghasilkan gabah lebih tinggi di lokasi yang sama (Mamaril dalam Dobermann et al. 1998).

Besarnya tanggap padi terhadap pemberian S bergantung pada beberapa faktor, yaitu (1) ketersediaan S dalam tanah, air irigasi dan hujan, (2) budi daya tanaman, (3) sumber S, (4) takaran, waktu dan metode pemberian, (5) pengelolaan air, dan (6) musim (Mamaril 1994). Tanggap tanaman padi terhadap hara S yang tidak konsisten dapat disebabkan oleh sumber S alami lain seperti air hujan, air irigasi, dan SO2 di atmosfer. Konsentrasi S dalam air hujan sangat beragam dan umumnya makin turun dengan meningkatnya jarak lokasi budi daya dari pantai atau kawasan industri (Lefroy et al. 1992). Yoshida (1981) melaporkan bahwa kandungan S Tabel 1. Serapan S total padi sawah tadah hujan di Jakenan, Jawa

Tengah.

Hasil Total Unsur S yang Pertanaman* gabah serapan S terangkut per (t/ha) (kg/ha) ton gabah (kg)

Gogorancah 4,9 11,5 2,34

(Musim Hujan)

Walik Jerami 3,1 7,8 2,52

(Musim Kemarau)

* Rata-rata dari tiga musim tanam Sumber: Mamaril (1994)

(15)

dalam air sungai dan irigasi di beberapa negara berkisar antara 0,2-4,7 ppm dengan rata-rata 4,1 ppm. Menurut Ismunadji (1982), 44% air irigasi yang diambil di Jawa mengandung kurang dari 2 ppm S. Yoshida dan Chaudhry (1979) menegaskan bahwa 2,7 ppm S dalam air irigasi cukup untuk memasok kebutuhan tanaman padi dengan asumsi tanaman membutuhkan 100 cm air hingga masak. Lebih lanjut, Lefroy et al. (1992) melaporkan takaran deposisi S dalam air hujan di negara penghasil padi berkisar antara 0,4-2,9 ppm S/m2. Daerah yang memiliki

curah hujan relatif tinggi mempunyai kandungan S tinggi, sehingga mengurangi kahat S.

Pada kondisi sawah tadah hujan dengan tekstur lempung pasir di Jawa Tengah, pemberian 20 kg S/ha ammonium sulfat meningkatkan hasil rata-rata 0,55 t/ha selama tiga musim tanam (Gambar 1). Peningkatan hasil diperoleh dari penggunaan ammonium sulfat selama fase awal pertumbuhan tanaman. Namun tanggap S di tempat yang sama hanya teramati selama musim tanam kedua di bawah kondisi tergenang. Tanaman padi gogorancah tidak tanggap terhadap pemberian pupuk S. Pupuk ZA yang diberikan 20 hari setelah padi gogorancah tumbuh tidak efektif meningkatkan hasil gabah. Padi gogorancah ditanam saat tanah tidak tergenang sehingga berpengaruh terhadap ketersediaan hara S bagi tanaman. Menurut Nearpass dan Clark dalam Mamaril (1995), penggenangan tanah sawah menurunkan ketersediaan hara S bagi tanaman, sehingga tanggap terhadap pemupukan yang mengandung S. Rendahnya ketersediaan hara S di tanah tergenang disebabkan oleh reduksi ion sulfat menjadi sulfida.

Pengelolaan Pupuk Sulfur di Lahan Sawah

Besarnya tanggap S juga dipengaruhi oleh pengelolaan pupuk S, seperti sumber, takaran, waktu dan metode

pemberian. Oleh karena tanaman umumnya menyerap S-SO42-, bahan yang mengandung bentuk S tersebut

seharusnya memilikiki efektivitas yang sama. Bahan yang mengandung S lain seharusnya juga efektif sepanjang dapat membuat kondisi tanah menguntungkan bagi transformasi sulfur menjadi bentuk S-SO42-, terutama

selama pada tahap awal pertumbuhan tanaman padi. Beberapa kajian lapangan menunjukkan bahwa ammonium sulfat (ZA) dan gipsum sama-sama efektif sebagai sumber S (Mamaril and Gonzales 1989, FAO 1989). Efektivitas S-elemen (So) dan bahan lain yang

mengandung So kurang konsisten dibandingkan dengan

bahan yang mengandung S-SO42-. Blair (1987) serta

Mamaril dan Gonzales (1988) melaporkan bahwa So

sama-sama efektif seperti ZA, tetapi S-bentonit yang mengandung So dilaporkan tidak efektif. Lebih lanjut,

bahan So yang diberikan 20 hari sebelum tanam, menurun

efektivitasnya (Blair et al. 1993). Sulfur tunggal seperti ZA juga tidak efektif pada percobaan lapang di Jawa Tengah (Wihardjaka et al. 1999). Pemberian ammonium sulfat meningkatkan hasil gabah 5,4% dibanding So.

Sebaliknya, bahan lain yang mengandung So dalam urea

S (US) efektif meskipun efektivitasnya lebih rendah daripada ZA, baik pada kondisi rumah kaca maupun di lapangan (Mamaril and Gonzales 1988).

Dalam beberapa laporan disebutkan bahwa pemupukan S dengan takaran 20-30 kg S/ha memberikan hasil gabah terbaik (FAO 1989), di mana setiap ton hasil gabah, tanaman menyerap rata-rata 2,3 kg S/ha. Menurut Cacnio dan Mamaril (1990), pemberian pupuk S dengan takaran 20 kg S/ha cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi menghasilkan gabah 5 t/ha.

Semua sumber pupuk S sama efektifnya sepanjang tersedia bagi tanaman (Blair et al. 1979). Hasil penelitian

Gambar 1. Pengaruh sumber dan waktu pemberian pupuk S terhadap hasil padi IR64 pada lahan sawah tadah hujan, Jakenan, Jawa Tengah. Rata-rata dari 3 musim tanam (Wihardjaka dan Suprapto 1997, Wihardjaka et al.1999).

Kontrol ZA S-elemen H as il gabah (t /h a) 1 0 2 3 4 5

6 Padi walik jerami

20 HST 5 HST 35 HST Kontrol ZA S-elemen H as il gabah (t /h a) 1 0 2 3 4 5 6 Padi gogorancah 20 HST 5 HST 35 HST

(16)

Tidak seperti N, pupuk S seharusnya diberikan pada permukaan tanah untuk memperoleh efisiensi pemupukan lebih tinggi. Pemberian hara S-SO42- pada lapisan reduktif

tanah sawah tergenang dimungkinkan terjadi reduksi menjadi sulfida dan dipresipitasikan oleh logam berat seperti Fe, sehingga kurang tersedia bagi tanaman padi. Sulfur yang diberikan pada lapisan tanah reduksi juga dapat divolatilisasi sebagai H2S. Demikian pula jika So

dibenamkan atau diberikan pada zona reduktif tidak akan dioksidasi dengan cepat dan menjadi tersedia bagi tanaman. Tanaman menyerap S lebih efisien jika So

diberikan pada zona reduktif karena sulfur dapat dioksidasi menjadi sulfat pada perakaran tanaman padi dan sulfat yang terbentuk kemungkinan tercuci relatif rendah (He et

al. 1994). Menurut Blair (1987), pembenaman So bubuk

halus ke dalam tanah tergenang tidak efektif seperti pemberian pada permukaan dalam meningkatkan hasil biomassa kering dan serapan S pada lima varietas padi yang diuji (IR20, IR2755, B4-62, IR26, Mudgo). Disimpulkan bahwa hara S dan N seharusnya tidak dikombinasikan dan diterapkan dengan cara yang sama di tanah sawah tergenang untuk memperoleh efisiensi yang tinggi dari penggunaan kedua hara tersebut, terutama bilamana tanah terlalu reduktif.

Di beberapa lokasi pengujian, pemberian S dalam bentuk amonium sulfat selain mengatasi kekahatan S juga sekaligus dapat meningkatkan efisiensi pupuk dan hasil padi sawah dan padi gogorancah masing-masing 10,8% dan 52,9% dibanding tanpa S (Bastari 1996). Pemberian hara S dalam ramuan pupuk NPK dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Untuk memperoleh 1 kg gabah kering giling, takaran pupuk NPKS lebih rendah dibandingkan dengan pupuk NPK saja (Tabel 3).

di Sulawesi Selatan menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh sumber pupuk S terhadap hasil gabah (Tabel 2). Pada satu lokasi, pemberian S-elemen 20 hari setelah tanam kurang menguntungkan dibanding diberikan pada saat tanam. Oksidasi awal S-elemen dan reduksi menjadi H2S pada 20 hari sebelum tanam menyebabkan penurunan hasil gabah (Blair et al. 1979).

Pemberian hara S mempengaruhi anakan tanaman padi. Dengan demikian pupuk S seharusnya diberikan antara awal fase pertumbuhan dan sebelum fase anakan maksimum (Dobermann and Fairhurst 2000, Singh et al. 2012). Pada fase anakan aktif, tanaman padi lebih aktif menyerap S. Jika S kurang tersedia pada awal pertumbuhan tanaman maka jumlah anakan berkurang dan hasil padi akan turun (Singh et al. 2012). Bilamana hara S terbatas, penambahan pupuk nitrogen tidak mengubah hasil dan kandungan protein dalam tanaman (Zuzhang et al. 2010). Kajian di Filipina dengan tiga waktu pemberian S berbeda memberikan keragaman dalam kemasakan tanaman padi (Mamaril et al. 1991). Pemberian So

(S-elemen) saat 30 HST pada tanaman padi varietas IR66 berumur pendek tidak memberikan banyak manfaat, namun tanggap S nyata tercapai bilamana gipsum diberikan 30 HST. Padi berumur genjah seperti IR64 memberikan tanggap yang nyata terhadap S, baik dalam bentuk So maupun gipsum setelah 30 HST. Pada varietas

berumur dalam seperti IR72, tanaman berumur 30 HST masih termasuk periode antara anakan aktif dan anakan maksimum, dimana tanaman masih tanggap terhadap pemberian S. Pada percobaan selama tiga tahun (enam musim tanam) di Jawa Tengah menggunakan varietas IR64 umur genjah (110 hari), pemberian ZA pada 35 HST menghasilkan gabah yang sama antara sistem walik jerami dengan perlakuan kontrol (0S). Pemberian ZA pada 20 HST masih menghasilkan gabah padi walik jerami lebih tinggi daripada kontrol (Gambar 1).

Tabel 2. Hasil padi pada lahan sawah dengan sumber S yang berbeda di Sulawesi Selatan.

Hasil gabah (t/ha) Perlakuan

Lokasi 1 Lokasi 2 Lokasi 3

Kontrol 0,96 a 3,88 a 3,33 a

Ammonium sulfat 2,72 b 5,21 b 4,72 c

Gipsum 2,62 b 4,85 b 4,61 c

S-elemen, saat tanam 2,68 b 5,25 b 4,55 c

S-elemen, 20 HST - - 4,11 b

Angka selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 menurut uji BNT.

HST = hari setelah tanam Sumber: Blair et al. (1979)

Tabel 3. Rata-rata jumlah pupuk yang digunakan untuk memperoleh 1 ton gabah kering giling pada beberapa lokasi di Indonesia. Jumlah pupuk yang Lokasi Tanaman digunakan (kg)

N P K S N P K

Jember Padi sawah 112 119

Bulukumba Padi sawah 125 139

Sidrap Padi sawah 66 94

Polmas Padi sawah 71 88

Sampang Padi gora 106 129

Bangkalan Padi gora 143 150

Limapuluh Koto Padi gora 123 154

Lampung Selatan Padi gora 148 193

Gowa Padi gora 80 100

Takalar Padi gora 144 152

Kampar Padi gora 221 226

Gora = gogorancah Sumber: Bastari (1996)

(17)

Peran Sulfur dalam Mitigasi Perubahan Iklim

Pada dekade terakhir, isu lingkungan yang menjadi perhatian dunia adalah pemanasan global dan perubahan iklim akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Budi daya padi sawah merupakan salah satu sumber pembentukan gas metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Kedua gas tersebut bersifat radiaktif di atmosfer bersama-sama CO2 (Partohardjono 2002). Gas metana menyokong 18-25% fenomena pemanasan global, di mana 25-50% dari total emisi metana global berasal dari lahan sawah (Bouman dalam Setyanto et al. 1997). Organisme pengoksidasi metana dapat menyebabkan tanah-tanah tertentu sebagai rosot (sink) metana (IPCC 1992). Gas dinitrogen oksida yang mempunyai waktu tinggal 150 tahun selain menyebabkan pemanasan global, juga dapat merusak lapisan ozon di stratosfer (Sasa et

al. 2000, Johnson et al. 2007).

Emisi metana dari lahan sawah tergenang adalah 40-50 Tg CH4/tahun atau mendekati 10% dari total emisi metana global (Dubey 2005). Pasokan air terkontrol dan persiapan lahan intensif di lahan sawah tergenang memberikan kontribusi terhadap perbaikan pertumbuhan padi yang menghasilkan dan emisi CH4 lebih besar. Teknik perbaikan pengelolaan air dapat mengurangi emisi dari lahan sawah, tetapi pengelolaan praktis yang dapat dikerjakan untuk mengurangi emisi CH4 tanpa meningkatkan kehilangan N dan mengurangi hasil belum dikembangkan. Pemupukan nitrogen yang mengandung S seperti ammonium sulfat yang diberikan tiga tahap (1/3 porsi sebelum tanam, 1/3 porsi pada fase anakan aktif, dan 1/ 3 porsi pada fase primordia bunga) dapat mengurangi emisi metana berkisar antara 43-61%, sedangkan urea tablet yang dibenamkan ke dalam lapisan reduksi tanah sawah menurunkan emisi metana sebesar 22-61% (Setyanto et al. 1999) (Tabel 4).

Pemupukan ZA dapat menggantikan pupuk urea pril pada padi sawah karena mampu mengurangi metana sebesar 28 kg CH4/ha dan meningkatkan hasil gabah 7,5%. Menurut Schultz et al. dalam Setyanto et al. (1999),

pupuk N yang mengandung S menyebabkan terjadinya persaingan antara bakteri penghasil metana (metanogen) dan bakteri pereduksi sulfat dalam memperoleh hidrogen, sehingga menghambat pembentukan metana. Terbentuknya ion sulfit sebagai hasil samping dari hidrolisis ZA memperlambat penurunan potensial redoks tanah akibat terjadinya proses oksidasi sulfit menjadi sulfat, sehingga Eh tanah cenderung lebih tinggi. Bagi bakteri penghasil metana, sulfit dan sulfat bersifat toksik (Jacobsen dalam Setyanto et al. 1999). Pemupukan ZA di lahan sawah mereduksi emisi metana 25-36% (Jain et

al. 2004).

Sebanyak 60-70% dari pupuk N yang diberikan hilang sebagai N dalam bentuk gas, terutama melalui proses volatilisasi NH3 dan denitrifikasi. Menurut Byrnes (1990), hampir 90% emisi gas N2O berasal dari tanah melalui reaksi biologi nitrifikasi-denitrifikasi selama periode tanah basah-kering secara bergantian. Pada sistem sawah irigasi dengan kontrol air yang tepat, emisi N2O biasanya kecil, kecuali jika pupuk N diberikan dalam jumlah yang berlebihan pada tanah sawah yang subur. Pada tanah berdrainase buruk, pelumpuran tanah sawah, nitrifikasi rendah berlangsung dan kehilangan NO3 tercuci biasanya < 10% dari pupuk N yang diberikan (Dobermann and Fairhurts 2000).

Peningkatan takaran pupuk N berpotensi mengakibatkan terjadinya kehilangan N lebih besar tanpa pengelolaan yang tepat. Rendahnya efisiensi pemupukan nitrogen menyebabkan pelepasan N dalam bentuk gas, terutama N2O menjadi tinggi. Namun pemberian pupuk N yang mengandung sulfur dalam bentuk ZA atau S-elemen dapat menekan pelepasan gas dinitrogen oksida ke atmosfer. Pemberian S-elemen (So) bersamaan dengan

115 kg N/ha pada lahan sawah tadah hujan di Jawa Tengah menurunkan emisi gas dinitrogen oksida 45-52%, meskipun tidak nyata mempengaruhi hasil gabah (Tabel 5). Penelitian Suharsih et al. (2001) juga menunjukkan penambahan hara S pada urea pril dapat menurunkan emisi gas dinitrogen oksida (Tabel 6). Penggunaan pupuk urea yang dilapisi sulfur selain meningkatkan efisiensi

Tabel 4. Emisi gas metana dan hasil gabah IR64 pada perlakuan pemberian pupuk N pada lahan sawah irigasi. Pati, 1998. Emisi gas metana

(kg CH4/ha) Hasil gabah (t/ha) kg CH4/t gabah Pemupukan1)

MH MK MH MK MH MK

Tanpa pupuk 207 185 3,15 3,79 66 49

Urea pril diberikan 3 tahap 186 174 5,81 4,76 32 36

ZA diberikan 3 tahap 175 164 6,68 5,86 26 28

Urea tablet 197 184 7,62 4,83 26 38

1) Pupuk N diberikan dengan takaran 120 kg N/ha, MH = musim hujan, MK = musim kemarau

(18)

pemupukan N juga mengurangi pelepasan gas dinitrogen oksida ke udara (Sasa et al. 2000).

Tantangan Penelitian Sulfur pada Padi Sawah

Selain kajian transformasi dan perilaku sulfur pada lahan sawah tergenang, juga perlu dilakukan penelitian dampak kahat S terhadap sistem pertanian berkelanjutan ramah lingkungan, daerah dan gejala kekahatan S, dan diperkuat oleh pengujian tanah atau analisis jaringan tanaman. Perbaikan penggunaan metode uji tanah untuk mengungkap status S perlu diusahakan pada berbagai agroekologi tanaman padi.

Terkait dengan tekanan populasi penduduk dan penurunan luas lahan untuk produksi pertanian, banyak negara menerapkan pertanian intensif dan diversifikasi untuk meningkatkan produksi pangan. Alternatif pola tanam melalui rotasi tanaman padi dengan tanaman palawija pada lahan sawah diharapkan dapat meningkatkan dinamika ketersediaan hara-hara esensial dalam tanah, termasuk S, sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan sebagai pertimbangan dalam strategi pengelolaan pupuk pada tanaman berbeda yang dirotasi.

Interaksi S dan hara-hara lain seperti NPK perlu mendapat perhatian lebih besar karena ketersediaan hara-hara tersebut dalam tanah menurun cepat, terutama pada pertanaman intensif.

Kontribusi S dari sumber-sumber alami seperti hujan dan irigasi pada lingkungan tertentu juga perlu mendapat perhatian. Hara S dari sumber-sumber alami telah dimanfaatkan oleh tanaman, sehingga dapat digunakan dalam menetapkan imbangan S yang sesuai untuk memperoleh produktivitas yang optimal.

KESIMPULAN DAN SARAN

1) Efektivitas pupuk yang mengandung S-SO42- sama

dengan bahan yang mengandung So. Pada kondisi

yang menguntungkan, So segera dapat dimanfaatkan

tanaman melalui transformasi So menjadi bentuk

S-SO42- pada perakaran tanaman padi. Pemberian hara

S dengan takaran 20 kg/ha bersamaan dengan pemberian pupuk lainnya (N, P, K) cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman padi dengan hasil gabah 5 t/ha di lokasi yang tanggap terhadap pemberian S.

2) Pupuk S disarankan untuk diberikan pada saat pertumbuhan tanaman padi antara fase anakan aktif hingga fase anakan maksimum. Pemberian S pada fase pertumbuhan anakan aktif lebih efektif diserap tanaman padi. Pemberian pupuk S disebar di permukaan tanah sawah tergenang memberikan efisiensi yang lebih tinggi daripada cara pemberian lainnya.

Tabel 5. Emisi gas dinitrogen oksida pada beberapa takaran S-elemen pada lahan sawah tadah hujan. Jakenan, 1999. Emisi gas N2O

Pemupukan (kg/ha/musim) Hasil gabah (t/ha) kg N2O/t gabah (kg S/ha)

MH MK MH MK MH MK

12 0,071 0,111 3,4 3,1 0,02 0,04

24 0,056 0,100 3,2 3,2 0,02 0,03

36 0,034 0,061 3,4 3,2 0,01 0,02

MH = musim hujan, MK = musim kemarau Sumber: Sasa et al. (2000)

Tabel 6. Emisi gas dinitrogen oksida pada pemberian urea dan belerang pada lahan sawah tadah hujan. Jakenan, 2000. Emisi gas N2O

(kg/ha/musim) Hasil gabah (t/ha) kg N2O/t gabah Pemupukan

MH MK MH MK MH MK

Urea pril 0,225 0,073 3,95 4,01 0,06 0,02

Urea pril + S 0,182 0,047 3,90 4,12 0,05 0,01

Tanpa pupuk 0,203 0,069 2,59 3,43 0,08 0,02

Takaran pupuk N dan S masing-masing 90 kg N dan 20 kg S/ha, MH = musim hujan, MK= musim kemarau Sumber: Suharsih et al. (2001)

(19)

3) Penggunaan hara S sulfur seharusnya mulai dimasukkan dalam paket pemupukan tanaman produksi padi di tingkat petani. Sulfur yang diberikan dalam bentuk ZA atau So dalam budidaya tanaman

padi sawah dapat mengurangi pelepasan gas metana dan dinitrogen oksida ke atmosfer. Sulfur berperan penting dalam mitigasi emisi gas rumah kaca di lahan sawah. Informasi emisi gas rumah kaca dari tanah sawah melalui penggunaan sulfur di Indonesia masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. 4) Uji tanah atau analisis jaringan tanaman dapat digunakan untuk diagnosis kahat S. Gejala kahat S yang terdeteksi cukup awal relatif mudah diatasi dengan menggunakan pupuk yang mengandung S, seperti urea yang diselimuti S (SCU), ZA, superfosfat tunggal, sebagai bagian dari paket pengelolaan hara terpadu dengan mempertimbangkan masukan S dari air hujan dan irigasi.

DAFTAR PUSTAKA

Balitbangtan. 2011. Road Map Strategi Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 89 p.

Bastari, T. 1996. Penerapan anjuran teknologi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. pp. 7-35

dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Pupuk.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. Blair, G.J. 1987. Nitrogen-sulfur interaction in rice. pp.

195-203 in Efficiency of Nitrogen Fertilizer for Rice. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines.

Blair, G.J., E.O. Momuat, and C.P. Mamaril. 1979. Sulfur nutrition of wetland rice. IRRI Res. Pap. Ser. No. 21. 29 pp.

Blair, G.J., R.D.B. Lefroy, N. Chinoim, and G.C. Anderson. 1993. Sulfur soil testing. Plant Soil 156: 383-386. Byrnes, B.H. 1990. Environmental effects of N fertilizer

use – an overview. Fertilizer Res. 26: 209-215. Cacnio, V.N. and C.P. Mamaril. 1990. Influence of

preplanting moisture regime and two sulfur sources on growth, yield and sulfur uptake of rice. The Nucleus 28: 1-2.

Chaerun, S.K. and C. Anwar. 2008. Dampak lingkungan penggunaan pupuk urea pada pembebanan n dan hilangnya kandungan n di sawah. Jurnal Pendidikan IPA 6(7): 1-8.

Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Rice: Nutrient disorders & nutrient management. PPI – PPIC – IRRI.

Dobermann, A., K.G. Cassman, C.P. Mamaril, and J.E. Sheehy. 1998. Management of phosphorus, potassium, and sulfur in intensive, irrigated lowland rice. Field Crops Res. 56: 13-138.

Dubey, S.K. 2005. microbial ecology of methane emission in rice agroecosystem: A review. Appl. Eco. Environ. Res. 3(2):1-27.

FAO. 1989. The sulphur newsletter No. 4. Fertilizer and plant nutrition service, FAO, Rome.

He, Z.L., A.G. Odonnell, J.S. Wu, and J.K. Syers. 1994. Oxidation and transformation of elemental sulphur in soils. J. Sci. Food. Agric. 65: 59-65.

IPCC. 1992. Methane emission and oppurtunities for control: Workshop Results of Intergovermental Panel on Climate Change. JAE & EPA. September 1991. Ismunadji, M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah. Tesis Doktor Fakultas Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Ismunadji, M. and M. Miyake. 1978. Sulphur application and amino acid content of brown rice. JARQ 12(3): 180-182.

Ismunadji, M., I. Zulkarnaini, and M. Miyake. 1975. Sulphur deficiency in lowland rice in Java. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 14.

Jain, N., H. Pathak, S. Mitra, and A. Bhatia. 2004. Emission of methane from rice fields: A review. J. Sci. Indust. Res. 63: 101-115.

Johnson, J.M.F., A.J. Franzluebbers, S.L. Weyers, and D.C. Reicosky. 2007. Agricultural opportunities to mitigate greenhouse gas emissions. Environmental Pollution 150: 107-124.

Jones, U.S., J.C. Katyal, C.P. Mamaril, and C.S. Park. 1982. Wetland rice-nutrient deficiencies other than nitrogen. pp. 327-378 in Rice Research Strategies for the Future. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines.

Mamaril, C.P. 1994. Contribution of sulphur research on rice production in Southeast Asia. Cooperative Depagri-IRRI Program. Bogor.

Mamaril, C.P. 1995. Zinc and sulphur nutrition for rice. Rice Management Biotechnology. Associated Publishing Co. New Delhi. pp. 135-146.

Mamaril, C.P., A.P. Umar, I. Manwan, and C.J.S. Momuat. 1976. Sulphur response of lowland rice in South Sulawesi, Indonesia. Contr. Centr. Res. Inst. Agric. Bogor No. 22: 12p.

Mamaril, C.P. and P.B. Gonzales. 1988. Response of lowland rice to S in the Philippines. pp. 70-76 in the Proceedings of the International Symposium on

Gambar

Tabel 3. Status hara K tanah sawah skala 1:250.000 di beberapa pulau di Indonesia.
Gambar 2. Penghematan penggunaan pupuk N, P 2 O 5 , dan K 2 O dengan teknologi PHSL dibandingkan pemupukan cara petani (75 petani di Jawa dan 231 petani di luar Jawa), 2011 (Buresh et al
Gambar 1. Pengaruh sumber dan waktu pemberian pupuk S terhadap hasil padi IR64 pada lahan sawah tadah hujan, Jakenan, Jawa Tengah
Gambar 2. Telur yang baru menetas (a), larva instar 1 (b), dan serangan parah pada daun (c).
+4

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu masih dengan memperhatikan asosiasi kedua unsur ini dapat diketahui pula asal batuan sumber dari sedimen-sedimen dimana mineral tersebut terakumulasi, karena

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di MTs Menaming seperti yang di uraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa, model Pembelajaran

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia, nikmat dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “ Penggunaan Zeolit dan Pupuk

Beberapa proses yang hadir dalam penciptaan karya adaptasi ini meliputi; proses me-resepsi naskah lakon Gathutkaca Lahir , proses mereinterpretasi, merekreasi, dan

dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Ayat di atas menjelaskan kepada manusia tentang hubungan thawaf dengan ka’bah. Thawaf merupakan salah satu rukun haji

Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan yang berkaitan dengan maksud ilokusi, yaitu saying something doing something .Dalam hal ini sebuah tuturan yang

Indeks Penjualan Eceran 33 Indeks Keyakinan Konsumen 33 Disposable lncome 33 Kredit Konsumsi 34 Pangsa Konsumsi Makanan dan Non Makanan 34 Harga Sewa/JualApartemen

Aplikasi verifikasi pemesanan tiket berbasis android ini dirancang dan dibangun dengan melalui beberapa tahapan yakni menganalisa data jadwal, data calon