• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada tahun 1755 Cantillon menyampaikan bahwa seorang entrepreneur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pada tahun 1755 Cantillon menyampaikan bahwa seorang entrepreneur"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

14

Pada tahun 1755 Cantillon menyampaikan bahwa seorang entrepreneur membuat keputusan berdasarkan sumber daya dan senantiasa mencari peluang terbaik agar memberikan hasil komersial yang setinggi-tingginya. Hal ini merupakan cikal bakal inovasi. Selanjutnya tahun 1803 Jean Baptiste Say mengombinasikan konsep Cantillon dan konsep Adam Smith yaitu seorang individu unik yang memengaruhi masyarakat melalui penciptaan perusahaan- perusahaan baru dan pada saat yang bersamaan dipengaruhi oleh masyarakat untuk menciptakan produk-produk inovatif (Kuratko, 2009). Pada era industri masa lalu, laju perubahan dapat diprediksi dan lingkungan kompetitif tidak intens. Selain itu, keunggulan kompetitif hanya berfokus pada perbaikan rutin dan efisiensi operasional dalam menjaga kualitas daripada berfokus pada inovasi. Sementara itu, perubahan dalam lingkungan bisnis saat ini terjadi dengan cepat dengan kompetisi yang sangat ketat, sehingga dibutuhkan inovasi dalam mengelola bisnis agar dapat berhasil dan menjadi pemenang dalam persaingan (Srivastava & Gupta, 2007).

Inovasi menjadi penting bagi perusahaan agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan kinerja bisnis yang superior, sehingga dapat bertahan dari tekanan persaingan yang berat (Kafetzopoulos & Psomas, 2013; Lawson & Samson, 2001; Rosenbusch et al., 2010). Jika berharap dapat bertahan selama masa-masa sulit, maka diperlukan kreativitas, kemampuan dinamis, penciptaan

(2)

pengetahuan, dan keterampilan baru sehingga terwujud baik produk, maupun proses baru (Esteve & Sanchez, 2012; Hana, 2013; Parthasarathy et al., 2011). Kemampuan dinamis untuk inovasi dibutuhkan dalam lingkungan bisnis yang cepat berubah dan kompetisi yang ketat, agar dapat menjadi pemenang dalam persaingan yang didasarkan pada sumber daya manusia dan/atau sumber daya material (Srivastava & Gupta, 2007; Parthasarathy et al., 2011).

Teori dynamic capabilities dipergunakan sebagai pedoman utama studi ini, teori ini sangat relevan mendukung penelitian inovasi yang berbasis kompetisi, sedangkan kajian lainnya mencakup teori dan kajian empiris tentang absorptive capacity, knowledge sharing, dan creative leadership. Teori dan kajian tersebut selanjutnya dijelaskan sebagai berikut.

2.1. Teori Dynamic Capabilities

Teori dynamic capabilities yang pertama kali dikembangkan oleh Teece dan Pisano (1994), terkait dengan kemampuan organisasi untuk mencipta; membentuk kembali; mengasimilasi pengetahuan dan keterampilan; tetap berada di depan dalam lingkungan persaingan yang selalu berubah dengan cepat.

Menurut Teece dan Pisano (1994), pengembangan sebuah paradigma diperlukan untuk menjelaskan bagaimana keunggulan kompetitif diperoleh dan dipertahankan. Perusahaan beralih pada strategi berbasis sumber daya, upaya untuk mengakumulasi aset teknologi berharga, dan pekerja dengan kekayaan intelektual yang agresif. Pemenang di pasar global menunjukkan respons perusahaan yang tepat waktu, produk inovasi yang fleksibel, didukung

(3)

kemampuan manajemen yang efektif mengoordinasikan dan menyebarkan kompetensi internal dan eksternal, yang membedakan perusahaan dengan perusahaan lain, mampu menciptakan sesuatu yang khas dan sulit ditiru.

Teori Dynamic Capabilities (Teece & Pisano, 1994) mengacu pada kemampuan dinamis sebagai sumber keunggulan bersaing, yang menekankan dua aspek. Pertama, istilah dinamis mengacu pada pergeseran karakter lingkungan, respon strategis tertentu, dan waktu yang diperlukan diterima pasar untuk mempercepat inovasi. Kedua, kemampuan menekankan peran kunci manajemen strategis beradaptasi dengan tepat, mengintegrasikan, dan rekonfigurasi keterampilan internal dan eksternal organisasi, sumber daya, dan kompetensi fungsional terhadap perubahan lingkungan.

Terdapat tiga kategori dalam membantu menentukan kapabilitas dinamis perusahaan, yaitu proses manajerial dan organisasi; posisi; serta jalur (Phipps et al. 2012; Teece & Pisano, 1994; Teece et al., 1997). Proses manajerial dan organisasi mengacu pada cara melakukan sesuatu di perusahaan, sebagai suatu rutinitas, pola praktik maupun pola belajar. Proses manajerial dan organisasi terdiri atas (1) integrasi, yang merupakan kemampuan manajer mengoordinasikan atau mengintegrasikan kegiatan di dalam perusahaan, dan seberapa efisien, dan efektif koordinasi internal maupun integrasi dapat dicapai; (2) belajar, adalah proses pengulangan dan eksperimentasi yang memungkinkan tugas dilakukan dengan lebih baik dan lebih cepat serta peluang untuk produksi baru akan teridentifikasi; (3) rekonfigurasi dan transformasi, yaitu perubahan merupakan hal yang mahal sehingga harus terjadi perubahan dengan hasil yang maksimal.

(4)

Posisi, postur strategis suatu perusahaan tidak hanya ditentukan oleh proses belajar perusahaan dan koherensi proses internal dan eksternal serta insentif, tetapi juga oleh lokasinya yang dihubungkan dengan aset bisnisnya. Aset pengetahuan merupakan aset yang tidak dapat diperdagangkan, merupakan

refleksi dari pikiran kreatif.

Jalur, melihat alternatif strategi yang tersedia untuk perusahaan dan daya tarik peluang yang terbentang di depan, ke arah mana perusahaan akan dibawa merupakan fungsi dari posisi saat ini dan jalur ke depan. Perubahan produk atau harga akan direspon secara cepat dengan pergerakan masuk dan keluarnya teknologi sesuai dengan kriteria untuk memaksimalisasi nilai.

2.2 A Dynamic Theory of Organizational Knowledge Creation

Pengetahuan semakin penting dalam masyarakat kontemporer. Pengetahuan dapat mengubah pemikiran tentang inovasi dalam organisasi bisnis, baik inovasi teknologi, inovasi produk, inovasi strategis, maupun organisasi. Ini menimbulkan pertanyaan bagaimana organisasi memproses pengetahuan dan lebih penting lagi bagaimana mereka menciptakan pengetahuan baru. Inovasi dipahami sebagai sebuah proses organisasi menciptakan pengetahuan, mendefinisikan masalah, aktif mengembangkan pengetahuan baru untuk menyelesaikan masalah (Nonaka, 1994). Diperlukan peran kepemimpinan yang dapat mendistribusikan dan mendukung aliran pengetahuan baru yang tercipta dalam organisasi, mempromosikan berbagi pengetahuan di antara unit-unit organisasi, juga memantaunya (Nonaka et el., 2006).

(5)

2.3 Inovasi

Ruang lingkup inovasi sangat luas. Terdapat dua bidang kajian inovasi, yaitu difusi dan adopsi (Damanpour,1991). Difusi inovasi merupakan pengomunikasian proses inovasi melalui saluran tertentu dari waktu ke waktu di antara para anggota suatu sistem sosial, terkait penyebaran pesan yang dianggap ide baru. Adopsi inovasi adalah konsep untuk memahami generasi, perkembangan, dan implementasi sebuah ide atau perilaku.

Menurut pendapat ilmuwan Gopalakrishnan dan Damanpour (1997), inovasi dapat dipahami sebagai suatu proses yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu generasi dan adopsi. Generasi inovasi didefinisikan dalam hal pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam pengembangan produk dan proses baru. Adopsi inovasi dipandang sebagai proses perubahan organisasi yang secara langsung memengaruhi sistem teknis dan sosial suatu organisasi. Proses adopsi terdiri atas dua tahap utama yaitu inisiasi dan implementasi. Tahap inisiasi terdiri atas semua kegiatan yang berkaitan dengan persepsi masalah, pengumpulan informasi, pembentukan sikap dan evaluasi, serta pencapaian sumber daya yang mengarah kepada keputusan untuk mengadopsi. Tahap implementasi terdiri atas semua peristiwa dan tindakan yang berkaitan dengan modifikasi dalam inovasi organisasi, pemanfaatan awal, dan penggunaan inovasi secara terus menerus, sehingga menjadi rutinitas organisasi. Amabile (1996) mendefinisikan inovasi sebagai keberhasilan mengimplementasikan ide-ide kreatif dalam organisasi.

Menurut pendapat para peneliti seperti Lawson & Samson (2001), inovasi merupakan mekanisme dalam organisasi untuk menghasilkan produk, proses, dan

(6)

sistem baru yang dibutuhkan agar dapat beradaptasi dengan perubahan pasar, teknologi, dan persaingan. Demikian pula Crossan & Apaydin (2010), menyatakan bahwa inovasi adalah kebaruan produksi atau adopsi, asimilasi, dan eksploitasi di bidang ekonomi dan sosial yang memberikan nilai tambah, pembaruan dan perluasan produk, jasa, dan pasar. Disamping itu, juga pengembangan metode produksi baru dan pembentukan sistem manajemen baru.

Inovasi dalam penelitian ini merupakan mekanisme untuk menghasilkan, baik produk, proses maupun sistem manajemen baru yang berasal dari ide-ide baru dengan memanfaatkan sumber daya yang ada. Disamping itu, penciptaan pengetahuan baru dari sumber pengetahuan eksternal agar dapat beradaptasi dengan perubahan pasar, teknologi, dan persaingan.

2.3.1 Pentingnya Inovasi

Saat ini pasar global ditandai dengan perubahan besar di bidang sosial, ekonomi, dan teknologi. Perubahan terjadi di mana-mana. Inovasi memfasilitasi proses adaptasi dengan banyak perubahan. Akibatnya, inovasi berperan dalam memelihara perekonomian, meningkatkan dan mempertahankan kinerja tinggi perusahaan dalam membangun daya saing industri, meningkatkan standar hidup, dan menciptakan kualitas hidup yang lebih baik (Gopalakrishnan & Damanpour, 1997). Kemampuan inovasi menggambarkan kemampuan inovator berperforma tinggi untuk mencapai kinerja yang efektif. Lawson dan Samson (2001) menyarankan penyelidikan lebih lanjut tentang inovasi dan variabel antesedennya.

(7)

Berdasarkan beberapa studi yang dapat diakses, dapat dipertanyakan apakah inovasi merupakan pendekatan yang selalu digunakan agar perusahaan menjadi lebih baik? Temuan Rosenbusch et al. (2010) menunjukkan bahwa inovasi berpengaruh positif terhadap kinerja UKM ketika mendedikasikan lebih banyak sumber daya untuk input proses inovasi (misalnya dana yang dikeluarkan untuk penelitian dan pengembangan). Hasilnya menunjukkan bahwa inovasi menyebabkan peningkatan besar dalam kinerja UKM.

Temuan studi yang dilakukan Kafetzopoulos dan Psomas (2013) juga menunjukkan bahwa kemampuan inovasi secara langsung memberikan kontribusi pada kualitas produk dan kinerja operasional, berpengaruh tidak langsung melalui peran moderasi kinerja operasional terhadap kinerja perusahaan. Crema et al. (2014) juga menemukan pengaruh strategi perusahaan terhadap inovasi dan kinerja UMKM.

Beberapa sumber inovasi menurut Drucker (2002) dan Kuratno (2009) yaitu: (1) kemunculan yang tak terduga, (2) incongruities, artinya sebuah keganjilan ketika terjadi kesenjangan antara harapan dan hasil dapat membuka kemungkinan untuk inovasi, (3) kebutuhan proses, (4) perubahan industri dan pasar, (5) perubahan demografi, peluang inovasi dimungkinkan oleh perubahan dalam jumlah orang, distribusi umur, pendidikan, pekerjaan, dan lokasi geografis, (6) perubahan persepsi, (7) pengetahuan baru.

(8)

2.3.2 Faktor Penentu Inovasi

Dalam memahami perilaku penerimaan organisasi dan mengidentifikasi faktor penentu inovasi perlu diketahui jenis inovasi. Terdapat tiga jenis inovasi inti yang mendapatkan perhatian luas, yaitu administrasi dan teknis, produk dan proses, serta radikal dan inkremental (Damanpour, 1991). Wang dan Ahmed (2004) mengidentifikasi lima bidang utama yang menentukan inovasi keseluruhan organisasi, yaitu (1) inovasi produk, (2) inovasi pasar, (3) inovasi proses, (4) inovasi perilaku, dan (5) inovasi strategi. Dari penelusuran beberapa studi sebelumnya diketahui bahwa dimensi inovasi yang harus dieksplorasi yang berhubungan dengan industri kerajinan perak di Celuk adalah inovasi produk dan inovasi proses. Dikatakan demikian, karena menurut Liao (2007) selain inovasi produk, harus dilakukan lebih banyak usaha pada perubahan prosedur karena siklus hidup produk menjadi lebih pendek. Disamping itu, efek inovasi manajemen tidak sejelas inovasi produk dan proses karena ruang lingkup inovasi manajemen yang dihadapi sangat luas. Perubahan manajerial baru membutuhkan perencanaan yang tepat dan pertimbangan konsekuensi.

Dalam penelitian ini dibahas inovasi produk dan inovasi proses, namun inovasi manajemen dituangkan dalam inovasi proses, oleh karena perubahan manajemen juga diperlukan pada industri kerajinan perak di Bali.

Determinan organisasi yang memengaruhi inovasi menurut Damanpour (1991) adalah spesialisasi, perbedaan fungsional, profesionalisme, formalisasi, sentralisasi, perilaku manajerial terhadap perubahan, sifat manajer. Selain itu, juga sumber daya pengetahuan teknis, intensitas administratif, keterbatasan sumber

(9)

daya, komunikasi eksternal, dan komunikasi internal. Anteseden inovasi yang ditemukan oleh Murat dan Baki (2011) yaitu top management support karena inovasi merupakan proses yang panjang dan kompleks sehingga manajemen puncak memiliki peran penting dalam keberhasilannya; creative capability, kreativitas merupakan kemampuan untuk mengembangkan ide atau produk/ jasa baru, berfungsi untuk tujuan pengembangan inovasi; organizational learning capability, organisasi belajar memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan situasi baru dan memperbarui diri sesuai dengan tuntutan lingkungan.

2.3.3 Indikator Inovasi

Terdapat tujuh indikator/butir pernyataan dimensi inovasi produk berdasarkan indikator yang dikembangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang & Ahmed (2004) yaitu pengenalan produk baru, produk baru dipersepsi sangat baru, sedikit perubahan pada produk baru, memunculkan pesaing baru, memperkenalkan produk yang lebih inovatif, lebih cepat meluncurkan produk baru, dan tingkat keberhasilan produk baru. Dimensi inovasi proses menjadi ujung tombak teknologi, teknologi alat produksi utama, investasi peralatan produksi baru, adopsi inovasi teknologi lambat, kegiatan riset dan pengembangan produk baru, proses produksi dibandingkan dengan pesaing utama, meningkatkan proses bisnis, metode produksi berubah lebih cepat, dan mengembangkan manajemen baru.

Wan et al. (2005) mengukur inovasi melalui jumlah produk baru atau proses yang dikembangkan oleh perusahaan dalam setahun. Perusahaan inovatif

(10)

diasumsikan akan mengembangkan lebih banyak produk dan proses baru dibandingkan dengan perusahaan non inovatif; persentase penjualan dikaitkan dengan produk baru atau proses; lebih banyak sumber daya dikeluarkan pada proyek-proyek penelitian dan pengembangan oleh perusahaan yang lebih inovatif. Butir-butir inovasi meliputi (1) jumlah produk atau proses-proses baru yang telah dikembangkan perusahaan selama tiga tahun terakhir (2) jumlah produk atau proses baru yang dikembangkan perusahaan dalam tahun berjalan.

Lin (2007) mengukur kemampuan inovasi perusahaan dengan menggunakan enam butir dan berfokus pada tingkat adopsi inovasi perusahaan. Keenam butir yang dimaksud adalah sering mencoba ide baru, mencari cara baru dalam melakukan sesuatu, kreatif dalam metode operasi, sebagai perusahaan pertama yang memasarkan produk dan layanan baru, dan pengenalan produk baru meningkat selama lima tahun terakhir. Liao (2007) mengukur inovasi perusahaan dengan menggunakan indikator/butir pernyataan pengembangan produk dan layanan baru diterima dengan baik oleh pasar, serta memiliki kemampuan yang lebih baik dalam penelitian dan pengembangan produk baru. Murat dan Baki (2011) mengukur inovasi dengan indikator berfokus pada inovasi produk dan berfokus pada inovasi proses. Pratoom & Savatsomboon (2012) mengukur inovasi dengan indikator mengintegrasikan teknologi baru dengan kearifan lokal.

Pengukuran inovasi dalam penelitian ini dilakukan pada tingkat unit bisnis karena unit mungkin memiliki prioritas strategis. Indikator/butir yang digunakan untuk mengoperasionalkan konstruksi terutama diadaptasi dari tujuh indikator/butir pernyataan dimensi inovasi produk, sembilan indikator dimensi

(11)

inovasi proses berdasarkan indikator yang dikembangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Wang & Ahmed (2004), karena indikator oleh peneliti lain yang tepat dipergunakan dalam penelitian ini juga mengacu indikator oleh Wang & Ahmed (2004), dapat dipergunakan dalam konteks knowledge sharing, creative leadership, dan absorptive capacity.

2.4 Creative Leadership

Berbagai faktor mempengaruhi perilaku inovatif. Salah satu faktor yang berperan paling penting dalam proses inovasi adalah kepemimpinan (Damanpour, 1991; Mumford et al., 2008). Denti dan Hemlin (2012) menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan bagian integral dari kinerja inovatif organisasi. Menurut Dahlgaard et al. (1997), diperlukan pemimpin visioner dan berani, bersedia menghadapi tantangan bagi perusahaan, dan tidak peduli risiko terjadinya kegagalan. Pemimpin harus dapat menerima kesalahan yang dilakukan oleh karyawan, tanpa penerimaan ini perubahan tidak mungkin terjadi. Untuk membangun pemahaman tentang creative leadership harus dimulai dengan membahas kepemimpinan.

2.4.1 Kepemimpinan

Zhang dan Sims (2005) dan Yukl (2010) mendefinisikan kepemimpinan sebagai pola perilaku seseorang yang memengaruhi entitas lain, seperti individu dan tim untuk memahami apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas dilakukan secara efektif. Selain itu, juga proses untuk memfasilitasi upaya mencapai tujuan bersama. Menurut Robbin dan Judge (2008), kepemimpinan

(12)

merupakan kemampuan memengaruhi suatu kelompok untuk mencapai sebuah visi atau serangkaian tujuan yang ditetapkan.

Kepemimpinan tidak selalu dikaitkan dengan sifat atau perilaku yang benar dan situasi yang benar. Namun lebih berkaitan dengan bagaimana para pemimpin melibatkan orang lain bersama-sama berpikir dalam cara-cara inovatif (Basadur, 2004). Kepemimpinan organisasi adalah sebuah kontradiksi (Seelos & Mair, 2012). Artinya inti kepemimpinan adalah rutinitas organisasi, perilaku konvensional, terikat oleh pengetahuan standar, moralitas, dan legalitas. Akan tetapi pada sisi lain harus keluar dari rutinitas, standar, dan kontemporer untuk menerapkan moralitas, pengetahuan, dan legalitas baru yang sangat berbeda.

Menurut Robbin dan Judge (2008: 83), terdapat dua teori kepemimpinan kontemporer yang memandang pemimpin sebagai individu yang memberikan inspirasi kepada para pengikutnya melalui kata-kata, berbagai ide, dan perilaku. Teori-teori tersebut adalah kepemimpinan karismatik, dan transformasional. Terkait dengan teori kepemimpinan, Max Weber merupakan ilmuwan pertama yang membahas kepemimpinan karismatik. Terdapat empat karakteristik pemimpin yang karismatik, yaitu memiliki visi, bersedia mengambil risiko pribadi yang tinggi untuk mencapai visi tersebut, sensitif terhadap kebutuhan bawahan, dan memiliki perilaku yang tidak konvensional.

Robbin dan Judge (2008: 83) serta Yulk (2010: 304) menyatakan bahwa kebanyakan teori terbaru dari kepemimpinan transformasional terpengaruh oleh teori yang disampaikan Burns (1978) yang membedakan antara kepemimpin transformasional dan transaksional. Peneliti yang pertama kali meneliti

(13)

kepemimpinan transformasional adalah Bass pada tahun 1985. Pemimpin transformasional menginsrpirasi para pengikutnya untuk mengutamakan kepentingan organisasi dan bekerja keras untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Disamping itu, juga memperhatikan kebutuhan pengembangan diri dan menyenangkan hati para pengikutnya. Artinya, melakukan sesuatu dengan cara yang baru. Pemimpin transaksional memotivasi para pengikutnya pada tujuan yang telah ditetapkan dengan cara memperjelas peran dan tugas mereka. Menurut pendapat Robbin dan Judge (2008:91) pemimpin yang paling baik memiliki sifat transaksional dan transformasional sekaligus.

Yang (2008) mengatakan bahwa saat ini organisasi membutuhkan pemimpin efektif yang memahami kompleksitas lingkungan global yang berubah dengan cepat. Menurut Zhang dan Sims (2005), pemimpin tertentu mungkin menggunakan prilaku lebih dari satu jenis. Ketika para pemimpin bertujuan merangsang prilaku inovatif anggota tim, mereka harus menggunakan perilaku kepemimpinan empowering untuk meningkatkan self-efficacy pengikut dan motivasi intrinsik melalui pemberdayaan. Pada saat yang sama mereka juga harus menggunakan perilaku kepemimpinan transformasional untuk mendorong pengikutnya menantang status quo dan memikirkan masalah lama dengan cara baru, memahami visi, menginspirasi pengikut, dan merangsang perubahan intelektual. Oleh karena itu, pemberdayaan kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap perilaku inovatif.

Kepemimpinan transformasional mampu meningkatkan inovasi. Hal itu berbeda dengan kepemimpinan transaksional yang justru menurunkannya (Gareth

(14)

dan Roger, 2011; Lee, 2008). Upaya pemimpin menggunakan kekuasaan, dan tekanan untuk mendorong inovasi cenderung sia-sia (Mumford et al., 2000). Cheung dan Wong (2011) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan positif dengan kreativitas karyawan. Kepemimpinan transformasional menjadi motor dan pemancar budaya inovatif yang berorientasi pada penyebaran pengetahuan untuk memperoleh kinerja terbaik organisasi (Morales et al., 2012).

Dimensi-dimensi kepemimpinan Transformasional menurut Avolio dan Bass (1995) terdiri atas empat dimensi dengan konsep “4I” yaitu :

(1) Idealized influence, yaitu perilaku pemimpin yang karismatik, menimbulkan rasa hormat (respect), sebagai panutan/teladan dan rasa percaya (trust) dari orang-orang yang dipimpinnya. Mengandung makna saling berbagi resiko, perilaku, moral dan etika.

(2) Inspirational motivation, tercermin dalam perilaku yang senantiasa mememberikan tantangan dan makna atas pekerjaan orang-orang yang dipimpin, termasuk di dalamnya adalah mampu menyampaikan ekspektasi yang jelas dan komit terhadap sasaran organisasi.

(3) Intellectual stimulation, pemimpin yang seantiasa menggali ide-ide baru dan solusi yang kreatif dari orang-orang yang dipimpinnya, mendorong pendekatan baru dalam pekerjaan, memandang masalah dari perspektif yang baru dan menolak status quo.

(4) Individualized consideration, yang direfleksikan oleh pemimpin yang selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, dan memberikan perhatian

(15)

khusus pada kebutuhan prestasi dan kebutuhan lainnya dari orang-orang yang dipimpinnya.

2.4.2 Kreativitas

Menurut Amabile (1997), kreativitas merupakan langkah pertama dalam inovasi. Kreativitas di tempat kerja dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan seseorang dalam menciptakan gagasan generasi baru atau kombinasi dari ide-ide yang telah ada ke dalam konsep baru yang berguna di dalam memecahkan masalah serta memuaskan kebutuhan pelanggan. Kreativitas merupakan dasar untuk perbaikan terus-menerus, sedangkan pembelajaran organisasi adalah dukungan untuk perbaikan terus-menerus (Dahlgaard et al., 1997). Selain itu, kreativitas juga dapat berarti menggunakan berbagai keterampilan yang merupakan diversifikasi dari kemampuan, pengetahuan, pandangan, dan pengalaman untuk menghasilkan ide-ide baru dalam membuat keputusan, pemecahan masalah, dan penyelesaian tugas dengan cara yang efisien (Cheung & Wong, 2011).

Jain dan Sharma (2012) menyatakan dimensi kreativitas terdiri atas empat yaitu kemampuan kreatif, asosiasi pendekatan pemecahan masalah, mengoptimalkan pendekatan pemecahan masalah dan ideation non-konvensional. Dimensi kemampuan kreatif terdiri atas kemampuan kreatif yang diukur dengan rasa ingin tahu, sensitivitas, kewirausahaan, berani, reality contact, dan kemandirian. Dalam penelitian ini dimensi kreativitas yang diadopsi adalah kemampuan kreatif yang diukur dengan rasa ingin tahu, kewirausahaan, berani,

(16)

reality contact, dan mandiri. Sensitivitas tidak diadopsi, namun diganti dengan individualized consideration dimensi kepemimpin transformasional.

Sebuah perusahaan akan berinovasi ketika manajer mengeluarkan potensi kreatif dengan memotivasi karyawan, mengalokasikan sumber daya, memungkinkan praktik manajemen yang tepat untuk membangun iklim organisasi yang kondusif untuk kreativitas. Di samping itu juga untuk mengoordinasikan, mendistribusikan, dan mempromosikan berbagi pengetahuan di antara unit-unit organisasi sehingga membantu memfasilitasi aliran pengetahuan dan mengalokasikan waktu khusus untuk pengembangan ide dan kreativitas (Basadur, 2004; Cokpekin & Knudsen, 2011; Denti & Hemlin, 2012; Matthew & Sternberg, 2006; Nonaka et al., 2006).

2.4.3 Creative Leadership

Menurut Dahlgaard et al. (1997), pemimpin kreatif adalah pemimpin penuh ide yang digunakan untuk memecahkan masalah dan perbaikan berkelanjutan, memiliki gambaran yang jelas tentang masa depan perusahaan dan memahami bagaimana bekerja efisien untuk mencapai visi. Pemimpin memiliki keberanian dan siap menanggung risiko kegagalan. Dia tidak takut mengintervensi konflik di antara staf. Sebagai pemimpin yang sangat inspiratif, intervensinya dalam konflik personel memberikan hasil yang baik. Menurut Tsai (2012), creative leadership adalah seorang pemimpin yang memiliki kemampuan berfikir dan bertindak out of the box, otonomi, berbagi keahlian baru agar mampu memecahkan masalah, merekonstruksi ide-ide baru menjadi inovasi.

(17)

Dari kedua pengertian creative leadership tersebut, maka dapat didefinisikan sebagai kepemimpinan yang penuh ide, berbagi keahlian baru untuk memecahkan masalah dan perbaikan berkelanjutan, serta memiliki kapasitas berpikir dan bertindak outside the box dalam melakukan inovasi.

2.4.4 Pentingnya Creative Leadership

Menurut Matthew dan Sternberg (2006), inovasi membutuhkan pemimpin kreatif yang memiliki pemahaman mengembangkan sumber daya untuk kreativitas, proses inovasi, dan lingkungan yang dipersyaratkan. Untuk melakukannya, seseorang harus (1) menghasilkan ide-ide yang tidak dipikirkan orang lain, (2) mengetahui apa yang telah dilakukan dan tidak dilakukan orang lain dalam bidang usaha (knowledge), (3) suka berpikir dan bertindak kreatif, (4) bersedia mengambil risiko dan mengatasi hambatan (kepribadian), (5) memiliki dorongan untuk bertindak atas ide-ide kreatif; dan (6) memilih lingkungan yang mendukung (Matthew & Sternberg, 2006).

Menurut Rickards dan Moger (2000), perilaku pemimpin kreatif terkait dengan peran fasilitator tim dalam pelaksanaan sistem pemecahan masalah kreatif tim desain dan tim pengembangan produk baru. Pemimpin kreatif selalu mengupayakan exploring shared knowledge. Perkembangan kepemimpinan kreatif yang efektif meliputi proses dua langkah. Pertama, pemimpin baik secara individual maupun kolektif, berhubungan dengan kemampuan berpikir kreatif mereka sendiri dalam rangka memahami dan menangani kompleksitas. Kedua, organisasi harus mengembangkan budaya kepemimpinan kreatif, yaitu iklim yang mempromosikan dan mengakui proses kreatif (Hort dan Vehar, 2012).

(18)

Temuan Mathisen et al. (2012), menunjukkan bahwa para pemimpin kreatif langsung meningkatkan kreativitas organisasi ketika menampilkan perilaku kreatif, yang akan meningkatkan iklim inovatif. Dalam lingkungan bisnis yang tidak stabil dan penuh ketidak pastian, tren berubah dengan cepat. Fleksibilitas dalam mengambil keputusan, mengambil pandangan yang berbeda, dan kemauan untuk mengambil risiko dengan ide-ide baru dan inovasi menunjukkan bahwa karakteristik pemimpin kreatif dapat membuat posisi organisasi bisnis menjadi baik (Bosiok & Sad, 2013).

2.4.5 Dimensi dan pengukuran Creative Leadership

Menurut Rickards dan Moger (2000), gaya kepemimpinan kreatif memiliki banyak kesamaan dengan kepemimpinan transformasional oleh Bass dan Avolio (1990, 1995). Kepemimpinan kreatif penting mengingat sisi gelap kepemimpinan karismatik yang disampaikan oleh Robbins dan Timothy (2008) bahwa tidak semua pemimpin yang karismatik bekerja demi kepentingan organisasi. Bahkan banyak yang menggunakan kekuasaan untuk membangun perusahaan sesuai dengan citra mereka sendiri. Mereka tidak suka dikritik, dikelilingi oleh orang-orang yang senantiasa patuh, dan menciptakan iklim yang membuat orang takut menentangnya. Menurut Mesu et el. (2013), meskipun banyak digunakan, konsep kepemimpinan transformasional menciptakan beberapa masalah. misalnya dari perspektif teori, perbedaan antara pengaruh ideal/karisma dan inspiratif motivasi terdapat masalah karena para pemimpin karismatik cenderung menginspirasi orang melalui visi.

(19)

Sehubungan dengan itu maka, dimensi-dimensi creative leadership pada industri kerajinan perak sebagai agen utama dalam penelitian ini perlu dikembangkan dengan mensintesis dan mengombinasikan dimensi kepemimpinan transformasional menurut Bass (1990), Avolio dan Bass (1995) yang meliputi empat dimensi dengan konsep “4I” dengan dimensi kemampuan kreatif oleh Jain dan Sharma (2012) menjadi tiga dimensi. Artinya idealized influence, dan

intellectual stimulation disintesis menjadi dimensi kemampuan kreatif seperti berikut ini.

(1) Kemampuan kreatif diukur dengan pemimpin memiliki rasa ingin tahu yang besar, memiliki kemampuan kewirausahaan, yaitu menggabungkan berbagai masukan/faktor secara inovatif untuk menghasilkan nilai kepada pelanggan, dan saling berbagi risiko. Reality contact mengambil inisiatif dalam mencari tahu kendala operasi dan mengelola krisis dengan keyakinan. Mandiri, yaitu percaya diri ketika beroperasi dalam situasi asing dan menolak status quo, serta berani.

(2) Inspirational motivation tercermin dalam perilaku pemimpin yang senantiasa menyediakan tantangan dan makna atas pekerjaan orang-orang yang dipimpin, termasuk di dalamnya mampu menyampaikan ekspektasi yang jelas. Selain itu, komit terhadap sasaran organisasi dan menyampaikan visi yang menarik agar bawahan menjadi fokus.

(3) Individualized consideration, yaitu pemimpin selalu mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan perhatian khusus pada kebutuhan

(20)

prestasi orang-orang yang dipimpinnya, serta peka terhadap perasaan dan minat orang lain.

2.5 Knowledge Sharing

Inovasi merupakan dasar untuk keunggulan kompetitif, sedangkan pengetahuan merupakan dasar untuk inovasi. Sebuah organisasi harus fokus pada perluasan basis pengetahuan organisasi, baik dengan cara belajar dari orang lain maupun menciptakan pengetahuan baru (Srivastava & Gupta, 2007). Hal ini didukung oleh Grant (1996) yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan sumber daya paling strategis yang dimiliki organisasi. Pengetahuan harus memiliki karakteristik dapat dipindahkan, dan berbagi pengetahuan merupakan wujud karakteristik ini. Knowledge sharing sebagai sarana dasar, yaitu karyawan dapat saling bertukar pengetahuan dan berkontribusi terhadap aplikasi pengetahuan, inovasi, dan akhirnya kepada keunggulan kompetitif organisasi (Wang & Noe, 2010). Inovasi teknologi perusahaan dapat menurunkan biaya sekaligus meningkatkan diferensiasi. Penurunan biaya dapat diperoleh melalui biaya patungan aset tak berwujud seperti berbagi pengetahuan (Porter, 2008).

Potensi munculnya ide-ide baru dari bekal pengetahuan yang dimiliki setiap perusahaan praktis tak terbatas, terutama jika orang-orang di perusahaan diberikan kesempatan untuk berpikir, belajar, dan berbicara satu sama lain. Organisasi dapat secara efektif mengelola sumber daya pengetahuan saat karyawan bersedia bekerja sama dengan rekan-rekan untuk menyumbangkan pengetahuan bagi perusahaan (Davenport & Prusak, 1998). Pengetahuan dapat

(21)

dikelola dalam organisasi melalui knowledge management (Srivastava and Gupta, 2007). Knowledge management (KM) muncul pada awal tahun 1990-an, karena terdapat kesulitan menghadapi kompleksitas persaingan dalam lingkungan yang semakin meningkat yang dipicu oleh kecanggihan teknologi dan tuntutan pelanggan. KM bermanfaat untuk kepentingan manajer dalam mengembangkan kompetensi inti, transfer pengetahuan, sehingga informasi dalam suatu organisasi dapat dikelola (Beijerse, 2000; Kalpicˇ& Bernus, 2006). Upaya knowledge sharing merupakan proses sentral dari KM, dapat meningkatkan kinerja inovasi dan mengurangi biaya pembelajaran berlebihan (Calantone et al., 2002; Matzler & Mueller, 2011).Seperti halnya perusahaan besar, perusahaan kecil juga mengelola pengetahuan, tetapi melalui proses informal, bukan formal. UMKM harus memiliki kemampuan mencari dan berbagi pengetahuan (terutama melintasi batas perusahaan), mensintesis pengetahuan yang sudah ada, dan menggunakan kembali atau menerapkan pengetahuan baru (Hutchinson, 2008).

Menurut Hendriks (1999), knowledge sharing merupakan sesuatu yang terkait dengan komunikasi. Untuk membangun pemahaman tentang knowledge sharing dimulai dengan membahas definisi akarnya, yaitu pengetahuan (Sharratt & Usoro, 2003). Davenport dan Prusak (1998), pengetahuan adalah gabungan yang mudah berubah (fluid) antara pengalaman, nilai-nilai, dan kontekstual informasi. Kalpic dan Bernus (2006) menyatakan bahwa pengetahuan dibuat dari data yang menjadi informasi sebagaimana ditafsirkan dan diingat oleh orang dengan keterampilan yang diberikan, pengalaman, dan kemampuan.

(22)

Sharing adalah suatu proses, yaitu sumber daya diberikan oleh satu pihak dan diterima oleh orang lain. Proses ini memfasilitasi penciptaan pemahaman yang diperlukan oleh penerima dan memungkinkan pengembangan solusi suatu masalah (Sharratt & Usoro, 2003). Seseorang akan menyumbangkan pengetahuannya apabila memiliki pengalaman berbagi dan tertanam dalam struktur jaringannya (Wasko & Faraj, 2005). Knowledge sharing terjadi pada tingkat individu dan organisasi. Tingkat individu, knowledge sharing terjadi dengan jalan berbicara kepada rekan-rekan untuk membantu mereka bekerja dengan lebih baik, lebih cepat, atau lebih efisien. Untuk sebuah organisasi, knowledge sharing adalah memperoleh, mengatur, menggunakan kembali, dan mentransfer pengalaman berdasarkan pengetahuan yang dimiliki organisasi dan menyediakan pengetahuan bagi orang lain dalam bisnis (Lin, 2007).

Dalam penelitian ini definisi knowledge sharing merupakan kombinasi pendapat para ahli (Hendriks, 1999; Lin, 2007; Sharratt & Usoro, 2003), yaitu suatu proses pertukaran informasi, pengetahuan, dan keterampilan, yang meliputi pemberian maupun penerimaan.

2.5.1 Pentingnya knowledge sharing

Pengetahuan merupakan sumber daya kritis organisasi yang memberikan keunggulan kompetitif berkelanjutan dalam persaingan dan ekonomi yang dinamis (Wang & Noe, 2010). Peran pengetahuan yang paling penting yaitu terkait penciptaan nilai (Grant, 1996, Tsai, 2001). Produksi memerlukan upaya terkoordinasi setiap individu yang memiliki berbagai jenis pengetahuan agar memiliki keterampilan yang saling melengkapi. Di sisi lain organisasi harus

(23)

menekankan dan lebih efektif mengeksploitasi sumber daya berbasis pengetahuan yang sudah ada dalam organisasi (Davenport & Prusak, 1998; Grant, 1996). Upaya knowledge sharing merupakan sarana dasar bagi karyawan agar dapat memberikan kontribusi untuk inovasi, yang dapat meningkatkan kinerja perusahaan (Wang & Wang, 2012). Knowledge sharing berkaitan dengan pengurangan biaya produksi, penyelesaian proyek lebih cepat pada pengembangan produk baru, kemampuan inovasi, dan kinerja perusahaan. Dukungan manajemen dan pengawas sangat penting untuk keberhasilan knowledge sharing di antara karyawan Wang dan Noe (2010).

2.5.2 Proses Knowledge Sharing

Pengetahuan organisasi diciptakan melalui dialog berkelanjutan antara pengetahuan implisit dan eksplisit. Pengetahuan baru dikembangkan oleh individu, sedangkan organisasi memainkan peran penting dalam mengartikulasikan dan memperkuat pengetahuan. Terdapat empat proses dinamis pengetahuan (SECI) menurut Nonaka (1994). Pertama sosialisasi, yaitu proses mentransfer pengetahuan tacit antar individu melalui observasi dan bekerja dengan mentor atau individu yang lebih terampil atau berpengalaman (berbagi pengalaman). Kedua eksternalisasi, yaitu proses seseorang mengubah pengetahuan tacit menjadi pengetahuan eksplisit melalui dokumentasi, verbalisasi, dll. Ketiga kombinasi, yaitu proses pengetahuan eksplisit yang baru diciptakan melalui kombinasi pengetahuan eksplisit lainnya yang sudah ada ke dalam pengetahuan sistemik seperti satu set spesifikasi untuk prototipe produk baru. Keempat internalisasi, yaitu proses seorang individu menginternalisasi

(24)

pengetahuan eksplisit untuk menciptakan pengetahuan tacit dan pengetahuan operasional seperti know-how.

Dalam inovasi diperlukan orang-orang dengan pengetahuan dan spesialisasi yang berbeda dan dibentuk menjadi tim lintas fungsional (Grant, 1996). Xu et al. (2010) berpendapat bahwa tim yang terdiri atas beragam pemangku kepentingan untuk inovasi harus diintegrasikan, tidak hanya menyediakan ruang fisik untuk berkomunikasi dan berkolaborasi, tetapi juga menciptakan iklim dan budaya yang mendorong inovasi berkelanjutan.

Knowledge sharing disederhanakan menjadi dua subproses (Hendriks, 1999), yaitu sebagai berikut.

1) Knowledge sharing merupakan tindakan eksternalisasi oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan. Eksternalisasi dapat berwujud dalam banyak bentuk, termasuk melakukan tindakan berdasarkan pengetahuan, menjelaskan dalam ceramah.

2) Knowledge sharing dianggap tindakan internalisasi oleh mereka yang ingin memperoleh pengetahuan. Internalisasi juga dapat terjadi dalam bentuk yang berbeda, termasuk learning by doing, membaca buku.

Knowledge sharing harus didukung oleh kemampuan menyerap pengetahuan. Jika tidak, pengetahuan tidak akan ditransfer. Dalam rangka memanfaatkan pengetahuan eksternal, seseorang membutuhkan kemampuan untuk internalisasi dan kemudian menggabungkan informasi dan wawasan baru dengan basis pengetahuan yang ada Davenport dan Prusak (1998). Jika mereka mengambil keuntungan dari pengetahuan, harus diwujudkan dalam produk dan

(25)

proses. Dengan demikian, perusahaan memerlukan struktur, proses, dan alat-alat untuk akuisisi informasi, penciptaan, dan pemanfaatan pengetahuan (Jantunen, 2005; Wang, Z. & Wang, N.2012).

2.5.3 Dimensi dan pengukuran knowledge sharing

Hooff dan Weenen (2004), membagi knowledge sharing menjadi dua dimensi yaitu: donating (menyumbangkan) pengetahuan, dan collecting (mengumpulkan) pengetahuan. Kemampuan KS dapat dikategorikan menjadi tiga dimensi, yaitu kesediaan untuk berbagi pengetahuan, kemampuan untuk belajar, dan kemampuan untuk mentransfer pengetahuan (Mathuramaytha, 2012). Pada tahapan operasional, organisasi perlu merangsang dan meningkatkan modal pengetahuan dan memberikan pekerja mereka sarana yang memadai untuk berkomunikasi dan berbagi informasi (Nonaka & Takeuchi,1995; Prajogo & Ahmed, 2006).

Dalam penelitian ini dimensi knowledge sharing yang diadopsi adalah oleh Hooff dan Weenen (2004), terdiri atas dua dimensi yaitu knowledge donating dan knowledge collecting.

a. Knowledge donating yaitu proses menyumbangkan pengetahuan oleh pemimpin, karyawan, maupun orang lain. Adapun indikator knowledge donating adalah suatu proses dimana pemimpin memberikan pengetahuan baru yang dimilikinya kepada karyawan, demikian juga diantara sesama karyawan, bersedia memberikan pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain di luar perusahaan.

(26)

b. Knowledge collecting yaitu proses mencari pengetahuan oleh pemimpin maupun karyawan dari orang lain. Adapun indikator knowledge collecting adalah karyawan memberitahu ketika ditanya, mencari bantuan ketika tidak dapat memecahkan masalah, dan aktif mengumpulkan pengetahuan.

2.5.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Knowledge Sharing

Sharratt dan Usoro (2003) mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi knowledge sharing, antara lain struktur organisasi, kemudahan penggunaan dan kegunaan sistem informasi, kepercayaan berdasarkan kebajikan, kompetensi, dan integritas masyarakat. Di samping itu, dirasakan mempunyai kedekatan dengan upaya knowledge sharing untuk kemajuan karier, rasa kebersamaan, dan nilai kongruensi organisasi. Menurut Seidler-de and Hartmann (2008), iklim keterbukaan dan kepercayaan antar anggota organisasi merupakan kondisi dasar pembentukan pengetahuan tacit, yang dibagi dan digunakan dalam proses inovasi. Salah satu sumber utama dari sukses knowledge sharing adalah kemampuan organisasi untuk belajar atau memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan dari organisasi lain (Lee, 2001).

2.6 Absorptive Capacity

Sumber pengetahuan dari luar sangat penting untuk proses inovasi. Artinya kemampuan untuk memanfaatkan pengetahuan eksternal merupakan komponen kritis kemampuan inovatif. Sebuah organisasi membutuhkan pengetahuan terkait sebelum mengasimilasi dan menggunakan pengetahuan baru yang disebut sebagai absorptive capacity (Cohen & Levinthal, 1990).Pengalaman belajar sebelumnya

(27)

dapat memengaruhi kinerja berikutnya. Kemampuan belajar melibatkan pengembangan kapasitas untuk mengasimilasi pengetahuan yang ada, sedangkan kemampuan memecahkan masalah merupakan kapasitas untuk menciptakan pengetahuan baru. Kepemilikan pengetahuan dan keterampilan yang relevan sebelumnya akan menimbulkan kreativitas. Absorptive capacity tidak hanya mengacu pada akuisisi atau asimilasi informasi oleh sebuah organisasi, tetapi juga merupakan kemampuan organisasi untuk memanfaatkannya. Oleh karena itu, absorptive capacity organisasi tidak hanya tergantung pada apa yang langsung dihadapi dengan lingkungan eksternal, tetapi pengetahuan seluruh individu juga diperlukan untuk komunikasi internal. Hal ini penting karena keragaman struktur pengetahuan seluruh individu akan bermanfaat bagi keanekaragaman pengetahuan dalam diri seseorang. Selain itu struktur pengetahuan yang beragam akan menyebabkan terjadinya proses pembelajaran untuk pemecahan masalah yang menghasilkan inovasi (Cohen & Levinthal, 1990).

Lebih lanjut Zahra dan George (2002), yang mengutip pendapat Cohen dan Levinthal (1990) bahwa absorptive capacity merupakan sebuah konsep yang luas, yaitu mencakup kapasitas keseluruhan perusahaan untuk belajar, menerapkan pengetahuan baru, menyebarluaskan pengetahuan baru secara internal, dan membuat sumber daya baru, termasuk teknologi baru. Zahra dan George (2002) mendefinisikan absorptive capacity (ACAP) sebagai seperangkat rutinitas dan proses organisasi, sehingga bisa memperoleh, mengasimilasi, mentransformasi dan mengeksploitasi pengetahuan untuk menghasilkan kemampuan organisasi yang dinamis. Absorptive capacity adalah fungsi dari

(28)

sumber daya organisasi yang ada, seperti pengetahuan tacit dan eksplisit, rutinitas, kompetensi manajemen, dan budaya.

Definisi absorptive capacity dalam penelitian ini mengacu pada definisi oleh Zahra dan George (2002), yaitu seperangkat rutinitas dan proses organisasi dimana perusahaan dapat memperoleh, mengakuisi, mengasimilasi, mentransformasi, dan mengekploitasi pengetahuan untuk menghasilkan organisasi yang dinamis.

2.6.1 Pentingnya Absorptive Capacity

Lane dan Lubatkin (1998) menyampaikan perusahaan hendaknya lebih memperhatikan kemampuannya dalam mengelola pengetahuan, seperti mengelola aset fisik, mengembangkan pemahaman menyeluruh tentang pengetahuan yang dimiliki, proses mengonversi pengetahuan menjadi kapasitas untuk memenuhi tuntutan lingkungan. Untuk meningkatkan inovasi diperlukan kapasitas belajar dan kemampuan mengakses pengetahuan eksternal (Mei & Nie, 2007; Tsai, 2001). Sumber daya internal UMKM sangat terbatas. Oleh karena itu absorptive capacity sangat penting agar perusahaan dapat melakukan sesuatu yang sangat berbeda, mampu mengidentifikasi dan mengeksploitasi peluang bisnis yang mudah berubah (Gray, 2006, Lane et al.,2006).

2.6.2 Dimensi dan Pengukuran Absorptive Capacity

Zahra dan George (2002) merekonseptualisasi absorptive capacity yang dikemukakan oleh Cohen dan Levinthal (1990) menjadi dua bagian, yaitu potential dan realized absorptive capacity. Potential absorptive capacity terdiri atas pemerolehan pengetahuan (akuisisi) dan kemampuan asimilasi, sedangkan

(29)

realized absorptive capacity terfokus pada transformasi dan eksploitasi pengetahuan. Dengan demikian absorptive capacity mempunyai empat dimensi, yaitu akuisisi, asimilasi, transformasi, dan eksploitasi.

Pertama, akuisisi yaitu kemampuan perusahaan untuk mengidentifikasi dan memperoleh pengetahuan eksternal yang sangat penting dalam operasional perusahaan. Menurut Chauvet (2003), komitmen mengumpulkan pengetahuan menentukan kinerja individu dan mempercepat arus informasi. Tahap akuisisi sebagai proses yang didasarkan pada upaya berbagi pengetahuan.

Kedua, asimilasi mengacu pada rutinitas perusahaan dan proses yang memungkinkan menganalisis, memproses, menafsirkan, dan memahami pengetahuan yang diperoleh dari sumber eksternal (Zahra & George, 2002; Chauvet, 2003). Dalam perspektif ini karyawan harus memahami dan mengambil keuntungan dari informasi eksternal untuk menentukan pemasok baru, metode dan teknik baru, serta produk dan layanan baru. Tujuan fase asimilasi adalah untuk memahami pengetahuan dari sumber eksternal.

Ketiga, transformasi adalah internalisasi informasi baru eksternal. Transformasi menunjukkan kemampuan perusahaan untuk mengembangkan dan menyempurnakan rutinitas, memfasilitasi penggabungan antara pengetahuan yang ada dan pengetahuan yang baru diperoleh, dan berasimilasi (Zahra & George, 2002). Menurut Chauvet (2003), fase transformasi benar-benar penting karena merupakan hubungan yang kuat antara asimilasi dan eksploitasi.

Keempat, eksploitasi adalah fase yang paling penting bagi perusahaan. Dikatakan paling penting karena merupakan kemampuan organisasi sesuai

(30)

rutinitas yang memungkinkan perusahaan memperbaiki, memperluas, dan meningkatkan kompetensi dengan menggabungkan pengetahuan yang diperoleh dan diubah ke dalam operasinya (Zahra & George, 2002).

Absorptive capacity dalam penelitian ini direfleksikan dengan dimensi akuisisi, asimilasi, transformasi, dan ekploitasi pengetahuan (Chen & Chang, 2012; Jansen et al., 2005; Kohlbacher et al., 2013; Liao, 2007; Mahnke et al., 2005; Zahra & George, 2002). Masing-masing dimensi tersebut diuraikan sbb. a. Akuisisi diukur dengan dilengkapi pengetahuan profesional, memiliki

kemampuan mencari pengetahuan, dapat mengenali perubahan pasar (misalnya kompetisi, regulasi, demografi).

b. Asimilasi diukur dengan kemampuan mengidentifikasi nilai pengetahuan eksternal, memahami peluang baru untuk memenuhi keinginan pelanggan, dan dapat menganalisis dan menginterpretasi perubahan permintaan pasar. c. Transformasi diukur dengan kemampuan menggunakan pengetahuan yang

diperoleh, mempertimbangkan konsekuensi dari perubahan permintaan pasar produk baru, dan mencatat dan menyimpan pengetahuan baru yang diperoleh untuk referensi di masa mendatang, dan mudah menangkap peluang setelah memperoleh pengetahuan baru dari eksternal.

d. Eksploitasi diukur dengan mengetahui bagaimana kegiatan harus dilakukan, bersedia mendengarkan keluhan pelanggan, dan dapat menerapkan ide baru untuk menghasilkan produk baru.

(31)

2.7 Hubungan Antar Variabel Penelitian

Sejumlah kajian empirik yang relevan terkait dengan creative leadership, knowledge sharing, absorptive capacity, dan pengaruhnya terhadap inovasi, diuraikan sebagai berikut.

2.7.1 Kreativitas, Creative Leadership, Knowledge Sharing dan Inovasi Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian Reychav et al. (2012) yang menunjukkan hasil bahwa kreativitas berpengaruh positif terhadap

inovasi. Hubungan tersebut positif, dimediasi oleh upaya knowledge sharing.

Penelitian yang mana memiliki beberapa keterbatasan, yaitu hanya didasarkan pada tiga perusahaan berbasis teknologi sehingga tidak dapat digeneralisasi untuk semua jenis industri. Dengan demikian, penelitian selanjutnya harus mengeksplorasi hubungan kreativitas individu dan kreativitas tim secara keseluruhan. Selain itu, kemampuan inovasi harus dieksplorasi dengan perilaku knowledge sharing. Keterbatasan penelitian Reychav et al. (2012) ini, menjadi

celah penelitian dengan memperluas cakupan responden dan menghubungkan

inovasi dengan creative leadership, knowledge sharing dan absorptive capacity. Keberhasilan pelaksanaan program-program baru, pengenalan produk baru, atau layanan baru tergantung pada seseorang atau tim yang memiliki ide yang baik (Amabile, 1996). Sejalan dengan Amabile (1996), Rickards and Moger (2000) menyatakan bahwa perilaku kepemimpinan kreatif terkait dengan peran fasilitator tim dalam pelaksanaan sistem pemecahan masalah kreatif, mencari output kreatif, yaitu inovasi, dan pengembangan produk baru. Gaya kepemimpinan kreatif memiliki banyak kesamaan dengan kepemimpinan

(32)

transformasional oleh Bass dan Avolio (1990, 1994). Pemimpin dapat menggunakan kreativitas sebagai alat untuk memimpin organisasi sehingga dapat beradaptasi dengan perubahan. Proses pembelajaran yang efisien dan efektif dapat dicapai dengan jalan knowledge sharing (Basadur, 2004).

Para pemimpin yang paling efektif pada abad ke-21 akan membantu individu dan tim berkoordinasi dan mengintegrasikan gaya yang berbeda untuk mendorong perubahan melalui proses kreativitas. Proses tersebut meliputi upaya menemukan dan mendefinisikan masalah baru secara terus-menerus, memecahkan masalah tersebut, dan menerapkan solusi baru (Basadur, 2004). Temuan Mathisen et al. (2012) menunjukkan bahwa para pemimpin kreatif secara langsung meningkatkan kreativitas organisasi dan secara tidak langsung meningkatkan iklim inovatif. Kreativitas adalah upaya menciptakan hubungan atau menggabungkan dua elemen untuk memperdalam pengetahuan dan menjadi lebih bervariasi. Tujuannya agar masyarakat belajar memfasilitasi berbagi pengetahuan (Yusuf, 2009). Studi yang dilakukan oleh Carvalho and Reis (2012) menunjukkan bahwa pengaruh kreativitas visi manajer dalam organisasi, keterbukaan terhadap ide-ide baru, teknik-teknik baru dan inovatif merupakan hal penting bagi perusahaan dalam memenangkan persaingan saat ini.

2.7.2 Transformasional Leadership (TFL), Kreativitas, dan Inovasi

Kepemimpinan transformasional menjadi gaya yang kepemimpinan yang efektif. Motivasi inspirasional menyediakan visi bersama untuk proyek yang memungkinkan anggota tim dari berbagai disiplin ilmu bekerja bersama-sama akan membuahkan hasil inovasi teknologi (Elkins and Keller R.T., 2003). Hal

(33)

senada disampaikan oleh Jung et al. (2003) bahwa kepemimpinan transformasional akan meningkatkan kreativitas dan inovasi karyawan. Selain itu, kepemimpinan transformasional dapat meningkatkan kreativitas pada tingkat organisasi yang berpengaruh terhadap inovasi perusahaan.

Zhang dan Sims (2005) menyatakan katalis utama yang memfasilitasi inovasi adalah kepemimpinan dengan karakteristik yang tepat untuk memengaruhi kreativitas di tempat kerja. Meskipun pada dekade yang lalu telah banyak penelitian tentang kreativitas dan inovasi, namun hanya sedikit yang mengintegrasikan penelitian inovasi dengan teori kepemimpinan. Pemberdayaan kepemimpinan memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap pemberdayaan anggota tim yang berperilaku inovatif, kedua jenis kepemimpinan ini memaksimalkan pengaruh kepemimpinan terhadap inovasi.

Penelitian Gumusluoglu dan Ilsev (2006) menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki efek penting pada kreativitas di tingkat individu dan organisasi, berpengaruh positif terhadap inovasi organisasi. Model ini diuji pada 163 personel Research & Development dan 43 manajer perusahaan pengembang perangkat lunak berukuran mikro dan kecil di Turki.

2.7.3 Transformasional Leadership, Knowledge Sharing, Absorptive Capacity,

dan Inovasi

Cohen dan Levinthal (1990) berpendapat bahwa sumber pengetahuan dari luar sangat penting untuk proses inovasi. Di samping itu kemampuan perusahaan untuk mengenali nilai baru, informasi eksternal, mengasimilasi, dan menerapkannya untuk tujuan komersial sangat penting untuk kemampuan inovasi.

(34)

Absorptive capacity organisasi tidak hanya tergantung pada pertemuan langsung organisasi dengan lingkungan eksternal, tetapi juga tergantung pada transfer pengetahuan di antara subunit dalam perusahaan, knowledge sharing serta keragaman pengetahuan seluruh individu memengaruhi perkembangan absorptive capacity organisasi.

Zahra dan George (2002), merekonseptualisasi absorptive capacity yang dikemukakan oleh Cohen dan Levinthal (1990) menjadi dua bagian, yaitu potential dan realized absorptive capacity. Potential absorptive capacity terdiri atas pemerolehan pengetahuan (akuisisi) dan kemampuan asimilasi. Di pihak lain, realized absorptive capacity fokus pada transformasi dan eksploitasi pengetahuan. Tahap akuisisi merupakan proses yang didasarkan pada knowledge sharing. Dengan mengingat bahwa absorptive capacity merupakan kemampuan dinamis, maka perusahaan melakukan perubahan lewat tindakan manajerial yang secara efektif mendefinisikan kembali dan memanfaatkan aset berbasis pengetahuan.

Gray (2006) menyatakan bahwa upaya menggabungkan pengetahuan dan menciptakan pengetahuan baru merupakan proses inovatif. Bagaimana perusahaan mendapatkan dan menggunakan pengetahuan eksternal merupakan hal yang kurang menguntungkan UMKM. Usia, pendidikan, dan efek ukuran signifikan memengaruhi akuisisi dan asimilasi pengetahuan pada UMKM. terutama perusahaan kecil dengan karyawan lebih dari lima belas orang. Tingkat absorptive capacity yang tinggi, ditemukan pada UMKM yang lebih inovatif, dengan pemilik yang memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi.

(35)

Hasil penelitian Lin (2007) menunjukkan bahwa dukungan manajemen puncak berpengaruh signifikan terhadap proses knowledge sharing. Hasil ini juga menunjukkan bahwa kesediaan karyawan untuk knowledge donating dan knowledge collecting memungkinkan perusahaan meningkatkan kemampuan inovasi.

Studi Morales et al. (2012) mengungkapkan bahwa (1) kepemimpinan transformasional memengaruhi kinerja organisasi secara positif melalui pembelajaran organisasi dan inovasi, (2) pembelajaran organisasi positif berpengaruh terhadap kinerja organisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui inovasi organisasi, dan (3) inovasi organisasi positif memengaruhi kinerja organisasi. Pembelajaran organisasi melibatkan akuisisi pengetahuan, knowledge sharing, dan pemanfaatan pengetahuan (integrasi pembelajaran mengakibatkan asimilasi, akuisisi dan asimilasi merupakan dimensi absorptive capacity).

Liao (2007) meneliti hubungan antara knowledge sharing, absorptive capacity, dan kemampuan inovasi dalam industri knowledge-intensive di Taiwan. Penelitian ini menemukan bahwa absorptive capacity merupakan faktor intervensi antara knowledge sharing dan kemampuan inovasi. Hal ini juga menunjukkan bahwa knowledge sharing memiliki efek positif pada absorptive capacity.

Temuan empiris Mei dan Nie (2007) menunjukkan bahwa knowledge sharing dengan pelanggan dan pemasok memiliki pengaruh positif terhadap inovasi perusahaan dalam kluster. Selain itu, absorptive capacity dan karakteristik pengetahuan memiliki dampak yang signifikan pada knowledge sharing dengan pelanggan dan pemasok. Implikasi teoretis menunjukkan bahwa absorptive

(36)

capacity memainkan peran yang lebih penting dalam inovasi daripada knowledge sharing dengan pelanggan dan pemasok. Demikian pula yang disampaikan oleh Mahnke et al. (2005) bahwa knowledge management tool seperti konstruk pengetahuan tim yang terdiri atas (1) bidang kegiatan pribadi, (2) hasil bisnis, (3) knowledge sharing, dan (4) penciptaan pengetahuan secara signifikan memengaruhi tingkat absorptive capacity.

Gao et al. (2008) menemukan bahwa absorptive capacity memoderasi hubungan manajerial pada inovasi korporasi. Kemampuan perusahaan untuk berinovasi tergantung pada sumber daya pengetahuan. Kemampuan ini dapat dimanfaatkan dengan memfasilitasi knowledge sharing dan absorptive capacity dalam konteks usaha kecil dan menengah. Penelitian Wuryaningrat (2013) menunjukkan bahwa knowledge sharing memengaruhi absorptive capacity sebelum pengetahuan dapat diubah menjadi kemampuan inovasi. Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Utara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat baik dengan melibatkan usaha kecil dan menengah. Hasil penelitian memberikan bukti empiris bahwa pengetahuan baru yang dibuat dari knowledge sharing dapat diubah menjadi kemampuan inovasi jika didukung oleh absorptive capacity yang tinggi (Wuryaningrat, 2013).

2.7.4 Hubungan Creative Leadership dengan Absorptive Capacity

Berbagai faktor mempengaruhi perilaku inovatif. Salah satu faktor yang berperan paling penting dalam proses inovasi adalah kepemimpinan (Damanpour, 1991; Mumford et al., 2008). Menurut Dahlgaard et al. (1997),

(37)

diperlukan pemimpin visioner dan berani, siap menanggung risiko terjadinya kegagalan. Pemimpin harus dapat menerima kesalahan yang dilakukan oleh karyawan, tanpa penerimaan ini perubahan tidak mungkin terjadi dan organisasi akan kehilangan vitalitasnya. Pemimpin kreatif adalah pemimpin penuh ide untuk memecahkan masalah dan perbaikan berkelanjutan, memiliki gambaran yang jelas tentang masa depan perusahaan dan memahami bagaimana bekerja efisien untuk mencapai visi.

Kepemimpinan kreatif mengeksplorasi knowledge sharing. Elemen-elemen ini terdiri atas platform pemahaman dari mana ide-ide baru berkembang (Rickards & Moger 2000). Diperlukan intervensi manajerial untuk mendorong dan memfasilitasi knowledge sharing yang sistematis (Hsu, 2008). Kreativitas dan knowledge sharing berhubungan positif (Reychav et al., 2012). Dukungan manajemen untuk knowledge sharing telah terbukti berhubungan secara positif (Wang & Noe, 2010). Inovasi hanya dapat berubah menjadi sukses jika didukung oleh manajemen puncak. Selain itu, tim kreatif inovatif dikembangkan dari karyawan yang berpengetahuan dan hanya dengan sharing pengetahuan mereka pada pelaksanaan inovasi (Hana, 2013). Pemimpin mendorong pendistribusian pengetahuan suatu perusahaan ke dalam inisiatif yang diharapkan dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif (Menkhoff et al., 2005).

Davenport dan Prusak (1998) menyatakan bahwa knowledge sharing harus didukung oleh kemampuan menyerap pengetahuan. Jika tidak, pengetahuan tidak akan ditransfer. Inovasi memerlukan transformasi dan eksploitasi pengetahuan

(38)

yang ada (Lawson & Samson, 2001). Cohen dan Levinthal (1990) berpendapat bahwa kemampuan perusahaan untuk mengenali nilai baru, informasi eksternal, mengasimilasi, dan menerapkannya untuk tujuan komersial sangat penting untuk kemampuan inovatif. Menurut Lane dan Lubatkin (1998), perusahaan hendaknya lebih memperhatikan kemampuannya dalam mengelola pengetahuan seperti halnya mengelola aset fisik. Di samping itu, juga harus mengembangkan pemahaman yang menyeluruh tentang pengetahuan yang dimiliki dan proses mengonversi pengetahuan menjadi kapasitas mereka untuk memenuhi tuntutan lingkungannya.

Zahra dan George (2002) mendefinisikan absorptive capacity sebagai seperangkat rutinitas dan proses organisasi, sehingga bisa memperoleh, mengasimilasi, mentransformasi dan mengeksploitasi pengetahuan untuk menghasilkan kemampuan organisasi yang dinamis. Absorptive capacity adalah fungsi dari sumber daya organisasi yang ada, seperti pengetahuan tacit dan eksplisit, rutinitas, kompetensi manajemen, dan budaya. Tsai (2001) menyatakan bahwa unit organisasi dengan tingkat absorptive capacity yang tinggi cenderung memanfaatkan pengetahuan baru dari unit lain untuk membantu kegiatan inovatif mereka. Akses pengetahuan eksternal dan kapasitas belajar internal sangat penting untuk meningkatkan inovasi dan kinerja. Liao et al. (2007) menyatakan bahwa knowledge sharing berpengaruh pada absorptive capacity. Gao et al. (2008), menyatakan bahwa absorptive capacity yang tinggi dikaitkan dengan keberhasilan mengeksploitasi pengetahuan baru untuk menghasilkan lebih banyak inovasi.

(39)

Sehubungan dengan terdapatnya pengaruh creative leadership terhadap knowledge sharing, pengaruh knowledge sharing terhadap absorptive capacity maka, diharapkan terdapat hubungan antara creative leadership dengan absorptive capacity. Melalui dimensi-dimensi dari variabel laten creative leadership dan dimensi-dimensi variabel laten absorptive capacity, dapat diamati bubungan diantara kedua variabel. Adapun konstruk creative leadership terdiri atas tiga dimensi yg dikembangkan dari konsep Avolio dan Bass (1995), Dahlgaard et al. (1997), Rickards dan Moger (2000) yaitu dimensi kemampuan kreatif, dimensi inspirational motivation, dan dimensi individualized consideration. Dimensi kemampuan kreatif, direfleksikan dengan 15 indikator/butir pernyataan dengan mensintesa, mengombinasikan konsep Dahlgaard et al. (1997); Jain dan Sharma (2012); Jung et al. (2003); Pratoom & Savat Somboon (2012); Tang dan Chang (2010); Zhang et al. (2010). Indikator dimensi kemampuan kreatif adalah sebagai berikut: memiliki rasa ingin tahu yang besar, menghasilkan gagasan-gagasan unik melalui integrasi teknologi baru dengan kearifan lokal, mewujudkan gagasan menjadi produk baru yang bernilai bagi konsumen, pendekatan baru untuk meningkatkan kualitas produk, gagasan tentang saluran distribusi baru, gagasan untuk mempercepat proses produksi, memiliki keyakinan diri yang besar, menentang status quo, berani mengambil risiko, hadir ketika karyawan mengalami kesulitan, mencari tahu tentang kendala-kendala yang dihadapi, mengelola krisis dengan keyakinan tinggi, menyelesaikan tugas-tugas yang

(40)

menantang, percaya diri tatkala berhadapan dengan situasi baru, dan bekerja dengan tekun.

Dimensi inspirational motivation direfleksikan dengan enam indikator/ butir pernyataan berdasarkan indikator yang disampaikan oleh Ancok (2012), Avolio dan Bass (1995), Phipps et al. (2012), Zhang & Bartol (2010) sebagai berikut: mengomunikasikan tujuan secara jelas, menantang karyawan dengan standar tinggi, menginspirasi karyawan, mengikut sertakan karyawan, percaya pada kemampuan karyawan walaupun karyawan membuat kesalahan, mengijinkan karyawan melakukan pekerjaannya dengan cara mereka

Dimensi individualized consideration direfleksikan dengan lima indikator/butir pernyataan berdasarkan indikator yang disampaikan oleh Avolio dan Bass (1995), Phipps et al. (2012) sebagai berikut: memberikan kesempatan belajar kepada karyawan, memandang kesalahan sebagai pengalaman belajar, meluangkan waktu bagi karyawan untuk belajar, mengidentifikasi kebutuhan karyawan, dan memenuhi kebutuhan karyawan.

Variabel absorptive capacity diukur berdasarkan indikator penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Chang (2012); Kohlbacher et al. (2013); Liao (2007); Mahnke et al. (2005); Zahra dan George (2002). Variabel absorptive capacity terdiri atas dimensi akuisisi, dimensi asimilasi, dimensi transformasi, dan dimensi eksploitasi yang direfleksikan dengan indikator sebagai berikut.

(41)

Dimensi akuisisi dengan indikator: dilengkapi dengan pengetahuan profesional yang sangat baik, memiliki kemampuan untuk mencari pengetahuan, dan dapat mengenali perubahan pasar (misalnya kompetisi, regulasi, demografi). Dimensi asimilasi dengan indikator kemampuan mengidentifikasi nilai pengetahuan eksternal, memahami peluang baru untuk memenuhi keinginan pelanggan, serta dapat menganalisis dan menginterpretasi perubahan permintaan pasar. Dimensi transformasi diukur dengan kemampuan menggunakan pengetahuan yang diperoleh, secara berkala mempertimbangkan konsekuensi dari perubahan permintaan pasar produk baru, mencatat dan menyimpan pengetahuan baru yang diperoleh untuk referensi pada masa mendatang, dan mudah menangkap peluang setelah memperoleh pengetahuan eksternal baru. Dimensi eksploitasi diukur dengan indikator mengetahui bagaimana kegiatan harus dilakukan, mau mendengarkan keluhan pelanggan, dan dapat dengan mudah menerapkan ide baru untuk menghasilkan produk baru.

Dengan memperhatikan masing-masing indikator, dimensi-dimensi variabel creative leadership dan masing-masing indikator, dimensi-dimensi variabel absorptive capacity, maka dapat dikatakan merupakan cerminan terdapatnya hubungan diantara kedua variabel tersebut.

2.8 Pemetaan Posisi Penelitian

Dari berbagai riset terdahulu mengenai creative leadership yang telah ditelusuri, diketahui hanya dikaitkan dengan inovasi. Studi ini berusaha

(42)

memperluas konsep tersebut dan menghubungkannya, baik dengan knowledge sharing maupun absorptive capacity. Industri kerajinan perak di Bali memerlukan kreativitas pemimpin yang mampu mengimplementasikan ide-ide kreatif menjadi inovasi sehingga diperlukan kepemimpinan kreatif. Tidak cukup hanya dengan kreativitas, inovasi dapat diwujudkan, tetapi juga diperlukan penciptaan pengetahuan baru. Hal ini hanya dapat diperoleh dari orang lain, baik di lingkungan internal maupun eksternal. Untuk memperoleh pengetahuan dari sumber eksternal sangat mahal sehingga bagi UMK dengan sumber daya yang terbatas, akan lebih efisien dan efektif dengan cara berbagi. Untuk dapat memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh diperlukan kemampuan menyerap pengetahuan. Atas dasar argumentasi tersebut creative leadership pada studi ini merupakan hasil penggabungan TFL, kepemimpinan empower, dan kemapuan kreatif yang telah terbukti memiliki hubungan positif dan signifikan dengan inovasi melalui knowledge sharing. Di samping itu, knowledge sharing juga memiliki hubungan positif dan signifikan dengan absorptive capacity dan inovasi. Berdasarkan paparan hasil-hasil penelitian terdahulu diketahui perkembangan studi mengenai creative leadership, knowledge sharing, absorptive capacity, dan inovasi yang pernah dilakukan sebagai state of the art penelitian ini. Semua studi tersebut dipetakan pada Tabel 2.1.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tanah-tanah yang becek, pertumbuhan tanaman bawang merah akan kerdil dan sering menyebabkan umbi-umbinya mudah menjadi busuk.. Di samping itu, tanaman ini sangat

Narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan yang merupakan salah satu fakta perubahan perilaku manusia yang menyimpang dari tuntunan agama dengan melakukan berbagai

Di Indonesia banyak varietas tanaman waluh yang dibudidayakan oleh petani. Tanaman waluh memiliki banyak sekali manfaat dan keunggulan sebagai bahan pangan

Predisposisi terjadinya kelainan letak sungsang yaitu bayi prematur, kehamilan, kembar, multipara maupun grademulti, hidrosefalus, oligohidramnion, plasentasi kutub,

Berawal dari analisis kebutuhan PT PMI untuk sistem kehadiran yang bisa memberikan informasi kehadiran yang benar dan akurat dalam waktu yang cepat, maka dirancanglah

Ada 30 variabel yang diajukan oleh peneliti berkaitan dengan manfaat dan kekurangan dalam penerapan SMM, ternyata responden menyatakan bahwa manfaat yang secara signifikan

pengetahuan yang diperoleh benar-benar dipahami dan melekat dalam ingatannya serta pembelajaran akan lebih bermakna; Guru: berdasarkan hasil penelitian ini, terlihat bahwa

Dalam perspektif filosofis, hermeneutika merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti/memahami sesuatu : Sesuatu yang dimaksudkan di sini dapat