6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Lari Cepat 100 meter a. Lari Cepat 100 meter
Lari 100 meter merupakan bagian dari cabang olahraga atletik. Atletik terdiri dari nomer jalan, lari, lempar dan lompat. Syarifuddin (1992:2) membagi nomer atletik berdasarkan tempat pelaksanaannya, yaitu nomer track dan nomer field. Track artinya lintasan, sedangkan field berarti lapangan. Oleh karena itu atletik disebut juga “Track
and field”.Nomer yang termasuk dalam nomer track adalah nomer jalan dan nomer lari,
sedangkan yang termasuk nomer field adalah nomer lempar dan lompat. Ketiga nomer tersebut masih memiliki bagian-bagian, yaitu untuk nomer jalan adalah jalan cepat, yaitu 5 km dan 10 km untuk putri dan 10 km dan 20 km untuk putra. Nomer lari terdiri dari (1) Nomer lari jarak pendek (sprint), yaitu lari 100 meter, 200 meter, 400 meter, 100 meter gawang putri, 110 meter gawang putra, 200 meter gawang, 400 meter gawang, 4 x 100 meter estafet dan 4 x 400 meter estafet.(2) Nomer lari jarak menengah
(middle distance running), yaitu 800 meter, 1500 meter, 3000 meter dan 300 meter lari
halang rintang steeple chase). (3) Nomer lari jarak jauh (long distance running) terdiri dari lari 5000 meter, 10.000 meterdan lari marathon 42.195 km. Nomer lempar terdiri dari (1) lempar lembing, (2) lontar martil, (3) lempar cakram, dan (4) tolah peluru. Sedangkan untuk nomer lompat terdiri dari (1) nomer lompat jauh, (2) lompat jangkit, (3) lompat tinggi, dan (4) lompat tinggi galah.Dalam (http://id.wikipedia.org/wiki/lari) lari didefinisikan dalam olahraga sebagai gerakan tubuh dimana pada suatu saat semua kaki tidak mengunjak tanah.Lari cepat (sprint) adalah gerakan maju yang dilakukan untuk mencapai tujuan (finish) secepat mungkin.
Bagian dari nomer lari yang akan kita bahas adalah lari 100 meter. Lari 100 meter termasuk dalam nomer lari jarak pendek (sprint). Hamid S. N..(2000:49) mengemukakan pengertian lari cepat (sprint) adalah “Semua perlombaan lari dimana peserta berlari dengan kecepatan penuh sepanjang jarak yang ditempuh”.Kemudian Syarifuddin (1992:41) menjelaskan bahwa “lari cepat (sprint) adalah suatu cara lari dimana atlet harus menempuh jarak dengan kecepatan semaksimal mungkin”. Artinya
harus melakukan lari secepat-cepatnya dengan mengerahkan seluruh kekuatannya mulai awal (mulai dari start) sampai dengan melewati garis akhir (finish/finis).Diantara ketiga bagian dari lari jarak pendek yang paling bergensi adalah lari 100 meter. Walaupun demikian dalam pelaksanaan ketiganya memiliki inti dominan yang sama, yaitu kecepatan. Semakin jauh jarak yang ditempuh maka kecepatan itu akan dipadukan dengan daya tahan. Lari 100 meter pada dasarnya adalah gerak seluruh tubuh kedepan secepat mungkin yang dihasilkan oleh gerakan dari langkah-langkah kaki dalam menempuh jarak 100 meter yang unsur pokoknya adalah panjang langkah dan kecepatan frekuensi langkah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hay (1993: 396)
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, lari 100 meter adalah salah satu nomer lari jarak pendek dalam cabang olahraga atletik yang dilakukan dengan menempuh jarak 100 meter dan dilakukan dengan kecepatan maksimal atau secepat-cepatnya. Pelaksanaan lari 100 meter membutuhkan semua unsur kesegaran jasmani yang ada dalam tubuh, yaitu kecepatan, kekuatan, kelincahan, keseimbangan, kelentukan, koordinasi, ketahanan kardiovasculer, dll.
Pengetahuan tentang unsur-unsur kesegaran jasmani dalam lari 100 meter akan membantu mengetahui hal-hal penting yang harus diperhatikan sehingga perencanaan program latihan akan sesuai dengan tujuan serta berlangsung secara efektif dan efisien.
b. Teknik lari 100 meter
Suatu penampilan dikatakan baik jika atlet menguasai dan melaksanakan teknik lari 100 m dengan baik. Unsur-unsur teknik yang harus dikuasai, menurut Carr (1997:13) adalah (1)Start yang baik, (2) Reaksi yang cepat, (3) Akselerasi yang baik, (4) Mempertahankan kecepatan selama mungkin, dan (5) Teknik lari yang efisien.
Penguasaan teknik dasar lari merupakan unsur yang fundamental yang harus dimiliki oleh atlet lari 100 m. Jadi dapat dikatakan bahwa seorang pelari harus dapat melakukan empat tahapan diatas secara efektif dan efisien.
Pelaksanaan lari 100 meter dinilai dalam satuan waktu (detik).Semakin berlari dengan cepat maka waktu yang diperoleh semakin sedikit, itu menunjukkan bahwa prestasi yang diperoleh semakin baik.Waktu menjadi tolak ukur kecepatan berlari.Saat berlari tubuh membutuhkan semua unsur yang terdapat dalam tubuh, seperti yang telah diungkapkan di atas antara lain kecepatan, kekuatan, koordinasi,
dan daya tahan kardiovaskuler.Guna memperoleh semua unsur tersebut, maka tubuh harus dilatih secara teratur dan berkelanjutan.Karena waktu menjadi tolak ukur, maka lari harus dilakukan sesingkat-singkatnya.Oleh karena itu setiap atlet lari harus didukung oleh teknik berlari yang baik. Setiap atlet yang memiliki teknik berlari yang baik akan dapat melakukan gerakan secara efektif dan efisien sehingga waktu yang diperoleh akan semakin baik.
Dalam pelaksanaan lari 100 meter, terdapat 3 (tiga) teknik penting, yaitu : 1) Teknik start
2) Teknik lari
3) Teknik melewati finis
Ketiga unsur di atas menjadi satu bagian yang saling berkaitan untuk dapat memperoleh catatan waktu yang baik.
1) Teknik start
Dalam perlombaan lari jarak pendek (sprint), teknik start yang digunakan adalah: “Start Jongkok” (Crouching Start). Di dalam pelaksanaannya, teknik start jongkok dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu:
a) Start Pendek (bunch start/short start)
Pelaksanaan:
(1) Jarak antara ujung kaki dengan garis start ± 45 cm.
(2) Telapak kaki kiri di depan, ujung kaki kanan sejajar dengan tumit kaki kiri atau sebaliknya.
(3) Lutut diletakkan tanpa mengubah posisi kedua telapak kaki.
(4) Kedua telapak tangan di belakang garis start tanpa menyentuh garis. (5) Badan ke depan sampai kedua lengan tegak lurus dengan garis start.
b) Start Sedang (medium start)
(1) Jarak antara ujung kaki dengan garis start ± 37 cm
(2) Telapak kaki kiri di depan, lutut kaki kanan sejajar dengan ujung kaki kiri atau sebaliknya.
(3) Lutut diletakkan tanpa mengubah posisi kedua telapak kaki.
(4) Kedua telapak tangan di belakang garis start tanpa menyentuh garis. (5) Badan ke depan sampai kedua lengan tegak lurus dengan garis start.
(1) Jarak antara ujung kaki dengan garis start ± 35 cm.
(2) Telapak kaki kiri didepan, lutut kaki kanan berada sejajar dengan tengah telapak kaki kiri atau sebaliknya.
(3) Lutut diletakkan tanpa mengubah posisi kedua telapak kaki.
(4) Kedua telapak tangan di belakang garis start tanpa menyentuh garis. (5) Badan ke depan sampai kedua lengan tegak lurus dengan garis start.
d) Start Panjang (longated start)
(1) Jarak antara ujung kaki dengan garis start ± 32 cm.
(2) Telapak kaki kiri didepan, lutut kaki kanan berada sejajar dengan tumit kaki kiri atau sebaliknya.
(3) Lutut diletakkan tanpa mengubah posisi kedua telapak kaki.
(4) Kedua telapak tangan di belakang garis start tanpa menyentuh garis. (5) Badan ke depan sampai kedua lengan tegak lurus dengan garis start
Dari keempat macam start jongkok di atas, perbedaan yang utama terletak pada penempatan kaki bagian depan dengan lutut. Pemilihan start tergantung pada atlet itu sendiri. Pada umumnya disesuaikan dengan panjang tungkai dan kebiasaan dari atlet tersebut.Aba-aba yang digunakan adalah “Bersedia”, “Siap”, “Yak”.
Gambar 2.2Posisi “siap” (IAAF, 2000:23)
Analisis gerak pada keempat start jongkok di atas menggambarkan gerakan yang efisien untuk digunakan sebelum berlari. Saat melakukan start, terjadi perpindahan titik berat badan dari tengah ke depan. Ini bertujuan untuk menempatkan tubuh dalam posisi yang labil. Benda yang berada dalam kondisi labil akan lebih mudah bergerak. Sebaliknya benda yang berada posisi stabil tidak akan mudah bergerak. Gerakan lari membutuhkan kecepatan reaksi, oleh karena itu tubuh harus berada dalam kondisi labil untuk mempermudah melakukan gerakan.Begitupun saat start. Titik berat tubuh dipindahkan ke depan, sehingga menjadi labil dan mudah bergerak.
Gambar 2.3Gambar gerak keseluruhan (IAAF, 2000:23) 2) Teknik lari
Faktor utama dari lari 100 meter adalah kecepatan.Untuk dapat berlari dengan cepat, maka harus menguasai teknik lari yang benar, yaitu gerakan yang efektif dan efisien. Teknik lari yang harus diperhatikan adalah: Syarifuddin, (1992:45)
Gambar 2.4Gerakan berlari yang benar (IAAF, 2000:10) a) Lari dengan menggunakan ujung kaki.
Tujuannya adalah untuk membuat tubuh berada dalam kondisi tidak stabil, yaitu dengan memindahkan titik berat badan ke depan sehingga mudah untuk melakukan gerakan lari. Selain itu juga akan membuat gerakan jauh lebih efektif dan efisien.
b) Lutut atau paha diangkat setinggi panggul
c) Ayunan lengan dari belakang ke depan rilek, siku ditekuk 90˚ d) Badan condong ke depan dengan sudut 25˚-30˚
e) Pandangan lurus ke depan, posisi kepala netral (rilek)
Gambar 2.5Fase melayang saat berlari (IAAF, 2000:11)
Frekuensi gerakan tungkai dalam lari jarak pendek sangat memegang peranan penting.Sedangkan ayunan lengan dan posisi tubuh (condong) untuk mendukung laju lari sekaligus untuk menjaga keseimbangan.Frekuensi gerakan juga didukung oleh kekuatan otot tungkai.
3) Teknik melewati finis
Untuk dapat mencapai garis finis tercepat ada beberapa teknik memasuki garis finis, yaitu:
a) Masuk finis dengan berlari biasa, artinya tanpa mengubah kecepatan, atau mengubah gerakan tubuh.
b) Condong badan, yaitu membawa titik berat badan ke depan sehingga bagian tubuh akan masuk terlebih dahulu melewati garis finis.
c) Menyamping, artinya memutar bahu ke arah depan sehingga yang masuk terlebih dahulu adalah bahu.
Berdasarkan uraian di atas, hal yang perlu diperhatikan adalah batas pengambilan finis terletak pada togok pelari.Jadi pengambilan waktu dilakukan saat togok melewati garis finis.Batasan togok adalah bagian kepala sampai dada dan perut.Teknik-teknik lari di atas harus bisa dikuasai untuk bisa menghasilkan gerakan yang efektif dan efisien sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai garis finis menjadi semakin singkat.
c. Unsur fisik lari 100 meter
Kemampuan fisik merupakan unsur penting untuk menunjang penampilan pelari dalam suatu perlombaan.Penampilan pelari saat perlombaan sangat bergantung pada kesegaran jasmani atau kondisi fisik yang dimiliki oleh pelari. Kesegaran jasmani menunjukkan kapasitas fungsional seseorang saat melakukan aktifitas.Ahli faal mengungkapkan definisi kesegaran jasmani sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan satu tugas yang memerlukan kerja muscular dimana kecepatan dan ketahanan menjadi kriteria utama.Dalam bidang olahraga yang disesuaikan dengan ilmu faal, kesegaran jasmani adalah kesanggupan dan kemampuan tubuh melakukan penyesuaian terhadap pembebanan fisik yang diberikan tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan.Komponen kesegaran jasmani dibagi menjadi 2, yaitu komponen yang berhubungan dengan kesehatan dan komponen yang berhubungan dengan keterampilan. Sedangkan Nossek (1982:19) membagi kondisi fisik menjadi tiga kualifikasi yang bersifat dasar, yaitu : (1) Kecepatan (speed)
(2) Kekuatan (strength) (3) Ketahanan (endurance)
dengan menguasai teknik-teknik yang benar akan diperoleh waktu yang baik. Oleh karena itu setiap pelari harus memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam komponen kesegaran jasmani. Komponen-komponen tersebut adalah: (Depdiknas, 2000:53-58)
1) Komponen kesegaran jasmani yang berhubungan dengan kesehatan a) Daya tahan jantung-paru
Adalah kemampuan untuk terus menerus dengan tetap menjalani kerja fisik yang mencakup sejumlah besar otot dalam waktu tertentu, hal ini merupakan kemampuan sistem peredaran darah dan sistem pernafasan untuk menyesuaikan diri terhadap efek seluruh beban kerja fisik.Pengukuran daya tahan jantung paru dilakukan dengan mengkonsumsi oksigen maksimal (VO2max).VO2max dapat diartikan juga sebagai kemampuan tubuh untuk mengambil oksigen, kemudian mengedarkan sekaligus memanfaatkan oksigen secara maksimal. Semakin bagus VO2max seseorang maka oksigen yang digunakan pun akan semakin efektif sehingga energi yang digunakan akan tetap terjaga, selain itu itu tubuh akan semakin cepat dalam pemulihan energi yang telah dikeluarkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tahan jantung-paru, adalah: (1) Keturunan (genetic), (2) Umur, (3) Jenis Kelamin, dan (4) Aktifitas Fisik.
b) Daya tahan otot
Kemampuan otot untuk menjalani kontraksi dengan beban submaksimal secara berulang atau mempertahankan kontraksi otot dalam periode waktu tertentu.
c) Kekuatan otot
Adalah kekuatan kontraksi maksimal otot atau sekelompok otot yang dapat dikeluarkan terhadap tahanan tertentu. Pada saat kontraksi otot akan memendek atau besar pemendekan akan tergantung beban yang harus di tahan.
d) Tenaga ledak otot
Adalah kemampuan otot atau sekelompok otot melakukan kerja secara eksplosif. Ini dipengaruhi oleh kekuatan otot dan kecepatan kontraksi
otot, memindahkan sebagian atau seluruh tubuh yang akan dilakukan satu saat dan secara tiba-tiba.
e) Kelentukan
Kelentukan adalah kemampuan gerak maksimal yang dapat dilakukan oleh suatu persendian, meliputi hubungan antara bentuk persendian (tulang yang membentuk sendi), otot, tendo, ligament sekitar sendi.
2) Komponen kesegaran jasmani yang berhubungan dengan keterampilan a) Kecepatan
Kemampuan untuk berpindah atau bergerak dari satu titik ke titik yang lain atau untuk mengerjakan suatu aktivitas berulang-ulang yang sama serta berkesinambungan dalam waktu sesingkat-singkatnya. Faktor yang mempengaruhi kecepatan, adalah kelentukan, tipe tubuh, umur, dan jenis kelamin.
b) Keseimbangan
Adalah kemampuan mempertahankan sikap tubuh yang tepat pada saat melakukan gerakan.
c) Kecepatan reaksi
Adalah waktu tersingkat yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan setelah mendapat rangsangan.Kecepatan reaksi berhubungan dengan waktu reflek, waktu gerakan dan waktu respon.
d) Koordinasi
Adalah hubungan yang terjadi dari beberapa faktor saat melakukan satu gerakan.
e) Komposisi tubuh
Jumlah relatif lemak dan jaringan tubuh atau masa lemak bebas.Komposisi tubuh seorang pelari juga dapat dilihat dari susunan otot rangkanya. Otot terdiri dari 4 (empat) komponen: sel otot, jaringan otot, saraf dan pembuluh darah. Seberkas otot terdiri dari fasikulus.Fasikulus merupakan kumpulan dari sel otot atau yang disebut juga myofibril.Di dalam myofibril terdapat protein-protein kontraktil (berfungsi untuk kontraksi otot), yaitu atin dan myosin.
Otot dibagi menjadi 2 (dua) tipe, yaitu : (1) Serabut lambat atau otot merah (slow twitch fibers), yaitu otot yang berisi banyak mioglobin (5 kali lebih banyak), bentuk fisiknya merah, gelap sehingga dinamakan otot merah yang menyebabkan kapasitas aerobic tinggi. Otot merah atau serabut lambat ini memiliki enzim yang menghasilkan cukup energi untuk waktu yang lama/panjang. (2) Serabut cepat atau otot putih (fast twitch fibers), yaitu serabut yang rendah mioglobin, bentuk fisiknya lebih terang mendekati putih (disebut otot putih). Mempunyai kapasitas anaerobic tinggi dan enzim yang menghasilkan sejumlah besar energi untuk waktu yang pendek/singkat.Masing-masing tipe otot mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap latihan.
Dari kedua macam otot tersebut di atas, seorang pelari 100 meter cenderung memiliki otot putih yang lebih dominan. Pemeriksaan otot ini dapat membantu saat pemanduan bakat anak-anak usia dini dengan tujuan untuk mengarahkan bakat apa yang bisa dikembangkan kelak.
d. Sistem Energi Utama Lari 100 Meter
Setiap melakukan aktifitas tubuh membutuhkan energi. Semakin berat aktifitas yang dilakukan, akan semakin besar pula energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana energi diproduksi, seberapa besar energi yang dihasilkan dan berapa lama energi tersebut dapat untuk menunjang kelangsungan aktifitas.Terutama bagi pelatih, pengetahuan ini dapat untuk membantu dalam penyusunan program latihan.
Sebelum lebih lanjut membahas tentang energi, terlebih dahulu membahas tentang energi itu sendiri.Menurut Foss & Keteyian (1998:18) mendefinisikan, “Energi adalah kapasitas atau kemampuan untuk melakukan pekerjaan”.Energi memberi seorang atlet kapasitas untuk melakukan usaha.Energi adalah persyaratan untuk melakukan usaha fisik selama pelatihan dan perlombaan. Merle L. Foss &Steven J. Keteyian (1998 : 18) membagi energi menjadi enam bentuk, yaitu : (1) kimia, (2) mekanik, (3) panas (kalor), (4) cahaya, (5) listrik, dan (6) nuklir. Energi dapat berubah dari bentuk satu ke bentuk yang lain. Perubahan tersebut dinamakan “Transformasi energi”. Energi yang digunakan tubuh untuk melakukan kerja dipasok dari makanan yang kita makan, akan tetapi energi tersebut tidak dapat
langsung diserap dari makanan, melainkan harus melalui proses-proses mekanik sehingga dihasilkan senyawa-senyawa energi yang tinggi yang dikenal sebagai adenosine trifosfat (ATP). ATP ini akan disimpan dalam sel otot. ATP terdiri dari satu molekul adenosine dan tiga molekul fosfat.
Energi yang dibutuhkan untuk kontraksi otot dilepaskan dengan mengubah ATP energi tinggi menjadi ADP + Pi (adenosine difosfat + fosfat anorganik).Ketika satu ikatan fosfat pecah yang menyebabkan ADP dan Pi terpecah pula, maka energi dilepaskan.Jumlah ATP yang tersimpan di dalam otot dibatasi, sehingga tubuh terus menerus mengisi kembali cadangan ATP untuk melakukan aktifitas selanjutnya. Foss & Keteyian (1998:18) mengungkapkan bahwa, “Hanya dari energi yang dilepaskan oleh pemecahan ATP, sel dapat melakukan usaha khususnya”, kemudian Foss & Keteyian (1998:19) menambahkan bahwa, “Energi yang dilepaskan pada saat pemecahan ATP ini menyatakan sumber energi yang segera dapat digunakan oleh sel otot untuk melakukan usaha”. Tubuh dapat mengisi kembali cadangan ATP dengan salah satu dari tiga sistem energi yang tergantung dari jenis kegiatan fisik.Dua diantaranya secara anaerob yang berarti oksigen tidak mutlak diperlukan dalam proses menghasilkan ATP, yaitu sistem ATP-PC dan sistem LA. Sedangkan cara yang ketiga adalah sistem aerobik, yaitu sistem yang membutuhkan oksigen untuk dapat menghasilkan ATP. Jenis energi yang digunakan tergantung dari intensitas dan waktu yang diperlukan untuk melakukan aktifitas tersebut. Estimasi waktu akan menentukan kebutuhan energi saat melakukan aktifitas.
Ketika melakukan aktifitas, otot membutuhkan pasokan energi (ATP) secara terus menerus, sedangkan persediaan ATP dalam otot terbatas. Untuk dapat tetap melakukan aktiftas ATP harus selalu dihasilkan kembali. Proses-proses pembetukan ATP menurut Soekarman (1991:9), melalui :
(1) Sistem ATP-PC (Fosfagen), (2) Sistem asam laktat dan (3) Sistem aerobik.
Estimasi waktu dan energi yang digunakan untuk melakukan aktiftas adalah sebagai berikut :
ATP ATP – PC ATP – PC – LA Aerob (Oksigen)
1 detik
Aktifitas antara 15-20 detik Aktifitas antara 20 detik – 2 menit Lebih dari 2 menit
Berdasarkan gambaran estimasi waktu dan energi yang digunakan untuk melakukan aktifitas di atas, intensitas latihan menjadi hal yang penting untuk dapat membantu dalam menyusun program latihan. Perencanaan program latihan akan lebih efektif dan efisien.
Sedangkan proses pemecahan ATP sebagai berikut :
ATP ADP + Pi + Energi
dibackup
ATP – PC P + C + Energi (digunakan untuk resistensis ADP+P)
Lari 100 meter dilakukan dengan intensitas yang maksimal, dengan waktu kurang dari 15 detik. Aktivitas yang dilakukan dengan intensitas tinggi dalam waktu kurang dari 15 detik menggunakan sistem energi ATP-PC. Menurut Fox & Mathews (1981:242), aktifitas lari 100 meter diperkirakan menggunakan ATP-PC dan LA sebesar 98% dan LA-O2 sebesar 2 %. Menurut Fox, Richard & Foss (1993:289) bahwa atlet lari cepat 100 meter umumnya menggunakan waktu kerja (time performance) 09.8-0.15 detik, energi yang digunakan adalah ATP-PC (anaerobic capacity).Hal ini dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1Presentase waktu kerja dan sistem energi dalam nomor-nomor lari(Edward L. Fox, Richard W. Bower & Merle L. Foss, 1993:289)
Event Time of performance (min:sec) Speed (ATP-PC Strength) Aerbic capacity (oxygen sistem) Anaerobic capacity (speed&lactid acid sistem) Marathon 6 mile (10k) 3 mile (5 k) 2 mile 1 mile 800 meter 400 meter 200 meter 100 meter 135:00 to 180.00 28:00 to 50:00 14:00 to 25:00 8:00 to 15:00 3:50 to 6:00 1:50 to 3:00 0:45 to 1:30 0:21 to 0:35 0:09.8 to 0:15 Negligible 5% 10 20 20 30 80 90+ 95+ 95% 80 70 40 25 5 5 negligible negligible 5% 15 20 40 55 65 15 <10 <5 55 % menjadi panas
Perbandingan kapasitas dan tenaga dari ketiga sistem energi tersebut didapatkan hasil sebagai berikut :
Tabel 2.2 Kapasitas dan energi dari sistem energi(Soekarman, 1991:14)
Sistem Energi Kapasitas
(jml mol) Tenaga (mol/menit)
Timbunan phosphagen(ATP-PC) Glikolisis anaerob Aerob (oxidatif) 0.6 1.2 3.6 1.6 1.0 a) Sistem ATP – PC (Fosfagen)
Semua energi yang dibutuhkan untuk melakukan aktifitas barasal dari ATP.ATP dalam otot tersedia dalam jumlah yang terbatas. Namun apabila otot terlatih untuk melakukan aktifitas maka jumlah ATP yang tersedia akan semakin meningkat. Saat kontraksi, ATP akan pecah menjadi ADP dan Pi yang menghasilkan pelepasan energi. Energi yang dihasilkan 55% berupa panas sedangkan sisanya 45% untuk melakukan kontraksi tersebut. Apabila aktifitas/kontraksi yang dilakukan masih berlanjut maka ATP akan habis sehingga harus dibentuk kembali. Guna memenuhi kembali jumlah ATP perlu adanya posokan dari cadangan energi.Merle L. Foss & Steven J. Keteyian (1998:20) menyatakan bahwa ketika cadangan habis dalam aktivitas yang berintensitas sangat (ultra) tinggi, misalnya sprinting, mereka tidak dapat diisi kembali secara efektif hingga pemulihan dimulai. Oleh karena itu harus ada senyawa lain yang membatu menyediakan energi secepat mungkin. Proses pembentukan kembali ATP ini membutuhkan peran senyawa sederhana, yaitu PC (phosphocreatine).PC ini merupakan senyawa sederhana sumber energitercepat untuk menghasilkan ATP.Soekarman (1991:12) menyatakan, bahwa “PC merupakan sumber energi yang tercepat untuk membentuk ATP kembali”.
Proses pembentukan ATP ini dilakukan dengan memecah PC menjadi Pi dan C (creatine) yang menghasilkan energi. Energi ini yang digunakan untuk meresintesis ADP dan Pi untuk menjadi ATP kembali. Proses pemecahan ini tidak memerlukan oksigen. Di dalam otot PC tersedia dalam jumlah sangat sedikit.Akan tetapi jumlahnya dapat ditingkatkan dengan melakukan latihan secara teratur.Hal ini berlangsung pada masa pemulihan (recovery) dari suatu latihan/kerja, dimana energi yang digunakan bagi resintesis ATP berasal dari pemecahan bahan-bahan makanan.ATP dan PC disebut sistem fosfagen (phosphagensistem) karena
mengandung senyawa fosfat. Reaksi kimia dari sistem fosfagen adalah sebagi berikut :
(Merle L. Foss & Steven J. Keteyian, 1998:20)
Pentingnya sistem fosfagen bagi performa fisik menjadi semakin dominan.Tanpa sistem ini, gerakan yang cepat dan kuat tidak dapat dilakukan, karena kegiatan-kegiatan ini memerlukan pasokan yang dapat disediakan dengan cepat.Soekarman (1991:13) menyatakan bahwa olahraga yang dilakukan dengan intensitas yang sangat tinggi seperti lari 100 meter, dibutuhkan persediaan energi yang sangat cepat.Hal ini hanya dapat dipenuhi oleh cadangan fosfat yang tersedia.
Soekarman (1991:13) mengemukakan juga bahwa sistem fosfagen ini merupakan sumber energi yang dapat digunakan secara cepat yang diperlukan untuk olahraga yang memerlukan kecepatan. Seorang pelari 100 meter hanya dapat mempertahankan kecepatan maksimum selama 6 detik, selanjutnya kecepatan akan menurun. Bompa, Tudor O.& G. Gregory Haff (2009:21) berpendapat bahwa otot rangka hanya dapat menyimpan sejumlah ATP, kehabisan energi dalam usaha berintensitas tinggi selama 10 detik, sedangkan PCr dapat berkurang sebesar 50% sampai 70% dari nilai awal dalam latihan berintensitas tinggi selama 5 detik dan dapat benar-benar habis dalam merespon latihan yang kuat dan melelahkan. Sumbangan tertinggi terhadap produksi ATP oleh PCr terjadi dalam 2 detik pertama latihan inisiasi; sebesar 10 detik latihan, kemampuan PCr untuk memasok ATP berkurang sebesar 50% dan dengan 30 detik latihan PCr menyumbang sangat sedikit terhadap persediaan ATP. Pada waktu 10 detik, sumbangan sistem glikolisis terhadap pasokan ATP mulai meningkat.
Di dalam otot tubuh simpanan PC yang jumlahnya kira-kira lima kali lipat simpanan ATP dalam tubuh. Akan tetapi jumlah ATP tidak hanya bergantung pada berat badan dan massa otot. Latihan yang dilakukan secara teratur akan meningkatkan jumlah ATP dalam otot. Oleh karena itu untuk dapat meningkatkan prestasi terutama dalam pembahasan ini adalah lari 100 meter, diperlukan suatu rancangan program latihan yang cermat sehingga diperoleh latihan yang efektif dan
PC Pi + C + Energi
efisien.Pengetahuan tentang sistem energi terutama sistem energi dominan yang dibutuhkan dalam lari 100 meter membantu dalam penyediaan konsumsi makanan bagi para atlet.
Besarnya energi ATP yang tersedia dari sistem fosfagen dalam Merle L. Foss & Steven J. Keteyian (1998:21) adalah:
Tabel 2.3Jumlah energi ATP-PC(Merle L. Foss & Steven J. Keteyian, 1998:21)
OTOT ATP PC TOTAL ATP-PC (phosphagen) 1. Konsentrasi Otot a. mM/Kg otot b. mM keseluruhan otot 2. Energi yang digunakan
Kcal/Kg otot
Kcal keseluruhan otot
4 – 6 120 – 180 0.04 – 0.06 1.2 – 1.8 15 – 17 450 – 510 0.15 – 0.17 4.5 – 5.1 19 – 23 570 – 690 0.19 – 0.23 5.7 – 6.9
Tabel di atas mengandaikan berat seseorang 70 Kg dengan berat otot seluruhnya 30 kg, dan setiap molekul ATP dapat menghasilkan 10 Kcal energi. Dari tabel di atas dinyatakan bahwa simpanan PC dalam otot lebih banyak dari simpanan ATP-nya.Hal ini sesuai dengan fungsi PC, yaitu untuk menyajikan energi bagi resintesis ATP. Simpanan fosfagen seluruhnya (ATP + PC) dalam tubuh hanya antara 570 sampai 690 milimol saja, yang seharga dengan 5.7 sampai 6.9 Kcal energi yang berasal dari ATP, dan yang hanya dapat digunakan untuk kegiatan dalam waktu yang terbatas sekali sekitar 10 detik, misal untuk sprint 100 meter (Merle L. Foss & Steven J. Keteyian, 1998:22).
Kemudian Foss & Keteyian (1998: 22) menyatakan, bahwa sistem fosfagen merupakan sumber ATP yang tersedia dengan cepat untuk digunakan oleh otot. Alasan yang menunjang pernyataan tersebut ialah:
(1) ATP-PC disimpan secara langsung di dalam mekanisme kontraktil otot, (2) Tidak tergantung pada reaksi kimia yang panjang, dan
(3) Tidak tergantung pada pengangkutan oksigen saat bernafas untuk kerja otot”. Sistem fosfagen merupakan sumber energi utama untuk aktifitas yang berintensitas sangat tinggi, seperti lari 100 meter. Bompa & Haff (2009:22) mengemukakan bahwa:
“Pengisian kembali cadangan fosfagen biasanya merupakan sebuah proses yang sangat cepat, dengan 70 % pemulihan ATP yang terjadi dalam waktu
sekitar 30 detik dan pemulihan sempurna dalam latihan terjadi selama 3 sampai 5 menit. Pemulihan PC memakan waktu lebih lama dengan 2 menit untuk pemulihan 84%, 4 menit untuk pemulihan 89 % dan 8 menit untuk yang sempurna. Pemulihan fosfagen terjadi sebagian besar melalui metabolisme aerobik.Akan tetapi, sistem glikolisis mungkin juga menyumbang pada pemulihan kumpulan fosfagen setelah latihan yang berintensitas tinggi”.
b) Sistem Glikolisis Anaerobik atau Sistem Asam Laktat
Ketika suatu aktifitas dilakukan terus menerus melebihi sistem energi fosfagen, yaitu aktifitas yang berlangsung selama 20 detik – 2 menit. Maka aktifitas tersebut membutuhkan cadangan energi yang akan dipenuhi melalui persediaan glikogen yang ada dalam otot-otot yang aktif melakukan kontraksi. Proses anaerob yang berlangsung dalam otot dimana terjadi resintesis ATP dengan glikogen sebagai sumber energinya disebut dengan proses glikolisis. Proses glikolisis merupakan proses pemecahan karbohidrat secara tak sempurna, karena belum menggunakan oksigen dan menghasilkan asam laktat sebagai hasil sampingan. Oleh karena berlangsungnya proses tanpa melibatkan oksigen maka proses ini disebut proses glikolisis anaerobik. Di dalam tubuh, semua jenis karbohidrat diubah menjadi jenis gua sederhana, yaitu glukosa, yang dapat digunakan. Bila berlebihan akan disimpan di dalam hati atau dalam otot sebagai glikogen, yang dapat segera digunakan kemudian pada saat diperlukan. Sebagai hasil sampingan, asam laktat bila menumpuk dankadarnya meninggi dapat merugikan tubuh karena akan menimbulkan kelelahan. Dibandingkan dengan sistem fosfagen, sistem glikolisis anaerob jauh lebih rumit.
Pada awalnya sebagian besar ATP dipasok dari glikolisis cepat.Ketika aktifitas berlangsung hampir 2 menit maka pasokan ATP berasal dari glikolisis lambat. Proses pembentukan energi glikolisis anaerobik memerlukan proses yang lebih panjang dibandingkan dengan proses pembentukan energi ATP-PC. Hal ini dikarenakan proses glikolisis anaerobik harus melalui 12 macam reaksi. Soekarman (1991 : 15) menyebutkan bahwa proses tersebut (glikolisis anaerobik) diperlukan 12 macam reaksi berurutan, sehingga pembentukan energi lewat sistem ini berjalan lambat jika dibandingkan dengan ATP-PC. Kemudian Soekarman menambahkan ciri-ciri glikolisis anaerobik dapat disimpulkan sebagai berikut:
(1) Menyebabkan terbentuknya asam laktat yang dapat menyebabkan kelelahan. (2) Tidak membutuhkan oksigen.
(3) Hanya menggunakan karbohidrat.
(4) Memberikan energi untuk resintesis beberapa molekul ATP saja.
Proses glikolisis anaerobik ini menghasilkan asam laktat (LA). Jika asam laktat yang dihasilkan melebihi kemampuan tubuh untuk mentoleransi maka asam laktat itu akan menumpuk. Penumpukan asam laktat ini akan mengakibatkan otot mengalami kelelahan sehingga aktifitas akan terhenti.
Glikogen diperoleh dari makanan yang mengandung karbohidrat. Makanan rendah karbohidrat akan berakibat pada berkurangnya cadangan glikogen dalam otot sehingga berdampak pada aktifitas yang dilakukan, terutama latihan yang memerlukan intensitas tinggi dan durasi yang panjang. Bompa & Haff (2009 : 23-24) mengemukakan bahwa “Latihan aerobik dan latihan anaerobik seperti interval sprint yang berulang-ulang dan pelatihan ketahanan dapat secara signifikan mempengaruhi otot dan cadangan glikogen liver”. Aktifitas dengan intensitas dan durasi yang tinggi akan menguras cadangan glikogen yang ada dalam otot. Pengisian kembali atau pemulihan glikogen otot ini memerlukan waktu yang panjang. Bompa & Haff (2009:24) menjelaskan bahwa “ Setelah menyelesaikan latihan, secara umum memerlukan waktu antara 20 – 24 jam bagi glikogen otot agar pulih secara sempurna”. Kemudian ketika terjadi kerusakan otot atau persediaan karbohidrat yang tidak memenuhi, maka pemulihan kembali glikogen otot memerlukan waktu yang lebih panjang. Ini diperjelas oleh pendapat Ivy dan rekan-rekan dalam Bompa & Haff (2009:24) bahwa “ Jika karbohidrat dikonsumsi dalam 2 hari setelah menyelesaikan latihan, penyimpanan glikogen otot dapat meningkat 45%”. Pemahaman ini sangat penting disaat mengikuti perlombaan, dimana waktu yang digunakan untuk lomba sangat pendek. Sehingga dapat diambil kesimpulan, bahwa konsumsi karbohidrat yang cukup akan membantu menjaga performa atlet. e. Kecepatan Lari 100 Meter
Kecepatan merupakan unsur utama dalam lari 100 meter.Bompa (1990) mengemukakan bahwa salah satu kemampuan biomotorik yang sangat penting dilakukan dalam olahraga adalah kecepatan, atau kapasitas untuk berpindah, bergerak secepat mungkin.Pernyataan tersebut mendukung bahwa kecepatan
merupakan unsur yang sangat penting dalam melakukan gerak motorik.Lari cepat atau sprint merupakan gerak motorik yang komplek, yaitu koordinasi antar bagian-bagian tubuh sehingga dapat melakukan gerakan dengan cepat.Oleh karena itu kecepatan menjadi unsur utama yang sangat penting dalam lari 100 meter.
Menurut Ismaryati (2008:57) kecepatan adalah kemampuan bergerak dengan kemungkinan kecepatan tercepat. Ditinjau dari sistem gerak kecepatan adalah kemampuan dasar mobilitas sistem saraf pusat dan perangkat otot untuk menampilkan gerakan-gerakan pada kecepatan tertentu. Kecepatan adalah salah satu kemampuan biomekanika yang penting untuk melakukan aktifitas olahraga (Bompa, 1990).
Menurut Harsono (1988:314) kecepatan adalah kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan yang sejenis secara berturut-turut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, atau kemampuan untuk menempuh suatu jarak dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.Syaifullah (2006:17) mendifinisikan kecepatan sebagai kemampuan untuk bergerak dengan kecepatan yang paling cepat. Kecepatan ini secara meyakinkan menyumbang dalam prestasi lari cepat (sprint) dan loncat horisontal (horizontal jamp). Sedangkan Nossek (1982 :82) mengemukakan kecepatan merupakan kualitan kondisional yang memungkinkan seseorang olahragawan untuk bereaksi secara cepat bila dirangsang dan untuk menampilkan/melakukan gerakan secepat mungkin.
Rushall, & Pyke (1992: 252) menyatakan bahwa, pada saat sebuah tindakan sangat cepat dan tampaknya memerlukan usaha yang relatif kecil hal ini biasanya diklasifikasikan sebagai gerakan kecepatan. Kemudian Sugiyanto, dkk (2007:62) juga mengemukakan kecepatan sebagai kemampuan untuk berpindah tempat/bergerak pada seluruh tubuh atau bagian dari tubuh dalam waktu yang singkat. Secara fisika, kecepatan diartikan sebagai perbandingan antara jarak (panjangnya lintasan ) dan waktu (lamanya gerak).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut kecepatan dapat diartikan sebagai kemampuan tubuh untuk berpindah tempat/bergerak pada seluruh bagian tubuh atau sebagian dari tubuh dalam waktu yang singkat dengan usaha yang relatif kecil Lari 100 meter adalah berlari dengan menempuh jarak 100 meter. Jadi kecepatan lari 100 meter adalah kemampuan tubuh untuk berlari secepat mungkin (waktu
yang sesingkat-singkatnya) dengan menempuh jarak 100 meter.Mengacu pada pendapat-pendapat di atas, kecepatan memiliki peran terpenting dalam pencapaian lari 100 meter.Pencapain kecepatan tidak dapat langsung secara maksimal, melainkan melalui tahapan yang disebut percepatan (accelerasion). Jadi pencapaian kecepatan lari 100 meter dapat digambarkan sebagai berikut:
Percepatan Penurunan
Kecepatan awal Kecepatan maksimal Perlambatan
Gambar 2.6Kecepatan dan percepatan dalam lari sprint
Percepatan ialah perubahan dari kecepatan dalam satuan waktu tertentuImam Hidayat,(1997:106). Nossek (1982:90) menyebutkan empat fase analisis kecepatan, yaitu :
(1) Waktu reaksi dan kecepatan reaksi (2) Akselerasi
(3) Dasar kecepatan lari (4) Ketahanan kecepatan
Kecepatan dibedakan menjadi dua macam, yakni kecepatan umum dan kecepatan khusus.
(1) Kecepatan umum
Adalah kapasitas untuk melakukan berbagai macam gerakan (reaksi motorik) dengan cara yang cepat.
(2) Kecepatan khusus
Adalah kapasitas untuk melakukan suatu latihan atau keterampilan pada kecepatan tertentu, biasanya sangat tinggi.Kecepatan khusus adalah khusus untuk tiap cabang olahraga dan sebagian besar tidak dapat ditransferkan, dan hanya mungkin dikembangkan melalui metode khusus. (Ismaryati, 2008:57)
Kecepatan menurut Haag & Kremple (1987:20) kecepatan dibedakan menjadi kecepatan asiklis, siklis dan kecepatan dasar.
(1) Kecepatan asiklis
Adalah kecepatan gerak yang dibatasi oleh faktor-faktor yang terletak pada otot, yakni kekuatan statis, kecepatan kontraksi otot, gerak otot-otot antagonis, panjang pengungkit dan massa yang digerakkan.
(2) Kecepatan siklis
Adalah produk yang dihitung dari frekuensi dan amplitudo gerak (3) Kecepatan dasar
Kecepatan dasar sebagai kecepatan maksimal yang dapat dicapai dalam gerak siklis adalah produk maksimal yang dapat dicapai dari frekuensi dan amplitude gerak.
Sedangkan kecepatan menurut Sugiyanto, (2007: 62-64) dibagi menjadi 6 (enam ) jenis, yaitu :
1) Kecepatan maksimal
Adalah fase dimana gerak mencapai pada titik kecepatan penuh setelah didahului dengan percepatan.
2) Kecepatan optimal
Adalah kemampuan mengembangkan kecepatan maksimal tapi terkontrol. 3) Dayatahan kecepatan
Adalah kemampuan untuk bergerak cepat dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami kelelahan.
4) Kecepatan reaksi
Adalah waktu antara datangnya stimulus dengan gerakan awal.
5) Quickness
Adalah waktu yang menghubungkan antara reaksi dengan dimulainya gerakan menuju pada kecepatan.
6) Kelincahan
Merupakan kemampuan untuk bergerak, berhenti dan mengubah kecepatan serta mengubah arah dengan cepat dan tepat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan (Depdiknas, 2000:56) adalah : 1) Kelentukan.
Kurangnya kelentukan daerah pinggul dan tungkai atas akan mengurangi kecepatan lari, karena tahanan yang dibuat oleh otot yang berlawanan.
2) Tipe tubuh
Orang yang obesitas cenderung mempunyai gerak yang lamban, hal ini karena friksi dari sel-sel lemak dalam sel otot serta beban ekstra dari berat badan yang harus diatasi pada saat melakukan gerak.
3) Umur
Peningkatan kecepatan sesuai dengan penambahan umur.Akan tetapi penurunan ini dapat ditunda apabila terus dilatih secara teratur.
4) Jenis kelamin.
Terlihat perbedaan kecepatan antara laki-laki dan perempuan.Perempuan hanya memiliki 85% dari laki-laki.Perbedaan ini dipengaruhi oleh kekuatan otot.
Gandelsman dan Smirnov (1970) dalam Bompa (1990) memasukkan lari dalam kelompok pencapaian kecepatan yang tinggi pada keterampilan siklik, artinya bahwa kelompok ini memiliki inti utama, yaitu kecepatan. Program latihan yang dilakukan adalah untuk dapat menyesuaikan kecepatan dengan berbagai lari 100 meter.Keberhasilan lari 100 meter dilihat dari catatan waktu yang ditempuh.Semakin cepat berlari maka waktu yang diperoleh semakin singkat.Pencapaian kecepatan biasa dijadikan tolak ukur bagi keberhasilan program latihan yang menyangkut sistem syaraf pusat, neuromuskuler dan kardiovaskuler.
2. Latihan untuk Meningkatkan Kecepatan Lari 100 Meter a. Pengertian dan Tujuan Latihan
Latihan adalah suatu proses penyesuaian tubuh yang dilakukan dengan berulang-ulang secara sistematis dengan menambah beban secara bertahap untuk mencapai prestasi maksimal Hamid, A, (2000:7). Kemudian Harsono (1992:2) dalam Hadisasmita & Syarifuddin (1996:126) menyatakan bahwa latihan adalah proses yang sistematis dari berlatih yang dilakukan berulang-ulang, demikian menambah jumlah beban ketihan serta intensitas latihan. Sistematis berarti berencana, menurut jadwal, menurut pola dan sistem tertentu, metodis, dari mudah ke yang lebih sukar, latihan teratur, dari yang sederhana ke yang lebih rumit. Sedangkan menurut Harre (1971) dalam Nossek (1982:12) mendefiniskan latihan adalah suatu proses penyempurnaan olahraga yang diatur dengan prinsip-prinsip yang bersifat ilmiah, khususnya prinsip-prinsip paedagogis. Proses ini dirancang dan
sistematis, meningkatkan kesiapan untuk tampil. Bompa & Haff (2009:6) mengemukakan bahwa pelatihan merupakan sebuah proses yang terorganisasi dimana tubuh dan pikiran terpapar secara terus menerus dengan stressor (penyebab stress) dengan volume (kantitas) dan intensitas yang bervariasi. Kemampuan seorang atlet untuk menyesuaikan diri terhadap beban latihan merupakan langkah awal untuk bisa menaikkan kemampuan tubuhnya. Program latihan yang terencana dengan baik, metodis dan menantang akan membantu meningkatkan performa atlet. Bompa & Haff (2009:9) mengambarkan skema program latihan dan pencapaian performa:
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas definisi latihan adalah suatu proses yang sistematis yang dilakukan berulang-ulang untuk proses penyesuaian tubuh terhadap beban latihan yang terus meningkat dengan berpendoman pada prinsip-prinsip ilmiah dan prinsip-prinsip paedagogis.
Tujuan dari latihan adalah untuk menjadikan tubuh mampu melakukan aktifitas secara maksimal. Latihan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus akan membantu pencapaian prestasi secara maksimal. Harsono (1992:5) dalam Hadisasmita & Syarifuddin (1996:126) menyatakan bahwa tujuan utama dari latihan atau training adalah untuk membantu atlet meningkatkan keterampilan dan prestasi olahraganya semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuan, ada empat aspek latihan yang perlu diperhatikan oleh pelatih, yaitu :
a) Latihan fisik b) Latihan teknik c) Latihan taktik d) Latihan mental
Keempat aspek harus dilakukan secara serempak dan tidak satu pun boleh terabaikan. Untuk dapat mencapai tujuan utama dari latihan, yaitu taraf keterampilan dan prestasi dari para atlet, maka tujuan umum dari latihan harus dicapai. Maksud dari tujuan umum latihan Bompa & Haff (2009: 4) adalah :
a) Untuk mencapai dan meningkatkan perkembangan fisik secara multilateral b) Untuk meningkatkan dan mengamankan perkembangan fisik yang spesifik,
sesuai dengan kebutuhan olahraga yang ditekuni.
c) Untuk menghaluskan dan menyempurnakan teknik dari cabang olahraganya. d) Untuk meningkatkan dan menyempurnakan teknik maupun strategi yang
diperlukan.
e) Untuk mengelola kualitas kemauan.
f) Untuk menjamin dan mengamankan persiapan individu maupun tim secara optimal.
g) Untuk memperkuat tingkat kesehatan tiap atlet. h) Untuk mencegah cidera.
i) Untuk meningkatkan pengetahuan teori. b. Prinsip-prinsip Latihan
Pengetahuan tentang latihan harus diimbangi dengan pengetahuan tentang hal yang lain yang tidak kalah penting, yaitu prinsip-prinsip latihan. Prinsip-prinsip latihan adalah suatu dasar bagi atlet dan pelatih tentang hal-hal yang harus dilakukan atau dijadikan sebagai pedoman.Tanpa mengetahui prinsip-prinsip latihan seorang pelatih atau atlet tidak dapat berhasil dalam latihan. Prinsip-prinsip latihan menurut Bompa (1990)adalah sebagai berikut:
a) Prinsip Beban Lebih (Overload)
Prinsip beban lebih adalah prinsip latihan yang menekankan pada pembebanan latihan yang lebih berat daripada yang mampu dilakukan oleh atlet, artinya berlatih dengan beban yang berada di atas ambang rangsang.Prinsip beban lebih disebut juga dengan prinsip stress (overload). Latihan ditingkatkan secara bertahap, dan disesuaikan denagn kemampuan fisiologis dan psikologis setiap individu atlet.Dasar fisiologis ini berpedoman kepada suatu bukti bahwa hasil dari latihan adalah efisiensi fungsional organ dan sekaligus kapasitas kerja secara bertahap meningkat dalam waktu yang cukup lama (Bompa, 1990).Jika tubuh telah mampu beradaptasi terhadap beban latihan yang diberikan maka latihan berikutnya harus ditekankan dengan cara mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi latihan tersebut yang mencakup: (a) frekuensi , (b) volume, (c) intensitas, (d) density, (e) durasi,
overload dicapai dengan memanipulasi kombinasi dari frekuensi latihan, intensitas latihan, dan durasi latihan. Sistem faal tubuh membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan rangsang-rangsang latihan (adaptasi).Adaptasi adalah penyesuaian fungsi dan struktur organ atlet akibat beban latihan yang diberikan oleh pelatih.
Hadisasmita & Syarifuddin (1996:131-132) menyebutkan 3 tingkat adaptasi diwujudkan oleh penampilan kerja atlet sebagai berikut:
(1) Superkompensasi (prestasi naik), karena : (a) Beban di atas ambang / teratur. (b) Istirahat cukup.
(c) Metode dan bahan tepat. (d) Gizi makanan baik.
(2) Plateau (prestasi tetap), karena : (a) Beban tepat ambang rangsang. (b) Pelatih tak mampu.
(c) Metode tidak sesuai. (d) Pembinaan fisik salah. (e) Atlet motovasi lemah.
(f) Umur prestasi habis. (3) Prestasi turun (involusi), karena :
(a) Umur prestasi sudah lewat. (b) Latihan tidak teratur / ringan. (c) Kemampuan pelatih terbatas.
(d) Overtraining.
(e) Sakit dan motivasi rendah. (f) Kurang gizi makanan. (g) Istirahat kurang.
(h) Metode dan beban latihan tidak tepat. (4) Prestasi naik-turun (fluktuasi)
Agar adaptasi terhadap latihan dapat dicapai dengan baik, maka penerapannya harus diselingi dengan masa-masa pemulihan atau penurunan intensitas dan volume latihan. Oleh karena itu:
(a) Istirahat yang cukup tiap hari sangat penting.
(b) Hari-hari latihan berat harus diselingi dengan hari-hari latihan ringan.
(c) Rencana latihan harus disusun dalam siklus-siklus, yaitu misalnya setelah latihan puncak, latihan kemudian diturunkan intensitas dan volumenya.
Prinsip peningkatan bertahap beban latihan, merupakan dasar untuk semua perencanaan latihan olahraga (Bompa, 1990). Peningkatan latihan beban akan mengakibatkan keadaan sedikit kurang stabil terhadap fungsi organ serta psikologis atlet. Ketika keadaan itu telah tercapai maka akan ada fase penyesuaian hingga mencapai puncak dengan peningkatan tingkat latihan serta prestasi. Berikut ilustrasi prinsip beban beban berlebih dengan sistem tangga:
Gambar 2.7Prinsip beban berlebih (the overload principle)
http://www.koni.or.id/files/documents/journal/1.%20PRINSIP%20PRINSIP%20LA TIHAN%20Oleh%20Dikdik%20Zafar%20Sidik.pdf
Prinsip beban berlebih sebaiknya menganut sistem tangga (step-type
approach).Efek latihan pada tubuh adalah semua yang terjadi dalam latihan.
Bila pembebanan latihan terlalu ringan, efek latihan setelah pemulihan akan menjadi kurang dari yang diharapkan. Jika pembebanan latihan terlalu besar/berat maka akan terjadi overtraining.
Gambar 2.8Efek latihan (overcompensation) Keterangan:
--- : latihan terlalu berat. : latihan terlalu kuat - - - : latihan terlalu ringan.
(http://www.koni.or.id/files/documents/journal/1.%20prinsip%20prinsip%20L ATIHAN%20Oleh%20Dikdik%20Zafar%20Sidik.pdf)
b) Prinsip Perkembangan Multilateral
Prinsip perkembangan menyeluruh (multirateral) menekankan pada keterlibatan semua komponen dalam pelatihan, dimana segala hal dapat dijadikan pengetahuan untuk menambah komponen diri.Prinsip perkembangan menyeluruh membantu pelatih dalam mengembangkan dasar-dasar yang menunjang keterampilan. Oleh karena itu disarankan kepada para pelatih untuk tidak membatasi atletnya dengan memberikan spesialisasi pada usia dini.
Prinsip perkembangan multirateral didasarkan pada fakta bahwa selalu ada interdependensi (saling ketergantungan) antara semua organ dan sistem tubuh manusia, antara komponen-komponen biomotorik dan antara proses-proses faal dengan psikologis Hadisasmita & Syarifuddin (1996:134). Perubahan yang terjadi ketika suatu program latihan dilakukan merupakan hubungan keterkaitan antara faktor fisiologis, psikologis dan faktor eksternal berupa program latihan yang menyatukan faktor-faktor tersebut. Berikut fase pokok dalam latihan olahraga :
Gambar 2.9 Fase pokok dalam latihan olahraga (Bompa & Haff (2009:32) prestasi tinggi latihan yang khusus pengembangan menyeluruh
c) Prinsip Intensitas Latihan
Hasil dari suatu program latihan akan tampak apabila latihan dilakukan secara intensif, dimana pelatih secara progresif menambahkan beban kerja, jumlah pengulangan gerakan (repetisi) serta kadar intensitas dari repetisi tersebut.
d) Prinsip Kualitas Latihan
Keberhasilan suatu program latihan juga bergantung pada kualitas dari latihan itu sendiri.Program latihan harus berbobot, bermutu serta sesuai dengan sasaran. Program latihan yang berkualitas adalah:
(a) Latihan yang diberikan bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan atlet. (b) Apabila koreksi-koreksi yang tepat dan konstruktif sering diberikan. (c) Apabila pengawasan dilakukan oleh pelatih sampai ke detail setiap
gerakan dan setiap kesalahan segera diperbaiki. (d) Apabila prinsip-prinsip overload diterapkan, e) Prinsip Keterlibatan Aktif
Keaktifan semua personal daam latihan akan menjadikan tujuan latihan tercapai secara maksimal. Keaktifan ini berarti keikutsertaan pelatih dan atlet dalam setiap latihan.Pelatih perlu menjalin hubungan yang harmonis dengan atlet agar timbul keinginan dari atlet untuk mengikuti program latihan dengan kesadaran sendiri. Apabila semua personal (pelatih dan atlet) sudah memiliki kesadaran untuk mengikuti latihan, maka akan mudah untuk bersama-sama mencapai tujuan latihan, yaitu prestasi yang maksimal.
f) Variasi Dalam Latihan
Variasi latihan merupakan cara untuk menghindarkan atlet dari kejenuhan terhadap rutinitas latihan. Apabila kejenuhan sudah dirasakan, maka akan mempengaruhi motivasi untuk berlatih. Oleh karena itu perlu adanya variasi latihan dengan tetap berprinsip pada prinsip-prinsip latihan. Peran dari pelatih sangat penting dalam merancang kreatifitas program latihan. Selain untuk meningkatkan unsur-unsur fisik program latihan juga harus memberikan rasa senang sehingga menimbulkan motovasi untuk menyelesaikan latihan dan mencapai tujuan dari latihan
g) Prinsip Individualisasi
Bompa & Haff (2009:38) berpendapat bahwa individualisasi dalam latihan adalah suatu kebutuhan yang utama dari suatu bentuk usaha latihan, dan ini berbeda untuk setiap atlet.Keunikan masing-masing atltet harus menjadi perhatian bagi pelatih.Tujuan dari prinsip individualisasi adalah mengetahui kekurangan dan kelebihan dari masing-masing atlet sehingga program latihan dapat disesuaikan dengan kebutuhan tiap atlet.Perencanaan individualisasi mengarah pada kekhususan program untuk tiap atlet.
Ritter’s (1981) dalam Bompa (1990) menyebutkan bahwa pelatih-pelatih yang efektif dalam latihan akan mengembangkan pengetahuan tentang aturan seperti di bawah ini :
(a) Analisis yang luas dari kemampuan-kemampuan usaha setiap atlet dan pengembangan personal, menyangkut didalamnya umur, pengalaman, kapasitas individu, status kesehatan dalam latihan. Beban latihan dan kecepatan-kecepatan atlet dalam penulihan, bentuk tubuh dan tipe syaraf, jenis kelamin.
(b) Penyesuaian kerja.
(c) Organ seorang wanita terutama perbedaan struktur secara anatomi dan biologi harus menjadi perhatian.
h) Penetapan Sasaran (Goal Setting)
Penetapan sasaran berarti penetapan tujuan dan sasaran latihan.Penentapan sasaran ini berhubungan dengan periode latihan, yaitu jangka panjang, menengah dan jangka pendek.
i) Prinsip Perbaikan Kesalahan
Apabila pada saat latihan, atlet melakukan kesalahan, maka pelatih harus melakukan perbaikan dengan menyertakan penyebab kesalahan.
c. Variabel-variabel Latihan
Program latihan yang efisien disesuaikan dengan kebutuhan fungsional, fisiologis dan psikologis.Artinya suatu program latihan dirancang untuk memenuhi tujuan dari performa.Oleh karena itu, seorang pelatih harus terlebih dahulu menentukan variable mana yang harus didahulukan untuk menunjang performa atlet. Bompa & Haff (2009:78) menyatakan bahwa program pelatihan fisik
diperoleh dari manipulasi volume (durasi, jarak, perulangan, atau beban volume), intensitas (beban, kecepatan, atau output energi) dan kepadatan (frekuensi/densitas).
Rencana pelatihan seharusnya menekankan variabel pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan atlet. Sebuah analisis tentang rencana pelatihan yang digunakan pada atlet akan memberikan wawasan tentang efektifitas manipulasi variabel pelatihan.
a) Volume Latihan
Volume adalah kuantitas kegiatan yang dilakukan dalam suatu latihan.Volume juga dianggap sebagai jumlah pekerjaan yang dilakukan selama sesi pelatihan atau fase. Bompa & Haff (2009:78) menyatakan volume merupakan komponen utama dari pelatihan karena ini merupakan sebuah prasyarat bagi pencapaian teknis, taktis dan fisik yang tinggi. Volume latihan memiliki bagian-bagian sebagai berikut :
(1) Waktu atau durasi latihan (dalam detik, menit, jam, hari, minggu atau bulan)
(2) Jarak tempuh (meter), berat badan (kilogram), jumlah angkatan dalam satuan waktu (berapa kilogram dapat diangkat dalam waktu satu menit) (3) Jumlah pengulangan atau repetisi dalam sebuah latihan atau unsur
teknik dalam satuan waktu tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, volume latihan diartian sebagai jumlah kerja keseluruhan yang dinyatakan dalam satuan jarak, berat, waktu dan jumlah pengulangan untuk satu kali latihan atau setiap fase. Penilaian volume berbeda dari cabang satu ke cabang yang lain, tergantung pada satuan waktu yang berlaku. Pada lari 100 meter, penilaian volume dinyatakan dalam waktu (detik).Contoh untuk lari 100 meter putra adalah 13 detik.
Volume beban latihan kecepatan untuk lari 100 meter menurut Nossek (1982:100) berprinsip pada:
(1) Intensitas maksimum dan submaksimum. (2) Jarak lari 30 – 80 meter.
(3) Volume berjumlah 10 – 16 pengulangan dalam 3 – 4 seri.
ditingkatkan secara bertahap.Penambahan ini bertujuan untuk merangsang adaptasi fisiologis yang diperlukan untuk meningkatkan performe. Ada 3 (tiga) cara efektif untuk meningkatan volume latihan Bompa, Tudor O.& G. Gregory Haff (2009:79), yaitu :
(1) Meningkatkan kepadatan (frekuensi) latihan. (2) Meningkatkan volume di dalam sesi latihan. (3) Melakukan keduanya.
Kemudian Bompa & Haff (2009:79) menambahkan efektifitas dalam strategi-strategi mengubah volume latihan, yaitu : (1) Meningkatkan durasi sesi latihan, (2) Meningkatkan kepadatan latihan (frekuensi atau jumlah sesi latihan), (3) Meningkatkan jumlah perulangan, set latihan atau unsure teknik per sesi latihan, (4) Meningkatkan jarak yang dilalui atau durasi perulangan atau latihan.
b) Intensitas Latihan
Intensitas latihan merupakan komponen penting yang dikaitkan dengan komponen kualitatif yang dilakukan dalam kurun waktu yang diberikan. Lebih banyak kerja yang dilakukan (dalam satuan waktu) akan lebih tinggi pula intensitasnya. Bompa (1990) berpendapat bahwa intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan gerakannya, variasi internal atau istirahat diantara tiap ulangan.Intensitas merupakan sebuah fungsi aktivasi neuromskuler, dengan intensitas yang lebih besar yang memerlukan aktivitas neuromuskuler yang lebih besar. Pola aktivasi neuromuskuler akan ditentukan oleh beban luar, kecepatan performa, jumlah kelelahan yang dikembangkan dan jenis latihan yang dilakukan.
Latihan untuk meningkatkan kecepatan lari 100 meter dilakukan dengan latihan pengembangan kecepatan.Latihan ini dilakukan dengan prosentase dari intensitas maksimal, dimana 100% merupakan prestasi tertinggi. Contohnya, seorang pelari 100 meter mencapai garis start dengan waktu 10 detik, artinya kecepatan yang dicapai adalah 10 m/s. tetapi mungkin saja pada atlet yang sama mampu mencapai waktu 10.2 m/d artinya pelari tersebut mencapai 105% dai maksimal (Bompa, 1990). Ukuran intensitas untuk
latihan kecepatan dan kekuatan diuraikan dalam tabel berikut:
Tabel 2.4Intensitas latihan kecepatan dan kekuatan(Bompa, Tudor O.& G.
Gregory Haff, 2009:80)
Intensity Zone Percentage of maximum
performance Intensity 6 5 4 3 2 1 >100 90-100 80-90 70-80 50-70 <50 Supermaximal Maximum Heavy Medium Low Very low
Alternatif lain untuk menentukan intensitas adalah berdasarkan pada sistem energi yang dipakai dalam kegiatan tertentu. Berikut 5 (lima) zona intensitas latihan berdasarkan sistem energi.
Tabel 2.5Limazona intensitas latihan berdasarkan sistem energy (Bompa & Haff, 2009:81) Intens ity Zone Event durasion Level of Intensity
Primary energi sistem Bioenergetik Contribution An aerobik Aerobik 1 2 3 4 5 6 <6 s 6-3 s 30 s to 2 min 2-3 min 3-30 min >30 min Maximum High Moderately high Moderate Moderate low Low ATP-PC
ATP-PC and fast glycolysis
Fast and slow glycolysis Slow glycolysis and oxidative Oxidative Oxidative 100-95 95-80 80-50 50-40 40-5 5-2 0-5 5-20 20-50 50-60 60-95 95-98
Latihan pada zona intensitas I hampir secara khusus mengandalkan metabolisme anaerob dan berlangsung hingga 6 detik.Zona ini ditandai dengan penggunaan energi yang tinggi sehingga termasuk dalam latihan berintensitas tinggi.
Selama latihan berlangsung, atlet dituntut menyelesaikan berbagai latihan dengan intensitas yang bervariasi.Intensitas yang bervariasi ini mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh. Secara otomatis tubuh akan menyesuaikan dengan latihan yang diberikan. Berdasarkan atas perubahan fisiologis ini khususnya denyut jantung (HR), pelatih harus mendeteksi serta memantau intensitas program latihannya.Berikut ini tabel intensitas latihan berdasarkan denyut jantung.
Tabel 2.6Intensitas Berdasarkan Reaksi Denyut Jantung tehadap Beban LatihanNikiforov, 1974 dalam Bompa, 1990)
Zone Tipe of Intensity Heart Rate/min
1 2 3 4 Low Medium Higt Maximu 120-150 150-170 170-185 >15
Intensitas pelatihan yang tinggi menghasilkan perkembangan yang cepat tetapi mengarah pada adaptasi yang kurang stabil, derajat konsisten yang lebih rendah, meningkatkan insidensi overtraining tinggi yang lebih rendah, dan masa stabil dalam performa.Sebaliknya, beban pelatihan tingkat rendah menghasilkan perkembangan yang lebih lambat dan rangsangan minimal untuk adaptasi fisiologis yang sesuai dengan performa yang lebih rendah tetapi lebih konsisten.Rencana latihan seharusnya mengubah volume dan intensitas secara sistematis guna memaksimalkan adaptasi fisiologis dan performa yang dirangsang oleh pelatih.
Bompa & Haff (2009:89) memberikan beberapa strategi untuk meningkatkan intensitas latihan, yaitu :
(a) Meningkatkan kecepatan gerakan pada suatu jarak tertentu atau kecepatan atau tempo dalam melakukan latihan taktis.
(b) Meningkatkan beban (yaitu perlawanan atau berat) dalam latihan kekuatan.
(c) Meningkatkan output energi (energi yang dikeluarkan) dalam kegiatan latihan.
(d) Mengurangi interval istirahat antar perulangan atau latihan taktis. (e) Menuntut agar atlet melakukan usaha ketahanan, interval atau taktis
pada prosentase denyut jantung maksimal yang lebih tinggi.
(f) Meningkatkan jumlah persaingan dalam fase latihan hanya jika hal ini sesuai dengan rencana latihan bagi atlet dan tidka menghambat perkembangan atlet.
Hubungan antara volume dan intensitas adalah berbanding terbalik.Artinya apabila volume besar maka intensitasnya rendah, sebaliknya apabila volume kecil maka intensitas tinggi. Hubungan antara volume dan
intensitas dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.10 Hubungan antara volume dan intensitas
Beban kerja yang tinggi mengembangkan ketahanan, menciptakan sebuah basis kapasitas, menetapkan durasi dan stabilitas pengaruh pelatihan yang sesuai dan berfungsi sebagai landasan untuk usaha yang kuat.
Strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan beban kerja: (a) Meningkatkan jumlah perulangan per set atau meningkatkan jarak dengan
menurunkan intensitas yang sesuai.
(b) Meningkatkan jumlah set, latihan atau keduanya. (c) Memanipulasi frekuensi pelatihan.
Suatu latihan akan efektif meningkatkan performa apabila beban latihan dikurangi sementara intensitas ditingkatkan. Adaptasi yang positif terhadap rangsangan latihan akan meningkatkan kesiapan atlet untuk mentoleransi beban latihan yang lebih besar. Guna merangsang adaptasi fisiologis yang tepat, dosis atau beban kerja eksternal harus ditingkatkan secara progresif.
(d) Kepadatan (frekuensi atau densitas) Latihan
Kepadatan latihan dapat ditentukan sebagai frekuensi atau distribusi sesi latihan atau frekuensi dimana seorang atlet melakukan serangkaian perulangan kerja per satuan waktu.Semakin besar kepadatan latihan, maka semakin pendek waktu pemulihan antara fase-fase dalam latihan. Ketika meningkatkan kepadatan latihan, atlet dan pelatih harus menetapkan keseimbangan antara pekerjaan dengan pemulihan guna menghindari tingkat kelelahan yang berlebihan yang dapat mengakibatkan
intensitas
overtraining.
Bompa & Haff (2009:93) menyebutkan ada dua metode umum yang digunakan untuk mengoptimalkan interval kerja ke istirahat pada latihan berbasis ketahanan atau interval, yaitu :
(a) Rasio yang tetap antara kerja dengan pemulihan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diperoleh kesimpulan bahwa perbandingan rasio kerja istirahat 1:1 atau 2:1 mentargetkan pada karakteristik ketahanan.Sedangkan rasio kerja istirahat 1:12 atau 1:20 mentargetkan karakteristik penghasil kekuatan dan energi.
Peningkatan kecepatan lari 100 meter dilakukan dengan beban maksimal (kecepatan maksimal).Prinsip ini mengacu pada kecepatan maksimal membutuhkan energi yang maksimal, oleh karena itu pemulihan energi secara maksimal menjadi hal yang sangat penting.Perbandingan 1:20 mewakili fisiologi tubuh untuk kembali pada pemulihan sempurna.
(b) Denyut jantung yang telah ditentukan sebelumnya.
Metode lain untuk menentukan lamalnya periode pemulihan adalah untuk menetapkan denyut jantung yang harus dicapai sebelum melakukan kerja yang lain. Salah satu metode untuk menggunakan taktik ini adalah dengan menetapkan jangkauan denyut jantung antara 120 sampai 130 denyut/menit sebagai titik untuk inisiasi kerja berikutnya.Sebuah metode yang kedua adalah untuk mengatur periode pemulihan sebagai waktu yang diperlukan bagi denyut jantung atlet untuk kembali ke 65% maksimal.
c) Kerumitan atau Kompleksitas Latihan
Kerumitan mengacu pada tingkat kemutakhiran dan kesulitan biomekanika dari sebuah keterampilan (keahlian).Performa dari keterampilan yang lebih kompleks dapat meningkatkan intensitas latihan. Kompleksitas dari suatu keterampilan membutuhkan koordinasi yang menjadi sangat penting guna menambah intensitas latihan, keterampilan teknik yang rumit, yang pada
akhirnya akan memberikan tekanan lebih terhadap otot.
Penguasaan keterampilan dengan tingkat tinggi dapat menjadi sumber kemauan.Oleh karena itu, dalam penyusunan program latihan perlu ditekankan pada tingkat kesulitan bentuk latihan dengan tujuan menghindarkan atlet dari kelebihan kerjanya.
d. Bentuk Latihan untuk Meningkatkan Kecepatan 100 Meter
Lari 100 meter merupakan nomer atletik yang membutuhkan kompleksitas fisiologi, faal dan psikologi dalam pelaksanaannya. Kompleksitas yang berhubungan dengan kualitas fisik yang besifat dasar disebutkan Nossek (1982:19), yaitu : (1) Kecepatan (speed), (2) Kekuatan (strength), dan (3) Ketahanan (endurance).
a) Latihan untuk meningkatkan kecepatan (speed).
Latihan kecepatan melibatkan penekanan terhadap penyelesaian sebuah aktivitas dalam waktu yang sependek mungkin.Latihan lari 100 meter termasuk dalam latihan kecepatan murni.Faktor yang perlu diperhatikan dalam latihan kecepatan murni adalah menghindari perkembangan asam laktat, yaitu dengan pemulihan yang cukup yang diperoleh antar pengulangan.Latihan kecepatan berakhir apabila terjadi perubahan teknik karena kelelahan.
Ada beberapa pertimbangan yang dikemukakan oleh Rushall & Pyke (1990:264) untuk latihan kecepatan, yaitu latihan dengan menggunakan beban pada paha dianggap melanggar prinsip-prinsip kekhususan dan membahayakan apabila digunakan. Latihan kecepatan yang lain adalah lari naik turun bukit. Lereng turun bukit maksimal yang dapat digunakan untuk menghasilkan peningkatan kecepatan lari adalah -2˚. Lereng yang lebih dari -2˚ akan mengubah teknik lari.
Bentuk latihan yang di sarankan untuk latihan kecepatan lari 100 meter menurut Rushall & Pyke (1990:268) adalah latihan initerval ultra-pendek. Latihan ini dapat digunakan sebagai aktivitas program guna mengubah kebugaran serta sebuah tahap untuk mengubah dan melatih teknik sprinting. Alasan yang mendasari bahwa latihan sprint interval ultra-pendek merupakan program latihan yang tepat untuk mengembangkan kecepatan adalah karena menawarkan energi alaktasid dan perbaikan teknik.
b) Latihan untuk meningkatkan kekuatan (strength).
Selain kecepatan, faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah kekatan. Kekuatan disini lebih dominan pada kekuatan otot tungkai. Menurut Imam Hidayat (1997:84) kekuatan adalah gaya yang ditimbulkan oleh kontraksi otot. Latihan yang paling mudah untuk mengembangkan kekuatan adalah latihan pliometrik. Latihan ini menggunakan gaya gravitasi guna meningkatkan energi yang disimpan dalam otot selama kontraksi dari sebuah gerakan.
c) Latihan untuk meningkatkan ketahanan (endurance).
Latihan ketahan adalah latihan untuk meningkatkan kemampuan untuk mempertahankan tingkat usaha fisik tertentu.Peran ketahanan dalam lari sprint menurut Rushall & Pyke (1990:195) adalah meminimalisir hilangnya kecepatan. Tujuan dari latihan ketahanan adalah meningkatkan kadar fosfat yang berenergi tinggi dan pelepasan energi glikolisis dengan mengerahkan energi sebesar mungkin dalam waktu yang sesingkat mungkin dengan cara yang paling efisien.
Latihan yang disarankan untuk ketahanan pada lari 100 meter adalah lari berdurasi dan lari interval.
3. Latihan Interval Anaerob
Program latihan yang efektif akan tampak pada cara latihan yang baik sesuai dengan sistem energinya. Sistem energi yang tepat tergantung terutama pada waktu dan intensitasnya, tanpa perlu merinci sifat-sifat dari olahraganya, waktu merupakan hal yang terpenting untuk diperhatikan. Ini menunjukkan cara yang mudah tetapi tepat untuk menganalisa kebutuhan energi berdasarkan atas waktu yang diperlukan untuk kegiatan tersebut, misalnya:
Kegiatan kurang dari 30 detik ……… ATP-PC
Kegiatan antara 30 detik sampai 90 detik ………….. ATP-PC dan LA Kegiatan antara 1 1/2 menit sampai 3 menit ……….. LA dan O2 Kegiatan lebih dari 3 menit ……… O2
Kebutuhan latihan yang penting adalah memberikan overload atau beban berlebih, yang berarti meningkatkan kebutuhan energi secara bertahap dengan
menambah beban dalam program latihan. Faktor-faktor dalam overload untuk program latihan aerob dan anaerob meliputi peningkatan frekuensi latihan, intensitas dan lamanya program latihan.
Menurut Fox (1984:208) metode latihan berdasarkan pengembangan sistem energi ada sepuluh jenis program latihan sebagai berikut:
a. Accleration sprint. b. Continous fast running. c. Continous slow running. d. Hollow sprint. e. Interval sprinting. f. Interval training. g. Jogging. h. Repetion running. i. Speed play. j. Sprint training.
Sepuluh jenis program latihan tersebut, latihan interval atau interval training dapat bervariasi dan dapat diatur untuk meningkatkan sistem anaerob dan atau aerob. Latihan interval merupakan program latihan yang terdiri dari periode pengulangan kerja yang diselingi oleh periode istirahat (Fox, 1984:59; Smith, N.J, 1983:184) atau merupakan serangkaian latihan yang diulang-ulang dan diselingi dengan periode pemulihan.Latihan ringan biasanya dilakukan pada periode istirahat (Fox, Bower & Foss, 1988:205; Fox & Mathews 1981:163).Latihan interval adalah serangkaian sistem latihan fisik yang diulang-ulang yang diselingi dengan periode pemulihan. Latihan interval anaerob karena terdiri dari interval kerja dan interval istirahat, disaat interval istirahat terjadi pemulihan dengan proses aerob, maka hal ini dapat meningkatkan kecepatan.
Ada beberapa istilah khusus dalam latihan interval yang harus dipahami dengan sebaik-baiknya (Fox, 1984:193), adalah sebagai berikut:
1) Interval kerja (work interval) merupakan bagian dari program latihan interval yang terditi atas kegiatan dengan intensitas tinggi.
2) Interval pemulihan atau istirahat (relief interval) adalah waktu antar interval-interval kerja serta antar set-set. Pada interval-interval istirahat akan terjadi proses