SOCIAL ENGAGEMENT BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT DEPRESI PADA LANSIA
Iswandi Zulfahmi, Aris Setyawan*, I Made Moh. Yanuar Saifudin
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surya Global Yogyakarta, Jalan Ringroad Selatan Blado, Jl. Monumen Perjuangan, Balong Lor, Potorono, Kec. Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, Indonesia 55194
*[email protected] ABSTRAK
Pertambahan umur pada lanjut usia dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, mental, serta perubahan kondisi sosial yang dapat mengakibatkan penurunan pada peran-peran sosialnya. Hal ini akan mengakibatkan lansia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar sehingga dapat mempengaruhi interaksi sosial atau bisa disebut social engagement. Maka berkurangnya interaksi sosial pada lansia dapat menyebabkan perasaan terisolir, sehingga lansia lebih banyak menyendiri dan akhirnya depresi, maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara social engagement dengan Tingkat Depresi pada Lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuantitatif dengan rancangan penelitian non-eksperimen korelasional dengan pendekatan cross sectional. Jumlah populasi sebanyak 80 lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yaitu 34 lansia. Hasil uji kendall-tau pada penelitian ini menunjukkan hasil bahwa nilai koefisien korelasi sebesar -0,765 dan signifikan sebesar 0,000 yaitu (P) < 0,1. Maka penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara social engagement dengan tingkat depresi pada lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. Ada hubungan yang signifikan antara social engagement dengan tingkat depresi pada Lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta.
Kata kunci: depresi, lansia, social engagement
WORK LOAD RELATES TO THE NURSE'S WORK STRESS
ABSTRACT
The aging of the elderly can cause various problems both physically, mentally, and changes in social conditions that can lead to a reduction in their social roles. This will result in the elderly is slowly withdrawing from the relationship with the surrounding community so that it can affect social interaction or can be called social engagement. So the reduced social interaction in the elderly can cause feelings of isolation, so that the elderly more solitary and finally depressed, then this can affect the quality of life of the elderly.The purpose of this study was to determine the relationship between social engagement with the Depression Level in the Elderly at the Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. This research uses a quantitative research design with a correlational non-experimental research design with a cross sectional approach. Total population of 80 elderly who experience depression at the Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. Samples were taken by purposive sampling technique that is 34 elderly. Kendall-tau test results in this study indicate that the correlation value is -0.765 and significant is 0.000, i.e. (P) <0.1. So this study shows that there is a significant relationship between social engagement with the Depression Level in the elderly at the Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. There is a significant relationship between social engagement with the Depression Level in the Elderly at the Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta.
Keywords: depression, elderly, social engagement
PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) menjelaskan di kawasan Asia Tenggara penduduk lansia
sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Jumlah penduduk lansia di Indonesia diperkirakan akan
terus bertambah sekitar 450.000 jiwa per tahun, dengan demikian pada tahun 2025 jumlah
penduduk lansia di Indonesia akan mencapai angka 34,22 juta jiwa (Badan Pusat Statistik,
2015). Provinsi yang mempunyai lansia dengan proporsi tertinggi di Indonesia adalah
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (12,37%), Jawa Tengah (12,34%), dan Jawa Timur
(11,66%). Yogyakarta sendiri memiliki lansia sebanyak 535.568 jiwa, Sedangkan Kabupaten
Bantul adalah salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempunyai jumlah
lansia terbesar ke 2 yaitu sebanyak 162.321 lansia. Jumlah lansia yang mendapatkan
pelayanan kesehatan sebanyak 49.893 (30,74%) dari total jumlah lansia [1].
Masa lanjut usia selanjutnya ditulis “lansia” merupakan tahap terakhir dari tahapan
perkembangan manusia. Dalam masyarakat, masa lansia sering diidentikkan dengan masa
penurunan dan ketidakberdayaan. Walaupun tidak sepenuhnya benar namun seiring
bertambahnya usia, lansia memang mengalami beberapa penurunan fungsi fisik yang
menjadikannya semakin rentan terhadap penyakit-penyakit kronis. Penurunan fungsi fisik dan
penyakit yang diderita kemudian menyebabkan lansia membutuhkan orang lain untuk
membantunya melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Masalah yang kemudian muncul
adalah bahwa kebanyakan lansia tinggal sendiri setelah ditinggal pasangannya. Anak-anak
mereka pun sudah tinggal terpisah dan membangun keluarga sendiri [2].
Pertambahan usia lansia dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, mental, serta
perubahan kondisi sosial yang dapat mengakibatkan penurunan pada peran-peran sosialnya.
Selain itu dapat menurunkan derajat kesehatan, kehilangan pekerjaan dan dianggap sebagai
individu yang tidak mampu. Hal ini akan mengakibatkan lansia secara perlahan menarik diri
dari hubungan dengan masyarakat sekitar sehingga dapat mempengaruhi interaksi sosial atau
bisa disebut social engagement [3].
Social engagement sendiri diartikan sebagai kemampuan memelihara hubungan sosial
(jaringan sosial) dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial (aktivitas sosial). Jaringan sosial
(social network) dinilai dari struktur dan kualitas hubungan interpersonal, sedangkan
aktivitas sosial dicirikan dari partisipasi dalam aktivitas masyarakat yang bermakna dan
produktif. Social engagement mempunyai komponen jaringan sosial, yaitu kemampuan
memelihara luasnya hubungan sosial dan aktivitas sosial, yaitu tingkat partisipasi dalam
kegiatan di masyarakat. Lebih banyak mempunyai jaringan sosial dan lebih banyak aktivitas
sosial diasosiasikan dengan lebih lambatnya penurunan kognitif dan mereka yang menerima
dukungan emosional mempunyai fungsi kognitif lebih baik [4].
Teori aktivitas yang dikemukakan Havighurst juga mengemukakan bahwa sangat penting bagi
lansia untuk tetap aktif secara sosial (berinteraksi) sebagai alat untuk menuju penuaan yang
sukses. Maka berkurangnya interaksi sosial pada lansia dapat menyebabkan perasaan terisolir,
sehingga lansia menyendiri dan mengalami isolasi sosial dan akhirnya depresi, maka hal ini
dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia [3][5].
Depresi merupakan gangguan emosional yang sifatnya berupa perasaan tertekan, tidak merasa
bahagia, sedih, merasa tidak berharga, tidak mempunyai semangat, tidak berarti dan pesimis
terhadap hidup. Depresi pada lansia dapat disebakan oleh banyak hal. Misalnya kehidupan
ekonomi mereka yang tidak dijamin oleh keluarga sehingga mereka tetap harus bekerja,
ketakutan mereka untuk diasingkan dari keluarga, ketakutan tidak dipedulikan oleh
anak-anaknya, Berdasarkan teori usia lanjut seseorang di atas 65 tahun beresiko terkena depresi,
penyakit ini dapat dialami oleh semua orang tanpa membedakan gender, status sosial, ras,
suku, bangsa [5].
Berdasarkan uraian diatas bahwa social engagement akan mempengaruhi dengan tingkat
depresi lansia tersebut karena depresi merupakan salah satu masalah kesehatan jiwa yang
sering dialami lansia dan harus mendapat perhatian khusus. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui adanya hubungan antara Social Engagement dengan Tingkat Depresi Pada
Lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul
Yogyakarta.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif. dengan rancangan penelitian korelasional. Pendekatan yang digunakan adalah cross-sectional. Populasi dalam penelitian ini yaitu lansia sebanyak 80 orang di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah lansia sebanyak 34 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, data primer diperoleh dengan menyebarkan kuesioner Geriatric Depression Scale (GDS) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan di akhiri dengan kuesioner Social disengagement index.Adapun yang di analisis pada Analisa univariat dalam penelitian ini meliputi karakteristik responden seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, dan status kognitif. Uji Kendall’s Tau yaitu digunakan untuk mencari hubungan dan menguji hipotesis antara dua variabel atau lebih, bila datanya berbentuk ordinal atau ranking.
HASIL
Tabel 1.Karakteristik Responden (n=34)
Karakteristik
f
(%)
Usia
60 - 74 Tahun (Elderly)
75 - 90 Tahun (Old)
> 90 Tahun (Very Old)
24
9
1
70,6
26,5
2,9
Jenis Kelamin
Laki – Laki
Perempuan
11
23
32,4
67,6
Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA
Perguruan Tinggi
6
19
5
3
1
17,6
55,9
14,7
8,8
2,9
Status Kognitif
Normal (24-30)
Probable gangguan kognitif (17-23)
22
12
64,7
35,3
Tabel 1 menunjukkan bahwa karakteristik responden penelitian di Balai Pelayanan Sosial
Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta berdasarkan usia sebagian
besar responden adalah masuk kategori 60-74 tahun (elderly) yaitu sebanyak 24 orang
(70,6%), berdasarkan jenis kelamin sebagian besar responden adalah perempuan yaitu
sebanyak 23 orang (67,6%). Berdasarkan tingkat Pendidikan sebagian besar menunjukkan
menempuh pendidikan SD yaitu sebanyak 19 orang (55,9%) dan berdasarkan status kognitif
sebagian besar menunjukkan masuk dalam kategori normal (23-30) yaitu sebanyak 22 orang
(64,7%).
Tabel 2.
Social Engagement (n=34)
Kategori Social Engagement f %
Buruk (1-2) Baik (3-4) 9 25 26.5 73.5
Tabel 2 tentang social engagement pada lansia yang menjadi responden penelitian di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta menunjukkan bahwa sebagian besar menunjukkan sebanyak 25 responden dengan presentase 73.5% memiliki social engagement baik.
Tabel 3.
Distribusi Frekuensi Tingkat Depresi Lansia (n=34)
Kategori Depresi f % Berat Sedang Ringan 2 11 21 5.9 32.4 61.8
Tabel 3 tentang depresi lansia yang menjadi responden penelitian di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta menunjukkan bahwa mayoritas sebanyak 21 responden (61.8%) mengalami depresi ringan.
Tabel 4
Hasil Analisis Hubungan Social Engagement dengan Tingkat Depresi Lansia (n=34)
Variabel Nilai Probabilitas Nilai signifikan
Social Engagement
-0,765 0.000
Tingkat Depresi
Tabel 4 hasil uji kendall tau, didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi sebesar -0,765 dan signifikan sebesar 0,000. Dimana jika interpretasi koefisien korelasi nya bernilai 0,76-1,00 maka tingkat hubungan nya adalah kuat atau sempurna. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara social engagement dengan tingkat depresi pada lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta yang ditandai dengan nilai signifikan sebesar 0,000<0,1. Kemudian koefisien korelasi jika bernilai + (positif) artinya maka kedua viariabel tersebut memiliki hubungan searah dan sebaliknya jika koefisien korelasinya bernilai – (negatif) maka korelasi antara kedua variabel tersebut bersifat berlawanan. Pada tabel 4.5 didapatkan hasil sebesar -0,765 sehingga dapat diartikan bahwa semakin baik social engagement maka tingkat depresi pada lansia semakin rendah, begitupun sebaliknya.
PEMBAHASAN
Social Engagement pada Lansia
Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa jumlah lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta yang memiliki tingkat social engagement yang baik dengan frekuensi sebanyak 25 responden dengan presentase 73.5%, sedangkan tingkat social engagement yang buruk dengan frekuensi sebanyak 9 responden dengan presentase 26.5%. Hal ini menunjukkan bahwa responden mempunyai social engagement yang beragam antara baik dan buruk. Hasil ini tidak lepas dari keadaan, kegiatan atau interaksi responden, dimana kita ketahui bahwa responden yang tinggal di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur ini, didukung dengan berbagai kegiatan yang diselenggarakan seperti olahraga, ketrampilan, kerohanian dan hiburan sehingga interaksi bisa tetap terjalin.
Hasil penelitian, sebagian besar responden yang social engagement baik berada pada usia 60-74 tahun (elderly) yaitu sebanyak 17 responden (70,8%). Hal ini mengartikan bahwa pada usia elderly untuk interaksi sosialnya masih lebih baik dari pada yang old dan very old. Pertambahan usia maka akan ada
perubahan dalam cara hidup seperti merasa kesepian dan sadar akan kematian, hidup sendiri, perubahan dalam hal ekonomi, penyakit kronis, kekuatan fisik semakin lemah, terjadi perubahan mental, ketrampilan psikomotor berkurang, perubahan psikososial yaitu pensiun, akan kehilangan sumber pendapatan, kehilangan pasangan dan teman, serta kehilangan pekerjaan dan berkurangnya kegiatan sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidupnya [3].
Hasil tersebut sesuai dengan teori Andreas dimana Pertambahan usia lansia dapat menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, mental, serta perubahan kondisi sosial yang dapat mengakibatkan penurunan pada peran-peran sosialnya. Selain itu, dapat menurunkan derajat kesehatan, kehilangan pekerjaan dan dianggap sebagai individu yang tidak mampu. Hal ini akan mengakibatkan lansia secara perlahan menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar sehingga dapat mempengaruhi interaksi sosial. Berkurangnya interaksi sosial pada lansia dapat menyebabkan perasaan terisolir, sehingga lansia menyendiri dan mengalami isolasi sosial dengan lansia merasa terisolasi dan akhirnya depresi, maka hal ini dapat mempengaruhi kualitas hidup lansia. Selain itu, hasil juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa tingkat social engagement yang buruk pada laki-laki lebih tinggi dibanding dengan perempuan, hal ini di sebabkan karena perempuan lebih aktif dalam berinteraksi baik dengan keluarga, teman maupun masyarakat [6].
Pada penelitian ini pendidikan responden mayoritas SD sebanyak 13 orang (68,4%), berdasarkan hal tersebut bahwa pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya semakin rendah atau kurangnya pendidikan akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru di perkenalkan. Semakin tinggi pendidikan yang sudah ditempuh, akan diiringi juga dengan pengetahuan dan wawasan yang luas daripada orang yang berpendidikan rendah, karena kedua faktor ini akan menumbuhkan dorongan dan minat dalam diri atau mengaktualisasikan kemampuannya di dalam masyarakat [6]
Pada penelitian ini status kognitif responden mayoritas normal sebanyak 22 orang (64,7%), Hal ini menunjukkan bahwa status kognitif lansia dipengaruhi oleh tingkat social engagement lansia tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa para lansia yang jaringan sosialnya kurang mempunyai resiko 1.508 kali lebih besar untuk mempunyai fungsi kognitif yang buruk dibanding dengan mereka yang jaringan sosialnya baik. Demikian juga para lansia yang aktivitas sosialnya kurang mempunyai resiko 1.788 kali lebih besar untuk mempunyai fungsi kognitif yang buruk dibanding dengan mereka yang aktivitas sosialnya baik [4]. Hasil penelitian ini (table 2) menunjukkan bahwa sebagian besar lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta memiliki tingkat social engagement yang baik dengan responden 25 orang (73,5%)
Lansia yang memiliki hubungan sosial baik adalah lansia yang memiliki kualitas hidup yang baik pula begitu juga dengan lansia yang memiliki hubungan sosial buruk memiliki kualitas hidup yang rendah karena lansia menarik diri dari lingkungan sekitarnya dan itu berakibat berkurangnya kualitas hidup lansia karena lansia dengan keterlibatan sosial yang lebih besar memiliki semangat dan kepuasan hidup yang tinggi dan penyesuaian serta kesehatan mental yang lebih positif dari pada lansia yang kurang terlibat secara sosial. Semangat dan kepuasan hidup yang dialami lansia menyebabkan kualitas hidupnya membaik [3].
Tingkat Depresi pada Lansia
Pada penelitian ini diketahui bahwa jumlah lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werddha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta yang memiliki tingkat depresi berat dengan frekuensi sebanyak 2 lansia dengan presentase 5,9%, depresi sedang sebanyak 11 lansia dengan presentase 32,4%, dan depresi ringan sebanyak 21 lansia dengan presentase 61.8%. Depresi pada lansia perlu diatasi untuk membantu rehabilitasi fisik, memberi pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi serta agar tidak memberikan dampak pada gangguan kesehatan lansia. Depresi adalah gangguan yang dapat memadamkan semangat hidup. Ini sering disadari atau dikenali pada lansia dan
mempunyai potensi untuk menghancurkan kualitas hidup itu sendiri. Depresi menghilangkan kesenangan, kegembiraan, empati, dan cinta. Akhirnya hal ini manghempaskan orang tersebut ke dunia luar dan meninggalkannya sendiri dan terisolasi [7].
Faktor yang menyebabkan depresi pada lansia yang tinggal di Panti salah satunya faktor psikososial yaitu kurangnya kunjungan keluarga, berkurangnya interaksi sosial akan mengakibatkan penyesuaian diri yang negatif pada lansia. Menurunya kapasitas hubungan keakrababan dengan keluarga dapat menimbulkan perasaan tidak berguna, tidak dibutuhkan lagi, merasa disingkirkan. Kondisi ini dapat berperan dalam terjadinya depresi [8]. Hasil penelitian tersebut didukung dengan penelitian yang mengatakan bahwa faktor-faktor pencegah dari depresi salah satunya adalah dukungan sosial, nilai depresi lansia yang tinggal di lingkungan pedesaan lebih kecil dibandingkan dengan penelitian yang peneliti lakukan di panti sosial. Hal ini dikarenakan dukungan sosial yang diperoleh oleh lansia di pedesaan lebih baik dibandingkan dukungan sosial yang lansia peroleh di panti sosial [9].
Tingginya stressor dan peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan dapat menimbulkan kemungkinan lanjut usia mengalami kecemasan, kesepian, sampai pada tahap depresi, usia tua mengakibatkan daya tahan jasmani maupun rohani pria ataupun wanita menjadi sangat berkurang, sedangkan ketegangan-ketegangan psikis oleh kecemasan-kecemasan ketuaan menjadi lebih besar [10]. Lansia dimulai dari usia 60 tahun ke atas dan akan lebih beresiko mengalami gangguan kesehatan seperti depresi, ia juga menyatakan bahwa sering pertambahan usia, manusia hampir tanpa terhindarkan oleh sejumlah peristiwa dalam hidup yang dapat menyebabkan depresi. Hal tersebut terjadi karena semakin bertambahnya usia, maka individu secara alamiah akan menghadapi beberapa kondisi penurunan berupa kemampuan fisik, sosial, dan psikologis, kehilangan teman teman dan orang yang dicintai, serta kematian [9].
Hasil penelitian, sebagian besar responden yang social engagement baik berada pada usia 60-74 tahun (elderly) yaitu sebanyak 17 responden (70,6%). Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muna dkk (2014) dimana terdapat hubungan antara umur dengan kejadian depresi pada lansia di Panti Werda Pelkris Pengayoman kota Semarang bahwa lansia dengan kategori old (>75 tahun) mempunyai peluang 6.429 kali untuk mengalami depresi dibandingkan dengan usia elderly (60-74 tahun). Hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 23 responden (67,6%). Hal tersebut menunjukkan bahwa wanita lebih beresiko mengalami depresi dimana depresi lebih sering terjadi pada wanita, ada dugaan wanita lebih sering mencari pengobatan sehingga depresi lebih sering terdiagnosis. Selain itu wanita lebih sering terpajan dengan stresor lingkungan dan ambangnya terhadap stresor lebih rendah bila dibandingkan dengan pria. Adanya depresi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan hormon pada wanita menambah tingginya prevalensi depresi pada wanita [11].
Selain itu, pendidikan dapat mempengaruhi perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya semakin rendah atau kurangnya pendidikan akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang baru di perkenalkan [12]. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta memiliki tingkat depresi yang ringan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan responden mengalami depresi ringan dan depresi sedang dengan skor depresi yang berbeda-beda untuk setiap responden. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Endah dkk (2003) bahwa lansia yang tinggal di Balai Pelayanan Sosial cenderung akan mengalami depresi, dimana depresi pada lansia dapat berasal dari beberapa faktor penyebab depresi [8].
Lansia berada dalam tahap kehidupan dimana mereka mungkin kehilangan pasangan, merasa kesepian dan sendirian. Mereka mungkin sudah pensiun dan karena itu akan dipaksa untuk membuat perubahan dalam kondisi hidup mereka serta memanajement keuangan. Depresi lebih lanjut ditambah oleh fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi depresi melemah dari waktu ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi selama masa tua, beberapa sistem tubuh lansia yang bereaksi dan
membantu dalam manajemen depresi tidak lagi efisien.
Hubungan Social Engagement dengan Tingkat Depresi pada Lansia
Berdasarkan tabel 4 hasil uji kendall tau, didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi sebesar -0,765 dan signifikan sebesar 0,000. Dimana jika interpretasi koefisien korelasi nya bernilai 0,76-1,00 maka tingkat hubungan nya adalah kuat atau sempurna. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara social engagement dengan tingkat depresi pada lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta yang ditandai dengan nilai signifikan sebesar 0,000; <0,01. Kemudian koefisien korelasi jika bernilai + (positif) artinya maka kedua viariabel tersebut memiliki hubungan searah dan sebaliknya jika koefisien korelasinya bernilai – (negatif) maka korelasi antara kedua variabel tersebut bersifat berlawanan. Pada tabel 4.5 didapatkan hasil sebesar -0,765 sehingga dapat diartikan bahwa semakin baik social engagement maka tingkat depresi pada lansia semakin rendah, begitupun sebaliknya.
Hasil tersebut didukung oleh penelitian yang menyebutkan bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendirian tanpa bantuan orang lain. Kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan), kebutuhan sosial (pergaulan, pengakuan, sekolah, pekerjaan) dan kebutuhan psikis termasuk rasa ingin tahu, rasa aman, perasaan religiusitas, tidak mungkin terpenuhi tanpa bantuan orang lain. Apalagi jika orang tersebut sedang menghadapi masalah, baik ringan maupun berat. Pada saat-saat seperti itu seseorang akan mencari dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya, sehingga dirinya merasa dihargai, diperhatikan dan di cintai. Dukungan sosial tidak hanya di dapat dari pasangan hidup atau keluarga terdekat, namun bisa juga di dapat dari sahabat atau masyarakat di lingkungan sekitar [13]. Lansia dengan adaptasi diri yang baik, dapat berinteraksi dengan teman sekitar dan mengikuti kegiatan yang berada di BPSTW, maka respon dukungan sosialnya juga akan baik. Penyesuaian diri sangat berhubungan dengan dukungan sosial, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan lansia baik yang sekarang maupun yang akan datang. semakin frekuensi partisipasi sosial, maka semakin rendah kesepian yang dirasakan oleh para lansia dan sebaliknya jika frekuensi partisipasi social yang dimiliki rendah, maka semakin tinggi kesepian yang dirasakan oleh para lansia [14].
Jaringan sosial yang luas merupakan fraktor proteksi demensia. Lanjut usia yang hidup sendiri dan tidak memiliki ikatan sosial yang dekat memiliki risiko 1.5 (1.0-2.1; 1.0-2.4) kali lebih besar untuk menjadi demensia. Lanjut usia tidak menikah dan tinggal sendirian memiliki resiko 1,9 (1.2-3.1) kali lebih besar untuk demensia dibanding dengan lanjut usia menikah dan tinggal bersama orang lain. Jika semua komponen jaringan sosial digabung dalam indeks ditemukan bahwa jaringan sosial buruk meningkatkan resiko demensia 60%. Kontak jaringan sosial yang jarang tidak meningkatkan resiko demensia apabila berkualitas. Ada beberapa alasan mengapa jaringan sosial dalam bentuk apapun berhubungan dengan depresi, diantaranya bahwa jaringan sosial tersebut dapat menurunkan resiko demensia, seperti yang kita ketahui bahwa semakin berat gangguan kognitif semakin besar kemungkinan terjadinya depresi [4].
Pada tabel 4 ditunjukkan bahwa 25 responden dengan persentase 73.5% memiliki social engagement yang baik dengan 21 responden depresi ringan, 4 responden dengan depresi sedang, hal ini
dikarenakan kegiatan-kegiatan pada BPSTW yang mempunyai program rutin seperti pemberian bimbingan fisik semisal senam dan kerja bakti, kemudian ada pemberian bimbingan rohani beserta kesenian atau keterampilan seperti pengajian, dendang ria, menjahit, menyulam, membuat sapu, keset dan lain sebagainya. Banyak nya kegiatan positif dan menyenangkan tersebut membuat lansia menjadi aktif dan tidak berdiam diri saja sehingga kebutuhan akan dukungan sosial serta keikutsertaan dalam aktivitas kelompok bisa terpenuhi.
SIMPULAN
Terdapat hubungan antara social engagement dengan tingkat depresi pada lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Kasongan Bantul Yogyakarta yang ditandai dengan hasil uji statistic Kendall tau signifikansi p value sebesar 0,000 < 0,1.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Kemenkes RI, Profil Kesehatan Indonesia 2018 [Indonesia Health Profile 2018]. 2019.
[2] W. Basuki, “Faktor-Faktor Penyebab Kesepian Terhadap Tingkat Depresi Pada Lansia Penghuni Panti Sosial,” Psikoborneo, vol. 3, no. 2, 2015.
[3] T. P. Samper, O. R. Pinontoan, and M. Katuuk, “Hubungan interaksi sosial dengan kualitas hidup lansia di BPLU Senja Cerah Provinsi Sulawesi Utara,” J. Keperawatan, vol. 5, no. 1, 2017. [4] B. R. Wreksoatmodjo, “Pengaruh social engagement terhadap fungsi kognitif lanjut usia di
Jakarta,” Cermin Dunia Kedokt., vol. 41, no. 3, pp. 171–180, 2014.
[5] P. Gultom, H. Bidjuni, and V. Kallo, “Hubungan Aktivitas Spiritual Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia Di Balai Penyantunan Lanjut Usia Senja Cerah Kota Manado,” J. Keperawatan, vol. 4, no. 2, 2016.
[6] W. N. Rohmawati, “Hubungan Interaksi Sosial Dengan Tingkat Kesepian Dan Depresi Pada Lansia Di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Yogyakarta.” STIKES Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, 2017.
[7] A. W. Utami, R. Gusyaliza, and T. Ashal, “Hubungan Kemungkinan Depresi dengan Kualitas Hidup pada Lanjut Usia di Kelurahan Surau Gadang Wilayah Kerja Puskesmas Nanggalo Padang,” J. Kesehat. Andalas, vol. 7, no. 3, pp. 417–423, 2018.
[8] L. M. Azizah, “Keperawatan lanjut usia,” Yogyakarta Graha Ilmu, vol. 45, 2011.
[9] A. A. A. R. Puspadewi and E. Rekawati, “Depresi Berhubungan dengan Kualitas Hidup Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha di Jakarta,” J. Keperawatan Indones., vol. 20, no. 3, pp. 133–138, 2017.
[10] R. Risdianto, “Hubungan Tingkat Kesepian Dengan Kejadian Depresi Di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.” Universitas Ngudi Waluyo, 2019.
[11] M. F. D. Ollyvia, “Determinan tingkat depresi pada lansia di panti sosial tresna werdha budi mulia 4 jakarta selatan.” FK UI. Skripsi, 2012.
[12] N. Muna, “Hubungan antara Karakteristik dengan Kejadian Depresi pada Lansia di Panti Werda Pelkris Pengayoman Kota Semarang,” Karya Ilm., 2013.
[13] F. Yuniati and S. Shobur, “Identifikasi Social Engagement Berdasarkan Lingkungan Tempat Tinggal Dan Pengaruhnya Terhadap Fungsi Kognitif Lansia Di PosyANDU LANJUT USIA KERTAPATI PALEMBANG TAHUN 2015,” J. Bahana Kesehat. Masy. (Bahana J. Public Heal., vol. 13, no. 4, pp. 228–233, 2016.
[14] R. P. Putri, “Hubungan Partisipasi Sosial dengan Kesepian pada Lansia.” University of Muhammadiyah Malang, 2016.