• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata dan Ekowisata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pariwisata dan Ekowisata"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pariwisata dan Ekowisata

Kepariwisataan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.10 Tahun 2009. Beberapa definisi dari istilah mengenai kepariwisataan berdasarkan UU No.10 Tahun 2009 Bab I Pasal 1 yaitu:

- pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

- kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pengusaha. - daya tarik wisata (DTW) adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,

keindahan, dan nilai berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Berikut terminologi dari beberapa istilah kepariwisataan menurut DEPHUT (2006), yaitu:

- pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut.

- wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut dilakukan secara suka rela serta bersifat sementara untuk menikmati perjalanan, keunikan dan keindahan alam.

- ekowisata adalah bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat.

Ekowisata pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 oleh Hector Ceballos-Lascurain, ia mendefinisikan ekowisata adalah sebagai perjalanan ke dalam area alami untuk melakukan kegiatan seperti pendidikan, menikmati pemandangan alam serta satwa dan tumbuhan liar, dan budaya (Lieberknecht et

(2)

al. 1999). Namun saat ini ekowisata didefinisikan sebagai perjalanan ke dalam

area yang masih alami untuk mengerti sejarah kebudayaan dan alam lingkungannya dengan menjaga tanpa mengubah kesatuan ekosistem yang ada di dalamnya, menciptakan pendapatan ekonomi dari mengkonservasi sumberdaya alam untuk masyarakat lokal (Ecotourism Society 1993, 1998 diacu dalam Lieberknecht et al. 1999).

Darsoprajitno (2002) menyatakan bahwa wisata ekologi (ecological

tourism atau ecotourism) adalah kegiatan kepariwisataan yang menggunakan

hubungan manusia dengan tata alam yang telah membudaya sebagai sasarannya. Ekologi pariwisata adalah sebagai ilmunya, sedang pariwisata atau wisata ekologi adalah kegiatannya. Menurut The Ecotourism Society (1996) diacu dalam Sudarto (1999) dan Fennel (1999), ekowisata adalah kegiatan perjalanan wisata yang bertanggung jawab di daerah yang masih alami atau daerah-daerah yang dikelola dengan kaidah alam dengan tujuan selain untuk menikmati keindahan juga melibatkan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi alam dan peningkatan pendapatan masyarakat setempat sekitar Daerah Tujuan Ekowisata (DTE).

Dalam pengembangan pariwisata alam/ekowisata harus mengacu pada prinsip-prinsip yaitu konservasi, edukasi, ekonomi, partisipasi masyarakat dan rekreasi (DEPHUT 2006). Untuk mampu berdaya saing dengan negara lain di dunia maka penting untuk mempunyai banyak keunggulan dan menciptakan

competitive advantage, keunggulan tersebut tidak hanya dilihat dari besarnya

jumlah wisatawan tetapi dari kemampuan untuk memelihara sumberdaya alam dan budaya yang ada (Muntasib et al. 2008). Unsur-unsur yang dapat dijadikan sebagai perbandingan untuk menentukan prioritas pengembangan meliputi: daya tarik sumberdaya alam, potensi pasar, kadar hubungan, kondisi lingkungan, pengelolaan, kondisi iklim, akomodasi, sarana dan prasarana penunjang, ketersediaan air bersih dan hubungan dengan obyek wisata lain (JICA et al. 2000).

(3)

2.2. Perencanaan Wisata

Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat melalui serangkaian pilihan-pilihan (Solihin 2008). Fokus pertama studi kelayakan perencanaan ekowisata adalah adanya potensi dan atraksi wisata yang dapat berkembang, namun jika tidak diperhatikan dampak negatif dari hasil kegiatan wisata maka akan merusak atraksi wisata dan reputasi dari suatu daerah wisata (Damanik & Weber 2006; Bharuna 2009). Terdapat tiga tingkatan dalam perencanaan wisata yaitu tingkat nasional, tingkat provinsi dan tingkat tapak. Perencanaan wisata minat khusus burung rangkong masuk kedalam perencanaan tingkat tapak yaitu mencakup lokasi bangunan dan fasilitas yang menunjang kegiatan wisatanya (Pratiwi 2006).

Kegiatan wisata minat khusus merupakan salah satu bentuk kegiatan ekowisata yang dapat dilakukan di luar kawasan konservasi dan bersifat non-konvensional yaitu wisata bukan massal, seperti Wisata Gua Gudawang yang berada di Jasinga, Bogor (Damanik & Weber 2006; Muntasib 2007). Penyelenggaraan wisata minat khusus dilakukan dengan adanya obyek khusus/spesifikasi obyek yang ditawarkan kepada wisatawan ekowisata (ecotourist), serta dalam kegiatannya terdapat batasan pengunjung atau pengunjung yang datang tidak dalam jumlah besar dalam satu periode kunjungan (Mardiastuti et al. 1996). Kodhyat (2007) menyatakan bahwa wisata minat khusus termasuk ke dalam pariwisata modern yang bersifat konvensional, wisatawan tidak lagi tertarik pada kegiatan yang semata-mata bersifat rekreatif seperti yang sifatnya hura-hura tetapi secara khusus mempunyai minat terhadap alam dan lingkungan, kebudayaan, sejarah, masyarakat tradisional dan sebagainya.

Menurut Damanik & Weber (2006) perencanaan wisata terdapat suatu penawaran, yang dapat berupa produk dan jasa. Selanjutnya, produk wisata adalah semua produk yang diperuntukkan bagi atau dikonsumsi oleh seseorang selama melakukan kegiatan wisata, sedangkan jasa adalah layanan yang diterima wisatawan ketika mereka memanfaatkan produk tersebut. Produk dapat berupa gunung, goa, air terjun, satwa, sedangkan jasa berupa transport, akomodasi dan atraksi (Damanik & Weber 2006). Atraksi adalah suatu kawasan yang sudah ditata, direncanakan, dikembangkan dan mempunyai program kegiatan (Damanik

(4)

& Weber 2006; JICA et al. 2000). Potensi dan fakta atraksi alam harus teridentifikasi secara jelas dan spesifik, salah satu parameternya yaitu diketahui dengan jelas jenis satwa dan waktu penampakannya (Damanik & Weber 2006).

Menurut Damanik & Weber (2006); DEPBUDPAR (2007) dan Pratiwi (2006) terdapat beberapa unsur yang perlu dipertimbangkan dalam membuat perencanaan wisata yaitu atraksi, aksesibilitas dan amenitas. Selanjutnya dijelaskan yaitu atraksi berupa alam, buatan, dan budaya yang mencakup obyek wisata (gunung, candi, satwa) dan hospitality (jasa akomodasi, tempat makan, dan sebagainya). Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke, dan selama di daerah tujuan wisata (Damanik & Weber 2006; Muntasib 2008). Ditambahkan bahwa amenitas adalah infrastruktur yang tidak terkait langsung dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan, seperti buku panduan wisata, seni pertunjukkan, telekomunikasi dan sebagainya. Terdapat beberapa unsur yang menjadi pertimbangan pengunjung untuk melakukan perjalanan yaitu biaya, daerah tujuan wisata, bentuk perjalanan, waktu dan lamanya wisata, akomodasi, moda transportasi dan lainnya (Freyer 1993 diacu dalam Damanik & Weber 2006). Menurut Suwantoro (1997) terdapat lima unsur pokok yang harus mendapat perhatian dalam menunjang pengembangan pariwisata di daerah tujuan wisata (DTW) yang menyangkut perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan pengembangannya yaitu obyek dan daya tarik wisata, prasarana wisata, sarana wisata, tata laksana/infrastruktur dan masyarakat/lingkungan.

(5)

2.3. Bioekologi Rangkong 2.3.1. Taksonomi

Taksonomi menurut Sukmantoro et al. (2007) pada famili Bucerotidae yaitu:

Dunia (Kingdom) : Animalia

Filum (Phylum) : Chordata

Sub-Filum (Sub-Phylum) : Vertebrata

Kelas (Class) : Aves

Bangsa (Ordo) : Coraciiformes

Suku (Family) : Bucerotidae

Marga (Genus) : Berenicornis, Anorrhinus, Penelopides,

Rhyticeros, Anthracoceros, Buceros dan Rhinoplax.

Famili Bucerotidae di Indonesia mempunyai banyak nama jenis yaitu rangkong, enggang, kangkareng, dan julang. Terdapat 13 jenis rangkong di Indonesia dari 54 jenis rangkong yang ada di dunia (Kinnaird & O’Brien 1997; Sukmantoro et al. 2007).

2.3.2. Morfologi

Rangkong merupakan burung berukuran besar (MacKinnon et al. 1998). Ukuran tubuh rangkong terbesar mencapai 50 kali dari besar rangkong yang terkecil dengan rata-rata ukuran berat badan yaitu dari 83 g (gram) untuk jenis

Tockus hartlaubi betina, sampai 4.191 g untuk jenis Bucorvus leadbeateri jantan

(Kemp 1995).

Paruh dari beberapa rangkong di Asia besarnya tidak proposional jika dibandingkan dengan ukuran dari kepala rangkong yaitu paruh lebih panjang dan melengkung ke bawah atau agak lurus, ditambah dengan bagian ekstra di atas kepala rangkong yang disebut casque (Poonswad 1993; Kinnaird & O’Brien 1997). Pada setiap jenis rangkong perkembangan paruh dan casque merupakan indikasi dari pertambahan umur dan pengenalan jenis kelamin. Casque akan membesar mengikuti perkembangan umur yang dapat mencirikan perbedaan jenis kelamin, usia, dan dominasinya terhadap rangkong lain (King 1975; Jepson &

(6)

Ounsted 1997 diacu dalam Kumara 2006). Ukuran paruh dan casque pada rangkong jantan dewasa lebih besar dibandingkan dengan casque pada betina dewasa, dan bentuknya lebih memukau seperti pada jenis Buceros rhinoceros (Kemp 1991; 1995). Selanjutnya dijelaskan bahwa paruh pada rangkong mempunyai beberapa fungsi yaitu untuk membawa makanan, berkelahi, membersihkan bulu dan membuat plester pada sarang.

Rangkong memiliki beraneka ragam warna pada bulu dan warna yang mencolok pada paruh dan casque. Kemp (1991) mengatakan bahwa pola warna pada bulu bervariasi yaitu hitam, putih, abu-abu, atau coklat, dengan beberapa warna tertentu pada jambul yaitu pada Anorrhinus galeritus, atau bulu ekor yang panjang pada Buceros vigil. Pada kulit rangkong yang terbuka dan area mata mempunyai warna cerah, yaitu merah, kuning, biru, dan hijau. Namun Poonswad (1993) mengatakan bahwa warna dasar pada bulu rangkong yaitu hitam, putih atau abu-abu.

2.3.3. Penyebaran dan Habitat

Rangkong tersebar di Afrika, Asia, dan wilayah Australasian, termasuk di dalamnya yaitu Indonesia sampai Papua Nugini (Kinnaird & O’Brien 1997; MacKinnon et al. 1998). Terdapat sembilan jenis rangkong di kawasan Harapan Rainforest dari sembilan jenis rangkong yang tersebar di Pulau Sumatera (MacKinnon et al. 1998). Sembilan jenis yang berada di Harapan Rainforest yaitu Enggang jambul Berenicornis comatus, Enggang klihingan Anorrhinus galeritus, Julang jambul-hitam Aceros corrugatus, Julang emas Rhyticeros undulatus, Kangkareng hitam Anthracoceros malayanus, Kangkareng perut-putih

Anthracoceros albirostris, Enggang cula Buceros rhinoceros, Enggang papan Buceros bicornis dan Rangkong gading Rhinoplax vigil (Zetra 2008). Gambaran

jenis burung rangkong ditampilkan pada Gambar 1. Tabel 1 merupakan daftar dari tigabelas jenis rangkong yang terdapat di Indonesia.

(7)

Tabel 1 Penyebaran dan status IUCN dan CITES 13 Jenis Famili Bucerotidae yang terdapat di Indonesia (Kusmantoro et al. 2007; Zetra 2008).

No. Nama Ilmiah Nama Inggris Nama Indonesia Daerah Penyebaran

Status IUCN CITES UU

1. Berenicornis comatus* White-crowned Hornbill

Enggang jambul S K NT II AB

2. Anorrhinus galeritus* Bushy-crested Hornbill

Enggang klihingan

S K NT II AB

3. Penelopides exarhatus Sulawesi Hornbill Kangkareng sulawesi

Sl LC II AB

4. Aceros corrugatus* Wrinkled Hornbill

Julang jambul-hitam

S K NT II AB

5. Aceros cassidix Knobbed Hornbill Julang sulawesi Sl LC II AB 6. Rhyticeros undulatus* Wreathed

Hornbill

Julang emas S K J LC II AB

7. Rhyticeros plicatus Blyth's Hornbill Julang irian M IJ LC II AB 8. Rhyticeros everitti Sumba Hornbill Julang sumba NT (Sumba) VU II AB 9. Anthracoceros

malayanus*

Black Hornbill Kangkareng hitam S K NT II AB 10. Anthracoceros albirostris* Oriental Peid Hornbill Kangkareng perut-putih S K J LC II AB

11. Buceros rhinoceros* Rhinoceros Hornbill

Enggang cula S K J NT II AB

12. Buceros bicornis* Great Hornbill Enggang papan S NT I AB 13. Rhinoplax vigil* Helmeted

Hornbill

Rangkong gading S K NT I AB

Catatan :

Daerah Penyebaran: S: Sumatera; K: Kalimantan; J:Jawa, Sl: Sulawesi; NT: Nusa Tenggara; M: Maluku; IJ: Irian Jaya.

Keterangan status :

IUCN; NR: Near Threatened (mendekati terancam); VU: Vulnerable (terancam), LC: Least Concern (kurang perhatian).

CITES; I (spesies tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan secara Internasional),

II (spesies yang pemanfaatannya perlu pengawasan Internasional, kemungkinan terancam punah). UU; A (UU No. 5 tahun 1990), B (PP No. 7 tahun 1999).

* Jenis yang ada di Harapan Rainforest.

Penyebaran terkait dengan teritori dan wilayah jelajah. Menurut Kemp (1991) beberapa rangkong hidup menetap bersama pasangannya (monogamous) di dalam wilayah teritorinya (pertahanan), dengan luas jangkauan mulai dari 10 ha sampai 100 km2. Selanjutnya dijelaskan bahwa jenis rangkong yang hidup di hutan hujan tropis marga (genus) Aceros juga dapat melakukan migrasi menyeberang laut antar pulau sebagai aktivitas hariannya untuk mencari pakan.

Pada penelitian Noerfahmy (2008) ukuran kelompok Annorhinus galeritus pada areal penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Provinsi Lampung tidak memiliki hubungan dengan daerah jelajahnya, sebagai contoh yaitu pada suatu kelompok terdapat jumlah dua individu memiliki luas daerah jelajah 72,27 ha sedangkan kelompok lain terdapat jumlah tujuh

(8)

individu memiliki luas daerah jelajah 70,2 ha. Didapat kepadatan empat dari enam jenis rangkong yang ada di TNBBS yaitu Rhyticeros undulatus 7,24 individu/km2,

Annorhinus galeritus 3,05 individu/km2, Buceros rhinoceros 2,13 individu/km2, dan Rhinoplax vigil 2,06 individu/km2 (Anggraini 1999).

Definisi habitat menurut Alikodra (1980) yang diacu dalam Basyar (1998) yaitu tempat hidup satwa liar yang membentuk satu kesatuan, dapat dipergunakan untuk mencari makan, berlindung, bermain dan tempat untuk berkembang biak. Poonswad (1993) mengatakan bahwa burung adalah satwa yang kegiatannya sebagian besar bergerak (terbang) dan mempunyai area jelajah yang luas pada habitatnya, tetapi mempunyai area spesifik (tertentu) untuk bersarang, mencari makan dan istirahat. Evolusi dari suatu habitat burung dibedakan berdasarkan struktur morfologi, fungsi perilaku, dan tempat makan dan berlindung.

Seluruh jenis rangkong menempati bermacam-macam habitat mulai dari padang rumput kering (steppa) sampai hutan hujan tropis (Kemp 1991). Rangkong Asia hanya mendiami hutan hujan tropis, karena hutan hujan tropis menyediakan berbagai macam sumberdaya pohon pakan dan tempat bersarang bagi rangkong (Poonswad 1993). Habitat di Stasiun Penelitian Way Canguk, TNBBS merupakan tempat bagi keberadaan rangkong, area itu meliputi habitat hutan primer yang tutupan kanopinya rapat dan hutan transisi yang merupakan peralihan kerapatan tutupan kanopi dari yang rapat ke renggang, tidak sedang mengalami gangguan penebangan pohon (Anggraini 1999).

Kangkareng perut-putih termasuk jenis yang adaptif terhadap gangguan atau aktifitas manusia, sedangkan jenis Enggang cula dan Rangkong gading menyukai daerah yang jauh dari aktifitas manusia (Kumara 2006). Sedangkan menurut hasil penelitian Noor (1998) habitat kelompok burung rangkong adalah hutan alam primer (hutan hujan dataran rendah) yang banyak ditumbuhi pohon-pohon penghasil pakan bagi rangkong yaitu famili Moraceae.

Madrim (1990) menyatakan bahwa Kangkareng perut-putih di Taman Wisata dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat menyukai daerah bertipe vegetasi hutan sekunder tua, dan sisa hutan primer sebagai tempat mencari makan dan tempat tidur. Selanjutnya, habitat tempat makan Kangkareng perut-putih didominasi vegetasi tingkat pohon dan pohon penghasil pakan dengan

(9)

penutupan tajuk pohon antara 61,30% - 78,75%. Habitat tempat tidur biasanya didominasi oleh tingkat vegetasi pohon dengan penutupan tahun pohon antara 78,50% - 86,5%, tinggi pohon 20 meter (m) dengan diameter 125 centimeter (cm) dan banyak percabangan mendatar. Habitat tempat istirahat yaitu di daerah hutan yang berbatasan dengan daerah terbuka,seperti hutan tanaman, daerah ekoton antara padang rerumputan dan hutan sekunder tua.

(10)

2.3.4. Perilaku

Perilaku merupakan respon atau ekspresi satwa terhadap semua faktor yang mempengaruhinya, baik faktor dalam maupun faktor dari luar. Respon satwa terhadap semua rangsangan yang terlihat dalam bentuk tingkah laku, pada dasarnya berasal dari dorongan dasar dalam diri satwa untuk tetap bertahan hidup (Suratmo 1978 diacu dalam Basyar 1998).

Selain melakukan perilaku unik seperti bersarang, perilaku lain yang dapat diamati yaitu perilaku makan, istirahat, terbang dan bersuara. Berdasarkan aktivitas harian yang diamati Suryadi (1994) dan Madrim (1999), rangkong melakukan perilaku bersuara (calling), mencari makan, berjemur, bermain dan bertengger. Aktivitas harian adalah aktivitas yang dilakukan mulai dari rangkong bangun sampai siap akan tidur (Madrim 1999).

A. Perilaku Makan

Rangkong merupakan satwa pemakan segala (onmivorous) diantaranya yaitu pemakan buah (frugivorous) (Kemp 1995; Kinnaird & O’Brien 1997; Klop 1998), dan pemakan serangga (MacKinnon et al. 1998). Kangkareng perut putih (Anthracoceros coronatus convexus) memakan buah dari jenis Ficus, serangga yang dimakan yaitu sebangsa laron dan ulat daun jati (Madrim 1990).

Menurut Madrim (1999) perilaku makan adalah aktivitas rangkong mulai dari mematuk pakan sampai menelan pakan tersebut di pohon pakan. Selanjutnya, Kangkareng perut-putih mengambil makanan dengan menggunakan paruhnya. Aktivitas memakan diselingi dengan kegiatan menggosok-gosok paruhnya ke cabang pohon yang dihinggapi dan bergeser ke bagian pohon lain untuk melanjutkan makan. Terkadang Kangkareng turun ke tanah untuk mengambil pakan yang jatuh dan serangga (Madrim 1999).

Penelitian Suryadi (1994) mengatakan bahwa aktivitas mencari makan adalah sebagai aktivitas terbang atau lompat dari cabang ke cabang lain dalam individu pohon yang sama untuk mendekati letak buah. Selanjutnya dijelaskan dari hasil penelitian bahwa aktivitas makan rangkong berbeda pada pagi, siang dan sore hari. Aktivitas perpindahan rangkong terjadi jika terdapat sejumlah rangkong datang atau meninggalkan pohon pakan. Pada Rangkong sulawesi

(11)

presentase aktivitas perpindahan tertinggi terjadi pada pagi hari saat aktivitas makan rangkong terendah (Suryadi 1994).

Selain dapat dilihat atraksi rangkong dengan perilaku makan langsung di pohon, dapat juga dlihat pada saat memberikan makan ke sarang. jenis pakan dapat diketahui dari buah yang jatuh pada saat proses pemberian makan.

B. Perilaku Istirahat, Terbang dan Bersuara

Perilaku istirahat meliputi membersihkan bulu, berjemur, bermain dan

calling, aktivitas yang kurang membutuhkan energi (Suryadi 1994). Didapat hasil

penelitian Suryadi (1994) bahwa persentase aktivitas istirahat terendah terjadi pada saat aktivitas makan meningkat. Menurut Madrim (1999) suara yang dikeluarkan rangkong menandai dimulai atau berakhirnya aktivitas harian Kangkareng. Madrim (1999) kegiatan berjemur dilakukan pada pagi hari antara pukul 06:00 – 09:30 WIB pada bagian tajuk pohon teratas dan terluar. Selanjutnya pada pukul 15:00 – 16:30 WIB Kangkareng akan kembali beristirahat ke tempat tersebut.

Burung rangkong dapat dikenali dari suara kepakan sayap pada saat terbang. Suara yang ditimbulkan dari kepakan sayap langsung dapat dikenali (Kinnaird & O’Brien 1997).

Semua jenis rangkong mempunyai suara yang keras dan terdengan sampai lebih dari satu kilometer (Kinnaird & O’Brien 1997). Dijelaskan dalam penelitian Noerfahmy (2008), kelompok Enggang klihingan (Annorhinus galeritus) di TNBBS sering melakukan aktivitas calling. Selanjutnya dijelaskan bahwa calling dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Aktivitas ini dilakukan oleh setiap kelompok untuk menandakan keberadaan individu atau kelompok pada suatu lokasi, biasa dilakukan antar individu dalam kelompok atau antar kelompok satu dengan kelompok lain. Calling berfungsi sebagai hal untuk menunjukkan dominasi kelompok. Aktivitas calling dilakukan pada pagi hari dan sore hari menjelang matahari terbenam (Noerfahmy 2008).

Pada saat bersarang aktivitas calling rangkong akan berkurang. Klop (1998) menyatakan bahwa jantan akan lebih banyak diam, tidak bersuara jika sudah mendekati sarang, namun jika tidak sedang musim bersarang jantan akan

(12)

bersuara keras jika merasa terganggu. Pada anakan Tarictic, suara yang dikeluarkan akan lebih keras dibandingkan dengan Tarictic dewasa.

C. Perilaku Bersarang

Sarang merupakan tempat bagi satwa dalam melakukan reproduksi dan pemeliharaan anak. Perilaku bersarang merupakan suatu kegiatan satwa untuk menjamin keberhasilan proses pengeraman dan pemeliharaan anak.

Di Malaysia, musim berkembang biak Julang emas dan Enggang papan pada Januari sampai Mei (Poonswad 1993). Kangkareng perut-putih pada bulan Pebruari akhir atau awal Maret sampai Mei. Betina Kangkareng hitam mulai memasuki sarang buatan di Singapura pada bulan Januari dan Desember, dan pada Julang jambul-hitam bersarang pada bulan Maret (Poonswad 1998). Waktu bersarang burung rangkong dapat dilihat dari periode berbuah pohon pakan dan terkadang kelimpahan buah paka, dan musim penghujan (Kinnaird & O’Brien 2007).

Pada sarang famili Bucerotidae betina berada di dalam lubang sarang, kemudian bersama jantan menutup seluruh lubang dengan lumpur, dan membuat celah kecil untuk dapat memasukkan pakan yang dibawa oleh jantan di dalam kerongkongannya kemudian memuntahkannya kepada betina dan anakan (Kemp 1991; Kinnaird & O’Brien 1997). Rangkong dapat menutupi lubangnya dengan material lumpur, kayu yang sudah lapuk dan kotorannya (Klop 1998). Hasil penelitian Klop (1998) menyatakan bahwa pada jenis Visayan Tarictic (Penelopides panini panini) di Area Konservasi Mari-it, Filipina, lubang yang pernah digunakan untuk bersarang akan digunakan kembali pada perkembangbiakan selanjutnya.

Pada saat bersarang Klop (1998) menyatakan bahwa jantan Tarictic akan melakukan terbang secara diam-diam, tidak banyak megepakkan sayap, jika sudah mendekati sarang agar predator tidak mengetahui keberadaannya. Selanjutnya, sebelum jantan memberikan makanan kepada betina, jantan akan melakukan pengintaian di sekitar pohon sarang untuk pengamanan. Fungsi dari menutupi sarang yaitu untuk melindungi betina dan telur dari predator dan gangguan dari jenis rangkong lain (Kinnaird & O’Brien 1997).

(13)

Burung rangkong yang berukuran kecil biasanya mengerami enam telur dengan masa inkubasi (incubation period) 25 hari, masa betina muncul dengan anak yang paling tua berusia 25 hari sampai pada 45 hari total perilaku bersarang. Pada rangkong yang berukuran besar mengerami dua telur dengan masa inkubasi 45 hari, kemudian meninggalkan anaknya yang berusia 30 hari dengan total 80 hari perilaku bersarang. Total waktu pengurungan pada masa bersarang rangkong yaitu 4 – 5 bulan. Beberapa jenis rangkong akan melakukan pergantian bulu (molting) pada masa awal bersarang (mengerami telur) kemudian akan tumbuh kembali pada saat keluar dari sarang.

Poonswad (1993) menyatakan bahwa terdapat lima tahapan proses bersarang pada rangkong selama 120 – 140 hari, rerata lama waktu bersarang pada Enggang papan dan Julang emas yaitu sekitar 120 hari, berikut merupakan tahapan dari proses bersarang pada rangkong yaitu :

1. Tahap pre-nesting yaitu periode perkawinan ditunjukkan dengan usaha menemukan sarang (termasuk mengunjungi sarang) sebelum betina terkurung, antara 1 – 3 minggu.

2. Tahap pre-laying yaitu masa betina mulai terkurung sampai peletakan telur pertama, selama satu minggu. Periode aman bagi rangkong untuk mengeluarkan telurnya (Kemp 1995).

3. Tahap egg incubation yaitu masa peletakkan telur pertama sampai telur pertama menetas, selama enam minggu, sementara pada Kangkareng perut putih selama empat minggu.

4. Tahap nesting yaitu masa dari induk betina keluar dari sarang (lubang sarang ditutup kembali) hingga anak memiliki bulu lengkap dan siap untuk terbang, selama 8 – 13 minggu.

5. Tahap fledging yaitu masa dari pemecahan plester sampai semua anak keluar, memerlukan waktu dari hitungan beberapa jam hingga dua minggu, jika anak lebih dari satu.

Perilaku bersarang pada rangkong merupakan perilaku yang tidak biasa dilakukan pada kelas burung, inilah yang menjadikan rangkong menjadi burung yang istimewa. Pada saat bersarang rangkong betina terkurung di dalam lubang pohon yang ditutupi dengan lumpur, hanya terdapat lubang kecil yang berfungsi

(14)

untuk memasukkan makanan yang diberikan oleh rangkong jantan. Bila telur menetas rangkong betina keluar dengan membuka penutup sarang kemudian menutupnya kembali sampai anak siap keluar dari sarang (MacKinnon et al. 1998).

Musim bersarang rangkong akan berbeda di setiap lokasi. Beberapa rangkong dari beberapa lokasi biasanya bersarang/berbiak pada bulan januari dan may. Menurut Margawati (1982) yang diacu dalam Kumara (2006) musim hujan merupakan suatu pendorong untuk terjadinya perkembangbiakan pada rangkong karena waktu tersebut terdapat tanah basah yang berguna untuk membangun dinding pada sarang dan pada waktu telur menetas banyak ditemukan binatang kecil dan serangga melimpah sebagai salah satu sumber makanannya. Bulan Oktober – Desember masuk kedalam musim hujan. Kumara (2006) menyatakan bahwa musin kawin burung keluarga rangkong bervariasi antar jenis satu dengan yang lain, dimulai dari bulan Januari – Desember.

2.3.5. Karakteristik Tempat Bersarang

Semua rangkong merupakan burung yang bersarang di dalam lubang

pohon atau di celah permukaan tebing yang berlubang dengan merubah sedikit (atau bahkan tidak) pada bagian dalamnya, seperti yang dilakukan kerabat dekatnya yaitu marga Upupiformes dan marga Trogoniformes (Kemp 1995; Klop 1998). Rangkong tidak membuat lubang pada pohon, mereka akan menempati lubang yang sudah ada, sarang yang dipakai oleh rangkong untuk bersarang adalah lubang hasil buatan burung pelatuk atau jenis burung lainnya (Poonswad 1993).

Berdasarkan hasil penelitian dari 69 lubang sarang di Khao Yai National Park, Thailand (Poonswad 1993), pohon yang paling banyak dipakai rangkong untuk bersarang yaitu Dipterocarpus dan Eugenia. Bentuk dan ukuran masuk pada sarang sangat penting, pada beberapa rangkong menggunakan lubang yang berbentuk oval, bulat atau memanjang seperti pada rangkong papan (Buceros

bicornis) memilih lubang yang bentuknya memanjang, sedangkan pada julang

(15)

Berdasarkan hasil penelitian Puryanto (1996) didapatkan bahwa karakteristik tempat bersarang burung Julang (Rhyticeros undulatus) di Resort KSDA Glenmore, Tumpang Pitu, dan Sukamade Banyuwangi, Jawa Timur yaitu jumlah dan penyebaran sarang dipengaruhi keadaan sekitar pohon sarang. Selanjutnya beberapa parameter yang mempengaruhi pemilihan tempat bersarang rangkong adalah keadaan sekitar pohon sarang, diameter pohon, tinggi bebas cabang pohon, kelerengan tapak pohon, jarak pohon sarang dengan pohon lain dan pohon buah, luas tajuk pohon sarang, dan letak sarang dari permukaan tanah. Sedangkan parameter yang kurang mempengaruhi pemilihan tempat bersarang burung julang adalah arah lubang sarang, tinggi total pohon sarang, letak sarang pada salah satu bagian pohon, dan tinggi tapak pohon dari permukaan laut. Karakteristik tempat bersarang burung julang dicirikan oleh pohon berdiameter besar (lebih dari 60 cm), tinggi (lebih dari 20 m), bertajuk sempit, terletak pada tapak yang curam. Sarang terletak lebih dari 3,9 m dari permukaan tanah.

Gambar

Tabel  1    Penyebaran  dan  status  IUCN  dan  CITES  13  Jenis  Famili  Bucerotidae       yang terdapat di Indonesia (Kusmantoro et al
Gambar 1  Famili Bucerotidae (burung rangkong) (MacKinnon et al. 1998).

Referensi

Dokumen terkait

Digunakan untuk melindungi tangan dan bagian lainnya dari dari benda tajam atau goresan, bahan kimia, benda panas dan dingin, kontak dengan arus listrik. Sarung

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan oleh penulis di FKIP Universitas Syiah Kuala yang mengkaji tentang prestasi mahasiswa penerima

1) Mendengar & Melihat Adanya Tanda Persalinan Kala Dua. 2) Memastikan kelengkapan alat pertolongan persalinan termasuk mematahkan ampul oksitosin & memasukan alat

Hasil penelitian menunjukan bahwa respon panelis terhadap warna dan tekstur dendeng babi melalui penambahan asap cair tidak berbeda nyata sedangkan nyata berbeda (P<0,05)

Teknik analisis data: (1) Un- tuk menentukan peningkatan keterampilan bermain musik siswa dalam model pembela- jaran tutor sebaya digunakan tes yang diujik- an setelah

Sedangkan dampak positif dari inflasi (Putong, 2003) adalah (1) bagi pengusaha barang-barang mewah (high end) yang mana barangnya lebih laku pada saat harganya semakin tinggi

Keadaan ini wujud apabila formulasi yang digunakan agak lemah, tetapi perlaksanaan yang dilakukan adalah baik. Oleh yang demikian ia akan menyebabkan

Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kebugaran jasmani dengan prestasi belajar siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah Ngadirojo, yaitu sebesar 0,557