• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Orangutan 2.1.1 Klasifikasi

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di benua Asia dan satu-satunya kera besar yang rambutnya berwarna coklat kemerahan. Para ahli primata menggolongkan orangutan ke dalam dua sub-spesies, Pongo abelii sebagai orangutan yang hidup di Pulau Sumatera dan Pongo pygmaeus sebagai orangutan yang hidup di Pulau Kalimantan (Grooves 2001 dalam Wich et al. 2008 ; Warren et al. 2001 dalam Wich et al. 2008). Pada zaman Pleistocene orangutan tersebar luas dari daratan Cina sampai ke Pulau Jawa (Galdikas 1984 ; Meijaard et al. 2001). Namun akibat dari berbagai tekanan yang dihadapinya, penyebaran orangutan menjadi menyempit, kini hanya terdapat di sebagian kecil wilayah Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan.

Menurut Napier dan Napier (1985), orangutan Sumatera diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Subkingdom : Metazoa Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Primata Subordo : Primata Famili : Pongidae Genus : Pongo

Spesies : Pongo abelli Lesson 1827

2.1.2 Morfologi

Secara morfologi orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat mirip, walaupun seringkali kedua sub-spesies orangutan tersebut dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut terdapat pada panjang

(2)

rambut, struktur dan warna rambut, distribusi rambut pada wajah, ukuran dan bentuk bantalan pipi dan kantung udara pada jantan, bentuk tubuh, ada tidaknya kuku pada jempol kaki, dan variasi karakteristik craniodental (van Bemmel 1968 ; Jones 1969 ; MacKinnon 1973 ; Mallinson 1978 ; Groves 1986 ; Courtenay et al. 1988 ; Uchida 1998a ; Delgado and van Schaik 2000 dalam Goossens et al. 2009). Pada penelitian dan pengujian secara genetika, ternyata orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) berbeda secara genetis (Xu dan Amason 1996 dalam Newman 2000).

Napier dan Napier (1967) menyatakan rambut orangutan Sumatera berwarna coklat kemerahan dimana pada orangutan Kalimantan rambutnya lebih gelap hampir hitam. Rambut orangutan Sumatera lebih panjang daripada orangutan Kalimantan, terutana dibagian pundak dan lengan. Kemudian Napier dan Napier (1967) juga menjelaskan perbedaan bentuk wajah pada jantan dewasa dari orangutan Sumatera dan orangutan Kalimantan, pada orangutan Sumatera bantalan wajahnya lonjong sedangkan pada orangutan Kalimantan bentuknya membulat. Perbedaan yang terlihat secara kasat mata ini bukan sebagai pedoman yang pasti, namun hanya sebagai petunjuk awal. Orangutan Sumatera memiliki rambut putih pada wajahnya, dimana rambut ini tidak pernah ditemukan pada sub-spesies yang ada di Kalimantan (Galdikas 1984). Rambut orangutan Sumatera lebih lembut dan lemas dibandingkan dengan orangutan Kalimantan. MacKinnon (1974) dalam Galdikas (1984) menyatakan bahwa secara mikroskopi perbedaan rambut kedua sub-spesies ini dapat dilihat.

(3)

Orangutan merupakan salah satu hewan yang sangat tampak perbedaan antar jenis kelaminnya (sexual dimorphism). Orangutan jantan memiliki bobot tubuh hampir dua kali dari bobot tubuh orangutan betina. Orangutan jantan bobot tubuhnya 90 kg dan orangutan betina 50 kg. Ukuran tubuh jantan berkisar antara 100-140 cm dan betina berkisar antara 80-110 cm. Seperti kera besar lainnya, orangutan memiliki umur yang relatif panjang, yaitu 30-45 tahun di alam dan 56 tahun di penangkaran (UNEP 2007b).

Jika dibandingkan dengan manusia dan kera besar lainnya, orangutan memiliki jemari, tangan dan telapak kaki yang panjang (Fleagle 1988 dalam Morales et al. 1999). Hal ini berhubungan dengan habitatnya yang berada di kanopi pohon (arboreal). Orangutan jarang sekali berjalan di atas tanah, mereka lebih sering berada di kanopi pohon. Walaupun begitu, terkadang orangutan jantan dewasa berjalan di atas tanah, dengan ukuran tubuhnya yang besar tidak ada predator potensial yang akan mendekat, berbeda dengan bayi atau orangutan betina (Knott 1999).

Berdasarkan golongan umur/jenis kelaminnya Galdikas (1984) membagi orangutan sebagai berikut :

a. Bayi. Jantan dan betina yang berumur 0-4 tahun, beratnya berkisar 1,5 (pada kelahiran) – 5 kg.

b. Anak. Jantan dan betina yang berumur 4-7 tahun, beratnya berkisar 5-20 kg. c. Betina remaja. Umur 7-12 tahun. Beratnya berkisar 20-30 kg.

d. Jantan remaja. Umur 7-10 tahun. Beratnya berkisar 20-30 kg. e. Jantan pra-dewasa.Umur 10-15 tahun. Beratnya berkisar 30-50 kg.

f. Betina dewasa umur muda. Umur 12-35 tahun. Beratnya berkisar 30-50 kg. g. Jantan dewasa umur muda. Umur 15-35 tahun. Beratnya di atas 50 kg. h. Betina umur lanjut. Umur 35 tahun keatas. Beratnya 30 kg atau lebih. i. Jantan dewasa umur lanjut. Umur 35 tahun keatas. Beratnya 40 kg atau lebih.

2.2 Penyebaran Orangutan Sumatera

Meijaard et al. (2001) menyatakan kisaran distribusi spesies orangutan Sumatera (Pongo abelli) di Pulau Sumatera terbatas di utara khatulistiwa, atau di utara Danau Toba terutama di Taman Nasional Gunung Leuser. Populasi orangutan Sumatera terbagi menjadi empat sub-populasi utama : (1) sub-populasi

(4)

wilayah sekitar Aceh yaitu di sebelah barat Sungai Alas dan Sungai Wampu; (2) sub-populasi di Hutan Lindung Dolok Sembelin dan Batu Ardan di Kabupaten Dairi dan kawasan hutan yang bersambungan di sebelah Timur S. Alas, yang membentang di sepanjang kaki-kaki bukit pesisir Barat dan Menurus sampai ke Pantai Sibolga; (3) sub-populasi Tapanuli bagian Tenggara di antara S. Asahan dan S. Barumun; dan (4) sub-populasi di Anggolia, Angkola dan Pasaman, semua daerah yang berada di sepanjang bagian Barat kaki Bukit Barisan, dari hilir S. Batang Toru membentang ke arah selatan diantara Padang Sidempuan dan Daerah sekitar Pariaman di Propinsi Sumatera Barat, sekitar 50 km di sebelah utara Padang.

Gambar 2 Distribusi orangutan di Sumatera (abu-abu gelap). Sumber : Wich et al. 2008

2.3 Habitat Orangutan

Hutan hujan tropika merupakan satu-satunya habitat yang cocok untuk orangutan, yang terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Dimana pada kedua pulau tersebut kondisinya sangat mendukung kehidupan orangutan. Orangutan Sumatera hidup pada hutan dataran rendah dan hutan rawa antara Sungai Simpang kiri (sebelah selatan Sungai Alas) dan Samudra Hindia, meluas ke utara masuk daerah Benkung dan Kluet di bagian selatan Taman Nasional Gunung Leuser (Rijksen 1978 dalam Maple 1980). Hutan hujan tropis ini mampu memenuhi kebutuhan orangutan akan makanan dan tempat bersarang (UNEP 2007a).

(5)

2.4 Perilaku Orangutan 2.4.1 Aktifitas Harian

Orangutan memulai aktivitasnya dipagi hari, dimulai sejak meninggalkan sarang tidur sampai pada sore hari, untuk membuat sarang tidurnya (Kuncoro 2004). Secara keseluruhan aktivitas orangutan dibagi kedalam 7 kategori, yaitu makan yang merupakan aktivitas tertinggi yaitu sebanyak 60,1% dari keseluruhan aktivitas hariannya, kemudian aktivitas istirahat sebanyak 18,2% ; aktivitas bergerak pindah 18,7% ; aktivitas kopulasi 0,1% ; mengeluarkan seruan panjang 0,1% ; perilaku agresi 1,3% dan aktivitas bersarang 1,1% (Galdikas 1978).

2.4.2 Perilaku Makan

Perilaku mencari pakan merupakan aktivitas harian yang sangat dominan dari keseluruhan aktivitas harian orangutan, mencapai 60,1 % (Galdikas 1978). Dimana orangutan merupakan satwa frugivora (pemakan buah), proporsi buah dalam menu harian orangutan mencapai 53,8 % ; disusul daun 29,0 % ; kulit pohon 14,2 % ; bunga 2,2 % dan serangga 0,8 % (Rodman 1977 dalam Maple 1980). Senada dengan hasil penelitian Kuncoro (2004), bahwa buah-buahan mencapai proporsi 58.82 % pada menu orangutan.

2.4.3 Perilaku Bersarang

Orangutan membuat sarang baru untuk tidur pada pohon setiap malam (Maple 1980). Walaupun ada beberapa kejadian dimana individu orangutan memperbaiki sarang yang telah lama, dengan menambah beberapa cabang/batang yang diambil dari jarak 15 – 30 meter untuk menambal sarang yang telah lama/rusak (MacKinnon 1974 dalam Galdikas 1984 ; Prasetyo et al. 2009). Orangutan menggunakan sarang yang lamanya (biasanya setelah periode 2 – 8 bulan) karena adanya pohon berbuah yang disukai (Rijksen 1974 dalam Muin 2007). Selain sarang yang berada di kanopi pohon, orangutan juga membuat sarang di atas permukaan tanah. Sarang tipe ini tidak terlalu baik kondisinya, mengingat bahwa sarang di atas permukaan tanah digunakan orangutan hanya untuk beristirahat di siang hari (Galdikas 1984).

MacKinnon (1974) menyatakan orangutan membuat sarang tidur biasanya tidak jauh dari pohon pakan terakhir yang dikunjunginya pada hari itu. Hal ini

(6)

berhubungan dengan kemudahan untuk akses kepada sumber pakan pada keesokan harinya. Berbeda dengan Rijksen (1978) dalam Maple 1980 yang menyatakan pembuatan sarang di dekat pohon pakan memiliki resiko yang tinggi dari gangguan orangutan lain atau dari spesies lain yang ingin mencari makan pada pohon yang sama.

Diduga dalam pembuatan sarang ada beberapa hal yang mempengaruhinya, antara lain teknik konstruksi, ukuran hewan yang bersangkutan dan beratnya, suasana hati dari orangutan dan juga karakteristik dari pohon bahan pembangun sarang dan cuaca saat membuat sarang (Rijksen 1978

dalam Maple 1980).

Dalam studinya, MacKinnon (1972) mengatakan bahwa orangutan membuat sarang dengan cara memegang ranting dengan kedua tangan dan kakinya. Ranting tersebut dibengkokkan ke dalam membentuk bentuk cekung yang elastis. Dimana dalam pembuatan sarang tersebut orangutan hanya

membutuhkan waktu dua sampai tiga menit. Lebih jauh lagi MacKinnon (1972) menyebutkan cara orangutan membuat sarangnya :

1. Rimming (Pembuatan pinggir sarang), dengan cara cabang dibengkokkan horizontal untuk membentuk pinggiran dan menahannya dengan menggunakan cabang yang lain.

2. Hanging (Penggantungan), dimana cabang dibengkokkan kebawah kedalam sarang untuk membentuk bagian mangkuk sarang.

3. Pillaring (Pembuatan tiang), dimana cabang dibengkokkan diatas dari dasar sarang untuk memegang pinggiran cabang agar tidak goyah dan memberikan tunjangan extra.

4. Loose (Pematahan), dengan cara cabang dipatahkan dari pohon dan diletakkan di dasar sarang atau ditaruh diatas sarang sebagai bagian dari atap.

Orangutan sering menambahkan aksesoris pada sarangnya. Aksesoris tambahan yang dibuat oleh orangutan adalah pelindung yang berada di atas kepala (MacKinnon 1972), hal ini dapat diidentifikan sebagai penahan hujan, penghalang matahari, kamuflase dan digunakan sebagai atap oleh orangutan. Saat hujan lebat dan sinar matahari yang tidak langsung, orangutan sering menaruh daun atau

(7)

9

ranting pohon dikepalanya. Fungsi dari kegiatan ini masih diduga sebagai ”permainan” bagi orangutan liar (Maple 1980).

Orangutan dalam membangun sarangnya menggunakan bahan-bahan yang terdapat disekitarnya. Bahan pembangun sarang tersebut dikumpulkan dari daun dan ranting pohon. Muin (2007) mengatakan bahwa sumber bahan pembangun sarang orangutan berasal dari satu hingga tiga jenis pohon yang berbeda.

Tabel 1 Bahan penyusun sarang orangutan No Jenis pohon

sarang

Nama ilmiah Σ Sumber

bahan Asal jenis pohon bahan sarang

1 Bengkel 3 Bengkel, Bati-bati dan Rengas

2 Ubar merah Syzygium leucoxylon 2 Ubar merah dan Lanan

3 Ubar salim Syzygium sp. 2 Ubar salim dan Semono

4 Semono Elaeocarpus valentonii 2 Semono dan Ubar salim 5 Kemanjing Garcinia dioica 3 Habu-habu, Bati-bati dan

Kemanjing

6 Bedaru Cantleya corniculata 2 Bedaru dan Habu-habu

7 Pempaning Quercus bennetii 2 Pempaning dan Semongah

Sumber : Muin 2007

2.5 Permasalahan dalam Pendugaan Populasi Orangutan

Untuk melakukan pengelolaan satwa liar, sangat dibutuhkan data dasar yang valid mengenai satwa liar yang akan dikelola. Data populasi adalah salah satu data yang sangat diperlukan untuk mengambil keputusan selanjutnya dalam mengelola satwa liar. IUCN melakukan hal yang sama untuk menentukan status dari suatu jenis satwa liar.

Untuk melakukan inventarisasi orangutan dengan cara penghitungan langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit (Mathewson et al. 2008). Hal ini berhubungan dengan kecepatan berpindah orangutan pada saat di pohon. Orangutan secara alami akan menghindari manusia yang mendekat. Gerakan orangutan akan sangat sulit untuk diamati oleh pengamat, karena lebatnya tajuk pohon dan keterbatasan gerak pengamat di lapangan (Meijaard et al. 2001).

Untuk melakukan inventarisasi terhadap orangutan, cara yang umum digunakan adalah dengan cara menghitung jumlah sarang yang terdapat pada kawasan orangutan yang ingin diambil datanya (van Schaik et al. 2005 ; Buij et

(8)

yang paling mudah diamati, karena sangat mencolok berada diatas pohon dengan bentuk yang berbeda dari sekelilingnya (Meijaard et al. 2001).

Kepadatan populasi orangutan yang diduga dengan menghitung sarang yang terdapat pada jalur transek (Buij et al. 2002 ; van Schaik et al. 1995 dalam van Schaik et al. 2005) sebagai berikut :

d = N/(L . 2 w . p . r .t)

Dimana d = kepadatan (individu/km2) ; N = jumlah sarang ; L = panjang jalur transek ; w = lebar jalur transek ; p = proporsi pembuat sarang dalam populasi ; r = rasio pembuatan sarang per hari per individu dan t = umur sarang.

Orangutan selalu membuat sarang pada sore hari untuk tidur pada malam hari (Maple 1980 ; Galdikas 1978). Berdasarkan kenyataan di lapangan seperti ini, maka penghitungan sarang untuk mendapatkan data populasi orangutan akan memiliki kesalahan yang besar. Data yang didapat akan overestimate jika dalam penghitungan sarang, umur dari sarang tidak diketahui dengan akurat.

Selama ini dalam menduga umur sarang dilakukan pengkategorian terhadap sarang. Sarang yang baru dibuat oleh orangutan sampai umur 15 hari, tergolong sarang kategori A. Setelah 15 hari sampai 2 bulan digolongkan sarang kategori B. Kemudian sampai sarang mengalami beberapa kerusakan fisik, sarang dimasukkan ke dalam kategori C, D dan E (Bismark 2005 ; Johnson et al. 2005).

Salah satu permasalahan yang terjadi selama ini adalah nilai t (umur sarang) dari formulai penghitungan kepadatan orangutan. Nilai t yang sering dimasukkan dalam penghitungan adalah nilai t pada saat sarang telah hancur atau pada kelas ketahanan E (Rahman 2008).

Untuk mengetahui nilai ketahanan sarang terdapat dua teknik, yaitu teknik monitoring dan teknik acuan/matrik (Mathewson et al. 2008). Teknik monitoring merupakan cara untuk mendapatkan nilai ketahanan sarang yang akurat (Rahman 2008 ; Mathewson et al. 2008).

Umur sarang merupakan nilai spesifik lokasi, karena umur sarang dipengaruhi oleh kondisi iklim, tipe hutan dan ketinggian tempat dari permukaan laut (Mathewson et al. 2008). Walaupun habitat orangutan adalah hutan hujan dataran rendah, namun kondisi iklim mikro dan ketinggian tempat berbeda-beda

(9)

antara hutan yang satu dengan hutan yang lain. Perbedaan nilai ketahanan sarang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Variasi ketahanan sarang orangutan berdasarkan ketinggian tempat dan tipe hutan pada beberapa daerah di kawasan Ekosistem Leuser

Nama tempat Tipe hutan & tanah Ketinggian tempat (mdpl)

Ketahanan sarang (t)

Suaq Balimbing Hutan pantai & Hutan Rawa 10 69.9 hari

Sekunder Sekunder (Aluvium) 10 71.6 hari

Sekunder – 2 Hutan bekas tebangan

(berbukit rendah) 40 71.6

Pucuk Lembang Hutan bekas tebangan

(Aluvium) 40 71.6

Manggala Aluvium – berbukit 150 77.8

Ketambe Aluvium – berbukit 375 92.4

Bukit Lawang Dipterocarpaceae berbukit 500 101.6

Bengkung Dipterocarpaceae berbukit 700 118.3

Ketambe – 2 Dataran sedang 1175 170

Mamas Dataran sedang (Aluvium) 1325 190.5

Ketambe - 3 Pegunungan 1425 205.6

Deleng

Menggaro Pegunungan 1475 213.6

Lau Kawar Pegunungan 1500 217.7

Sumber : van Schaik et al. 1994 dalam Rahman 2008

Selain dari faktor iklim dan ketinggian tempat dari permukaan laut, kelas ketahanan kayu, diamater batang (dbh) dan tinggi sarang juga mempengaruhi umur sarang tersebut. Karakteristik pohon yang dimaksud adalah

Tabel 3 Pendugaan umur sarang tanpa faktor koreksi berdasarkan kelas perbedaan karakteristik pohon, menggunakan Markov chain analisis

Karakteristik pohon Kelas Jumlah sarang Umur sarang (hari)

Kekuatan kayu I,I/II,III 118 715.80

III,III/IV 277 707.80 IV/V,V 181 623.87 dbh (cm) 0-9 26 797.79 10-19 286 744.86 20-29 181 629.89 30-39 84 622.81 40-49 45 691.81 50+ 41 550.75 Tinggi sarang 0-9 245 692.12 10-19 369 697.62 20+ 49 487.62

(10)

Dibutuhkan suatu acuan atau kategori baru untuk menentukan umur sarang orangutan. Dengan diketahuinya umur harian sarang maka akan mengurangi bias yang terjadi dalam kegiatan survei sarang orangutan. Bias yang kecil akan menghasilkan pendugaan populasi orangutan yang akurat di alam.

Gambar

Gambar 1 Orangutan Sumatera.
Gambar 2 Distribusi orangutan di Sumatera (abu-abu gelap).
Tabel 1 Bahan penyusun sarang orangutan
Tabel  2  Variasi  ketahanan  sarang  orangutan  berdasarkan  ketinggian  tempat  dan  tipe hutan pada beberapa daerah di kawasan Ekosistem Leuser

Referensi

Dokumen terkait

SASARAN TOV 2017 2018 2019 STRATEGI (INITIATIVES) Kesihatan Kurangnya kesedaran dan keprihatinan berkaitan kesihatan di kalangan murid- murid Tahap Pengetahuan

Pemetaan soft skills guru TK di Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru XQWXN DVSHN NRPSHWHQVL NHSULEDGLDQ EHUDGD SDGD NDWHJRUL ³6DQJDW %DLN´ Artinya guru sudah bertindak

Sebagai Alat Pengawasan Pada Perum Perumnas Regional 1 Medan. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya selisih biaya yang tidak menguntungkan

pada bila-bila masa yang terluang untuk membaca sifir yang telah dihafal yang telah dihafal oleh mereka. Guru pembimbing Guru pembimbing akan menanda akan menandatangani borang

Dari kedua pengertian tersebut, maka dapat diartikan bahwa suatu proyek adalah merupakan kegiatan sementara dengan jangka waktu yang terbatas, alokasi sumber

c. Mahasiswa dan Lulusan: 1) Secara kuantitatif, jumlah mahasiswa baru yang diterima Prodi PAI relatif stabil dan di atas rata-rata dibandingkan dengan jumlah

Sri Setyani, M.Hum Tulus Yuniasih, S.IP., M.Soc.Sc Dra.. Sri Setyani,

Secara teoritis kemampuan keuangan daerah dapat ditingkatkan dengan intensifikasi dan atau ekstensifikasi.Upaya ekstensifikasi adalah upaya perluasan jenis