• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang luas seiring dengan perkembangan sosio-ekonomi dan pertumbuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang luas seiring dengan perkembangan sosio-ekonomi dan pertumbuhan"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Permasalahan permukiman sudah sejak lama menjadi perhatian dunia internasional pada umumnya dan negara-negara berkembang pada khususnya, karena memiliki dimensi persoalan yang luas seiring dengan perkembangan sosio-ekonomi dan pertumbuhan perkotaan. Didorong oleh rasa keprihatinan pada kondisi permukiman yang ada diperkotaan, para wakil pemerintah dari berbagai negara dalam KTT millenium-PBB yang dilaksanakan bulan September 2000, telah menyepakati tujuan pembangunan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDG). Salah satu target MDG tersebut adalah meningkatkan kualitas kehidupan 100 juta masyarakat di permukiman kumuh pada tahun 2020.

Amanat Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen II pasal 28 H, UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM disebutkan bahwa hunian yang layak merupakan hak dasar warga Negara Indonesia. Dalam Undang-undang Nomor 4/1992 tentang Perumahan Permukiman pasal 29 disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam pembangunan perumahan dan permukiman. Dengan demikian, setiap warga negara berhak mendapat pelayanan akan kebutuhan perumahan. Karena itu, terpenuhinya kebutuhan perumahan dan permukiman merupakan tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Sesudah manusia terpenuhi kebutuhan jasmaninya yaitu sandang, pangan, serta kesehatan, kebutuhan akan rumah atau tempat tinggal merupakan salah satu motivasi untuk

(2)

pemgembangan hidup yang lebih tinggi. Khususnya bagi rakyat miskin, pemenuhan kebutuhan papan amat mendesak. Apalagi pemukiman di tengah kota sudah semakin sesak, hampir tak teratur lagi. Harus kita akui, bahwa masih banyak masyarakat Indonesia belum memiliki rumah. Ataupun jika ada, banyak diantara mereka yang memiliki rumah namun tidak layak huni, terutama jika ditinjau dari sudut kesehatan. Padahal pemenuhan kebutuhan perumahan adalah termasuk indicator dari tingkat kesejahteraan masyarakat.

Dalam rangka mewujudkan hunian yang layak bagi semua orang (adequate shelter for all), pemerintah bertanggungjawab untuk memberikan fasilitasi kepada masyarakat agar dapat menghuni rumah yang layak, sehat, aman, terjamin, mudah diakses dan terjangkau yang mencakup sarana dan prasarana pendukungnya. Untuk itu, pemerintah perlu menyiapkan program-program pembangunan perumahan dan permukiman, baik berupa intervensi langsung (provider) maupun melalui penciptaan iklim yang kondusif (enabler) sehingga pembangunan perumahan dan permukiman dapat berjalan dengan efisien dan berkelanjutan.

Pemerintah daerah (Pemda) memiliki peran yang penting dalam pembangunan perumahan dan permukiman, sebab Pemda adalah pihak yang mengetahui berapa jumlah kebutuhan hunian masyarakatnya. Meskipun pembangunan perumahan dan permukiman yang layak sudah diarahkan agar terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, akan tetapi sasaran ini masih belum dapat tercapai secara menyeluruh.

Hal mendasar yang mengacu timbulnya berbagai tantangan dalam pembangunan perumahan dan permukiman adalah fenomena pertambahan penduduk yang sangat pesat yang disertai laju pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan (mantap) yang mengakibatkan terus bertambahnya kebutuhan akan perumahan dan permukiman. Menurut

(3)

hasil analisa tim Rencana Pembangunan Dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman (RP4D) kota Medan, perkiraan jumlah penduduk kota Medan sampai tahun 2018 adalah 2.510.236 jiwa. Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu persiapan sejak dini untuk mengantisipasi adanya kekurangan kebutuhan akan perumahan masyarakat.

Salah satu isu pokok permasalahan pembangunan perumahan dan permukiman baik pada tingkat nasional maupun daerah adalah kurangnya akses yang sama bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk maemilliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan rumah yang layak. Kemampuan pemerintah yang terbatas dan berbagai sistem yang mempengaruhi kepemilikan rumah oleh seluruh masyarakat hanya menempatkan masyarakat dengan golongan ekonomi mampu yang hanya sanggup untuk memiliki rumah yang layak bagi tempat tinggalnya. Sesuai dengan amanat Undang-Undang serta Kebijakan Strategi Nasional Perumahan Permukiman mensyaratkan untuk memberikan akses yang luas bagi masyarakat miskin untuk memiliki rumah yang layak.

Rumah kurang layak huni sesuai data di RTRW kota Medan tercatat sebanyak 88.166 unit yang tergolong rumah dengan kondisi buruk. Kriteria yang digunakan untuk rumah kurang layak huni dilihat dari struktur bangunan (atap, dinding, dan lantai) ataupun kelengkapan sarana dan prasarana rumah seperti ketersediaan kamar mandi, kondisi dapur, dan lain sebagainya. Rumah kurang layak huni secara keseluruhan dihuni oleh keluarga dengan kondisi ekonomi yang tergolong rendah. Karena alasan ekonomi rata-rata rumah tangga tidak memiliki dana yang cukup untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi rumahnya.

Pemerintah kota Medan dengan keterpaduan berdasarkan surat keputusan Menko Kesra dan Taskin nomor 13/1998 telah meluncurkan program perbaikan/pemugaran rumah

(4)

yang diberi nama program ALADIN(Perbaikan atap, lantai, dan dinding) melalui Badan Keluarga Berencana (KB) yang pada tahap pertama dimulai tahun 2007. Program ALADIN ini bertujuan untuk memberikan bantuan kepada keluarga prasejahtera untuk meningkatkan taraf hidup yang layak, dan diharapkan dengan perbaikan rumah ini terpenuhi rumah yang layak huni dan dapat meningkatkan tahapan kehidupan.

Program tahap pertama tahun 2007 tersebut telah berhasil melakukan pemugaran 125 unit rumah keluarga pra sejahtera yang berada di tingkat luar kota Medan yang berada di 11 Kecamatan , yaitu: 14 unit di Kecamatan Medan Denai, 25 unit di kecamatan Medan Labuhan, 7 Unit di Kecamatan Medan Johor, 16 unit di Kecamatan Medan Belawan, 16 unit di Kecamatan Medan Tuntungan, 14 unit di Kecqamatan Medan Sunggal, 5 Unit di Kecamatan Medan Tembung, 10 unit di Kecamatan medan Selayang, 11 unit di Kecamatan Medan Marelan, dan 5 Unit di Kecamatan Medan Amplas.

Namun program ini bersifat jangka pendek, yang bertujuan memberikan motivasi bagi masyarakat untuk meningkatakan ekonomi dengan kondisi lingkungan rumah yang cukup mendukung. Alokasi dana yang dapat disalurkan pada program perbaikan/pemugaran rumah di Kota Medan Pemerintah Kota Medan dapat menganggarkan dana dari APBD Kota Medan, selain sumber-sumber pembiayaan berasal dari dana yang diusulkan ke pemerintah pusat melalui Menteri Perumahan Rakyat, peran serta swasta dan BUMN ataupun pola perbaikan rumah melalui pendekatan partisipasi/swadaya dari masyarakat sendiri.

Dengan melihat berbagai pertimbangan kepadatan penduduk ke depannya, serta kemungkinan dan untuk menghindari terbentuknya perumahan masyarakat yang kumuh, maka perlu diadakan suatu perencanaan untuk kedepannya. Dimana dalam penelitian ini

(5)

akan dibahas hasil dari perencanaan pemerintah kota Medan sendiri untuk menciptakan kota Medan dari keluarga yang belum memperoleh rumah yang layak huni.

Maka dengan alasan tersebut penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul “Implementasi Perencanaan Pembangunan Perumahan Dalam Menyediakan Hunian Yang Layak Di Kota Medan studi kasus Pada Program ALADIN (Atap,Lantai,Dinding) di Kecamatan Medan Sunggal”

(6)

I.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah sangat penting agar diketahui arah jalannya suatu penelitian. Batasan masalah bukan batasan pengertian. Tidak jarang mahasiswa yang mencampuradukkan kedua jenis batasan tersebut. Ada yang menganggap sebagai dua hal tetapi sama. Ada yang menggunakan secara terbalik. Batasan masalah merupakan sejumlah masalah yang merupakan pertanyaan penelitian yang akan dicari jawabannya melalui penelitian. Dengan makna tersebut maka batasan masalah sebenarnya adalah batasan permasalahan. (Arikunto, 2005 : 14)

Berpangkal tolak dari latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana Implementasi Perencanaan Pembangunan Perumahan Dalam Menyediakan Hunian Yang Layak Di Kota Medan Pada Program ALADIN (Atap,Lantai,Dinding) ?

I.3. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian tentunya jelas diketahui sebelumnya. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Kota Medan dalam menyediakan hunian yang layak di Kota Medan.

2. Untuk menganalisis perencanaan dan implementasi program ALADIN tahun 2009 di Kecamatan Medan Sunggal.

(7)

Setelah selesai penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat yang baik bagi peneliti sendiri maupun pihak lain yang berkepentingan dalam penelitian ini. Adapun manfaat penelitian yang diharapkan adalah:

1. Secara Subjektif, sebagai suatu sarana dalam melatih dan mengembangakan kemampuan berpikir secara ilmiah, sistematis, dan metodologi dalam menyusun karya ilmiah.

2. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dalam menambah bahan kajian perbandingan bagi yang menggunakannya.

3. Secara Praktis, Bagi Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana kota

Medan, penelitian ini diharapkan mampu dijadikan sebagai sumbangan saran dan pemikiran.

I.5. Kerangka Teori

Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan permasalahan perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti. Selanjutnya teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Singarimbun, 1995 : 37).

Berdasarkan rumusan diatas, maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, gagasan yang akan dijadikan titik tolak landasan berfikir dalam penelitian ini.

(8)

Implementasi merupakan sebuah penempatan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, ketrampilan maupun nilai dan sikap. Dalam oxford advance leaner dictionary dikemukakan bahwa implementasi adalah put something into effect yang artinya adalah penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak ( Susilo, 2007:174)

Implementasi kebijakan dalam arti yang luas dipandang sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai sistem , organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran maupun sebagai hasil ( Winarno, 2002:101)

Pressman dan Wildasvky (dalam Putra, 2003:80) mengartikan implementasi sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2002:102) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Sedangkan Fullan (dalam Syaifuddin, 2006:100) memandang sebagai proses menerapkan sebuah ide atau program baru dengan harapan akan terjadi sebuah perubahan.

Menurut Jenkis (dalam Parsons, 2005:463) studi implementasi adalah studi perubahan: bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik

(9)

bagaimana organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain; apa motivasi-motivasi merka bertindak sepertiitu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda.

Kajian implementasi merupakan suatu proses mengubah gagasan atau program menjadi tindakan dan bagaimana kemungkinan cara menjalankan perubahan tersebut. dalam konteks menajemen, implementasi kebijakan berada di dalam kerangka organizing-leading-controlling. Jadi ketika kebijakan sudah dibuat, maka tugas selanjutnya adalah mengorganisasikan, melaksanakan kepemimpinan untuk memimpin pelaksanaan dan melakukan pengendalian dari pelaksanaan tersebut. Untuk menganalisis bagaimana proses implementasi kebijakan tersebut berlangsung secara efektif, maka dapat dilihat dari berbagai model implementasi kebijakan.

Pengkajian mengenai tahap implementasi kebijakan merupakan bagian yang krusial dalam proses kebijakan publik. Dari proses pengimplementasian kebijakan ini akan menuntut sebuah konsekuensi – konsekuensi yang akan mempengaruhi beberapa aspek kehidupan masyarakat. Sebagus apapun sebuah kebijakan tanpa diikuti proses pengimplementasian yang tidak tepat tidak akan menunjukkan hasil yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh pembuat keputusan.

Pemahaman lebih lanjut tentang konsep implementasi dikemukakan oleh Lineberry dengan mengutip pendapat Van Meter dan Van Horn yang memberikan pernyataan bahwa “policy implementation encompasses those action by public and private individuals (and groups) that aredirected at the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decicions.” Pernyataan ini memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok

(10)

pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan.secara sederhana dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak aktualnya.(Putra, 2003:84)

Dalam perumusan suatu kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Karena betapapun baiknya suatu kebijakan tanpa implementasi maka tidak akan banyak berarti. Dalam kaitan seperti ini dikemukakan oleh Wahab(1990:51), bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting dari pada pembuatan kebijakan. Kebijkasanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.

Ada beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli yang dikutip oleh Sumaryadi dkk(2005) seperti yang berikut ini:

1. Donald Van Meter dan Carl Van Horn membatasi implementasi sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu (atau kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.

2. Daniel A Mazmanian dan Paul A Sabatier yang menyebutkan bahwa implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni kejadian-kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman kebijaksanaan Negara, yang mencakup baik usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian.

(11)

3. Cahrles O. Jones berpendapat bahwa implementasi adalah suatu proses interaktif anatara suatu perangkat tujuan dengan tindakan atau bersifat interaktif dengan kegiatan-kegiatan kebijaksanaan yang mendahuluinya.

Lingberry (dalam Putra, 2003: 81) menyatakan bahwa proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen –elemen sebagai bereikut:

1. pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana 2. penjabaran tujuan kedalam berbagai aturan pelaksana

3. koordinasi sebagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran, pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas atau badan pelaksana.

4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan

Dari defenisi –defenisi diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa implementasi adalah kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak yang dihasilkan.

Berkaitan dengan tahap implementasi kebijakan, Tangkilisan (2003:18) mengemukakan 3 (tiga ) kegiatan yang utama yang paling penting dalam implementasi yaitu; Penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan; Organisasi, yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program kedalam tujuan kebijakan, dan Penerapan, yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah dan lain-lainnya.

(12)

I.5.2. Model-Model Implementasi Menurut Beberapa Ahli

Untuk menjalankan kegiatan dalam tahap implementasi tersebut, para ahli merumuskan beberapa model yang dapat digunakan demi lancarnya implementasi suatu kebijakan. Berikut akan dibahas beberapa model implementasi yang dikemukana para ahli:

a. Model top-down oleh Sabatier dan Mazmanian

Model yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazmanian dalam Putra ( 2003: 86) ini, meninjau dari kerangka analissinya. Modelnya ini dikenal dan dianggap sebagai salah satu model top down yang paling maju. Karena mereka telah mencoba mensintesiskan ide-ide dari pencetus teori model top-down dan bottom up

Posisi model top-down yang diambil oleh Sabatier dan maznanian terpusat pada hubungan antara keputusan-keputusan dengan pencapaiannya, formulasi dengan implementasinya, dan potensi hierarki dengan batas-batasnya, serta kesungguhan implementor untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijakan tersebut.

Model Top-down yang dikemukakan oleh Sabatier dan Mazamanian ini akan memberikan skor yang tinggi pada kesederhanaan dan keterpaduan, karena modelnya memaksimalakan perilaku berdasarkan pemikiran tentang sebab akibat, dengan tanggung jawab yang bersifat single atau penuh. Penekanannya terpusat pada koordinasi, kompliansi dan control yang efektif yang mengabaikan manusia sebagai target group dan juga peran dari sistem lain.

(13)

Gambar 1.1.Implementasi Kebijakan Menurut Sabatier dan Mazmanian

(sumber: Putra, 2003: 89)

Karakteristik masalah

1. Ketersediaan teknologi dan teori teoritis 2. Keragaman perilaku kelompok sasaran 3. Sifat populasi

4. Derajat perubahan perilaku yang diharapkan

Daya dukung peraturan

1.kejelasan/konsistensi tujuan/sasaran 2. teori kasual yang memadai

3. sumber keuangan yang mensukupi 4. integrasi organisasi pelaksana 5. direksi pelaksana

6. rekrutmen dari pejabat

7. akses formal pelaksana organisasi

Variabel non-peraturan

1. Kondisi sosio ekonomi dan

2. Perhatian pers terhadap masalah kebijakan 3. Dukungan public

4. Sikap dan sumber daya 5. Dukungan kewenangan

6. Komitmen dan kemampuan pejabat pelaksana

Proses implementasi

Keluaran kesesuaian dampak actual dampak yang diperkirakan

Kebijakan dari keluaran kebijakan keluaran

Organisasi dengan kelompok kebijakan

(14)

b. Model Bottom - Up oleh Smith

Model yang dikemukakan oleh Smith (dalam Putra, 2003:90) ini memandang implementasi sebagai proses atau alur, yang melihat proses kebijakan dari perspektif perubahan sosial politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Smith menyatakan bahwa ada 4 (empat) variabel yang perlu diperhatikan dalam proses implementasi kebijakan yaitu:1.idealized policy, yaitu suatu pola interaksi yang diidealisasikan oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong , mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya. 2. Target group, yaitu bagian dari policy stakeholders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena mereka ini banyak mendapat pengaruh dari kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakunya dengan kebijakan yang dirumuskannya, 3. Implementing organization, yaitu badan-badan pelaksana atau unit-unit birokrasi pemerintah yang bertanggungjawab dalam implementasi kebijakan; 4. Environmental factor , yaitu unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan(seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik).

Keempat variabel diatas tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik, oleh karena itu sering menimbulkan tekanan (tension) bagi terjadinya transaksi atau tawar-menawar antara formulator dan implementor kebijakan.

Model pendekatan bottom-up yang dikemukakan oleh Smith ini memberikan skor tinggi pada realisme dan kemampuan pelaksana. Karena modelnya memandang bahwa implementasi kebijakan tidak berjalan secara linier atau mekanistis, tetapi membuka

(15)

peluang terjadinya transaksi melalui proses negoisasi, atau bargaining untuk menghasilkan kompromi terhadap implementasi kebijakan yang berdimensi target group.

Gambar 1.2 Model Proses Alur Smith

Policy tensions transaction feedback institution (Sumber: Putra, 2003:92)

c. Model Van Meter dan Van Horn

Model proses implementasi yang diperkenalkan Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn tidak dimaksudkan untuk mengukur dan menjelaskan hasil-hasil akhir dari kebijakan pemerintah, tetapi untuk mengukur dan menjelaskan yang dinamakan pencapaian program. Perlu diperhatikan bahwa pelayanan dapat diberikan tanpa mempunyai dampak substansial pada masalah yang diperkirakan berhubungan dengan kebijakan. Suatu kebijakan mungkin diimplementasikan secara efektif, tetapi gagal memperoleh dampak

Policy Making process Implementing organization Target group Idealized Policy Environmental factors

(16)

substansial karena keadaan-keadaan lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan program yang berhasil mungkin merupakan kondisi yang diperlukan sekalipun tidak cukup bagi pencapaian hasil akhir secara positif (Winanrno, 2002: 103)

Model yang ditawarkan Van Meter dan Van Horn ini mempunyai 6 (enam) variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian ( performance) . Variabel-variabel tersebut dijelaskan sebagai berikut( Winarno, 2002: 110-119):

1. Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap fsistem-fsistem yang menentukan pencapaian kebijakan. - pencapaian ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan. Ukuran–ukuran-ukuran dasar dan tujuan–tujuan berguna di dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran–ukuran dasar dan tujuan-tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. Misalanya peemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan untuk para pengangguran dengan membuat beberapa proyek padat karya. Untuk menjelaskan apakah implementasi telah berhasil atau tidak, perlu ditentukan jumlah pekerjaan yang telah diciptakan, identitas orang-orang dipekerjakan dan kemajuan proyek-proyek pembangunan yang berhubungan.

2. Sumber-Sumber Kebijakan

Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.

(17)

3. Komunikasi Antar Organisasi Dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan.

Komunikasi di dalam dan antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit. Dalam meneruskan pesan-pesan ke dalam suatu oraganisasi atau dari suatu organisasi ke organisasinya, para komunikator dapat menyimpannya atau meyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika sumber-sumber informasi yang berbeda memberikan interpretasi-interpretasi yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau jika sumber-sumber yang sama memberikan interpretasi-interpretasi yang bertentangan, para pelaksana akan mengahdapi kesulitan yang lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud kebijakan.

Dalam hubungan-hubunghan antar organisasi maupun antarpemerintah, dua tipe kegiatan pelaksanaan merupakan hal yang paling penting. Pertama, nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat itnggi seingkali dapat melakukan banyak hal untuk memperlancar implementasi kebijakan dengan jalan membantu pejabat –pejabat bawahan menginterpretasikan peratuaran-perturan dan garis-garis pedoman pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi, baik positif maupun negatif.

4. Karakteristik Badan-Badan Pelaksana

Van meter dan Van Horn mengetengahkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan: a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan

(18)

b. Tingkat pengawasan hierarkis terhdap keputusan-keputusan sub unit dan proses-proses dalam badan-badan pelaksana

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara anggota-anggota legislatif dan eksekutif)

d. Vitalisasi suatu organisasi

e. Tingkat komunikasi-komunikasi “terbuka”, yang didefenisikan sebagai jaringan kerja komunikasi horisontaldan vertikal secara bebas, serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar organisasi

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dangan badan “pembuat keputusan” atau “pelaksana keputusan”.

5. Kondisi-kondisi ekonomi, sosial dan politik

Para peminat perbandingan poltik Negara dan kebikan publik secara khusus tertarik dalam mengidentifikasikan pengaruh variabel-variabel lingkungan pada hasil-hasil kebijakan. Sekalipun dampak dari fsistem-fsistem ini pada implementasi keputusan-keputusan kebijakan mendapat perhatian yang kecil, namun menurut Van Meter dan Van Horn, fsistem-fsistem ini mungkin mempunyai efek yang mendalam terhadap pencapaian badan-badan pelaksana.

6. Kecenderungan pelaksana(implementors)

Pada tahap ini pengalaman-pengalaman subyektifitas individu-individu memegang peranan yang sangat besar. Van Meter dan Van Horn kemudian mengidentifikasikan tiga unsur tanggapan pelaksana yang mungkin mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk melaksanakan kebijakan, yakni: kognisi

(19)

(komprehensi, pemahaman) tentang kebijakan, macam tanggapan terhadapnya (penerimaan, netralitas, penolakan) dan in tensitas tanggapan itu. Pemahaman pelaksana tentang tujuan umum maupun ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan suatu hal yang penting. Implementasi kebijakan yang berhasil harus diikuti oleh kesadaran terhadap kebijakan tersebut secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa kegagalan suatu implementasi kebijakan sering diakibatkan oleh ketidaktaatan para pelaksana terhadap kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, persepsi individu memegang peran. Dalam keadaan ketidaksesuaian kognitif, individu mungkin akan berusaha menyeimbangkan pesan yang tidak menyenangkan dengan persepsinya tentang apa yang seharusnya merupakan keputusan kebijakan. Intensitas kecenderungan pelaksanaan inilah yang akan mempengaruhi pencapaian implementasi.

Adapun ikatan (linkage) antara keenam variabel tersebut di atas dengan pencapaian suatu kebijakan dapat digambarkan sebagai berikut.

(20)

Gambar 1.3 Model Proses Implementasi Kebijakan menurut Van Horn dan Varn Meter Ukuran-ukuran Dasar Dan Tujuan-Tujuan pencapaian (Sumber: winanrno, 2002:111)

Menurut Van Meter dan Van Horn, tipe dan tingkatan sumber-sumber yang disediakan oleh keputusan kebijakan akan mempengaruhi kegiatan-kegiatan komunikasi dan pelaksanaan. Bantuan teknik dan pelayanan-pelayanan lain hanya dapat ditawarkan jika ditetapkan oleh keputusan kebijakan dan semangat para pelaksana hanya dapat dicapai apabila sumber-sumber yang tersedia cukup untuk mendukung kegiatan tersebut. Pada sisi yang lain, kecenderungan para pelaksana dapat dipengaruhi secara langsung oleh tersedianya sumber-sumber. Juka jumlah uang atau sumber-sumber lain dipandang tersedia,

kebijaksanaan

Sumber-sumber

Komunikasi antar organisasi dan

kegiatan-kegiatan pelaksanaan

Kecenderung an pelaksana-pelaksana

Karakterisitik-karakteristik dari badan-badan pelaksana

Kondisi ekonomi, sosial dan politik

(21)

maka para pelaksana mungkin memandang program dengan senang hati dan kemungkinan besar hal ini akan mendorong ketaatan para pelaksana kebijakan karena mereka berharap akan memperoleh keuntungan dari sumber-sumber tadi. Hal sebaliknya juga dapat terjadi, bila suatu program tidak mempunyai cukup sumber-sumber pendukung dan dengan demikian tidak prospektif, maka dukungan dan ketaatan terhadap program akan menurun.

d. Model Marilee S.Grindle

Model ini menyatakan bahwa implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. isi kebijakan mencakup:

a. sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan

b. jenis manfaat yang akan diterima oleh para target group atau sasaran dari kebijakan

c. derajat perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan

d. kedudukan program apakah sudah tepat dalam bidang dari organisasi pelaksana e. seluruh implementator yang akan melaksanakan kebijakan tersebut

f. sumber daya yang dikerahkan telah memenuhi atau tidak

Sementara itu konteks implementasinya adalah:1. kekuasaan, kepentingan, strategi actor yang terlibat, 2. karakteriistik lembaga dan penguasa, 3. kepatuhan dan daya tanggap kelompok sasaran

(22)

Gambar 1. Model Proses Implementasi Kebijakan menurut Marilee S.Grindle

Gambar:model implementasi Marilee S Grindle

Sementara itu, Peters (dalam Tangkilisan, 2003: 22) mengatakan implementasi kebijakan yang gagal disebabkan beberapa fsistem:

1. Informasi

Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat, baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

2. Isi kebijakan

Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh;

a. Isi kebijakan yang meliputi kepentingan kelompok sasaran, tipe manfaat,derajat perubahan yang diinginkan, letak pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sumber daya yang digunakan

b. Lingkungan implementasi yang terdiri dari kekuasaan, kepentingan dan strategi actor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasa, dan kepatuhan dan daya tanggap Tujuan kebijakan Hasil kebijakan yaitu dampak pada masyarakat, individu dan kelompok serta perubahan dan penerimaan masyarakat Tujuan yang dicapai

Program aksi dan proyek yang didesain dan didanai Program yang dilaksanakan sesuai rencana Mengukur keberhasilan

(23)

Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sember daya pembantu.

3. Dukungan

Implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pelaksanaanya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut

4. Pembagian potensi

Hal ini terkait dengan pembangian potensi di antara para sistem implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.

Maka, dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan model implementasi bottom-up oleh Grindle. Yang kemudian akan dijadikan sebagai indikator yang akan menjadi batasan penelitian, serta alat untuk menganalisis data yang akan di peroleh di lapangan.

I.5.2 Perencanaan Pembangunan I.5.2.1 Perencanaan

Perencanaan berasal dari kata rencana, yang berarti rancangan atau kerangka sesuatu yang akan dikerjakan. Pada dasarnuya perencanaan sebagai fungsi manajemen adalah proses penngambilan keputusan dari sejumlah pilihan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki (Kartasasmita, 1994)

Dari pengertian sederhana tersebut, dapat diuraikan beberapa komponen penting yakni : tujuan:apa yang hendak dicapai, kegiatan, kegiatan untuk merealisasikan tujuan, dan

(24)

waktu;kapan bilamana kegiatan tersebut hendak dilakukan. Apa yang hendak direncanakan tentu saja merupakan tindakan-tindakan untuk masa depan.

Menurut Ardani (dalam Soekartawi (1990:21), perencanaan biasanya mengandung beberapa elemen, antara lain:

1. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai pemilihan alternatif

2. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai pengalokasian berbagai sumberdaya yang tersedia

3. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai sasaran

4. Perencanaan yang dapat diartikan sebagai upaya untuk mencapai target sasaran yang dikaitkan dengan waktu masa depan

Menurut Randy dan Riant (2006 : 39) Pengertian perencanaan sangat beraneka ragam. Keanekaragaman pengertian dan defenisi perencanaan dipengaruhi pandangan dari sudut-sudut pandangan tertentu sesuai kepentingan yang diharapkan. Berdasarkan berbagai defenisi perencanaan yang ada, perencanaan merupakan:

a. Himpunan asumsi untuk mencapai tujuan. Perencanaan adalah pemilihan dan menghubungkan fakta-fakta, membuat serta menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masa datang dengan menggambarkan dan merumuskan kegiatan- kegiatan tertentu yang diyakini diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu.

b. Seleksi tujuan. Perencanaan adalah proses dasar yang kita gunakan untuk memilih tujuan-tujuan dan menguraikan bagaimana cara pencapaiannya.

c. Pemilihan alternatif dan alokasi sumber daya perencanaan adalah pemilihan alternatif atau pengalokasian berbagai sumberdaya yang tersedia.

(25)

d. Rasionalitas. Perencanaan adalah pemikiran rasional berdasarkan fakta-fakta atau perkiraan yang mendekat (estimate) sebagai persiapan untuk melaksanakan tindakan-tindakan kemudian

e. Proses penentuan masa depan. Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetntukan

Maka, menurut penulis perencanaan adalah pemilihan berbagai alternatif dalam mengalokasikan sumber daya yang ada untuk merumuskan tujuan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

I.5.2.2 Pengertian Pembangunan

Menurut Myndal (dalam Budiman, 1995: 1) memberikan defenisi pembangunan bahwa Pembangunan seharusnya merupakan suatu proses yang saling terkait antara proses pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial, dan demokrasi politik yang terjadi dalam lingkaran sebab akibat kumulatif(circular cumulative cautation). Pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara umum, kata pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warga negaranya

Randy dan Riant (2006 : 10) memberikan defenisi pembangunan secara sederhana, yaitu Pembangunan secara sederhana diartikan sebagai suatu perubahan tingkat kesejahteraan secara terukur dan alami. Dalam menyelenggarakan tindakan pembangunan, pemerintah memerlukan dana untuk membiayai kegiatannya. Dana tersebut dihimpun dari warga Negara dalam bentuk: pajak, pungutan, serta yang diperoleh secara internal dari pendapatan bukan pajak dan laba perusahaan publik.

(26)

Kesejahteraan manusia merupakan fokus dari tujuan pembangunan, motovasi pelaku pembangunan, dan prioritas pembiayaan pembangunan. Menurut Suroto(1983 : 78), pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Guna penetapan tujuan dan sasaran pembangunan pada tiap tahap, untuk alokasi sumber- sumber serta untuk mengatasi rintangan keterbatasan dan pertentangan-pertentangan ini dan untuk melakukan koordinasi kegiatan, diperlukan kebijaksanaan yang memuat program dan cara – cara yang relevan dan efektif yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan. Dengan kata lain, kebijaksanaan berisi tujuan keseluruhan dan tujuan tiap program yang hendak dicapai pada tiap tahap pembangunan, cara yang perlu dilakukan untuk mengatasi semua atau berbagai keterbatasan, rintangan-rintangan dan pertentangan yang ada atau diperkirakan akan terjadi, cara mengalokasikan sumber-sumber pembangunan yang optimal, serta cara melakukan koordinasi semua kegiatan yang efektif.

Jadi, menurut penulis pembangunan merupakan usaha untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merupakan suatu proses yang saling terkait antara ekonomi, perubahan sosial, dan demokrasi politik. Pembangunan akan berhasil apabila ada kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat dalam pelaksanaannya.

1.5.2.3. Perencanaan Pembangunan

Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan

(27)

/ aktivitas kemasyarakatan. Baik yang bersifat fisik (materil) maupun nonfisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik.

Secara umum, unsur-unsur pokok yang termasuk dalam perencanaan pembangunan adalah sebagai berikut:

1. Kebijaksanaan dasar atau strategi dasar rencana pembangunan

2. Adanya kerangka rencana yang menunjukkan hubungan variabel-variabel pembangunan dan implikasinya

3. Perkiraan sumber-sumber pembangunan utama pembiayaan

4. Adanya kebijksanaan yang konsisiten dan serasi, seperti kebijkasanaan fiskal, moneter, anggaran, harga, sektoral, dan pembangunan daerah

5. Adanya program investasi yang dilakukan secara sektoral, seperti pertanian, insudtri, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Dan

6. Adanya administrasi pembangunan yang mendukung perencanaan dan pelaksanaan pembangunan(Randy dan Riant, 2006 : 420)

Dalam beberapa buku literatur perencanaan pembangunan (development planning), maka pembahasan terhadap pentingnya perencanaan ini sering dikaitkan dengan pembangunan itu sendiri. Dengan demikian, pembahasan pentingnya aspek perencanaan yang dikaitkan dengan aspek pembangunan dapat diklasifikasikan menjadi dua topik utama, yaitu:

a. Perencanaan sebagai “alat” dari pembangunan, dan

b. Perencanaan sebagai tolok ukur dari berhasil- tidaknya pembangunan tersebut

Secara skematis, kaitan antara aspek perencanaan dan pembangunan dapat digambarkan seperti skema berikut:

(28)

Gambar 1.5. Skema Kaitan Antara Perencanaan Dan Pembangunan Sebagai “alat”

Sebagai “ tolok ukur”

Sumber: Soekartawi, Prinsip-prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan

Perencanaan diangggap sebagai “alat”pembangunan, karena perencanaan memang merupakan alat strategis dalam menuntun jalannya pembangunan. Suatu perencanaan yang di susun secara acak-acakan (tidak sisitematis) dan tidak memperhatikan aspirasi target grup (sasaran), maka pembangunan yang dihasilkan juga tidak seperti yang diharapkan. Dengan demikian, maka di dalam konteks perencanaan sebagai “alat” , maka ia mempunyai keunggulan komprehensif, yang antara lain dapat dituliskan sebagai berikut:

a. Perencanaan dapat dipakai sebagai alat untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan

b. Perencanaan dapat dipakai sebagai alat penentuan berbagai alternatif dari berbagai kegiatan pembangunan

c. Perencanaan dapat dipakai sebagai penentuan skala prioritas

d. Perencaan dapat dipakai sebagai alat “peramalan” (forecasting) dari kegiatan pada masa akan datang

Pembangunan Perencanaan

(29)

Disisi lain, perencanaan dipandang sebagai tolok ukur dari keberhsilan dan kegagalan dari pembangunan yang mengandung arti bahwa kegiatan pembangunan yang “gagal” bisa jadi karena aspek perencanaanya yang “tidak baik”, dan begitu pula sebaliknya. Secara skematis hal ini dapatdilihat pada gambar skema 1.2.

Skema 1.6. Mekanisme Perencanaan dan Hasil Pembangunan

1. sampai seberapa besar kegagalan perencanaan?

2. Identifikasi masalah 3. Revisi perencanaan

Sumber: Soekartawi, Prinsip-prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan

Menurut sudut pandang ilmu administrasi, terdapat tiga asumsi agar perencanaan pembangunan dapat berlangsung dengan baik, yaitu:

1. Kepemimpinan pembangunan

Kepemimpinan merupakan fsistem penentu munculnya pengambilan keputusan yang baik. Pengambilan keputusan yang baik akan mementukan mutu perencanaan pembangunan, sebagai syarat untuk mencapai keberhasilan pencapaian tujuan perencanaan.

Perencanaan KegiatanPembangunan Hasil sesuai denganperencan aan sebelumnya Apa saja kendalanya? Selesai

(30)

2. Manajemen sumber daya pembangunan.

Sumberdaya pembangunan merupakan aspek utama untuk menetukan perencanaan pembangunan agar asumsi perencanaan dapat dipenuhi.

3. Prosedur perencanaan

Prosedur perencanaan merupakan langkah- langkah terstruktur yang dimulai dari langkah pengumpulan data, penyusunan informasi, perumusan kebutuhan, penilaian anggaran, pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan, pengendalian pelaksanaan , pemantauan dan evaluasi hasil, pelaporan, analisis dampak, hingga diawali lagi dari pengumpulan data dan seterusnya sebagai suatu siklus (Randy dan Riant 2006 : 57).

I.5. 3 Perumahan

Dalam pengertian yang luas, rumah tinggal bukan hanya sebuah bangunan (struktural), melainkan juga tempat kediaman yang memenuhi syarat-syarat kehidupan yang layak, dipandang dari berbagai segi kehidupan. Rumah dapat dimengerti sebagai tempat perlindungan untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersuka ria bersama keluarga. Di dalam rumah, penghuni memperoleh kesan pertama dari kehidupannya di dalam dunia ini. Rumah harus menjamin kepentingan keluarga, yaitu untuk tumbuh, member kemungkinan untuk hidup bergaul dengan tetangganya; lebih dari itu, rumah harus memberi ketenangan, kesenangan, kebahagiaan dan kenyamanan pada segala peristiwa hidupnya. (http://footballfun-azmi.blogspot.com/2009/04/pemukiman-kumuh-latar belakang.html)

(31)

Menurut Charles Brams (dalam Kuswartojo 2005: 3), perumahan sesungguhnya berkaitan erat dengan insdustrialisasi, aktivitas ekonomi, dan pembangunan. Keberadaan pembangunan perumahan juga ditentukan oleh perubahan sosial, ketidakmatangan sarana hukum politik, dan administratif serta berkaitan pula dengan kebutuhan akan pendidikan. Charles Brams menyimpulkan bahwa masalah perumahan tidaklah sederhana, tidak ada obat mujarab yang dapat digunakan dan cocok untuk mengatasi masalah di semua Negara.

Bila dikaji melalui pengertian yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.(Sastra: 2006 : 29)

Pengertian perumahan menurut penulis adalah sebuah bangunan tempat tinggal yang dilengkapi oleh sarana dan prasarana sebagai tempat berlindung maupun berinteraksi dengan keluarga.

Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan sistem penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia. Pemenuhan kebutuhan tersebut perlu keterlibatan semua pihak baik masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Adanya ketidakselarasan masing- masing sektor di atas dapat memberikan dampak, yakni meluasnya lahan tidur di kawasan perkotaan, maraknya spekulan tanah, tidak seimbangnyapembangunan desa dan kota dan maraknya permasalahan sosial kemasyarakatan terutama di perkotaan serta tumbuhnya kawasan kumuh. Sebagai kewajiban otonomi maka penyelenggaraan urusan perumahan menjadi salah satu agenda prioritas pembangunan pada tahun 2008.

(32)

Secara operasional, penyelenggaraan urusan perumahan ini dituangkan dalam beberapa program pokok, antara lain :Program Pelayanan Administrasi Perkantoran, Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur, Program Pengembangan Perumahan, Program Lingkungan Sehat Perumahan, Program Pemberdayaan Komunitas Perumahan, Program Pendidikan Menengah, Program Pengembangan Data/Informasi/Statistik Daerah, Program Lingkungan Sehat Perumahan (DAK), Program Lingkungan Sehat Perumahan (BDB), Program Lingkungan Sehat Perumahan (Dana Penyesuaian), Program Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan dan Hari-Hari Besar, Program Peningkatan Kesiagaan dan Pencegahan Bahaya Kebakaran, Program Peningkatan Disiplin Aparatur, Program Peningkatan Pengembangan Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan Keuangan, Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Aparatur.

Ada beberapa asas yang perlu diperhatikan dalam pembangunan perumahan dan permukiman, yaitu:

a. Asas demokrasi, artinya pembangunan perumahan dan permukiman harus memperhatikan pengelolaan sumber daya alam serta adanya pengakomodasian kekuasaan dan kewenangan dalam mengelola antara pusat dan darah, transparan dalam pemngambilan kepustusan, meningkatkan partisipasi semua pihak yang terkait, tidak diskriminasi dalam perbuatan dan implementasi kebijakan, bertanggung jawab kepada publik, penyelesaian konflik penguasaan dan pemanfaatan secara bijakasana, dan menghargai hak-hak asasi manusia dalam pengelolaan sumber daya alam.

b. Asas transparansi, artinya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan membuka ruang bagi peningkatan partisipasi dan pengawasan publik dalam

(33)

mengelola sumber daya alam dan pembagunan perumahan permukiman, mulai dari perencanan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.

c. Asas koordinasi dan keterpaduan antar sektor, artinya pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman dilakukan secara terintegrasi dengan saling memperhatikan kepentingan antar sektor, sehingga dapat dibina hubungan yang saling mendukung dan kerjasama yang menempatkan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan dan keberlanjutan fungsi perumahan dan permukiman diatas kepentingan masing-masing sektor

d. Asas efisiensi, artinya pemanfaatan sumber daya alam bagi pembangunan perumahan dan permukiman di dasarkan pada pengelolaan secara bijkasana dengan memperhatikan sifat dapat diperbahaarukan (renewable) dan tidak diperbaharukan (nonrenewable), dengan selalu memperhitungkan keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya alam bagi kepentingan generasi kini dan mendatang.

e. Asas desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang tanggung jawab pengelolaan perumahan dan permukiman serta keterkaitannya dengan lingkungan hidup oleh pemerintah kepada daerah otonom, atau mentri kepada tingkat birokrasi dibawahnya, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing daerah.

f. Asas partisipasi publik, artinya pemgelolaan perumahan dan permukiman dalam kaitannya dengan kelestarian fungsi lingkungan, membuka kesempatan kepada masyarakat dan semua pihak yang terkait (stekholders), untuk mengambil bagian aktif dalam pengelolaan perumahan dan permukiman serta pelestarian

(34)

lingkungan, mulai dari kegiatan identifikasi dan inventarisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, evaluasi.

g. Asas pengawasan publik, artinya mekanisme prodsedur pengawasan masyarakat dan semua pihak yang terkait (steakholders) dalam pengelolaan perumahan dan perumahan serta pelestraian fungsi lingkungan, dengan mengambil bagian aktif dalam melakukan pengawasan yang efektif.

h. Asas akuntabilitas publik, artinya upaya yang harus direncanakan dan dilaksanakan oleh pihak pengelola pembangunan perumahan dan permukiman serta pelestarian fungsi lingkungan, khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan publik dan kepentingan masyarakat, sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada masyrakat atas segala tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan secara transparan

i. Asas iformasi dan persetujuan, artinya memberikan inforasi yang benar dan meminta persetujuan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman serta pelestarian fungsi lingkungan, dengan persetujuan tersebut didasarkan pada prinsip kebebasabn dari pihak yang memberi persetujuan (free dan prior informed consent)(Sahrin, Alvi, 2003: 106).

(35)

Gambar. 1.6 Kerangka Dasar Kebijkan Bidang Perumahan di Indonesia.

Sumber: Dwira N Aulia, Bahan Ajar Perumahan dan Permukiman

Dari kerangka dasar di atas, ada 6 kebijakan yang diambil pemerintah dalam pengembangan permukiman, yaitu:

Kebijakan 1: pembangunan perumahan dan permukiman yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat berpenghasilan rendah

Kebijakan 2: pembangunan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, dalam rangka pembangunan perkotaan dan pedesaan yang seimbang menuju terbentuknya sistem permukiman nasional yang mantap

Tujuan akhir semua orang (keluarga) menghuni rumah yang layak dalam lingkungan permukiman yang sehat, aman, serasi, dan berkelanjuta n

Memampukan pasar perumahan untuk melayani lebih banyak masyarakat

Memberikan bantuan perumahan kepada masyarakat miskin agar tercapai berbagai macam tujuan pengembnagan perumahan

Meningkatkan kemampuan lembaga di bidang perumahan

Meningkatkan system pendukung dalam pengembangan perumahan dan permukiman

Sasaran mendesak/ keluarkan

Sasaran mendesak/ keluarkan Sasaran mendesak/ keluarkan Sasaran mendesak/ keluarkan

VISI SASARAN STRATEGIS SASARAN

MENDESAK/ KELUARAN

(36)

Kebijakan 3:pemberdayaan masyarakat dan penigkatan peran serta petaruh dalam pembangunan perumahan dan permukiman

Kebijkan 4: pemantapan kelembagaan dan pola pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman

Kebijakan 5:pengembangan sumber-sumber dan sistem pembiayaan perumahan dan permukiman

Kebijakan 6:pengembangan peraturan perundang-undangan bidang perumahan dan permukiman (Dwira N,dkk, 2008 :63-64).

1.5.4. Hunian yang Layak

Amanat dari Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 40 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.” Pemenuhan kebutuhan hunian yang layak bagi semua orang juga merupakan amanat dari berbagai Agenda Internasional, diantaranya Agenda Habitat (The Habitat Agenda, Istanbul Declaration on Human Settlements). Sebagai salah satu dari 171 negara yang ikut menandatangani deklarasi tersebut, Indonesia turut melaksanakan komitmen untuk menyediakan rumah layak huni yang sehat, aman, terjamin, dapat mudah diakses dan terjangkau yang mencakup sarana dan prasarana pendukungnya bagi masyarakat.

Kebutuhan akan perumahan atau tempat tinggal sangat dirasakan setiap manusia karena perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia yang mutlak dipenuhi. Kebutuhan akan rumah saat ini menjadi prioritas utama bagi setiap orang. Fungsi dari sebuah rumah sekarang bukan hanya sekedar sebagai tempat berteduh saat panas ataupun hujan, tapi lebih

(37)

dari itu semua rumah merupakan tempat terbaik untuk membina keluarga bahagia dan sejahtera. Tidak heran kalau sekarang banyak orang berlomba untuk mendapatkan dan membuat sebuah rumah yang nyaman untuk dihuni sesuai dengan kemampuanya.

Perumahan dan permukiman yang layak bagi semua orang, tidak ada diskriminasi dalam hal ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau berbeda pendapat, pribumi atau tidak, kepemilikan, kelahiran atau status lainnya, kesempatan mendapatkan rumah, sarana dan prasarana, pelayanan kesehatan, berkaitan dengan makanan dan air, pendidikan dan area terbuka ( Alvi Syahrin, 2003 : 94).

Ukuran paling sempit dari pemenuhan perumahan yang layak adalah dengan melihat perkembangan kemampuan pemerintah dalam membangun perumahan untuk rakyat. Namun, ukuran ini menjadi tidak tepat karna penyediaan perumahan itu sebenarnya lebih disebabkan oleh mekanisme pasar dan bukannya hasil dari penyediaan oleh pemerintah semata. Kelayakan perumahan antara lain bisa dilacak dari kuantitas dan kualitas rumah yang didiami oleh penduduk. Tingkat kelayakan rumah bisa dilihat berdasarkan lantai yang dimiliki serta dinding rumah yang digunakan. Lantai rumah bisa dijelaskan dari luas maupun kualitas( jenis) lantainya. Semakin luas lantai rumah, semakin tinggi kelayakan nya. Lantai dari tanah dianggap mempunyai tingkat kelayakan yang lebih rendah dibandingkan dengan lantai dari semen dan bata merah. (Revrisond, 2003 : 194)

Menurut BPS, ada 14 kriteria untuk menentukan keluarga/rumah tangga miskin, yaitu : 1. Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.

(38)

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun 10. Hanya sanggup makan hanya satu/dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.

12. Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000,- (Enam Ratus Ribu) per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga : tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp.

500.000,- (Lima Rus Ribu Rupiah), seperti sepeda motor kredit/non-kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.http://www.dinsos.pemda

Kriteria penerima bantuan rehabilitasi rumah tidak layak huni yakni warga yang berdomisili di Kota Medan yang mempunyai rumah, memiliki surat tanah, kondisi rumah atap rumbia, berdinding tepas dan berlantai tanah. Besarnya bantuan ini disesuaikan dengan kebutuhan rumah yang akan di rehabilitasi. Setiap bantuan tidak akan sama besarnya dengan rumah yang lain karena tingkat kerusakan yang akan direhabilitasi tidak sama, dan pelaksanaan rehab ini dilakukan dengan sistem gotong royong menggunakan bahan lokal. (http://www.analisadaily.com)

(39)

Predikat rumah layak huni tidak cukup hanya dengan perbaikan fisik rumah semata, tapi juga perlu dibarengi dengan pemberian pemahaman kepada masyarakat tentang rumah layak huni. Ada tiga kriteria rumah layak huni,antara lain:

1. Aman terhadap gangguan sosial lingkungan, 2. Nyaman dalam arti memenuhi aspek kesehatan,dan 3. Terjangkau dalam arti sesuai kemampuan daya beli.

4. Serta dinding rumah dan lantai harus tetap kering tidak lembab dan tidak berlantai tanah. Setiap ruang harus dilengkapi dengan ventilasi udara dan sinar matahari bisa masuk ke dalam rumah. (http://www.hupakuan.com/beritadetail.php?idberita)

Perumahan tidak layak huni adalah kondisi dimana rumah beserta lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial, dengan kriteria antara lain:Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2 sedangkan di desa kurang dari 10 m2, Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya, jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses, jenis lantai tanah tidak mempunyai fasilitas tempat untuk Mandi, Cuci, Kakus (MCK). (http://footballfun-azmi.blogspot.com/2009/04/pemukiman-kumuh-latar-belakang.html)

Rasio rumah layak huni adalah perbandingan antara jumlah rumah layak huni dengan jumlah seluruh rumah yang ada di wilayah tertentu. Berdasarkan data tahun 2008, jumlah seluruh rumah yang ada di Kota Medan diperkirakan sebanyak 262.999 unit dan sebanyak 228.020 rumah adalah rumah layak huni. Dengan demikian, tingkat capaian kinerja kunci untuk rumah layak huni di Kota Medan pada tahun 2008 sebesar 86,7% dan relatif tidak mengalami perubahan bila dibandingkan dengan tahun 2007 Untuk mengatasi

(40)

masalah kebutuhan rumah layak huni tersebut, upaya yang telah dilakukan Pemerintah Kota Medan adalah melakukan pembangunan fasilitas berupa sarana dan prasarana dasar lingkungan yang berbasis masyarakat (NUSSP) dengan melaksanakan BOP NUSSP di Kota Medan serta penyusunan dokumen rencana pembangunan perumahan permukiman daerah di Kota Medan untuk masa mendatang.(LPPD Kota Medan Tahun 2008)

I.5.5 Program Perbaikan Rumah Atap, Lantai dan Dinding (ALADIN)

Pencanangan rehabilitasi rumah tidak layak huni ini merupakan tindak lanjut dari bantuan Menteri Sosial RI H Bachtiar Chamsyah SE sebesar Rp 2 milyar untuk melakukan rehabilitasi 200 rumah tidak layak huni di Kota Medan yang bantuannya telah diterima baru-baru ini di Asrama Haji Medan.

Kriteria penerima bantuan rehabilitasi rumah tidak layak huni ini adalah, warga yang berdomisili di Kota Medan yang mempunyai rumah, memiliki surat tanah, kondisi rumah atap rumbia, berdinding tepas dan berlantai tanah. Besarnya bantuan ini disesuaikan dengan kebutuhan rumah yang akan di rehabilitasi. Setiap bantuan tidak akan sama besarnya dengan rumah yang lain karena tingkat kerusakan yang akan direhabilitasi tidak sama, dan pelakasanaan rehab ini dilakukan dengan sistem gotong royong menggunakan bahan lokal.

Di Kota Medan, terdapat 13.245 keluarga pra sejahtera dari 410.030 keluarga di ibukota Propinsi Sumatera Utara ini. Tentu saja, warga yang diklasifikasikan masuk dalam kategori rumah tangga miskin ini perlu diberdayakan melalui berbagai upaya.

Mereka tidak saja susah mendapatkan kebutuhan dasar, tapi juga tidak sedikit tinggal di rumah tak layak huni. Informasi dihimpun Berita di Balaikota Medan, Kamis (15/05), 125 unit rumah keluarga pra sejahtera yang berada di lingkar luar Kota Medan selesai direhab oleh Pemko Medan melalui Badan Keluarga Berencana (KB) Kota Medan

(41)

dengan program gerakan perbaikan rumah Atap, Lantai dan Dinding (ALADIN) tahap pertama 2007.

Kepala Badan KB Kota Medan Drs Naharuddin Lubis didampingi Kabid Ketahanan Keluarga Drs Sabdin Harahap melalui Plt Kabag Humas Pemko Medan Rusdy Siregar SE, menjelaskan, program ALADIN ini dimulai 2007 merupakan tahap pertama dan pendataanya terhadap rumah-rumah keluarga pra sejahtera dimulai pada 2006 lalu terdapat 13.245 keluarga pra sejahtera dari jumlah 410.030 keluarga di Kota Medan.

Program ALADIN ini adalah upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan dengan keterpaduan berdasarkan surat keputasan Menko Kesra dan Taskin nomor 13/1998. Untuk Kota Medan program ini dimulai 2007 dengan sasaran keluarga pra sejahtera yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya yang berada di wilayah lingkar luar.

Rumah pra sejahtera yang mendapat program ALADIN adalah, rumah dan tanah milik sendiri dan ditempati yang dibuktikan dengan surat kepemilikan ataupun surat warisan, tanah/rumah harus legal tidak berada di jalur hijau, dipinggir rel kereta Api maupun dipinggiran Sungai.

Program ALADIN ini tujuannya memberikan bantuan kepada keluarga pra sejahtera untuk meningkatkan taraf hidup yang layak, dan diharapkan dengan perbaikan rumah ini terpenuhi rumah yang layak huni dan dapat meningkatkan tahapan keluarga. Dari 125 unit rumah keluarga pra sejahtera yang telah diperbaiki berada di wilayah lingkar luar di 11 kecamatan, yaitu Medan Denai 14 unit, M labuhan 25 unit, M Johor 7 unit, M Belawan 16 unit, M Tuntungan 16 unit, M Sunggal 14 unit, M Tembung 5 unit, M Selayang 10 unit, M Marelan 11 unit dan M Amplas 5 unit. Pelaksanaan program ALADIN ini sudah melalui prosedur, dilaksanakan melalui rekanan berdasarkan tender sesuai dengan aturan yaang berlaku yaitu berdasarkan Kepres nomor 80/2003 dan perubahan.

Untuk tahun 2009, di 15 kecamatan kota Medan untuk 100 unit rumah di kota Medan, yakni 7 unit rumah di Medan Denai, 5 unit rumah di Medan Labuhan , 10 unit

(42)

rumah di Medan Johor, 7 unit rumah di Medan Belawan, 8 unit rumah di Medan Sunggal, 7 unit rumah di Medan Tuntungan, 6 unit rumah di Medan Helvetia, 5 unit rumah di Medan MAimun, 8 unit rumah di Medan Tembung, 7 unit rumah di Medan Selayang, 4 unit rumah di Medan Amplas, 6 unit rumah di Medan Barat, 5 unit rumah di Medan Area, 9 unit rumah di Medan Timur, 6 unit rumah di Medan Marelan.

I.6. Defenisi Konsep

Kerangka konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial.(Singarimbun, 1987: 32).

Untuk mendapatkan batasan-batasan yang lebih jelas mengenai variabel-variabel yang akan diteliti dalam defenisi konsep yang digunakan dalam pengertian ini adalah :

1. Implementasi merupakan kebijakan meliputi semua tindakan yang berlangsung antara pernyataan atau perumusan kebijakan dan dampak yang dihasilkan

2. Perencanaan pembangunan merupakan pemilihan berbagai alternative dalam mengalokasikan sumber daya yang ada untuk merumuskan tujuan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

3. Perumahan merupakan bangunan tempat tinggal yang dilengkapi oleh sarana dan prasarana sebagai tempat berlindung maupun berinteraksi dengan keluarga.

4. Hunian yang layak merupakan hunian yang aman dan nyaman, baik dari segi kesehatan (terbebas dari kawasan kumuh dan rawan banjir), serta dilihat dari struktur bagunan berupa atap, dinding dan lantai .

(43)

5. Program ALADIN merupakan program pemberian bantuan Pemerintah Kota Medan kepada keluarga pra sejahtera untuk meningkatkan taraf hidup yang layak, berupa bantuan perbaikan rumah berupa atap, lantai dan dinding.

I.7 Defenisi Operasional

Defenisi opaerasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel atau suatu informasi ilmiah yang amat membantu penelitian lain yang ingin menggunakan variabel yang sama (Singarimbun, 1999:46). Hal ini akan memepermudah peneliti dalam melakukan penelitian dengan cara memberikan indikator- permasalahan yang akan diteliti. Adapun yang menjadi indikator dalam penelitian ini adalah:

Implementasi perencanaan pembangunan perumahan pada program ALADIN (perbaikan rumah Atap,Lantai, dan Dinding)

g. sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target group termuat dalam isi kebijakan

h. jenis manfaat yang akan diterima oleh para target group atau sasaran dari kebijakan

i. derajat perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan

j. kedudukan program apakah sudah tepat dalam bidang dari organisasi pelaksana k. seluruh implementator yang akan melaksanakan kebijakan tersebut

l. sumber daya yang dikerahkan telah memenuhi atau tidak

(44)

1. struktur bangunan (atap, dinding, dan lantai) tidak beratapkan rumbia, tidak berdinding tepas dan tidak berlantai tanah

2. tidak berada di jalur hijau, daerah aliran sungai, jalur kereta apai, atau daerah terlarang lainnya.

Gambar

Gambar 1.1.Implementasi Kebijakan Menurut Sabatier dan Mazmanian
Gambar 1.2 Model Proses Alur Smith
Gambar 1.3 Model Proses Implementasi Kebijakan menurut Van Horn dan Varn Meter  Ukuran-ukuran  Dasar Dan   Tujuan-Tujuan               pencapaian  (Sumber: winanrno, 2002:111)
Gambar 1. Model Proses Implementasi Kebijakan menurut Marilee S.Grindle
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian sebaiknya dilakukan dengan menggunakan alat pembakaran yang lebih baik lagi dari segi proses pembakaran ataupun dari kemampuan menangkap asap hasil pembakaran agar

Untuk dermaga jamrud yang terdiri dari jamrud utara dan jamrud selatan terdapat tiga titik di sisi darat yaitu BD-1 sampai BD-3 dan empat titik di sisi laut yaitu BL-1 sampai

yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar dari pada

(Jika pasien tahan) ± 15 menit pada bahu yang sakit untuk mengurangi rasa nyeri yang timbul, (2) pasien dianjurkan agar tetap menggunakan lengannya dalam batas

Juanda Jaya, “Dakwah Islamiah Di Sarawak: Kajian Terhadap Pengurusan Dakwah Secara Organisasi, tesis kedoktoran, Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan

Notulis adalah orang yang membuat notula rapat. Notula adalah catatan resume kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama.. Notula dapat digunakan sebagai bahan informasi ataupun

• Escherichia coli pada transfer bakteri dari media Agar pada cawan petri (agar plate) ke Agar miring.. Bakteri ini sedikit tumbuh di atas permukaan media dengan warna putih

Hasil penelitian menunjukan hasil tes akhir/pos tes dengan menggunakan model pembelajaran langsung berbasis proyek terhadap hasil belajar konsep perubahan wujud benda