• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

4.1 Kondisi UmumWilayah Penelitian

Daerah Maluku dengan ibukota Ambon merupakan salah satu provinsi dari negara kesatuan Republik Indonesia yang terletak di kawasan timur. Luas

wilayah daerah Maluku 581.376 km2, terdiri dari luas daratan 54.185 km2 dan

lautan 527.191 km2. Maluku merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari

sekitar 559 pulau, dimana dari jumlah pulau tersebut ada beberapa pulau yang

tergolong besar di antaranya adalah Pulau Seram seluas 18.625 km2, Pulau Buru

seluas 9.000 km2, Pulau Yamdena seluas 5.085 km2, dan Pulau Wetar seluas

3.624 km2 (Bappeda Maluku, 2004). Sisanya adalah pulau-pulau sedang dan

pulau-pulau kecil antara lain, Pulau Ambon, Kepulauan Lease, Kepulauan Banda, Kepulauan Gorom dan Watubela, Pulau Manepa, Pulau Kelang, Pulau Buano dan pulau-pulau kecil lainnya (Lampiran 2).

Secara geografis daerah Maluku terletak di antara 20 30’ - 90 LS dan 1340 - 1360 BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Seram, di sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia dan Laut Arafura, di sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Irian/Provinsi Papua dan di sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Sulawesi/Laut Sulawesi (BPS, Provinsi Maluku 2005).

Secara administratif, Provinsi Maluku kini telah terjadi pemekaran menjadi Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang tertuang dalam UU No. 46 Tahun 1999 b. Setelah pemekaran provinsi, diikuti kemudian dengan pemekaran beberapa kabupaten/kota sehingga jumlah kabupaten/kota telah bertambah dari tiga menjadi delapan, yaitu: Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Kabupaten Buru, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Kabu-paten Seram Bagian Timur (SBT), dan Kota Ambon (Tabel 4).

Kondisi daerah Maluku sebagai daerah kepulauan dimana masyarakat ter-sebar dan bermukim di pulau-pulau, menyebabkan adanya perbedaan karakter sosial budaya antara masyarakat di suatu pulau dengan pulau lainnya. Bahkan

(2)

semakin jauh jarak fisik antar pulau, maka derajat perbedaan karakter semakin tinggi.

Tabel 4 Nama kabupaten, ibukota serta jumlah kecamatan dan desa di Maluku

No Kabupaten Ibukota Jumlah

Kecamatan

Jumlah Desa

1. Maluku Tenggara Barat (MTB) Saumlaki 17 188

2. Maluku Tenggara (Malra) Tual 8 235

3. Maluku Tengah (Malteng) Masohi 19 320

4. Buru Namlea 5 62

5. Kepulauan Aru Aru 3 119

6. Seram Bagian Barat (SBB) Piru 4 87

7. Seram Bagian Timur (SBT) Bula 4 56

8. Kota Ambon Ambon 3 50

Total 63 1117

Sumber : Maluku Dalam Angka 2004

Karakter Masyarakat Maluku Tenggara berbeda dengan masyarakat Maluku Tenggara Barat berbeda juga dengan masyarakat di Maluku Tengah (Ambon, Buru, Maluku Tengah, Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur). Perbedaan karakter masyarakat tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa eksistensi masyarakat Maluku bersifat multi kultur - polietnik. Walaupun demikian, struk-tur masyarakat di Maluku memiliki unsur-unsur yang relatif sama dalam konteks pola hubungan berdasarkan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat terutama dalam sistem pemerintahan desa (Pariela, 2005).

Secara spesifik wilayah penelitian meliputi Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Adapun karakteristik umum wilayah penelitian dibawah ini.

(3)

4.1.1 Kota Ambon

Letak geografis Kota Ambon berada pada posisi 30- 40 LS dan 1280- 290 BT. Batas wilayah Kota Ambon adalah sebagai berikut: sebelah Utara dengan petuanan Desa Hitu, Hila, Kaitetu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, sebelah Selatan dengan Laut Banda, sebelah Timur dengan petuanan Desa Suli Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah dan sebelah Barat dengan petuanan desa Hatu, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Luas wilayah

Kota Ambon adalah 377 km2 atau 2/5 dari luas wilayah Pulau Ambon. Luas

wilayah daratan adalah 359,45 km2 sedangkan luas wilayah perairan adalah 405,4

km2. Adapun pembagian wilayah secara administratif terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nama kecamatan, luas, jumlah desa dan kelurahan di Kota Ambon

Nama Kecamatan Luas Jumlah

Desa

Jumlah Kelurahan

1. Teluk Ambon Baguala 158.79 km2 5 5

2. Sirimau 112.31 km2 9 10

3. Nusaniwe 88.35 km2 16 2

Total 359.45 km2 30 17

Sumber : Kota Ambon Dalam Angka, 2004

Jumlah penduduk di Kota Ambon dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 terus mengalami kenaikan sekitar 5.26%. Pada Tahun 2004 jumlah penduduk berjumlah 257.774 orang yang terdiri dari 129.583 laki-laki (50.27 %) dan 128 191 perempuan (49.73 %). Kepadatan penduduk di Kota Ambon sebesar

717 jiwa per km2 dan terkonsentrasi pada Kecamatan Nusaniwe dan Sirimau yang

merupakan jantung dari berbagai aktivitas perkantoran baik pemerintah maupun swasta, aktivitas pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, kesehatan, aktivitas pasar dan perekonomian lainnya.

Pertumbuhan ekonomi Kota Ambon dapat diketahui dari laju pertumbuhan produk regional domestik bruto (PRDB). Tahun 2003 PRDB Kota Ambon adalah sebesar Rp.1 364 983 260 000,- bila dibandingkan dengan PRDB tahun 2002 maka mengalami peningkatan sebesar 6.88 %. Sektor pertanian yang meliputi

(4)

tanaman pangan, peternakan dan perikanan merupakan salah satu dari sembilan sektor yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PRDB Kota Ambon. Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang strategis dalam pertumbuhan ekonomi Kota Ambon.

Berdasarkan kondisi geografisnya serta kemampuan lahan maka usaha pertanian rakyat yang didominasi oleh tanaman palawija dan tanaman horti-kultura yang mengalami perkembangan. Produksi tanaman palawija di Kota Ambon tahun 2004 tercatat ubi kayu 4 707.00 ton meningkat sebesar 3.42 %, ubi jalar 439.89 ton meningkat sebesar 18.98 %, jagung 193.3 ton meningkat sebesar 21.89 %, sedangkan kacang tanah 74.75 ton menurun sebesar 1.64 % bila diban-dingkan dengan tahun 2003. Produksi tanaman hortikultura di Kota Ambon tahun 2003 adalah buah-buahan 1 636.10 ton naik sebesar 3.72 % dan bumbu-bumbuan 90.57 % turun 40.75 % sedangkan sayur-sayuran 4 586.25 ton naik 1.92 % dari tahun 2002 (BPS, Kota Ambon 2004).

Populasi ternak pada tahun 2004 adalah: ternak besar yaitu sapi sebanyak 622 ekor, ternak kecil yaitu kambing sebanyak 653 ekor dan babi 1 883 ekor, unggas yaitu itik 687 ekor, ayam pedaging 27 609 ekor dan ayam kampung 39 840 ekor. Jumlah populasi ternak yang ada jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan data pemotongan ternak. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah ternak yang dipotong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kebanyakan dari ternak impor. Secara ekologis perairan pesisir Kota Ambon dibagi atas empat wilayah ekologis:

(1) Teluk Ambon Bagian Dalam (TABD) dicirikan oleh daerah teluk semi tertutup yang relatif tenang dan digolongkan dalam salah satu bentuk perairan estuari, bermuara beberapa sungai besar dan kecil, serta didomi-nasi oleh komunitas lamun dan bakau yang dipisahkan dengan Teluk Ambon Luar oleh ambang Galala-Poka yang sempit

(2) Teluk Ambon Bagian Luar (TAL) dicirikan oleh daerah teluk yang ber-bentuk corong dan terbuka kearah Barat pulau Ambon denagn kondisi perairan yang relatif dinamis karena masih dipengaruhi oleh masa air laut Banda, didominasi oleh komunitas terumbu karang

(5)

(3) Teluk Ambon Baguala (TB) dicirikan oleh daerah teluk yang berbentuk corong dan terbuka kearah Timur Pulau Ambon dengan kondisi perairan yang relatif dinamis karena masih dipengaruhi oleh massa air air laut Banda, didominasi oleh komunitas terumbu karang

(4) Pesisir Selatan Kota Ambon (PSKA) merupakan daerah terbuka yang sangat dinamis karena dipengaruhi langsung oleh massa air Laut Banda, dengan tipe pantai berbatu yang didominasi oleh komunitas algae (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2004)

Berdasarkan aspek ekologis tersebut maka jenis komoditi perikanan Kota Ambon dibagi dalam tujuh golongan besar dengan potensi dan jumlah tangkap-an ytangkap-ang diperbolehktangkap-an. Adapun potensi sumberdaya periktangkap-antangkap-an di perairtangkap-an Kota Ambon adalah sebesar 474 500 ton per tahun. Sedangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 379 600 ton per tahun. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah sebesar 10 249.6 ton dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Hal ini berarti bahwa peluang pengembangan perikanan masih 97.3 %.(Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2005)

Adapun jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di Kota Ambon pada tahun 2004 adalah sebanyak 3 359 RT dan bila dibandingkan dengan tahun 2003 maka terjadi kenaikan sebesar 1.45 %.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ambon setiap tahun menun-jukkan adanya peningkatan seperti terlihat pada perkembangan jumlah alat tangkap dan kapal perikanan dari tahun 2002-2004 (Tabel 6).

Tabel 6 menggambarkan bahwa sebagian besar nelayan menggunakan jenis alat tangkap yang didominasi oleh hand line sebanyak 1 968 unit, jaring insang sebanyak 491 dan jaring angkat sebanyak 303 unit dimana untuk ketiga jenit alat tangkap ini memiliki jumlah yang sama di tahun 2003. Sedangkan jenis atau ukuran armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor terutama perahu jukung dan perahu kecil. Jumlah perahu jukung adalah sebanyak 1 286 yang mana setiap tahun mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2003 yaitu sebesar 142.2 % begitu pula dengan perahu kecil mengalami peningkatan sebesar 175.3 %. Untuk semua jenis perahu tanpa motor dan motor

(6)

tempel dari tahun ke tahun mengalami peningkatan lain halnya dengan perahu kapal motor untuk ukuran 1-10 GT mengalami penurunan sekitar 37,2% sedang-kan untuk ukuran 20-30 GT dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004 tidak mengalami perkembangan dimana berjumlah 16 kapal. Hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa produktivitas nelayan di Kota Ambon masih tergolong rendah. Namun secara perlahan ada peningkatan dalam usaha perikanan yang dapat dilihat pada peningkatan armada tangkap.

Tabel 6 Perkembangan jenis alat tangkap dan armada tangkap di Kota Ambon tahun 2002-2004

Jumlah / Tahun (Unit) Jenis Alat Tangkap

2002 2003 2004 Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Jaring Angkat Hand Line Lainnya(Bubu,panah,rawai,jala, tanggu dan rumpon)

5 20 303 9 501 226 4 36 303 491 1968 291 4 36 303 491 1968 315

Jenis /Ukuran Armada Perahu Tanpa Motor - Perahu Jukung - Perahu Kecil - Perahu Sedang - Perahu Besar 200 72 25 16 531 182 36 16 1286 501 227 52 Motor tempel 95 234 284 Kapal Motor - 1-10 GT - 11-19 GT - 20-30 GT 192 - 16 452 - 16 284 - 16 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004

Adapun volume pemasaran ikan segar melalui tempat pelelangan di Kota Ambon pada tahun 2004 di dominasi oleh jenis ikan layang (Decapterus spp) sebanyak 1 124.58 ton kemudian ikan tongkol (Scrombidae) sebanyak 346.05 ton dan ikan ikan cakalang (skipjack) sebanyak 316.43 ton. Nilai produksi ikan segar melalui tempat pelelangan ikan di Kota Ambon pada tahun 2004 adalah di dominasi oleh ikan cakalang yaitu sebesar Rp. 1 582 150 000.- dimana

(7)

menga-lami peningkatan sebesar 143.97 % dari tahun 2003 kemudian diikuti dengan ikan layang sebesar Rp.1 237 038 000.- yang mengalami peningkatan sebesar 77.14 % dari tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004).

Perkembangan produksi perikanan menurut jenis ikan pada ketiga kecamat-an di Kota Ambon menunjukkkecamat-an bahwa produksi ikkecamat-an terbesar adalah di Keca-matan Nusaniwe sebesar 5 215.50 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 3.51% dari tahun 2003. Jenis ikan yang diproduksi didominasi oleh ikan cakalang sebanyak 1 582.17 ton dan ikan layang 1 124.58 ton. Begitu pula pada nilai produksi yang terbesar ada di Kecamatan Nusaniwe sebesar Rp. 17 706 969 000 menurun 7.36% dibandingkan nilai tahun 2003. Nilai produksi terbesar adalah pada jenis ikan cakalang sebesar Rp. 7 910 850 ton dan ikan tuna yaitu sebesar Rp. 4 037 810 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004).

Produk pengolahan perikanan di Kota Ambon adalah ikan asap dan ikan beku. Jenis ikan yang paling banyak digunakan untuk pengasapan ikan adalah cakalang dan tongkol, ikan beku terbanyak adalah udang, cakalang dan tuna.

Berdasarkan gambaran umum perkembangan alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan dengan potensi sumberdaya perikanan di Kota Ambon di atas, maka masih perlu diadakan upaya-upaya pengembangan pembangunan perikanan yang optimal sehingga dapat menjawab tujuan pengembangan perikan-an perikan-antara lain yaitu meningkatkperikan-an produksi, meningkatkperikan-an ekspor, meningkatkperikan-an pendapatan nelayan, meningkatkan konsumsi ikan, meningkatan pendapatan daerah Kota Ambon, serta memperluas lapangan kerja bagi masyarakat.

Pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat perlu ditunjang dengan sarana dan prasarana perikanan yang tersedia seperti pelabuhan perikanan dan cold

storage. Sarana pelabuhan di Kota Ambon sebanyak enam pelabuhan yaitu

terdiri dari PPN, PPI, PT Usaha Mina, PT Nusantara Fishery, PT Maprodin dan PT Segara Mulia Sejahtera. Kepemilikkan sarana pelabuhan di dominasi oleh pihak swasta. Sedangkan jumlah cold storage di Kota Ambon adalah sebanyak lima unit yaitu, PT Usaha Mina, Fa Sanu, PT Nusantara, PT Morela, PT Segara Mulia Sejahtera dimana kepemilikannya juga oleh pihak swasta dan jumlahnya masih sangat relatif sedikit.

(8)

Produksi perikanan laut di Kota Ambon tahun 2004 terbanyak adalah jenis cakalang sebanyak 3 164.33 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 70.75 % dari tahun 2003, kemudian layang sebanyak 2 249.16 ton yang mengalami peningkatan sebesar 70.73 % dari tahun 2003, diikuti tongkol sebanyak 1 790.24 ton lebih meningkat sebesar 76.65 % dari tahun 2003 dan tuna sebanyak 1 153.66 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 297.89 % dari tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya perikanan di Kota Ambon cukup tinggi. Adapun potensi dan jumlah produksi di perairan Kota Ambon terlihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Potensi dan jumlah tangkapan sumberdaya perikanan di Kota Ambon tahun 2004 Jenis Potensi (Ton/Tahun) Potensi JTB (Ton/Tahun) Produksi (Ton) Persentasi (%) Pelagis Besar Pelagis Kecil Demersal Udang Cumi-Cumi Ikan Karang Ikan 104 100 132 000 9 300 400 100 2 500 226 100 83 300 105 600 7 400 300 100 2 000 180 900 6 108 3 665.9 11.1 0.4 6.8 457.2 0.2 0.073 0.035 0.0015 0.0013 0.068 0.0228 0.0000011 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004

4.1.2 Kabupaten Maluku Tengah

Secara geografis batas wilayah Kabupaten Maluku Tengah adalah sebelah Utara dengan Laut Seram, sebelah selatan dengan Laut Banda, sebelah Barat dengan Kabupaten Seram Bagian Barat dan sebelah Timur dengan Kabupaten Seram Bagian Timur. Luas wilayah Kabupaten Maluku Tengah seluruhnya kurang lebih 275 907 km2 yang terdiri dari luas laut 264 311.43 km2 dan luas

daratan 11 595.57 km2. Kabupaten Maluku Tengah merupakan suatu wilayah

kepulauan dimana pulau-pulau yang tersebar adalah Pulau Haruku, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Kepulauan Banda, Pulau Seram dan pulau-pulau-pulau kecil serta sebagian Pulau Ambon. Secara administratif pembagian wilayah Kabupaten Maluku Tengah, sebagaimana terlihat pada Tabel 8.

(9)

Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah tahun 2004 tercatat sebesar 349 974 jiwa yang terdiri dari laki-laki 173 923 (50.56 %) dan perempuan 170

051 (49.44 %). Kepadatan penduduk tiap km2 adalah sebanyak 30 jiwa dan

rata-rata tiap rumah tangga di Kabupaten Maluku Tengah adalah 5 orang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran penduduk tidak merata di wilayah ini baik dari kepadatan dan rata-rata penduduk per rumah tangga (BPS Maluku Tengah, 2004). Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Maluku Tengah dapat diketahui dari laju pertumbuhan produk regional domestik bruto (PRDB). Sektor pertanian yang meliputi tanaman pangan, peternakan dan perikanan merupakan sektor terbesar dari sembilan sektor yang memberikan kontribusi terhadap PRDB Kabupaten Maluku Tengah. Tahun 2003 PRDB Kabupaten Maluku Tengah adalah sebesar Rp.979 223 330,- bila dibandingkan dengan tahun 2002 maka mengalami pe-ningkatan sebesar 5.57 %. Oleh karena itu sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang strategis dalam pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Maluku Tengah. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Maluku Tengah bekerja di sektor pertanian sekitar 59.64 % sektor kedua terbesar dalam menyerap tenaga kerja (BPS Maluku Tengah, 2004).

Tabel 8 Nama kecamatan, luas, nama ibukota serta jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Maluku Tengah

Nama Kecamatan Luas Nama Ibukota Jumlah Desa Jumlah Kelurahan 1. Banda 172.00 km2 Banda Naira 10 2. Tehoru 534.22 km2 Tehoru 20 3. Amahai 1 739.07 km2 Amahai 18 1 4. Masohi 37.30 km2 Masohi - 5

5. Teon Nila Serua 24.28 km2 Waipia 18

6. Saparua 176.50 km2 Saparua 17

7. Nusalaut 32.50 km2 Ameth 7

8. Pulau Haruku 150.00 km2 Pelauw 11

9. Salahutu 151.82 km2 Tulehu 6

10. Leihitu 232.10 km2 Hila 16

11. Seram Utara 8 345.78 km2 Wahai 38

Total 11 595.57 km2 161 6

(10)

Rata-rata produksi komoditi tanaman pangan yang paling besar di Maluku Tengah adalah ubi kayu, ubi jalar, padi sawah dan jagung. Produksi ubi kayu terbesar adalah di Kecamatan Saparua dan Kecamatan Haruku sedangkan produk-si ubi jalar dominan di Kecamatan Teon Nila Serua dan Amahai sedangkan pro-duksi padi sawah maupun padi ladang terpusat di Kecamatan Seram Utara. Komoditi tanaman perkebunan yang ada di Kabupaten Maluku Tengah adalah kelapa, cengkeh, pala, coklat dan jambu mente. Pada tahun 2004, tanaman ceng-keh masih mendominasi dibandingkan dengan komoditi lainnya yang diikuti dengan komoditi kelapa, coklat dan pala. Sedangan dari luas dan produksi komoditi di dominasi oleh kelapa, cengkeh dan coklat (BPS, Maluku Tengah 2004).

Produksi ternak yang paling banyak di Kabupaten Maluku Tengah adalah unggas, babi, kambing dan sapi. Sedangkan jenis ternak yang dipotong adalah unggas yang mecakup ayam buras. itik dan babi. Pada tahun 2004, produksi hasil ternak dan unggas adalah telur ayam kampung yang memiliki nilai produksi cukup tinggi (BPS, Maluku Tengah 2004).

Dilihat dari geografisnya wilayah Kabupaten Maluku Tengah yang dikeli-lingi oleh lautan dan memiliki banyak pulau-pulau kecil maka tentunya memiliki perairan yang sangat potensial bagi sektor perikanan. Jumlah RTP di tahun 2004 adalah 9 097 dan kebanyakan di Kecamatan Leihitu sebanyak 2.568 RTP tangkap, Kecamatan Pulau Haruku sebanyak 1 538 RTP dan Kecamatan Saparua sebanyak 1 495. Jumlah nelayan tangkap pada tahun 2004 adalah sebanyak 15 523 dan kebanyakan berada di Kecamatan Leihitu Pulau Ambon. Adapun kelompok usaha perikanan pada tahun 2004 yang terbanyak adalah kelompok penangkapan yaitu sebanyak 1 058. Dibandingkan dengan usaha perikanan lainnya maka usaha perikanan tangkap lebih dominan tapi bersifat tradisional. Hal ini dapat dilihat pada armada penangkapan yang terbanyak digunakan adalah perahu tanpa motor terutama jukung sebanyak 5 483 unit yang terdapat di Kecamatan Leihitu. Perahu tanpa motor berkuran kecil banyak terdapat di Kecamatan Pulau Haruku yaitu sebanyak 550 unit. Perahu tanpa motor berukuran sedang banyak terdapat di Kecamatan Leihitu yaitu sebanyak 626 unit. Penggunaan motor tempel oleh nelayan banyak terdapat di Kecamatan Leihitu yaitu sebanyak 277 unit begitupun

(11)

juga dengan katinting sebanyak 462 unit. Perahu kapal motor dengan ukuran 1 - 10 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Banda yaitu sebanyak 142 unit, untuk ukuran 11 - 19 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Saparua yaitu sebanyak 6 unit dan ukuran 20 - 30 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Salahutu yaitu sebanyak 9 unit begitu juga ukuran 35 - 50 GT yaitu sebanyak 3 unit. Jenis alat perikanan yang paling banyak digunakan adalah pancing tonda sebanyak 3 841 unit, pancing ulur sebanyak 3 067 unit, pancing tegak sebesar 2 419 unit dan ke-banyakan terdapat di Kecamatan Leihitu sedangkan jaring insang hanyut sebanyak 1 106 unit kebanyakan terdapat di Kecamatan Saparua yaitu sebanyak 423 unit (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004)

Produksi hasil perikanan didominasi oleh perikanan laut sebesar 37 729.9 ton dan terdapat di Kecamatan Leihitu sebesar 9 679.0 ton demikian pula dengan nilai produksi perikanan di dominasi oleh perikanan laut sebesar Rp.72 092.575.- dan terdapat di Kecamatan Leihitu sebesar Rp. 24 746 825 000.- (Dinas Perikan-an dPerikan-an KelautPerikan-an Maluku Tengah, 2004). Adapun produksi perikPerikan-anPerikan-an berdasarkPerikan-an jenis ikan di Kabupaten Maluku Tengah tahun 2004 adalah di dominasi, ikan layang sebesar 5 011.8 ton, tembang/make sebesar 4 176.0 ton, cakalang sebesar 3 244.1 ton, selar/kawalinya sebesar 3.060 ton, lencam/sikuda sebesar 2 696.2 ton, tongkol sebesar 2 504.7 ton, teri sebesar 2 093.7 ton, tuna sebesar 2 081.1 ton, kembung/lema sebesar 1 277.0 ton dan kemudian diikuti dengan ikan lainnya. Nilai produksi perikanan laut yang terbesar adalah dari jenis ikan layang sebesar Rp 10 023 800 000.- cakalang sebesar Rp. 9 732 300 000.- dan jenis ikan lainnya sebesar Rp. 9 305 400 000.- lencam/sikuda sebesar Rp. 8 088 600 000.-

Sebagian besar produk perikanan dikonsumsi oleh masyarakat sebesar 78.61 % sedangkan jenis ikan yang paling banyak dieksport adalah jenis ikan layang, cakalang dan tuna (BPS Maluku Tengah, 2004).

Produksi ikan laut hasil olahan di Kabupaten Maluku Tengah terbanyak adalah olahan kering yang didominasi oleh cakalang sebanyak 152.5 ton dan nilai produksinya sebesar Rp.762 500 000.- sedangkan olahan asap atau yang dikenal dengan ikan asar adalah dari cakalang sebanyak 95.7 ton dan nilai produksi sebesar Rp. 287 100 000.- Jenis ikan yang diekspor adalah layang dan cakalang

(12)

sedangkan antar pulau adalah tongkol dan cakalang (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004).

Pendapatan rata-rata nelayan per kapita per tahun adalah Rp. 3 723 643.5 dimana yang terbanyak adalah di Kota Masohi. Sedangkan rata-rata pendapatan nelayan per bulan adalah Rp. 310 303.6 dan per harinya adalah Rp. 10 343.40.-(Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004). Pendapatan nelayan per bulan di Kabupaten Maluku Tengah tergolong masih sangat rendah bila di bandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) untuk sektor-sub sektor sesuai SK Gubernur No. 138 Tahun 2004, dimana untuk sektor perikanan per bulan adalah sebesar Rp. 530 000 apabila dirinci lebih maka untuk penangkapan biota laut adalah sebesar Rp. 635 000 per bulan sedangkan untuk budidaya biota laut adalah sebesar Rp. 560 000 per bulannya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tengah.

4.1.3 Kabupaten Seram Bagian Barat

Kabupaten Seram Bagian Barat merupakan salah satu daerah pemekaran di wilayah Provinsi Maluku berdasarkan UU No. 40 Tahun 2003. Sebagai kabu-paten baru maka dilakukan berbagai upaya dalam perencanaan pembangunan dalam berbagai sektor. Oleh karena itu salah satu kendala adalah sulitnya mem-peroleh informasi dan data statistik tentang Kabupaten Seram Bagian Barat.

Secara geografis letak Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai berikut: se-belah Utara dengan Laut Seram, sese-belah Selatan dengan Laut Banda, sese-belah Barat dengan Laut Buru dan sebelah Timur dengan Kabupaten Maluku Tengah.

Luas Kabupaten Seram Bagian Barat adalah 53 148 km2 yang terdiri dari luas

daratan 4 090 km2 (7.69%) dan luas lautan adalah 49 058 km2 (92.31%).

Secara adminstratif pembagian wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat, terlihat pada Tabel 9.

(13)

Tabel 9 Nama kecamatan, luas, serta jumlah desa dan dusun di Kabupaten Seram Bagian Barat

Nama Kecamatan Luas Jumlah

Desa Jumlah Dusun 1. Seram Barat 702 km2 12 38 2. Kairatu 1 439 km2 29 59 3. Taniwel 1 496 km2 34 2 4. Huamual Belakang 453 km2 14 31 Total 4.090 km2 89 130

Sumber : Bapeda Seram Barat, 2005

Jumlah penduduk Kabupaten Seram Bagian Barat tahun 2004 adalah 148.988 jiwa yang terdiri dari laki-laki 75 115 (50.42%) dan perempuan 73 873 (49.58%).

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Seram Bagian Barat sampai dengan bulan Juli 2005 tercatat sebesar 3.19% dan PRDB adalah 358 848 atas harga konstan dan 1 171 691.450 atas harga berlaku (1.73%) (Bappeda Seram Barat, 2005).

Berdasarkan letak geografisnya yang dikelilingi oleh laut maka lautan memegang peranan yang penting dalam pembangunan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Adapun potensi unggulan dari sektor perikanan adalah dari jenis pelagis besar, pelagis kecil, ikan hias, mollusca, crustacea, demersal dan udang. Sedangkan perikanan budidaya adalah kerapu, lobster, rumput laut, teripang, mutiara dan kerang-kerangan.

RTP Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2004 berjumlah 7 284 RTP tangkap dimana mengalami peningkatan sebesar 17.03% dari tahun 2003 dan berada di Kecamatan Seram Bagian Barat, diikuti oleh RTP kolam berjumlah 87 terdapat di Kecamatan Kairatu, dan RTP budidaya berjumlah 205 terdapat di Kecamatan Waesala dimana mengalami peningkatan sebesar 89.8% dari tahun 2003. Dengan demikian maka jumlah nelayan di dominasi oleh nelayan tangkap adalah 10 834 mengalami peningkatan sebesar 10.57% dari tahun 2003. Peningkatan jumlah nelayan yang cukup berarti adalah nelayan budidaya dimana pada tahun 2004 berjumlah 510 mengalami peningkatan sebesar 235.53 % dari tahun 2003. Kelompok usaha perikanan didominasi oleh kelompok usaha

(14)

perikanan tangkap sebanyak 118 terdapat di Kecamatan Waesala sedangkan jumlah anggota kelompok nelayan yang terbanyak adalah di Kecamatan Seram Barat berjumlah 1 120 nelayan (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005).

Armada penangkapan yang digunakan untuk melakukan usaha perikanan adalah didominasi oleh perahu tanpa motor dibandingkan dengan motor tempel dan perahu kapal motor. Untuk jenis perahu tanpa motor didominasi oleh jukung dimana pada tahun 2004 berjumlah 4 877 unit, mengalami peningkatan sebesar 2.07 % dari tahun 2003. Untuk jenis motor tempel didominasi oleh katinting dimana di tahun 2004 berjumlah 1 551 unit, mengalami peningkatan sebesar 3.74 % dari tahun 2003. Untuk perahu kapal motor didominasi oleh kapal motor ber-ukuran 1 -10 GT dimana pada tahun 2004 berjumlah 90 yang sama dengan tahun 2003 sedangkan untuk kapal motor ukuran 11 - 19 GT adalah 7 unit dan me-ngalami penurunan menjadi 5 unit pada tahun 2004.

Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah didominasi oleh pancing ulur berjumlah 3 729 unit, pancing tegak sebanyak 3 171 unit, bubu sebanyak 1 471 unit dan garpu,tombak dan lainnya berjumlah 1 336 unit. Rata-rata alat tangkap ini mengalami peningkatan dari tahun 2003 namun yang paling menonjol adalah pancing ulur sebanyak 3,41 % (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB,2005). Dari armada dan jenis alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Seram Bagian Barat maka terlihat bahwa usaha perikanan yang dilakukan masih bersifat tradisional. Untuk itu perlu ada upaya untuk pengembangan usaha perikanan tangkap yang disertai dengan pembinaan kepada masyarakat nelayan supaya dapat mengadopsi teknologi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan .

Produksi perikanan di Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2004 didominasi oleh perikanan laut yaitu sebesar 10 753.6 ton dimana bila diban-dingkan dengan produksi di tahun 2003 mengalami peningkatan sebesar 27.53%. Jenis komoditi perikanan laut yang diproduksi pada tahun 2004 adalah dari jenis pelagis kecil sebesar 7 765.5 ton, demersal sebesar 1 818.9 ton dan pelagis besar sebesar 1 040.3 ton. Jenis pelagis kecil yang diproduksi adalah ikan terbang/make (Sardinela sp) sebesar 1 875.0 ton kemudian layang (Decapterus ruselli) sebesar 1 642.0 ton. Untuk jenis demersal adalah dari lencam/sikuda (Lethrinus lentjam)

(15)

sebesar 550.6 ton dan kerapu (Epinephelus sp) sebesar 260.5 ton. Untuk pelagis besar yaitu cakalang (Katsuwonus pelamis) sebesar 520.6 ton dan tuna (Thunnus

albacore) sebesar 325.5 ton. Adapun nilai produksi yang tertinggi dari jenis-jenis

ikan di atas adalah layang (Decapterus ruselli) pada tahun 2004 bernilai Rp. 3 284 000 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005).

Jenis komoditi ikan yang diekspor adalah cakalang, tuna dan kerapu hidup sedangkan komoditi yang dijual antar pulau adalah jenis ikan layang sebanyak 400.5 kg senilai Rp.1 201 500 000,- dan cakalang sebanyak 3 200 kg senilai Rp.960 000 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005).

Pemanfaatan produksi perikanan yang dikonsumsi oleh masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah berasal dari produksi perikanan laut sebesar 8 738.1 dimana mengalami peningkatan sebesar 2.04% dari tahun 2003.

Rata-rata pendapatan per kapita nelayan per tahun di Kabupaten Seram Bagian Barat di tahun 2004 adalah sebesar Rp. 1 013 901.- sedangkan pendapatan per bulannya adalah Rp. 84.492.- kemudian per hari adalah sebesar Rp. 2 816,- Dengan demikian maka pendapatan nelayan per bulan di Kabupaten Seram Bagian Barat tergolong masih sangat rendah bila dibandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) untuk sektor-sub sektor sesuai SK Gubernur No. 138 Tahun 2004, dimana untuk sektor perikanan per bulan adalah sebesar Rp. 530 000 apabila dirinci lebih maka untuk penangkapan biota laut adalah sebesar Rp. 635 000 per bulan sedangkan untuk budidaya biota laut adalah sebesar Rp. 560 000 per bulannya. Untuk itu diperlukan upaya untuk peningkatan pendapatan nelayan antara lain pengembangan armada dan jenis alat tangkap dan pem-bangunan sarana dan prasarana perikanan tangkap lainnya.

Selain sektor perikanan sebagai sektor andalan maka sektor pertanian juga memegang peranan yang sangat strategis untuk pembangunan mengingat Kabupaten Seram Bagian Barat mempunyai tipologi lahan dataran tinggi, dataran sedang (100 - 400 m di atas permukaan laut) dan dataran rendah sehingga hampir semua komoditi pertanian dapat dikembangkan. Potensi unggulan perkebunan adalah vanili, cengkeh, kopi, kakao,kelapa dan jambu mete. Potensi unggulan dari pertanian tanaman pangan adalah padi sawah, jagung dan tanaman hortikultura seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman hias. Di bidang

(16)

peternakan potensi unggulan yang dikembangkan adalah sapi, kambing, ayan dan babi. Di bidang kehutanan potensi unggulan yang dikembangkan adalah minyak kayu putih, minyak lawang, aren, sagu, kayu manis dan gaharu. Potensi hasil lautan dan hasil hutan yang melimpah ruah masih belum dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah karena ter-batasnya sarana dan prasarana dan juga karena terter-batasnya sumberdaya manusia yang berkualitas dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia.

Sekitar 59.54% masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat dikate-gorikan sebagai penduduk miskin dan karena itu penyakit gisi buruk dan busung lapar juga melanda daerah ini. Salah satu penyakit yang bersifat endemik adalah penyakit malaria. Sarana dan prasarana kesehatan juga belum memadai dimana belum ada memiliki rumah sakit umum dimana selama ini pelayanan kesehatan masyarakat dilayani oleh 12 puskesmas dan 47 puskesmas pembantu (Bappeda Seram Barat, 2005). Ada berbagai permasalahan yang dihadapi dalam melaksa-nakan pembangunan antara lain adalah masih banyak daerah yang terisolir karena belum ada akses jalan. Ketersediaan sarana dan prasarana masih sangat terbatas. Transportasi yang sulit terutama daerah pegunungan dan pulau-pulau. Sarana komunikasi telepon dan radio antar kecamatan dengan ibukota kecamatan masih sangat terbatas dalam jumlah maupun kapasitasnya. Sarana listrik sangat ter-batas dalam waktu pelayanannya. Terter-batasnya ruang perkantoran untuk pe-nyelenggaraan pemerintah guna pelayanan publik. Oleh karena itu sebagai kabupaten baru sedang diupayakan membangun infrastruktur ekonomi seperti pasar dan infrastruktur pelayanan publik lainnya yang dapat menunjang kegiatan pembangunan(Bappeda Seram Bagian Barat, 2005).

4.2 Perubahan Sistem Pemerintahan Desa

Hasil analisis deskriptif terhadap perubahan sistem pemerintahan desa di Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah diperlihatkan pada Tabel 10.

(17)

Tabel 10 Sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah

Variabel Rezim Adat Rezim Sentralisasi Rezim Otonomi Daerah Sistem pemerintahan

Negeri Desa Negeri

Kepala Pemerintahan

Raja Kepala Desa Raja

Cara Pemilihan Kepala pemerintahan Tertutup (Berdasarkan garis keturunan) Terbuka Tertutup (Berdasarkan garis keturunan ) Kewenangan kepala pemerintahn Kepala Pemerintahan dan kepala adat

Kepala Pemerintahan Kepala

Pemerintahan dan kepala adat Struktur Organisasi Pemerintahan Raja Kepala Soa Saniri Negeri Kepala Desa Lembaga Musyawarah Desa Sekretaris Bendahara Raja Sekretaris Bendahara Kepala Soa Lembaga Eksekutif

Raja dan Kepala Soa Kepala Desa Raja

Lembaga Legislatif

Saniri Negeri Lengkap : Tua Adat

Tokoh Agama dan Masyarakat Kewang Kapitang Marinyo

Tuan Tanah dan Tuan Negeri Lembaga Musyawarah Desa : Pemuka Masyarakat, Kalangan Adat Tokoh Agama Orsospol, Gol.Profesi Saniri Negeri : Tua Adat

Tokoh Agama dan Masyarakat Kewang Kapitang Marinyo Tuan Tanah dan Tuan Negeri

Lembaga Yudikatif

Saniri Negeri Besar Lembaga

Musyawarah Desa Saniri Negeri Besar Pelaksana Pengelolaan Perikanan

(18)

Secara detail, perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sistem pemerintahan desa pada rezim adat

Sistem pemerintahan desa di Maluku pada rezim adat dikenal dengan “Pemerentah Negeri” dan umumnya berlaku di Pulau Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah yang dulu; dimana Kabupaten Seram Bagian Barat masih termasuk di dalamnya. Pemerintah negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah darat dan laut yang jelas yang disebut “petuanan negeri”, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan.

Apabila dihitung periode sistem pemerintahan desa pada rezim adat di Indonesia yang dimulai sejak pemberlakuan UUD 1945 sampai pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka telah berlangsung sekitar di atas 30 tahun.

Pada rezim adat, setiap negeri memiliki stuktur organisasi pemerintahan negeri. Susunan pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14/1919; disebutkan bahwa pemerintah negeri adalah ‘regent en de kepala

soa’s. Selanjutnya di dalam keputusan landraad Amboina No.30/1919 disebutkan

bahwa ‘negorij bestuur’ adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri di laksanakan oleh Raja dan

Kepala-Kepala Soa (Siwalette,2005). Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah

negeri dari Negeri Ameth di Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat terlihat bahwa Raja dan kepala Soa merupakan pelaksana pemerintahan negeri. Ini yang dikenal dengan sebutan Badan Saniri Rajapatti yang terdiri dari Raja dan Kepala Soa. Badan ini merupakan badan eksekutif dibawah pimpinan Raja. Raja, adalah pemegang pemerintah negeri yang bertindak juga sebagai kepala adat dalam memimpin acara-acara adat. Raja berkewajiban untuk memelihara hukum dan adat, kesatuan dan ketentraman negeri, melaksanakan administrasi negeri seperti perkawinan, pembagian warisan, dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugasnya ini maka Raja dibantu oleh juru tulis yang bertugas sebagai pembantu Raja dalam

(19)

melaksanakan administrasi negeri dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Juru Tulis berfungsi dalam melaksanakan surat-menyurat, kearsipan dan laporan.

Gambar 4 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Ameth, Kabupaten Maluku Tengah

Keterangan : = Terdiri dari

Kepala Soa, diangkat oleh anak-anak Soa yang bertugas membantu Raja

dalam melaksanakan pemerintahan negeri apabila Raja tidak ditempat. Kepala

Soa diberi kewenangan untuk menggantikan Raja dalam melaksanakan tugas

pemerintahan negeri di dalam melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sebagai pemimpin dari suatu bagian di dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga maka Kepala Soa juga berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaan “Soa”nya.

Kepala soa juga berperan sebagai kepala adat yang melaksanakan tugas dari Raja

untuk melangsungkan acara kawin adat khususnya dalam menerima harta kawin yang diberikan dari mempelai pria kepada pemerintah negeri.

KEPALA SOA RAJA SANIRI RAJAPATI SANIRI NEGERI ANGGOTA MASYARAKAT (ANAK NEGERI) ANGGOTA SANIRI SANIRI BESAR SANIRI NEGERI LENGKAP

(20)

Di samping Saniri Rajapati ada Saniri Negeri yang merupakan kumpulan wakil-wakil Soa yaitu suatu kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa marga atau “matarumah”(adat) yang memilih dan mengangkat salah satu anggotanya sebagai wakil pada Saniri Negeri dan 1 orang sebagai Kepala Soa.

Di dalam pelaksanaan pemerintahan negeri, maka dikenal ada badan legislatif yang dikenal dengan sebutan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Negeri

Lengkap terdiri dari: anggota Saniri, para tua-tua adat dan tokoh-tokoh

masyarakat yang berpengaruh seperti guru, pegawai, tokoh agama (pendeta/imam), Kewang; penjaga keamanan desa dan pengawas hutan dan laut,

Kapitan; pemimpin perang; Marinyo; orang yang bertanggung jawab untuk

mengkomunikasikan keputusan pemerintah (Raja) kepada staf pemerintah negeri maupun kepada masyarakat; Tuan Negeri sebagai pemimpin pelaksana adat dalam negeri, dan Tuan Tanah. Tugas Saniri Negeri Lengkap adalah menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-peraturan bersama dengan Saniri

Rajapatti. Saniri Rajapatti dalam melaksanakan sesuatu hal yang penting di

negeri akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Saniri Negeri Lengkap untuk meminta persetujuannya. Pimpinan Saniri Negeri Lengkap ini adalah Raja, namun selain bertugas sebagai badan legislatif maka Saniri Negeri Lengkap juga bertugas untuk memilih Raja menurut tatacara yang berlaku.

Ada badan musyawarah negeri yang di kenal dengan sebutan Saniri Negeri

Besar yang berperan sebagai badan yudikatif. Saniri Negeri Besar bertugas

menyelenggarakan rapat lengkap yang bersifat terbuka antara Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap dan semua warga masyarakat pria dewasa yang berumur 18 tahun ke atas. Rapat ini dilaksanakan 1 tahun sekali biasanya di awal tahun atau pada akhir tahun dan berlangsung di rumah adat yang di sebut Baeleo dan dipimpin oleh Raja.

Bila melihat kedudukan struktur organisasi pemerintahan negeri pada Gambar 4, maka Raja adalah merupakan orang yang pertama dan sangat memegang penting di dalam sistem pemeritahan negeri. Raja memiliki kapasitas dan fungsi sebagai pimpinan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi dengan kapasitas dan fungsi tersebut Raja tidak memiliki kekuasaan mutlak dalam

(21)

menjalankan tugasnya dan dalam pengambilan keputusan, Raja harus mempertimbangkan pendapat dari badan Saniri Negeri.

Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur Pemerintahan Negeri adat ini memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat. Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat (Anonimous, 2001) .

Dalam pelaksanaan pembangunan desa pada rezim adat di Maluku maka ada beberapa pranata yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya alam, menjaga ketertiban sosial serta tradisi tolong menolong dalam masyarakat yang dikenal dengan sebutan sasi, masohi. badati, maano, dan makan pasuri.

Dalam pengelolaan sumberdaya alam serta menjamin ketertiban sosial maka ada kearifan tradisional yang diartikan dalam simbol-simbol khusus sebagai tanda larangan yang dikenal dengan sasi. Sasi mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumberdaya tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan Zerner, 1992). Makna sasi adalah larangan bagi anak negeri dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam baik darat maupun laut. Tujuan sasi adalah supaya sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara baik dan benar dan dapat berlangsung terus menerus setiap waktu dari generasi ke generasi berikutnya. Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan sasi adalah Kewang. Kewang adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu Baeleo. Kepala Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu atau yang disebut mata rumah. Sedangkan anggota Kewang atau pembantu Kewang diangkat dari warga masyarakat yang ada di dalam wilayah Soa. Sebagai suatu organisasi maka Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung jawab serta memiliki peraturan-peraturan Kewang sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol pelaksanaan sasi untuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta

(22)

daerah sasi di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah negeri. Tujuan pengawasan dan pengontrolan Kewang ini adalah supaya setiap sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil yang baik pada waktu panen. Bagi masyarakat yang melanggar aturan-aturan sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang dengan persetujuan Raja dan pemerintah negeri, yaitu dengan melakukan pencurian ataupun pengrusakkan terhadap sumberdaya yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh Kewang. Oleh karena itu, Kewang memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam pemerintah negeri dan juga berperan dalam mengawasi “hak ulayat Negeri” (darat dan laut) terhadap pengaruh aktivitas dari luar. Pada rezim adat, maka cara pelaksanaan sasi dilaksanakan secara adat oleh Raja sebagai kepala adat dan Kewang sebagai pengontrol dan pengawas sasi dan dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri dan masyarakat. Oleh karena itu maka sebagai bagian dari ketentuan adat maka pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu; acara tutup dan buka sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemerintahan negeri. Berdasarkan jenis sumberdaya yang disasikan maka bentuk sasi ada dua yaitu sasi darat dan sasi laut. Sumberdaya di hutan dan kebun yang disasikan adalah seperti kelapa, pala, cengkeh, sagu, coklat, buah-buahan seperti jeruk nenas,manggadan sebagainya. Sedangkan sumberdaya perikanan yang disasi adalah seperti : lola, batu laga, teripang, caping-caping, ikan hias, rumput laut, karang, pasir dan berbagai jenis ikan lainnya. Pelaksanaan sistem sasi ini juga menyangkut hak eksklusif pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat desa dimana dengan hak ini orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pada beberapa desa yang lain, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang luar desa sejauh mereka mau menggunakan teknologi yang serupa dengan yang digunakan oleh masyarakat setempat yaitu dimana alat tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya alam serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan kepada pemerintah negeri. Kawasan hak eksklusif

(23)

ini dikenal dengan nama Petuanan Negeri. Petuanan di darat yang di sasi merupakan suatu kawasan pertanian yang disebut dusun, yaitu suatu kawasan pertanian-kehutanan yang khas di Maluku dimana terdapat diversifikasi tanaman dan usaha yakni berupa tanaman hutan, tanaman tahunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta ternak (Nanere, 1996). Sedangkan petuanan laut yang disasi adalah suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw,2002). Oleh karena itu, pada sistem pemerintahan adat sasi merupakan salah satu sumber pendapatan negeri dan pendapatan masyarakat.

Masohi. yaitu suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat

untuk menyelesaikan suatu kegiatan pembangunan fisik baik di dalam negeri, maupun di dalam kelompok warga masyarakat ataupun secara pribadi untuk jangka waktu tertentu yang telah di tetapkan bersama. Tujuan masohi adalah untuk membantu meringankan pekerjaan. Contohnya adalah kegiatan pembangunan rumah adat (Baileo), rumah ibadah (gereja dan masjid), pembangunan rumah tinggal, pembuatan jalan dan sebagainya.

Badati adalah sistem tanggung bersama sebuah kegiatan yang dilakukan

seseorag. Maano adalah sistem bagi hasil (biasanya cengkeh atau sagu), hal ini karena si pemilik kurang tenaga untuk memetik hasil maka dia meminta tolong anggota masyarakat lain untuk memetiknya dengan mendapat imbalan dari hasil yang dipetik sesuai kesepakatan. Makan pasuri yakni menikmati hasil-hasil kebun, hutan secara bersama-sama warga-warga kampung atau negeri yang memiliki ikatan sejarah atau kekeluargaan (Sahusilawane, 2005).

Pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di atas ini diberikan tanggung jawab oleh Raja kepada Kepala Soa dengan demikian maka dalam melaksanakan masohi dikoordinir oleh Kepala-Kepala Soa. Selanjutnya Kepala Soa akan meng-gerakkan anak-anak Soa di dalam wilayah kekuasaannya untuk bekerja dan berpartisipasi penuh dalam kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan. Dalam pelaksanaan pekerjaan pembangunan fisik melalui masohi, maka semua anggota masyarakat diharuskan turut berpartisipasi dalam pekerjaan tersebut karena mereka dikontrol dan diawasi oleh Kepala soa dan Raja. Raja sebagai pemimpin masyarakat bersikap tegas dalam memberi hukuman dan sanksi

(24)

terhadap warga masyarakat yang tidak mematuhi aturan pemerintah negeri. Oleh karena ketegasan dan kewibawaan Raja, maka semua warga masyarakat tanpa memandang bulu, semuanya tunduk dan patuh terhadap segala perintah Raja. Itulah yang dapat dilihat dari peranan Raja dan staf pemerintah negeri dalam melaksanakan pembangunan.

Sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi

Pada rezim sentralisasi yang dimulai dengan diterapkannya UU No. 5 Tahun 1979 maka sistim pemerintahan negeri mengalami perubahan menjadi sistem pemerintahan desa. Selain itu, terjadi pembentukan desa-desa baru yang dulunya merupakan bagian wilayah kekuasan dari suatu negeri yang mengakibatkan sebagian dari luas wilayah kekuasaan suatu negeri menjadi berkurang. Desa baru yang dibentuk ini bukanlah merupakan desa adat sehingga sistem pemerintahan desanya mengikuti UU No. 5 Tahun 1979. Sedangkan negeri yang merupakan basis masyarakat adat mengalami perubahan nama menjadi desa akan tetapi sistem pemerintahan desanya merupakan perpaduan antara sistem pemerintahan negeri dengan sistem pemerintahan desa.

Periode sistem pemerintahan desa bila dihitung sejak dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1979 sampai dengan pemberlakukan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada rezim reformasi adalah sekitar 20 tahun. Penerapan UU No. 5 Tahun 1979 membuat perubahan-perubahan yang cukup mendasar dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan politik di tingkat pemerintahan desa. Perubahan ini disebabkan karena keinginan pemerintah pusat untuk menyeragamkan struktur pemerintahan desa yang selama itu berbeda-beda antar daerah dan untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan atas desa-desa di seluruh Indonesia. Perubahan yang nampak terlihat adalah pada struktur organisasi pemerintahan desa. Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah desa dari Desa Tuhaha di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, struktur organisasi pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, sekretaris desa, Lembaga Musyawarah Desa (LMD), kepala-kepala urusan dan kepala dusun.

(25)

Gambar 5 Struktur organisasi pemerintahan Desa Tuhaha, Kabupaten Maluku Tengah

Keterangan: = Staf Pembantu Tugas

Setiap unit organisasi mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing, yaitu sebagai berikut :

Kepala desa.

a. Kepala desa berkedudukan sebagai alat pemerintahan desa dan pelaksana

pemerintah desa.

b. Tugas pokok kepala desa adalah untuk menyelenggarakan urusan rumah

tangganya sendiri, menjalankan urusan pemerintah, pembangunan dan pembinaan masyarakat, dan menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan desa.

KEPALA DESA LMD SEKRETARIS KEPALA DUSUN KEPALA DUSUN KEPALA DUSUN KEPALA DUSUN RW RT RW RW RW RW RW RW RW RT RT RT RT RT RT RT KEPALA URUSAN

(26)

c. Fungsi kepala desa adalah untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan urusan rumah tangganya, menggerakkan partisipasi masyarakat dalam wilayah desanya, melaksanakan tugas dari pemerintah daerah, melaksanakan kegiatan dalam penyelenggaraan ketentraman masyarakat, melaksanakan kegiatan dalam rangka urusan pemerintahan lainnya.

Lembaga Musyawarah Desa (LMD)

a. LMD berkedudukan sebagai wadah menyelenggarakan permusyawaratan/

permufatan yang ada di desa

b. LMD menampung dan menyalurkan aspirasi dan pendapat

c. Fungsi LMD adalah menyampaikan bahan masukan/input bagi

pe-nyusunan keputusan desa dengan masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa

Sekretaris desa

a. Sekretaris desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu kepala desa dan

memimpin sekretariat desa

b. Tugas sekretaris desa adalah menjalankan administrasi pemerintahan,

pembangunan dan kemasyarakatan di desa serta memberikan pelayanan administrasi kepada kepala desa

c. Fungsi sekretaris desa adalah melaksanakan urusan surat menyurat,

kearsipan dan laporan, melaksanakan urusan keuangan, administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, melaksanakan tugas dan fungsi kepala desa apabila kepala desa berhalangan melaksanakan tugas-tugasnya

Kepala Urusan

a. Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu sekretaris desa dalam

bidang tugasnya

b. Kepala urusan mempunyai tugas menjalankan kegiatan sekretaris desa di

bidang tugasnya

c. Fungsi kepala urusan adalah melaksanakan kegiatan urusan pembangunan,

kesejahteraan, keuangan dan umum sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, memberikan pelayanan administrasi terhadap kepala desa

(27)

Kepala Dusun

a. Kepala dusun berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas kepala desa di

wilayah kerjanya

b. Tugas kepala dusun adalah menjalankan kegiatan pemerintahan,

pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman di wilayah kerjanya, melaksanakan kebijaksanaan kepala desa

Meskipun secara yuridis, struktur pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, LMD dan aparat desa, akan tetapi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat lembaga lain yang secara struktural tidak termasuk dalam struktur pemerintahan desa, namun secara fungsional merupakan bagian dari sistem pemerintahan desa. Lembaga tersebut adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.28 Tahun 1989. LKMD adalah organisasi masyarakat yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat yang ada di setiap desa. Ketua LKMD adalah kepala desa. Keanggotaan LKMD biasanya dipilih dari unsur tiga tungku yaitu terdiri atas tokoh agama, tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat. LKMD merupakan wadah pelaksana dari berbagai program dan kegiatan pembangunan masyarakat desa melalui seksi-seksi yang ada.

Kepala desa adalah merupakan penguasa tunggal di desa baik pada struktur pemerintahan desa tetapi juga pada organisasi sosial kemasyarakatan di desa. Kekuasaan kepala desa yang demikian besar itu dalam sistem demokrasi dan sistem pemerintahan yang sentralistis itu dikontrol dan dikendalikan agar tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku dimana kepala desa bertanggung jawab kepada Camat.

Sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah

Pada rezim otonomi daerah yang dimulai setelah diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan yaitu dikembali-kan menjadi sistem pemerintahan negeri. Nama wilayah administratif berubah dari desa menjadi negeri demikian pula struktur organisasi pemerintahannya. Adapun struktur organisasi pemerintahan negeri pada rezim otonomi daerah pada

(28)

Negeri Titawai Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Titawai, Kabupaten Maluku Tengah

Keterangan: = Staf pembantu tugas

Gambar 6 menunjukkan bahwa ada perbedaan struktur organisasi pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah dengan sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi. Kepala desa diganti menjadi Raja, LMD menjadi Saniri

Negeri, dan kepala-kepala urusan menjadi Kepala Soa. Apabila dibandingkan

dengan sistem pemerintahan desa pada rezim adat maka terlihat bahwa hampir memiliki kesamaan dimana lembaga-lembaga adat telah di akomidir kembali dalam struktur pemerintahan desa. Akan tetapi dalam melaksanakan tugas maka terdapat perbedaan dimana Raja berfungsi sebagai kepala pemerintahan negeri dan kepala adat sedangkan Kepala Soa berfungsi sebagai kepala urusan pembangunan. Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu Raja dalam bidang tugasnya. Fungsi kepala urusan adalah melaksanakan kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan, keuangan dan umum sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Saniri Negeri sebagai badan legislatif terdiri dari para tokoh

KEPALA SOA Kepala Urusan Pembangunan RAJA SANIRI NEGERI SEKRETARIS BENDAHARA KEPALA SOA Kepala Urusan Pemerintahan KEPALA SOA Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat KEPALA SOA Kepala Urusan Umum

(29)

adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, Kewang, Marinyo, Tuan Tanah, dan Tuan

Negeri.

Berdasarkan hasil analisis perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah maka hal ini menunjukkan bahwa kebijakan- kebijakan pemerintah tentang Pemerintahan Daerah selama ini telah memberikan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan desa yang meliputi tugas, pokok dan fungsi kepemimpinan, struktur organisasi. Perubahan ini turut membawa pengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan di pedesaan termasuk di dalamnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa kondisi dan permasalahan setiap daerah itu sangat berbeda-beda dan tidak mudah untuk menyeragamkan sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia dengan mengingat berbagai norma dan tradisi masyarakat dalam melaksanakan kegiatan pembangunan di daerah pedesaan. Solihin (2004) mengatakan bahwa sentralistik pemerintahan selama ini telah membawa begitu banyak masalah seperti, eksternalitas di kegiatan perikanan tangkap dan telah membunuh keberadaan partisipasi masyarakat lokal dalam melakukan penge-lolaan kegiatan perikanan tangkap. Selain itu, dikatakan juga oleh Kusumastanto (2003) bahwa sistem pemerintahan sentralistik yang sudah berlangsung selama 32 tahun terbukti telah menghancurkan sumberdaya alam. Sebab secara ekonomi-politik sistem pemerintahan sentralistik terbukti membawa kecenderungan buruk yakni (1) politik yang tidak demokratis; (2) korupsi;(3) rent

seeking activities yang memperburuk social welfare loss bagi masyarakat dan (4) moral hazard yaitu bertindak dengan sema-mena dan mengabaikan aspirasi

masyarakat. Oleh karena itu maka pilihan otonomi daerah merupakan suatu mekanisme yang ingin mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya dengan tujuan agar masyarakat terlibat dalam proses penyelenggaraan negara, politik, sosial, ekonomi, budaya serta penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang seharusnya tidak perlu dijalankan oleh negara.

Untuk konteks Maluku, sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah memberikan kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan sangat mungkin sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal. Dimana sistem pemerintahan desa dikembalikan pada sistem pemerintahan negeri.

(30)

Supardal et al. (2005) mengatakan bahwa dengan UU No. 22 Tahun 1999 dimungkinkan adanya perbedaaan menyangkut nama kelembagaan desa yang ada. Dengan demikian nilai-nilai lokal, tradisi, adat istiadat dimunculkan kembali selama masyarakat menganggap akan mendukung efektivitas dan efisiensi pemerintahan dan pembangunan desa.

Semangat untuk melaksanakan adat kini mulai mewarnai kehidupan dinamika masyarakat Maluku sehingga timbul keinginan dari masyarakat untuk kembali memberlakukan sistem adat. Keinginan masyarakat ini bergulir seiring dengan kondisi daerah Maluku yang semakin hari semakin kondusif dan karena adanya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dapat meng-akomidir aspirasi masyarakat tersebut. Perubahan-perubahan dan pembenahan di tingkat desa khususnya desa adat mulai terjadi dengan mulai mempersiapkan sistem pemerintahan negeri. Pada desa-desa adat yang tadinya mengalami perubahan dengan sistem pemerintahan desa sehingga terjadi elaborasi dalam struktur pemerintahan desa, mulai menfungsikan lembaga-lembaga adat yang selama ini terabaikan karena tidak terakomodir lewat UU No. 5 Tahun 1979. Aspirasi masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah sistem pemerintahan negeri akhirnya diakomodir oleh pemerintah daerah untuk dibuat sebagai suatu peraturan daerah sehingga dapat diberlakukan di seluruh wilayah Maluku sesuai dengan aturan-aturan yang telah dibuat oleh perwakilan masyarakat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Dalam sistem peme-rintahan desa, pimpinan desa adalah merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam mengerakkan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Raja sebagai pemimpin desa dan juga pemimpin adat telah diberlakukan kembali. kedudukan dan peranan Raja turut memberikan pengaruh yang besar terhadap pembangunan masyarakat pedesaan. Hal ini disebabkan karena Raja ditentukan berdasarkan garis keturunan tertentu dan hal ini telah diketahui dan dipahami oleh masyarakat adat sehingga kedudukan Raja sangat dihormati dan disegani. Pariela (2005) mengatakan bahwa di dalam sistem politik tradisional masyarakat di Maluku, alokasi dan distribusi kekuasaan pada dasarnya bersifat tertutup, karena hanya berlangsung melalui mata rumah. Jadi dalam tatanan tradisional masya-rakat di Maluku, status sosial seseorang diperoleh berdasarkan kelahiran

(31)

(ascribed status) di dalam suatu mata rumah tertentu, dan berperan sesuai kedududukan mata rumah yang bersangkutan dalam sistem politik lokal. Pergantian kepemimpinan Raja diatur secara turun-temurun.

Mengingat kedudukan dan peranan Raja sebagai tokoh masyarakat dan juga tokoh adat maka Raja memiliki kemampuan untuk menggerakkan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya perikanan di desanya. Hanafi (1987) mengatakan bahwa tokoh adat/tokoh masyarakat adalah orang-orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Tokoh adat adalah pemimpin dalam masyarakat dimana mereka menjadi panutan, pembimbing dan tempat bertanya bagi masyarakat sehingga sebagai pemimpin mereka sering berinteraksi dengan masyarakat dan di dalam interaksi tersebut pengetahuan, wawasan dan kearifan yang mereka miliki akan ditransfer kepada masyarakat. Oleh karena itu maka pada rezim otonomi daerah dimana pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan adalah Raja dan Kewang maka diharapkan dapat berjalan dengan baik. Untuk itu maka Raja dan Kewang sangat perlu untuk diberdayakan untuk memahami pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat secara baik dan benar. Mengingat kondisi dan permasalahan masyarakat yang telah mengalami perkembangan dan perubahan selain itu juga kondisi sumberdaya perikanan yang juga telah mengalami banyak perubahan. Sehingga pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat yang dikenal dengan sasi, bukan hanya merupakan suatu tradisi adat masyarakat saja tetapi merupakan suatu hal yang sangat perlu dilaksanakan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan juga untuk menambah pendapatan desa dalam rangka pengembangan pembangunan sarana dan prasarana desa.

4.3 Keberadaan Sasi Laut pada Rezim Otonomi Daerah

Hasil inventarisasi keberadaan sasi yang dilakukan pada 61 desa di Pulau Ambon, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku, dan Pulau Seram diperlihatkan pada Lampiran 7. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 61 desa yang

(32)

diinventarisir ternyata pelaksanaan sasi adalah di atas 50 % yaitu terdiri dari sasi darat terdapat pada 45 desa, sasi darat dan laut terdapat pada 16 desa (Tabel 11).

Tabel 11 Keberadaan sasi di pedesaan Maluku

No Variabel Jumlah (Desa) Proporsi (%) 1 Bentuk Sasi : Sasi Darat

Sasi Darat + Sasi Laut

45 16

74 26

2a Ketersediaan Aturan Perikanan :

Ada Aturan Tidak Ada Aturan

48 13 79 21 2b Bentuk Aturan : Tertulis Tidak Tertulis 21 27 44 56

Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun telah terjadi pergantian rezim pemerintahan desa namun sasi laut sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat masih tetap ada sampai saat ini. Keberadaan sasi laut ini tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat desa setempat. Novaczek et al. (2001) menyatakan bahwa, sebagai suatu pranata, sasi tidak statis tetapi mengalami perubahan sesuai waktu. Sasi dan budaya adat sangat mudah dipengaruhi dan lemah dari waktu ke waktu yang mencerminkan dampak dari kolonialisme, peperangan, perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Hasil ini juga memperlihatkan bahwa tidak semua desa adat melaksanakan sasi. Dari 53 desa adat yang di teliti ternyata 8 desa adat di antaranya tidak melaksanakan sasi baik sasi darat maupun sasi laut. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa di sebagian desa-desa adat telah hilang tradisi sasi dalam masyarakat adat. Hilangnya sasi pada desa-desa adat antara lain disebabkan antara lain karena perubahan struktur pemerintahan desa akibat pemberlakuan UU No.5 Tahun 1979 dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan desa. Hal ini seperti dikatakan oleh Nikijuluw (2002) Novaczek et al. (2001) dan Kissya (2000)

(33)

bahwa perubahan struktur pemerintahan desa menyebabkan lemahnya pelaksana-an sasi di pedesapelaksana-an Maluku. Keberadapelaksana-an sasi pada desa-desa adat adalah karena kemauan dan itikad Raja atau kepala desa untuk mempertahankan tradisi sasi sebagai bagian dari adat dan ditunjang dengan pengetahuannya dalam pengelolaan dan pemanfaaatan lingkungan hidup untuk kesejahteraan masyarakat.

Keberadaan dan pelaksanaan sasi baik sasi darat maupun sasi laut terbanyak terdapat di Pulau Saparua, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Adapun lokasi desa sasi laut diperlihatkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Lokasi desa sasi laut

No Desa Pulau Kecamatan Kabupaten/Kota

1 Paperu Saparua Saparua Maluku Tengah

2 Ihamahu Saparua Saparua Maluku Tengah

3 Itawaka Saparua Saparua Maluku Tengah

4 Noloth Saparua Saparua Maluku Tengah

5 Ouw Saparua Saparua Maluku Tengah

6 Ulath Saparua Saparua Maluku Tengah

7 Sirisori Islam Saparua Saparua Maluku Tengah

8 Ameth Nusalaut Nusalaut Maluku Tengah

9 Sameth Haruku Haruku Maluku Tengah

10 Pelauw Haruku Haruku Maluku Tengah

11 Hulaliu Haruku Haruku Maluku Tengah

12 Haruku Haruku Haruku Maluku Tengah

13 Makariki Seram Amahai Maluku Tengah

14 Rutong Ambon Baguala Kota Ambon

15 Tengah-Tengah Ambon Salahutu Kota Ambon

16 Tulehu Ambon Salahutu Kota Ambon

Hasil ini menunjukkan bahwa desa-desa di Pulau Saparua masih kuat mempertahankan dan melestarikan nilai serta tradisi budaya sasi. Hal ini disebabkan karena desa-desa di Pulau Saparua adalah merupakan desa adat dan mayoritas masyarakat yang mendiami desa tersebut adalah masyarakat adat. Oleh karena itu sebagai bagian dari adat dan tradisi maka sasi masih tetap

(34)

dipertahan-kan dan dilestaridipertahan-kan. Hal ini sesuai dengan Ginting (1998) yang menyatadipertahan-kan bahwa sasi, ondoafi dan sejenisnya berada dalam satu pulau kecil, tergantung dari karakteristik klan, atau suku yang mendominasi desa tersebut.

Di Kabupaten Maluku Tengah khususnya di Pulau Saparua ada dua sistem penyelenggaraan sasi yaitu (1) sasi negeri (sasi adat) dan sasi gereja. Perbedaan pokok di antara dua sistem penyelenggaraan tersebut adalah pada penyelenggara kesepakatan tradisional tersebut. Penyelenggaraan sistem sasi negeri adalah

Kewang dan Raja sedangkan penyelengaraan sasi gereja adalah pihak gereja dan

pemerintah desa. Di Pulau Saparua dan Pulau Ambon, sasi gereja ditujukan kepada sasi buah-buahan milik pribadi sedangkan sasi negeri ditujukan pada sumber-sumber alam yang menjadi milik komunal seperti sasi laut. Dari hasil pengamatan di lapangan terhadap kedua sistem penyelenggaraan sasi ini maka umumnya penyelengaraan sasi darat adalah sasi gereja yaitu pihak gereja (Pendeta dan Majelis Jemaat) dan pemerintahan desa. Sedangkan penyelengaraan sasi laut adalah sasi negeri yaitu Kewang dan Raja. Sasi gereja adalah merupakan salah satu wujud perubahan sistem penyelenggaraan sasi karena tidak berfungsinya Kewang secara baik.

Hasil inventarisasi sasi laut, menunjukkan adanya perkembangan sasi yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Hasil ini dapat dibandingkan dengan hasil inventarisasi sasi yang dilakukan oleh Novaczek et al. (2001) pada tahun 1997. Dilaporkan bahwa pada tahun 1997 di Pulau Nusalaut yang terdiri dari tujuh desa tidak ada pelaksanaan sasi laut. Namun sekarang, salah satu negeri di Pulau Nusalaut yaitu Negeri Ameth Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah telah memberlakukan sasi laut sesuai dengan Surat Keputusan Negeri Ameth Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah No.1 Tahun 2005 tentang sasi adat bagi siput lola dan teripang. Begitupun juga terjadi di Negeri Halaliu Kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Tidak ada sasi laut pada tahun 1997, tetapi sekarang dilaksanakan sasi laut sejak diberlakukannya Surat Kepu-tusan Raja Negeri Hulaliu No.140/02/XII/ 2003 tentang Pengangkatan Kepala

Kewang, Wakil, Bendahara dan Anggota Kewang pada Tanggal 28 Desember

2003. Perkembangan selanjutnya adalah pada Tanggal 4 Oktober 2005 telah dilakukan pelantikan lembaga-lembaga adat yaitu Kepala Soa, Saniri Negeri dan

(35)

Kewang di Negeri Nalahia Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah,

seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Acara pelantikan lembaga-lembaga adat di Negeri Nalahia

Gambar di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan sasi pada rezim otonomi daerah diperkirakan akan semakin bertambah pelaksanaannya dengan diaktifkan kembali Kewang sebagai lembaga pelaksana pengelolaan sumberdaya alam.

Berdasarkan hasil wawancara pada desa-desa sasi, maka jenis sumberdaya darat yang disasi adalah: kelapa, cengkeh, pala, coklat, nenas, jeruk, sagu. Se-dangkan sumberdaya laut yang disasi adalah: karang, batu hitam, pasir, teripang, lola, caping-caping, ikan hias, bakau, ikan lompa, make dan jenis-jenis ikan lain di sekitar pesisir pantai. Jenis sumberdaya yang disasikan ini, memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai harga untuk beberapa jenis sumberdaya perikanan yang di sasi di pasar Kota Ambon. Adapun harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan, diperlihatkan pada Tabel 13.

(36)

Tabel 13 Daftar harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan yang disasikan , di pasar Kota Ambon, tahun 2005

Sumberdaya Perikanan

Nama Ilmiah Ukuran

(cm)

Harga Pedagang Pengumpul (kg)

Siput Lola Trochus niloticus 4 – 4.9 Rp. 5 000

Siput Lola Trochus niloticus 5 – 5.9 Rp. 20 000

Siput Lola Trochus niloticus > 6 Rp. 43 000

Teripang Pasir Holothuroidea scabra 40 Rp. 600 000

Teripang Susu Holothuroidea nobilis 35 Rp. 250 000

Teripang Nenas Thelenota ananas 35 Rp. 200 000

Caping-caping Pinctada margaritifera 20 Rp. 15 000

Rumput Laut Euchema sp 25 Rp. 5 000

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai harga sumberdaya perikanan tertinggi adalah teripang dan terendah adalah rumput laut dan siput lola ukuran kecil. Hal ini berindikasi bahwa apabila pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh masyarakat melalui sasi dapat dilaksanakan secara baik maka tentu dapat meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pelaksanaan sasi perlu dipertahankan dan direvitalisasikan dalam model pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini di masyarakat pedesaan. Menurut Kusumastanto (2003) dalam otonomi daerah, otonomi termasuk di wilayah laut merupakan peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkat-kan kesejahteraan masyarakat daerah dan memiliki wawasan yang jelas me-ngenai perlindungan sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun dari ke-semuanya itu diperlukan adanya perombakkan yang mendasar dalam rezim open

acces atas sumberdaya perikanan dan pengaturan property right dimana hak atas

sumberdaya perikanan seharusnya dikembalikan kepada masyarakat karena sumberdaya tersebut dijadikan sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi mereka. Untuk itu maka pemerintah perlu segera memperkuat kapasitas masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanannya dengan mempersiapkan

Gambar

Gambar 4  Struktur organisasi pemerintahan Negeri Ameth,                    Kabupaten Maluku Tengah
Gambar 5 Struktur organisasi  pemerintahan Desa Tuhaha,                   Kabupaten Maluku Tengah
Gambar 6   Struktur organisasi pemerintahan  Negeri Titawai,               Kabupaten Maluku Tengah
Gambar 7 Acara pelantikan lembaga-lembaga adat di Negeri Nalahia
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari praktikum penetapan kadar vitamin C dengan metode titrimetri ini adalah melakukan analisis vitamin C (m.titrimetri) pada berbagai bahan pangan,

Simpul disusun dengan cara petak yang paling atas dalam papan catur diletakkan di simpul paling kiri (diproses pertama). 3) Dengan menggunakan algoritma yang telah

yang berjudul “GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN REMAJA PUTERI TERHADAP PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA KATOLIK BUDI MURNI 1 MEDAN TAHUN 2014”.. Skripsi ini

Mengetahui ada/tidaknya hubungan antara jenis kelamin, bidang ilmu yang dipelajari, serta jenjang strata program studi dengan prevalensi kurang tidur kronis

Pada studi ini telah dikembangkan model empiris dengan analisa regresi untuk memprediksi daya dukung total pondasi tiang bor pada tanah ekspansif. khususnya di lingkungan laut

Berdasarkan uraian kendala-kendala yang muncul selama proses pengajuan akreditasi institusi perguruan tinggi dan kelemahan- kelemahan yang berpotensi muncul di

3) Responsibility (pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban perusahaan adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan yang berlaku, diantaranya termasuk masalah pajak,

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (naturalistik) yang dipercaya akan dapat menjelaskan fenomena yang ada dengan lebih komprehensif dalam melihat