BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Gastropoda merupakan kelompok hewan invertebrata bertubuh lunak yang berjalan dengan kaki perut dan umumnya memiliki cangkang. Hewan ini umum dikenal dengan keong atau siput. Secara ekologis Gastropoda memiliki peranan penting berkaitan dengan rantai makanan komponen biotik di ekosistem mangrove, karena disamping sebagai pemangsa detritus, Gastropoda berperan dalam memperkecil serasah yang jatuh (Pramudji, 2001:17). Secara ekonomis Gastropoda dapat dijadikan sebagai bahan industri, perhiasan, bahan dasar kosmetik, obat-obatan, pakan ternak dan bahan pupuk. Beberapa jenis Gastropoda memiliki nilai gizi tinggi untuk dikonsumsi (Purwaningsih, 2012:39 ; Leimena, 2007:73).
Gastropoda dapat menempati berbagai tipe habitat, salah satunya adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove adalah ekosistem yang terdapat di sepanjang pesisir pantai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut dengan jenis substrat berlumpur. Menurut Fachrul (2007:139) ekosistem mangrove mempunyai fungsi yang sangat penting karena selain sebagai tempat berlindung dan berkembangbiak bagi berbagai jenis biota, juga berfungsi mengurangi gejala alam seperti abrasi pantai, intrusi air laut, ombak, dan angin kencang.
Salah satu kawasan yang mewakili ekosistem mangrove di Provinsi Jambi adalah di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung
Barat. Gastropoda oleh masyarakat sekitar sudah dimanfaatkan untuk dikonsumsi maupun dijual. Gastropoda perlu diperhatikan mengingat fungsinya dalam keseimbangan ekosistem mangrove. Permasalahan saat ini, sebagian kawasan di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat telah diubah menjadi pemukiman dan jalan menuju pelabuhan. Pembangunan yang terus dilakukan mengakibatkan pengurangan luas habitat alami dan makanan bagi biota mangrove termasuk Gastropoda. Hal ini dapat berdampak pada kepadatan dan pola distribusi Gastropoda. Kepadatan dan pola distribusi Gastropoda merupakan informasi yang penting. Kepadatan menunjukkan jumlah individu suatu jenis persatuan luas atau volume area (Brower dkk., 1990:81). Kepadatan dapat dijadikan indikator perubahan kondisi lingkungan dan dasar untuk mengetahui kemungkinan kelangsungan hidup dan keterancaman keberadaan biota di alam. Kepadatan populasi di suatu daerah juga dapat dipengaruhi oleh pola distribusi dari populasinya.
Pola distribusi adalah pergerakan individu-individu ke dalam atau keluar dari populasi (Odum, 1993:248). Perubahan kondisi lingkungan dapat mempengaruhi pola distribusi suatu jenis. Anwar dkk. (1997:130) menyatakan penyebaran fauna dalam ekosistem mangrove dipengaruhi oleh substrat, suhu, salinitas, dan pasang surut air laut.
Beberapa penelitian mengenai kepadatan dan pola distribusi Gastropoda yang telah dilakukan antara lain pada mangrove di Pantai Cermin Kecamatan Serdang Sumatera Utara oleh Tanjung (2012:03) ditemukan 10 jenis dengan kepadatan 22,75 ind/m², didominasi oleh Telescopium telescopium dengan pola distribusi merata. Di
kawasan mangrove Segara Anakan Cilacap, Pribadi (2009:05) mendapatkan 19 jenis Gastropoda dengan kepadatan 15,71 ind/m², didominasi oleh Nerita lineata dengan pola distribusi mengelompok dan acak.
Penelitian mengenai Gastropoda di kawasan mangrove Provinsi Jambi khususnya di Tanjung Jabung Barat masih sedikit dilakukan. Penelitian yang terkait tentang keanekaragaman Gastropoda di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat dilakukan oleh Nurrudin (in press 2014) dan untuk melengkapi data tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai “Kepadatan dan Pola Distribusi Gastropoda di Sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat ”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah yang dijawab dalam penelitian adalah:
1. Bagaimana kepadatan Gastropoda di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat?
2. Bagaimana pola distribusi Gastropoda di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kepadatan Gastropoda di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat.
2. Untuk mengetahui pola distribusi Gastropoda di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat.
1.4 Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi ilmiah mengenai kepadatan Gastropoda di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat.
2. Memberikan informasi ilmiah mengenai pola distribusi Gastropoda di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat.
3. Sebagai materi pengayaan pada mata kuliah ekologi umum.
1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 1.5.1 Ruang lingkup penelitian
Ruang lingkup penelitian dalam penelitian ini yaitu:
1. Aspek pengamatan difokuskan pada kepadatan dan pola distribusi Gastropoda berdasarkan jenis pada 3 stasiun di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat.
2. Faktor lingkungan juga diamati sebagai data penunjang meliputi suhu substrat, pH substrat, salinitas, dan jenis substrat.
1.5.2 Batasan penelitian
Batasan dalam penelitian ini adalah:
1. Pengamatan hanya dilakukan terhadap Gastropoda hasil sampling yang ditemukan di lokasi penelitian.
2. Pengambilan sampel Gastropoda tidak membedakan jenis kelamin jantan dan betina.
1.6 Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
1. Kepadatan Gastropoda merupakan tingkat kerapatan atau jumlah individu suatu jenis Gastropoda per satuan luas atau volume area.
2. Pola distribusi Gastropoda merupakan pola penyebaran individu dari setiap jenis Gastropoda ke dalam atau keluar populasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Biologi Gastropoda 2.1.1 Morfologi Gastropoda
Gastropoda merupakan kelompok hewan yang dikenal dengan siput atau keong. Hewan ini berjalan dengan perutnya (berkaki perut). Jasin (1992:175) menyatakan bahwa karakteristik tubuh Gastropoda sebagai berikut: terdiri dari kepala yang jelas terlihat, mempunyai satu atau dua pasang tentakel. Sepasang di antaranya bersifat retraktil (dapat dijulurkan dan dimasukkan kembali ke dalam tubuh) dan dilengkapi sebuah mata pada ujungnya. Kaki lebar dan pipih menyerupai alat untuk berjalan dan selalu basah. Menurut Radiopoetro (1990:354) tidak ada batas yang jelas antara kepala dan kaki. Mulut yang berupa celah kecil terletak tepat di bagian bawah ujung kepala. Organ internal terletak di dalam cangkang yang berpilin.
Cangkang menjadi tempat hewan ini berlindung dalam keadaan yang merugikan (Jasin, 1992:178). Cangkang dapat digunakan untuk menentukan identitas sampai pada tingkat klasifikasi tertentu (Dharma, 1998 dalam Karyanto, 2003:2). Cangkang berasal dari bahan organik dan non organik yang didominasi oleh kalsium karbonat (CaCO3). Bahan cangkang yang berguna untuk memperbesar diri ini
terbentuk dari hasil seksresi membran tipis yang disebut mantel (Jasin, 1992:176). Cangkang Gastropoda umumnya berbentuk spiral piramid yang terdiri dari badan utama (body whorl), spiral lanjutan menuju ujung (apex) yang disebut whorl
unit dan garis spiral menuju apex dikenal sebagai spire disebut siphonal canal. Pada irisan membujur cangkang, terlihat sumbu utama dikenal sebagai collumella yang berfungsi sebagai tempat tubuh lunak berpilin (Pechenik, 1991 dalam Karyanto, 2003:2). Gastropoda mangrove seperti pada famili Potamididae mempunyai bentuk cangkang yang khas yaitu spiral memanjang dengan spire tampak jelas sedangkan body whorl tidak tampak jelas (Karyanto, 2003:5) (Gambar 2.1).
Beberapa jenis Gastropoda mempunyai lempeng keras dan bundar berzat kapur atau berzat tanduk di bagian belakang kakinya. Lempeng ini disebut operculum yang dapat menjadi penutup lubang cangkang untuk melindungi tubuh lunak yang tersembunyi di dalam cangkang (Nontji, 2005:163). Operculum mempunyai garis-garis pertumbuhan, dan kadang-kadang garis-garis tersebut dapat digunakan untuk menentukan umur Gastropoda (Hendriks, 2001 dalam Pulungsari, 2004:8).
Mulut Gastropoda dilengkapi dengan lidah perut dan gigi radula. Tipe gigi radula ini juga dapat digunakan untuk identifikasi jenis Gastropoda. Pada radula
Gambar 2.1 Morfologi Gastropoda Mangrove (Barnes dan Ruppert, 1987; NHMR, 2013) 1994:407).
terdapat sejumlah baris gigi yang melintang. Berdasarkan tipenya, gigi radula pada Gastropoda dapat dibedakan menjadi 6 tipe dasar (Gambar 2.2) (Suwignyo, 1997) yaitu :
1. Rhipidoglossa (berasal dari kata rhipidos, berarti kipas)
Gigi central (rachidia) besar, gigi lateral kecil dan gigi marginal seperti jarum runcing berjumlah banyak.
2. Docoglossa (berasaldari kata dokos, berarti lembing)
Gigi central sangat kecil atau tidak ada, gigi lateral besar dan mengandung pigmen. 3. Taeniglossa (taenia, berarti lengan)
Gigi central besar, gigi lateral sedikit tetapi menonjol, gigi marginal mungkin tidak ada.
4. Ptenoglossa (ptenos, berbulu)
Gigi central tidak ada, gigi lateral sedikit dan seperti kait. 5. Rachiglossa (rachis, duri)
Radula sempit dengan gigi lateral terdapat pada kedua tepi gigi central (rachidia) 6. Toxoglossa (toxotes, pana)
Gigi marginal tunggal dan besar dalam setiap baris dan struktur kompleks. Karakteristik ini biasanya pada cangkang berbentuk kerucut.
Menurut Radiopoetro (1990:357), sistem organ pada Gastropoda yaitu : 1.Sistem Pernapasan
Hewan yang hidup di air berespirasi dengan insang, sedangkan yang hidup di darat berespirasi dengan rongga mantel yang kaya dengan kapiler darah yang berfungsi sebagai paru-paru.
2.Sistem Pencernaan Makanan
Alat pencernaan meliputi rongga mulut, kerongkongan, kelenjar ludah, tembolok, lambung kelenjar, dan anus. Saluran pencernaan berbentuk huruf U.
Gambar 2.2 Tipe Radula (Suwignyo, 1997). Keterangan :
C. Central L. Lateral M. Marginal
Makanan dipotong-potong oleh rahang tanduk dan dikunyah oleh radula serta dibasahi dengan lendir dari kelenjar tubuh. Kemudian makanan ditelan ke kerongkongan dan berturut-turut menuju tembolok, lambung, dan selanjutnya dibuang lewat anus yang terdapat di kepala.
3.Sistem Peredaran Darah
Sistem peredaran darahnya terbuka dengan jantung dan saluran darah sebagai organ transportasi. Jantung terdiri atas serambi dan bilik yang dilindungi rongga pericardium. Darah (plasma dan butir darah) tak berwarna dan berfungsi mengedarkan oksigennya ke seluruh tubuh serta mengangkut sisa pembakaran. 4.Sistem Ekskresi
Organ ekskresi berupa nefridium yang terletak di dekat jantung dan saluran ureter yang terletak di dekat anus.
5.Sistem Saraf
Susunan saraf terdiri atas tiga buah ganglion utama yaitu ganglion otak (ganglion serebral), ganglion organ-organ dalam (ganglion viseral), dan ganglion kaki (ganglion pedal).
6.Sistem Reproduksi
Pada Gastropoda ada hewan yang diesis dan monoesis. Pada hewan monoesis, alat kelamin jantan dan betina terdapat pada satu hewan, tetapi tidak dapat membuahi sendiri. Untuk melakukan pembuahan harus didahului dengan kopulasi. Ovotestis menghasilkan sperma yang disalurkan ke vasa deferensia dan akhirnya masuk ke vagina hewan lain dengan perantaraan penis yang dapat dikeluarkan dari lubang
genital. Ovotestis juga menghasilkan sel telur. Sel telur ini dibawa lewat saluran hermafroditus untuk mendapat albumin kemudian uterus lalu ke oviduk. Di oviduk sel telur dibuahi sperma hewan lain.
Menurut Houbrick (1991:302), populasi telur Gastropoda mangrove dapat mencapai 50.000 telur dengan diameter telur 1250 mm. Telur setiap individu dikelilingi oleh fluida, albumen, dan kapsul transparan. Larva keong bakau berenang bebas di perairan. Larva ini menetas setelah 96 jam ditelurkan.
2.1.2 Habitat Gastropoda
Gastropoda dapat hidup pada berbagai macam tipe habitat, seperti di daratan, di sepanjang pantai, perairan dalam, perairan dangkal, dan beberapa dapat berenang aktif di permukaan terbuka (Radiopoetro, 1990:352). Barnes dan Ruppert (1987:395) menyatakan bahwa beberapa jenis Gastropoda hidup menempel pada substrat yang keras, namun ada pula yang hidup pada substrat lunak seperti pasir dan lumpur.
Menurut Nontji (2005:371), di permukaan lumpur hidup beberapa jenis Gastropoda dari famili Potamididae dan Ellobiidae seperti jenis Cerithidea sp, Telescopium sp, dan Terebralia sp, sedangkan yang hidup melekat pada akar dan batang pohon mangrove hingga ketinggian lebih dari 1 meter di atas permukaan lumpur ditempati famili Littorinidae seperti jenis Littoraria sp.
2.1.3 Taksonomi Gastropoda
Kelas Gastropoda dibagi dalam 3 subkelas yaitu: Pulmonata, Prosobranchia dan Ophistobranchia (Mote, 2004:8). Anggota subkelas Prosobranchia terdapat di laut, air payau atau kawasan mangrove, dan air tawar, Ophistobranchia hanya
terdapat di laut dan Pulmonata hidup di daratan (Hyman, 1967 dalam Samson, 1999:20).
Klasifikasi Gastropoda yang terdapat di ekosistem mangrove yaitu dari subkelas Prosobranchia dapat dilihat pada tabel berikut (Massagca dkk., 2010:66):
Tabel 2.1 Klasifikasi Gastropoda Subkelas Prosobranchia
Kingdom Animalia
Filum Moluska
Kelas Gastropoda
Subkelas Prosobranchia
Ordo ArchaeoGastropoda MesoGastropoda NeoGastropoda
Famili
Neritidae Littorinidae Muricidae
Trochidae Potamididae Melonggeniidae
Cerithiidae Buccinidae
Genus
Nerita Litorina Pteronotus
Monodonta Terebralia Nassarius
Telescopium Melongena
Cerithium Chantarus
Spesies Nerita undulata Cerithidea obtusa Chantarus undosus
Neritina violacea Littoraria conica Chicoreus capucinus
2.1.4 Peranan Gastropoda
Secara ekologis Gastropoda memiliki peranan yang besar dalam kaitannya dengan rantai makanan komponen biotik di kawasan hutan mangrove. Gastropoda menunjang keberadaan unsur hara serta berperan dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik terutama yang bersifat herbivor dan detrivor. Ini menunjukkan Gastropoda sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara
mencacah-cacah serasah menjadi bagian-bagian kecil kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil yaitu mikroorganisme (Arief, 2003:22).
Invertebrata benthos seperti Gastropoda juga berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem mangrove dengan menggali ketika akan membenamkan diri dalam substrat, ini membuka ruang agar air dan udara dapat masuk sehingga menambah oksigen dan unsur hara ke dalam substrat (Taqwa, 2010:29).
2.2 Kepadatan Populasi
Kepadatan populasi adalah jumlah individu suatu jenis dalam suatu unit ruang, umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu per satuan luas atau volume (Heddy dkk., 1989:31). Tis’in (2008:54) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa kepadatan Gastropoda mangrove tinggi pada daerah dengan kondisi lingkungan subur dimana kebutuhan makanan bisa terpenuhi.
Nybakken (1988) menyatakan bahwa kepadatan suatu jenis dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor ekologis seperti kemampuan beradaptasi, jenis substrat, salinitas, suhu, dan pH. Faktor biologis yang berpengaruh yaitu ketersediaan makan dan predator. Indriyanto (2006:75) menambahkan bahwa kepadatan populasi selain dipengaruhi oleh faktor lingkungan, juga dipengaruhi oleh adanya kelahiran, kematian, emigrasi, dan imigrasi. Faktor lain yang dapat mengurangi kepadatan suatu populasi yaitu eksploitasi yang dilakukan manusia secara berlebihan terhadap suatu jenis yang memiliki nilai ekonomis tanpa melakukan pengembangbiakan terhadap jenis tersebut.
2.3 Pola Distribusi (Penyebaran).
Pola distribusi merupakan pola yang dibentuk oleh individu dalam suatu komunitas alamiah yang tergantung pada cara tumbuhan atau hewan tersebar atau terpencar di dalamnya (Michael, 1994:340).
Menurut Odum (1993), distribusi individu-individu di dalam populasi dibagi 3 pola : (1) Acak, (2) Seragam (lebih teratur daripada acak), (3) Mengelompok (tidak teratur, tidak secara acak) (Gambar 2.3).
1. Distribusi secara acak jarang terdapat di alam karena terjadi pada kondisi lingkungan yang sangat seragam, tidak ada kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi, dan masing-masing individu tidak memiliki kecenderungan untuk memisahkan diri (Indriyanto, 2006:82).
2. Distribusi seragam terjadi pada kondisi lingkungan cukup seragam di seluruh area dan ada kompetisi yang kuat antar individu anggota populasi (Indriyanto, 2006:83). Kompetisi yang kuat akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang sama (Odum, 1993).
3. Distribusi mengelompok terjadi pada kondisi lingkungan jarang yang seragam meskipun area sempit (Heddy dkk., 1989:34). Menurut Odum (1993), distribusi ini terjadi akibat adanya pengumpulan individu-individu yang disebabkan oleh (a) tanggapan perubahan cuaca harian dan musiman, (b) tanggapan perbedaan habitat setempat, (c) akibat dari proses reproduksi misalnya hewan yang masih muda menetap bersama induknya, dan (d) akibat dari daya tarik sosial. Menurut
Indriyanto (2006:83), distribusi mengelompok menguntungkan bagi hewan dalam mempertahankan diri dari serangan predator.
2.4 Ekosistem Mangrove
Kawasan mangrove umumnya terdapat di estuaria wilayah tropis atau terdapat di sepanjang pantai yang terpengaruh pasang surut air laut. Kawasan ini dianggap sebagai suatu tempat yang bergerak, dimana tanah lumpur dan daratan secara terus menerus dibentuk oleh tumbuh-tumbuhan yang kemudian secara perlahan berubah menjadi semi-terrestrial atau semi daratan (Hutabarat dan Evans, 1985:137).
Negara Indonesia diperkirakan mempunyai wilayah mangrove sangat luas yaitu sekitar 3,5 juta hektar melebihi negara lain seperti brazil 1,3 juta hektar, Nigeria 1,1 hektar, dan Australia 0,97 hektar. Namun pada tahun 1990 wilayah mangrove Indonesia mengalami penyusutan menjadi 2,49 juta hektar akibat perusakan oleh
Gambar 2.3 Tiga pola distribusi (penyebaran) individu. (a) Acak (random), (b) Mengelompok, (c) Seragam
orang yang tidak bertanggung jawab, untuk itu perlu tindakan pelestarian terhadap wilayah mangrove (Masdudin, 2009:13).
Ekosistem mangrove berdasarkan frekuensi air pasang dibagi menjadi 5 zona yang ditumbuhi oleh tipe vegetasi yang berbeda-beda (Irwan, 2010:137) seperti berikut:
1. Terdekat dengan laut dengan tanah lumpur dan liat agak lembek didominasi oleh Avicennia dan Sonneratia.
2. Hutan pada substrat yang lebih tinggi dengan tanah liat yang cukup keras dan dicapai oleh beberapa air pasang saja didominasi oleh Bruguiera cylindrica.
3. Lebih ke arah daratan dengan kondisi lumpur agak dalam didominasi oleh Rizophora.
4. Hutan yang didominasi oleh Bruguiera parviflora.
5. Hutan mangrove yang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza
Kondisi lingkungan ekosistem mangrove yang mengandung kadar garam cukup tinggi, miskin zat asam dan substrat tergenang air menyebabkan akar tanaman mangrove beradaptasi agar mampu melangsungkan kehidupan (Saparinto, 2007:9). Irwan (2010:112) menyatakan bahwa sejumlah tanaman mangrove mempunyai sistem perakaran yang khas, seperti jenis Rizopora yang mempunyai akar tunjang untuk mencegah biji tanaman lain tumbuh, jenis Bruguiera mempunyai akar lutut untuk memperluas bidang penyerapan oksigen oleh sistem perakaran, serta jenis Sonneratia dan Avicennia yang mempunyai akar napas (akar yang muncul tegak di permukaan tanah) (Gambar 2.4).
Hutan mangrove bagi pantai pesisir di Sumatera merupakan suatu daerah pinggiran yang berguna dan produktif, dan juga melindungi pesisir dari ombak dan perembesan air asin (Anwar dkk., 1984:99). Kawasan ini juga merupakan habitat berbagai hewan. Di sekitar perairan yang ditumbuhi mangrove terdapat berbagai jenis keong, udang, kepiting yang bersembunyi di balik rimbunan pohon dan di atas permukaan substrat. Mangrove melidungi hewan tersebut dari gangguan predator (Masdudin, 2009:13).
Fungsi ekosistem mangrove terbagi menjadi fungsi fisik, biologis, dan ekonomis menurut Saparinto (2007:26) sebagai berikut:
a. Fungsi Fisik
Gambar 2.4 Sistem Perakaran Tanaman Mangrove (a) Akar tunjang, (b) Akar lutut (c) Akar napas (Bell, 2013).
- Menahan sedimen secara periodik hingga terbentuk lahan baru. - Mengurangi tiupan angin kencang dari laut ke darat.
- Melindungi pantai dan tebing sungai dari proses erosi atau abrasi. - Menjaga garis pantai agar tetap stabil.
b. Fungsi Biologis
- Sebagai habitat alami berbagai jenis biota.
- Penghasil bahan pelapukan yang merupakan sumber makanan invertebrata kecil.
- Kawasan untuk berlindung, bersarang, dan berkembang biak bagi burung dan satwa lain.
- Sumber plasma nutfah dan sumber genetika. c. Fungsi Ekonomis
- Penghasil benih ikan, siput, kerang, dan kepiting
- Penghasil bahan baku industri, kosmetik, bahan bakar, tekstil, kayu, makanan, dan obat-obatan.
- Sebagai kawasan wisata, konservasi, dan penelitian
Pantai hutan mangrove dikuasai oleh jenis kepiting dan siput karena lebih mampu menyesuaikan diri dari perubahan lingkungan pada ekosistem mangrove yang mengalami periode pasang tertinggi dan surut terendah (Anwar dkk., 1984:127).
2.5 Faktor Lingkungan
Ekosistem mangrove di wilayah pesisir sangat tergantung pada faktor fisika, kimia lingkungan wilayah tersebut. Faktor abiotik yang dapat mempengaruhi kehidupan berbagai organisme penghuni kawasan mangrove antara lain:
2.5.1 Suhu Substrat
Suhu suatu daerah berperan penting dalam menunjukkan spesies pada saat tertentu. Setyawan dkk. (2002:18) menyatakan bahwa keanekaragaman spesies di suatu habitat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban. Menurut Heddy dkk. (1986:2), keberhasilan reproduksi beberapa hewan akan sangat berbeda pada tahun-tahun yang sangat panas atau sangat dingin. Menurut Suin (2003:10) suhu tanah merupakan faktor fisik yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, serta tingkat dekomposisi material organik tanah. Nybakken (1988) menyatakan bahwa suhu juga akan menyebabkan kenaikan metabolisme organisme, sehingga kebutuhan oksigen terlarut menjadi meningkat.
Keragaman suhu tanah dipengaruhi oleh kebasahan tanah, warna tanah, rimbunan tumbuhan dan jenis pemaparan dari lereng. Suhu tanah relatif tetap pada kedalaman di bawah permukaan (Michael, 1994:35). Suhu tanah juga sangat bergantung pada suhu udara dan fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh keadaan tanah, keadaan cuaca, dan topografi daerah (Suin, 2003:10). Kondisi di atas lumpur terbuka dan di bawah tutupan hutan sangat berbeda. Daratan lumpur yang tersinari matahari langsung pada saat pasang rendah
menjadi sangat panas, sedangkan di permukaan tanah di bawah tutupan hutan tetap sejuk karena terlindung dari sinar matahari (Setyawan dkk., 2002:18).
Menurut Notohadiprawiro (1998:125), selain faktor tanah itu sendiri, faktor-faktor lingkungan seperti arus air, evaporasi, transpirasi, suhu udara, penutupan kanopi vegetasi, dan intensitas sinar matahari yang terpapar langsung dapat mempengaruhi suhu substrat.
Suhu yang baik untuk pertumbuhan hewan makrobenthos berkisar antara 25 - 31°C (Clark, 1986 dalam Wijayanti, 2007:15). Suryanto dan Utojo (1993) dalam Tanjung (2012:5) juga menyatakan bahwa kisaran suhu optimum untuk mendukung aktifitas kehidupan Gastropoda berkisar antara 28-32°C.
2.5.3 Salinitas
Salinitas diartikan sebagai kegaraman atau kadar garam dalam air yaitu jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dalam promil (‰) atau gram per kilogram (ppt) (Nontji, 2005:59). Menurut Sukardjo (1984:106) salinitas harian, bulanan dan tahunan tanah sangat bervariasi dan bergantung pada frekuensi, tinggi dan lama genangan air pasang surut. Pada musim kemarau umumnya nilai salinitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai pada musim hujan.
Setyawan dkk. (2002:21) menyatakan bahwa derajat salinitas dapat dikelompokkan menjadi oligohalin dengan salinitas rendah (0,5-5 ppt), mesohalin dengan salinitas sedang (5-18 ppt), dan polihalin dengan salinitas tinggi (18-30 ppt). Air payau merupakan air pada derajat oligohalin hingga agak mesohalin. Salinitas
pada kawasan mangrove sangat bervariasi, berkisar 0,5- 30 ppt, karena adanya masukan air laut saat pasang dan air tawar dari sungai khususya saat musim hujan. Menurut Nontji (2005:59) air tawar memiliki salinitas 0-0,5 ppt, air payau 0,5-17 ppt, dan air laut lebih dari 17 ppt. Menurut Hutabarat dan Evans (1985) kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos seperti Gastropoda adalah 15 – 35 ppt.
Salinitas dipengaruhi oleh pasang surut, curah hujan, penguapan, presipitasi (pengendapan) dan topografi suatu daerah (Nybakken, 1988:294). Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme secara vertikal, maupun horizontal. Secara tidak langsung ini menyebabkan perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem (Odum, 1993).
Gastropoda mampu bergerak bebas (mobile) dan mempunyai toleransi yang cukup tinggi terhadap lingkungan yang ekstrim, seperti perubahan beberapa faktor lingkungan terutama salinitas dan suhu akibat adanya pasang surut air laut (Tis’in, 2008:52). Salinitas dapat mempengaruhi laju respirasi Gastropoda. Hughes (1986) dalam Tis’in (2008:64) menyatakan bahwa laju respirasi Gastropoda menurun pada salinitas rendah dan kebanyakan Gastropoda bersembunyi di dalam cangkang ketika salinitas rendah.
2.5.3 Derajat Keasaman (pH)
Heddy dkk. (1989:26) menyatakan bahwa derajat pH tanah selain berpengaruh terhadap tersedianya ion-ion Fe++, Mn++, PO4, dan ion lainnya juga berpengaruh terhadap aktifitas organisme tanah. Jika air menembus tanah dengan cepat, maka
ion-ion penting seperti Ca, K, dan Nitrat juga cepat hilang. Kehilangan Ca yang berlebihan cenderung menyebabkan pH tanah lebih asam.
Nilai pH < 7 bersifat asam, sedangkan nilai pH > 7 bersifat basa (Effendi, 2003:72). Darmadi (2012:355) menyatakan bahwa nilai pH pada kawasan mangrove berkisar 6,2 – 6,5. Menurut Pennak (1988) dalam Wijayanti (2007:15) pH yang mendukung kehidupan Gastropoda berkisar antara 5,7 – 8,4.
Bagian tubuh makhluk hidup dapat mempengaruhi keadaan pH tanah. Cangkang moluska dan karang lepas pantai menyebabkan air di ekosistem mangrove bersifat alkali, namun tanah mangrove bersifat netral hingga sedikit asam karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam. Aktivitas bakteri pereduksi belerang ditunjukkan oleh tanah gelap, asam dan berbau telur busuk (Setyawan dkk., 2002:17).
2.5.4 Jenis substrat
Beberapa organisme ada yang hidup lebih banyak di udara, ada yang selamanya di air, tetapi sebagian besar organisme tanah dan laut hidup lebih banyak bergerak di atas permukaan tanah atau substrat. Substrat merupakan komponen penting dari lingkungan fisik (Heddy dkk., 1986:23). Substrat yang berbeda-beda yaitu pasir, liat, lumpur menyebabkan perbedaan fauna dan struktur komunitas di ekosistem mangrove (Nybakken, 1988:212).
Perbedaan jenis substrat berkaitan dengan proses pencucian (flushing) air laut. Jenis substrat juga berkaitan dengan kandungan oksigen dan nutrien dalam sedimen. Pada substrat berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya
percampuran yang lebih intensif dengan air yang ada di atasnya, tetapi sebaliknya nutrien cenderung lebih rendah, sedangkan pada substrat yang lebih halus memiliki kandungan nutrien yang lebih besar namun oksigen cenderung lebih rendah (Tis’in, 2008:48).
Tanah hutan mangrove di Indonesia umumnya bertekstur liat, liat berlempung, liat berdebu dan lempung yang berupa lumpur yang tebal, dan yang terdapat di bagian tepi-tepi sungai, muara, parit dan hamparan lumpur. Tanah mangrove umumnya kaya akan bahan organik (Sukardjo, 1984:106). Hong dan Hoang (1993:10) menyatakan bahwa jenis substrat di sepanjang garis pantai biasanya liat dan lumpur. Tanah di kawasan mangrove dibentuk oleh alluvium dari sungai dan sedimen dari laut. Jenis substrat ini kaya nutrisi seperti mg, fosfor, kalium, sodium.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif. Pengamatan terhadap Gastropoda yang ditemukan di sekitar Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Tungkal 1 Kabupaten Tanjung Jabung Barat ini meliputi pengamatan kepadatan dan pola distribusinya. Pengambilan sampel yaitu dengan teknik purposive sampling. Purposive sampling ialah teknik sampling yang digunakan jika peneliti mempunyai pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya (Fachrul, 2007:13).
Lokasi pengambilan sampel dibagi menjadi 3 stasiun yang berbeda keadaan lingkungannya yaitu stasiun 1 (daerah tepi laut), stasiun 2 (daerah pertengahan), stasiun 3 (daerah lebih ke arah daratan). Masing-masing stasiun dibuat 2 garis transek sepanjang 60 m dengan jarak antar transek 10 m. Setiap transek terdiri dari 6 plot berukuran 1 m x 1 m dengan jarak antar plot 5 m.
Pengambilan sampel dilakukan pukul 10.00-12.00 WIB dan 14.00-16.00 WIB saat kondisi surut dan tidak hujan selama beberapa hari hingga selesai. Gastropoda yang ada di permukaan substrat maupun yang menempel di mangrove diambil langsung dengan tangan. Pada penelitian ini juga dilakukan pengambilan dan pengujian data lingkungan (suhu substrat, pH substrat, salinitas, dan jenis substrat).
3.2 Alat dan Bahan
Pembuatan transek dan kuadrat plot menggunakan patok (kayu), meteran dan tali rafia. Pengambilan sampel Gastropoda menggunakan kantong plastik untuk tempat sampel yang didapat, kotak sampel, kertas label, dan alat tulis. Pengukuran data lingkungan menggunakan thermometer, pH meter, dan salinometer. Pengambilan contoh substrat menggunakan pipa sepanjang 20 cm dan kantong plastik untuk tempat substrat. Untuk penanganan sampel menggunakan alkohol 70%. Identifikasi jenis menggunakan jurnal dan buku seperti Jutting (1956) dan Poutiers (1998). Dokumentasi berupa foto menggunakan kamera digital Sony 7,2 MP .
3.3 Prosedur Penelitian
Penelitian yang dilakukan terdiri atas tahap persiapan, pengumpulan data, penanganan sampel dan analisis data.
3.3.1 Tahap Persiapan
Peneliti melakukan survei awal secara langsung di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat untuk mengetahui keberadaan Gastropoda. Selanjutnya menentukan stasiun, membuat rancangan penelitian, studi literatur, dan penyediaan alat dan bahan.
3.3.2 Tahap Pengumpulan Data
Pengumpulan sampel dilakukan di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Tanjung Jabung Barat yang merupakan salah satu habitat Gastropoda yang kemudian dibuat menjadi 3 stasiun pengamatan (Lampiran 2). Karakteristik penentuan stasiun adalah
kondisi lingkungan yang berbeda, seperti keadaan vegetasi meliputi jenis-jenis yang dominan, serta aktivitas masyarakat di sekitar lokasi. Hal ini ditujukan agar mendapatkan data yang lebih bervariasi.
Setiap stasiun dibuat 2 garis transek sepanjang 60 m dengan jarak antar transek 10 m. Setiap transek terdiri dari 6 plot berukuran 1 m x 1 m dengan jarak antar plot 5 m (Gambar 3.1). Pengambilan sampel dilakukan 1 kali untuk tiap-tiap plot.
Pengambilan data lingkungan pada masing-masing stasiun dilakukan terlebih dahulu sebelum pengambilan sampel Gastropoda. Data lingkungan diambil langsung di lapangan meliputi suhu substrat dan pengambilan contoh substrat untuk menentukan salinitas, pH substrat dan jenis substrat. Pengukuran suhu substrat dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pukul 10.00, 13.00, dan 16.00 WIB dengan cara menancapkan termometer ke dalam substrat, ditunggu hingga stabil dan dicatat skalanya. Contoh substrat diambil menggunakan pipa sepanjang 20 cm yang dimasukkan ke dalam substrat, kemudian contoh substrat dimasukkan ke dalam plastik dan diberi label untuk masing-masing stasiun pengamatan.
Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel Gastropoda saat kondisi surut dan tidak hujan. Sampel diambil langsung dengan tangan untuk Gastropoda yang ada di permukaan susbtrat dan yang menempel pada tanaman mangrove. Sampel di setiap plot pada masing-masing stasiun dihitung jumlahnya dan dimasukkan ke dalam plastik, diberi identitas dengan kertas label, dicatat bentuk cangkang, serta keadaan awalnya.
A B B C D A C D
Gambar 3.1 Plot Pengambilan Sampel Keterangan: (A) Garis transek sepanjang 60 m
(B) Plot berukuran 1 m x 1 m (C) Jarak antar plot 5 m
(D) Jarak antar garis transek 10 m
3.3.3 Tahap Penanganan Sampel
Sampel yang telah didapat, dibersihkan, dan diawetkan satu persatu dengan menggunakan alkohol 70%, kemudian dimasukkan ke dalam kotak sampel. Sampel Gastropoda diidentifikasi menggunakan jurnal Karyanto dkk. (2014), Houbrick (1991), Jutting (1956) dan Poutiers (1998). Selanjutnya dihitung kepadatan dan ditentukan pola distribusi setiap jenis Gastropoda yang ditemukan apakah seragam, mengelompok, atau acak.
Salinitas dianalisis di Laboratorium Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Jambi dengan membawa contoh substrat dari masing-masing stasiun. Substrat dimasukkan ke dalam gelas ukur, kemudian diukur dengan menggunakan salinometer dan dilihat skalanya. Sedangkan pH substrat dan Jenis substrat dianalisis di Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi C
dengan membawa contoh substrat yang telah diambil dari masing-masing stasiun. Untuk mengukur pH substrat, masing-masing substrat dari setiap stasiun dikeringkan dan diambil sebanyak 10 gram, kemudian dimasukkan ke dalam botol kocok, dan dicampurkan dengan 25 ml air. Selanjutnya dikocok dengan mesin pengocok selama 30 menit, setelah itu diukur dengan pH meter.
Untuk menentukan jenis substrat terlebih dahulu dihitung persentasi pasir, debu, dan liat dengan metode pipet. Substrat dikeringkan dan diambil sebanyak 10 gram, dimasukkan ke dalam gelas ukur 800 ml, ditambahkan 50 ml H2O2 10% dan
kemudian dibiarkan semalam. Setelah itu, ditambah 25 ml H2O2 30% dipanaskan,
selanjutnya ditambahkan 180 ml aquades dan 20 ml HCl 2N. Didihkan di atas pemanas listrik selama 10 menit. Setelah itu, didinginkan kemudian diencerkan dengan aquades menjadi 700 ml, dicuci dengan aquades menggunakan penyaring Berkefield, kemudian ditambah 10 ml larutan peptisator Na4P2O7 4%. Untuk
pemisahan pasir, substrat yang telah diberi peptisator diayak dengan ayakan 50 mikron sambil dicuci dengan aquades. Filtrat ditampung dalam gelas silinder 500 ml untuk pemisahan debu dan liat. Butiran yang tertahan ayakan dipindahkan ke dalam pinggan aluminium, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (bobot pasir = A gram).
Pemisahan debu dan liat dilakukan dengan cara filtrat dalam gelas silinder diencerkan menjadi 500 ml, diaduk selama 1 menit dan dipipet sebanyak 20 ml ke dalam pinggan aluminium. Filtrat dikeringkan pada suhu 1050C, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat debu + liat + peptisator = B gram). Untuk pemisahan
liat diaduk lagi selama 1 menit lalu dibiarkan selama 3 jam 30 menit pada suhu kamar. Kemudian dipipet sebanyak 20 ml pada kedalaman 5,2 cm dari permukaan cairan dan dimasukkan ke dalam pinggan aluminium. Filtrat liat dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, didinginkan dalam eksikator dan ditimbang (berat liat + peptisator = C gram). Bobot peptisator pada pemipetan 20 ml adalah 0,00048 gram. Perhitungan persen pasir, debu, dan liat menggunakan rumus sebagai berikut:
Pasir = A gram Debu = 25 (B - C) gram Liat = 25 (C - 0,0048) gram Jumlah = A + 25 (B – 0,0048) gram % Pasir = ( ) X 100% % Debu = ( ) ( ) X 100% % Liat = ( ) ( ) X 100%
Penentuan jenis substrat dilakukan dengan cara mengelompokkan substrat dengan berbagai persentase perbandingan pasir, debu, dan liat dalam berbagai kelas tekstur tanah seperti yang digambarkan pada segitiga tekstur tanah atau segitiga Millar (Gambar 3.2).
3.3.4 Analisis Data
Analisis data Gastropoda dilakukan secara deskriptif kuantitatif dengan cara sebagai berikut :
a. Kepadatan
Kepadatan adalah jumlah individu per satuan luas. Kepadatan dihitung dengan menggunakan pendekatan menurut Brower dkk. (1990:81) dengan rumus:
Keterangan:
Ki = Kepadatan individu jenis ke-i (ind/m2) Ni = Jumlah individu jenis ke-I (ind)
A = Luas total area pengambilan sampel (m2) b. Kepadatan relatif
Keterangan:
KRi = Kepadatan relatif individu jenis ke-i Ni = Kepadatan individu jenis ke- i
∑N = Total kepadatan individu semua jenis c. Pola distribusi
Pola distribusi dihitung dengan menggunakan indeks Morisita (Brower dkk., 1990 dalam Siddik, 2001:23) :
( ) ( )
Keterangan:
= Indeks morisita
n = Jumlah satuan pengambilan contoh (jumlah kuadrat) N = Total jumlah individu
= Total dari kuadrat jumlah individu jenis i dalam kuadrat Kesimpulan :
< 1 : penyebaran jenis individu bersifat seragam/merata = 1 : penyebaran jenis individu bersifat acak
> 1 : penyebaran jenis individu bersifat mengelompok
3.4 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian telah dilakukan pada bulan Maret sampai April 2014. Lokasi penelitian terletak di sekitar TPI Desa Tungkal 1 Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Pemilihan lokasi penelitian dikarenakan kawasan ini dapat mewakili ekosistem mangrove dengan berbagai tipe vegetasi. Lokasi penelitian dibagi menjadi 3 stasiun penelitian. Pemilihan stasiun didasarkan pada perbedaan karakteristik dan kondisi lingkungan meliputi vegetasi dan aktifitas masyarakat.