• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sang Guru. Menelusuri Jejak Kaki. (Footprints of Gautama the Buddha) Marie Beuzeville Byles. oleh:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sang Guru. Menelusuri Jejak Kaki. (Footprints of Gautama the Buddha) Marie Beuzeville Byles. oleh:"

Copied!
245
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Menelusuri Jejak Kaki

Sang Guru

(Footprints of Gautama the Buddha)

oleh:

Marie Beuzeville Byles

Penerbit Pundarika

Perpustakaan Vihara Borobudur Medan 1995

Untuk Kalangan Sendiri dibagi cuma-cuma

(4)

Marie Beuzeville Byles, Footprints of Gautama the

Buddha.

Wheaton: Theosophical Publishing

House, 1972

Buku keempat Pustaka Pundarika, Maret 1995

Alih Bahasa

: Upi. Vimala Devi

Lim Chai Cu

Editor

: Lei Suang

Yoga Putra

Setting

: Ardy P. Kusuma

Muliana Wibawa

Layout & Cover

: Taruna

(5)

Tentang perjalanan suci Sang Buddha Gautama, yang bermula dari Benares dan berakhir di Kusinara; tentang berbagai kejadian yang terjadi sepanjang perjalanan-Nya tersebut; tentang siswa-siswa-Nya yang utama, seperti Ananda, Sariputta atau Moggallana; tentang umat awam yang terkemuka, seperti Anathapindika, Visakha atau Bhadda; atau tentang Devadatta juga Angulimala, mungkin bukanlah sesuatu yang baru bagi sebagian besar umat Buddha, bahkan boleh jadi sebagian orang sudah menganggapnya semacam legenda.

Namun Marie Beuzeville Byles memberi sesuatu yang baru dalam buku ini, dengan mempersilahkan Yasa, siswa keenam Sang Bhagava, menuturkan perjalanan panjang mereka bersama Sang Guru selama empat puluh lima tahun tersebut. Hal yang membuat buku ini berbeda dari buku-buku yang mengisahkan perjalanan suci Sang Buddha adalah mungkin tentang konflik-konflik batin yang terjadi pada orang-orang yang bertemu dengan beliau saat itu dan juga konflik-konflik batin yang dialami para siswa-Nya, seperti Yasa sendiri atau Ananda, yang terkadang sangat manusiawi dan menyentuh hati.

Hal lain yang menonjol dalam buku ini adalah kemampuan Marie menjalin bagian terpenting dari sejarah panjang kehidupan Sang Buddha tersebut dengan menggunakan bahasa sastra yang sederhana, tetapi menarik dan indah, dan kami berusaha semaksimal mungkin membuat kalimat-kalimat dalam buku ini tidak kalah indahnya dengan buku aslinya dengan tidak mengurangi isinya, paling tidak itulah alasannya mengapa kami memilih judul dengan memakai istilah 'Sang Guru' daripada 'Sang Buddha'. Sumber buku ini sendiri sebenarnya adalah dari kitab-kitab suci Agama Buddha sehingga walaupun sekilas tampak berupa 'cerita', namun sebenarnya dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya.

Dalam buku aslinya, si penulis jarang menggunakan istilah-istilah Pali, seperti nama-nama tempat ataupun istilah-istilah dalam Dhamma, kami mencoba membantu pembaca dengan menambahkan atau menggantinya dengan istilah Pali. Selain itu pada bagian Appendiks, isinya berbeda dari aslinya dengan pertimbangan bahwa Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru adalah untuk umat Buddha Indonesia sedangkan sasaran utama Footprints of Gautama The Buddha adalah orang-orang Barat yang sekarang memang sangat tertarik akan kebijaksanaan Timur.

Banyak yang dapat dipelajari dan diambil 'hikmah'nya dari kejadian-kejadian selama pengembaraan-Nya, sebagiannya adalah bagaimana cara Sang Pelita Dunia, dengan cinta kasih-Nya, membuka

(6)

wawasan mereka yang picik, menaklukkan mereka yang angkuh, melembutkan mereka yang kasar, menguatkan mereka yang lemah, atau menerangi mereka yang berada dalam kegelapan, yang mungkin pun sedang menyelimuti kita saat ini. Memang, Dhamma yang dibabarkan-Nya ribuan tahun yang lalu, aplikasinya tak pernah lekang oleh waktu.

(7)

Pengantar Editor... iii

Daftar Isi... v

Siswa-Siswa Pertama ... 1

Berdirinya Kerajaan Kebenaran... 6

Dua Siswa Utama ... 14

Kembali Pada Keluarga... 22

Kunjungan Kedua ke Rajagaha... 33

Bangsawan-Bangsawan Suku Sakya Menjadi Anggota Sangha ... 42

Savatthi dan Hutan Jeta... 51

Meditasi dan Ketenangan Bathin ... 56

Bhaddiya dan Anuruddha ... 63

Vesali dan Sangha Bhikkhuni ... 69

Dukkha: Kesunyataan Utama... 76

Keajaiban dan Penyembuhan ... 86

Sona dan Usaha yang Berlebihan ... 92

Siha dan Makanan Berdaging... 97

Asal Usul Tersusunnya Vinaya... 102

Kekuatan Gaib Sang Buddha... 110

Sang Buddha dan Umat Biasa ... 119

Perubahan Sang Perampok... 130

Devadatta... 138

Kematian dan Nirvana... 150

Saccaka Sang Pendebat ... 157

Kedamaian di Hutan Mangga ... 165

Tahun-Tahun Terakhir Kehidupan Sang Buddha ... 171

Wafatnya Sang Buddha ... 180

Epilog: Setelah Wafatnya Sang Buddha... 189

Appendiks-1: Persamuan Sangha... 200

(8)
(9)

Aku, Yasa adalah siswa keenam dari Sang Bhagava Buddha Gautama, yang terpanggil untuk mengikuti jejaknya, mengerti dan memahami ajaran-ajarannya. Aku adalah putra seorang bangsawan di Benares dan seperti Sang Bhagava, aku pernah hidup bergelimang kemewahan. Beberapa minggu sebelum saat yang kuceritakan ini, aku gelisah dan tidak dapat istirahat, seperti pada saat kita mendengar alunan nada yang samar-samar dari kejauhan, kita berusaha untuk menggapainya namun tidak mampu. Demikianlah yang terjadi padaku, sepertinya aku mendengar nada yang bukan berasal dari dunia ini, tetapi ketika kucoba untuk menjangkaunya, musik tersebut telah terbang dan hilang. Kini kutahu bahwa semua kesenangan-kesenangan duniawi yang ada di sekelilingku tidak akan lama memuaskan. Semuanya hampa dan tak berguna, bagaikan sawah tanpa ada yang mengairinya. Kemudian pada suatu malam aku terjaga, dan terus terjaga, akhirnya aku keluar menuju ruang depan di mana kelihatan dayang-dayang yang sedang tertidur nyenyak. Mereka yang seperti bunga-bunga cantik di siang hari kini terbaring kacau-balau di atas balai-balai dengan baju yang kusut dan kotor. Rasa duka yang teramat dalam menyelimutiku. Apa yang biasanya kelihatan sangat indah bisa menjadi sesuatu yang demikian menjijikkan. Aku tidak dapat beristirahat lebih lama, kupakai sandal sepuhanku dan keluar menembus gelapnya malam. Sesuatu yang tak kuketahui benar membawaku ke Taman Rusa di Isipatana. Saat aku berjalan di malam itu, aku merasa tidak pernah dapat beristirahat lagi. Apa arti kehidupan bagiku jika di balik semua kemegahan ternyata yang ada hanyalah kekotoran-kekotoran seperti yang melekat pada tubuh-tubuh itu? Tidak ada ketenangan! Tidak ada kedamaian! Rantai kesengsaraan yang tak putus-putusnya! Kubuang sandal sepuhanku dengan jijik. Tetapi kemudian tiba-tiba aku merasakan udara yang sejuk penuh damai menyelusup ke dalam sanubariku, seperti saat aku sedang kepanasan, aku menyelam dalam sebuah danau yang sejuk dan jernih. Aku mendengar sebuah suara lembut sebagai jawaban pikiran-pikiranku, "Nirvana penuh kedamaian, sejuk dan bebas dari penderitaan."

Seperti terjaga dari sebuah mimpi aku menemukan diriku sendiri duduk di samping seseorang yang tak pernah kukenal sebelumnya namun kelihatannya dia mengetahui seluruh kehidupanku bagaikan guruku.

Dia lebih tua dariku, tetapi seberapa tuanya tidak dapat kuperkirakan, kelihatannya dia sudah hidup dalam waktu yang lama

(10)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

namun terlihat masih muda. Aku tidak dapat mengingat apa yang telah dikatakannya. Bahkan barangkali di saat itu memang dia tidak pernah berbicara. Tetapi kesedihanku melesat keluar seperti kulit tua yang terkelupas dari seekor ular. Aku melihat jalan yang terbentang luas menuju kedamaian sejati. Kemudian kuperhatikan pakaianku yang penuh dengan permata-permata berkilauan di bawah cahaya bintang. Aku merasa malu, tapi setidak-tidaknya ada perasaan senang dan lega karena telah membuang sandal sepuhanku tadi. Sang Guru membaca pikiran-pikiranku dan berkata:

"Hiasan-hiasan dengan permata-permata itu tidak perlu menjadi beban perasaan. Seorang tidaklah dapat dipandang melalui pakaiannya melainkan dari dalam hatinya. Seseorang bisa saja mempunyai pakaian-pakaian seperti seorang pengemis dan tinggal di tempat-tempat yang sunyi, namun di dalam hatinya mungkin masih penuh dengan keinginan-keinginan dan pikiran-pikiran duniawi. Jika kamu melihat segala sesuatu dengan mata yang sama, tidak memilih antara permata-permata atau kain-kain buruk, maka walaupun kamu hidup di dunia ini, kamu telah terbebas dari semua ikatan-ikatan."

Banyak lagi yang dikatakan Sang Guru, dan ketika dia bangkit, kuikuti langkahnya seperti seekor anak sapi yang mengikuti ibunya. Pohon-pohon palem yang tinggi terbayangi oleh fajar yang berwarna jingga tua; tiga ekor bangau dari paya-paya berdiri dengan tenang di atas lumpur di tepi kolam sedang menanti mangsanya; dan di sekitarnya terbentang sawah-sawah yang terlihat bagaikan tambalan kain dari jubah orang yang kuikuti ini.

Beliau membimbingku menuju hutan mangga yang tidak jauh dari Taman Rusa, dan di sana aku bertemu dengan kelima siswa pertama, Kondanna, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji. Mereka semua jauh lebih tua dari aku yang baru berumur dua puluh tahun saat itu, tetapi tiba-tiba aku merasa telah menjadi bagian dari mereka, seolah-olah aku telah lama selalu berada dalam tali persaudaraan mereka. Kondanna adalah saudara yang tertua. Ia termasuk salah satu dari delapan Brahmana yang diundang raja Suddhodana pada hari kelahiran anaknya untuk meramal masa depan bayi tersebut. Dengan mata batinnya Kondanna dapat melihat bahwa anak tersebut akan menjadi Buddha. Dua puluh sembilan tahun kemudian, ketika dia mendengar bahwa pangeran Siddharta Gautama telah meninggalkan kehidupan duniawi, dia juga meninggalkan rumah, dan bergabung dengan Vappa dan tiga orang lainnya, mengikuti pangeran bertapa di dalam hutan untuk mencari penerangan dan kebenaran. Mereka berpikir bahwa penerangan dan kebenaran dapat ditemukan jika

(11)

mereka mengikat dan menyiksa diri mereka sendiri, hingga jiwanya dapat mencapai surga. Dalam waktu yang lama Sang Guru menjadi contoh bagi mereka, mengunguli mereka dalam berpuasa dan melakukan penyiksaan diri, dan mereka sangat menghormatinya. Ketika Sang Guru menjadi sadar bahwa cara yang ditempuhnya salah dan melepaskan diri dan kemudian hidup seperti manusia-manusia lain, mereka menjadi marah dan meninggalkannya. Kini mereka bercerita bagaimana kejadiannya hingga mereka menjadi siswa-siswa-Nya.

Ketika mereka saat itu melihat kedatangan Sang Guru, mereka telah bersepakat dan memutuskan bahwa Sang Gautama, telah mengambil makanan seperti manusia-manusia yang hidup di dunia; bukanlah kebiasaan yang ramah bagi seorang samana untuk mengulurkan tangan pada orang lain. Sejauh itu mereka tidak peduli akan kedatangan Sang Guru, mereka tidak membuat perjamuan sebagai tanda kehormatan. Mereka tidak menawarkan tempat duduk untuknya.

Tetapi ketika Sang Guru mendekat, ada kekuatan perasaan lembut dan kedamaian yang meliputi diri mereka. Sebelum mereka menyadari apa yang sedang mereka perbuat, seseorang telah bergerak mengambil jubahnya, yang lainnya menyediakan sebuah tempat duduk, dan seorang lagi mengambil air untuk mencuci kaki Sang Guru. Kemudian mereka semua duduk dengan sopan untuk mendengar sabda Sang Guru sebagai seorang guru yang mereka hormati. Tiba-tiba rasa kagum mereka terhenti; mereka ingat akan sumpah mereka untuk tidak menghormati Sang Guru. Dengan lemah, dengan hati yang berat mereka mulai berbicara seramah mungkin pada Sang Guru, mengungkapkan betapa kecewanya mereka terhadap Sang Guru, yang melanggar cita-cita mereka yang tinggi. Tetapi satu persatu protes mereka hilang berkat ketenangan dan wajah yang bersinar terang dari Sang Guru. Untuk sementara mereka berdiam diri dan Sang Guru berkata:

"Ada dua hal yang ekstrim. Pertama, adalah mereka yang memuaskan hawa nafsu mereka dan hidup mewah untuk kepuasan sendiri, orang-orang demikian bahkan tidak mengerti Syair-Syair Suci mereka; betapa sedikitnya mereka memahami jalan yang bebas dari penderitaan dan menuju pintu hidup yang abadi. Kedua, adalah mereka yang mengadakan penyiksaan diri dengan jalan mati kelaparan atau dengan cara lain. Orang-orang seperti itu tidak dapat berpikir tentang masalah-masalah duniawi, betapa sedikitnya mereka memahami kebijaksanaan surgawi! Seorang bhikkhu yang kurus kering

(12)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

adalah seperti seorang wanita yang berusaha menyalakan lampu dengan air sebagai pengganti minyak, atau seorang pria yang mencoba membuat api yang baik dari kayu rotan.

"Kedua hal tersebut bukanlah jalan menuju kebenaran. Tetapi ada Jalan Tengah, sebuah jalan yang terletak di antara kedua jalan tersebut. Pada satu sisi, kemewahan dan kepuasan disingkirkan. Hidup sederhana adalah hidup dengan tubuh yang sehat dan kuat, tidak lebih dari itu. Jalan Tengah adalah Jalan Kebenaran."

Mereka memberitahuku bahwa Sang Guru berbicara pada mereka dengan begitu bijaksana, sesuatu yang tidak pernah mereka dengar dari guru-guru lainnya. Hal yang juga tidak dipelajari Sang Guru dari orang lain, juga tidak didengar dari guru-guru lain atau dari Syair-Syair Suci. Sang Guru berkata dari apa yang diketahuinya berdasarkan pengalamannya sendiri. Sang Guru telah mencoba kedua jalan tersebut dan gagal. Kemudian dia mencoba jalan tengah dan berhasil. Tetapi ada sesuatu di samping pengalaman dalam apa yang telah dikatakannya, atau barangkali itu adalah cara beliau mengemukakannya. Ada suatu kelembutan dan pengertian yang sulit dilukiskan, juga suatu rasa di luar jangkauan waktu. Mereka mencoba menerangkan hasil-hasil yang mereka peroleh, tetapi tidak mampu. Semua yang mereka ketahui adalah bahwa keinginan jahat yang memenuhi hati mereka telah mencair dan mereka menjadi murid-murid Sang Guru. Mereka adalah lima orang pertama dari beribu-ribu orang lainnya yang mendengar Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama yang dapat merubah kehidupan dari pria-pria dan wanita-wanita yang mendengar dan mengikutinya, dan bagi siapa saja yang membuka jalan cinta kasih menuju kedamaian abadi; Nirvana.

Ketika aku tidak pulang ke rumah, ibuku sangat rindu dan menyuruh ayahku untuk melihat apa yang terjadi padaku. Ayah menemukan sandal sepuhan yang kubuang, kemudian dia mengikuti jejak-jejak kakiku sampai akhirnya datang menyaksikan aku sedang duduk dengan kelima siswa pertama yang sedang mendengarkan khotbah tentang pelepasan diri dari duniawi. Ketika aku memberitahukan padanya bahwa adalah niatku sendiri untuk meninggalkan rumah dan menjadi pengembara sebagai siswa Sang Guru, ayah tidak terkejut, sebab ayah melihat guru yang kuikuti telah menemukan kebenaran. Ayah memberitahu bahwa ibuku selalu menangis karena aku tidak mau kembali ke rumah, tetapi ayah tidak memaksaku untuk kembali. Sebaliknya, ayah menjamu Sang Guru dan kelima pertapa untuk makan di rumahnya.

(13)

Pada hari berikutnya, begitu ibuku melihat Sang Guru, mendung yang terukir di wajahnya menjadi lenyap dan ia tak lagi sedih melihatku. Juga istriku, gembira akan pilihanku untuk mengembara. Dalam keluarga kami, kami menghormati panggilan itu sebagai panggilan yang tertinggi. Adalah benar bahwa aku meninggalkan rumah lebih cepat dari biasanya, aku tidak sempat menegakkan sebuah rumah tangga, tetapi yang lainnya dapat menjalankan kewajiban-kewajibanku sebagai kepala rumah tangga, dan beberapa tahun kemudian istriku mengikuti jejakku dan bergabung dalam persaudaraan Bhikkhuni. Sesudah perjamuan, Sang Guru berkhotbah kepada seluruh keluarga tentang kebenaran, kemudian ibu dan ayahku beserta keluarga-keluarga lainnya menjadi pengikut awam pertama dari Sang Guru.

Sebagian karena keahlianku memainkan musik, aku menjadi pemimpin para remaja dari Banares. Ketika sahabat-sahabatku melihat aku memakai jubah kuning dan berkepala gundul, mereka sangat heran. Untuk mengetahui alasannya, mereka datang pada Sang Guru yang telah membawa perubahan dalam hidupku, dan setelah mendengar khotbah Sang Guru lenyaplah keheranan mereka, dan banyak di antara mereka yang mencukur rambutnya dan meninggalkan rumah. Sang Guru bercerita kepada kami, bahwa di saat beliau mencapai penerangan sempurna, Mara menggoda beliau untuk pergi saja mengucilkan diri ke hutan belantara sebagai seorang pertapa menikmati sendiri kebahagiaan yang telah dicapainya, karena tidak seorang pun yang akan mengerti kebenaran yang telah ia temukan. Tetapi Mara terbukti salah, karena dari sejak semula Sang Guru telah berhasil mengumpulkan siswa-siswanya, baik yang awam maupun yang telah ditabhiskan; yang mengerti akan ajaran-ajaran-Nya.

(14)

Berdirinya Kerajaan Kebenaran

Setelah sejumlah laki-laki ditabhiskan menjadi siswa dan bergabung dengan persaudaraan para bhikkhu, Sang Buddha mengumpulkan kami di Taman Rusa dekat Benares dan berkata:

"Sekarang pergilah mengembara sebagai guru-guru yang penuh belas kasih untuk dunia yang penuh penderitaan ini. Jangan ada dua orang menuju jalan yang sama. Sebarkan Dhamma di mana pun kamu berada, Dhamma yang agung pada permulaan, juga agung pada akhirnya, baik dalam hidup maupun dalam jiwa. Tunjukkan kehidupan yang baik, mulia dan bahagia. Ada sebagian orang yang matanya hanya tertutup sedikit debu, dan bila mereka mendengar Dhamma, mereka akan mengerti."

Sang Buddha selalu melihat dengan mata batin siapa-siapa yang matanya hanya tertutup sedikit debu, dan sejauh manapun Sang Buddha akan pergi memberikan khotbah Dhamma pada mereka. Kini Sang Buddha memberitahu kami bahwa pertama-tama beliau akan pergi ke Uruvela, dekat Gaya, tempat di mana Beliau mencapai penerangan sempurna, kemudian ke Rajagaha, di mana kami dapat bergabung dengannya bila musim dingin tiba, kami tahu bahwa beliau telah melihat dengan mata batin bahwa orang-orang di Uruvela dan Rajagaha telah siap sedia menerima Dhamma. Apa yang terjadi dengannya setelah beliau meninggalkan Benares, aku dengar kemudian dari yang lain, inilah yang aku dengar:

Ketika Sang Buddha tiba di Uruvela, Sang Buddha masuk ke sebuah hutan dan duduk di bawah sebuah pohon untuk meditasi. Ada sekelompok orang kaya beserta istri-istri mereka sedang menikmati liburan di hutan tersebut. Salah seorang dari mereka belum menikah, jadi kelompok tersebut mengundang seorang pelacur yang sangat cantik dan kalem. Ketika kelompok ini berjalan-jalan menikmati indahnya bunga lily di kolam dan cantiknya kibasan ekor burung merak, pelacur tersebut mengambil barang-barang milik mereka dan melarikan diri. Setelah mengetahui apa yang telah terjadi, mereka sangat marah, segera mereka berpencar ke berbagai penjuru mencoba menemukan pelacur tersebut dan barang-barang milik mereka. Mereka berkeliaran kian kemari sampai akhirnya tiba di tempat Sang Buddha bermeditasi, dan salah satu di antara mereka menghadap Sang Buddha dan berkata:

"Tuan yang terhormat, adakah Anda melihat seorang wanita yang melewati jalan ini?"

(15)

"Seorang wanita?" tanya Sang Buddha, bangun dari meditasinya. "Apa yang telah kamu lakukan dengan wanita tersebut hingga kamu mencarinya?"

Kemudian pemuda tersebut menjelaskan kenapa mereka mencari pelacur tersebut.

Sang Buddha berkata, "Sekarang apa yang menjadi pertimbanganmu? Mana yang lebih baik dan lebih menguntungkan bagimu, pergi mencari seorang wanita dan barang-barang milikmu, liburan yang telah dinikmati berjam-jam tadi yang telah menimbulkan kesusahan-kesusahan bagimu, atau pergi mencari Dirimu Yang Sejati, yang akan membawa kebahagiaan yang abadi?"

Pemuda yang pertama kali berbicara pada Sang Buddha ini, yang kemudian menjadi anggota Sangha, memberitahu aku bahwa jika yang berkata demikian adalah seorang pertapa biasa, mereka pasti akan menertawakannya, tetapi ada sesuatu pada diri Sang Buddha yang menyebabkan mereka sadar bahwa masih ada sesuatu yang lebih berharga daripada barang-barang milik mereka yang hilang.

Kemudian pemuda ini menjawab, "Tuan yang terhormat, yang lebih baik adalah mencari Diri Sejati kami."

"Tetapi apakah itu Diri Sejati itu?" tanya pemuda lainnya.

Kemudian Sang Buddha meminta mereka beserta istri-istri mereka untuk mengambil tempat duduk, dan Sang Buddha menerangkan bagaimana caranya memenuhi keinginan-keinginan yang merusak diri sendiri yang menyebabkan penderitaan, dan bahwa dalam menahan keinginan-keinginan dan menghilangkannya sama sekali, akan ditemukan diri yang sejati dan kebahagiaan yang sempurna.

Ketika Sang Buddha selesai berkhotbah, pemuda-pemuda tersebut beserta istri-istri mereka merasa bahagia dan kemudian hidup sesuai dengan pedoman yang diberikan Sang Buddha. Mereka masih muda, tetapi mata-mata mereka juga bisa tertutup oleh hanya sedikit debu.

Dari hutan Sang Buddha melanjutkan perjalanan menuju Gua Uruvela tempat orang-orang yang memuja api suci, yang dijaga oleh pertapa-pertapa yang menderita, yang menganut adat-istiadat lama dengan melakukan penyiksaan diri. Pemimpin mereka bernama Kassapa, dan berkat penembusan dosanya yang besar dia dihormati sebagai orang yang termulia oleh penduduk setempat.

Hari sudah malam ketika Sang Buddha mendekati Kassapa dan berkata, "Jika saudara tidak berkeberatan, saya akan menginap di gua, tempat pemujaan api suci."

(16)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

"Saudara tidak tahu apa yang saudara ucapkan; Dewa Api adalah seekor ular yang besar dan berbisa. Saya tidak ingin dia melukaimu. Bahkan saya, orang yang dianggap paling mulia, juga tidak berani mengembara di Gua Suci bila malam tiba."

"Saya jamin tidak akan terjadi apa-apa," mohon Sang Buddha. "Saya tidak suka perdebatan," jawab Kassapa. "Kematian Anda terletak pada keputusan Anda. Itu adalah permintaan Anda sendiri."

Sang Buddha mengucapkan terima kasih dan menuju gua, duduk bersila melakukan meditasi hingga jam dua tengah malam. Ketika Dewa Api menyemburkan segumpalan asap dan api, Sang Buddha membalasnya dengan menyemburkan api cinta kasih dan niat baik dan asap serta api semburan dari Dewa Api dapat dipadamkan. Kassapa, bangun dari tidurnya dan menyaksikan pancaran sinar api yang besar dalam Gua, bergumam sendiri, "Pancaran cinta kasih pendatang ini sungguh sangat indah, tetapi Dewa Api tetap akan melukainya."

Pada pagi harinya, Kassapa merasa heran melihat Sang Buddha tidak terluka, dan Sang Buddha yang dapat membaca pikirannya, berkata padanya, "Api yang disemburkan Dewa Api telah dipadamkan dengan pancaran sinar cinta kasih dan niat yang baik." Dan Sang Buddha memperlihatkan mangkuknya di mana tampak sang ular terbaring tidur dengan penuh kedamaian.

Kassapa semakin heran dan berkata sendiri, "Pendatang ini benar-benar memiliki kekuatan gaib, dan dia tidak kenal rasa takut, namun bagaimanapun dia tidak semulia saya."

Pada malam kedua, dengan tidak gentar sedikit pun Sang Buddha memasuki tempat suci dari Dewa Api dan untuk kedua kalinya kobaran api dari Dewa Api dipadamkan dengan kobaran cinta kasih dan niat baik Sang Buddha. Dan sebagai penghormatan Kassapa berkata, "Tinggallah di rumah saya dan saya akan menjamu Anda makan, seperti halnya orang-orang desa yang dermawan akan memberi makan pada seseorang yang mereka anggap mulia."

Sang Buddha setuju, dan malam-malam berikutnya dewa-dewa datang menyinari seluruh hutan dengan pancaran sinar yang sangat indah. Kassapa semakin terheran-heran, namun dalam hatinya ia tetap menganggap Sang Buddha tidak semulia dirinya.

Kemudian, pada suatu hari Kassapa mengadakan suatu upacara pengorbanan besar-besaran yang memang sudah menjadi kebiasaannya. Seluruh penduduk Anga dan Magadha datang dan membawa makanan yang berlimpah-limpah. Kini Kassapa takut kalau-kalau Sang Buddha menarik perhatian orang-orang dengan kekuatan magisnya dalam upacara tersebut dan dengan sendirinya semua

(17)

kehormatan akan tertuju pada Sang Buddha sehingga kehormatan padanya akan menjadi berkurang. Sang Buddha yang mengetahui pikirannya kemudian berkata:

"Saudaraku, besok jika waktu mengizinkan, saya akan membawa bekal makanan dan pergi ke tepi danau untuk bermeditasi seharian."

"Waktu yang tepat sekali," sambut Kassapa lega, dan ketika Sang Buddha berlalu, dia berguman pada dirinya sendiri, "Saudara ini adalah orang yang baik dengan pandangan yang tajam tetapi tentu saja dia tidak semulia saya."

Selama berhari-hari Sang Buddha mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rendah untuk melayani Kassapa. Sang Buddha membuat pemandian yang menyenangkan yakni sebuah kolam yang dialiri air sungai dengan sebuah batu yang diletakkan di tengah kolam hingga pembersihan kolam dapat dilakukan dengan mudah. Sang Buddha memetik sejumlah buah-buahan yang harum dan segar, membelah kayu bakar untuk api suci sebanyak lima ratus potong. Kassapa sangat senang dan berkata dalam hati, "Saudara ini benar-benar sangat baik dan bijaksana tetapi tentu saja dia tidak semulia saya."

Pada saat itu turun hujan lebat, sebagian tanah berpasir di hutan mangga tempat Sang Buddha bermeditasi digenangi air. Kassapa takut bahwa air yang kian menaik akan menenggelamkan tamunya. Dia, yang hingga saat itu, tidak pernah mengenal kelembutan dan perhatian kepada orang lain, tiba-tiba merasa hatinya berat saat berpikir bahwa orang yang semulia itu mati tenggelam. Kemudian buru-buru dia pergi ke desa untuk memperoleh perahu dan membawa Sang Buddha dengan selamat sampai di tempat yang kering. Dia sangat senang dengan kebaikan yang dapat diperbuatnya, walaupun dia masih menggumam dalam hati bahwa tamunya ini tidaklah semulia dirinya.

Sang Buddha, tahu bahwa sekarang hati Kassapa telah lembut dan dapat ditundukkan, berkata padanya, "Kassapa, kamu selalu berkata pada dirimu sendiri bahwa saya tidaklah semulia kamu. Tetapi dapatkah kamu dalam upacara kebenaran memberitahu saya bahwa kamu penuh penerangan dan tidak mengenal arti sebuah ketakutan?"

Kassapa terhenyak, seketika hatinya menjadi lunak berkat pancaran cinta kasih persahabatan Sang Buddha, dan dia bersujud sebelum berkata, "Tidak, Guru, saya tidak penuh penerangan, saya masih penuh ketakutan, saya tidak lebih mulia daripada Mu." Segera dia bangkit menuju Gua Suci, mengambil benda-benda untuk pemujaan dan membuangnya ke sungai, dan kembali bersujud di kaki Sang Buddha dan memohon Sang Buddha menunjukkan jalan di mana dia dapat bebas dari ketakutan dan menemukan kebijaksanaan.

(18)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

Pertapa-pertapa yang menderita, begitu melihat benda-benda pengorbanan yang dibuang ke dalam sungai, menjadi takut kalau terjadi malapetaka yang menimpa pemimpin mereka. Buru-buru mereka menuju Gua Suci, di mana mereka menyaksikan Kassapa sedang bersujud di bawah kaki Sang Buddha dan sedang mendengarkan ajarannya. Dan mereka pun juga duduk mendengarkan. "Hantu Api yang kalian takutkan," kata Sang Buddha, "adalah di dalam dirimu sendiri, Hantu Api dalam bentuk keinginan-keinginan, kesombongan dan kepentingan diri sendiri. Itu adalah api hawa nafsu yang menyala-nyala. Ketika perasaan menyentuh obyek perasaan dan pikiran menyentuh obyek pikiran, berarti api hawa nafsu dan keinginan dinyalakan. Telingamu mendengar doamu sendiri, dan kemudian pikiranmu hanya memikirkan kepentinganmu sendiri dan kamu takut akan kehilangannya. Kamu tidak menyadari bahwa diri ini bukanlah diri yang sebenarnya dan tidaklah abadi."

Pada saat itu juga Kassapa merasa lega dan memiliki pandangan benar, dan berkat sabda Sang Buddha, rasa damai menyelimutinya. Sang Buddha melanjutkan, "Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut, kamu akan jemu pada api-api yang dinyalakan oleh perasaan dan pikiranmu, dengan demikian api-api itu akan padam. Pengorbanan yang benar adalah pengorbanan keinginan, baranya adalah keinginan yang terkendali dan altar yang benar adalah altar kerendahan hati."

Setelah pertapa-pertapa menderita ini mendengar ajaran Sang Buddha, mereka memohon untuk ditahbiskan menjadi siswa, dan Sang Buddha menyetujui, mereka pun memotong rambut mereka masing-masing. Kemudian Sang Buddha bersama-sama mereka mengadakan perjalanan dari Uruvela menuju Rajagaha.

Alasan Sang Buddha untuk melanjutkan perjalanan ke Rajagaha adalah sebagai berikut:

Ketika Sang Buddha yang saat itu masih sebagai Pangeran Siddharta meninggalkan rumah untuk mencari kebenaran, Sang Buddha berkesempatan mengunjungi Rajagaha di mana Raja Bimbisara sedang merencanakan untuk mengadakan upacara pengorbanan secara besar-besaran dengan menyembelih binatang-binatang. Pangeran Siddharta memberikan khotbah pada raja beserta menteri-menterinya tentang kesatuan dari seluruh makhluk hidup, dan raja terenyuh oleh belas kasihan Sang Buddha dan kemudian membebaskan binatang-binatang tersebut. Raja menilai bertapa mulianya karakter pangeran muda ini dan dia menginginkan pangeran ini tinggal dan menjalankan roda kerajaan bersamanya. Tetapi Pangeran Siddharta menjawab:

(19)

"Yang Mulia, saya mencari kerajaan yang lebih besar dari kerajaanmu, yang lebih besar dari kerajaan-kerajaan yang ada di dunia ini. Saya mencari kerajaan yang tidak ada di dunia ini, yakni kerajaan kebenaran. Bila saya telah menemukan kerajaan itu saya akan kembali memberitahukanmu."

Raja sedih mendengar kata-kata itu, tapi dia sadar bahwa perkataan pangeran muda ini adalah benar dan dia sama sekali tidak ingin menghalangi tujuannya.

Kini Sang Buddha telah menemukan kerajaan kebenaran, untuk memenuhi janjinya, Sang Buddha berangkat menuju Rajagaha beserta Kassapa dari Uruvela dan pertapa-pertapa yang menderita.

Sang Buddha menginap dekat tempat suci Supatittha, kira-kira enam mil jauhnya dari kota Rajagaha, sebuah kota yang menyenangkan dengan dikelilingi bukit-bukit yang puncaknya didiami burung-burung nasar atau burung bering yang besar: bukit Gijjhakuta atau lereng burung bering. Ada penginapan untuk pertapa-pertapa yang mengembara yang di dirikan di pinggiran kota dan desa, dan saat itu tidak ada yang begitu memperhatikan kedatangan rombongan Sang Buddha kecuali hanya sekedar memberi penghormatan pada mereka. Tetapi ketika Raja Bimbisara mendengar bahwa Gautama, seorang pertapa dari suku Sakya telah tiba di Supatittha, ia segera mengunjunginya karena mengingat janji Pangeran Siddharta yang akan memberitahukannya bila telah menemukan kerajaan kebenaran, dan kini dia yakin bahwa Pangeran Siddharta telah menemukannya dan datang untuk memberitahukannya.

Sekarang, Raja dan rombongan besar yang terdiri dari negarawan-negarawan dan kepala-kepala rumah tangga mendekati Supatittha, mereka melihat Kassapa dari Uruvela duduk di samping Sang Buddha. Ada beberapa orang yang berpendapat bahwa pertapa ini, Gautama, pasti adalah siswa Kassapa yang dianggap sebagai orang yang paling suci. Tetapi yang lainnya; yang telah mendengar kesucian dari Sang Tathagata, berpendapat bahwa Kassapa lah yang seharusnya menjadi siswa Sang Buddha. Mereka masih memperdebatkan persoalan ini sampai pada acara memperkenalkan dirinya masing-masing.

Ketika mereka sudah mengambil tempat duduk, Sang Buddha memandang Kassapa sambil berkata, "Dalam rapat ini maukah kamu menerangkan pengetahuan apa yang kamu dapati hingga menyebabkan kamu meninggalkan penebusan dosa dan pemujaan api ini?"

"Pengorbanan dan penebusan dosa yang saya lakukan," jawab Kassapa, "Adalah berkenaan dengan benda-benda berwujud dan

(20)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

mencari pamrih dalam dunia ini atau dunia dewa, dunia-dunia penglihatan, suara dan pikiran. Imbalan-imbalan yang diberikan pada pengorbanan-pengorbanan dan penebusan dosa yang demikian, tidak akan jauh dari dunia kesombongan dan egoisme, yang terikat selamanya di atas roda penderitaan. Itulah sebabnya saya meninggalkan semua penebusan dosa dan pengorbanan api ini."

"Dan jika pikiranmu tidak terang dengan benda-benda ini, Kassapa, apa yang menyebabkan pikiranmu terang dalam dunia manusia dan dewa ?" tanya Sang Buddha.

Dan Kassapa kembali menjawab, "Saya telah melihat kedamaian yang abadi, Nirvana, hal ini dapat dicapai bila kepentingan diri sendiri dan semua pikiran-pikiran tentang 'aku' disingkirkan, dan tidaklah bijaksana terikat pada hawa nafsu atau benda-benda yang ada baik di dunia ini maupun dunia lain. Kedamaian ini tidak mengenal pembentukan atau perubahan, juga kematian. Lalu, untuk apa saya bertahan pada pengorbanan dan penebusan dosa ini baik di bumi maupun di surga, yang selamanya mengalami pembentukkan, berubah dan musnah?" Sambil berkata demikian Kassapa lalu bangkit dan bersujud di bawah telapak kaki Sang Buddha dan berkata, "Guru saya adalah satu-satunya orang yang termulia. Saya adalah siswanya."

Raja Bimbisara memberitahu aku betapa terkesannya orang-orang yang mendengarkannya, dan dengan sendirinya dia maju ke depan, bersujud memberi hormat pada Sang Buddha, dan rakyat pun tahu bahwa dia menghormati seseorang yang telah menemukan kebenaran. Sebelum Kassapa duduk kembali mereka kembali berbisik antara yang satu dengan lainnya, "Kassapa yang termulia dari Uruvela, telah dibimbing oleh pertapa Gautama. Pastilah Gautama telah menunjukkan padanya berkat termulia."

Kemudian Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma pada rombongan tersebut, tentang kebenaran-kebenaran yang telah dicapai Kassapa dan jalan untuk menemukan kerajaan kebenaran. Selesai Sang Buddha berkhotbah, Raja Bimbisara bersujud memberi hormat dan mengucapkan terima kasih pada Sang Buddha sambil berkata bahwa ketika dia masih muda, dia mempunyai lima keinginan yang kini semuanya telah tercapai. Yang pertama adalah bahwa dia ingin menjadi raja, kedua dia ingin seorang Buddha yang suci datang ke kerajaannya, ketiga dia ingin bersujud memberi penghormatan pada Buddha tersebut, keempat dia ingin Sang Buddha memberikan khotbah Dhamma padanya dan kelima dia dapat mengerti Dhamma tersebut.

(21)

Kemudian raja Bimbisara menjamu Sang Buddha beserta para pertapa. Selesai acara makan, raja mengambil kendi emas yang berisi air, dan menuangkan air tersebut ke tangan Sang Buddha sambil berkata, "Saya serahkan Hutan Bambu, Taman Veluvana di sebelah utara kota kepada Sang Buddha yang termulia sebagai tanda persaudaraan. Saya mohon ini diterima." Dan Sang Buddha menerimanya, dan taman ini merupakan taman pertama yang diberikan kepada persaudaraan Sangha. Seringkali Sang Buddha tinggal di Hutan Bambu tersebut, dan penduduk datang ke sana dengan masalah-masalah dan penderitaan mereka.

(22)

Dua Siswa Utama

Singkatnya, setelah Raja Bimbisara menghadiahkan Taman Veluvana kepada persaudaraan Sangha, banyak siswa-siswa Sang Buddha yang dikirim menyebar dari Benares mengadakan perjalanan menuju Rajagaha untuk bergabung dengan Sang Buddha.

Ada suatu dataran yang merupakan daerah yang mengelilingi tanah leluhurku dekat Benares, di mana terdapat tebing berpasir dekat sungai Gangga suci dengan sawah-sawah yang terbentang luas hingga ke taman rusa Isipatana. Kebanyakan penduduknya bekerja sebagai penambal kain. Tetapi ketika kami mendekati kota Gaya dari perjalanan kami menuju Rajagaha, tampak bukit-bukit terbentang di hadapan kami. Assaji menunjuk sesuatu dan berkata bahwa di dalam salah satu gua dari bukit-bukit ini Sang Buddha beserta kelima siswa pertama pernah mengadakan penyiksaan diri yang keras. Sebelumnya aku tidak pernah ke dataran yang setinggi ini, maka aku membujuk Assaji untuk bersama-sama memanjat melalui tanaman berduri untuk sampai di puncak. Ketika kami memandang ke bawah, tampak hamparan pasir yang luas yang merupakan dasar sungai yang berliku-liku yang mengelilingi hutan yang ditumbuhi pohon-pohon mangga. Di bagian yang lain, Assaji memberitahuku, bahwa ada satu dari dua puluh empat tempat dekat Gaya, yang dikhususkan sebagai tempat melakukan upacara bagi keselamatan leluhur. "Di bawah sebuah pohon Bodhi yang di sebelah sana," dia berkata sambil menunjuk ke seberang sungai, "Sang Buddha mencapai penerangan sempurna." Aku ingin menyeberangi pasir tandus untuk melihat pohon itu, tetapi Assaji mengingatkan aku bahwa obyek ini tidak termasuk tujuan perjalanan kami. Kemudian kami turun dan berjalan terus sejauh dua puluh mil, sampai kami melihat bukit-bukit indah yang mengelilingi kota Rajagaha dari segala penjuru yang tampak seperti perbentengan yang alamiah. Kami berjalan melalui sebuah terowongan menuju selatan. Kota Rajagaha lebih megah dan berseri daripada Benares. Pada seluruh bagian kota tampak para pedagang yang menjual periuk belanga, dan banyak yang belum pernah aku lihat sebelumnya seperti permata, sulaman-sulaman niha yang maha indah dan kulit-kulit pelana yang dikerjakan dengan corak yang sangat indah. Kami berjalan terus melalui kota menuju ke utara di mana terdapat sumber air panas; Taman Veluvana yang menyenangkan dengan bambu-bambu raksasanya yang tumbuh melingkupi danau kecil yang indah. Melalui lengkungan bambu-bambu ini, kami melihat lapangan-lapangan dan

(23)

tempat-tempat galian pembuatan batu bata yang diletakkan di bawah terik matahari untuk dikeringkan.

Pada saat itu, di Rajagaha ada seorang pertapa pengembara bernama Sanjaya yang mempunyai banyak siswa, termasuk Sariputta dan Moggallana. Kedua siswanya ini sangat serius dalam menyelidiki sesuatu yang terletak di luar jangkauan waktu dan ruang di dalam dunia ini, sehingga seringkali mereka membicarakan masalah ini. Suatu hari mereka memanjat puncak bukit di mana mereka dapat melihat kota dan dataran di sebelah utara. Mereka melihat penduduk berlalu lalang di sawah-sawah dan jalan-jalan, hingga di saat itu timbul dalam pemikiran mereka bahwa dalam seratus tahun, semua orang-orang ini akan dimangsa oleh kematian. Mereka sangat terharu bila memikirkan hal ini dan berjalan terus dalam kebisuan. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Jika ada prinsip umum tentang kematian dan kemusnahan ini, pasti ada juga prinsip yang berlawanan yakni kekekalan yang tidak mengalami kematian dan bisa menghindari kemusnahan." "Ya," jawab yang lainnya, "marilah dengan teguh kita selidiki rahasia dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai kehidupan abadi ini." "Dan, sampai sejauh ini," kata pembicara pertama, biarkanlah seseorang yang untuk pertama kalinya menemukan jalan ini, menceritakannya pada yang lain." Demikianlah janji yang dibuat antara mereka.

Pertama-tama mereka pergi menemui guru mereka, Sanjaya, tetapi Sanjaya telah mengajarkan mereka seluruh pengetahuannya dan dia tidak dapat menjabarkan pada mereka rahasia jalan yang harus ditempuh untuk menghindari kematian.

Kemudian pada suatu hari, ketika Sariputta keluar meminta sedekah, dia berjumpa dengan Assaji yang juga akan meminta sedekah. Assaji berjalan dengan kepala tertunduk menunjukkan kerendahan hati, wajahnya yang terang menandakan kedamain batinnya dan Sariputta yakin bahwa bhikkhu ini telah menemukan jalan yang dia dan Moggallana selidiki selama ini. Sariputta mengikutinya hingga dia kembali dari sedekahnya, dan menunggu dengan hormat hingga dia menghabiskan makanannya dan mencuci tangan. Setelah itu, Sariputta mendekatinya sambil berkata:

"Wajahmu sangat terang, sahabat, siapa Gurumu? Dan apa saja yang diajarkannya padamu?"

Wajah Assaji berseri-seri penuh cinta-kasih dan agung saat dia menjawab, "Sang Buddha Gautama, adalah guru saya. Tidak pernahkah kamu mendengar ketenaran Sang Buddha?"

(24)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

"Dia yang baru-baru ini datang di Rajagaha? Ajaran apa yang dia miliki? Ajaran apa yang diajarkannya padamu?"

Assaji tidak pernah dapat mengungkapkannya dengan kata-kata. Assaji mengerti semua yang diajarkan Sang Buddha, tetapi itu adalah pengalaman batin, yang tidak dapat diutarakan dengan kata-kata. Beberapa lama kemudian dia menjawab, "Saya hanya seorang siswa yang baru saja ditahbiskan. Saya tahu bahwa ajaran Sang Buddha adalah benar, tapi saya tidak dapat menerangkannya secara lengkap."

Sariputta menjadi lebih yakin bahwa guru Assaji dapat menerangkan padanya tentang kehidupan abadi, dan dia melanjutkan pertanyaannya.

"Dapatkah kamu menjelaskan kepada saya walaupun sedikit saja? Saya perlu isinya, kata-kata tidaklah menjadi masalah."

Assaji berpikir beberapa saat dan kemudian berkata, "Sang Buddha mengajarkan bahwa segala sesuatu yang memiliki awal juga memiliki akhir."

Itu bukanlah suatu jawaban yang akan diyakini orang-orang bijaksana yang mengembara di pinggiran desa, yang sedang mencari pedang-pedang tajam dengan siapa saja yang akan menentang mereka, tetapi Sariputta tidak termasuk salah seorang dari mereka. Dia terdiam beberapa saat dan melalui kekuatan batinnya dia memahami penjelasan Assaji, tiba-tiba cahaya terang membias di wajahnya seraya berkata, "Berarti seseorang yang dilahirkan suatu saat akan mengalami kematian?"

"Ya," jawab Assaji.

"Berarti semua makhluk hidup selalu mengalami kelahiran dan berakhir dengan kematian?"

"Ya," jawab Assaji.

"Dan di balik keberadaan dan ketidakberadaan, di balik kelahiran dan kematian berada kehidupan yang abadi?"

"Ya," jawab Assaji kembali.

"Akhir dari siklus kelahiran dan kematian," sambung Sariputra yang lebih ditujukan pada dirinya sendiri, "dan penemuan dari Keabadian—kelahiran dan kematian serta semua yang ada dan berhenti untuk menjadi ada—beriak pada kolam waktu—muncul untuk kemudian menjadi padam—dan di bawah kedalamannya, Keabadian! Sahabat, kamu telah menjelaskan pada saya rahasia hal-hal yang abadi, rahasia pembebasan dari penderitaan."

"Bukan aku!" protes Assaji, "tetapi Sang Buddha. Ikutilah saya dan saya akan membawamu untuk bertemu dengan beliau."

(25)

"Dengan segala senang hati," sambut Sariputta, "tetapi saya harus menemui sahabat saya dulu, Moggallana dan mengajaknya ikut serta. Kami berdua telah membuat perjanjian bahwa bila salah satu di antara kami telah melihat cahaya dari kehidupan abadi, akan segera memberi kabar pada yang lain."

Assaji memberitahu Sariputta di mana Sang Buddha berada, Sariputta segera mencari Moggallana dan menceritakan pertemuannya dengan Assaji, Moggallana berteriak kegirangan,"Mari kita berangkat kawan, dan bergabung dengan Sang Gautama yang mulia, mungkin dia bersedia menjadi guru kita."

Tetapi Sariputta menjawab, "Kita harus mempertimbangkan kawan, bahwa masih banyak teman-teman kita di kota ini sebagai pendeta pengembara yang mengikuti Sanjaya. Mari kita beri informasi dulu pada mereka tentang niat kita ini, mungkin mereka juga akan melakukan apa yang mereka rasa baik untuk dilakukan."

Moggallana setuju dan keduanya segera memberitahu pendeta-pendeta pengembara bahwa ada seorang guru yang akan mengajarkan rahasia dari kehidupan abadi. Mereka menyambutnya dengan gembira, kemudian pertapa-pertapa tersebut memutuskan bahwa mereka juga akan belajar pada Sang Buddha. Kemudian, kedua sahabat tersebut menemui Sanjaya dan memberitahu tentang niat mereka. Sanjaya meminta mereka untuk tidak meninggalkan dirinya dan membujuk mereka untuk tetap tinggal dan bergabung dengannya dalam mengambil bagian kepemimpinan di antara pendeta-pendeta pengembara tersebut. Tetapi mereka menolak dengan halus, dan meninggalkan dirinya diikuti seluruh pendeta pengembara tersebut. Melihat itu, tak lama kemudian kemarahan Sanjaya memuncak, wajahnya menjadi merah padam dan muntah darah.

Ketika Sang Buddha melihat kedatangan Sariputta dan Moggallana, Sang Buddha berkata pada kami, "Lihatkah kalian kedatangan kedua orang itu? Tandailah mereka. Mereka akan menjadi siswa-siswaku yang hebat dan agung." Sebagaimana yang diucapkan Sang Buddha, mereka menjadi siswa yang kemampuannya melebihi yang lain di dalam Sangha kecuali jika dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri.

Sejak Sang Buddha tiba di Rajagaha, beliau telah diikuti oleh para pertapa yang menderita, pengikut Kassapa dari Uruvella dan para pertapa pengembara, pengikut Sanjaya, dan juga sejumlah besar bangsawan-bangsawan muda. Dan kini penduduk mulai bersungut-sungut dan dengan marah mengatakan bahwa Sang Buddha telah merebut siswa-siswa orang lain dan menyebabkan orang-orang

(26)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

meninggalkan kehidupan keluarga atau tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin keluarga. Ketika kami memberitahu Guru tentang hal ini, Sang Buddha berkata, "Keributan ini tidak akan bertahan lama. Jangan pikirkan hal itu. Sang Tathagata memimpin manusia-manusia dengan kekuatan kebenaran. Siapa yang tahan bersungut-sungut sepanjang hari pada kekuatan kebenaran?"

Kembali, apa yang dikatakan Sang Buddha menjadi kenyataan. Pada akhir hari ketujuh, orang-orang yang terlibat dalam kemarahan ini menjadi diam dan keributan-keributan pun padam.

Sekarang sebelum aku ceritakan tentang berdirinya kerajaan kebenaran secara lebih mendalam, izinkanlah aku menceritakan sesuatu tentang kedua siswa yang terkenal ini, yakni Sariputta dan Moggallana.

Sariputta mempunyai kebijaksanaan dan pengertian yang dalam, mempunyai mata batin yang melebihi setiap orang kecuali Sang Buddha. Dia dapat mengalahkan setiap orang dalam perdebatan jika dia mau, tetapi dia tidak suka terlibat dalam perdebatan yang tidak berguna, kecuali terhadap beberapa pertanyaan yang memang seharusnya dilayani, karena dia dan begitu juga Assaji mengetahui bahwa hal-hal yang mempunyai arti terdalam tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, melainkan hanya terungkap dengan pikiran. Seseorang dapat menemukan rahasia dari kehidupan abadi dengan memikirkan hal-hal yang fana dari semua benda-benda yang ada di dunia. Walaupun berpengetahuan luas, Sariputta tetap rendah hati dan wajahnya mirip seorang bayi yang tak berdosa. Dia mengagumi Sang Buddha seperti seorang anak kecil yang mengagumi pahlawan besar. Suatu ketika, di saat kami berada di Nalanda dan suaranya memecah kesunyian:

"Guru, dengan sepenuh hati saya katakan bahwa saya pikir pada saat ini, tidak pernah ada dan tidak akan pernah ada seseorang yang lebih mulia dan bijaksana daripada dirimu."

Dengan tersenyum Sang Buddha menjawab, "Betapa agung dan beraninya kata-katamu Sariputta. Apa yang kamu katakan ini benar-benar seperti raungan seekor singa. Tentu saja, karena kamu telah mengetahui mereka yang telah mencapai penerangan, semua yang suci dan bijaksana pada masa lampau dan telah kamu ketahui juga pikiran-pikiran mereka yang terdalam, sikap-sikap mereka, ajaran-ajaran mereka dan juga kebebasan yang telah mereka capai, bukan?"

"Bukan begitu, Guru," jawab Sariputta merendah.

Sang Buddha berkata dengan ironi yang halus, "Kalau demikian, tentu saja kamu telah mengetahui semua yang telah mencapai

(27)

penerangan, yang kelak di masa mendatang akan menjadi seorang suci dan bijaksana, terkenal, juga mengetahui apa yang akan ada dalam pikiran-pikiran mereka yang terdalam, sikap-sikap mereka, ajaran-ajaran mereka dan juga kebebasan yang akan mereka capai, bukan?"

"Bukan begitu, Guru," ulang Sariputta sekali lagi seraya tersenyum. "Tetapi setidak-tidaknya, Sariputta, kamu mengetahui pikiran-pikiran saya yang terdalam, sikap-sikap, ajaran-ajaran dan kebebasan yang telah saya capai, bukan?"

Kami semua tertawa ketika Sariputta kembali terpaksa secara jujur menjawab, tidak!

"Sariputta, berarti tidak ada pengetahuanmu mengenai penerangan, kesucian dan kebijaksanaan seseorang pada masa lalu, masa yang akan datang, atau pada masa kini. Jadi mengapa kata-katamu begitu agung dan berani? Mengapa kamu meraung seperti raungan seekor singa?"

"Guru," kata Sariputta, "Saya mengaku tidak mempunyai pengetahuan mengenai pikiran-pikiran seorang suci yang telah mencapai penerangan pada masa lalu, masa yang akan datang atau masa kini. Saya hanya mengetahui apa yang terkandung dalam Dhamma."

"Dan itu sudah cukup untuk diketahui," jawab Sang Buddha membenarkan.

"Tetapi aku juga tahu," kata Sariputta dengan berani, "Bahwa pintu gerbang untuk memasuki kota Dhamma adalah sukar untuk ditemukan, bahwa mereka yang telah mencapai penerangan, suci dan bijaksana masa lalu telah menemukannya dan begitu juga yang akan datang akan menemukannya dan saya juga tahu," dengan suara keras dia berseru, "Bahwa Sang Buddha Gautama juga telah menemukannya!"

Kami tertawa dan Sang Buddha tersenyum gembira di saat gurauan ini kembali tertuju padanya. Sesudah wafatnya Sang Buddha, orang-orang yang tidak mengenalnya kadang menyatakan bahwa Sang Buddha senantiasa dihormati sehingga terkesan mengambil jarak dan jauh dari siswanya. Orang-orang yang menyatakan demikian tidak pernah menyaksikan dekatnya Sang Buddha dengan siswa-siswanya seperti saat ini. Adalah benar, terhadap yang tertawa keras dan tak terkontrol Sang Buddha berkata, "Adalah cukup menunjukkan kegembiraan dengan senyuman." Tetapi tidak ada kekakuan dalam sikap-Nya dan beliau merasa senang dengan Sariputta yang dapat membalikkan kata-kata beliau dalam senda gurau yang menyenangkan.

(28)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

Kerendahan hati Sariputta terlihat dalam kesempatan ini, juga terlihat ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan Punna, yang merupakan seorang budak sebelum bergabung dengan Sangha. Setelah mendengar Sang Buddha berkata bahwa Punna telah mencapai kehidupan tertinggi, Sariputta sebagai seorang brahmin mengikuti budak ini masuk ke dalam hutan, dengan sabar menunggu hingga Punna selesai bermeditasi, kemudian baru memberikan pertanyaan-pertanyaannya. Sariputta tertarik dan menunjukkan kekagumannya pada pelajaran-pelajaran yang diterangkan oleh Punna.

"Dan siapa namamu, tuan yang mulia?" tanya Punna.

Ketika Sariputta memberitahu Punna siapa dirinya, Punna berkata, "Ternyata saya telah berbicara dengan Sariputta tanpa tahu bahwa ia adalah Sariputta, siswa yang agung. Bila saya tahu dia adalah Sariputta, saya tentu tidak memberanikan diri untuk menerangkan pelajaran-pelajaran. Namun bagaimanapun, adalah kesempatan yang berharga buat saya karena dapat berbicara dengan Sariputta, yang patut diteladani kerendahan hatinya."

Sungguh, kerendahan hati Sariputta membuatnya mudah didekati, hal ini jarang didapati dari orang-orang yang berpengetahuan luas. Aku tidak ragu-ragu menceritakan masalah-masalahku dan meminta nasehatnya, dan dia selalu diikuti oleh orang-orang yang baru mulai belajar, bahkan sebelum dia dipilih untuk menjadi guru mereka.

Sahabat Sariputta, Moggallana, sangat berbeda dengannya. Dia mempunyai mata batin, penglihatan kedua yang dapat mengetahui isi hati seseorang, mengetahui sesuatu yang jauh, mengunjungi alam surga dan dewa-dewa, dan aku merasa agak takut dengan kekuatan supranormalnya. Bila dia mulai tersenyum aneh berarti dari jauh dia telah melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain; aku akan menggigil bila dia menceritakan pada kami tentang penglihatannya, seperti misalnya sebuah kerangka berjalan di udara sementara burung gagak dan elang mematukinya dan ia berteriak kesakitan. Dan aku tidak merasa gembira sedikit pun ketika dari penglihatannya dia menjelaskan seorang penjual daging lembu yang menderita karena makhluk-makhluk bisu yang telah dibunuhnya itu. Kadang-kadang Moggallana digoda oleh Mara yang mengetahui minatnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan alam gaib, dan sekali Sang Buddha pernah menegurnya secara tak langsung dengan menyuruh kami untuk ulet melatih meditasi dalam keheningan Arya. Mereka yang berpenglihatan kedua sering melupakan bahwa berhubungan dengan malaikat dan para dewa yang kehidupannya juga sementara seperti kita bukanlah tujuan yang sebenarnya, yakni Nirvana dan Keabadian.

(29)

Nirvana hanya dapat dicapai melalui kekosongan pikiran dari segala aspek keinginan. Kemampuan Moggallana terletak pada kekuatan penglihatan supranormalnya, tetapi dia tidak membiarkan penglihatannya menjadi gelap dari tujuan untuk mencapai Nirvana. Sering juga kekuatan-kekuatan ini besar faedahnya, seperti ketika dia menemukan ketidaksucian seseorang dalam suatu pertemuan walaupun orang tersebut telah mengenakan jubah kuning, dan dia akan membimbingnya keluar. Kadang-kadang aku merasa takut, bahwa kekaguman atas kekuatan-kekuatan Moggallana yang supranormal lah yang menarik pemuda-pemuda untuk bergabung dalam Sangha, tetapi mungkin aku salah menimbang mengingat sinar wajahnya yang agung. Moggallana bukanlah seorang pemimpin seperti Sariputta dan karenanya beliau lebih sedikit diceritakan. Selanjutnya akan aku ceritakan terlebih jauh mengenai mereka seperti yang telah aku ceritakan sebelumnya.

(30)

Kembali Pada Keluarga

Suddhodana, ayahanda Sang Buddha, adalah raja Suku Sakya yang beribukota Kapilavatthu, beliau merasa sangat sedih ketika Pangeran Siddharta meninggalkan istana, istri dan anaknya yang masih kecil untuk pergi ke hutan dan hidup sebagai seorang pertapa; untuk mencari sesuatu yang tidak diketahui oleh raja. Suddhodana sangat sakit hatinya mendengar kabar tentang penyiksaan diri yang keras yang dilakukan putranya. Suatu hari dia mengirim seorang pengawal untuk membujuk putranya kembali dan meninggalkan perbuatan bodohnya, tetapi putranya dengan tegas menolak, terpaksa pengawalnya kembali sendirian. Beberapa tahun kemudian terdengar kabar bahwa putranya mulai menyebarkan Dhamma dan memiliki banyak pengikut. Kemudian dia mendengar bahwa putranya sedang berada di Rajagaha, ibukota kerajaan Magadha. Walaupun sangat berjauhan dari Kapilavatthu yang dipisahkan oleh sungai Gangga, rasa rindu yang besar menyelimuti dirinya untuk melihat putranya sebelum dia meninggal, kemudian dia panggil seorang menteri kepercayaannya sambil berkata, "Pergilah ke kota Rajagaha dengan beberapa pengawalmu. Beritahu putraku tentang keadaanku dalam tahun-tahun belakangan ini, dan aku sangat ingin melihatnya sebelum meninggal dunia. Mohon padanya untuk kembali ke Kapilavatthu bersamamu."

Sesuai dengan perintah, menteri tersebut mengadakan perjalanan menuju Hutan Bambu di luar Rajagaha di mana banyak orang sedang mendengarkan ajaran-ajaran Sang Buddha. Untuk tidak mengganggu para pendengar, menteri tersebut berada di luar kerumunan orang dan turut mendengarkan. Segera saja dia lupa pada tujuannya begitu mendengar kata-kata kebenaran yang disabdakan Sang Buddha. Sang Buddha berbicara tidak seperti orang mulia atau brahmin lainnya. Ia bersabda dengan pernyataan yang jelas, dengan kekuatan yang tak dapat dijelaskan. Kedamaian dan kebahagiaan menyelimuti hati orang-orang yang mendengarnya, dan dunia beserta kekayaan menjadi benda-benda yang tidak berharga. Menteri tersebut lupa akan pesan Suddhodana, dan ketika Sang Buddha selesai berkhotbah, dia berjalan menyeruak kerumunan tersebut dan memohon pada Sang Buddha untuk menerimanya sebagai siswa.

Ketika menteri tersebut tidak kembali, Suddhodana mengirim menteri yang lain, tetapi menteri ini juga tidak pernah kembali. Kemudian Suddhodana mengirim Kaludayin yang hari kelahirannya sama dengan putranya yang juga merupakan sahabatnya. Raja

(31)

tidak kembali, dan mohon padanya untuk kembali memberi kabar walaupun kabar tersebut menyatakan bahwa putranya tidak akan pernah mau kembali.

Kaludayin berjanji akan memberi kabar walaupun mungkin dia juga akan bergabung dengan Sangha. Kaludayin kemudian memang tertarik pada ajaran tersebut, tetapi dia masih tetap ingat pesan Suddhodana dan merasa kasihan padanya sebagai seorang ayah yang telah lanjut usia. Beberapa hari kemudian, dia mendekati Sang Buddha untuk menyampaikan pesan ini.

Kini telah dua bulan lamanya Sang Buddha berada di Rajagaha, sejak lima bulan lalu meninggalkan Taman Rusa dekat Benares, di mana dia memberikan khotbah dhamma pada kelima siswanya yang pertama. Kaludayin menghadap Sang Buddha sambil berkata:

"Musim dingin hampir berlalu. Musim panas mulai tiba. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengadakan perjalanan melalui pinggiran desa. Alam hijau yang segar, pohon-pohon di hutan dihiasi bunga-bunga, jalan-jalan dipenuhi oleh wewangian bunga-bunga yang bermekaran, burung merak dengan bangga mengembangkan ekornya, burung-burung mengisi udara dengan nyanyiannya."

"Untuk apa kamu memberikan gambaran yang indah tentang desa di musim semi?" tanya Sang Buddha.

"Ayahandamu, Guru, sangat rindu untuk melihat Guru sebelum beliau mangkat, dan seluruh keluarga akan senang bila Guru berada di tengah-tengah mereka dan memberikan khotbah dhamma."

"Baiklah kalau begitu." jawab Sang Buddha.

Buru-buru Kaludayin kembali untuk menyampaikan berita baik ini pada Suddhodana. Bagi kami, memerlukan waktu enam puluh hari untuk mengadakan perjalanan dari Rajagaha di sebelah selatan ke Kapilavatthu yang terletak di kaki Gunung Himalaya.

Aku akan selalu mengingat perjalanan dengan Sang Buddha dari Rajagaha menuju kota kelahirannya. Hari-hari itu adalah hari-hari yang paling menyenangkan yang pernah kualami dan lebih menyenangkan lagi bila aku mengingat dan membandingkan tahun-tahun panjang yang berlalu dengan menjemukan, yang pernah kulalui dengan perasaan dan pikiran yang buntu. Hampir pada setiap desa Sang Buddha menginap sementara di bawah naungan hutan-hutan mangga yang dingin, dan penduduk desa selalu datang mengelilinginya. Mereka berkumpul di alam terbuka, dan Hutan Mangga ini menjadi tempat yang suci. Desa-desa tampak seindah yang dilukiskan oleh Kaludayin, dan di mana saja Sang Buddha lewat di dalam perjalanannya, penduduk desa dengan bahagia berbicara padanya sambil menyalakan

(32)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

dupa wangi yang aromanya bagaikan wanginya bunga-bunga pagar hidup. Terkadang petani yang dibebani dengan pekerjaan berat dan kemiskinan, datang berbicara dengan Sang Buddha dan setelah itu kekhawatiran dan kelelahan segera lenyap dari wajah-wajah mereka, dan mereka menemukan bahwa hal-hal yang mereka cemaskan tidaklah seharusnya menjadi beban pikiran, dan bahwa sebenarnya ada jalan pemecahan dari kesulitan-kesulitan mereka yang tidak mereka ketahui. Adalah menyenangkan melihat kecemasan yang lenyap dari wajah mereka begitu bertemu dengan Sang Buddha. Tetapi kebahagiaan yang terbesar dari semuanya adalah di saat berada di dekat Sang Buddha.

Tibalah kami di sungai Gangga. Perahu-perahu yang biasanya digunakan untuk menyeberangkan orang telah hanyut oleh badai yang beberapa waktu yang lalu datang dengan tiba-tiba, tetapi orang-orang tersebut segera membuat rakit. Mereka menebang pohon-pohon dan ketika kami tiba mereka sedang mengikat kayu-kayu tersebut dan menutupnya dengan daun-daun dan rerumputan. Segera kami naik ke atas rakit dan menyeberangi sungai. Orang-orang tersebut mendayung dengan tangan dan kaki mereka dan memakan waktu yang lama untuk menyeberangi sungai yang luas itu. Ketika kami sampai di seberang sungai, perakit-perakit itu segera menarik rakitnya keluar dari air, meninggalkannya di tepi sungai dan melanjutkan perjalanannya.

Setelah menyeberangi sungai, kami berkesempatan bertemu dengan seorang pertapa pengembara. Salah seorang siswa baru dari persaudaraan kami memulai pembicaraan dengannya, dan dari pembicaraan mereka timbul perdebatan, siswa baru tersebut dengan keras mempertahankan ajaran Dhamma yang diberikan Sang Buddha padanya dan tidak menyakini yang lainnya hingga dia kehilangan ketenangannya, akhirnya kami lega ketika pertapa pengembara itu berbalik menuju jalan kecil yang lain dan berlalu. Kedamaian pada sore hari itu menjadi lenyap akibat perdebatan mereka.

Pada malam hari ketika kami mengelilingi Sang Buddha untuk mendengar Dhamma, Sang Buddha bercerita dan mengambil rakit sebagai perumpamaan.

"Mungkin orang yang membuat rakit dalam usahanya mencapai pantai seberang berkata, 'Rakit ini sangat bermanfaat bagi saya. Duduk di atas rakit dan mendayung dengan kaki dan tangan, saya telah menyeberangi sungai. Sekarang saya harus menyimpannya, mengangkutnya di atas bahuku dan membawanya bersamaku.' Apa pendapat kalian tentang orang yang seperti ini?"

(33)

Sebagai jawabannya kami tertawa dan Sang Buddha melanjutkan, "Demikianlah saudara-saudara, Dhamma yang saya ajarkan ini. Inilah alat untukmu untuk menyeberang menuju pantai yang terjauh yakni Nirvana, alat yang membawamu menemukan kedamaian batin. Jangan terikat padanya. Bila telah kamu gunakan alat itu untuk menyeberang menuju pantai terjauh ini, tinggalkanlah dia di belakang. Jika kamu menghargainya dengan berlebihan, ia akan menjadi beban yang menghancurkan, sama halnya dengan rakit yang akan menjadi beban bagi perakit yang membawanya serta dengan meletakkannya di atas kepalanya." "Berarti kita tidak boleh meyakinkan orang lain tentang Dhamma, Guru?" tanya siswa baru tersebut.

"Dhamma bukanlah ajaran yang mesti diperdebatkan," jawab Sang Buddha. "Dhamma adalah jalan kehidupan yang bebas dari kepalsuan dan penderitaan; menuju pencapaian kedamaian batin dan ketenangan. Seseorang yang telah mencapai kebebasan dan ketenangan batin tidak mempunyai teori untuk menentang teori-teori lain, tidak ada ide-ide untuk menentang ide-ide lain. Dia menyadari semua kesatuan benda-benda di dunia ini. Dia telah meninggalkan rakitnya di belakang."

Kini sungai Gangga telah hilang dari pandangan dan perjalanan kami lanjutkan menuju arah utara melalui Vesali, ibukota persekutuan Suku-suku Vajji dan merupakan pulau milik bangsawan Licchavi.

Kami tidak lama berada di sana, kemudian kami menuju arah barat laut melewati Devadha, pusat kota suku Koliya, suku ibunda Sang Buddha. Di sini untuk pertama kalinya kami menikmati keagungan Pegunungan Himalaya. Aku tidak pernah mengadakan perjalanan ke utara sejauh ini sebelumnya dan belum pernah melihat gunung-gunung yang penuh dengan salju abadi. Kegembiraan yang besar mengalir dalam relung-relung hatiku menikmati pemandangan ini. Begitu murni dan sempurna—benar-benar di luar jangkauanku, semurni dan sesempurna Nirvana—apakah hal ini berarti Nirvana juga di luar jang-kauanku? Untuk pertama kalinya keraguan ini menyelimuti pikiranku. Keraguan yang kian mendalam.

Kini kami melewati Taman Lumbini yang indah, tempat di mana Sang Buddha dilahirkan, kelahiran yang tiba sebelum ibunya mencapai kota kelahirannya, Devadha. Ada sebuah kolam bening di dekat pohon Bodhi suci. Tidak seberapa jauh tampak sekawanan lembu putih yang sedang makan rumput di padang, juga salju-salju putih Pegunungan Himalaya tampak jernih berkilauan ditimpa sinar mentari bulan April yang masih bebas dari debu musim panas yang segera akan menutupinya. Akhirnya kami sampai di Kapilavatthu, sebuah kota yang

(34)

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

dibentengi oleh tembok yang kokoh, dengan Sungai Rohini yang mengalir di sisinya melalui sebuah taman yang indah tempat di mana Sang Buddha bermain ketika masih remaja.

Pada saat kami tiba di kota itu, sebuah kota yang jauh lebih kecil dari Rajagaha, ada laporan pada seorang raja pengemis berjubah kuning yang tidak lain adalah Pangeran Siddharta, telah memasuki kota dengan murid-muridnya yang masing-masing memegang sebuah mangkuk di antara orang-orang miskin yang tinggal di gubuk-gubuk bambu. Suddhodana menyadari kehidupan yang telah dipilih oleh Sang Buddha, yakni meminta sedekah untuk secuil makanan, tetapi bagaimanapun perasaannya tersinggung melihat putranya sedang mengemis di wilayah kerajaanya sendiri. Kemudian Kaludayin memberitahu aku bahwa raja pernah berkeinginan untuk tidak mau mengakui Sang Buddha sebagai putranya, tetapi kekuatan cinta terlalu besar. Akhirnya dia berkeputusan menemui putranya. Ketika mereka bertemu, kemarahannya menyala kembali.

"Apakah perlu untuk mengemis makanan dari satu rumah ke rumah lainnya? Tidak adakah cara lain yang lebih pantas untuk memenuhi kebutuhanmu?"

Sang Buddha menjawab lembut, "Ayah yang mulia, adalah layak bagi penemu kebenaran untuk menerima makanan yang diberikan padanya."

Kemarahan raja agak sedikit mereda berkat kelembutan Sang Buddha, tapi dengan masih berang dia melanjutkan, "Bukankah kita tidak digariskan untuk hidup demikian sebagai pangeran Suku Sakya? Apakah pernah ada seseorang penerus marga kita yang melakukan perbuatan yang kurang terhormat ini?"

"Baiklah, ayahku yang mulia," jawab Sang Buddha lebih lembut, "Tetapi saya juga digariskan sebagai bangsawan penemu kebenaran, dan jalan kehidupan dari penemu kebenaran adalah menerima makanan yang tersisa walaupun bagai seorang pengemis.

Kemarahan raja luluh dan dia berkata, "Baiklah anakku, jika ini pendirianmu, biarkanlah saya memberimu makanan seperti yang lainnya."

"Dengan senang hati, ayah yang mulia. Besok saya dan saudara-saudara saya akan datang ke rumah Ayah," Suddhodana sudah puas dengan pertemuan yang sesaat ini, dan kemudian mereka berpisah.

Pada hari selanjutnya seluruh keluarga raja berhias diri dan mengenakan pakaian yang berkilau-kilauan dalam upacara menyambut bekas pangeran mereka dan menyiapkan makanan. Selesai acara makan raja duduk di samping putranya, tetapi tidak

(35)

meminta putranya untuk memberikan khotbah sebagai balasan seperti yang dilakukan oleh orang lain ketika menjamu Sang Buddha. Dia cuma duduk memandangi Sang Buddha. Sebelumnya aku tidak pernah memperhatikan betapa banyaknya kerutan di keningnya. Untuk sementara waktu aku terpana bahwa tidak ada penyesalan sedikit pun pada Sang Buddha, tetapi keterpanaanku segera lenyap ketika aku merasakan belas kasihan Sang Buddha melihat kerutan di kening ayahnya. Perlahan-lahan keheningan menyelimuti orang-orang yang ada. Kelihatannya kebahagiaan yang tidak didapatkan dari dunia ini menyelinap dalam diri mereka masing-masing. Aku dapat merasakan bahwa kepicikan dan kesulitan-kesulitan mereka menjadi lenyap. Hal ini tidak akan berlangsung lama. Di lain hari mungkin mereka dapat memecahkan persoalan-persoalan mereka, tetapi sekarang biarkanlah mereka menikmati sejenak ketenangan dan kegembiraan yang tidak didapatkan di dunia ini. Tak lama kemudian suara raja memecah keheningan ini. Ini bukanlah kata-kata yang telah dipersiapkan sebelumnya; kesombongan dan kebenciannya telah lenyap. Hanya saja masih tersirat duka dalam suaranya yang memelas.

"Oh, anakku, betapa teganya dirimu membiarkan semua ini? Betapa teganya kamu meninggalkan saya sendirian untuk menanggung beban memegang kekuasaan ini? Ketika saya mendengar kedatanganmu, saya segera menemuimu. Bagaikan seorang pengembara lelah di padang pasir yang mencari mata air, lalu ia terburu-buru menuju sumber mata air, namun setibanya di sana mata air itu ternyata telah kering dan lenyap. Saya melihat putra saya memiliki gambaran yang baik di masa tuanya. Tetapi hatinya—" Suaranya melemah. "Ke mana perginya hatimu? Saya adalah orang yang kehausan akan mata air yang kering itu." Orang tua itu tidak menangis, kekecewaan dan rasa sedihnya yang dalam tak lagi dapat dilukiskan dengan air mata.

Sang Buddha tidak berkata apa-apa. Semua orang tertunduk diam. Aku tahu mereka bukan sedang memikirkan raja, mereka cuma berharap bahwa kehadiran Sang Buddha yang membahagiakan ini akan berlangsung selamanya.

Tak lama kemudian Sang Buddha berbicara. "Ayah, saya membawa air kehidupan yang abadi untukmu. Tetapi sebelum Ayah meminum air keabadian ini, cinta pribadi dan cinta yang bersifat memiliki harus disingkirkan. Semua keinginan harus dilenyapkan."

Kesengsaraan yang terlukis di wajah tua sang raja kian mendalam. Aku mengerti bahwa dia tahu Sang Buddha berbicara tentang kebenaran, tetapi dia juga tahu bahwa Sang Buddha memintanya untuk

Referensi

Dokumen terkait

535 dan aturan kode bidang studi tahun 2009 * Yang diberi tanda adalah nomor urut peserta yang ganda. Malang, 2 Oktober 2009 Rektor/Ketua PSG

Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Bagi Penyandang Tunanetra Di Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa Wantuwirawan Yayasan Siwi Peni Salatiga

Dari berbagai uji yang dilakukan terhadap asap cair komponen terbesar yang dimiliki oleh asap cair batubara yaitu senyawa asam asetat dan fenol sehingga asap cair yang dihasilkan

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi minimum dan waktu penguapan aromaterapi yang dibutuhkan minyak esensial tea tree (Melaleuca alternifolia

Perlu diperhatikan, bahwasanya jika field yang ditampilkan dikondisikan perbandingan angka maka nilai yang dibandingkan ini boleh tidak pakai petik, namun jika yang dibandingkan

Dalam kedudukannya sebagai penanggung jawab (atas nama Pengurus) terhadap pelaksanaan semua kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, Direktur Bidang Umum dan

1) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga mampu dan terampil dalam melaksanakan tugasnya dengan baik. 2) Meningkatkan kualitas produk dan pelayanan agar

Dalam memperoleh analisis mengenai kesesuaian skema prioritas yang diusulkan, penelitian ini akan menggunakan 5 dimensi penilaian antara lain kepercayaan antar