• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suatu hari, ketika Sang Buddha hampir mencapai usia delapan puluh tahun, aku berjalan menuju puncak Gijjhakuta, kota tua tampak terhampar di bawahku. Aku dapat melihat 'penjara' tempat Bimbisara menemui ajalnya dan pemisah bukit ke Selatan, tempat yang sangat mengesankanku saat pertama kali aku memasuki Rajagaha. Tetapi sekarang debu di musim kering ini mengaburkan segala sesuatu, sehingga aku hanya dapat melihat lapangan persegi di sekeliling bukit dengan samar-samar dan dinding-dinding yang membatasi kota baru milik Ajatazattu. Aku berusaha membayangkan perubahan pemerintahan di Rajagaha. Kemudian pikiranku melayang ke taman Apel yang luas dan lapang, dan tiba-tiba aku sadar bahwa Sang Buddha telah memberikan perubahan yang drastis kepada semua orang. Beliau lebih sering disapa dengan "Yang Terbahagia", dan bagaikan gelombang air yang ditimbulkan oleh sebuah sampan di atas permukaan danau yang tenang, demikian juga kebahagiaan-Nya menyebar ke seluruh penjuru dibarengi cinta kasih-Nya. Aku ingat sekarang bahwa acara kurban hewan pada upacara kaum tertentu yang pernah kusaksikan telah lama berlalu. Aku juga menyadari bahwa sekarang kaum wanita mulai dihormati, yang tak pernah terjadi pada masa sewaktu aku muda dulu. Perasaan belas kasih rakyat terlihat dari bertambahnya jumlah orang-orang vegetarian yang menghargai lembu yang menghasilkan susu perahan. Dalam hal ini Sang Buddha telah membuka Jalan Ahimsa; jalan hidup tanpa kekerasan, kebenaran yang telah pernah dilupakan.

Aku jarang bersama Sang Buddha pada saat-saat terakhir hidup beliau. Selanjutnya Ananda yang lebih tahu apa yang terjadi, karena dialah yang senantiasa melayani Sang Buddha pada saat-saat terakhir hidupnya, jadi lebih baik Ananda yang menceritakan dengan kata-katanya sendiri.

**************************

Yang kuceritakan kini adalah perjalanan Sang Buddha ke Magadha yang terakhir kali sebelum kemangkatan-Nya. Kami menyeberangi sungai Gangga menuju Utara ke Vesali, ibukota Licchavi. Pada waktu itu, penduduk Vesali yang paling dikagumi adalah Ambapali, nama panggilannya adalah "Gadis Mangga" karena dia adalah putri penjual

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

buah-buahan. Dia sangat lembut dan cantik, sehingga banyak bangsawan yang berusaha melamarnya dan karena semuanya tidak dapat memperistrinya, dia dijadikan wanita simpanan sehingga banyak pria-pria yang datang ke Vesali hanya untuk mengunjunginya, akibatnya kota Vesali menjadi sangat ramai dan makmur. Ambapali tidak hanya cantik dan kaya, tetapi juga sangat terkenal, juga pelayan-pelayannya. Dari salah satu pelayannya itulah saya mendengar tentang bagaimana Ambapali sampai mengunjungi Sang Buddha.

Kelihatannya Ambapali telah menderita berbulan-bulan dan tak dapat beristirahat. Pelayan yang juga merupakan teman akrabnya, berusaha membantunya dengan mengatakan bahwa ini mungkin dikarenakan dia sakit. Tetapi Ambapali berkata:

"Tidak, pelayanku," dia berkata, "Perasaan tidak tenang ini telah selalu menghantuiku, dan bukan dikarenakan saya sakit. Saya sendiri tidak mengerti. Saya merasa bagaikan seorang pesakitan dan sangat merindukan kebebasan."

"Tetapi engkau adalah wanita paling cantik dan kaya dari seluruh wanita di kota ini," pelayannya protes, "dan semua laki-laki ingin memilikimu, tidak hanya keindahan tubuhmu, tetapi juga kebijaksanaan dan ketenangan pikiranmu, engkau dicintai semua orang karena kebaikanmu."

"Saya tahu," Ambapali menjawab, "tetapi kadang-kadang saya cemburu akan kehidupan seorang istri biasa dengan suami yang sulit diatur dan anak-anak yang ribut dan lincah."

"Engkau tidak mengerti apa yang engkau katakan, Nyonya," jawab pelayannya dengan tenang, "nasib wanita memang sulit, kecuali jika ia dikagumi banyak orang. Wanita biasa mulanya menjadi budak di rumah ayahnya, kemudian dia pindah ke rumah suaminya dan juga jadi budak di sana. Tetapi Nyonya bebas dari semua ini."

"Benarkah? Kalau begitu berarti saya sedang mencari kebebasan lain, yang tidak dapat diperoleh dari kecantikan, kekayaan, suami dan anak. Oh, pelayanku! Saya akan menyerahkan semua milikku untuk menemukan kebebasan, untuk menemukan akhir dari penderitaan ini, saya betul-betul bingung."

Pada saat itu seorang pelayannya membawakan sarapan pagi dan sewaktu dia akan pergi, dia berkata:

"Tahukah Nyonya bahwa Yang Arya Gautama, Buddha yang telah mencapai penerangan sempurna, kemarin tiba dengan beberapa orang siswa-Nya, dan sekarang menginap di hutan mangga Nyonya?"

"Sang Buddha Gautama!" teriak Ambapali, "Siapkan keretaku segera. Aku harus menemuinya."

"Tetapi, Nyonya," dia protes, "Orang-orang mengatakan Beliau tidak tertarik dengan kecantikan wanita, lagipula, sekarang dia sudah tua, sangat tua malah."

"Saya tahu. Itulah sebabnya saya harus menemui Beliau. Tidak dapatkan kamu mengerti? Kecantikan dan keindahan akan rusak dan berlalu. Tetapi ada sesuatu yang lain, dan Sang Buddha Gautama mengetahuinya. Saya harus menemukannya. Suruh mereka percepat kerjanya dan persiapan keretaku sementara aku akan melepaskan semua perhiasan yang tak berguna ini dan mengenakan gaun sederha-na."

Pelayan itu segera mengambil bakinya dan pergi. Ambapali beralih kepada pelayannya, sembari berkata, "Ini adalah jawaban dari keinginanku. Ayo!"

Pada saat itu, Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada kami, mengingatkan kami untuk mengendalikan perasaan tubuh dan mental yang timbul, menyadarinya sebagai riak gelombang yang mengikuti riak gelombang lainnya yang dibentuk oleh keadaan sebelumnya, agar kita tidak dikendalikan olehnya. "Seorang bhikkhu harus senantiasa menyadari sepenuhnya apa yang dilakukannya — saat keluar, saat berjalan masuk, saat melihat dengan mata, saat membungkukkan badan atau mengangkat lengan, saat memakai jubah dan membawa mangkuknya. Saat makan, minum, berdiri atau tidur, saat berbicara atau diam—apapun yang ia kerjakan, dia harus benar-benar menyadarinya."

Salah satu bhikkhu muda berkata. "Apakah Guru khusus mengatakan hal ini kepada kami karena hutan mangga ini milik Ambapali, wanita tercantik di seluruh dunia sehingga nafsu duniawi tidak sampai mempengaruhi kami?"

"Ya, anakku, dan juga karena ini milik bangsawan Licchavi, yang mempunyai dandanan, kuda-kuda dan bawaan mewah dan mahal. Jika kamu tidak mengendalikan pikiran, maka nafsu duniawi akan mempengaruhi kamu."

"Guru," si bhikkhu muda melanjutkan, "Selain dari penuh perhatian, kadang kala pikiran selalu mengembara pada hawa nafsu dan ketamakan, dan saya sering putus asa karena tidak dapat bebas dari hal-hal ini."

"Anakku, kamu tidak dapat memaksa pikiran dan perasaanmu agar dapat segera mengakhirinya. Dengan tidak berhenti melatih diri dengan menjalankan Vinaya, seperti menghindari godaan penglihatan dan pendengaran, dan juga makanan saat belum waktunya. Dengan menjalankan dan merenungkan Dhamma, dengan meditasi, kamu

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

akan dapat mengendalikan pikiran dan perasaanmu." Sang Buddha menunjuk seorang petani yang dapat kami lihat langsung dari tempat kami, dia sedang menanam benih padi di sawahnya. "Kemarin, ketika kita tiba, petani itu membajak dan menggarap sawah dengan giat. Hari ini dia menyemaikan benih dengan cepat. Besok dia akan mengatur air ke saluran irigasi secepat mungkin kemudian menghentikannya. Tetapi petani itu tidak mempunyai kekuatan gaib atau kekuatan untuk mengatakan, 'Biarkanlah tanaman saya tumbuh, besok berbuah dan lusa dapat dituai', Apa yang menyebabkan tanaman itu tumbuh berbuah dan masak?"

"Tergantung pada musim, Guru. Jika musimnya tiba, tanaman itu akan tumbuh berbuah dan masak."

"Demikian juga halnya dengan bhikkhu yang melatih diri dalam kebijaksanaan dan pikiran serta pandangan batin yang lebih tinggi, dia tidak mempunyai kekuasaan untuk mengatakan. 'Biarkan pikiran saya bebas dari kegelapan batin hari ini; Biarkan ia bebas besok dan lusa.' waktu yang membebaskannya, bukan dirinya sendiri. Dirinya yang melaksanakan latihan itu, tetapi kapan ia dapat terbebas, bukan dia yang menentukan."

Pada saat Sang Buddha sedang berbicara, Ambapali dan pelayannya datang mendekat. Dia berpakaian putih sederhana seperti pengikut biasa lainnya dan bersujud kepada Sang Buddha. Bhikkhu muda tadi menunduk untuk mencegah melihat langsung Ambapali.

"Tuan yang mulia," Suaranya gemetar karena terdorong emosi. "Saya telah menikmati segala kesenangan duniawi. Saya memperoleh apa yang dikatakan orang lain bagus tetapi ternyata hanya membawa penderitaan dan kehampaan. Saya merasa diri saya tidak berarti sama sekali kecuali seseorang yang hanya memainkan bagian dari babak drama yang bodoh yang penuh dengan nafsu yang akhirnya akan hancur dan mati. Saya ingin bebas dari lingkaran kehidupan yang menyedihkan ini."

"Anakku," Sang Buddha berkata dengan penuh kasih dan pengertian yang seakan membukakan pintu Dhamma ke luar jangkauan dunia. "Berlindunglah dalam Dhamma. Jangan berlindung pada yang lain, karena kamu dapat menemukan kebebasan yang kamu cari di dalam Dhamma."

"Apakah ada jalan untuk menemukannya, Guru, jalan yang bahkan orang seperti saya pun dapat menempuhnya?" Suaranya penuh kesedihan, sehingga bhikkhu muda tadi menjadi tidak takut akan kecantikan seorang wanita dan kini memandangnya sebagai seorang kakak yang sangat membutuhkan pertolongan.

"Ada, anakku, dialah jalan penyucian diri, jalan cinta kasih dan kebenaran sejati." Lalu Sang Buddha mengajarkan Empat Kesunyataan Mulia dan Delapan Jalan Utama. Ambapali mendengarkan dan mengerti; ketika Sang Buddha mengakhiri penjelasannya, dia meminta beliau untuk makan di rumahnya besok dan Sang Buddha pun setuju. Sebelum pergi dia membersihkan debu dari kaki Sang Buddha.

Pada hari-hari itu, Sang Buddha sangat dihormati tidak hanya oleh Ambapali, tetapi semua orang di Vesali yang tahu akan kedatangannya segera menemuinya. Ketika bangsawan-bangsawan Licchavi mendengar hal itu, mereka segera memerintahkan untuk menuju ke hutan mangga Ambapali.

Mereka berpakaian lebih bagus daripada biasanya, pakaian mereka disesuaikan dengan warna kulit masing-masing. Yang hitam berpakaian warna gelap dan permata berkilauan, yang putih berpakaian warna cerah dan perhiasan, yang warna kulitnya kemerah-merahan berpakaian warna merah dengan permata ruby merah tua. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan.

Mereka bertemu Ambapali yang baru pulang dari hutan mangga. Dia berdiri dengan bangga di keretanya dan memerintahkan pelayannya untuk tetap melaju di tengah-tengah jalan, jadi ia berada di antara kereta-kereta bangsawan-bangsawan Licchavi. Pemimpin bangsawan-bangsawan itu berkata:

"Ambapali, kenapa Anda berjalan melawan kami?"

"Tuanku," dia menjawab dengan riang. "Saya telah mengundang Sang Buddha dan siswa-Nya untuk makan di rumah saya besok. Dan beliau akan datang!"

Bangsawan itu tidak menghiraukan kalimat Ambapali dan seorang di antaranya berseru sambil tertawa, "Ambapali, biarkan kami yang menjamu Sang Buddha dan kami akan mengganti seratus ribu, beliau lebih cocok dengan tingkat kami, sebab beliau dilahirkan sebagai seorang bangsawan, beliau lebih sesuai makan bersama kami."

"Tuanku," dia menjawab dengan gembira, "Walaupun Anda menyerahkan Vesali dan segala isinya, saya tidak akan melepaskan kehormatan yang telah saya peroleh ini."

Kemudian bangsawan Licchavi mengembangkan tangannya dan berkata putus asa. "Kita telah dikalahkan gadis mangga ini!"

Ambapali langsung pulang untuk mempersiapkan makanan dan bangsawan Licchavi pun memasuki hutan mangga; begitu mereka muncul, Sang Buddha berkata kepada kami:

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

"Jika kalian belum pernah melihat pakaian para dewa, maka lihatlah pakaian bangsawan-bangsawan muda itu. Tetapi ingatlah kendalikan pikiranmu, jangan sampai dikuasai nafsu duniawi."

Mereka bersujud dengan hormat dan Sang Buddha bertanya apakah mereka mendengarkan nasehat-Nya untuk memimpin pemerintahannya dengan baik. Ternyata mereka semua melaksanakannya dengan baik. Kemudian Sang Buddha pun memberikan khotbah dhamma kepada mereka. Ketika beliau mengakhirinya, mereka mengundang Sang Buddha untuk makan keesokan harinya.

"Besok saya sudah janji untuk makan di tempat Ambapali."

"Tetapi Yang Mulia," salah satu di antara mereka berseru. "Anda adalah seorang pangeran seperti kami, Anda harus makan bersama kami. Ambapali hanya seorang pelacur."

"Dalam dhamma, tidak ada pangeran atau pun pelacur, tidak ada laki-laki atau pun wanita. Besok saya dan para bhikkhu akan makan di tempat Ambapali."

Bangsawan Licchavi kembali mengangkat tangannya dan berseru putus asa. "Jadi kami benar-benar dikalahkan oleh gadis mangga ini! Dan gadis mangga ini telah menghambat kami!" Lalu mereka berterima kasih kepada Sang Buddha dan pamit.

Kemudian saya mendengar bahwa malam itu Ambapali tidak dapat tidur membayangkan kehormatan yang diperolehnya karena Sang Buddha menerima undangannya, sebelum malam usai, dia telah bangun dan menyiapkan sendiri nasi dan kue-kue. Ketika kami tiba, ia sendiri yang melayani kami dan setelah selesai makan dia mengambil sebuah bangku rendah dan duduk di samping Sang Buddha mendengar uraian beliau tentang segala sesuatu yang tidak kekal dan akan hancur. Sebelum kami pergi, dia menghadiahkan hutan mangganya untuk Sangha dan berkeinginan keras menjalankan Dhamma. Tetapi seperti yang mungkin telah kalian dengar, sebelum Sang Buddha wafat dan setelah mendengarkan khotbah dari putranya sendiri, Ambapali telah menjadi bhikkhuni dan mempelajari tentang hukum ketidakkekalan berobyek pada tubuhnya yang tak kekal, dan kemudian mencapai pandangan terang.

******************************

Yasa, pertemuan dengan Ambapali dan bangsawan Licchavi adalah saat yang menyenangkan sebelum meningggalnya Sang Buddha.

*******************************

Dari hutan mangga Ambapali kami menuju Beluva, desa kecil pada kaki bukit dekat Vesali. Musim hujan segera akan tiba, Sang Buddha mengatakan para bhikkhu harus menetap di vihara, masing-masing harus disertai temannya, sedangkan saya dan beliau sendiri tinggal di desa.

Ketika musim hujan tiba, beliau jatuh sakit, yang hampir mengakibatkan beliau wafat. Beliau menyadarinya dengan kesadaran penuh tanpa keluhan, sedang saya menjaganya seperti ibu yang menjaga anak tunggalnya, tanpa mengatakan perasaan saya yang sedih. Suatu hari beliau agak sehat dan saya sangat gembira, dan beliau berkata:

"Dalam keadaan tubuh yang sakit ini, Ananda, sebenarnya saya sedang memasuki arus Nirvana, kedamaian teragung di saat tubuh akan terurai, besar godaan untuk segera meninggal saja saat ini, tetapi saya pikir tidaklah benar jika saya pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal pada para siswa dan memberikan khotbah mengenai kehidupan seorang Brahmana. Jadi, dengan keinginan yang kuat itu, Ananda, saya mengalahkan rasa sakit dan perasaan itu pun menghilang."

Sang Buddha berkata apa adanya. Tetapi Yasa, apakah kamu pernah membayangkan apa yang akan dilakukan bumi ini jika ia tahu bahwa matahari segera akan terbenam dan tidak akan pernah terbit lagi — kegelapan tanpa akhir, kematian. Begitulah perasaan yang timbul pada saya saat Sang Buddha berkata demikian.

Keesokan harinya beliau keluar dan saya berusaha melindungi-Nya. Saya berkata kepada beliau:

"Guru, saya tahu keadaan tubuh Guru dan sekarang saya mengetahui betapa besar penderitaan Guru, dan melihat keadaan Guru saya menjadi lemas dan pikiran saya terasa mati. Satu hal yang saya inginkan adalah bahwa Guru tidak akan meninggalkan kami sebelum memberikan petunjuk tentang Sangha."

Suara Sang Buddha sangat lemah ketika menjawab: "Apakah Sangha mengharapkan ini dari saya? Jika ada yang berpikir bahwa ia mampu memimpin Sangha atau Sangha bergantung kepadanya, maka dialah yang harus memberikan petunjuk," suara-Nya ditegaskan ketika beliau melanjutkan, "Tetapi saya tidak berpikir bahwa sayalah pemimpin Sangha atau Sangha bergantung kepada saya. Saya mengajarkan kebenaran tanpa membedakan doktrin eksoterik dan

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

esoterik. Saya telah mengajarkan semuanya dan tidak ada yang saya sembunyikan. Saya tidak mempunyai rahasia yang harus diturunkan dari seorang guru kepada siswanya. Kebenaran itu terbuka bagi siapa saja yang dapat mengerti. Kamu harus menjadi pelita bagi dirimu sendiri, jangan bergantung kepada hal-hal di luar dirimu, jangan bergantung pada pemimpin atau guru. Lihatlah dirimu, kamu adalah Buddha!"

"Oh, Guru, jangan tinggalkan kami." Saya memohon

"Ananda," beliau tersenyum seperti biasanya, "saya sudah tua dan cukup berumur. Perjalanan saya sudah hampir berakhir. Saya sudah berusia 80 tahun. Batas usiaku telah tiba, dan seperti kereta pedati itu yang hanya dapat berfungsi bila diberi perhatian ekstra, demikian juga tubuh saya ini," kata beliau sambil menunjuk kereta pedati tua yang terguncang-guncang di jalan, tetapi saya tidak gembira dengan kiasan itu.

"Guru, jangan bercanda, jangan tinggalkan kami!"

"Ananda," beliau berkata lebih serius, "Tidakkah kamu sadari bahwa hanya pada saat saya tidak larut dalam hal-hal di luar dan tenggelam dalam konsentrasi, tubuh ini terasa baik? Apakah kamu ingin tubuh yang telah sakit ini bertahan lebih lama lagi?"

"Tidak, Guru, tetapi siapa yang akan mengajarkan Dhamma kalau Guru pergi?"

"Oh, Ananda, bukankah saya telah lama memgajarkan bahwa kamulah yang menjadi pelita bagi Dirimu sendiri? Tidakkah kamu mengerti? Berlindunglah pada Dirimu sendiri, Diri yang ada di dalammu, pada tubuh yang akan rusak ini. Janganlah mencari perlindungan lain. Berpeganglah pada Dhamma; janganlah beralih pada pelita yang lain. Apakah Dhamma itu? Kamu harus menemukannya sendiri."

"Tetapi saya yang begitu bodoh, bagaimana dapat menemukan perlindungan, pelita dalam diriku?" Betapa kekanak-kanakan pertanyaan saya,—Saya yang dikenal sebagai pengkhotbah dhamma—, tetapi betapa kekanakan kesalahan yang diperbuat bila seseorang dikuasai keegoisannya!

Sang Buddha, tanpa menghiraukan kata-kata saya menjawab, "Ananda, yang kamu perlukan hanyalah kesadaran. Tidak hanya kepadamu, tetapi juga kepada yang lain, saya katakan bahwa kamu memiliki pikiran, kata-kata dan perbuatan yang baik, karena Ananda, kamu belum pernah mengeluarkan kata-kata kasar, pikiran membenci dan kamu selalu berusaha tanpa keegoisan. Tetapi Ananda jika kamu ingin mengatasi kesedihan yang timbul dari perasaan menyayangi,

kamu harus belajar untuk tetap sadar, sadar saat pikiran dan perasaan tersebut timbul. Pisahkan diri darinya dan perhatikanlah, maka kamu akan mengerti bahwa pikiran ataupun perasaan itu hanyalah kemelekatan pada diri yang bukan Diri yang sebenarnya. Berlindunglah pada Dirimu yang sejati, Ananda, jangan pada saya ataupun pada tubuh yang akan hancur dan juga pada pikiran saya."

"Kematian bukanlah sesuatu yang luar biasa karena semua makhluk hidup akan mengalaminya. Kamu telah sering bertanya kepada saya mengenai kehidupan setelah kematian. Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya tidak berguna, karena saya telah mengajarkan kepadamu jalan untuk mengatasi kematian. Dengan mengerti jalan itu, seseorang akan terbebas dari lingkaran kelahiran yang tak berakhir. Orang yang demikian tidak akan pernah ingin tahu lagi apa yang akan terjadi jika kehidupannya di bumi telah berakhir."

"Dapatkah saya mencapai kebahagiaan tertinggi itu dan menemukan Nirvana?"

"Dapat Ananda, setiap orang akan mencapainya bila ia menjadi pelita bagi Sang Diri. Jadi apakah saya masih hidup atau mati adalah sama saja. Siapa saja yang menjadi pelita bagi Sang Diri akan dapat tiba di puncak, tetapi ia harus benar-benar berusaha untuk itu."