• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum aku melanjutkan tentang persinggahan Sang Buddha yang berikutnya di Savatthi, aku terlebih dahulu akan menceritakan tentang disusunnya peraturan Vinaya, yang merupakan peraturan untuk para bhikkhu-bhikkhuni, di sebabkan jumlah anggota Sangha yang telah semakin banyak. Sang Buddha mengijinkan perubahan-perubahan kecil. Sebagian berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dan ada yang menetap di gubuk, ada yang mengajarkan Dhamma, ada yang menjalani Dhamma, ada yang ingin hanya menyendiri di hutan, ada yang tinggal di gubuk dekat rumah para dermawan. Jika semuanya mengerti dan memahami untuk tidak mengambil yang tidak diberikan; tidak serakah, maka hanya dibutuhkan beberapa peraturan. Tetapi karena pertambahan jumlah anggota Sangha yang semakin banyak maka tidak dapat disangkal bahwa ada yang belum mengerti. Sejak semula Sang Buddha telah mengharuskan anggota baru mempunyai seorang pembimbing dalam masa percobaan.

Peristiwa penting lainnya yaitu pada saat bulan baru dan bulan penuh dijadikan sebagai Hari Suci. Raja Pasenadi menyarankan ini karena sekte lain juga mempunyai hari-hari suci. Orang awam akan mengunjungi vihara pada hari-hari tersebut untuk bermeditasi dan mendengarkan khotbah Dhamma. Tetapi bagi Sangha, tujuan utama dari hari-hari ini adalah untuk mengingatkan pentingnya kesucian dari kehidupan; tidak menyakiti semua makhluk, bersikap benar dan sopan, serta tidak mengambil barang yang tidak diberikan oleh umat. Dibuat suatu aturan bahwa semua bhikkhu harus berkumpul pada saat itu dan pertemuan itu tidak lengkap bila ada satu yang tidak hadir. Jika ada yang tidak dapat hadir karena sakit maka seseorang harus membawa kepastian darinya bahwa ia tidak melakukan pelanggaran. Dengan demikian kesalahan anggota Sangha akan dapat segera diluruskan. Peraturan lain yaitu selama musim hujan, para bhikkhu harus menetap di suatu tempat dan tidak boleh melakukan perjalanan. Ini disebabkan banyak mahluk kecil yang sedang berkeliaran di tanah dan juga tumbuhan yang mulai berkembang akan mati terinjak dan Sang Buddha tidak ingin kerja orang awam diganggu. Pada akhir musim hujan para anggota Sangha akan membagikan bahan jubah yang telah mereka terima dan mengganti yang rusak selama musim hujan. Juga sebelum berakhirnya musim hujan, mereka akan berkumpul dan membicarakan pelanggaran yang telah terjadi, sehingga berbagai pelanggaran akan segera jernih setelah diselidiki ataupun diakui, dan

pada kasus yang berat maka si pelanggar akan dikeluarkan dari Sangha.

Kemudian peraturan-peraturan baru pun bermunculan sebagai akibat munculnya pelanggaran-pelanggaran. Misalnya ada bhikkhu yang serakah dan meminta lebih banyak dari yang diberikan, Sang Buddha menegaskan bahwa seorang bhikkhu hanya membutuhkan empat keperluan, tidak lebih yaitu:

- makanan, menerima yang diberikan umat. - tempat tinggal, di bawah pohon

- jubah dikumpulkan dari kain sisa - obat-obatan, amonia

Keperluan yang lain sekedar tambahan dan tidak boleh diharapkan. Peraturan ini tetap berjalan dari waktu ke waktu dan dimaksudkan untuk dijadikan pertimbangan atau contoh bagi yang lain terutama umat awam, serta untuk melatih enam indera. Tetapi Sang Buddha mengerti bahwa cobaan bagi seseorang belum tentu merupakan cobaan bagi yang lain, keadaan tiap tempat juga berbeda-beda. Maka peraturan bagi tiap orang dan tiap tempat tentulah berbeda. Misalnya di daerah beriklim dingin tidak perlu sering mandi, sebaliknya di daerah panas frekuensinya harus banyak.

Kebanyakan bhikkhu hidup dengan baik dan suci, jadi buat mereka hanya sedikit peraturan yang diperlukan. Jika aku menghitung kembali kesalahan yang menyebabkan peraturan dibuat, memang tidak pantas berprasangka bahwa kesalahan-kesalahan tersebut sering terjadi.

Suatu ketika pada musim hujan, bhikkhu-bhikkhu dari Rajagaha membangun gubuk dari rumput di pegunungan Isigili. Di antara mereka adalah Dhaniya, putera seorang pembuat tembikar. Ketika musim hujan sudah berlalu, semua bhikkhu kecuali Dhaniya membongkar gubuk mereka dan memgembara ke kota. Dhaniya tidak suka berkelana. Dia menyukai sebuah rumah miliknya sendiri, sehingga ia tetap di gubuk setelah musim hujan. Suatu hari sewaktu dia sedang meminta makanan di desa, beberapa orang wanita mengangkat bahan-bahan gubuknya pergi untuk dijadikan kayu bakar. Dia membangunnya kembali. Kembali mereka merusaknya, karena mereka tidak menyangka seorang bhikkhu punya rumah untuk dirinya sendiri. Dhaniya kembali teringat pada keahliannya membuat tembikar dan dia membangun gubuk kecil dari tanah liat sehingga dari kejauhan kelihatannya seperti burung dara merah kecil di atas bukit. Ketika Sang Buddha lewat dan melihatnya, beliau pun mendengar laporan-laporan mengenai Dhaniya, ternyata Sang Buddha tidak setuju. Beliau mengirim

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

dua orang bhikkhu untuk menasehati Dhaniya agar membongkar gubuknya dan mengingatkan dia bahwa banyak serangga yang mati akibat dibangunnya gubuk itu.

Tetapi bhikkhu-bhikkhu ini tidak menemukan Dhaniya sehingga mereka sendiri yang membongkar gubuk itu. Ketika Dhaniya kembali ia menemukan burung kecilnya sudah tidak ada lagi. Dia kaget tetapi tidak berkecil hati. Dia teringat pada tempat penyimpanan kayu milik Raja. Dia pun menemui penjaganya dan meminta batangan-batangan kayu tersebut, penjaga terkejut atas permintaan itu, dia berkata, "Kayu-kayu ini milik Raja dan disimpan sebagai cadangan perbaikan."

"Tak mengapa, penjaga yang baik. Raja telah memberikan kayu-kayu ini untuk anggota Sangha."

Si penjaga ragu-ragu, tetapi karena Dhaniya seorang bhikkhu yang tentu saja pikirnya tidak mungkin berbohong, ia kemudian ia membiarkan Dhaniya mengambilnya. Dhaniya pun kembali membangun gubuk.

Kemudian Vassakara, kepala menteri di Magadha, karena melihat banyak bangunan yang perlu diperbaiki, ia pergi ke tempat penyimpanan kayu tersebut untuk mengambil kayu yang dibutuhkan, tetapi dia tidak menemukan apa-apa di sana. Setelah mendengar apa yang telah terjadi dia menemui Raja untuk menanyakan apakah raja memberikan kayu-kayu itu untuk anggota Sangha. Tentu saja si penjaga ditangkap karena Raja menyatakan tidak pernah memberikannya. Dhaniya melihatnya, hati kecilnya merasa bersalah sehingga dia mengikuti penjaga itu. Raja menemuinya di luar istana dan bertanya apakah benar potongan kayu itu digunakan untuk kepentingan Sangha.

"Benar, Yang Mulia," jawab Dhaniya tanpa ragu.

"Saya sebagai Raja sangat sibuk dan tidak mengingat semuanya. Tolong beritahukan saya, kapan saya memberikan kayu-kayu itu."

"Apakah Yang Mulia masih ingat, bahwa Yang Mulia pernah mengatakan bahwa para pertapa dan kaum Brahmana bebas menggunakan rumput, kayu dan air?"

Raja sangat terkejut dan menjawab, "Saya memang mengatakan begitu, tetapi yang saya maksudkan hanya rumput, kayu, air di hutan rimba, dan bukan barang yang sudah ada pemiliknya, dan ini Anda tentu tahu. Tindakanmu ini sangat licik, jika Anda rakyat biasa, tentu sudah dihukum atau dipenjarakan. Tetapi bagaimana saya menghukum anggota Sangha? Kamu dibebaskan karena statusmu. Tetapi saya sangat sedih, karena Anda telah membuat malu anggota Sangha.

Ketika rakyat mendengar penipuan ini, mereka marah dan berkata, "Bhikkhu-bhikkhu ini pembohong dan tidak tahu malu. Mereka berpura-pura menjadi pengikut Dhamma dan penyebar kebenaran. Tetapi sebenarnya mereka berlawanan dengan kenyataan. Kebaikan dan kesucian tidak ada lagi dalam Sangha. Raja saja dapat ditipu apalagi rakyat jelata."

Para bhikkhu pemula tentu saja marah kepada Dhaniya. Akhirnya masalah ini dilaporkan kepada Sang Buddha, dan setelah memeriksa kebenarannya, beliau membuat peraturan bahwa anggota Sangha yang berbuat kesalahan yang pada rakyat biasa dapat dihukum atau dipenjarakan, akan dikeluarkan dari anggota Sangha. Tetapi Sang Buddha sedih dengan peraturan itu karena pembuatan peraturan itu bukanlah dapat menjadikan orang menjadi lebih murni dan suci.

Di lain pihak ada beberapa bhikkhu yang melewati musim hujan di tepi sungai Vaggamuda, suatu daerah yang dilanda kelaparan. Persediaan makanan sedikit dan makan dijatah, dan para bhikkhu menjadi sulit memperoleh makanan. Kemudian beberapa di antaranya bermusyawarah bagaimana memperoleh makanan yang sewajarnya. Mereka memutuskan untuk bekerja pada pemilik rumah dengan cara menyanyikan lagu pujian dan mengatakan mereka mempunyai kekuatan supranormal. Pemilik-pemilik rumah ini sangat percaya dan mengambil makanan anak istrinya untuk bhikkhu ini. Akibatnya setelah musim hujan, bhikkhu ini mempunyai tubuh yang sehat dan kuat dan wajah yang cerah sedangkan yang lain kurus kering.

Ketika musim hujan sudah berakhir, bhikkhu-bhikkhu ini membawa mangkuk dan jubah mereka menuju Vesali untuk menemui Sang Buddha. Semua bhikkhu-bhikkhu sudah berkumpul, mereka semua pada kurus. Sedangkan bhikkhu-bhikkhu ini gemuk dan cukup makan. Sang Buddha bertanya kepada seorang bhikkhu yang gemuk mengenai kegiatan mereka selama musim hujan. Tentu saja mereka takut mengatakan yang sebenarnya. Sang Buddha menatap mereka dengan pandangan yang bagaikan sanggup menembus dan membaca isi hati, akhirnya cerita yang sebenarnya pun terungkap dari mereka. Setelah mereka berhenti semuanya menjadi tenang dan hening sekali. Walaupun Sang Buddha belum mengatakan sesuatu, saya merasa bhikkhu yang gemuk itu mulai malu. Ketika Sang Buddha membuka suaranya, kedengarannya seperti guntur yang tanpa nafsu dan emosi di baliknya, namun demikian kata-kata Sang Buddha tepat mengenai sasarannya.

Beliau berkata, "Ketika kamu menjadi bhikkhu, kamu meninggalkan semuanya, rumahmu, kesenangan duniawi dan

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

kenikmatan lainnya sehingga dengan demikian kamu akan sanggup memberikan persembahan yang paling berharga yaitu Dhamma. Sebaliknya umat akan memberikan kebutuhan hidup yang kamu butuhkan. Sekarang demi perut, kebutuhan jasmani dan kesenangan duniawi kamu telah berkata yang tidak benar dan mengambil makanan yang tidak layak diperoleh." Suara Sang Buddha meninggi tetapi tetap tenang tanpa emosi. "Menurut saya lebih baik perutmu terbelah oleh pisau pemotong daging daripada melakukan perbuatan demikian. Luka di tubuhmu hanya menimbulkan rasa sakit dan kematian tubuh, sedangkan penipuanmu akan mengantar kamu ke neraka yang dalam. Perampok kota jauh lebih baik daripada perampok yang memperoleh sedekah dengan menjilat dan menggunakan kekuatan gaibnya. Melakukan hal demikian di negara yang makmur dan hasil panennya melimpah ruah juga merupakan kesalahan, apalagi di tempat yang dilanda kelaparan. Lebih baik kamu menelan bola api panas daripada menelan makanan yang diperoleh dari umat yang kelaparan."

Suara Sang Buddha demikian tegas sehingga bhikkhu-bhikkhu yang bersalah itu gemetar. Kemudian suara beliau menjadi lebih lembut, "Saya tahu bahwa saya telah menyakiti kalian, tetapi kadang-kadang seorang dokter perlu menggunakan pisau." Suara-Nya melemah. "Sudah merupakan tugasmu untuk memberi contoh yang baik. Tindakanmu yang memalukan ini akan menyesatkan para pemula, dan mencegah yang lain untuk memulainya."

Saya memperhatikan wajah para bhikkhu itu. Sebagian menangis. Semuanya menyadari kesalahan mereka. Kata-kata tajam Sang Buddha berbeda dengan orang lain. Beliau begitu tenang saat berbicara dan pisaunya melukai sekaligus menyembuhkan, karena beliau dengan belas kasihnya, mampu menembus hati dan pikiran manusia dan belas kasihnya selalu menyentuh hati nurani, beliau meninggalkan mereka dengan wajah yang penuh cinta kasih.

Bhikkhu-bhikkhu yang bersalah itu pun bangkit dan menuju gubuk mereka, dan saya perhatikan hanya satu di antara mereka masih meminta sedekah pada keesokan harinya. Mereka sangat malu.

Mungkin itu adalah akhir sebuah episode, tetapi beberapa tetua meminta dibuat peraturan untuk mencegah terulangnya peristiwa yang memalukan itu lagi, dan Sang Buddha membuat peraturan bahwa anggota Sangha yang menyalahgunakan kekuatan gaibnya harus dikeluarkan dari anggota Sangha.

Di Alavi terjadi peristiwa yang hampir mirip dengan yang terjadi di sungai Vaggamuda. Beberapa orang bhikkhu merencanakan membangun tempat tinggal untuk mereka sendiri. Sedangkan di Alavi

tidak ada dana yang cukup buat mereka. Bhikkhu-bhikkhu ini meminta pembantu, kereta, lembu, pisau dan sebagainya kepada umat. Umat menjadi ketakutan dan selalu lari menghindar bila menjumpai bhikkhu. Bahkan mereka pernah segera lari begitu melihat beberapa lembu yang dikira para bhikkhu berjubah kuning.

Kassapa sendiri yang mengetahui kejadian ini. Ketika beliau meminta makanan di Alavi, orang-orang pada lari dan tidak ada makanan yang diberikan padanya. Dia heran karena biasanya penduduk Alavi selalu siap memberikan sedekah. Beliau sangat terkejut ketika diberitahu penyebabnya, dan hal ini segera dilaporkan pada Sang Buddha yang kemudian tiba di Alavi.

Sang Buddha tertawa dan berkata, "Ternyata umat awam bisa menjadi hakim kebenaran bagi para bhikkhu. Perintahkan bhikkhu-bhikkhu itu menghadap saya."

Ketika bertemu dengan bhikkhu-bhikkhu itu, Kassapa menegur mereka dengan kasar. Berbeda dengan Sang Buddha yang senantiasa lembut sambil menanyakan kebenaran berita yang diperoleh. Beliau berkata, "Cukup sulit bagi kepala-kepala keluarga itu untuk menghidupi keluarganya, apalagi harus menyediakan kereta lembu dan tenaga kerja untuk kalian. Ketika kamu masuk anggota Sangha, kamu sudah diingatkan untuk tinggal di bawah pohon dan tidak mengambil barang jika tidak diberikan dengan ikhlas." Kami merasa bhikkhu-bhikkhu itu merasa sangat malu dan peristiwa seperti itu tidak akan mungkin terulang lagi. Tetapi Kassapa tidak puas.

"Sang Buddha," katanya "Maukah Sang Buddha membuat peraturan bahwa bhikkhu tidak boleh mempunyai tempat tinggal kecuali ada donatur yang menyumbang?"

"Peraturan itu terlalu keras, Kassapa. Pada waktu tertentu, terutama musim hujan, para bhikkhu harus membangun gubuk sendiri jika tidak ada gubuk atau vihara yang tersedia atau mungkin tidak ada dermawan yang mampu atau mau menyumbang."

"Lalu maukah Sang Buddha membuat peraturan bahwa hanya gubuk dari rumput yang boleh dibangun?"

"Ah, Kassapa, kamu ingin sekali membuat peraturan. Tetapi manusia selalu cenderung melanggar peraturan, kecuali jika dalam hati memang ingin menaatinya, sehingga akhirnya tidak ada peraturan-peraturan yang dibuat, karena manusia akan merubahnya. Tetapi baiklah, para bhikkhu dilarang membangun tempat tinggal melebihi gubuk tanpa dermawan dan harus disetujui bhikkhu-bhikkhu lain yang ada di sana, serta pada tempat yang lapang sehingga tidak menebang pohon."

Menelusuri Jejak Kaki Sang Guru

Jika Kassapa ingin membuat peraturan keras bagi yang lainnya, dia malah lebih keras terhadap dirinya sendiri. Dia tidak menyakiti tubuhnya, tetapi dia tidak pernah memanjakannya. Beliau lebih muda dari Sang Buddha, tetapi ketika Sang Buddha sudah tua, Kassapa juga kelihatan tua. Suatu sore, di Hutan Bambu, Sang Buddha mengamati jubah kumal Kassapa dan berkata, "Engkau sudah cukup tua sekarang, Kassapa, dan jubah yang sudah rapuh itu tidak sesuai untuk tubuh yang sudah tua dan lemah. Mengapa kau tidak mengambil jubah yang disumbangkan untukmu? dan maukah kau di samping saya dan menerima makanan yang disumbangkan selain meminta sedekah dengan mangkukmu?"

Kassapa menjawab, "Saya sudah lama hidup sebagai pengembara hutan dan saya mengajurkan pengasingan diri pada yang lain. Saya selalu mengatakan lebih baik meminta sedekah dengan mangkuk daripada menerima sumbangan dan mengenai pakaian, seorang bhikkhu tidak mementingkan penutup tubuhnya. Saya selalu mengenakan jubah kumal dan hanya tiga pasang, usia saya yang semakin bertambah bukan alasan untuk mengubahnya."

Setelah Sang Buddha mencapai Parinirvana, Kassapa yang menyelenggarakan Persamuan Agung pertama yang mengumpulkan kembali sabda-sabda Sang Buddha. Banyak peraturan yang terkumpul dalam pertemuan tersebut karena Kassapa memang menyukai peraturan dan sangat menaatinya. Tetapi peraturan yang ada kebanyakan bukan dibuat oleh Sang Buddha, melainkan oleh kejadian-kejadian yang baru timbul, misalnya, saya pernah menyinggung bahwa Sang Buddha telah menyarankan Sona untuk memakai sepatu dari kulit karena kakinya terluka. Setelah wafatnya Sang Buddha, hal ini menjadi satu bentuk peraturan yakni para bhikkhu diizinkan memakai sepatu dengan hanya satu lapisan. Kemudian, sebagian bhikkhu menahan diri untuk mengambil buah yang jatuh dari pohon walaupun mereka dalam keadaan lapar dan lelah karena hal itu dianggap mengambil tanpa diberi, sebagian menganggap sah-sah saja karena bukan diambil dari pohon. Persepsi lain yang dibuat adalah bahwa seorang lelaki muda dapat ditahbiskan bila ia telah dapat mengusir burung. Hal ini dibuat disebabkan laporan Ananda saat beliau mentahbiskan seorang anak laki-laki, Ananda mengatakan pada Sang Buddha, walaupun anak itu masih muda, tapi ia sudah mampu bertanggung jawab, hal ini dibuktikan dengan mampunya ia menjaga tanaman dari serbuan burung, dan jadilah itu kemudian sebagai suatu peraturan.

Buat aku sendiri, aku lebih senang mengingat apa yang disabdakan Sang Buddha:

"Pada awalnya cuma ada sedikit aturan dan banyak bhikkhu-bhikkhu yang mencapai kesucian. Saat orang-orang berhenti menghidupkan ajaran yang benar, berbagai peraturan dibuat. Tetapi tidak ada aturan yang dapat membentuk kehidupan manusia, itu cuma ajaran palsu. Hanya jika manusia menghormati Dhamma, dan mencari bentuk hidup mereka di dalamnya, maka ajaran yang sesungguhnya akan dapat hidup dan berkembang."