• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 PENDAHULUAN. Latar Belakang"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Pabrik gula merupakan salah satu industri yang strategis di Indonesia karena pabrik gula bermanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, kebutuhan industri lainnya, dan penyedia lapangan pekerjaan. Produksi gula ada dua, yaitu: gula dan gula tetes (molasses). Gula bermanfaat untuk memenuhi konsumsi gula yang berada pada posisi ke-enam dari pangan pokok lainnya, dengan rata-rata konsumsi gula mencapai 7.63 kilogram per kapita per tahun sejak tahun 2009 sampai tahun 2011 (BPS 2011). Gula tetes bermanfaat untuk bahan baku industri farmasi dan pakan ternak (P3GI 2008).

Potensi yang besar dari gula dan gula tetes tersebut membuat pabrik gula nasional berusaha meningkatkan produksi. Produksi gula nasional dihasilkan oleh pabrik gula yang tersebar di Jawa dan luar Jawa. Pabrik gula di Jawa berjumlah 48 pabrik dan pabrik gula di luar Jawa berjumlah 12 pabrik (DGI 2011). Bahan baku gula diperoleh dari perkebunan tebu yang kemudian diolah di pabrik gula dan selanjutnya didistribusikan ke konsumen. Proses produksi dari perkebunanan tebu, distribusi tebu ke pabrik, pengolahan tebu menjadi gula dan gula tetes sampai distribusi ke konsumen dapat menyerap tenaga kerja sekitar 1.40 juta orang sehingga dapat membantu program pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran (Susila 2005).

Pabrik gula nasional awalnya didirikan pada zaman pendudukan Belanda di Indonesia. Periode tersebut merupakan zaman kejayaan pabrik gula nasional karena produksi gula dapat mencapai tiga juta ton per tahun sementara konsumsi gula sebesar 600 ribu ton. Produksi gula tersebut dapat dicapai karena rendemen gula nasional mencapai 11.00 persen per tahun. Penyebab rendemen gula nasional dapat tinggi karena teknik budidaya tebu yang baik dan penggunaan mesin yang berusia muda di pabrik (Susila 2005).

Tabel 1. Produksi, konsumsi, dan impor gula Indonesia tahun 2001-2010 Tahun Produksi (juta ton) Laju produksi (persen) Konsumsi (juta ton) Laju konsumsi (persen) Impor (juta ton) Laju impor (persen) 2001 1.82 3.11 1.28 2002 1.90 4.22 2.87 -7.62 0.97 -24.44 2003 1.99 4.73 3.48 21.21 1.49 53.45 2004 2.05 3.01 3.18 -8.59 1.13 -24.09 2005 2.24 9.26 4.24 33.15 1.99 76.48 2006 2.30 2.94 3.73 -12.01 1.42 -28.81 2007 2.45 6.11 3.75 0.51 1.30 -8.59 2008 2.58 5.39 3.69 -1.57 1.11 -14.70 2009 2.30 -10.89 3.73 1.03 1.43 28.79 2010 2.29 -0.39 4.06 9.04 1.77 24.25 Rata-rata 2.19 2.71 3.73 3.90 1.55 9.15

Sumber: BPS (2011); FAO (2011) (diolah)

Nasionalisasi pabrik gula dari tangan Belanda ke Indonesia berpengaruh terhadap produksi gula nasional. Tabel 1 menunjukkan rata-rata produksi gula

(2)

nasional sebesar 2.19 juta ton per tahun. Produksi gula tersebut tidak dapat memenuhi konsumsi gula nasional yang mencapai 3.73 juta ton per tahun. Jika dilihat dari laju maka laju produksi gula nasional hanya sebesar 2.715 persen per tahun dimana laju tersebut lebih rendah 40.22 persen dari laju konsumsi gula nasional per tahun. Defisit produksi gula nasional menyebabkan impor gula harus dilakukan dengan rata-rata impor gula sebesar 1.55 juta ton dan laju impor gula sebesar 9.15 persen per tahun.

Produksi gula nasional tidak dapat ditingkatkan karena kehilangan sukrosa (kadar gula) relatif tinggi di pabrik gula. Penyebab pertama kehilangan sukrosa terjadi terkait pada pasokan bahan baku (tebu) ke pabrik gula. Setiap pabrik gula tidak ada konsolidasi lahan dengan pabrik gula lainnya karena faktanya terjadi perebutan bahan baku sesama pabrik gula. Pabrik gula hanya fokus untuk mendapatkan bahan baku tanpa memperhatikan kualitas tebu. Fokus tersebut membuat pabrik gula mengambil tebu yang lokasinya relatif jauh dari pabrik gula sehingga distribusi tebu relatif lama sampai ke pabrik gula. P3GI (2008) menunjukkan lokasi lahan yang relatif jauh menyebabkan transfer tebu ke pabrik gula relatif lama sehingga menurunkan bobot tebu dan kadar sukrosa masing-masing sebesar 7.73 dan 8.35 persen.

Selain fakta di atas, pabrik gula juga sering mempercepat jadwal giling untuk mendapatkan tebu padahal tebu belum sesuai untuk di panen. Susila (2005) menyatakan jadwal tanam dan giling yang tidak serentak menyebabkan terjadi kehilangan sukrosa di pabrik gula negara dan swasta masing-masing sebesar 6.47 dan 10.87 persen. Jadwal yang tidak serentak tersebut karena percepatan jadwal panen tebu.

Kehilangan sukrosa mengindikasikan penurunan bobot tebu sehingga produktivitas lahan nasional relatif rendah. Tabel 2 menunjukkan rata-rata luas lahan sebesar 388.67 ribu hektar per tahun dengan produksi tebu sebesar 29.47 juta ton per tahun. Rata-rata produktivitas lahan sebesar 76.07 ton per hektar per tahun. Jika dibandingkan dengan negara lain maka produktivitas tebu nasional lebih rendah daripada produktivitas lahan di Brasil dan Australia masing-masing sebesar 10.50 dan 15.47 persen (USDA 2011). Produktivitas lahan nasional yang rendah tersebut menunjukkan pasokan tebu di pabrik gula nasional relatif rendah daripada pabrik gula di negara lain.

Kehilangan sukrosa juga terkait pada pengolahan tebu di pabrik gula. Mesin yang digunakan oleh pabrik gula nasional rentan terhadap kerusakan yang dilihat dari rata-rata jam berhenti giling di pabrik gula di atas 10.00 persen per tahun dari tahun 1997 sampai sekarang (P3GI 2001). Jam berhenti produksi tersebut menyebabkan penundaan giling sehingga terjadi penurunan sukrosa potensial yang hilang sebesar 3.00 sampai 6.00 persen (P3GI 2001). Penelitian Yuliandari (2008) menyatakan bobot tebu tidak digiling sebesar 8.35 persen menyebabkan sukrosa potensial hilang sebesar 2.67 persen.

Kehilangan sukrosa pada pengolahan tebu di pabrik gula dapat dilihat dari rendemen tebu. Tabel 2 menyatakan rata-rata rendemen tebu nasional sebesar 7.49 persen per tahun. Rendemen tebu nasional sekarang lebih rendah daripada rendemen tebu jaman Belanda sebesar 31.95 persen. Jika dibandingkan dengan rendemen tebu negara lain maka rendemen tebu nasional lebih rendah daripada rendemen tebu negara Brasil dan Austrlia masing-masing sebesar 27.33 dan 34.91 persen (USDA 2011).

(3)

Tabel 2 Produksi tebu, gula, dan rendemen tebu nasional tahun 2001-2010 Tahun Luas lahan

(ribu hektar)

Produksi tebu (juta ton)

Produktivitas lahan (ton per hektar)

Produksi gula (juta ton) Rendemen tebu (persen) 2001 346.44 25.18 72.70 1.82 7.24 2002 350.77 27.30 77.84 1.90 6.96 2003 335.72 22.63 67.41 1.99 8.80 2004 344.79 26.74 77.56 2.05 7.67 2005 381.78 31.24 81.83 2.24 7.17 2006 396.44 30.23 76.26 2.31 7.63 2007 428.40 33.29 77.71 2.49 7.35 2008 433.02 32.41 74.86 2.58 7.96 2009 416.63 30.26 72.62 2.29 7.60 2010 432.71 35.46 81.94 2.29 6.46 rata-rata 386.67 29.47 76.07 2.19 7.49 Sumber: DGI (2011)

Mesin yang sering berhenti beroperasi karena usia mesin sudah tua (di atas 75 tahun) menyebabkan pabrik gula menanggung biaya produksi tetap yang mencapai 700 ribu rupiah per jam (Siagian 1999; Indrayani et al. 2004). Penelitian lain dari Siagian (2003) menyatakan keputusan pabrik gula yang menggunakan mesin yang berusia tua menyebabkan biaya yang dikeluarkan terhadap tenaga kerja, bahan bakar, dan tebu masing-masing berlebihan sebesar 18.50, 30.90, dan 45.90 persen.

Biaya produksi gula dapat dilihat dari harga lelang gula nasional pada tabel 2. Rata-rata harga lelang gula sebesar 5,690.00 Rp/kg dengan rata-rata laju peningkatan sebesar 14.31 persen per tahun. Harga lelang gula tersebut masih lebih tinggi sebesar 41.00 persen dari harga gula impor. Rata-rata rasio harga gula impor terhadap harga lelang gula sebesar 71.89 persen yang dijelaskan pada Tabel 2. Harga gula impor yang rendah daripada harga lelang gula menyebabkan konsumen memilih gula impor sehingga produksi gula nasional tidak dapat ditingkatkan.

Tabel 3 Harga lelang, harga impor, dan rasio harga impor dan lelang tahun 2004-2010

Tahun Harga lelang (Rp/kg) Harga impor (Rp/kg) Rasio impor dan lelang (persen)

2004 3,776.00 2,555.85 67.69 2005 4,798.00 3,133.62 65.31 2006 5,547.00 4,030.11 72.65 2007 5,549.00 3,837.52 69.16 2008 5,289.00 3,792.28 71.70 2009 6,758.00 5,037.16 74.54 2010 8,116.00 6,650.20 81.94 Rata-rata 5,690.00 4,035.26 71.89

Sumber: Sawit (2010); (FAO 2011) (diolah)

Harga lelang gula yang cenderung meningkat dan harga gula impor yang lebih rendah daripada harga lelang gula mengindikasikan penerimaan pabrik gula hanya sebesar harga gula impor dan biaya produksi gula di atas penerimaan pabrik gula. Penelitian Indrayani et al. (2004) menyatakan biaya produksi lebih tinggi

(4)

daripada penerimaan sehingga salah satu pabrik gula menderita kerugian sebesar 758.00 Rp/kg. Fenomena tersebut jika dilihat dari keputusan produksi maka banyak pabrik gula yang tidak mengolah tebu menjadi gula dan membeli gula kasar (raw sugar) untuk diolah menjadi gula. Keputusan yang lain adalah pabrik gula berhenti beroperasi dimana total pabrik gula yang telah berhenti beroperasi berjumlah 11 pabrik gula dari tahun 1998 sampai sekarang (Mediadata 2009).

Salah satu cara untuk meningkatkan produksi gula nasional dapat melalui peningkatan efisiensi pabrik gula nasional. Pentingnya peningkatan produksi gula nasional dapat menghemat devisa di atas 500.00 juta dolar Amerika per tahun dari tahun 2000 sampai tahun 2010 (FAO 2011). Selain itu, penutupan pabrik gula tidak perlu dilakukan. Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pabrik gula nasional sehingga dapat meningkatkan produksi gula nasional.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang selama ini terjadi pada pabrik gula nasional terletak pada rendemen tebu rendah (7.49 persen) dari tahun 2001 sampai tahun 2010. Rendemen tebu dipengaruhi oleh keputusan pabrik gula yang masih menggunakan mesin berusia tua. Rata-rata usia mesin pada penelitian Indrayani et al (2004) sekitar 75 tahun. Mesin tersebut tidak dapat menggiling tebu secara optimal karena kerusakan yang sering terjadi di pabrik gula. Kerusakan dilihat dari jam berhenti produksi mencapai 10.00 persen per hari dari tahun 1997 sampai sekarang. Kerusakan tersebut menyebabkan penundaan giling tebu sehingga rendemen tebu turun sebesar 4.50 sampai 7.00 persen per tahun (P3GI 2001).

Mesin yang tidak produktif tersebut juga menyebabkan bahan bakar yang digunakan relatif tinggi daripada mesin yang berusia muda. Hal tersebut terlihat pada penelitian Yuliandari (2008) yang menyatakan terjadi defisit bahan bakar dari ampas tebu sehingga membeli solar untuk menutupi permasalahan defisit tersebut.

Mesin yang berusia tua juga berkaitan dengan kapasitas produksi. Rata-rata kapasitas produksi sebesar 3000 ton tebu hari. Permasalahan yang sering terjadi karena mesin rusak menyebabkan efisiensi kapasitas produksi hanya berkisar 59.00 sampai 79.00 persen (P3GI 2001). Efisiensi yang rendah tersebut yang menyebabkan penundaan giling sehingga rendemen tebu rendah. Oleh karena itu, pabrik gula yang kapasitas produksi relatif rendah dominan tidak efisien daripada pabrik gula yang kapasitas produksi relatif tinggi (di atas 5000 ton tebu hari) sehingga disarankan pabrik gula meningkatkan kapasitas produksi (Indrayani et al 2004; Siagian 1999).

Peningkatan kapasitas produksi masih dapat diperdebatkan karena rata-rata kapasitas produksi pabrik gula di India hanya sebesar 3000 ton tebu hari tetapi rendemen tebu di pabrik gula tersebut mencapai 8.00 persen per tahun. Rendemen tebu tersebut masih lebih tinggi daripada rendemen tebu di Indonesia yang hanya mencapai 7.49 persen. Singh (2007) menyatakan pabrik gula harus berorientasi pada kemampuan mesin dan pengusaan tebu daripada peningkatan kapasitas produksi. Pernyataan tersebut dapat diterima karena peningkatan kapasitas produksi maka akan meningkatkan luas areal tebu yang dikuasai. Peningkatan luas areal yang mengakibatkan lokasi lahan tebu relatif jauh dari pabrik gula

(5)

sehingga waktu distribusi relatif lama. Dampaknya penurunan bobot tebu dan kadar sukrosa masing-masing sebesar 7.73 dan 8.35 persen (Supatma 2008; P3GI 2008).

Rendemen tebu selain dipengaruhi mesin dan kapasitas produksi, juga dipengaruhi oleh lokasi pabrik gula dan tebu rakyat. Pabrik gula nasional berjumlah 60 pabrik dimana 75 persen berada di Jawa dan sisanya di luar Jawa. Pabrik gula dominan di Jawa karena lahannya lebih subur daripada pabrik gula di luar Jawa. Hal tersebut terlihat pada produktivitas lahan di luar Jawa lebih rendah sebesar 19.80 persen daripada produktivitas lahan di Jawa (DGI 2011). Produktivitas lahan yang tinggi di Jawa menunjukkan bobot tebu lebih tinggi sehingga produksi gula akan meningkat. Permasalahan yang terjadi di Jawa karena bahan baku dominan milik rakyat sehingga mempengaruhi kadar sukrosa. Ketergantungan tebu milik rakyat menyebabkan jadwal tanam dan giling yang tidak serentak. Jadwal yang tidak serentak menyebabkan terjadi kehilangan sukrosa di pabrik gula negara dan swasta masing-masing sebesar 6.47 dan 10.87 persen (Susila 2005).

Berdasarkan uraian di atas maka hadir pertanyaan mengenai apakah mesin yang digunakan pabrik gula masih efisien jika dilihat dari penggunaan input?, bagaimana pengaruh usia mesin, kapasitas produksi, lokasi pabrik gula, dan tebu rakyat terhadap efisiensi pabrik gula nasional?, dan cara apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan efisiensi pabrik gula nasional?.

Tujuan Penelitian 1. Mengukur efisiensi pabrik gula nasional.

2. Menelusuri dan mengukur faktor penentu efisiensi pabrik gula nasional. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini akan memberikan manfaat langsung bagi para pelaku usaha dan instansi terkait dengan industri gula di Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pedoman dalam penanganan faktor produksi di pabrik gula. Diantisipasikan juga bahwa dengan menelaah beberapa penyebab dari masalah faktor produksi dan dengan adanya pengertian yang lebih baik tentang kebutuhan-kebutuhan teknologi produksi gula, maka penelitian ini dapat menjadi sumber informasi yang sangat berharga bagi agenda pencapaian target produksi gula nasional (swasembada gula), penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan yang diprogramkan pemerintah.

Bagi para pengambil keputusan kebijakan di bidang pembangunan pertanian, hasil studi ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi yang berharga. Identifikasi terhadap berbagai faktor pengaruh, terutama sumber-sumber efisiensi, produktivitas dan teknologi produksi dapat dijadikan bahan masukan maupun rekomendasi bagi penentu kebijakan dalam merencanakan dan mengembangkan industri gula nasional pada waktu mendatang. Rekomendasi akan diarahkan seberapa besar tingkat efisiensi dan inefisiensi yang perlu diperbaiki dan seberapa besar biaya yang harus dihemat dalam rangka meningkatkan keuntungan produksi gula bagi pabrik gula. Pada akhirnya perbaikan di hilir (produksi gula) dapat dinikmati pada bagian hulu (perkebunan tebu) karena mendapatkan keuntungan.

Gambar

Tabel 1. Produksi, konsumsi, dan impor gula Indonesia tahun 2001-2010  Tahun  Produksi      (juta ton)  Laju  produksi  (persen)  Konsumsi  (juta ton)  Laju  konsumsi (persen)  Impor      (juta ton)  Laju impor (persen)  2001  1.82  3.11  1.28  2002  1.90  4.22  2.87  -7.62  0.97  -24.44  2003  1.99  4.73  3.48  21.21  1.49  53.45  2004  2.05  3.01  3.18  -8.59  1.13  -24.09  2005  2.24  9.26  4.24  33.15  1.99  76.48  2006  2.30  2.94  3.73  -12.01  1.42  -28.81  2007  2.45  6.11  3.75  0.51  1.30  -8.59  2008  2.58  5.39  3.69  -1.57  1.11  -14.70  2009  2.30  -10.89  3.73  1.03  1.43  28.79  2010  2.29  -0.39  4.06  9.04  1.77  24.25  Rata-rata  2.19  2.71  3.73  3.90  1.55  9.15
Tabel 2 Produksi tebu, gula, dan rendemen tebu nasional tahun 2001-2010  Tahun  Luas lahan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal penerimaan DHE dengan cara pembayaran Usance L/C, Konsinyasi, Pembayaran Kemudian, dan Collection, yang jatuh temponya melebihi atau sama dengan 3

Gambar diatas menjelaskan bahwa setelah sistem menampilkan halaman utama pada aplikasi dan kemudian pengguna memilih menu payment method, maka sistem akan menampilkan

1). Presentase Rumah Tangga Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat Yang dimaksud dengan rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat adalah rumah tangga yang memenuhi

Tabel 4.18 Deskripsi Proses Mengakses menu Home 141 Tabel 4.19 Deskripsi Proses Mengakses Product Profile 141 Tabel 4.20 Deskripsi Proses Mengisi Form Follow Up 142 Tabel 4.21

Dalam program linier kabur, setidaknya dikenal 4 jenis klasifikasi masalah, yakni masalah dengan sumber kabur, sasaran kabur, kendala kabur, serta kombinasi dari

Sejak Indonesia merdeka pendidikan selalu diarahkan kepada pembangunan manusia seutuhnya untuk mempersiapkan sebagai manusia yang mampu mencapai masyarakat adil dan

Oleh kerana rentetan faktor sosial, teknologi dan pengaruh budaya luar yang mempengaruhi pemikiran bangsa Indonesia terhadap sejarah negara sendiri telah menghasilkan pelbagai

Abstract: The differences of increasing students’ achievement in learning English through out cooperative learning at junior high school SMPN satu atap bumijaya