• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI BINGAI KECAMATAN BINJAI BARAT KOTA BINJAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI BINGAI KECAMATAN BINJAI BARAT KOTA BINJAI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI BINGAI KECAMATAN BINJAI BARAT KOTA BINJAI

(Community Structure of Macrozoobenthos in the River Bingai at West Binjai Subdistrict of Binjai City)

Navisa Fairuz 1, Hasan Sitorus 2, Indra Lesmana 2 1

Mahasiswa Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia 20155

(Email: navigawa@gmail.com) 2

Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara Medan, Indonesia 20155

ABSTRACT

River Bingai is used variety of human activities that may increase water pollution which effect on the biological, chemical and physical of water. The objective of the research are to determine the macrozoobenthos and its related to chemical and physical parameters. The method used in this research is purposive sampling where river waters Bingai used as a research location. Based on the research was found 3 classes and 7 genusses of macrozoobenthos in waters of River Bingai, West Binjai Subdistrict. The gastropods was the most abundance in the river. Index of species diversity showed lower value that means water quality was moderate. The evenness index and dominan index was coherent to water quality condition.

Keyword : Macrozoobenthos Community, Water Quality, River Bingai.

PENDAHULUAN

Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya, sehingga kondisi suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan disekitarnya. Sebagai suatu ekosistem, perairan sungai mempunyai berbagai komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi membentuk suatu jalinan fungsional yang

saling mempengaruhi. Komponen pada ekosistem sungai akan terintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang akan mendukung stabilitas ekosistem tersebut (Setiawan, 2009)

Sungai adalah badan air yang mengalir ke satu arah.Air sungai dingin dan jernih serta mengandung sedikit sedimen makanan. Aliran air dan gelombang secara konstan memberikan oksigen pada air. Suhu air bervariasi sesuai dengan ketinggian dan garis lintang.

(2)

Salah satu sungai di kota Binjai Provinsi Sumatera Utara yang dimanfaatkan untuk kepentingan sumber kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat setempat adalah sungai Bingai dimana sungai ini memiliki hulu sungai yang terletak di Namukur Kabupaten Langkat.

Seperti sungai pada umumnya, Sungai Bingai juga mengalami pencemaran yang ditimbulkan akibat dari limbah domestik dan limbah pertanian yang menyebabkan kualitas air diperairan tersebut menurun dan warna air di sungai tersebut kecoklatan. Kondisi perairan tersebut akan mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos di habitat dari perairan Sungai Bingai tersebut.

Makrozoobenthos

berperan penting dalam proses mineralisasi dan pendaur-ulangan bahan organik maupun sebagai salah satu sumber makanan bagi organisme konsumen yang lebih tinggi. Selain itu benthos berfungsi juga menjaga stabilitas dan geofisika sedimen. Penurunan komposisi, kelimpahan dan

keanekaragaman dari

makrozoobenthos biasanya merupakan indikator adanya

gangguan ekologi yang terjadi pada sungai tersebut. Oleh karena itu peran makrozoobenthos dalam keseimbangan ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada kawasan sungai tersebut (Setiawan, 2009).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2014 di perairan Sungai Bingai, Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai Sumatera Utara.

Deskripsi Area Penelitian

Sungai Bingai merupakan sungai yang mengaliri sepanjang kota Binjai. Air disungai ini berwana kecoklatan dan terkadang dibeberapa tempat mengeluarkan bau yang tidak sedap sehingga dapat mengganggu lingkungan disekitarnya. Meski begitu banyak warga yang tinggal di pinggiran sungai tersebut melakukan aktivitas sehari-hari menggunakan air tersebut, misalnya untuk MCK, mengairi sawah atau kegiatan keramba jarring apung. Adapun peta dari Sungai Bingai dapat dilihat dari Gambar 2.

(3)

Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitianini adalah sampel air sungai, alkohol 70%. Alat-alat yang digunakan adalah Surber net, pipet tetes, bola duga, tali plastik, stopwatch, pH meter, termometer, peralatan untuk titrasi, ice box, botol sampel, kantong plastik, kertas label dan alat-alat tulis.

Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sampling dan prosedur penelitian menggunakan

purposive sampling dimana perairan Sungai Bingai dijadikan sebagai lokasi penelitian. Data yang diperoleh merupakan data primer berupa pengukuran dari parameter kualitas air seperti fisika, kimia serta biologi (makrozoobenthos),yang diukur langsung di lapangan dan kemudian dianalisis di laboratorium.

Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel di tiga stasiun.Stasiun I yaitu di Jembatan Besi berada di tengah-tengah atau pusat Kota Binjai yang merupakan daerah Pemukiman. Lokasi stasiun I dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Foto lokasi stasiun I

Kemudian Stasiun II dari penelitian ini berada di Payaroba yang merupakan tempat kegiatan keramba jaring apung, dimana pada keramba tersebut membudidayakan Ikan Nila Thailand atau Nila Bangkok. Lokasi penelitian pada Stasiun II tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Foto Lokasi Stasiun II Lalu kemudian Stasiun III terletak diantara pertemuan dua sungai besar di Kota Binjai yaitu Sungai Bingai dan Sungai Mencirim. Lokasi ini merupakan hilir dari kedua sungai tersebut yang kemudian mengalir hingga ke Deli Serdang. Lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Foto Lokasi Stasiun III Teknik Pengambilan Sampel Makrozoobenthos

Makrozoobenthos diambil dengan menggunakan Surber net. Setelah sampel diperoleh lalu disaring setelah itu dimasukkan kedalam botol sampel dan diawetkan dengan menggunakan alkohol 70% dan diberi label

(4)

menurut stasiun pengambilan sampel. Setelah itu sampel diidentifikasi di Laboratorium. Parameter Penelitian

Parameter utama yang diukur adalah Komposisi jenis, Kepadatan makrozoobentos, Indeks keanekaragaman jenis, Indeks keseragaman jenis, Indeks dominansi jenis. Parameter pendukung adalah faktor fisika kimia perairan antara lain Suhu, pH, Oksigen terlarut, BOD (Biochemical Oxygen Demmand), Kecepatan arus, Analisis tekstur subtrat.

Analisis Data Komposisi Jenis

Komposisi jenis

ditentukan dengan perhitungan jumlah spesies dan jumlah individu pada setiap spesies serta proporsinya, dengan rumus :

Keterangan :ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah total individu.

Kepadatan Makrozoobenthos Kepadatan zoobenthos dapat diukur dengan menghitung jumlah individu per satuan luas (ind/cm2) dengan rumus :

Keterangan: K = Indeks kepadatan (ind/cm2)

Indeks Keanekaragaman Jenis

Untuk melihat

keanekaragaman jenis zoobenthos

digunakan indeks

keanekaragaman Shannon

Wienner (Odum, 1993) dengan rumus sebagai berikut :

∑ Keterangan: H’=Indeks keanekaragaman jenis Pi = ni/N ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah total individu

Keterangan: H’ < 1; Keragaman rendah, penyebaran individu tiapjenis rendah dan kestabilan komunitas rendah.1 ≤ H’ ≤ 3; Keragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan komunitas sedang.H’ > 3; Keragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Indeks Keseragaman Jenis

Jika terjadi penurunan keanekaragaman maka akan mencapai keseragaman, maka keseimbangan komunitas tersebar merata. Rumus yang digunakan untuk Indeks Keseragaman adalah Krebs (1978) diacu oleh Fitriana (2006) seperti di bawah ini:

Keterangan :

E’ = indeks keseragaman (Evenness index)

H’= indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

S = jumlah spesies

Kriteria tingkat keseragaman spesies berdasarkan indeks keseragaman (E’) adalah sebagai berikut:

0 ≤ E < 0,4 : keseragaman rendah

(5)

0,4 ≤ E < 0,6 : keseragaman sedang

0,6 ≤ E ≤ 1,0 : keseragaman tinggi

Indeks Dominansi jenis

Untuk melihat ada atau tidaknya jenis yang mendominasi pada suatu ekosistem dapat dilihat dari nilai indeks dominansi Simpson (Odum, 1993) dengan rumus sebagai berikut :

∑( ) Keterangan: C = Indeks dominansi jenis Pi = ni/N ni = Jumlah individu jenis ke-i

N = Jumlah total individu

Nilai C (indeks dominansi) jenis ini berkisar antara 0-1, jika nilai C mendekati nol berarti tidak ada jenis yang mendominasi dan apabila nilai C mendekati 1 berarti terdapat jenis yang mendominasi perairan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Parameter Fisika Kimia Perairan pada Setiap Stasiun Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, nilai parameter fisika kimia yang diperoleh dari setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Parameter Fisika Kimia Perairan Sungai Bingai pada setiap stasiun penelitian.

Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Baku Mutu

AirKelas III* Fisika: Suhu 0C 24 - 28 25- 29 26 - 30 Deviasi 3 Kecepatan arus m/s 0,3 - 0,6 0,1 – 0,6 0,1 - 0,5 - Kecerahan cm 30 - 90 30 - 90 25 - 60 - Kimia: DO mg/l 4 - 5 3,8 - 5 3,5 – 4,2 3 pH 6,7 – 7,4 7,1 – 7,9 6,9 – 7,8 6-9 BOD5 mg/l 10,3 – 15,1 10,7 – 16,4 11,4 – 17,8 6

Tekstur Substrat Pasir

Berlempung Lempung Berpasir Lempung Berpasir - *PP Nomor 82 Tahun 2001 Keterangan:

Stasiun 1: Aktifitas rumah tangga Stasiun 2: Keramba budidaya Stasiun 3: Muara pertemuan sungai

Struktur Komunitas Makrozoo-benthos pada Lokasi Penelitian

Dari penelitian yang telah dilakukan di Sungai Bingai diperoleh makrozoobenthos yang di temukan pada 3 stasiun penelitian yang terbagi dalam 7

genus yaitu Littorina, Thiara,

Faunus, Melanoides, Quoiya,

Tubifex dan Aeshna. Total individu yang paling banyak ditemukan adalah jenis Thiara. Klasifikasi makrozoobenthos yang diperoleh pada setiap stasiun

(6)

penelitian di perairan sungai Bingai dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Klasifikasi Makrozoobenthos yang Diperoleh Lokasi Penelitian di Perairan Sungai Bingai

Kelas Famili Genus Spesies JumlahIndividu

(Ekor)

Gastropoda Thiaridae Faunus Faunus ater 40

Melanoides Melanoides tuberculosa 251

Thiara Thiara scabra 305

Planaxidae Quoiya Quoiya depiculata 21

Littorinidae Littorina Littorina sundaica 237

Insekta Aeshnidae Aeshna Aeshnidae sp. 5

Oligochaeta Tubifisidae Tubifex Tubifex sp. 5

Komposisi Jenis

Komposisi jenis yang diperoleh selama penelitian di sungai Bingai berkisar antara 0 – 37,34 %. Stasiun yang memiliki nilai komposisi jenis tertinggi

adalah stasiun 1 dengan nilai 37,34%. Terendah juga berada di stasiun 1 dengan nilai 0. Nilai komposisi jenis pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Komposisi Jenis Pada Setiap Stasiun

Nama Spesies Komposisi Jenis

(%)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Faunus ater 4,14 3,77 5,58 Melanoides tuberculosa 37,34 22,26 28,49 Thiara scabra 34,02 35,84 35,75 Quoiya depiculata 1,65 2,64 2,79 Littorina sundaica 22,82 34,71 25,13 Aeshnidae sp. - 0,75 1,39 Tubifex sp. - - 0,83 Kepadatan Makrozoobentos Kepadatan makrozoobentos di perairan Sungai Bingai yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,241 – 0,358 ind/cm2. Stasiun yang memiliki nilai kepadatan makrozoobenthos tertinggi

terdapat pada Stasiun 3 dengan nilai 0,358 ind/cm2. Sedangkan nilai kepadatan makrozoobentos terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 0,241 ind/cm2. Nilai kepadatan makrozoobentos yang terdapat pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 6.

(7)

Gambar 6. Diagram Kepadatan Makrozoobenthos Indeks Keanekaragaman Jenis

Indeks Keanekaragaman Jenis makrozoobentos di perairan Sungai Bingai yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 1,27 – 1,42. Stasiun yang memiliki nilai Indeks Keanekaragaman Jenis tertinggi

terdapat pada Stasiun 3 dengan nilai 1,42. Jenis terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 1,27. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis yang terdapat pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Diagram Indeks Keanekaragaman Jenis Indeks Keseragaman Jenis

Nilai indeks keseragaman jenis yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,73 – 0,79. Indeks keseragaman jenis terendah terdapat pada stasiun 3 yang merupakan wilayah pertemuan sungai dengan nilai

0,73. Sedangkan nilai indeks keseragaman jenis tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 0,79. Stasiun 1 merupakan tempat pemukiman penduduk. Nilai Indeks Keseragaman Jenis yang terdapat pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 8.

0.241 0.265 0.358 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

in d /c m 2 1.27 1.32 1.42 1.15 1.2 1.25 1.3 1.35 1.4 1.45

(8)

Gambar 8. Diagram Indeks Keseragaman Jenis Indeks Dominansi Jenis

Indeks Dominansi Jenis makrozoobentos di perairan Sungai Bingai yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,27 – 0,52. Stasiun yang memiliki nilai Indeks Dominansi Jenis tertinggi terdapat pada

Stasiun 1 dengan nilai 0,52. Sedangkan nilai Indeks Dominansi Jenis terendah terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 0,27. Nilai Indeks Dominansi Jenis yang terdapat pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram Indeks Dominansi Jenis Pembahasan

Parameter Fisika Kimia Perairan pada Lokasi Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan Sungai Bingai suhu yang terdapat pada stasiun 1 berkisar antara 24 – 30oC. Nilai suhu terendah yaitu 24oC, disebabkan oleh pengkuran suhu dilakukan saat setelah hujan sehingga mempengaruhi suhu diperairan sungai Bingai. Sedangkan suhu tertinggi adalah 30 oC yang disebabkan pengukuran dilakukan pada siang hari cerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001, nilai suhu diperairan Sungai Bingai termasuk ke dalam Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Kecepatan arus pada setiap stasiun berkisar antara 0,1 – 0,6 m/s. Nilai kecepatan arus terendah yaitu 0,1 m/s diukur 0.79 0.74 0.73 0.7 0.72 0.74 0.76 0.78 0.8

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

0.52 0.3 0.27 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

(9)

pada saat kondisi air yang relatif bergerak tenang sedangkan kecepatan arus tertinggi dengan yaitu nilai 0,6 m/s diukur pada saat setelah hujan turun sehingga kecepatan arus air meningkat. Kecepatan arus disetiap stasiun dapat mempengaruhi kehidupan makrozoobentos di sungai tersebut.

Nilai kecerahan sungai berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kecerahan di sungai tempat lokasi penelitian berkisar antara 25 – 90 cm. Tinggi rendahnya nilai kecerahan didalam suatu perairan dapat dipengaruhi oleh zat-zat terlarut yang masuk ke dalam air sehingga dapat mempengaruhi masuknya cahaya matahari kedalam badan air tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Barus (2004) yang menyatakan banhwa terjadinya penurunan nilai penetrasi cahaya disebabkan oleh kurangnya intensitas cahaya matahari yang msuk kedalam badan perairan, adanya kekeruhan oleh zat-zat terlarut. Nilai kecerahan yang terdapat pada lokasi stasiun 1 dan stasiun 2 relatif sama karena pada stasiun 1 merupakan lokasi limbah rumah tangga yang ringan dan pada stasiun 2 merupakan lokasi pembudidayaan ikan dimana nilai kecerahan 30 – 60 cm cukup baik untuk produksi perikanan. Sedangkan pada stasiun 3 dengan nilai kecerahan 25 – 60 cm karena lokasi tersebut merupakan tempat pertemuan 2 sungai antara sungai Bingai dan sungai Mencirim.

Nilai DO pada setiap stasiun berkisar antara 3,5 – 5 mg/l. Berdasarkan Barus (2004) menyatakan bahwa nilai oksigen

terlarut diperairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l, semakin rendah nilai DO maka semakin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut. Maka dengan nilai konsentrasi DO tersebut dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan perairan sungai Bingai tersebut masih mampu mendukung kehidupan organisme akuatik didalamnya. Berdasarkan peraturan pemerintah nomor 82 Tahun 2001 meskipun termasuk dalam kategori tercemar,sungai Bingai masih sesuai dengan batas tolerir atau masih dalam batas normal dengan nilai 3. Konsentrasi oksigen terlarut yang dapat mendukung kehidupan organisme akuatik secara normal tidak kurang dari 2 mg/l.

Nilai pH yang diperoleh berkisar antara 6,7 – 7,4. Nilai pH terendah dan tertinggi terdapat pada stasiun 1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 nilai tersebut masih dalam kisaran normal baku mutu air dengan nilai pH 6 – 9. Menurut Odum (1993) yang menyatakan bahwa perairan dengan pH 6 – 9 merupakan perairan dengan kesuburan yang cukup tinggi karena memiliki kisaran pH yang dapat membantu dalam proses perombakan bahan organik yang ada dalam perairan menjadi mineral yang dapat diasimilasikan oleh organisme perairan. Oleh karena itu, nilai pH disungai Bingai masih termasuk baik untuk keberlangsungan kehidupan makrozoobentos.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan nilai BOD5

terendah berada pada stasiun 1 dengan kisaran nilai 10,3 – 15,1 mg/l. sedangkan nilai BOD5

(10)

tertinggi berada pada stasiun 3 dengan nilai 11,4 – 17,8 mg/l. menurut Brower dkk., dalam Sitorus (2008) menyatakan bahwa nilai konsentrasi BOD5

menunjukkan suatu kualitas perairan masih tergolong baik apabila konsumsi O2selama 5 hari berkisar sampai 5 mg/l. Nilai BOD5 pada setiap stasiun

termasuk rendah akan tetapi banyaknya organisme yang dijumpai membuktikan bahwa sungai Bingai masih tergolong baik untuk kehidupan organisme. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kondisi perairan Sungai Bingai masih dapat ditolerir oleh organisme meskipun berdasarkan ambang batas baku mutu air yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 yaitu 6 mg/l.

Tekstur substrat yang terdapat pada stasiun 1 merupakan pasir berlempung dimana pasir lebih mendominasi substrat yang ada pada stasiun 1. Sedangkan pada stasiun 2 dan 3 merupakan stasiun yang substratnya lempung berpasir atau lumpur berpasir dimana stasiun 2 merupakan daerah keramba jaring apung dan stasiun 3 merupakan daerah pertemuan antara sungai Bingai dan sungai Mencirim. Karena itu pada stasiun 2 dan 3 banyak ditemukan jenis Thiara. Jenis

Thiara mampu bertahan hidup pada substrat berlumpur. Karena

Thiara merupakan

makrozoobenthos jenis intoleran atau makrozoobenthos yang mampu bertahan atau mentolerir lingkungan yang tercemar berat sekalipun.

KomposisiJenis

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di sungai Bingai Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai Sumatera Utara, ditemukan sekitar 7 jenis makrozoobenthos yang terdiri dari 3 Kelas yang terdiri dari Gastropoda, Insekta, dan Oligochaeta. Pada Kelas Gastropoda terdapat 3 Famili yaitu Famili Thiaridae, Planaxidae, Littorinidae.

Sedangkan pada Kelas Insekta Terdapat Famili Aeshnidaedan pada Kelas Oligochaeta terdapat Famili Tubifisidae. Family Thiaridae ditemukan 3 genus yakni Faunus, Melanoides dan

Thiara. Famili Planaxidae ditemukan 1 genus yaitu Quoiya

dan Famili Littorinidae ditemukan 1 genus yaitu Littorinadari kelas Insekta terdapat 1 Famili yaitu Aeshnidae dengan genus Aeshna

dan pada kelas Oligochaeta terdapat 1 Famili yaitu Tubifisisdae dengan genus

Tubifex.

Komposisi jenis tertinggi untuk stasiun 1 adalah

Melanoides, nilai Komposisi Jenis untuk Melanoides yaitu 37,34 % . Untuk jenis Thiara juga memiliki nilai komposisi jenis yang tinggi pada stasiun 1 dengan nilai 34,02% nilai komposisi jenis terendah di stasiun 1 yaitu Aeshna

dan Tubifex dengan nilai 0 ini dikarenakan Aeshna dan Tubifex

kurang mampu untuk dapat bertahan pada substrat berpasir yang terdapat pada stasiun 1, oleh sebab itu genus Aeshna dan

Tubifex sulit ditemukan di stasiun 1 tersebut.

Untuk genus Thiara dan

Littorina termasuk jenis makrozoobentos yang mudah

(11)

ditemukan pada stasiun 2. Thiara

memiliki nilai komposisi jenis tertinggi di stasiun 2 dengan nilai 35,84 % sedangkan Littorina

memiliki nilai komposisi jenis berkisar 34,71 %. Nilai komposisi jenis terendah pada stasiun 2 yaitu jenis Tubifex

dengan nilai komposisi jenis 0 karena Tubifex sama sekali tidak ditemukan di stasiun 2. Sedangkan jenis Aeshna juga memiliki nilai komposisi terendah yaitu 0,75% pada stasiun 2.

Pada stasiun 3 nilai Komposisi jenis tertinggi adalah jenis Thiara dengan nilai 35,75% sedangkan nilai komposisi jenis terendah pada stasiun 3 adalah

Tubifex dengan nilai 0,83%.

Tubifex dapat ditemukan di stasiun 3 dikarenakan pada stasiun 3 yang merupakan titik pertemuan antara Sungai Mencirim dan Sungai Bingai sehingga substrat yang terdapat pada titik tersebut adalah lumpur dimana Tubifex mampu hidup di substrat tersebut karena banyaknya kandungan bahan organik. Hal ini sesuai dengan Asry (2014) yang menyatakan bahwa cacing sutra (Tubifex) hidup di perairan tawar, dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya adalah bagian-bagian organik yang terurai dan mengendap didasar perairan tersebut.

Berdasarkan uraian komposisi jenis diatas menunjukkan bahwa komposisi jenis yang tertinggi di Sungai Bingai Kecamatan Binjai Barat Kota Binjai Sumatera Utara adalah Kelas Gastropoda. Sesuai dengan literatur dari Iliana (2010)

yang menyatakan bahwa halini disebabkan karena kelas Gastropodadapat ditemukan di berbagai jenis substrat, baik substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur. Hasil penelitian juga menunjukkan kelas Gastropoda mendominasi komposisi jenis makrozoobentos. Sedangkan nilai Komposisi Jenis terendah untuk semua stasiun adalah Kelas Aeshnidae dengan genus Aeshna

dan Kelas Oligochaeta dengan genus Tubifex.

Kepadatan Makrozoobentos Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Sungai Bingai nilai kepadatan makrozoobentos tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 0,358 ind/cm2. Nilai kepadatan maskrozoobentos di stasiun 2 adalah 0,265 ind/cm2 dan nilai kepadatan makrozoobentos terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 0,241 ind/cm2. Jenis makrozoobentos dengan nilai kepadatan tertinggi adalah berada pada kelas gastropoda dengan genus Thiara, Littorina dan

Melanoides sedangkan untuk genus Quoiya dan Faunus

memiliki nilai terendah untuk kelas Gastropoda. Untuk genus

Aeschna dan Tubifex juga termasuk makrozoobentos dengan nilai kepadatan yang rendah. Ini ditunjukkan dengan sulit ditemukannya makrozoobentos jenis ini di perairan sungai Bingai dengan bahkan untuk jenis Tubifex tidak ditemukan sama sekali pada stasiun 1 dan stasiun 2.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2009) yang menyatakan bahwa Adanya

(12)

perbedaan jumlah komposisi taksa ini dapat disebabkan karena adanya perbedaan pengaruhbahan organik dan adanya perubahan kondisi lingkungan, khususnya substrat sebagai akibat dari kegiatan antropogenik dan industri yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis makrozoobenthos tertentu. Komposisi taksa pada tingkat genus yang hanya berkisar antara 5 – 6 jenis, menandakan bahwa tingkat keanekaragaman taksa ini tergolong rendah. Sedikitnya jumlah taksa yang ditemukan juga tidak dapat menunjukkan bahwa perairan tersebut tercemar.

Menurut Setiawan (2009) penilaian tercemar atau tidaknya suatu ekosistem tidak mudah terdeteksi dari hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Sistem yang stabil, dalam pengertian tahan terhadap gangguan atau bahan pencemar

bisa saja memiliki

keanekaragaman yang rendah atau tinggi, hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat padaperairan tersebut.

Indeks Keanekaragaman Jenis Keanekaragaman

tergantung pada jumlah jenis yang ada dalam suatu komunitas dan pola penyebaran individu antar jenis. Indeks keanekaragaman tidak hanya ditentukan oleh jumlah jenis dan jumlah individu saja tetapi juga dipengaruhi oleh pola penyebaran, jumlah individu pada masing masing jenis. Suatu komunitas dinyatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila ternyata banyak spesies dengan jumlah individu masing masing spesies yang

relatif merata. Dengan kata lain apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.

Indeks Keanekaragaman Jenis yang ditunjukkan berdasarkan hasil penelitian di Sungai Bingai nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 1,42. Hal ini karena pada stasiun 3 merupakan daerah muara, yaitu daerah pertemuan antara Sungai Bingai dan Sungai Mencirim sehingga mengandung banyak bahan-bahan organik yang terkait dengan tingginya tingkat keanekaragaman hayati.

Sedangkan pada stasiun 2 indeks keanekaragaman jenis makrozoobenthos bernilai 1,32. Ini disebabkan karena pada stasiun 2 merupakan lokasi keramba jarring apung. Dan indeks keanekaragaman jenis terendah terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 1,27 karena lokasi stasiun 1 merupakan pemukiman masyarakat. Odum (1993) menyatakan bahwa H’ < 1; Keragaman rendah, penyebaran individu tiap jenis rendah dan kestabilan komunitas rendah. 1 ≤ H’ ≤ 3; Keragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan komunitas sedang. H’ > 3; Keragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap jenis tinggi dan kestabilan komunitas tinggi.

Nilai Indeks

Keanekaragaman Jenis (H’) pada setiap stasiun menunjukkan bahwa keragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap jenis sedang dan kestabilan

(13)

komunitas sedang. Oleh karena itu kondisi yang terjadi pada sungai Bingai mengalami keadaan tercemar sedang, dapat diketahui dengan adanya nilai Indeks keanekaragaman makrozobentos. Sesuai dengan pernyataan Asry (2014) menyatakan bahwa Indeks

keanekaragaman (H')

makrozoobentos sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan berdasarkan komponen biologisnya.

Indeks Keseragaman Jenis Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Sungai Bingai nilai indeks keseragaman jenis berkisar antara 0,73 – 0,79. Nilai keseragaman jenis tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 0,79. Sedangkan nilai keseragaman jenis terendah terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 0,73. Nilai Indeks Keseragaman ketiga stasiun mendekati nilai 1, artinya tingkat keseragaman tinggi yang menggambarkan sebaran atau pembagian jumlah individu tiap jenis merata atau seragam. Menurut Krebs (1985) dalam Iliana (2010) nilai Indeks Keseragaman (E) berkisar antara 0 – 1. Nilai indeks ini menunjukkan penyebaran individu, apabila nilai indeks keseragaman mendekati 0 berarti keseragamannya rendah karena ada jenis yang mendominasi. Bila nilai mendekati 1, maka keseragaman tinggi dan menggambarkan tidak ada jenis yang mendominansi sehingga pembagian jumlah individu pada masing masing jenis sangat seragam atau merata.

Indeks Dominansi Jenis

Indeks Dominansi (C) menunjukkan peranan masing-masing genus suatu komunitas sehingga dapat diketahui dalam suatu komunitas tertentu terdapat

makrozoobentos yang

mendominasi atau tidak, dimana jenis yang mendominasi cenderung mengendalikan komunitas (Simpson, 1984 diacu oleh Hertanto, 2008).

Hasil pengamatan yang telah dilakukan pada Indeks Dominansi jenis nilai tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan nilai 0,52 dan nilai indeks dominansi terendah terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 0,27 seperti yang ditunjukkan pada gambar 9. Nilai yang diperoleh berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa perairan sungai Bingai tidak memiliki jenis makrozoobentos yang mendominansi karena nilai yang diperoleh mendekati 0.

Hal ini sesuai dengan literatur Odum (1993) menyatakan bahwa Nilai C (indeks dominansi) jenis ini berkisar antara 0-1, jika nilai C mendekati nol berarti tidak ada jenis yang mendominasi danapabila nilai C mendekati 1 berarti terdapat jenis yang mendominasi perairan tersebut. Menurut Setiawan (2009), semakin kecil jumlah spesies dan adanya beberapa individu yang jumlahnya lebih besar atau dengan kata lain mendominasi menggambarkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem yang kemungkinan disebabkan adanya tekanan atau gangguan dari lingkungan, sehingga hanya beberapa jenis tertentu saja yang dapatbertahan hidup.

(14)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Makrozoobentos yang ditemukan diperairan sungai Bingai pada pengamatan di 3 stasiun diperoleh 7 genus yang terdiri dari 3 kelas yaitu kelas Gastropoda dengan 4 genus yaitu

Faunus, Melanoides,

Thiara, dan Quoiya kelas Insekta dengan genus

Aeshna dan kelas

Oligochaeta dengan genus

Tubifex. Komposisi Jenis tertinggi terdapat di stasiun 1 Jenis Melanoides dengan nilai 37,34% . sedangkan yang terendah adalah

Aeshna dan Tubifex yang tidak ditemukan di stasiun 1. Nilai keanekaragaman jenis makrozoobentos tertinggi terdapat pada stasiun 3 yang merupakan muara, pertemuan sungai Bingai dan sungai Mencirim dengan nilai sebesar 1,42 dan terendah pada stasiun 1 yaitu tempat aktivitas rumah tangga dengan nilai 1,27. 2. Nilai parameter fisika dan

kimianya menunjukkan bahwa Sungai Bingai masih mampu mentolerir untuk kehidupan makrozoobentos yang terdapat didalamnya dimana nilai indeks keanekaragaman jenis makrozoobentos

mengindikasikan bahwa sungai Bingai tergolong dalam kategori tercemar sedang.

Saran

Perlu penelitian lanjutan untuk sungai Bingai yaitu struktur komunitas Plankton guna

melengkapi penelitian tentang struktur komunitas di Sungai Bingai.

DAFTAR PUSTAKA

Asry, A., 2014. Komunitas Makrozoobentos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. [Skripsi]. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Tentang Ekosistem Daratan. USU Press. Medan. Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Hutan Mangrove Hasil

Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai Bali. Jurnal Biodiversitas. 7 (1) : 67 – 72.

Hertanto, Y. 2008. Sebaran dan Asosiasi Perifiton pada Ekosistem Padang Lamun (Enhalus acoroides) di Perairan Pulau Tidung Besar, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Iliana, S. 2010. Struktur

Komunitas

Makrozoobenthos di Perairan Pulau Sarang Kota Batam. [Jurnal]. UMRAH.

Odum, E. P. 1993. Dasar -

Dasar Ekologi.

Terjemahan Tjahyo Samingan dan Srigandano. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82

(15)

Tahun 2001. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Jakarta.

Setiawan, D. 2009. Studi Komunitas

Makrozoobenthos di Perairan Hilir Sungai Lematang Sekitar Daerah Pasar Bawah Kabupaten Lahat. [Jurnal]. Universitas Sriwijaya. Palembang.

Sitorus, D. 2008.

Keanekaragaman dan Distribusi Bivalvia Serta Kaitannya dengan Faktor Fisik Kimia di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. [Tesis]. Medan. Universitas Sumatera Utara, Sekolah Pasca Sarjana.

Gambar

Gambar 4. Foto Lokasi Stasiun II  Lalu  kemudian  Stasiun  III  terletak  diantara  pertemuan  dua  sungai  besar  di  Kota  Binjai  yaitu  Sungai  Bingai  dan  Sungai  Mencirim
Tabel  1.  Nilai  Parameter  Fisika  Kimia  Perairan  Sungai  Bingai  pada  setiap  stasiun penelitian
Tabel 3. Nilai Komposisi Jenis Pada Setiap Stasiun
Gambar 6. Diagram Kepadatan Makrozoobenthos  Indeks Keanekaragaman Jenis
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

diagnosa ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi akibat Tuberkulosis. Intervensi yang digunakan NOC: keefektifan pola nafas, tidak adanya

Seperti halnya pada harian Jawa Pos dan Kompas, dimana kedua harian ini memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyeleksi suatu isu dan menulis berita mengenai Muktamar

Pokjalin akan melaksanakan perannya dalam Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) dan penyuluhan di rumah warga. Di daerah Kecamatan Pare sendiri memiliki kepadatan nyamuk

Halaman laporan admin merupakan halaman yang digunakan oleh admin untuk melihat dan mencetak data kategori aktiva tetap yang berisi nama kategori, umur ekonomis, metode

Variabel independen dalam pengukuran good corporate governance dapat ditambah tidak hanya diukur dengan menggunakan skor CGPI tetapi juga dapat menggunakan ukuran

“Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Media Grafis dalam Peningkatan Keterampilan Sosial Siswa pada Mata Pelajaran PKn kelas IV SDN Munggu

Hasil penelitian menunjukan Dalam studi kasus penelitian tentang landasan civitas kampus UNDIP dalam memilih moda transportasi baik kendaraan pribadi maupun kendaraan