• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGHAYATAN PSIKOLOGI PADA PEREMPUAN YANG MENGALAMI PERKAWINAN TURUN KASTA (NYEROD) TERHADAP PENYESUAIAN SOSIAL DI BALI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGHAYATAN PSIKOLOGI PADA PEREMPUAN YANG MENGALAMI PERKAWINAN TURUN KASTA (NYEROD) TERHADAP PENYESUAIAN SOSIAL DI BALI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

PENGHAYATAN PSIKOLOGI PADA PEREMPUAN YANG

MENGALAMI PERKAWINAN TURUN KASTA (NYEROD) TERHADAP PENYESUAIAN SOSIAL DI BALI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Ni Ketut Ayu Lestari

NIM : 099114026

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

HIDUP TIDAK MENGHADIAHKAN BARANG

SESUATUPUN

KEPADA MANUSIA TANPA BEKERJA

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Semua usaha ini aku persembahkan kepada Ida Sang Hyang

Widhi Wasa, Sebagai pelindungku

Ibu yang selalu bekerja keras mencukupi kebutuhan hidupku

Bapak yang selalu memberiku perhatian dan dukungan

kakak-kakakku yang selalu memberikan aku semangat.

(6)
(7)

vii

PENGHAYATAN PSIKOLOGI PADA PEREMPUAN YANG

MENGALAMI PERKAWINAN TURUN KASTA (NYEROD) TERHADAP PENYESUAIAN SOSIAL DI BALI

Ni Ketut Ayu Lestari ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana penghayatan psikologi pada perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial di Bali. Dalam proses penyesuaian sosial terdapat 4 area penyesuaian yang di teliti yaitu area kasta dalam diri sendiri, area lingkungan keluarga berkasta, area lingkungan keluarga tidak berkasta/area keluarga suami dan area masyarakat. Keempat area ini dipilih karena menggambarkan lingkungan dari perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta (nyerod) di Bali. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan 3 perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta (nyerod) dan tinggal bersama keluarga suami. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek dapat melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga suami atau tidak berkasta. Subjek mendapatkan penerimaan dari keluarga baru dan dapat beradaptasi di dalam keluarga yang tidak berkasta. Selain itu, alasan lain mengapa subjek dapat beradaptasi dengan mudah terhadap keluarga tidak berkasta adalah kesadaran subjek akan status tidak berkasta yang diterimanya dan tidak adanya penyesalan atas kehilangan status sosialnya. Namun demikian, ketiga subjek tidak aktif dalam kegiatan di masyarakat dan kurang mampu beradaptasi di dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan subjek kurang memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat. Selain itu, subjek juga dibantu oleh mertua dalam berkegiatan di masyarakat sehingga semakin membuat subjek kurang aktif dalam bersosialisasi di masyarakat. Ketiga subjek tidak mampu beradaptasi di dalam keluarga berkasta karena banyaknya penolakan dari anggota keluarga berkasta. Subjek tidak hanya ditolak oleh orang tuanya tetapi juga ditolak oleh paman, bibi dan keluarga besarnya.

(8)

viii

PSYCHOLOGICAL APPRECIATION OF WOMEN HAVING DROPPED-KASTA MARRIAGE AGAINST SOCIAL ADJUSTMENT IN BALI

Ni Ketut Ayu Lestari ABSTRACT

The purpose of this study is to describe the psychological appreciation of women having dropped-kasta marriage against social adjustment in Bali. In the process of social adaptation, there are 4 (four) parameters analyzed in this study, which are subjects’ point of view of caste, subjects’ adaptation in her caste family (biological family), subjects’ adaption in her non-caste

family (husband’s family) and subjects’ adaptation in the community. Those four parameters will be describe the adaptation of a down-caste marriage (nyerod) women in Bali. This study using the Descriptive Qualitative Method, with 3 (Three) married women who experienced down-caste marriage (nyerod) and live with their husband’s family as subjects. The result of this study shows in terms of subjects’ social adaptation to her husband family. Subjects got acceptance from their new family and able to follow the activities on non-caste family. Futhermore by subject awareness of their non-caste status and no regrets about losing their social status was the other reason they could easily adapt to their non-caste family. However, the unwillingness to participate in community activities and the intervention of their parents-in-law in community activities caused the subjects become not active enough in the community activities and failed to adapt in community. Subjects also failed to adapt in their caste-family because of many rejections from their caste family (biological family). not only their parents, but also their uncle, aunt and other member of family.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widi Wasa karena atas

asung kertha wara nugraha-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

dan tepat waktu. Skripsi yang berjudul “Gambaran Penyesuaian Sosial Pada

Perempuan Yang Mengalami Perkawinan Turun Kasta (Nyerod) di Baliini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Saya juga memohon maaf apabila dalam pengerjaan skripsi ini masih terdapat

kesalahan yang tidak semestinya dilakukan. Oleh karena itu, saya sangat

mengharapkan saran, masukan, dan koreksi yang bersifat membangun kearah

yang lebih baik demi kesempurnaan ilmu yang telah peroleh di Fakultas

Psikologi.

Proses penyelesaian skripsi ini melibatkan banyak pihak yang dengan tulus

memberikan bantuan dan dukungannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini

saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu

dan mendukung saya selama proses penulisan skripsi ini. Secara khusus saya

ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ida Sang Hyang Widi Wasa yang selalu memberikan kesehatan, perlindungan,

dan kelancaran dalam pengerjaan skripsi ini sehingga saya bisa menyelesaikan

skripsi ini dengan baik.

2. Bapak, Ibu, dan kakak-kakak saya di Bali yang memberikan semangat serta

(11)

xi

3. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak

membantu saya dalam mengembangkan dan menyelesaikan skripsi ini. Terima

kasih juga karena Bapak telah banyak membantu dalam proses pengerjaan

skripsi ini. Terima kasih atas semangat, nasihat, bimbingan dan kesabaran

bapak selama saya menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi. Ilmu dan

pengalaman yang telah Bapak berikan akan selalu saya ingat dan

mudah-mudahan suatu saat nanti bisa saya balas meskipun tidak akan sebanding

dengan apa yang telah Bapak berikan kepada saya.

4. Bapak Adi dan Suster Wina selaku dosen di Psikologi yang selalu

memberikan semangat dan bimbingan disaat saya mengalami kesuliutan.

Terima kasih atas masukan dan diskusi-diskusi yang di berikan sehingga

menjadi masukan untuk saya dalam memahami pengetahuan-pengetahuan di

Psikologi.

5. Dosen penguji 2 dan 3 yang berkenan menguji penelitian saya dan

memberikan masukan untuk penelitian yang telah saya buat.

6. Mas Gandung dan bu Nanik yang selalu sabar membantu untuk mencari

informasi seputar permasalahan di psikologi. Mas Doni dan mas Muji yang

selalumu membantu dalam kegiatan di laboratorium psikologi. Pad Gie yang

selalu membantu saya jika mengalami kesulitan apapun. Terima kasih banyak

atas kesabaran dan bantuan kalian selama ini.

7. Teman-teman yang selalu memberi semangat dan mendukung saya yaitu :

Tifany Christanti, Ayu Prativi, Fransisica Dina, Aprilia Pino, Puji, Manik

(12)

xii

Mbak Dessy, Adita Primasti, Rika, Naris dan semua teman-teman yang

namanya tidak mungkin disebutkan satu per satu. Saya mengucapkan banyak

trimakasih atas dukungan, semangat, diskusi dan canda tawa selama kita

belajar dan mengenyam pendidikan sarjana.

8. Gede Bagus Dwi Swasti Antara sebagai orang yang saya sayangi yang selalu

memberi dukungan kepada saya dalam keadaan apapun dan selalu menjadi

satu-satunya alasan kenapa saya harus menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih

untuk selalu memberikan kebahagiaan , selalu sabar, selalu tersenyum dan

selalu memberikan hal-hal positif dalam hidup saya.

9. Teman-teman Psikologi angkatan 2009 yang tidak mungkin saya sebutkan

namanya satu per satu. Terima kasih atas dukungan dan kebersamaan kalian

selama kita belajar ilmu jiwa ini.

10.Terima kasih kepada seluruh pihak yang senantiasa memberikan dukungan

dan doa untuk kesuksesan saya dalam menyelesaikan tugas sebagai

mahasiswa. Terima kasih.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca

maupun penulis sendiri untuk bahan studi selanjutnya. Astungkara.

Penulis,

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KAYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Masyarakat Bali ... 11

1. Tatanan Sosial di Bali ... 12

2. Perkawinan Adat Bali ... ………. 14

3. Sistem Kekeluargaan di Bali ... ………. 17

4. Kasta atau Wangsa ... ………. 17

5. Kasta Pada Masyarakat Hindu... ………. 18

B. Perkawinan Turun Kasta atau Dengan Cara Ngerorod……. ... 22

(14)

xiv

D. Penyesuaian Diri... ………. 24

E. Penyesuaian Sosial ... ………. 25

1. Pengertian Penyesuaian Sosial ... ………. 25

2. Aspek Penyesuaian Sosial ... ……. 26

3. Faktor-Faktor Penyesuaian Sosial ... ………. 27

F. Hubungan Manusia Dengan Lingkungan ... ………. 28

G. Penyesuaian Sosial Yang Berkaitan Dengan Pernikahan Turun Kasta ... ………. 29

H. Konsep Yang Diteliti ... ………. 30

I. Pertanyaan Penelitian ... ………. 31

J. Kerangka Penelitian... ………. 32

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Definisi Operasional ... ………. 33

B. Jenis Penelitian ... ………. 33

C. Fokus Penelitian ... 35

D. Subjek Penelitian ... 36

E. Metode pengambilan Data ... ………. 37

F. Metode Analisis Data ... ………. 41

G. Kredibilitas Penelitian ... ………. 43

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Proses Penelitian... 45

1. Persiapan Penelitian... ………. 45

2. Pelaksanaan Penelitian ... ……. 46

3. Proses Analisis Data ... ………. 47

4. Jadwal Pengambilan Data... ………. 48

B. Profil Subjek ... 52

C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 63

D. Deskripsi Tema... ………. 68

(15)

xv

2. Area Lingkungan Keluarga Berkasta ... ………. 71

3. Area Lingkungan Keluarga Tidak Berkasta ... ………. 74

4. Area Masyarakat ... ………. 77

E. Pembahasan ... ………. 79

F. Pembahasan Secara Menyeluruh (3 Subjek) ... ………. 84

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

A. Kesimpulan ... 89

B. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... ………. 92

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Golongan kasta (tri wangsa) ... 20

Tabel 2. Golongan sudra wangsa ... 21

Tabel 3. Pedoman wawancara ... 38

Tabel 4. Jadwal wawancara dengan subjek 1 ... 48

Tabel 5. Jadwal wawancara dengan subjek 2 ... 50

Tabel 6. Jadwal wawancara dengan subjek 3 ... 51

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Subjek 1 ... 96

Subjek 2 ... 110

(18)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini perkawinan beda kasta atau wangsa masih menjadi polemik di

masyarakat Bali. Walaupun hukum Nasional sudah menghapuskan hal-hal

yang berkaitan dengan perbedaan kasta, namun masyarakat Bali tetap

menganut hal tersebut. Perempuan yang tergolong tri wangsa akan

mengalami jatuh kasta ketika menikah dengan laki-laki yang berasal dari

kasta yang lebih rendah menurut tingkatan kasta di Bali. Dengan demikian,

akan terjadi perubahan identitas di dalam dirinya yang membuat dirinya harus

menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya (Dewi,2003).

Penyesuaian diri terhadap lingkungannya disebut dengan penyesuaian

sosial. Penyesuaian sosial ini dilakukan agar individu dapat mencapai

keselarasan dan kebahagiaan dilingkungannya yang baru. Hal ini juga

dilakukan oleh perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta.

Perempuan tersebut akan melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan

keluarga asalnya dan lingkungan barunya seperti keluarga suami dan

masyarakat. Hal itu dikarenakan perempuan ini menyandang identitas baru

sebagai perempuan tidak berkasta. Penyesuaian sosial inipun harus dilakukan

karena masyarakat Bali sangat erat dengan budaya sehingga kehidupan di

masyarakat harus diperhatikan (Listyawati,2002).

Masyarakat Bali memiliki tatanan sosial yang disebut awig-awig.

(19)

tidak terlepas dengan tatanan sosial awig-awig. Tatanan sosial ini merupakan

struktur dan kultur yang menaungi kehidupan masyarakat Bali. Akan tetapi,

setiap daerah memiliki perbedaan isi awig-awig sesuai dengan

desa-kala-patra (tempat,waktu, dan keadaan) sehingga dapat di sepakati dan digunakan

oleh masyarakatnya. Suatu kenyataan bahwa hal ini dapat menimbulkan

masalah sosial. Berbagai masalah sosial yang timbul dalam masyarakat Bali

masa tahun2000-an, diasumsikan berkait dengan tatanan sosial sebagaimana

yang ada dalam awig-awig. Berbagai masalah yang muncul, dalam bentuk

actual reality”, misalnya masih banyaknya timbul soal ketidaksederajatan

manusia (Bali Post, 2004), konflik penyebutan kebangsawanan (Bali Post,

2004), serta awig-awig yang melanggar hak asasi manusia (HAM) (Bali Post,

2005) (Manuaba,2010).

Menurut Mangku (2010) jaman dahulu masyarakat dari golongan tri

wangsa yaitu kaum brahmana, ksatrya, dan waisya melarang anggota

keluarganya untuk menikah dengan masyarakat golongan jaba wangsa yaitu

sudra. Jika hal itu dilanggar maka akan mendapatkan sangsi atau hukuman

berupa di buang kedua-duanya atau laki-laki di denda dan wanita di turunkan

kastanya (nyerod). Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan yang

diungkapkan oleh Maharatni & Handayani (2004) yang mengatakan bahwa

terdapat larangan bagi laki-laki dari wangsa yang lebih rendah untuk

menikahi perempuan dari wangsa yang lebih tinggi. Jika hal itu dilakukan

maka perempuan dari wangsa yang lebih tinggi akan mendapatkan sangsi

(20)

membawa aib. Hal-hal seperti itu dilakukan oleh masyarakat tri wangsa

karena mereka menganggap bahwa pernikahan tersebut telah merendahkan

martabat atau harga diri dari golongan tri wangsa.

Perempuan yang mengalami perkawinan nyerod (turun kasta) akan

mendapatkan sangsi berupa dikeluarkan dari klannya dan dijatuhkan kastanya

(patita) serta ada yang mendapatkan sangsi berupa selong (buangan).

Perempuan yang dikeluarkan dari klannya dan di jatuhkan kastanya tidak

akan memiliki nama atau sebutan seperti di lingkungan keluarganya.

Perempuan ini tidak akan menggunakan bahasa halus untuk berbicara

sehari-hari, namun akan mengikuti bahasa dilingkungannya tinggal. Sedangkan,

untuk hukuman selong (buangan), perempuan ini tidak boleh datang ke

rumah keluarga besar (puri atau griya), tidak boleh mebakti (berdoa di

rumah), dan tidak boleh makan bersama dengan keluarga besarnya lagi

(Dewi,2003).

Hal tersebut terlihat pada penggalan pengalaman dari seorang

perempuan keturunan wangsa ksatrya yang menikah dengan laki-laki sudra

wangsa :

“Upacara pernikahan mereka berdua berlangsung khidmat dalam suasana

kesederhanaan. Hanya beberapa kerabat terdekat dari IPA(nama inisial) yang

menghadiri acara mereka berdua, sementara sudah menjadi tradisi bahwa seseorang

yang nyerod wangsa, pantang bagi pihak keluarga dari wangsa yang lebih tinggi

untuk datang apalagi menghadiri pernikahan tersebut. Terlebih lagi kedua orang

tuanya menganggap telah membuang anak kesayangannya yaitu

(21)

Dari pernyataan diatas, dapat dilihat bahwa seorang perempuan yang

mengalami pernikahan turun kasta (nyerod) telah mendapatkan hukumannya

yaitu di buang dari keluarganya. Perempuan ini akan masuk ke keluarga yang

baru yaitu menjadi seorang istri dari kasta yang lebih rendah dari keluarga

asalnya. Hal itu dikarenakan hukum adat Bali yang menganut sistem

perkawinan patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan laki-laki. Dengan

demikian perempuan ini akan mengalami perubahan identitas. Proses

perubahan identitas ini sebenarnya sudah dialami sejak perempuan tersebut

memilih untuk melepaskan klain kebangsawanannya (Dewi,2003).

Pertentangan perkawinan turun kasta masih sampai saat ini. Akan

tetapi, pada jaman dulu perempuan tersebut benar-benar tidak dapat pulang

kerumah atau berkomunikasi dengan orang-orang berkasta di keluarganya,

Namun kini untuk perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta masih

dapat berkomunikasi dengan orang-orang dilingkungan keluarga berkastanya.

Hal tersebut dikarenakan adanya teknologi yang semakin maju dan

kemudahan mereka untuk berkomunikasi. Selain itu, pengertian kasta

terdahulu merupakan identitas seseorang dilihat dari penggolongan pekerjaan.

Akan tetapi, kini kasta merupakan identitas seseorang yang dilihat dari

warisan keturunan. Misalnya saja seorang yang dulunya brahmana merupakan

seorang pendeta, kini orang brahmana tidak hanya seorang pendeta namun

mereka juga bisa menjadi seorang pedagang. Dengan demikian, status kasta

yang disandang seseorang pada jaman sekarang hanya merupakan identitas

(22)

Perempuan yang mengalami turun kasta tersebut akan mengalami

perubahan indentitas. Hal tersebut dikarenakan lingkungan di sekitarnya yang

berubah bukan dikarenakan individunya. Misalnya saja seperti perempuan

yang terlahir di lingkungan keluarga yang memiliki kasta tinggi. Perempuan

tersebut akan di hormati dan diagungkan dengan gelar kebangsawanannya.

Akan tetapi, setelah perempuan itu memutuskan untuk tidak menggunakan

gelarnya lagi, maka perempuan ini akan memperoleh identitas baru yaitu

sebagai perempuan yang tidak memiliki kasta atau memiliki kasta yang lebih

rendah dari sebelumnya. Dengan demikian, perempuan tersebut harus bisa

menerima dan menyesuaikan diri dengan identitasnya yang baru tersebut

(Dewi, 2003).

Menurut Agustiani (2009), dalam pembentukan identitas barunya,

seseorang memerlukan adanya penyesuaian diri agar dapat memperoleh

keselarasan dan keharmonisan antar tuntutan dalam diri dengan apa yang

diharapkan oleh lingkungan. Identitas baru sebagai perempuan yang tidak

berkasta akan membuat perempuan ini menyesuaikan diri dengan lingkungan

barunya sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan ini harus bisa

melakukan penyesuaian sosial. Hal itu dilakukan agar perempuan ini

mendapatkan kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh

Hurlock (1995) bahwa seseorang supaya bahagia harus dapat melakukan

penyesuaian diri maupun penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial ini tidak bisa

(23)

penyesuaian diri terlebih dahulu untuk dapat melakukan penyesuaian sosial

dengan baik (Listyawati,2002).

Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri merupakan satu proses

yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan

usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan

frustasi yang dialami di dalam dirinya. Selain itu, Schneiders juga

mengatakan bahwa orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah

orang yang mengerti keterbatasan yang ada pada dirinya dan mau belajar

untuk bereaksi terhadap dirinya maupun lingkungan dengan cara yang

matang. Dengan kata lain, orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik

berarti dapat menerima dirinya dengan baik pula (Agustiani, 2009).

Hal serupa juga dikatakan oleh Listyawati (2002) bahwa penyesuaian

sebagai suatu proses untuk mencapai suatu keseimbangan sosial dengan

lingkungan dan sebagai suatu proses belajar, yaitu belajar memahami,

mengerti dan berusaha untuk melakukan apa yang dilakukan dan diinginkan

oleh individu maupun lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, penyesuaian diri

dan penyesuaian sosial harus dapat dilakukan agar mencapai keselarasan dan

kebahagiaan. Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan

individu terhadap lingkungan diluar dirinya. misalnya, lingkungan rumah,

sekolah, dan masyarakat. Penyesuaian sosial ini yang akan dilakukan oleh

perempuan yang mengalami turun kasta. perempuan tersebut akan

menyesuaikan dirinya dengan lingkungan disekitarnya atau dengan

(24)

Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa seseorang yang dapat

menyesuaikan diri di lingkungannya dengan baik maka akan memperoleh

keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang

diharapkan oleh lingkungannya. Hal ini tercermin ketika seseorang

mengalami perubahan identitas. Seorang yang mendapatkan identitas baru

akan kembali menyesuaikan diri di lingkungannya untuk mendapatkan

kenyamanan di dalam lingkungannya. Hal itu membuat orang tersebut

kembali menyesuaikan diri dan melakukan penyesuaian sosial. Ketika

seorang perempuan yang mengalami turun kasta mendapatkan identitas baru

sebagai perempuan biasa atau jaba wangsa, maka perempuan ini harus

melakukan penyesuaian sosial yaitu menyesuaikan diri dengan

lingkungannya yang baru (Dewi, 2003).

Walaupun perempuan yang memutuskan untuk menikah turun kasta

ini harus mendapatkan hukuman sosial berupa dibuang dari keluarga dan

dijatuhkan kastanya, namun mereka tetap melakukan hal tersebut. Adapun

motivasi-motivasi yang dilakukan perempuan tersebut untuk melakukan

perkawinan turun kasta seperti, karena cinta dengan pasangannya yang bukan

orang berkasta, menghindari perjodohan, keinginan untuk bebas, dan lainnya.

Dari beberapa motivasi tersebut, perempuan yang mengalami perkawinan

turun kasta ini tidak akan menyesal untuk memutuskan menikah turun kasta.

Akan tetapi, apakah dengan begitu mereka tetap dapat melakukan

(25)

tidak berkasta serta apakah mereka tetap dapat berhubungan baik dengan

keluarga berkastanya?

Berdasarkan dari uraian diatas, maka peneliti ingin menggambarkan

bagaimana penghayatan psikologi pada perempuan yang mengalami

perkawinan turun kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial yaitu

menyesuaikan diri dilingkungannya yang baru dalam upaya menjalankan

identitas barunya sebagai perempuan berkasta lebih rendah dari keluarga

asalnya. Dari penelitian ini akan terlihat bagaimana gambaran penghayatan

psikologi pada perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta (nyerod)

dalam melakukan penyesuaian sosial. Hal tersebut akan di lihat dengan area

penyesuaian sosial pada perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta

(nyerod) ini dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya yang baru.

Area penyesuaian sosial ini antara lain lingkungan masyarakat, lingkungan

keluarga yang baru dan lingkungan keluarga yang lama. Selain itu, penelitian

ini juga akan menggambarkan bagaimana perempuan yang mengalami

pernikahan turun kasta memandang status kasta dalam dirinya dan menerima

keadaan yang telah mereka pilih sehingga dapat hidup dengan nyaman

dilingkungannya yang baru.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang diajukan dalam

penelitian ini adalah bagaimana penghayatan psikologi pada perempuan yang

mengalami perkawinan turun kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial di

(26)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskriptifkan bagaimana

penghayatan psikologi pada perempuan yang mengalami perkawinan turun

kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial di Bali. Selain itu,penelitian ini

juga bertujuan untuk mengetahui pandangan perempuan ini dalam melihat

status kasta yang kini mereka sandang yaitu sebagai perempuan tidak

berkasta.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang

psikologi, terutama dalam bidang psikologi sosial. Penelitian ini dapat

memberikan gambaran mengenai bagaimana penyesuaian sosial pada

perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta (nyerod) dapat

menyesuaikan dirinya di lingkungan baru dengan identitas baru yang

dimilikinya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi subjek dan perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta

Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk subjek atau perempuan

yang mengalami perkawinan turun kasta (nyerod) untuk menyadari bahwa

dengan identitas baru yang mereka sandang setelah melepaskan identitas lama

mereka sebagai perempuan berkasta tinggi, mereka harus bisa lebih menerima

dirinya dan belajar untuk melakukan penyesuaian sosial agar kelak tidak

(27)

yang masih erat yaitu dimana seorang individu harus dapat bersosialisasi

tidak hanya dengan pasangannya saja, namun juga dengan keluarga dan

masyarakat yang lebih luas.

b. Bagi masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan

memberikan wawasan serta pemahaman yang menyeluruh bagi masyarakat

untuk memahami tentang penyesuaian sosial pada perempuan yang

mengalami perkawinan turun kasta (nyerod). Bagaimana permasalahan yang

timbul dalam proses penyesuaian sosial pada perempuan yang mengalami

perkawinan turun kasta (nyerod) tersebut, sehingga dapat memahami situasi

(28)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Masyarakat di Bali

Masyarakat Bali menyadari bahwa mereka terikat dengan suatu kebudayaan

Bali yang bersumber pada ajaran agama Hindu yang mencakup pada tatanan

upacara, tatanan sosial sampai pada sistem kekeluargaannya. Hal itu terlihat dari

bagaimana masyarakat adat Bali melakukan upacara kelahiran (Otonan), upacara

saat remaja (menek kelih), upacara pembersihan diri (mesangih/mepandes),

melakukan upacara perkawinan (nganten), sampai pada upacara kematian

(ngaben) yang sesuai dengan ajaran agama Hindu. Seolah-olah segala fase

kehidupan manusia selalu ada perayaan yang mengiringi.

Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki Teks awig-awig yang merupakan

suatu tatanan sosial masyarakat Bali. Setiap tindakan, sikap, dan perilaku sosial

yang dilakukan masyarakat Bali tidak terlepas dengan tatanan sosial awig-awig.

Tatanan sosial ini merupakan struktur dan kultur yang menaungi kehidupan

masyarakat Bali. Dalam realitas empirik di Bali, awig-awig tertulis dimiliki oleh

setiap Banjar adat yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Terdapat

perbedaan yang mempengaruhi dalam pembuatan awig-awig tersebut untuk setiap

banjar adat. Faktor-faktor tersebut sering disebut dengan desa-kala-patra

(tempat,waktu, dan keadaan) yang menjadi penentu seperti apa awig-awig harus

(29)

1. Tatanan sosial di Bali

Teks awig-awig dalam masyarakat Bali adalah tata sosial kehidupan

masyarakat Bali. Awig-awig merupakan salah satu istilah yang khas Bali, untuk

menyebut norma yang mengatur kehidupan masyarakat, khususnya di desa adat.

Awig-awig pada setiap desa adat di Bali, sudah ada sejak sebuah desa adat itu ada.

Semua awig-awig yang ada pada setiap desa adat di Bali, dibuat dalam bentuk

tertulis, yaitu berupa teks. Namun, awig-awig sebagai norma pada setiap desa adat

di Bali, memang menjadi tata sosial yang sangat dipatuhi sejak masyarakat

dibentuk. Oleh karena itu, awig-awig menjadi pengikat setiap warga desa dalam

satu kesatuan desa adat. Selain itu, stabilitas desa sebagian besar ditentukan oleh

awig-awig yang telah hidup dan berkembang sesuai dengan kepentingan

masyarakat desa setempat. Sebagaimana halnya pertumbuhan dan perkembangan

masyarakatnya, awig-awig dibuat oleh, untuk, dan dari krama desa serta

dipelihara dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran (Manuaba,2010).

Seiring dengan perkembangan tingkat pendidikan di Bali, terjadilah usaha

penulisan awig-awig baik yang dibina oleh tim penelitian dan penulisan

awig-awig yang ada di setiap kabupaten maupun tanpa pembinaan oleh tim tersebut

(Windia, 1997). Selain itu, Windia juga menyatakan bahwa jika penulisan

awig-awig yang dibina oleh tim pembinaan dari kabupaten, tidak mengalami kesulitan

terutama dalam menuangkan konsep aturan yang semula belum ada atau

mengubah ketentuan awig-awig yang telah mendarah-daging. Akan tetapi, jika

penulisan awig-awig tidak di damping oleh tim Pembina akan mengalami banyak

(30)

Soeripto, 1979 (dalam Manuaba, 2010) mengungkapkan bahwa

perkembangan bentuk dan sistematik awig-awig memang sesuai dengan tingkat

kemajuan masyarakat. Maka dari itu, dapat dilihat adanya awig-awig yang belum

dan telah dituliskan. Terdapat awig-awig yang telah ditulis secara sistematik dan

juga sebaliknya. Awig-awig sebagai norma dan tertib sosial, dapat dikatakan

sudah ada bertahun-tahun. Namun, dalam karakteristiknya sebagai teks tertulis,

awig-awig baru ada secara tertulis seiring dengan berkembangnya dunia

pendidikan di Bali sekitar tahun 1920-an atau 1930-an. Tradisi penulisan

awig-awig juga terus mengalami penyempurnaan hingga tahun 1990-an. Sebagai

sebuah norma yang disepakati wargadesa, awig-awig wajib ditaati oleh

masyarakatnya. Awig-awig itulah yang mengatur seperti apa suatu masyarakat

harus dijalankan, bagaimana individu-individu warga desa harus berperilaku dan

bertindak dalam masyarakat (Manuaba,2010).

Dalam skala yang lebih kecil sebagai bagian (sub unit) desa dikenal banjar

baik adat maupun dinas. Pengertian Banjar kaitannya dengan desa adat di Bali

adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa adat serta merupakan

persekutuan hidup sosial dalam keadaan senang maupun susah. Banjar sebagai

lembaga tradisional merupakan bagian desa yang memiliki fasilitas lingkungan

berupa Bale banjar yang dilengkapi Pura Banjar, sebagai tempat pertemuan,

kegiatan sosial, upacara dan orientasi warga banjar (dwijendra, 2003).

Semua banjar adat di Bali memiliki awig-awig, sebagai norma sosial yang

disepakati masyarakatnya. Dikarenakan awig-awig ini berdasarkan pada

(31)

dengan yang lainnya memiliki perbedaan. Oleh karena itu, dari segi tujuan dan

konseptualnya, awig-awig antara desa yang satu dengan yang lainnya memang

sama, namun dalam muatan isinya berbeda. Dengan demikian, awig-awig desa

tertentu hanya dapat berlaku untuk desa tertentu itu saja. Kondisi dari

masing-masing desa sangat menentukan isi dari awig-awig (manuaba,2010).

Awig-awig sebagai tata sosial masyarakat adat Bali, mengatur segala sesuatu

yang berkait dengan adat kemasyarakatan, yang hanya diberlakukan khusus untuk

umat Hindu. Umat Islam, Kristen-Protestan, Katolik, Budha, dan lainnya yang ada

di Bali, tidak termasuk warga yang diwajibkan menjalankan awig-awig namun

beberapa umat beragama ini mengikuti aturan desa dinas/kelurahan/pemerintahan

desa. Awig-awig meski secara fisik berupa tatanan sosial masyarakat desa, namun

sering kali disebut juga sebagai salah satu hukum adat. Isi awig-awig, umumnya

mengatur pemeliharaan hubungan yang harmonis, baik antara manusia dengan

Tuhan (parahyangan), manusia dengan lingkungan masyarakatnya (palemahan),

dan manusia dengan manusia lainnya di dalam hubungan kemasyarakatan

(pawongan) (manuaba, 2010).

2. Perkawinan adat Bali

Perkawinan di Bali dikenal dengan beberapa istilah yaitu pawiwahan,

nganten, pewarang, dan lain sebagainya. Kata “kawin” dalam kehidupan sehari

-hari di Bali disebut dengan nganten yang sebenarnya sama dengan perkawinan

yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Akan tetapi, menurut Diputra

(2003) bahwa perkawinan menurut umat Hindu adalah ikatan antara seorang

(32)

seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak laki-laki dalam rangka

menyelamatkan arwah orang tuanya. Seperti yang telah dijelaskan diatas dalam

pandangan agama Hindu perkawinan ditujukan untuk mendapatkan keturunan.

Keturunan ini yang nantinya akan membantu orang tua untuk mencari jalan pada

saat orang tua meninggal.

Selain itu, keturunan inilah yang nantinya akan meneruskan hubungan

bermasyarakat seperti misalnya mebanjar atau dadia. Maka dari itu biasanya

orang Bali mencari keturunan laki-laki untuk meneruskan hal itu, karena biasanya

anak perempuan di Bali akan mengikuti suaminya. Jadi laki-laki menjadi kepala

keluarga dan perempuan mengikuti laki-laki sehingga keturunan laki-laki sangat

diutamakan untuk meneruskan semua hal dalam keluarga. Oleh karena itu,

perkawinan tidaklah hanya menyangkut perempuan dan laki-laki yang sama-sama

suka, namun juga melibatkan banyak hal termasuk kekerabatan. Pernikahan itu

merupakan acara yang besar dan penting sehingga tidak dapat dilakukan oleh

laki-laki dan perempuan yang sama-sama suka saja namun juga akan melibatkan orang

tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, keluarga masing-masing dan

masyarakat (Diputra, 2003).

Dengan kata lain, perkawinan merupakan urusan kekerabatan, urusan

keluarga, sekaligus urusan dengan masyarakat karena setelah wanita dan laki-laki

menikah maka mereka akan hidup bermasyarakat (Diputra, 2003). Hal ini akan

menjadi berbeda jika sudah menyangkut kasta. Pernikahan dengan berbeda kasta

akan menjadi masalah jika yang memiliki kasta tinggi adalah mempelai wanita.

(33)

sehingga restu dari pihak perempuan akan sulit didapat dan akan memunculkan

masalah dalam keluarga besar. Berbagai upacara harus dilakukan untuk

mendapatkan pengakuan perkawinan yang sah dari masyarakat dan keluarga.

Menurut bentuk perkawinan dalam masyarakat Bali, perkawinan dapat di

bedakan menjadi beberapa macam perkawinan yaitu :

a) Perkawinan yang berdasarkan garis keturunan, perkawinan mengukuti

garis keturunan laki-laki atau patrilineal yaitu istri masuk pada klan

suami

b) Perkawinan yang berdasarkan pada batas-batas lingkungan tertentu

yang masih mempertahankan perkawinan endogami desa yaitu semua

anggota desanya tidak diperbolehkan memilih jodoh diluar desanya.

Berdasarkan uraikan diatas, perkawinan dapat di golongkan dalam beberapa

golongan, yaitu :

a) Perkawinan pepadikan, terjadinya perkawinan dijalankan dengan

peminangan dan biasanya perkawinan semacam ini adalah atas

persetujuan dari orang tua kedua belah pihak.

b) Perkawinan ngerorod atau merangkat, terjadinya perkawinan dengan

jalan melarikan si gadis. Biasanya perkawinan semacam ini diluar

persetujuan dari pihak orang tua si gadis. Perkawinan ngerorod ini

lebih umum dilakukan dalam masyarakat Bali. Hal itu disebabkan

karena adanya perbedaan kasta.

c) Perkawinan pejangkepang, terjadinya perkawinan atas kehendak orang

(34)

terjadinya perkawinan seperti ini pada umumnya berlaku untuk

perkawinan antar keluarga atau endogami klan dengan suatu tujuan

tertentu yaitu misalnya untuk mempererat hubungan kekeluargaan,

atau juga untuk mempertahankan kedudukan kastanya. (Dewi, 2003)

3. Sistem kekeluargaan di Bali

Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau

kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kepurusa

atau purusa. Sebagai konsekuensi dianutnya sistem kekeluargaan tersebut, maka

dalam suatu perkawinan, si istri akan masuk dan menetap dalam lingkungan

keluarga suaminya dan seorang anak laki-laki di pandang mempunyai kedudukan

yang lebih utama dibandingkan anak perempuan. Akibatnya, pasangan suami istri

yang belum dikaruniai anak laki-laki sering “merasa” belum memiliki keturunan.

(Windia,2011)

Penting juga disebutkan bahwa klan (soroh) dalam masyarakat Bali yang

cenderung mengarah ke sistem kasta atau wangsa, pada masa lalu yang sangat

mempengaruhi hukum adat di Bali, seperti tercermin dari adanya larangan

perkawinan antar wangsa yang disebut asupundung dan anglangkahi karanghulu,

yang pada tahun 1951 telah dihapuskan. Akan tetapi, sampai sekarang masih di

laksanakan (Windia,2011).

4. Kasta atau Wangsa

Dahulu Kasta bernama warna. Dimana warna merupakan penggolongan

pekerjaan. Kini sistem warna yang dulunya sejajar berubah menjadi vertikal.

(35)

berasal dari bahasa portugis yang merupakan akibat dari hubungan barat dan

timur dimana bangsa Portugis melihat adanya hubungan yang menurut dari

sebuah keluarga. Sifat-sifat inilah yang kemudian dikenal dengan pengertian

ikatan darah yang menurun, teratur dan mengikat yang oleh mereka disebut caste

atau kasta. Jadi pengertian warna ini sudah berubah makna dan bentuknya

menjadi kasta, yang pada dasarnya hanyalah merupakan perbedaan tugas dan

pekerjaan yang di bawa secara turun temurun (Sudiasa, 1992).

Akan tetapi, akhirnya berkembang menjadi suatu pranata sosial yang tetap

dan teratur seperti yang kita ketahui sekarang ini. Misalnya saja, dahulu

leluhurnya adalah golongan brahmana yaitu seorang yang bergerak di bidang

rohani dan menyandang gelar Ida Bagus, kemudian setelah beliau menikah dan

memiliki keturunan, gelar Ida Baguspun di turunkan pada anaknya, walaupun

anak tersebut belum menjadi seseorang yang bekerja di bidang kerohanian. Dari

sinilah warna berubah makna menjadi kasta (Sudiasa, 1992). Hal tersebut yang

membuat masyarakat Hindu Bali mengalami kesalahpahaman mengenai kasta dan

warna sehingga keturunan-keturunan yang memiliki gelar tersebut menjadi

terbebani karena harus mencari pendamping hidup yang berada dalam kasta atau

golongan yang sama.

5. Kasta pada masyarakat Hindu

Jaman dahulu orang-orang Hindu di Bali tidak mengenal kasta, namun

mereka lebih mengenal golongan warna yang merupakan pembagian gelar sesuai

dengan profesinya masing-masing (Sudiasa, 1992). Golongan Catur Warna

(36)

- Golongan Brahmana, adalah mereka yang bergerak di bidang

rohani dan pikiran. Tugasnya adalah selalu memikirkan dan

mengajarkan cara-cara untuk mendapatkan kesejahteraan rohani

dan jasmani dari masyarakat baik yang berbentuk ajaran-ajaran

agama maupun ilmu-ilmu pengetahuan yang bias mempermudah

hidup manusia.

- Golongan Ksatriya, adalah mereka yang bergerak di bidang

pemerintahan dan keamanan (pegawai dan ABRI). Tugasnya

adalah mengabdi kepada masyarakat dan negara dengan tidak

mementingkan diri sendiri. Secara simbolik dilukiskan sebagai

tangan bahu yang bertugas memikul dan menggerakkan roda

pemerintahan.

- Golongan Wesya, adalah mereka yang bergerak di bidang usaha

baik pertanian, maupun perdagangan, mengatur produksi untuk

mencukupi dan melayani kebutuhan masyarakat.

- Golongan Sudra, adalah mereka yang tidak punya tanah, tetapi

mempunyai tenaga yang siap diabdikan kepada siapa saja yang

memerlukan tenaganya. Mereka ini bisa disamakan dengan

golongan buruh.

Golongan 1,2, dan 3 disebut Tri Wangsa, sedangkan golongan ke-4 disebut

Sudra Wangsa. Keempat golongan ini berbeda dalam fungsinya namun

(37)

Tabel 1.Golongan kasta (tri wangsa) (sudiasa, 1992)

Kasta Terbagi atas golongan Nama dimuka namanya

Brahmana 1. Kemenuh

2. Manuaba

3. Keniten

4. Mas

5. Antapan

Ida atau Ida Bagus

untuk pria dan Ida Ayu

(Idayu) untuk

wanitanya. Ida Bagus

hanya untuk pria yang

ibunya juga dari kasta

Brahmana

Kesatrya 1. Kesatrya Dalem

2. Pradewa

3. Pungakan

4. Prabagus

5. Prasangyang

Ida Idewa, Cokorda, I

dewa untuk panggilan

laki-laki. Perempuan

disebut Cokorda Istri

atau anak Agung Istri.

I dewa untuk pria dan

Desak untuk wanita

Ngakan bagi pria dan

Desak bagi wanita

Bagus untuk pria dan

Ayu untuk wanita

Sang untuk pria dan

Sang Ayu untuk wanita

(38)

2. Gusti

anak Agung bagi pria

dan Ni Gusti Ayu,

Sagung bagi wanita

Gusti (tanpa I) untuk

pria dan Gusti Ayu

untuk wanita

Tabel 2. Golongan Sudra wangsa

Kasta Titel didepan namanya

Sudra I untuk laki-laki dan Ni untuk

perempuan. Putu, Wayan untuk anak

pertama. Kadek, Nengah untuk anak

ke dua. Komang, Nyoman untuk anak

ke tiga. Ketut untuk anak ke empat.

Menurut Sudiasa (1992) dalam thesis sosialisasi anak dalam keluarga pada

masyarakat Bali menjelaskan bahwa ada yang penting di jelaskan dalam 4 warna

ini. Di dalam Reg Weda (kitab suci umat Hindu) tidak ada di singgung perbedaan

kehidupan sosial mereka. Jadi tidak ada warna yang lebih tinggi dan lebih rendah.

Keempat warna ini sama maka tidak ada larangan pernikahan berbeda warna.

Dengan adanya pernyataan tersebut dari kitab suci agama Hindu, harusnya mereka

(39)

Kurangnya informasi dan penjelasan mengenai wangsa itupun membuat

kesalahpahaman ini terus bergulir.

B. Perkawinan turun kasta atau dengan cara ngerorod (nyerod)

Suatu perkawinan pastinya selalu ada upacaranya yang menjadi simbol

pengikat antara laki-laki dengan perempuan. Begitu juga pada perkawinan

perempuan berkasta dengan laki-laki yang tidak berkasta. Mereka harus

melakukan perkawinan yang dapat diakui oleh masyarakat dan keluarganya

masing-masing. Dengan demikian diadakanlah perkawinan turun kasta namun

harus mengikuti upacara khusus agar perkawinan ini sah menurut hukum adat

Bali (Pinatih, 1998).

Perkawinan tersebut disebut dengan cara ngerorod yang memiliki arti

bahwa pasangan melakukan perkawinan karena tidak memperoleh persetujuan

kedua orang mempelai wanita dan tujuannya adalah untuk menjaga wibawa

keluarga besar mempelai wanita. Oleh karena itu, kedua mempelai ini harus

mengikuti serangkaian upacara yaitu, perkawinan dengan cara ngerorod (kawin

lari), upacara mepati wangi di pura Balai Agung, upacara mebiya kala, upacara

bale-balean. Upacara-upacara ini dilakukan agar laki-laki dan perempuan tetap

bisa menikah walaupun berbeda kasta. Selain itu, upacara ngerorod dilakukan

untuk menjaga wibawa keluarga besar mempelai perempuan. Kemudian upacara

mepati wangi pun dilakukan untuk mensejajarkan kasta perempuan dengan kasta

laki-laki. Hal tersebut dilakukan agar memiliki kesetaraan dalam keluarga

(40)

Serangkaian upacara itu memang harus dilakukan agar tidak terjadi

perdebatan dan masalah yang berkepanjangan didalam keluarga mereka.

Perkawinan ini memang sangat sering dilakukan di dalam masyarakat Bali namun

mereka banyak yang tidak melakukan prasyarat dengan benar, seperti yang

diungkapkan dalam buku perkawinan pada gelahang di Bali bahwa

“dimungkinkannya melaksanakan perkawinan dengan cara ngerorod,

menyebabkan pasal 3 P.P. Nomor 9/1975, yang menentukan “kehendak

melangsungkan perkawinan dicatat dan diumumkan 10 hari sebelum perkawinan

dilangsungkan”, namun di Bali tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.”

(Windia, 2011)

C. Konflik perkawinan berkasta

Dengan adanya sistem kasta, maka golongan tri wangsa menghendaki

adanya perkawinan endogami kasta. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar anggota

keluarganya kawin dengan orang-orang berkasta, terutama bagi wanita. Oleh

karena itu, sesuai dengan perkawinan adat Bali maka perkawinan antar keluarga

dan lingkungan kasta itu sendiri atau endogami masih di pertahankan. Dengan

demikian muncullah larangan perkawinan, seperti : asu pundang (larangan bagi

laki-laki kaum ksatrya, weisya, sudra menikah dengan wanita brahmana) dan

alangkahi karang hulu (larangan laki-laki waisya dan sudra menikah dengan

wanita ksatria). Apabila salah satu wanita dengan salah satu laki-laki itu menikah,

maka mereka akan dikeluarkan dari klannya dan di jatuhkan kastanya (patita)

(41)

Bagi mereka yang dikenakan hukum selong, akan di buang langsung dari

keluarganya dan secara langsung mereka tidak boleh menggunakan nama

keluarganya yang menjadi identitasnya. Dengan demikian akan terjadi perubahan

identitas karena wanita ini akan mengikuti identitas suaminya karena di Bali

menganut sistem patrilineal (Dewi, 2003). Dengan berubahnya identitas wanita ini

mengikuti identitas suaminya maka akan ada konflik dalam dirinya yang menuju

pada penyesuaian dirinya. Ketika wanita ini berubah peran dan identitasnya maka

wanita ini akan berusaha menyesuaikan diri sebaik mungkin untuk mendapatkan

keharmonisan diri dengan lingkungannya.

D. Penyesuaian Diri

Menurut psikologi sosial penyesuaikan diri dapat diartikan dalam arti luas

yaitu mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah

lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri (Gerungan, 2010). Selain itu,

menurut Listyawati (2002) penyesuaian diri merupakan suatu proses yang

mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha

individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang

dialami dalam dirinya. Usaha individu tesebut bertujuan untuk memperoleh

keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang

diharapkan oleh lingkungan.

Schneiders (1964) (dalam Agustiani,2009) membagi penyesuaian diri dalam

beberapa katagori. Salah satu pembagiannya itu adalah pembagian berdasarkan

(42)

penyesuaian personal, penyesuaian sosial, penyesuaian perkawinan dan

penyesuaian vokasional.

E. Penyesuaian Sosial

1. Pengertian penyesuaian sosial

Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan individu

terhadap lingkungan diluar dirinya, Misalnya: lingkungan rumah, sekolah, dan

masyarakat. Menurut Schneiders (1964) (Agustiani, 2009) penyesuaian sosial

merupakan suatu kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu

untuk dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi,

dan relasi sosial, sehingga kriteria yang harus dipenuhi dalam kehidupan

sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara yang dapat diterima dan

memuaskan.

Menurut pandangan sosiologi dan budaya, ketika ketidakserasian dalam

lingkungan masyarakat dapat dipulihkan kembali setelah terjadi perubahan,

maka hal tersebut disebut dengan penyesuaian (adjustment). Adapun perbedaan

yang muncul antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan

penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Pertama adalah

menunjuk pada keadaan, dimana masyarakat berhasil menyesuaikan

lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial

dan budaya. Sedangkan yang kedua menunjuk pada usaha-usaha individu

untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah

diubah atau diganti, agar terhindar dari disorganisasi psikologis (Soekanto,

(43)

Selain itu, Eysenk (1972) (dalam Listyawati, 2002).mengungkapkan

bahwa penyesuaian sebagai suatu proses untuk mencapai suatu keseimbangan

sosial dengan lingkungan dan sebagai suatu proses belajar, yaitu belajar

memahami, mengerti dan berusaha untuk melakukan apa yang dilakukan dan

diinginkan oleh individu maupun lingkungan sosialnya. Penyesuaian sosial ini

dilakukan agar tidak mengalami konflik dengan lingkungannya. Dengan

demikian, individu mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

sosialnya secara baik. Hal ini serupa dengan yang dikatakan Hurlock (1995)

bahwa seseorang akan mendapatkan kebahagiaan jika melakukan penyesuaian

diri maupun penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial merupakan kemampuan

seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya.

Pengertian penyesuaian sosial tidak bisa lepas dari penyesuaian diri maka

seseorang akan melakukan penyesuaian diri terlebih dahulu untuk dapat

melakukan penyesuaian sosial dengan baik.

2. Aspek penyesuaian sosial

Hurlock (1990) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian sosial,

antara lain:

a. Penampilan nyata

Over performance” yang diperhatikan individu sesuai norma yang

berlaku didalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan

(44)

b. Penyesesuaian diri terhadap kelompok

Hal ini berarti bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri secara

baik dengan setiap kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya maupun

orang dewasa.

c. Sikap sosial

Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang

lain, ikut berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam

kegiatan sosial.

d. Kepuasan pribadi

Hal ini ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia karena

dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompoknya dan mampu menerima

diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial

Individu selalu dihadapkan pada proses penyesuaian sosial pada proses

perjalanan hidupnya, baik terhadap keadaan baru, perubahan suasana maupun

kebutuhan baru. Selama periode penyesuaian tersebut, individu tidak dapat

lepas dari pengaruh yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya (Brianti,

2010) menurut Agustiani (2006) Penyesuaian sosial yang dilakukan individu

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

a. Faktor fisik, yang meliputi keturunan, kesehatan, dan bentuk tubuh

b. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi intelektual, sosial,

(45)

c. Faktor psikologi, yang meliputi pengalaman, frustasi, konflik yang dialami

individu dan faktor-faktor psikologis lain yang mempengaruhi penyesuaian

sosial.

d. Faktor budaya, yang meliputi adat istiadat dan agama

e. Faktor lingkungan, meliputi lingkungan keluarga dan rumah

Selain itu, Schneiders (1991) juga mengemukakan bahwa dalam

melakukan penyesuaian sosial terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya,

yaitu : faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam individu. Faktor

internal yang termasuk didalamnya adalah emosi, rasa aman, ciri pribadi,

penerimaan diri, inteligensi dan perbedaan jenis kelamin.

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar individu. Adapun

faktor eksternal yang mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan sekolah,

lingkungan masyarakat dan budaya (Listyawati,2002).

F. Hubungan manusia dengan lingkungan

Lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang di

dalamnya terdapat interaksi individu dengan individu lain. Lingkungan sosial

dapat dibedakan menjadi 2 yaitu lingkungan sosial primer dan lingkungan sosial

sekunder. Lingkungan sosial primer yaitu lingkungan sosial dimana terdapat

hubungan yang erat antara individu satu dengan yang lain, individu satu saling

(46)

lingkungan sosial dimana hubungan individu satu dengan yang lain agak longgar,

individu satu kurang mengenal dengan individu yang lain. Namun demikian

pengaruh lingkungan sosial, baik lingkungan sosial primer maupun lingkungan

sosial sekunder sangat besar terhadap keadaan individu sebagai anggota

masyarakat (Walgito, 2003).

Bagaimana hubungan antara individu dengan lingkungannya, terutama

lingkungan sosial tidak hanya berlangsung searah, dalam arti bahwa hanya

lingkungan saja yang mempunyai pengaruh terhadap individu. Akan tetapi, antara

individu dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal balik, yaitu

lingkungan berpengaruh pada individu, tetapi sebaliknya individu juga

mempunyai pengaruh terhadap lingkungan (Walgito, 2003).

G. Penyesuaian sosial yang berkaitan dengan pernikahan turun kasta

Berkaitan dengan penyesuaian sosial ini, perempuan yang mengalami

pernikahan turun kasta harus bisa menyesuaikan diri agar dapat melakukan

penyesuaian sosial dengan baik pula. Hal itu dikarenakan mereka yang mengalami

pernikahan turun kasta harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya

yang baru yaitu dilingkungan yang tidak berkasta. Tentunya perempuan yang

menikah turun kasta ini berbeda dengan orang-orang yang menikah sesuai dengan

aturannya. Dapat dikatakan berbeda karena perempuan yang menikah turun kasta

harus meninggalkan identitas dirinya terdahulu. Perempuan yang menikah turun

kasta akan meninggalkan identitasnya sebagai perempuan yang berkasta karena

sudah memutuskan untuk menikah dengan seorang yang tidak memiliki kasta. Hal

(47)

dengan lingkungan sosialnya yang baru maupun yang lama sebagai wanita sudra

(dewi,2003).

H. Konsep yang diteliti

Perempuan yang memiliki kasta tinggi tentunya ingin memiliki kebebasan

dalam hal memilih pendamping hidup. Akan tetapi, perempuan berkasta ini

memiliki tuntutan dan tekanan dari keluarganya untuk memiliki pasangan yang

sederajat atau lebih tinggi kastanya dari keluarganya. Hal tersebut akan membuat

prestise sendiri di keluarga mereka dalam hal kedudukan di masyarakat. Akan

tetapi, hal ini akan menjadi masalah ketika perempuan berkasta ini memutuskan

untuk menentang orang tuanya demi memilih pasangannya sendiri dan

memutuskan untuk melepaskan kastanya. Contoh nyatanya saja ada perempuan

berkasta yang memilih menentang keluarganya dan menerima risiko untuk

menikah dengan laki-laki pilihannya. Perempuan ini akan mendapatkan hukuman

seperti dibuang dari keluarganya dan penurunan gelar jika mereka menikah turun

kasta. Adapun faktor-faktor yang membuat perempuan ini memutuskan untuk

melepaskan kastanya. Sehubungan dengan hal tersebut maka perempuan yang

memilih untuk turun kasta ini akan memiliki identitas baru dan siap untuk

menyesuaiakan diri dilingkungan barunya yang disebut dengan penyesuaian

sosial. Dengan demikian, perempuan ini harus melakukan penyesuaian sosial agar

mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan dalam dirinya terhadap lingkungan

barunya. Selain itu, agar tidak terjadi konflik dalam dirinya. Hal ini lah yang akan

di teliti dalam penelitian ini. Bagaimana seorang perempuan yang mengalami

(48)

I. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana penghayatan psikologi pada perempuan yang mengalami

perkawinan turun kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial di Bali ?

Selanjutnya, pertanyaan diperinci menjadi 4 fokus, yaitu :

1. Bagaimana perempuan (nyerod) ini memandang dirinya?

2. Bagaimana penyesuaian sosial perempuan (nyerod) di lingkungan berkastanya?

3. Bagaimana penyesuaian sosial perempuan (nyerod) di lingkungan keluarga

suami?

4. Bagaiamana penyesuaian sosial perempuan (nyerod) di lingkungan

(49)

J. KERANGKA PENELITIAN

PEMBENTUKAN IDENTITAS BARU WANITA

BERKASTA MENIKAH

TURUN KASTA MOTIVASI

KELUARGA BARU/SUAMI/ TIDAK BERKASTA

AREA STATUS KASTA

AREA MASYARAKAT AREA KELUARGA

BERKASTA

PENYESUAIAN SOSIAL

(50)

33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional

Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan individu

terhadap lingkungan diluar dirinya. Misalnya, lingkungan rumah, sekolah,

dan masyarakat. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial merupakan

suatu kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk

dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi, dan

relasi sosial, sehingga kriteria yang harus dipenuhi dalam kehidupan

sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara yang dapat diterima dan

memuaskan. Penyesuaian sosial ini dilakukan agar tidak mengalami konflik

dengan lingkungannya. Dengan demikian, individu mampu untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya secara baik

(Listyawati,2002).

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini berjudul gambaran penyesuaian sosial pada perempuan

yang mengalami pernikahan turun kasta di Bali. Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Hal ini dikarenakan

dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat

menggambarkan bagaimana penyesuaian sosial dari perempuan yang

memilih pernikahan turun kasta dalam hidupnya. Penelitian kualitatif ini

(51)

menginterpretasikan maksud dari suatu fenomena maupun pengalaman

personal dan sosial yang dialami oleh subjek penelitian (Creswell, 2012).

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan analisis

kualitatif deskriptif. Peleitian kualitatif deskriptif dapat diartikan sebagai

penelitian yang memotret fenomena individual, situasi, atau kelompok

tertentu yang terjadi secara kekinian. Penelitian deskriptif juga berarti

penelitian yang dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena atau

karakteristik individual, situasi dan kelompok tertentu secara akurat.

Dengan kata lain, tujuan penelitian kualitatif adalah mendeskripsikan

seperangkat peristiwa atau kondisi populasi saat ini (Danim, 2002).

Menurut Jane Richie (dalam Moleong, 2013) penelitian kualitatif

adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam

dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia

yang diteliti. Dari beberapa ahli, Moleong (2013) merumuskan bahwa

penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainnya secara holistik dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan Bahasa pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode

ilmiah. Metode yang dapat digunakan antara lain, wawancara sebagai alat

(52)

C. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada bagaimana penyesuaian sosial yang

dilakukan perempuan Hindu di Bali yang melakukan perkawinan turun

kasta (nyerod). Pengungkapan bagaimana perempuan turun kasta ini melihat

dunianya dan bagaimana dia dapat menyesuaikan dirinya di lingkungan

sekitarnya. Hal tersebut akan menunjukkan bagaimana perempuan yang

menikah turun kasta ini mengalami penyesuaian sosial dalam identitas

barunya sebagai perempuan sudra.

Perempuan yang mengalami turun kasta akan mengalami perubahan

identitas yang dulunya seorang tri wangsa menjadi seorang sudra

(Dewi,2003). Perubahan identitas ini akan membuat perempuan tersebut

memulai untuk menyesuaikan dirinya lagi dengan lingkungan disekitarnya

sehingga adanya penyesuaian sosial yang harus dilakukan oleh perempuan

ini. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan keselarasan dan keharmonisan

antara tuntutan didalam diri dengan apa yang diharapkan dilingkungan

sekitarnya (Agustiani, 2009). Dengan demikian, peneliti ingin melihat

bagaimana perempuan yang memutuskan untuk menikah turun kasta dapat

menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang disebut penyesuaian sosial

dan menerima dirinya sebagai perempuan yang memiliki identitas baru yaitu

sebagai perempuan yang sudah tidak memiliki kasta.

Terdapat 4 fokus area lingkungan yang berpengaruh dalam

penyesuaian sosial pada perempuan yang mengalami turun kasta. Area

(53)

1. Area status kasta

2. Area lingkungan keluarga berkasta

3. Area lingkungan keluarga baru/suami/tidak berkasta

4. Area masyarakat

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini berjumlah 3 orang. Subjek dipilih menggunakan

Criterion Sampling yaitu cara penentuan subjek berdasarkan kriteria tertentu

dari peneliti yaitu perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta. Hal

terpenting dari kriteria tersebut adalah mengalami pengalaman atas

fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 2012). Selain itu, kriteria lain

seperti menggunakan subjek yang termasuk kategori dewasa awal yaitu

dimulai pada awal usia 20 tahun sampai usian 30 tahun. Hal itu dikarenakan

masa ini merupakan saat untuk mencapai kemandirian pribadi, ekonomi,

perkembangan karier, serta bagi sebagian besar orang adalah masa untuk

memilih pasangan, belajar untuk mengenal seseorang secara lebih dekat,

memulai keluarga sendiri dan mengasuh anak (Santrock, 2012).

Selain itu, subjek penelitian ini menggunakan perempuan yang

mengalami pernikahan beda kasta dan tinggal di Bali. Subjek memeluk

agama Hindu dan tinggal dilingkungan suaminya. Subjek yang diteliti ini

juga memiliki masa perkawinannya 1-5 tahun. Hal itu dikarenakan, pada

masa itu adalah masa-masa dimana mereka mulai beradaptasi dengan

(54)

Keterangan Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3

Inisial Vs Ds Id

Umur 23 23 25

Pekerjaan Wiraswasta Mahasiswi Mahasiswi

Kategori kasta Anak Agung Istri

Agung (Ksatrya)

Desak (Ksatrya) Ida Ayu

(Brahmana)

E. Metode Pengambilan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode

wawancara. Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dua pihak atau

lebih yang diarahkan untuk maksud tertentu. Tujuan dari wawancara ini

menurut Lincoln dan Guba, antara lain : mengkonstruksi mengenai orang,

kejadian, organisasi, perasaan, motivasi tuntutan, kepedulian, memperluas

informasi yang diperoleh dari orang lain, dan memverivikasi, mengubah dan

memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti (moleong, 2013).

Selain itu, wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk

memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami

individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan

eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan

melalui pendekatan lain (poerwandari, 1998).

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan wawancara dengan

pedoman standar terbuka atau disebut dengan semi-terstruktur. Dalam

Gambar

Tabel 1. Golongan kasta (tri wangsa) ............................................................
Tabel 1.Golongan kasta (tri wangsa) (sudiasa, 1992)
Tabel 2. Golongan Sudra wangsa
Tabel 3. Pedoman Wawancara
+5

Referensi

Dokumen terkait

Teknik membaca dengan mengenal, menjelaskan dan mempertimbangkan gagasan penulis atau disingkat 4M menurut Eanet dan Manzo 1976 dalam Tierney (1990: 289) merupakan metode

Stratigrafi batuan Tersier daerah Pangkalan berdasarkan Peta Geologi Lembar Solok (Silitonga P.H. & Kastowo, 1995) disusun secara berurutan dari tua ke muda sebagai

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Data flow diagram adalah representasi grafis dari suatu sistem yang menggambarkan komponen-komponen sebuah sistem, aliran data diantara komponen-komponen tersebut

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Penelitian ini dimotivasi oleh adanya perbedaan hasil penelitian yang menganalisis reaksi pasar terhadap pengumuman penerbitan.. obligasi