PENGHAYATAN PSIKOLOGI PADA PEREMPUAN YANG
MENGALAMI PERKAWINAN TURUN KASTA (NYEROD) TERHADAP PENYESUAIAN SOSIAL DI BALI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh: Ni Ketut Ayu Lestari
NIM : 099114026
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
HIDUP TIDAK MENGHADIAHKAN BARANG
SESUATUPUN
KEPADA MANUSIA TANPA BEKERJA
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Semua usaha ini aku persembahkan kepada Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, Sebagai pelindungku
Ibu yang selalu bekerja keras mencukupi kebutuhan hidupku
Bapak yang selalu memberiku perhatian dan dukungan
kakak-kakakku yang selalu memberikan aku semangat.
vii
PENGHAYATAN PSIKOLOGI PADA PEREMPUAN YANG
MENGALAMI PERKAWINAN TURUN KASTA (NYEROD) TERHADAP PENYESUAIAN SOSIAL DI BALI
Ni Ketut Ayu Lestari ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana penghayatan psikologi pada perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial di Bali. Dalam proses penyesuaian sosial terdapat 4 area penyesuaian yang di teliti yaitu area kasta dalam diri sendiri, area lingkungan keluarga berkasta, area lingkungan keluarga tidak berkasta/area keluarga suami dan area masyarakat. Keempat area ini dipilih karena menggambarkan lingkungan dari perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta (nyerod) di Bali. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan 3 perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta (nyerod) dan tinggal bersama keluarga suami. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek dapat melakukan penyesuaian sosial di lingkungan keluarga suami atau tidak berkasta. Subjek mendapatkan penerimaan dari keluarga baru dan dapat beradaptasi di dalam keluarga yang tidak berkasta. Selain itu, alasan lain mengapa subjek dapat beradaptasi dengan mudah terhadap keluarga tidak berkasta adalah kesadaran subjek akan status tidak berkasta yang diterimanya dan tidak adanya penyesalan atas kehilangan status sosialnya. Namun demikian, ketiga subjek tidak aktif dalam kegiatan di masyarakat dan kurang mampu beradaptasi di dalam masyarakat. Hal itu dikarenakan subjek kurang memiliki keinginan untuk berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat. Selain itu, subjek juga dibantu oleh mertua dalam berkegiatan di masyarakat sehingga semakin membuat subjek kurang aktif dalam bersosialisasi di masyarakat. Ketiga subjek tidak mampu beradaptasi di dalam keluarga berkasta karena banyaknya penolakan dari anggota keluarga berkasta. Subjek tidak hanya ditolak oleh orang tuanya tetapi juga ditolak oleh paman, bibi dan keluarga besarnya.
viii
PSYCHOLOGICAL APPRECIATION OF WOMEN HAVING DROPPED-KASTA MARRIAGE AGAINST SOCIAL ADJUSTMENT IN BALI
Ni Ketut Ayu Lestari ABSTRACT
The purpose of this study is to describe the psychological appreciation of women having dropped-kasta marriage against social adjustment in Bali. In the process of social adaptation, there are 4 (four) parameters analyzed in this study, which are subjects’ point of view of caste, subjects’ adaptation in her caste family (biological family), subjects’ adaption in her non-caste
family (husband’s family) and subjects’ adaptation in the community. Those four parameters will be describe the adaptation of a down-caste marriage (nyerod) women in Bali. This study using the Descriptive Qualitative Method, with 3 (Three) married women who experienced down-caste marriage (nyerod) and live with their husband’s family as subjects. The result of this study shows in terms of subjects’ social adaptation to her husband family. Subjects got acceptance from their new family and able to follow the activities on non-caste family. Futhermore by subject awareness of their non-caste status and no regrets about losing their social status was the other reason they could easily adapt to their non-caste family. However, the unwillingness to participate in community activities and the intervention of their parents-in-law in community activities caused the subjects become not active enough in the community activities and failed to adapt in community. Subjects also failed to adapt in their caste-family because of many rejections from their caste family (biological family). not only their parents, but also their uncle, aunt and other member of family.
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widi Wasa karena atas
asung kertha wara nugraha-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik
dan tepat waktu. Skripsi yang berjudul “Gambaran Penyesuaian Sosial Pada
Perempuan Yang Mengalami Perkawinan Turun Kasta (Nyerod) di Bali” ini disusun sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Saya juga memohon maaf apabila dalam pengerjaan skripsi ini masih terdapat
kesalahan yang tidak semestinya dilakukan. Oleh karena itu, saya sangat
mengharapkan saran, masukan, dan koreksi yang bersifat membangun kearah
yang lebih baik demi kesempurnaan ilmu yang telah peroleh di Fakultas
Psikologi.
Proses penyelesaian skripsi ini melibatkan banyak pihak yang dengan tulus
memberikan bantuan dan dukungannya. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dan mendukung saya selama proses penulisan skripsi ini. Secara khusus saya
ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ida Sang Hyang Widi Wasa yang selalu memberikan kesehatan, perlindungan,
dan kelancaran dalam pengerjaan skripsi ini sehingga saya bisa menyelesaikan
skripsi ini dengan baik.
2. Bapak, Ibu, dan kakak-kakak saya di Bali yang memberikan semangat serta
xi
3. Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak
membantu saya dalam mengembangkan dan menyelesaikan skripsi ini. Terima
kasih juga karena Bapak telah banyak membantu dalam proses pengerjaan
skripsi ini. Terima kasih atas semangat, nasihat, bimbingan dan kesabaran
bapak selama saya menjadi mahasiswa di Fakultas Psikologi. Ilmu dan
pengalaman yang telah Bapak berikan akan selalu saya ingat dan
mudah-mudahan suatu saat nanti bisa saya balas meskipun tidak akan sebanding
dengan apa yang telah Bapak berikan kepada saya.
4. Bapak Adi dan Suster Wina selaku dosen di Psikologi yang selalu
memberikan semangat dan bimbingan disaat saya mengalami kesuliutan.
Terima kasih atas masukan dan diskusi-diskusi yang di berikan sehingga
menjadi masukan untuk saya dalam memahami pengetahuan-pengetahuan di
Psikologi.
5. Dosen penguji 2 dan 3 yang berkenan menguji penelitian saya dan
memberikan masukan untuk penelitian yang telah saya buat.
6. Mas Gandung dan bu Nanik yang selalu sabar membantu untuk mencari
informasi seputar permasalahan di psikologi. Mas Doni dan mas Muji yang
selalumu membantu dalam kegiatan di laboratorium psikologi. Pad Gie yang
selalu membantu saya jika mengalami kesulitan apapun. Terima kasih banyak
atas kesabaran dan bantuan kalian selama ini.
7. Teman-teman yang selalu memberi semangat dan mendukung saya yaitu :
Tifany Christanti, Ayu Prativi, Fransisica Dina, Aprilia Pino, Puji, Manik
xii
Mbak Dessy, Adita Primasti, Rika, Naris dan semua teman-teman yang
namanya tidak mungkin disebutkan satu per satu. Saya mengucapkan banyak
trimakasih atas dukungan, semangat, diskusi dan canda tawa selama kita
belajar dan mengenyam pendidikan sarjana.
8. Gede Bagus Dwi Swasti Antara sebagai orang yang saya sayangi yang selalu
memberi dukungan kepada saya dalam keadaan apapun dan selalu menjadi
satu-satunya alasan kenapa saya harus menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
untuk selalu memberikan kebahagiaan , selalu sabar, selalu tersenyum dan
selalu memberikan hal-hal positif dalam hidup saya.
9. Teman-teman Psikologi angkatan 2009 yang tidak mungkin saya sebutkan
namanya satu per satu. Terima kasih atas dukungan dan kebersamaan kalian
selama kita belajar ilmu jiwa ini.
10.Terima kasih kepada seluruh pihak yang senantiasa memberikan dukungan
dan doa untuk kesuksesan saya dalam menyelesaikan tugas sebagai
mahasiswa. Terima kasih.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
maupun penulis sendiri untuk bahan studi selanjutnya. Astungkara.
Penulis,
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KAYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 8
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Masyarakat Bali ... 11
1. Tatanan Sosial di Bali ... 12
2. Perkawinan Adat Bali ... ………. 14
3. Sistem Kekeluargaan di Bali ... ………. 17
4. Kasta atau Wangsa ... ………. 17
5. Kasta Pada Masyarakat Hindu... ………. 18
B. Perkawinan Turun Kasta atau Dengan Cara Ngerorod……. ... 22
xiv
D. Penyesuaian Diri... ………. 24
E. Penyesuaian Sosial ... ………. 25
1. Pengertian Penyesuaian Sosial ... ………. 25
2. Aspek Penyesuaian Sosial ... ……. 26
3. Faktor-Faktor Penyesuaian Sosial ... ………. 27
F. Hubungan Manusia Dengan Lingkungan ... ………. 28
G. Penyesuaian Sosial Yang Berkaitan Dengan Pernikahan Turun Kasta ... ………. 29
H. Konsep Yang Diteliti ... ………. 30
I. Pertanyaan Penelitian ... ………. 31
J. Kerangka Penelitian... ………. 32
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33
A. Definisi Operasional ... ………. 33
B. Jenis Penelitian ... ………. 33
C. Fokus Penelitian ... 35
D. Subjek Penelitian ... 36
E. Metode pengambilan Data ... ………. 37
F. Metode Analisis Data ... ………. 41
G. Kredibilitas Penelitian ... ………. 43
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45
A. Proses Penelitian... 45
1. Persiapan Penelitian... ………. 45
2. Pelaksanaan Penelitian ... ……. 46
3. Proses Analisis Data ... ………. 47
4. Jadwal Pengambilan Data... ………. 48
B. Profil Subjek ... 52
C. Rangkuman Tema Temuan Penelitian ... 63
D. Deskripsi Tema... ………. 68
xv
2. Area Lingkungan Keluarga Berkasta ... ………. 71
3. Area Lingkungan Keluarga Tidak Berkasta ... ………. 74
4. Area Masyarakat ... ………. 77
E. Pembahasan ... ………. 79
F. Pembahasan Secara Menyeluruh (3 Subjek) ... ………. 84
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
A. Kesimpulan ... 89
B. Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... ………. 92
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Golongan kasta (tri wangsa) ... 20
Tabel 2. Golongan sudra wangsa ... 21
Tabel 3. Pedoman wawancara ... 38
Tabel 4. Jadwal wawancara dengan subjek 1 ... 48
Tabel 5. Jadwal wawancara dengan subjek 2 ... 50
Tabel 6. Jadwal wawancara dengan subjek 3 ... 51
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Subjek 1 ... 96
Subjek 2 ... 110
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini perkawinan beda kasta atau wangsa masih menjadi polemik di
masyarakat Bali. Walaupun hukum Nasional sudah menghapuskan hal-hal
yang berkaitan dengan perbedaan kasta, namun masyarakat Bali tetap
menganut hal tersebut. Perempuan yang tergolong tri wangsa akan
mengalami jatuh kasta ketika menikah dengan laki-laki yang berasal dari
kasta yang lebih rendah menurut tingkatan kasta di Bali. Dengan demikian,
akan terjadi perubahan identitas di dalam dirinya yang membuat dirinya harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya (Dewi,2003).
Penyesuaian diri terhadap lingkungannya disebut dengan penyesuaian
sosial. Penyesuaian sosial ini dilakukan agar individu dapat mencapai
keselarasan dan kebahagiaan dilingkungannya yang baru. Hal ini juga
dilakukan oleh perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta.
Perempuan tersebut akan melakukan penyesuaian sosial dengan lingkungan
keluarga asalnya dan lingkungan barunya seperti keluarga suami dan
masyarakat. Hal itu dikarenakan perempuan ini menyandang identitas baru
sebagai perempuan tidak berkasta. Penyesuaian sosial inipun harus dilakukan
karena masyarakat Bali sangat erat dengan budaya sehingga kehidupan di
masyarakat harus diperhatikan (Listyawati,2002).
Masyarakat Bali memiliki tatanan sosial yang disebut awig-awig.
tidak terlepas dengan tatanan sosial awig-awig. Tatanan sosial ini merupakan
struktur dan kultur yang menaungi kehidupan masyarakat Bali. Akan tetapi,
setiap daerah memiliki perbedaan isi awig-awig sesuai dengan
desa-kala-patra (tempat,waktu, dan keadaan) sehingga dapat di sepakati dan digunakan
oleh masyarakatnya. Suatu kenyataan bahwa hal ini dapat menimbulkan
masalah sosial. Berbagai masalah sosial yang timbul dalam masyarakat Bali
masa tahun2000-an, diasumsikan berkait dengan tatanan sosial sebagaimana
yang ada dalam awig-awig. Berbagai masalah yang muncul, dalam bentuk
“actual reality”, misalnya masih banyaknya timbul soal ketidaksederajatan
manusia (Bali Post, 2004), konflik penyebutan kebangsawanan (Bali Post,
2004), serta awig-awig yang melanggar hak asasi manusia (HAM) (Bali Post,
2005) (Manuaba,2010).
Menurut Mangku (2010) jaman dahulu masyarakat dari golongan tri
wangsa yaitu kaum brahmana, ksatrya, dan waisya melarang anggota
keluarganya untuk menikah dengan masyarakat golongan jaba wangsa yaitu
sudra. Jika hal itu dilanggar maka akan mendapatkan sangsi atau hukuman
berupa di buang kedua-duanya atau laki-laki di denda dan wanita di turunkan
kastanya (nyerod). Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan yang
diungkapkan oleh Maharatni & Handayani (2004) yang mengatakan bahwa
terdapat larangan bagi laki-laki dari wangsa yang lebih rendah untuk
menikahi perempuan dari wangsa yang lebih tinggi. Jika hal itu dilakukan
maka perempuan dari wangsa yang lebih tinggi akan mendapatkan sangsi
membawa aib. Hal-hal seperti itu dilakukan oleh masyarakat tri wangsa
karena mereka menganggap bahwa pernikahan tersebut telah merendahkan
martabat atau harga diri dari golongan tri wangsa.
Perempuan yang mengalami perkawinan nyerod (turun kasta) akan
mendapatkan sangsi berupa dikeluarkan dari klannya dan dijatuhkan kastanya
(patita) serta ada yang mendapatkan sangsi berupa selong (buangan).
Perempuan yang dikeluarkan dari klannya dan di jatuhkan kastanya tidak
akan memiliki nama atau sebutan seperti di lingkungan keluarganya.
Perempuan ini tidak akan menggunakan bahasa halus untuk berbicara
sehari-hari, namun akan mengikuti bahasa dilingkungannya tinggal. Sedangkan,
untuk hukuman selong (buangan), perempuan ini tidak boleh datang ke
rumah keluarga besar (puri atau griya), tidak boleh mebakti (berdoa di
rumah), dan tidak boleh makan bersama dengan keluarga besarnya lagi
(Dewi,2003).
Hal tersebut terlihat pada penggalan pengalaman dari seorang
perempuan keturunan wangsa ksatrya yang menikah dengan laki-laki sudra
wangsa :
“Upacara pernikahan mereka berdua berlangsung khidmat dalam suasana
kesederhanaan. Hanya beberapa kerabat terdekat dari IPA(nama inisial) yang
menghadiri acara mereka berdua, sementara sudah menjadi tradisi bahwa seseorang
yang nyerod wangsa, pantang bagi pihak keluarga dari wangsa yang lebih tinggi
untuk datang apalagi menghadiri pernikahan tersebut. Terlebih lagi kedua orang
tuanya menganggap telah membuang anak kesayangannya yaitu
Dari pernyataan diatas, dapat dilihat bahwa seorang perempuan yang
mengalami pernikahan turun kasta (nyerod) telah mendapatkan hukumannya
yaitu di buang dari keluarganya. Perempuan ini akan masuk ke keluarga yang
baru yaitu menjadi seorang istri dari kasta yang lebih rendah dari keluarga
asalnya. Hal itu dikarenakan hukum adat Bali yang menganut sistem
perkawinan patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan laki-laki. Dengan
demikian perempuan ini akan mengalami perubahan identitas. Proses
perubahan identitas ini sebenarnya sudah dialami sejak perempuan tersebut
memilih untuk melepaskan klain kebangsawanannya (Dewi,2003).
Pertentangan perkawinan turun kasta masih sampai saat ini. Akan
tetapi, pada jaman dulu perempuan tersebut benar-benar tidak dapat pulang
kerumah atau berkomunikasi dengan orang-orang berkasta di keluarganya,
Namun kini untuk perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta masih
dapat berkomunikasi dengan orang-orang dilingkungan keluarga berkastanya.
Hal tersebut dikarenakan adanya teknologi yang semakin maju dan
kemudahan mereka untuk berkomunikasi. Selain itu, pengertian kasta
terdahulu merupakan identitas seseorang dilihat dari penggolongan pekerjaan.
Akan tetapi, kini kasta merupakan identitas seseorang yang dilihat dari
warisan keturunan. Misalnya saja seorang yang dulunya brahmana merupakan
seorang pendeta, kini orang brahmana tidak hanya seorang pendeta namun
mereka juga bisa menjadi seorang pedagang. Dengan demikian, status kasta
yang disandang seseorang pada jaman sekarang hanya merupakan identitas
Perempuan yang mengalami turun kasta tersebut akan mengalami
perubahan indentitas. Hal tersebut dikarenakan lingkungan di sekitarnya yang
berubah bukan dikarenakan individunya. Misalnya saja seperti perempuan
yang terlahir di lingkungan keluarga yang memiliki kasta tinggi. Perempuan
tersebut akan di hormati dan diagungkan dengan gelar kebangsawanannya.
Akan tetapi, setelah perempuan itu memutuskan untuk tidak menggunakan
gelarnya lagi, maka perempuan ini akan memperoleh identitas baru yaitu
sebagai perempuan yang tidak memiliki kasta atau memiliki kasta yang lebih
rendah dari sebelumnya. Dengan demikian, perempuan tersebut harus bisa
menerima dan menyesuaikan diri dengan identitasnya yang baru tersebut
(Dewi, 2003).
Menurut Agustiani (2009), dalam pembentukan identitas barunya,
seseorang memerlukan adanya penyesuaian diri agar dapat memperoleh
keselarasan dan keharmonisan antar tuntutan dalam diri dengan apa yang
diharapkan oleh lingkungan. Identitas baru sebagai perempuan yang tidak
berkasta akan membuat perempuan ini menyesuaikan diri dengan lingkungan
barunya sehingga dapat dikatakan bahwa perempuan ini harus bisa
melakukan penyesuaian sosial. Hal itu dilakukan agar perempuan ini
mendapatkan kebahagiaan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh
Hurlock (1995) bahwa seseorang supaya bahagia harus dapat melakukan
penyesuaian diri maupun penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial ini tidak bisa
penyesuaian diri terlebih dahulu untuk dapat melakukan penyesuaian sosial
dengan baik (Listyawati,2002).
Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri merupakan satu proses
yang mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan
usaha individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan
frustasi yang dialami di dalam dirinya. Selain itu, Schneiders juga
mengatakan bahwa orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik adalah
orang yang mengerti keterbatasan yang ada pada dirinya dan mau belajar
untuk bereaksi terhadap dirinya maupun lingkungan dengan cara yang
matang. Dengan kata lain, orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik
berarti dapat menerima dirinya dengan baik pula (Agustiani, 2009).
Hal serupa juga dikatakan oleh Listyawati (2002) bahwa penyesuaian
sebagai suatu proses untuk mencapai suatu keseimbangan sosial dengan
lingkungan dan sebagai suatu proses belajar, yaitu belajar memahami,
mengerti dan berusaha untuk melakukan apa yang dilakukan dan diinginkan
oleh individu maupun lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, penyesuaian diri
dan penyesuaian sosial harus dapat dilakukan agar mencapai keselarasan dan
kebahagiaan. Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan
individu terhadap lingkungan diluar dirinya. misalnya, lingkungan rumah,
sekolah, dan masyarakat. Penyesuaian sosial ini yang akan dilakukan oleh
perempuan yang mengalami turun kasta. perempuan tersebut akan
menyesuaikan dirinya dengan lingkungan disekitarnya atau dengan
Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa seseorang yang dapat
menyesuaikan diri di lingkungannya dengan baik maka akan memperoleh
keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang
diharapkan oleh lingkungannya. Hal ini tercermin ketika seseorang
mengalami perubahan identitas. Seorang yang mendapatkan identitas baru
akan kembali menyesuaikan diri di lingkungannya untuk mendapatkan
kenyamanan di dalam lingkungannya. Hal itu membuat orang tersebut
kembali menyesuaikan diri dan melakukan penyesuaian sosial. Ketika
seorang perempuan yang mengalami turun kasta mendapatkan identitas baru
sebagai perempuan biasa atau jaba wangsa, maka perempuan ini harus
melakukan penyesuaian sosial yaitu menyesuaikan diri dengan
lingkungannya yang baru (Dewi, 2003).
Walaupun perempuan yang memutuskan untuk menikah turun kasta
ini harus mendapatkan hukuman sosial berupa dibuang dari keluarga dan
dijatuhkan kastanya, namun mereka tetap melakukan hal tersebut. Adapun
motivasi-motivasi yang dilakukan perempuan tersebut untuk melakukan
perkawinan turun kasta seperti, karena cinta dengan pasangannya yang bukan
orang berkasta, menghindari perjodohan, keinginan untuk bebas, dan lainnya.
Dari beberapa motivasi tersebut, perempuan yang mengalami perkawinan
turun kasta ini tidak akan menyesal untuk memutuskan menikah turun kasta.
Akan tetapi, apakah dengan begitu mereka tetap dapat melakukan
tidak berkasta serta apakah mereka tetap dapat berhubungan baik dengan
keluarga berkastanya?
Berdasarkan dari uraian diatas, maka peneliti ingin menggambarkan
bagaimana penghayatan psikologi pada perempuan yang mengalami
perkawinan turun kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial yaitu
menyesuaikan diri dilingkungannya yang baru dalam upaya menjalankan
identitas barunya sebagai perempuan berkasta lebih rendah dari keluarga
asalnya. Dari penelitian ini akan terlihat bagaimana gambaran penghayatan
psikologi pada perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta (nyerod)
dalam melakukan penyesuaian sosial. Hal tersebut akan di lihat dengan area
penyesuaian sosial pada perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta
(nyerod) ini dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya yang baru.
Area penyesuaian sosial ini antara lain lingkungan masyarakat, lingkungan
keluarga yang baru dan lingkungan keluarga yang lama. Selain itu, penelitian
ini juga akan menggambarkan bagaimana perempuan yang mengalami
pernikahan turun kasta memandang status kasta dalam dirinya dan menerima
keadaan yang telah mereka pilih sehingga dapat hidup dengan nyaman
dilingkungannya yang baru.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini adalah bagaimana penghayatan psikologi pada perempuan yang
mengalami perkawinan turun kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial di
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskriptifkan bagaimana
penghayatan psikologi pada perempuan yang mengalami perkawinan turun
kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial di Bali. Selain itu,penelitian ini
juga bertujuan untuk mengetahui pandangan perempuan ini dalam melihat
status kasta yang kini mereka sandang yaitu sebagai perempuan tidak
berkasta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang
psikologi, terutama dalam bidang psikologi sosial. Penelitian ini dapat
memberikan gambaran mengenai bagaimana penyesuaian sosial pada
perempuan yang mengalami pernikahan turun kasta (nyerod) dapat
menyesuaikan dirinya di lingkungan baru dengan identitas baru yang
dimilikinya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi subjek dan perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta
Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk subjek atau perempuan
yang mengalami perkawinan turun kasta (nyerod) untuk menyadari bahwa
dengan identitas baru yang mereka sandang setelah melepaskan identitas lama
mereka sebagai perempuan berkasta tinggi, mereka harus bisa lebih menerima
dirinya dan belajar untuk melakukan penyesuaian sosial agar kelak tidak
yang masih erat yaitu dimana seorang individu harus dapat bersosialisasi
tidak hanya dengan pasangannya saja, namun juga dengan keluarga dan
masyarakat yang lebih luas.
b. Bagi masyarakat
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan informasi dan
memberikan wawasan serta pemahaman yang menyeluruh bagi masyarakat
untuk memahami tentang penyesuaian sosial pada perempuan yang
mengalami perkawinan turun kasta (nyerod). Bagaimana permasalahan yang
timbul dalam proses penyesuaian sosial pada perempuan yang mengalami
perkawinan turun kasta (nyerod) tersebut, sehingga dapat memahami situasi
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Masyarakat di Bali
Masyarakat Bali menyadari bahwa mereka terikat dengan suatu kebudayaan
Bali yang bersumber pada ajaran agama Hindu yang mencakup pada tatanan
upacara, tatanan sosial sampai pada sistem kekeluargaannya. Hal itu terlihat dari
bagaimana masyarakat adat Bali melakukan upacara kelahiran (Otonan), upacara
saat remaja (menek kelih), upacara pembersihan diri (mesangih/mepandes),
melakukan upacara perkawinan (nganten), sampai pada upacara kematian
(ngaben) yang sesuai dengan ajaran agama Hindu. Seolah-olah segala fase
kehidupan manusia selalu ada perayaan yang mengiringi.
Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki Teks awig-awig yang merupakan
suatu tatanan sosial masyarakat Bali. Setiap tindakan, sikap, dan perilaku sosial
yang dilakukan masyarakat Bali tidak terlepas dengan tatanan sosial awig-awig.
Tatanan sosial ini merupakan struktur dan kultur yang menaungi kehidupan
masyarakat Bali. Dalam realitas empirik di Bali, awig-awig tertulis dimiliki oleh
setiap Banjar adat yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Terdapat
perbedaan yang mempengaruhi dalam pembuatan awig-awig tersebut untuk setiap
banjar adat. Faktor-faktor tersebut sering disebut dengan desa-kala-patra
(tempat,waktu, dan keadaan) yang menjadi penentu seperti apa awig-awig harus
1. Tatanan sosial di Bali
Teks awig-awig dalam masyarakat Bali adalah tata sosial kehidupan
masyarakat Bali. Awig-awig merupakan salah satu istilah yang khas Bali, untuk
menyebut norma yang mengatur kehidupan masyarakat, khususnya di desa adat.
Awig-awig pada setiap desa adat di Bali, sudah ada sejak sebuah desa adat itu ada.
Semua awig-awig yang ada pada setiap desa adat di Bali, dibuat dalam bentuk
tertulis, yaitu berupa teks. Namun, awig-awig sebagai norma pada setiap desa adat
di Bali, memang menjadi tata sosial yang sangat dipatuhi sejak masyarakat
dibentuk. Oleh karena itu, awig-awig menjadi pengikat setiap warga desa dalam
satu kesatuan desa adat. Selain itu, stabilitas desa sebagian besar ditentukan oleh
awig-awig yang telah hidup dan berkembang sesuai dengan kepentingan
masyarakat desa setempat. Sebagaimana halnya pertumbuhan dan perkembangan
masyarakatnya, awig-awig dibuat oleh, untuk, dan dari krama desa serta
dipelihara dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran (Manuaba,2010).
Seiring dengan perkembangan tingkat pendidikan di Bali, terjadilah usaha
penulisan awig-awig baik yang dibina oleh tim penelitian dan penulisan
awig-awig yang ada di setiap kabupaten maupun tanpa pembinaan oleh tim tersebut
(Windia, 1997). Selain itu, Windia juga menyatakan bahwa jika penulisan
awig-awig yang dibina oleh tim pembinaan dari kabupaten, tidak mengalami kesulitan
terutama dalam menuangkan konsep aturan yang semula belum ada atau
mengubah ketentuan awig-awig yang telah mendarah-daging. Akan tetapi, jika
penulisan awig-awig tidak di damping oleh tim Pembina akan mengalami banyak
Soeripto, 1979 (dalam Manuaba, 2010) mengungkapkan bahwa
perkembangan bentuk dan sistematik awig-awig memang sesuai dengan tingkat
kemajuan masyarakat. Maka dari itu, dapat dilihat adanya awig-awig yang belum
dan telah dituliskan. Terdapat awig-awig yang telah ditulis secara sistematik dan
juga sebaliknya. Awig-awig sebagai norma dan tertib sosial, dapat dikatakan
sudah ada bertahun-tahun. Namun, dalam karakteristiknya sebagai teks tertulis,
awig-awig baru ada secara tertulis seiring dengan berkembangnya dunia
pendidikan di Bali sekitar tahun 1920-an atau 1930-an. Tradisi penulisan
awig-awig juga terus mengalami penyempurnaan hingga tahun 1990-an. Sebagai
sebuah norma yang disepakati wargadesa, awig-awig wajib ditaati oleh
masyarakatnya. Awig-awig itulah yang mengatur seperti apa suatu masyarakat
harus dijalankan, bagaimana individu-individu warga desa harus berperilaku dan
bertindak dalam masyarakat (Manuaba,2010).
Dalam skala yang lebih kecil sebagai bagian (sub unit) desa dikenal banjar
baik adat maupun dinas. Pengertian Banjar kaitannya dengan desa adat di Bali
adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa adat serta merupakan
persekutuan hidup sosial dalam keadaan senang maupun susah. Banjar sebagai
lembaga tradisional merupakan bagian desa yang memiliki fasilitas lingkungan
berupa Bale banjar yang dilengkapi Pura Banjar, sebagai tempat pertemuan,
kegiatan sosial, upacara dan orientasi warga banjar (dwijendra, 2003).
Semua banjar adat di Bali memiliki awig-awig, sebagai norma sosial yang
disepakati masyarakatnya. Dikarenakan awig-awig ini berdasarkan pada
dengan yang lainnya memiliki perbedaan. Oleh karena itu, dari segi tujuan dan
konseptualnya, awig-awig antara desa yang satu dengan yang lainnya memang
sama, namun dalam muatan isinya berbeda. Dengan demikian, awig-awig desa
tertentu hanya dapat berlaku untuk desa tertentu itu saja. Kondisi dari
masing-masing desa sangat menentukan isi dari awig-awig (manuaba,2010).
Awig-awig sebagai tata sosial masyarakat adat Bali, mengatur segala sesuatu
yang berkait dengan adat kemasyarakatan, yang hanya diberlakukan khusus untuk
umat Hindu. Umat Islam, Kristen-Protestan, Katolik, Budha, dan lainnya yang ada
di Bali, tidak termasuk warga yang diwajibkan menjalankan awig-awig namun
beberapa umat beragama ini mengikuti aturan desa dinas/kelurahan/pemerintahan
desa. Awig-awig meski secara fisik berupa tatanan sosial masyarakat desa, namun
sering kali disebut juga sebagai salah satu hukum adat. Isi awig-awig, umumnya
mengatur pemeliharaan hubungan yang harmonis, baik antara manusia dengan
Tuhan (parahyangan), manusia dengan lingkungan masyarakatnya (palemahan),
dan manusia dengan manusia lainnya di dalam hubungan kemasyarakatan
(pawongan) (manuaba, 2010).
2. Perkawinan adat Bali
Perkawinan di Bali dikenal dengan beberapa istilah yaitu pawiwahan,
nganten, pewarang, dan lain sebagainya. Kata “kawin” dalam kehidupan sehari
-hari di Bali disebut dengan nganten yang sebenarnya sama dengan perkawinan
yang diatur dalam undang-undang perkawinan. Akan tetapi, menurut Diputra
(2003) bahwa perkawinan menurut umat Hindu adalah ikatan antara seorang
seks yang layak guna mendapatkan keturunan anak laki-laki dalam rangka
menyelamatkan arwah orang tuanya. Seperti yang telah dijelaskan diatas dalam
pandangan agama Hindu perkawinan ditujukan untuk mendapatkan keturunan.
Keturunan ini yang nantinya akan membantu orang tua untuk mencari jalan pada
saat orang tua meninggal.
Selain itu, keturunan inilah yang nantinya akan meneruskan hubungan
bermasyarakat seperti misalnya mebanjar atau dadia. Maka dari itu biasanya
orang Bali mencari keturunan laki-laki untuk meneruskan hal itu, karena biasanya
anak perempuan di Bali akan mengikuti suaminya. Jadi laki-laki menjadi kepala
keluarga dan perempuan mengikuti laki-laki sehingga keturunan laki-laki sangat
diutamakan untuk meneruskan semua hal dalam keluarga. Oleh karena itu,
perkawinan tidaklah hanya menyangkut perempuan dan laki-laki yang sama-sama
suka, namun juga melibatkan banyak hal termasuk kekerabatan. Pernikahan itu
merupakan acara yang besar dan penting sehingga tidak dapat dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan yang sama-sama suka saja namun juga akan melibatkan orang
tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, keluarga masing-masing dan
masyarakat (Diputra, 2003).
Dengan kata lain, perkawinan merupakan urusan kekerabatan, urusan
keluarga, sekaligus urusan dengan masyarakat karena setelah wanita dan laki-laki
menikah maka mereka akan hidup bermasyarakat (Diputra, 2003). Hal ini akan
menjadi berbeda jika sudah menyangkut kasta. Pernikahan dengan berbeda kasta
akan menjadi masalah jika yang memiliki kasta tinggi adalah mempelai wanita.
sehingga restu dari pihak perempuan akan sulit didapat dan akan memunculkan
masalah dalam keluarga besar. Berbagai upacara harus dilakukan untuk
mendapatkan pengakuan perkawinan yang sah dari masyarakat dan keluarga.
Menurut bentuk perkawinan dalam masyarakat Bali, perkawinan dapat di
bedakan menjadi beberapa macam perkawinan yaitu :
a) Perkawinan yang berdasarkan garis keturunan, perkawinan mengukuti
garis keturunan laki-laki atau patrilineal yaitu istri masuk pada klan
suami
b) Perkawinan yang berdasarkan pada batas-batas lingkungan tertentu
yang masih mempertahankan perkawinan endogami desa yaitu semua
anggota desanya tidak diperbolehkan memilih jodoh diluar desanya.
Berdasarkan uraikan diatas, perkawinan dapat di golongkan dalam beberapa
golongan, yaitu :
a) Perkawinan pepadikan, terjadinya perkawinan dijalankan dengan
peminangan dan biasanya perkawinan semacam ini adalah atas
persetujuan dari orang tua kedua belah pihak.
b) Perkawinan ngerorod atau merangkat, terjadinya perkawinan dengan
jalan melarikan si gadis. Biasanya perkawinan semacam ini diluar
persetujuan dari pihak orang tua si gadis. Perkawinan ngerorod ini
lebih umum dilakukan dalam masyarakat Bali. Hal itu disebabkan
karena adanya perbedaan kasta.
c) Perkawinan pejangkepang, terjadinya perkawinan atas kehendak orang
terjadinya perkawinan seperti ini pada umumnya berlaku untuk
perkawinan antar keluarga atau endogami klan dengan suatu tujuan
tertentu yaitu misalnya untuk mempererat hubungan kekeluargaan,
atau juga untuk mempertahankan kedudukan kastanya. (Dewi, 2003)
3. Sistem kekeluargaan di Bali
Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau
kebapaan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan istilah kepurusa
atau purusa. Sebagai konsekuensi dianutnya sistem kekeluargaan tersebut, maka
dalam suatu perkawinan, si istri akan masuk dan menetap dalam lingkungan
keluarga suaminya dan seorang anak laki-laki di pandang mempunyai kedudukan
yang lebih utama dibandingkan anak perempuan. Akibatnya, pasangan suami istri
yang belum dikaruniai anak laki-laki sering “merasa” belum memiliki keturunan.
(Windia,2011)
Penting juga disebutkan bahwa klan (soroh) dalam masyarakat Bali yang
cenderung mengarah ke sistem kasta atau wangsa, pada masa lalu yang sangat
mempengaruhi hukum adat di Bali, seperti tercermin dari adanya larangan
perkawinan antar wangsa yang disebut asupundung dan anglangkahi karanghulu,
yang pada tahun 1951 telah dihapuskan. Akan tetapi, sampai sekarang masih di
laksanakan (Windia,2011).
4. Kasta atau Wangsa
Dahulu Kasta bernama warna. Dimana warna merupakan penggolongan
pekerjaan. Kini sistem warna yang dulunya sejajar berubah menjadi vertikal.
berasal dari bahasa portugis yang merupakan akibat dari hubungan barat dan
timur dimana bangsa Portugis melihat adanya hubungan yang menurut dari
sebuah keluarga. Sifat-sifat inilah yang kemudian dikenal dengan pengertian
ikatan darah yang menurun, teratur dan mengikat yang oleh mereka disebut caste
atau kasta. Jadi pengertian warna ini sudah berubah makna dan bentuknya
menjadi kasta, yang pada dasarnya hanyalah merupakan perbedaan tugas dan
pekerjaan yang di bawa secara turun temurun (Sudiasa, 1992).
Akan tetapi, akhirnya berkembang menjadi suatu pranata sosial yang tetap
dan teratur seperti yang kita ketahui sekarang ini. Misalnya saja, dahulu
leluhurnya adalah golongan brahmana yaitu seorang yang bergerak di bidang
rohani dan menyandang gelar Ida Bagus, kemudian setelah beliau menikah dan
memiliki keturunan, gelar Ida Baguspun di turunkan pada anaknya, walaupun
anak tersebut belum menjadi seseorang yang bekerja di bidang kerohanian. Dari
sinilah warna berubah makna menjadi kasta (Sudiasa, 1992). Hal tersebut yang
membuat masyarakat Hindu Bali mengalami kesalahpahaman mengenai kasta dan
warna sehingga keturunan-keturunan yang memiliki gelar tersebut menjadi
terbebani karena harus mencari pendamping hidup yang berada dalam kasta atau
golongan yang sama.
5. Kasta pada masyarakat Hindu
Jaman dahulu orang-orang Hindu di Bali tidak mengenal kasta, namun
mereka lebih mengenal golongan warna yang merupakan pembagian gelar sesuai
dengan profesinya masing-masing (Sudiasa, 1992). Golongan Catur Warna
- Golongan Brahmana, adalah mereka yang bergerak di bidang
rohani dan pikiran. Tugasnya adalah selalu memikirkan dan
mengajarkan cara-cara untuk mendapatkan kesejahteraan rohani
dan jasmani dari masyarakat baik yang berbentuk ajaran-ajaran
agama maupun ilmu-ilmu pengetahuan yang bias mempermudah
hidup manusia.
- Golongan Ksatriya, adalah mereka yang bergerak di bidang
pemerintahan dan keamanan (pegawai dan ABRI). Tugasnya
adalah mengabdi kepada masyarakat dan negara dengan tidak
mementingkan diri sendiri. Secara simbolik dilukiskan sebagai
tangan bahu yang bertugas memikul dan menggerakkan roda
pemerintahan.
- Golongan Wesya, adalah mereka yang bergerak di bidang usaha
baik pertanian, maupun perdagangan, mengatur produksi untuk
mencukupi dan melayani kebutuhan masyarakat.
- Golongan Sudra, adalah mereka yang tidak punya tanah, tetapi
mempunyai tenaga yang siap diabdikan kepada siapa saja yang
memerlukan tenaganya. Mereka ini bisa disamakan dengan
golongan buruh.
Golongan 1,2, dan 3 disebut Tri Wangsa, sedangkan golongan ke-4 disebut
Sudra Wangsa. Keempat golongan ini berbeda dalam fungsinya namun
Tabel 1.Golongan kasta (tri wangsa) (sudiasa, 1992)
Kasta Terbagi atas golongan Nama dimuka namanya
Brahmana 1. Kemenuh
2. Manuaba
3. Keniten
4. Mas
5. Antapan
Ida atau Ida Bagus
untuk pria dan Ida Ayu
(Idayu) untuk
wanitanya. Ida Bagus
hanya untuk pria yang
ibunya juga dari kasta
Brahmana
Kesatrya 1. Kesatrya Dalem
2. Pradewa
3. Pungakan
4. Prabagus
5. Prasangyang
Ida Idewa, Cokorda, I
dewa untuk panggilan
laki-laki. Perempuan
disebut Cokorda Istri
atau anak Agung Istri.
I dewa untuk pria dan
Desak untuk wanita
Ngakan bagi pria dan
Desak bagi wanita
Bagus untuk pria dan
Ayu untuk wanita
Sang untuk pria dan
Sang Ayu untuk wanita
2. Gusti
anak Agung bagi pria
dan Ni Gusti Ayu,
Sagung bagi wanita
Gusti (tanpa I) untuk
pria dan Gusti Ayu
untuk wanita
Tabel 2. Golongan Sudra wangsa
Kasta Titel didepan namanya
Sudra I untuk laki-laki dan Ni untuk
perempuan. Putu, Wayan untuk anak
pertama. Kadek, Nengah untuk anak
ke dua. Komang, Nyoman untuk anak
ke tiga. Ketut untuk anak ke empat.
Menurut Sudiasa (1992) dalam thesis sosialisasi anak dalam keluarga pada
masyarakat Bali menjelaskan bahwa ada yang penting di jelaskan dalam 4 warna
ini. Di dalam Reg Weda (kitab suci umat Hindu) tidak ada di singgung perbedaan
kehidupan sosial mereka. Jadi tidak ada warna yang lebih tinggi dan lebih rendah.
Keempat warna ini sama maka tidak ada larangan pernikahan berbeda warna.
Dengan adanya pernyataan tersebut dari kitab suci agama Hindu, harusnya mereka
Kurangnya informasi dan penjelasan mengenai wangsa itupun membuat
kesalahpahaman ini terus bergulir.
B. Perkawinan turun kasta atau dengan cara ngerorod (nyerod)
Suatu perkawinan pastinya selalu ada upacaranya yang menjadi simbol
pengikat antara laki-laki dengan perempuan. Begitu juga pada perkawinan
perempuan berkasta dengan laki-laki yang tidak berkasta. Mereka harus
melakukan perkawinan yang dapat diakui oleh masyarakat dan keluarganya
masing-masing. Dengan demikian diadakanlah perkawinan turun kasta namun
harus mengikuti upacara khusus agar perkawinan ini sah menurut hukum adat
Bali (Pinatih, 1998).
Perkawinan tersebut disebut dengan cara ngerorod yang memiliki arti
bahwa pasangan melakukan perkawinan karena tidak memperoleh persetujuan
kedua orang mempelai wanita dan tujuannya adalah untuk menjaga wibawa
keluarga besar mempelai wanita. Oleh karena itu, kedua mempelai ini harus
mengikuti serangkaian upacara yaitu, perkawinan dengan cara ngerorod (kawin
lari), upacara mepati wangi di pura Balai Agung, upacara mebiya kala, upacara
bale-balean. Upacara-upacara ini dilakukan agar laki-laki dan perempuan tetap
bisa menikah walaupun berbeda kasta. Selain itu, upacara ngerorod dilakukan
untuk menjaga wibawa keluarga besar mempelai perempuan. Kemudian upacara
mepati wangi pun dilakukan untuk mensejajarkan kasta perempuan dengan kasta
laki-laki. Hal tersebut dilakukan agar memiliki kesetaraan dalam keluarga
Serangkaian upacara itu memang harus dilakukan agar tidak terjadi
perdebatan dan masalah yang berkepanjangan didalam keluarga mereka.
Perkawinan ini memang sangat sering dilakukan di dalam masyarakat Bali namun
mereka banyak yang tidak melakukan prasyarat dengan benar, seperti yang
diungkapkan dalam buku perkawinan pada gelahang di Bali bahwa
“dimungkinkannya melaksanakan perkawinan dengan cara ngerorod,
menyebabkan pasal 3 P.P. Nomor 9/1975, yang menentukan “kehendak
melangsungkan perkawinan dicatat dan diumumkan 10 hari sebelum perkawinan
dilangsungkan”, namun di Bali tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan.”
(Windia, 2011)
C. Konflik perkawinan berkasta
Dengan adanya sistem kasta, maka golongan tri wangsa menghendaki
adanya perkawinan endogami kasta. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar anggota
keluarganya kawin dengan orang-orang berkasta, terutama bagi wanita. Oleh
karena itu, sesuai dengan perkawinan adat Bali maka perkawinan antar keluarga
dan lingkungan kasta itu sendiri atau endogami masih di pertahankan. Dengan
demikian muncullah larangan perkawinan, seperti : asu pundang (larangan bagi
laki-laki kaum ksatrya, weisya, sudra menikah dengan wanita brahmana) dan
alangkahi karang hulu (larangan laki-laki waisya dan sudra menikah dengan
wanita ksatria). Apabila salah satu wanita dengan salah satu laki-laki itu menikah,
maka mereka akan dikeluarkan dari klannya dan di jatuhkan kastanya (patita)
Bagi mereka yang dikenakan hukum selong, akan di buang langsung dari
keluarganya dan secara langsung mereka tidak boleh menggunakan nama
keluarganya yang menjadi identitasnya. Dengan demikian akan terjadi perubahan
identitas karena wanita ini akan mengikuti identitas suaminya karena di Bali
menganut sistem patrilineal (Dewi, 2003). Dengan berubahnya identitas wanita ini
mengikuti identitas suaminya maka akan ada konflik dalam dirinya yang menuju
pada penyesuaian dirinya. Ketika wanita ini berubah peran dan identitasnya maka
wanita ini akan berusaha menyesuaikan diri sebaik mungkin untuk mendapatkan
keharmonisan diri dengan lingkungannya.
D. Penyesuaian Diri
Menurut psikologi sosial penyesuaikan diri dapat diartikan dalam arti luas
yaitu mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, tetapi juga mengubah
lingkungan sesuai dengan keadaan (keinginan) diri (Gerungan, 2010). Selain itu,
menurut Listyawati (2002) penyesuaian diri merupakan suatu proses yang
mencakup respon-respon mental dan tingkah laku, yang merupakan usaha
individu agar berhasil mengatasi kebutuhan, ketegangan, konflik dan frustasi yang
dialami dalam dirinya. Usaha individu tesebut bertujuan untuk memperoleh
keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan dalam diri dengan apa yang
diharapkan oleh lingkungan.
Schneiders (1964) (dalam Agustiani,2009) membagi penyesuaian diri dalam
beberapa katagori. Salah satu pembagiannya itu adalah pembagian berdasarkan
penyesuaian personal, penyesuaian sosial, penyesuaian perkawinan dan
penyesuaian vokasional.
E. Penyesuaian Sosial
1. Pengertian penyesuaian sosial
Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan individu
terhadap lingkungan diluar dirinya, Misalnya: lingkungan rumah, sekolah, dan
masyarakat. Menurut Schneiders (1964) (Agustiani, 2009) penyesuaian sosial
merupakan suatu kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu
untuk dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi,
dan relasi sosial, sehingga kriteria yang harus dipenuhi dalam kehidupan
sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara yang dapat diterima dan
memuaskan.
Menurut pandangan sosiologi dan budaya, ketika ketidakserasian dalam
lingkungan masyarakat dapat dipulihkan kembali setelah terjadi perubahan,
maka hal tersebut disebut dengan penyesuaian (adjustment). Adapun perbedaan
yang muncul antara penyesuaian dari lembaga-lembaga kemasyarakatan dan
penyesuaian dari individu yang ada dalam masyarakat tersebut. Pertama adalah
menunjuk pada keadaan, dimana masyarakat berhasil menyesuaikan
lembaga-lembaga kemasyarakatan dengan keadaan yang mengalami perubahan sosial
dan budaya. Sedangkan yang kedua menunjuk pada usaha-usaha individu
untuk menyesuaikan diri dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah
diubah atau diganti, agar terhindar dari disorganisasi psikologis (Soekanto,
Selain itu, Eysenk (1972) (dalam Listyawati, 2002).mengungkapkan
bahwa penyesuaian sebagai suatu proses untuk mencapai suatu keseimbangan
sosial dengan lingkungan dan sebagai suatu proses belajar, yaitu belajar
memahami, mengerti dan berusaha untuk melakukan apa yang dilakukan dan
diinginkan oleh individu maupun lingkungan sosialnya. Penyesuaian sosial ini
dilakukan agar tidak mengalami konflik dengan lingkungannya. Dengan
demikian, individu mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosialnya secara baik. Hal ini serupa dengan yang dikatakan Hurlock (1995)
bahwa seseorang akan mendapatkan kebahagiaan jika melakukan penyesuaian
diri maupun penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial merupakan kemampuan
seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan orang lain pada umumnya.
Pengertian penyesuaian sosial tidak bisa lepas dari penyesuaian diri maka
seseorang akan melakukan penyesuaian diri terlebih dahulu untuk dapat
melakukan penyesuaian sosial dengan baik.
2. Aspek penyesuaian sosial
Hurlock (1990) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian sosial,
antara lain:
a. Penampilan nyata
“Over performance” yang diperhatikan individu sesuai norma yang
berlaku didalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan
b. Penyesesuaian diri terhadap kelompok
Hal ini berarti bahwa individu tersebut mampu menyesuaikan diri secara
baik dengan setiap kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya maupun
orang dewasa.
c. Sikap sosial
Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang
lain, ikut berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam
kegiatan sosial.
d. Kepuasan pribadi
Hal ini ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia karena
dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompoknya dan mampu menerima
diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian sosial
Individu selalu dihadapkan pada proses penyesuaian sosial pada proses
perjalanan hidupnya, baik terhadap keadaan baru, perubahan suasana maupun
kebutuhan baru. Selama periode penyesuaian tersebut, individu tidak dapat
lepas dari pengaruh yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya (Brianti,
2010) menurut Agustiani (2006) Penyesuaian sosial yang dilakukan individu
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
a. Faktor fisik, yang meliputi keturunan, kesehatan, dan bentuk tubuh
b. Faktor perkembangan dan kematangan, yang meliputi intelektual, sosial,
c. Faktor psikologi, yang meliputi pengalaman, frustasi, konflik yang dialami
individu dan faktor-faktor psikologis lain yang mempengaruhi penyesuaian
sosial.
d. Faktor budaya, yang meliputi adat istiadat dan agama
e. Faktor lingkungan, meliputi lingkungan keluarga dan rumah
Selain itu, Schneiders (1991) juga mengemukakan bahwa dalam
melakukan penyesuaian sosial terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya,
yaitu : faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang timbul dari dalam individu. Faktor
internal yang termasuk didalamnya adalah emosi, rasa aman, ciri pribadi,
penerimaan diri, inteligensi dan perbedaan jenis kelamin.
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang timbul dari luar individu. Adapun
faktor eksternal yang mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan sekolah,
lingkungan masyarakat dan budaya (Listyawati,2002).
F. Hubungan manusia dengan lingkungan
Lingkungan sosial, yaitu merupakan lingkungan masyarakat yang di
dalamnya terdapat interaksi individu dengan individu lain. Lingkungan sosial
dapat dibedakan menjadi 2 yaitu lingkungan sosial primer dan lingkungan sosial
sekunder. Lingkungan sosial primer yaitu lingkungan sosial dimana terdapat
hubungan yang erat antara individu satu dengan yang lain, individu satu saling
lingkungan sosial dimana hubungan individu satu dengan yang lain agak longgar,
individu satu kurang mengenal dengan individu yang lain. Namun demikian
pengaruh lingkungan sosial, baik lingkungan sosial primer maupun lingkungan
sosial sekunder sangat besar terhadap keadaan individu sebagai anggota
masyarakat (Walgito, 2003).
Bagaimana hubungan antara individu dengan lingkungannya, terutama
lingkungan sosial tidak hanya berlangsung searah, dalam arti bahwa hanya
lingkungan saja yang mempunyai pengaruh terhadap individu. Akan tetapi, antara
individu dengan lingkungannya terdapat hubungan yang saling timbal balik, yaitu
lingkungan berpengaruh pada individu, tetapi sebaliknya individu juga
mempunyai pengaruh terhadap lingkungan (Walgito, 2003).
G. Penyesuaian sosial yang berkaitan dengan pernikahan turun kasta
Berkaitan dengan penyesuaian sosial ini, perempuan yang mengalami
pernikahan turun kasta harus bisa menyesuaikan diri agar dapat melakukan
penyesuaian sosial dengan baik pula. Hal itu dikarenakan mereka yang mengalami
pernikahan turun kasta harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya
yang baru yaitu dilingkungan yang tidak berkasta. Tentunya perempuan yang
menikah turun kasta ini berbeda dengan orang-orang yang menikah sesuai dengan
aturannya. Dapat dikatakan berbeda karena perempuan yang menikah turun kasta
harus meninggalkan identitas dirinya terdahulu. Perempuan yang menikah turun
kasta akan meninggalkan identitasnya sebagai perempuan yang berkasta karena
sudah memutuskan untuk menikah dengan seorang yang tidak memiliki kasta. Hal
dengan lingkungan sosialnya yang baru maupun yang lama sebagai wanita sudra
(dewi,2003).
H. Konsep yang diteliti
Perempuan yang memiliki kasta tinggi tentunya ingin memiliki kebebasan
dalam hal memilih pendamping hidup. Akan tetapi, perempuan berkasta ini
memiliki tuntutan dan tekanan dari keluarganya untuk memiliki pasangan yang
sederajat atau lebih tinggi kastanya dari keluarganya. Hal tersebut akan membuat
prestise sendiri di keluarga mereka dalam hal kedudukan di masyarakat. Akan
tetapi, hal ini akan menjadi masalah ketika perempuan berkasta ini memutuskan
untuk menentang orang tuanya demi memilih pasangannya sendiri dan
memutuskan untuk melepaskan kastanya. Contoh nyatanya saja ada perempuan
berkasta yang memilih menentang keluarganya dan menerima risiko untuk
menikah dengan laki-laki pilihannya. Perempuan ini akan mendapatkan hukuman
seperti dibuang dari keluarganya dan penurunan gelar jika mereka menikah turun
kasta. Adapun faktor-faktor yang membuat perempuan ini memutuskan untuk
melepaskan kastanya. Sehubungan dengan hal tersebut maka perempuan yang
memilih untuk turun kasta ini akan memiliki identitas baru dan siap untuk
menyesuaiakan diri dilingkungan barunya yang disebut dengan penyesuaian
sosial. Dengan demikian, perempuan ini harus melakukan penyesuaian sosial agar
mendapatkan kebahagiaan dan keselarasan dalam dirinya terhadap lingkungan
barunya. Selain itu, agar tidak terjadi konflik dalam dirinya. Hal ini lah yang akan
di teliti dalam penelitian ini. Bagaimana seorang perempuan yang mengalami
I. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana penghayatan psikologi pada perempuan yang mengalami
perkawinan turun kasta (nyerod) terhadap penyesuaian sosial di Bali ?
Selanjutnya, pertanyaan diperinci menjadi 4 fokus, yaitu :
1. Bagaimana perempuan (nyerod) ini memandang dirinya?
2. Bagaimana penyesuaian sosial perempuan (nyerod) di lingkungan berkastanya?
3. Bagaimana penyesuaian sosial perempuan (nyerod) di lingkungan keluarga
suami?
4. Bagaiamana penyesuaian sosial perempuan (nyerod) di lingkungan
J. KERANGKA PENELITIAN
PEMBENTUKAN IDENTITAS BARU WANITA
BERKASTA MENIKAH
TURUN KASTA MOTIVASI
KELUARGA BARU/SUAMI/ TIDAK BERKASTA
AREA STATUS KASTA
AREA MASYARAKAT AREA KELUARGA
BERKASTA
PENYESUAIAN SOSIAL
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Definisi Operasional
Penyesuaian sosial merupakan penyesuaian yang dilakukan individu
terhadap lingkungan diluar dirinya. Misalnya, lingkungan rumah, sekolah,
dan masyarakat. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian sosial merupakan
suatu kapasitas atau kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk
dapat bereaksi secara efektif dan bermanfaat terhadap realitas, situasi, dan
relasi sosial, sehingga kriteria yang harus dipenuhi dalam kehidupan
sosialnya dapat terpenuhi dengan cara-cara yang dapat diterima dan
memuaskan. Penyesuaian sosial ini dilakukan agar tidak mengalami konflik
dengan lingkungannya. Dengan demikian, individu mampu untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya secara baik
(Listyawati,2002).
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini berjudul gambaran penyesuaian sosial pada perempuan
yang mengalami pernikahan turun kasta di Bali. Dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Hal ini dikarenakan
dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, peneliti dapat
menggambarkan bagaimana penyesuaian sosial dari perempuan yang
memilih pernikahan turun kasta dalam hidupnya. Penelitian kualitatif ini
menginterpretasikan maksud dari suatu fenomena maupun pengalaman
personal dan sosial yang dialami oleh subjek penelitian (Creswell, 2012).
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan analisis
kualitatif deskriptif. Peleitian kualitatif deskriptif dapat diartikan sebagai
penelitian yang memotret fenomena individual, situasi, atau kelompok
tertentu yang terjadi secara kekinian. Penelitian deskriptif juga berarti
penelitian yang dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena atau
karakteristik individual, situasi dan kelompok tertentu secara akurat.
Dengan kata lain, tujuan penelitian kualitatif adalah mendeskripsikan
seperangkat peristiwa atau kondisi populasi saat ini (Danim, 2002).
Menurut Jane Richie (dalam Moleong, 2013) penelitian kualitatif
adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial dan perspektifnya di dalam
dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan tentang manusia
yang diteliti. Dari beberapa ahli, Moleong (2013) merumuskan bahwa
penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainnya secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan Bahasa pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah. Metode yang dapat digunakan antara lain, wawancara sebagai alat
C. Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus pada bagaimana penyesuaian sosial yang
dilakukan perempuan Hindu di Bali yang melakukan perkawinan turun
kasta (nyerod). Pengungkapan bagaimana perempuan turun kasta ini melihat
dunianya dan bagaimana dia dapat menyesuaikan dirinya di lingkungan
sekitarnya. Hal tersebut akan menunjukkan bagaimana perempuan yang
menikah turun kasta ini mengalami penyesuaian sosial dalam identitas
barunya sebagai perempuan sudra.
Perempuan yang mengalami turun kasta akan mengalami perubahan
identitas yang dulunya seorang tri wangsa menjadi seorang sudra
(Dewi,2003). Perubahan identitas ini akan membuat perempuan tersebut
memulai untuk menyesuaikan dirinya lagi dengan lingkungan disekitarnya
sehingga adanya penyesuaian sosial yang harus dilakukan oleh perempuan
ini. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan keselarasan dan keharmonisan
antara tuntutan didalam diri dengan apa yang diharapkan dilingkungan
sekitarnya (Agustiani, 2009). Dengan demikian, peneliti ingin melihat
bagaimana perempuan yang memutuskan untuk menikah turun kasta dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya yang disebut penyesuaian sosial
dan menerima dirinya sebagai perempuan yang memiliki identitas baru yaitu
sebagai perempuan yang sudah tidak memiliki kasta.
Terdapat 4 fokus area lingkungan yang berpengaruh dalam
penyesuaian sosial pada perempuan yang mengalami turun kasta. Area
1. Area status kasta
2. Area lingkungan keluarga berkasta
3. Area lingkungan keluarga baru/suami/tidak berkasta
4. Area masyarakat
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini berjumlah 3 orang. Subjek dipilih menggunakan
Criterion Sampling yaitu cara penentuan subjek berdasarkan kriteria tertentu
dari peneliti yaitu perempuan yang mengalami perkawinan turun kasta. Hal
terpenting dari kriteria tersebut adalah mengalami pengalaman atas
fenomena yang hendak diteliti (Creswell, 2012). Selain itu, kriteria lain
seperti menggunakan subjek yang termasuk kategori dewasa awal yaitu
dimulai pada awal usia 20 tahun sampai usian 30 tahun. Hal itu dikarenakan
masa ini merupakan saat untuk mencapai kemandirian pribadi, ekonomi,
perkembangan karier, serta bagi sebagian besar orang adalah masa untuk
memilih pasangan, belajar untuk mengenal seseorang secara lebih dekat,
memulai keluarga sendiri dan mengasuh anak (Santrock, 2012).
Selain itu, subjek penelitian ini menggunakan perempuan yang
mengalami pernikahan beda kasta dan tinggal di Bali. Subjek memeluk
agama Hindu dan tinggal dilingkungan suaminya. Subjek yang diteliti ini
juga memiliki masa perkawinannya 1-5 tahun. Hal itu dikarenakan, pada
masa itu adalah masa-masa dimana mereka mulai beradaptasi dengan
Keterangan Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
Inisial Vs Ds Id
Umur 23 23 25
Pekerjaan Wiraswasta Mahasiswi Mahasiswi
Kategori kasta Anak Agung Istri
Agung (Ksatrya)
Desak (Ksatrya) Ida Ayu
(Brahmana)
E. Metode Pengambilan Data
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
wawancara. Wawancara adalah percakapan yang dilakukan dua pihak atau
lebih yang diarahkan untuk maksud tertentu. Tujuan dari wawancara ini
menurut Lincoln dan Guba, antara lain : mengkonstruksi mengenai orang,
kejadian, organisasi, perasaan, motivasi tuntutan, kepedulian, memperluas
informasi yang diperoleh dari orang lain, dan memverivikasi, mengubah dan
memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti (moleong, 2013).
Selain itu, wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami
individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan
eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan
melalui pendekatan lain (poerwandari, 1998).
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan wawancara dengan
pedoman standar terbuka atau disebut dengan semi-terstruktur. Dalam