• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT FISIK DAN KIMIAWI KARAGENAN YANG DIEKSTRAK DARI RUMPUT LAUT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIFAT FISIK DAN KIMIAWI KARAGENAN YANG DIEKSTRAK DARI RUMPUT LAUT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT FISIK DAN KIMIAWI KARAGENAN YANG DIEKSTRAK DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii DAN E. spinosum

PADA UMUR PANEN YANG BERBEDA

PHYSICAL AND CHEMICAL CHARACTERISTICS OF CARRAGEENAN EXTRACTED FROM E. cottonii AND E. spinosum AT DIFFERENT HARVESTING TIMES

Sri Widyastuti

Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Jl Majapahit 62 Mataram Lombok 83125 email:widysri@yahoo.com

ABSTRAK

Karakteristik karagenan menentukan kualitas dan pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa beberapa sifat fisik dan kimiawi karagenan hasil ekstraksi dari rumput laut Eucheuma cottonii dan E. spinosum yang dipanen pada waktu berbeda selama periode 45 hari setelah tanam (HST). Rumput laut dibudidayakan dengan metode rakit apung di ”Teluk Gerupuk Lombok Tengah”. Kadar karagenan kedua species meningkat dengan bertambahnya umur panen, dari 40% pada 15 HST menjadi sekitar 50% pada 45 HST. Sifat fisik meliputi titik leleh, titik beku dan kekuatan gel juga mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 21%, 33% dan 13% dari umur 15 HST sampai dengan 45 HST. Sebaliknya, nilai viskositas mengalami penurunan selama periode tersebut rata-rata sebesar 14%. Beberapa parameter sifat kimia, seperti rendemen karagenan, kadar karbohidrat dan kadar abu juga mengalami peningkatan dalam periode 15 HST sampai dengan 45 HST, rata-rata sebesar 31%, 33% dan 13%. Namun demikian, kadar air karagenan mengalami penurunan rata-rata sebesar 12% selama periode tersebut. Sifat fisik dan kimiawi karagenan E cottonii dan E. Spinosum pada umur 45 HST memenuhi standard mutu karagenan yang ditetapkan oleh FAO, FCC dan EEC. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan waktu panen dalam rangka untuk mendapatkan karagenan bermutu sesuai standard eksport.

ABSTRACT

Physical and chemical characteristic of carageenan determine its further application. This research aimed to determining physical and chemical characteristics of E cottonii dan E. spinosum carrageenan at different harvesting time during 45 days after planting (DAP). The seaweed were cultured using floated method in ” Gerupuk, Central Lombok”, and carrageenan was extracted and analyzed. Carrageenan content of the both species increased with the longer DAP, i.e 40% at the 15 DAP to 50% at the 45 DAP. Melting and freezing points, also gel strength, increased by 21%, 33% and 13% respectively from the 15 DAP to the 45 DAP. In contrast, viscocity of carrageenan decreased about 14% during that period. Chemical characteristics, such as carrageenan, carbohydrate and ash content increased around 31%, 33% and 13% from the age of 15 DAP to the 45 DAP. On the other hand, water content was decreased around 12% during that period. This physical and chemical characteristics of E. cottonii and E. spinosum at 45 DAP, meet the quality standard regulated by FAO, FCC and EEC. This results can be used as a guidance in determining harvesting time of Eucheuma sp. in order to obtain carrageenan which meets the export standard requirements

_____________________________________________________________________ Kata kunci: Rumput Laut, Eucheuma, karaginan, umur panen, sifat fisik dan sifat kimiawi

Keywords: Seawed, Eucheuma, carrageenan, harvesting time, physical and chemical characteristics.

PENDAHULUAN

Rumput laut (seaweed) merupakan salah satu komoditi laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi, karena pemanfaatannya yang demikian luas, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia industri, sehingga memiliki pasar yang luas di dalam negeri maupun luar negeri (Anonim, 2008). Dalam kehidupan sehari-hari,

rumput laut sudah dimanfaatkan secara luas sejak tahun 1920, dan tercatat sekitar 22 spesies rumput laut yang dimanfaat secara tradisional sebagai sayuran dan bahan obat tradisional. Hal ini dapat dipahami mengingat rumput laut memiliki kandungan nutrisi yang cukup lengkap antara lain air (27,8%), protein (5,4%),

(2)

karbohidrat (33,3%), lemak (8,6%), serat kasar (3%) dan abu (22,25%).

Selain kandungan gizi yang baik, rumput laut juga mengandung senyawa hidrokoloid, seperti karagenan, agar dan alginat. Peneliti sebelumnya melaporkan karagenan dan agar dihasilkan oleh rumput laut (alga) merah (Rodhophycae) (Widyastuti, 2008g), sedangkan alginat dihasilkan oleh alga coklat (Phaeophycae) (Widyastuti, 2009c) Ketiga senyawa hidrokolid tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi, mengingat manfaatnya yang demikian luas sebagai pengemulsi dan pengental dalam industri makanan, kosmetik, obat-obatan, tekstil dan lain-lain (Anonim, 2008b). Mengingat potensi ekonominya yang demikian besar dan ketersediaannya yang beraneka ragam di perairan laut Indonesia yang demikian luas (Dahuri, 2003), maka rumput laut telah ditetapkan sebagai salah satu komoditi unggulan program revitalisasi kelautan, disamping udang dan tuna.

Sumber utama karagenan yang dipahami secara umum saat ini adalah rumput laut genus Eucheuma. Senyawa hidrokolid tersebut dikenal luas di masyarakat sebagai getah rumput laut. Senyawa tersebut dapat diekstraksi dengan mudah menggunakan air atau larutan alkali (Winarno, 1996). Di perairan laut Nusa Tenggara Barat (NTB), spesies yang umum dibudidayakan oleh petani adalah E cottonii yang menghasilkan kappa karaginan dan E. spinosum yang menghasilkan iota karaginan. Selain kedua spesies tersebut, di beberapa sentra produksi di NTB, seperti di kabupaten Sumbawa Barat, pembudidaya rumput laut juga mengembangkan Estriatum strain Sakul. Pengembangan ketiga spesies tersebut tentunya didasarkan pada respon pasar yang cukup baik terhadap ketiga spesies Eucheuma tersebut (Sunarto, 2008). Atas dasar kenyataan tersebut, beberapa daerah lain di Indonesia dan negara lain seperti Filipina juga mengembangkan spesies Eucheuma (Winarno, 1996).

Selain jenis karagenan (Istini, 2008), total karagenan yang dihasilkan juga sangat dipengaruhi oleh spesies rumput laut (Widyastuti, 2008d). Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perairan laut NTB mengandung 69 spesies rumput laut, yang dikelompokkan menjadi alga merah, alga coklat dan alga hijau (Sunarpi dkk., 2006). Berdasarkan hasil analisis persentase rendemen karagenan ditemukan bahwa hanya kelompok alga merah yang potensial sebagai penghasil karagenan (Widyastuti, 2008d), sedangkan alga coklat (Widyastuti, 2008f) dan alga hijau (Widyastuti, 2008g) tidak berpotensi sebagai penghasil

karagenan. Spesies alga merah yang dianalisis dalam penelitian tersebut menunjukkan kadar karagenan yang sangat bervariasi (Widyastuti, 2008c). Fakta tersebut memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa total karagenan yang dihasilkan oleh alga mereah sangat tergantung pada spesies alga merah tersebut.

Secara teoritis dipahami bahwa karagenan merupakan produk fotosintesis yang dilakukan di kloroplast sel thalus rumput laut (Aslan, 1996; Anggadiredja, 2006). Karena itu, sudah dapat dipastikan bahwa kualitas karagenan yang dihasilkan oleh suatu spesies rumput laut sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan rumput laut tersebut, dan lama peningkatan kadar karagenan selama proses pertumbuhan rumput laut tersebut. Daya dukung lingkungan yang optimum terhadap pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh lokasi dan waktu tanam rumput laut. Hal ini terkait dengan ketersediaan nutrisi dan kondisi lingkungan yang sangat variatif dan fluktuatif dari waktu ke waktu sepanjang tahun. Mengingat ketersediaan nutrisi dan kondisi lingkungan di laut sangat sulit dimodifiaksi, maka pertumbuhan rumput laut sepenuhnya tergantung pada ketersediaan nutrisi dan kondisi lingkungan saat budidaya. Dengan demikian, maka kadar lingkungan suatu spesies rumput laut bervariasi, tergantung lokasi dan waktu tanam rumput laut tersebut.

Selain lokasi dan waktu tanam, lama tanam juga mempengaruhi karagenan, baik secara kuantitas maupun kualitas (Hurtado dkk., 2008). Hal ini dapat dipahami, mengingat karagenan merupakan produk fotosintesis, yang kuantitas dan kualitasnya sangat tergantung pada lama proses tersebut berlangsung dan lama penimbunan karagenan di sel thalus rumput laut. Karena itu, sudah dapat dipastikan bahwa kadar dan kualitas karagenan dipengaruhi oleh waktu panen rumput laut (Aslan, 1996; Anggadireja, 2006). Peneliti sebelumnya menggunakan indikator penambahan berat dalam menentukan waktu panen. Sebagai contoh, Aslan (1996) melaporkan bahwa panen terbaik Ebisa dilakukan apabila telah terjadi penambahan berat empat kali berat awal, sekitar 45 hari. Selain itu, peneliti lain mengindikasikan waktu panen terbaik bila terjadi perbandingan berat basah dengan berat kering sekitar 6:1 (Indriani dan Sumiarsih, 1996).

Selain indikator pertambahan berat dan perbandingan berat, kadar total karagenan dan karakter fisik dan kimiawi karagenan juga penting untuk dijadikan dasar waktu panen rumput laut jenis Eucheuma. Penelitian sebelumnya di teluk Gerupuk Lombok Tengah

(3)

(Sunarpi dkk., 2007) dan Jelenga kabupaten Sumbawa Barat (Sunarpi dkk., 2008) menunjukkan bahwa total karagenan terus mengalami peningkatan sampai umur melebihi 45 hari. Namun demikian, karakter fisik dan kimiawi karagenan yang dihasilkan oleh setiap waktu panen tidak dilaporkan oleh peneliti tersebut. Artikel ini melaporkan sifat fisik dan kimiawi karagenan pada beberapa waktu panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat fisik dan kimiawi karagenan lebih baik saat dipanen pada umur 45 hari bila dibandingkan dengan saat dipanen pada umur 15 dan 30 hari. Fakta ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan waktu panen rumput laut dalam rangka untuk menjamin kualitas karagenan rumput laut.

METODE PENELITIAN Desain, waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, dengan cara menanam E. cottonii dan E. spinosum, masing-masing pada tiga rakit apung berukuran 8 x 8m. Penimbangan berat basah, berat kering dan analisis rendemen karagenan dilakukan sejak saat tanam sampai dengan umur 45 hari setelah tanam (HST) dengan interval waktu tujuh hari. Sedangkan analisis sifat fisik dan kimiawi karagenan dilakukan pada umur 15, 30 dan 45 hari setelah tanam. Penimbangan berat basah, berat kering, analisis total, sifat fisik dan sifat kimiawi karagenan dilakukan dalam tiga ulangan, sehingga setiap data yang dipresentasikan dalam artikel ini merupakan nilai rata-rata tiga ulangan±SE. Penelitian berlangsung pada bulan Juni-Agustus 2008. Penanaman rumput laut E. cottonii dan E. spinosum dilakukan di ”Balai Budidaya Laut (BBL) Stasiun Teluk Gerupuk Kabupaten Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat”. Penimbangan berat basah, pengeringan menggunakan oven dan penimbangan berat kering sampel, dilakukan di laboratorium Imunobiologi FMIPA. Sedangkan ekstraksi karagenan dan analisis sifat fisik dan sifat kimiawi karagenan dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian. Penanaman rumput laut

Penanaman rumput laut E. cottonii dan E. spinosum dilakukan dengan metode rakit apung di BBL Lombok stasiun Teluk Gerupuk Lombok Tengah. Setiap jenis rumput laut ditanam dalam tiga unit rakit apung, sehingga ada enam rakit apung yang digunakan dalam penelitian ini. Bibit seberat 100 gram diikat pada tali yang panjangnya 10 meter, dan jarak setiap titik

tanam 20x25 cm, sehingga dalam setiap rakit terdapat 400 titik tanam. Bibit rumput laut yang telah ditanam dibiarkan tumbuh selama 45 hari, dan disampling setiap interval tujuh hari selama periode tersebut, sehingga waktu sampling dilakukan pada hari ke 0, 7, 15, 22, 30, 37 dan 45 setelah tanam. Berat basah dan berat kering ditimbang pada setiap waktu sampling, sebagaimana halnya analisis rendemen karagenan. Sampel rumput laut basah langsung ditimbang berat basahnya, dikeringkan di bawah sinar matahari, dioven pada suhu 60oC sampai

diperoleh berat yang konstan, dan saat tersebut ditimbang berat keringnya. Sedangkan analisis sifat fisik dan kimiawi karagenan dilakukan hanya pada hari ke 15, 30 dan 45 setelah tanam. Setiap pengukuran parameter dilakukan dalam tiga ulangan, sehingga setiap nilai yang dipresentasikan merupakan nilai rata-rata tiga ulangan±SE.

Prosedur ekstraksi karagenan

Ekstraksi karagenan rumput laut E. cottonii dan E. spinosum dilakukan sesuai prosedur Indriani dan Suminarsih (1996). Rumput laut kering seberat 3 gram dipotong-potong, dan direbus pada suhu 85o C dalam 180 ml larutan

basa (pH 8) sampai terbentuk bubur rumput laut (pasta). Dalam keadaan panas, pasta disaring menggunakan kain halus. Filtrat dipanaskan kembali sampai volume 90 ml, dan didiamkan selama + 10 menit. Selanjutnya, karagenan diendapkan dengan cara menambahkan etanol 95%, dengan perbandingan filtrat:ethanol =1 : 2, didiamkan selama 24 jam sampai terbentuk endapan, dan disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh karagenan basah. Akhirnya, karagenan yang diperoleh dikeringkan dengan menggunakan oven pada 60oC sampai tercapai

berat yang konstan. Setiap pengukuran karagenan dilakukan tiga ulangan, sehingga setiap nilai yang dipresentasikan merupakan nilai rata-rata tiga ulangan±SE.

Analisis sifat fisik dan kimiawi karagenan Sifat fisik dan kimiawi yang diamati dalam penelitian ini meliputi kadar air, kadar abu, rendemen, kekuatan gel, titik leleh, titik beku, viskositas karagenan dan kadar karbohidrat rumput laut E. cottonii dan E. spinosum. Pengukuran kadar air, kadar abu dan rendemen karagenan dilakukan sesuai prosedur (Sudarmadji dkk., 1984). Pengukuran kekuatan gel, viskositas, titik leleh dan titik beku dilakukan sesuai prosedur Anonim (2007). Sedangkan pengukuran kadar karbohidrat sesuai prosedur pengendapan fenol (Aprianto dkk., 1988).

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan rumput laut

Gambar 1. Pertumbuhan Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum yang ditunjukkan oleh pertambahan berat basah (A) dan berat kering (B) Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum selama periode tanam 45 hari.

Rendemen karagenan rumput laut

Gambar 2. Rerata pertambahan rendemen karagenan (%) E. cottonii dan E. spinosum selama periode tanam 45 hari.

Pola pertumbuhan kedua spesies berbeda bila dilihat dari berat basah (Gambar 1). E. spinosum tumbuh lebih cepat bila dinadingkan dengan E. cottonii. Dalam kurun waktu 22 hari setelah tanam, E. spinosum telah mencapai berat basah maksimum, sekitar 1000 gram berat basah, dan setelah periode tersebut, spesies rumput laut ini tidak mengalami pertumbuhan (Gambar 1A). Namun demikian, dalam periode 22 hari, pertumbuhan E. cottonii baru mencapai berat sekitar 300 gram, terus mengalami pertumbuhan dengan cepat, bahkan sampai akhir percobaan spesies rumput laut ini baru mencapai berat sekitar 550 gram. Hal ini memberikan

indikasi yang cukup kuat bahwa E. cottonii membutuhkan waktu yang lebih lama (>45 hari) untuk mencapai berat besah maksimum.

Pola pertumbuhan yang sama juga dapat dilihat bila dibandingkan pertambahan berat kering spesies E. cottonii dan E. spinosum (Gambar 1B). Dalam periode 30 hari setelah tanam, berat kering E. cottonii baru mencapai 33,17 g, sedangan E. spinosum pada saat tersebut sudah mencapai berat sekitar 109, 3 g. Fenomena tersebut tambah jelas bila diperhatikan capaian berat pada umur 45 hari setelah tanam (HST), dimana E. cottonii mencapai berat 33,17g, sebaliknya, E. spinosum

A

B

Rendemen Karaginan (%) 0 10 20 30 40 50 60 0 7 15 22 30 37 45

umur tanam an (hari)

p er sen tase r en d em en ( % ) E.cottonii E.spinosum

(5)

pada saat tersebut telah mencapai berat 109,6 g. Dengan demikian, data berat kering yang ditunjukkan pada Gambar 1B memperkuat asumsi bahwa E. cottonii tumbuh lebih lambat, dan membutuhkan waktu >45 hari untuk mencapai berat maksimum, bila dibandingkan dengan E. spinosum. Pola pertumbuhan Eucheuma yang ditunjukkan pada Gambar 1 konsisten dengan yang dilaporkan peneliti sebelumnya (Sunarpi dkk., 2007, 2008a).

Berbeda dengan pola pertumbuhan, peningkatan kandungan karagenan E. cottonii dan E. spinosum relatif sama, kedua spesies memiliki rendemen karagenan sekitar 50% pada akhir percobaan (Gambar 2). Selama periode 15 HST, kandungan karagenan meningkat dengan cepat, dan kedua spesies mencapai nilai sekitar 40% rendemen karagenan dalam kurun waktu tersebut. Setelah periode tersebut, sampai akhir percobaan, dalam periode tanam sekitar 30 hari, kedua spesies hanya menambah sekitar 10% rendemen karagenan. Hal ini memberikan indikasi bahwa dalam periode tanam setelah 15 hari, pertambahan kadar karagenan sangat lambat, sekitar 0,33% per hari. Meskipun demikian, proses peningkatan kadar kataginan terus berjalan, tidak stagnan, yang ditunjukkan oleh adanya peningkatan jumlah rendemen karagenan. Hal ini terjadi pada spesies alga dalam rangka untuk memperkuat kekuatan gel yang dihasilkan sebagai salah satu penentu kualitas karagenan yang dihasilkan oleh ganggang tersebut. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka tidak mengherankan beberapa peneliti menganjurkan bahwa untuk mendapatkan karagenan dengan kualitas yang memenuhi standard eksport, maka sebaiknya

panen rumput laut dilakukan paling cepat 45 hari setelah tanam (Hurtado dkk., 2008; Sunarpi dkk., 2007, 2008a; Sunarpi, 2008b).

Sifat fisik karagenan rumput laut

Selain kekuatan gel, sifat fisik karagenan E. cottonii, yang ditunjukkan oleh nilai titik leleh, titik beku dan viskositas (Tabel 1), tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan sifat fisik karagenan E. spinosum (Tabel 2). Titik leleh karagenan kedua spesies mengalami peningkatan sejalan dengan waktu panen. Hal ini dapat dipahami mengingat rendemen karagenan (Gambar 2), kekuatan gel dan viskositas (Tabel 1 dan Tabel 2) juga terus mengalami peningkatan sejalan dengan waktu panen, sehingga untuk melelehkan karagenan tersebut membutuhkan suhu yang lebih tinggi, sekitar 121,77o C dan 123,11o C masing-masing

pada karagenan E. cottonii (Tabel 1) dan E. spinosum (Tabel 2) saat rumput laut tersebut berumur 45 HST.

Sebagaimana halnya titik leleh, titik beku karagenan E. cottonii dan E. spinosum (Tabel 1 dan Tabel 2) juga mengalami peningkatan sejalan dengan umur panen. Sebagai contoh, saat rumput laut berumur 15 HST, titik beku karagenan E. cottonii sekitar 37,57o C (Tabel 1),

dan sekitar 38,90o C (Tabel 2) untuk titik beku

karagenan E. spinosum (Tabel 2). Nilai titik beku tersebut mengalami peningkatan yang cukup tajam saat saat rumput laut berumur 45 HST, menjadi sekitar 50,03o C dan 50,88o C,

masing-masing untuk karagenan E. Cottonii.

Tabel 1. Rerata titik leleh (oC), titik beku (oC), kekuatan gel (gram cm-2) dan viskositas (cpc) karagenan E. cottonii pada umur panen 15, 30 dan 45 HST.

Umur panen Sifat Fisik

15HST 30HST 45HST

Titik leleh (oC) 98,73±4,21 114,88±5,11 121,77±6,12

Titik beku (oC) 37,57±1,88 43,35±2,12 50,03±2,11

Kekuatan gel (gram cm-2) 99,98±4,64 299,23±19,77 483,33±24,33

(6)

Tabel 2. Rerata titik leleh (oC), titik beku (oC), kekuatan gel (gram cm-3) dan viskositas (cps) karagenan E. spinosum pada umur panen 15, 30 dan 45 hari setelah tanam.

Umur panen Sifat Fisik

15HST 30HST 45HST

Titik leleh (oC) 109,14±5,21 116,43±5,44 123,11±6,23

Titik beku (oC) 38,90±1,99 46,03±2,34 50,88±2,54

Kekuatan gel (gram cm-2) 88,73±4,52 251,09±12,33 401,77±20,13

Viskositas (cps) 28,65±1,44 26,44±1,31 21,37±1,12

Sifat fisik karagenan rumput laut

Selain kekuatan gel, sifat fisik karagenan E. cottonii, yang ditunjukkan oleh nilai titik leleh, titik beku dan viskositas (Tabel 1), tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan sifat fisik karagenan E. spinosum (Tabel 2). Titik leleh karagenan kedua spesies mengalami peningkatan sejalan dengan waktu panen. Hal ini dapat dipahami mengingat rendemen karagenan (Gambar 2), kekuatan gel dan viskositas (Tabel 1 dan Tabel 2) juga terus mengalami peningkatan sejalan dengan waktu panen, sehingga untuk melelehkan karagenan tersebut membutuhkan suhu yang lebih tinggi, sekitar 121,77o C dan 123,11o C masing-masing

pada karagenan E. cottonii (Tabel 1) dan E. spinosum (Tabel 2) saat rumput laut tersebut berumur 45 HST.

Sebagaimana halnya titik leleh, titik beku karagenan E. cottonii dan E. spinosum (Tabel 1 dan Tabel 2) juga mengalami peningkatan sejalan dengan umur panen. Sebagai contoh, saat rumput laut berumur 15 HST, titik beku karagenan E. cottonii sekitar 37,57o C (Tabel 1),

dan sekitar 38,90o C (Tabel 2) untuk titik beku

karagenan E. spinosum (Tabel 2). Nilai titik beku tersebut mengalami peningkatan yang cukup tajam saat saat rumput laut berumur 45 HST, menjadi sekitar 50,03o C dan 50,88o C,

masing-masing untuk karagenan E. cottonii (Tabel 1) dan E. spinosum (Tabel 2). Fenomena tersebut dapat dipahami bila dikaitkan dengan peningkatan rendemen karagenan sejalan dengan penambahan umur panen. Semakin tinggi kadar karagenan, maka secara teoritis terjadi peningkatan kadar 3,6-anhidrogalaktosa, sehingga karagenan dapat membentuk gel dalam waktu cepat pada suhu yang relatif tinggi. Berbeda halnya dengan rendemen karagenan yang rendah, membutuhkan suhu yang rendah untuk dapat membeku dan membentuk gel.

Dengan demikian, pada kondisi tersebut, karagenan tersebut akan memiliki titik beku yang rendah.

Kekuatan gel karagenan E. cottonii (Tabel 1) dan E. spinosum (Tabel 2), juga mengalami peningkatan sejalan dengan waktu panen. Sebagai contoh, saat rumput laut berumur 15 HST, kekuatan gel karagenan masing-masing untuk E. cottonii dan E. spinosum sekitar 99,98 dan 88,73 gram cm-3. Nilai kekuatan gel tersebut

meningkat tajam saat rumput laut berumur 45 HST, masing-masing menjadi sekitar 483,33 dan 401,77 gram cm-3 untuk E. cottonii dan E.

spinosum. Peningkatan kekuatan gel tersebut berkaitan erat dengan peningkatan rendemen karagenan yang dibarengi dengan peningkatan kadar 3,6-anhidrogalaktosa pada rendemen tersebut. Secara teoritis dipahami bahwa peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan kadar 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya (Waryat et al., 2003 dalam Pusparanti (2007). Dengan demikian, pada kondisi tersebut gaya tolak diantara gugus sulfat menjadi rendah, yang diikuti dengan rendahnya gaya tarik polimer karagenan terhadap air, sehingga kekuatan dan kecepatan pembentukan gel menjadi lebih tinggi.

Bila dibandingkan kekuatan gel karagenan antara E. cottonii (Tabel 1) dan E. spinosum (Tabel 2), maka kekuatan gel karagenan E. cottonii lebih tinggi bila dibandingkan dengan kekuatan gel E. spinosum. Fenomena tersebut dapat diamati pada semua umur panen. Sebagai contoh, saat tanaman berumur 15 HST, kekuatan gel karagenan E. cottonii sekitar 99,98 gram cm -3, lebih tinggi bila dibandingkan dengan

kekuatan gel karagenan E. spinosum, sekitar 88,73 gram cm-3. Fenomena serupa juga diamati

saat rumput laut berumur 45 HST, 483,33 gram cm-3 pada karagenan E. cottonii, lebih tinggi

dengan kekuatan gel karagenan E. spinosum sekitar 401,77 gram cm-3. Hal ini dapat dipahami

(7)

memiliki jenis karagenan yang berbeda, kappa karagenan untuk E. cottonii dan iota karagenan untuk E. spinosum (Indriani dan Suminarsih, 1996).

Berbeda dengan titik leleh, titik beku dan kekuatan gel, viskositas karagenan menurun sejalan dengan bertambahnya umur rumput laut E. cottonii (Tabel 1) dan E. spinosum (Tabel 2). Saat rumput laut berumur 15 HST, viskositas karagenan E. cottonii dan E. spinosum, masing-masing 24,88 cps dan 28,65 cps. Nilai tersebut menurun tajam saat tanaman berumur 45 HST, menjadi sekitar 17,75 cps dan 21,37 cps, masing-masing untuk E. cottonii dan E. spinosum. Perbedaan ataupun penurunan nilai viskositas ini diduga dipengaruhi oleh kadar abu karaginan. Fenomena tersebut relevan dengan meningkatnya rendemen karagenan dan kekuatan gel yang sejalan dengan penambahan umur panen, yang secara teoritis dipahami bahwa kedua faktor tersebut dapat menurunkan viskositas (Winarno, 1996).

Sifat kimiawi karagenan rumput laut

Sifat kimia yang ditunjukkan oleh rendemen karagenan (%), kadar karbohidrat (%), kadar air (%) dan kadar abu (%), tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara karagenan E. cottonii dan E. spinosum (Tabel 3 dan Tabel 4). Perbedaan sifat kimia karagenan terjadi antar waktu panen, baik pada E. cottonii, maupun pada E. spinosum. Sebagimana ditunjukkan pada Gambar 1 dan Tabel 3-4, rendemen karagenan meningkat sejalan dengan pertambahan umur panen. Sebagai contoh, saat rumput laut berumur 15 HST, rendemen karagenan sekitar 39,09% dan 37,78%, masing-masing untuk E. cottonii dan E. spinosum. Nilai tersebut mengalami peningkatan bila diamati pada umur 45 HST, menjadi sekitar 48,72% dan 52,66%, masing-masing untuk E. cottonii dan E. spinosum.

Mengingat karagenan dihasilkan oleh proses fotosintesis, maka semakin lama umur panen panen, maka proses tersebut semakin lama, sehingga peningkatan karagenan pada thalus rumput laut juga berlangsung lebih lama, yang pada akhirnya rendemen karagenan menjadi lebih tinggi saat tanaman berumur 45 HST. Rendemen karagenan yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standard persyaratan rendemen karaginan yang ditetapkan oleh Departemen Perdagangan RI, yaitu minimum sebesar 25% (Syamsuar, 2006).

Sejalan dengan rendemen karagenan, total karbohidrat juga mengalami peningkatan sejalan dengan umur panen (Tabel 3 dan Tabel 4). Saat rumput laut berumur 15 HST, total karbohidrat sekitar 29,07% dan 26,93%, masing-masing untuk E. cottonii dan E. spinosum. Nilai total karbohidrat mengalami peningkatan drastis menjadi sekitar 37,15% dan 37,07% pada umur 45 HST, masing-masing untuk E. cottonii dan E. spinosum. Peningkatan tersebut berkaitan erat dengan peningkatan rendemen karagenan, yang merupakan polimer 3,6-anhidrogalaktosa yang berikatan melalui ikatan glikosidik (Anonim, 2008b). Sedangkan karbohidrat pada E. cottonii dan E. spinosum merupakan senyawa polisakarida linier yang terdiri atas unit D-galaktosa dan L-D-galaktosa 3,6 anhidroD-galaktosa, baik yang mengandung sulfat atau tanpa sulfat, yang berikatan melalui ikatan α(1,3) dan β(1,4) glikosidik (Anggadiredja, 2006; Anonim, 2008). Senyawa penyusun karbohidrat tersebut merupakan produk lanjut fotosintesis, yang kadarnya dipengaruhi oleh laju proses fotosintesis dan lama penimbunan assimilat di sel thalus. Argumentasi ilmiah inilah yang menjadi alasan tingginya kadar karbohidrat pada rumput laut yang dipanen pada umur 45 HST.

Tabel 3. Rerata persentase rendemen karagenan (%), kadar karbohidrat (%), kadar air (%) dan kadar abu (%) E. cottonii pada umur panen 15, 30 dan 45 HST.

Umur panen Sifat kimiawi 15HST 30HST 45HST Rendemen karagenan (%) 39,09±1,99 46,77±2,33 48,72±2,11 Kadar karbohidrat (%) 29,07±1,45 32,15±1,97 37,15±1,97 Kadar air (%)l 13,12±0,65 12,97±0,67 11,37±0,57 Kadar abu (%) 27,01±1,33 28,09±1,87 29,77±1,45

Tabel 4. Rerata persentase rendemen karagenan (%), kadar karbohidrat (%), kadar air (%) dan kadar abu (%) E. spinosum pada umur panen 15, 30 dan 45 hari setelah tanam.

(8)

Umur panen Sifat kimiawi 15HST 30HST 45HST Rendemen karagenan (%) 37,78±1,87 45,57±2,14 52,66±2,53 Kadar karbohidrat (%) 26,93±1,32 28,71±1,43 37,07±1,87 Kadar air (%)l 14,29±0,65 13,57±0,70 12,74±0,76 Kadar abu (%) 27,44±1,21 29,59±1,55 31,92±1,74

Sebagaimana halnya rendemen karagenan (%) dan kadar karbohidrat (%), kadar abu juga mengalami peningkatan sejalan dengan bertambahnya umur rumput laut (Tabel 3 dan Tabel 4). Saat tanaman berumur 15 HST, kadar abu karagenan sekitar 27,01% dan 27,44%, masing-masing pada E. cottonii dan Esoinosum. Nilai kadar abu tersebut mengalami peningkatan saat rumput laut berumur 45 HST, menjadi sekitar 29,77% dan 31,92%, masing-masing pada E. cottonii dan E. spinosum. Kadar abu karagenan yang diperoleh masih memenuhi standard mutu karaginan yang ditetapkan oleh FAO/EEC sebesar 15–40%, dengan nilai FCC maksimum sebesar 35% (Syamsuar, 2006). Fenomena tersebut berkaitan dengan meningkatnya kadar karagenan dan nutrisi sejalan dengan bertambahnya umur tanaman.

Berbeda dengan sifat kimiawi lainnya, kadar air karagenan menurun sejalan dengan bertambahnya waktu panen (Tabel 3 dan Tabel 4). Saat rumput laut berumur 15 HST, kadar air karagenan E. cottonii dan E. spinosum, masing sekitar 13,12% dan 14,29%. Nilai kadar air tersebut mengalami penurunan saat rumput laut berumur 45 HST, menjadi sekitar 11,37% dan 12,74% untuk E. cottonii dan E. spinosum. Fenomena tersebut berkaitan dengan pembentukan polimer karagenan dan karbohidrat yang melepaskan molekul air dalam proses sintesis polimer tersebut. Dengan demikian, nilai kadar air karagenan pada umur 45 HST, memenuhi kisaran standard mutu karaginan yang ditetapkan oleh EEC dan FAO/WHO, maksimum sebesar 12% untuk E. cottonii, dan 13% untuk E. spinosum (Syamsuar, 2006).

KESIMPULAN

Peningkatan kandungan karagenan E. cottonii dan E. spinosum sejalan dengan laju pertumbuhan dan penambahan umur rumput laut tersebut, sekitar 40% saat berumur 15 HST menjadi sekitar 50% pada umur 45 HST, baik untuk E. cottonii maupun untuk E. spinosum.

Sifat fisik karagenan yang ditunjukkan oleh titik leleh, titik beku dan kekuatan gel juga mengalami peningkatan, masing-masing sebesar 21%, 33% dan 13% dari umur 15 HST sampai dengan 45 HST. Sebaliknya, nilai viskositas mengalami penurunan selama periode tersebut rata-rata sebesar 14%. Beberapa parameter sifat kimia, seperti rendemen karagenan, kadar karbohidrat dan kadar karbohidrat juga mengalami peningkatan dalam periode 15 HST sampai dengan 45 HST, masing-masing rata-rata sebesar 31%, 33% dan 13%. Namun demikian, kadar air karagenan mengalami penurunan rata-rata sebesar 12% selama periode tersebut. Sifat fisik dan kimiawi karagenan E. cottonii dan E. spinosum pada umur 45 HST memenuhi standard mutu karagenan yang ditetapkan oleh FAO, FCC dan EEC. Dengan memperhatikan beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memperbanyak parameter sifat fisik dan sifat kimia yang dianalisis, dan dengan rentan waktu panen sampai dengan 60 hari.

DAFTAR PUSTAKA

Anggadiredja, J. T., A. Zatnika, H. Purwoto, dan S. Istini, 2006. Rumput Laut, Penebar Swadaya, Jakarta.

Anonim, 2007, Petunjuk Praktikum Fisika Dasar, Unit Pelaksana Teknis Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Mataram, Mataram.

Anonim, 2008a, Rumput Laut, Lezat dan

Menyehatkan, dalam http://www.Indonesia.go.id/id/index2.php?o

ption=com_content&do_pdf=1&id=6606. diakses tanggal 22 Februari 2008 pukul 11.48 WITA.

Anonim, 2008b, Menggali Manfaat Rumput Laut, http//64.203.71.11/kompas-cetak/0307/23/bahari/431127.html. Diakses

(9)

tanggal 16 Desember 2008 pukul 08.02 WITA.

Aprianto, Fardia, Puspitasari, dan Budianto, 1988, Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan, Departemen pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Aslan, L. M., 1996, Seri Budidaya Rumput Laut, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Dahuri, R., 2003, Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hurtado A.O., Richter P. and Roxas M.J., 2008. A review on the seaweed research development program in the Bimp-Eaga region. Proceeding of the 1st Indonesia

Seaweed Forum. Makassar Indonesia.

Indriani, dan Suminarsih, 1996, Budidaya Pengolahan dan Pemasaran Rumput Laut, Penebar Swadaya, Jakarta.

Istini, S., A. Zatnika, dan Suhaimi, 1985, Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut, dalam

http://www.fao.org/docrep/field/003/AB882 E/AB882E14.htm

Pusparanti, 2007, Pengaruh Bahan Penyaring Dan Teknik Pengendapan Terhadap Sifat Fisika Dan Kimia Tepung Karaginan Dari Rumput Laut Jenis Eucheuma cottonii, Skripsi, Universitas Mataram, Mataram. Sudarmadji, S., Haryono, B. dan Suhardi 1984,

Prosedur Analisis Untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Liberty, Yogyakarta.

Syamsuar, 2006, karakteristik Karaginan Rumput laut Eucheuma cottonii Pada Berbagai Umur Panen, Konsentrasi KOH

dan Lama Ekstraksi, http://www.damandiri.or.id/file/samsuari.pdf

, diakses tanggal 18 September 2008 pukul 10.13 WITA.

Sunarpi, Jupri, Buntaran dan Suastika M., 2007. Uji kesesuaian lokasi budidaya rumput laut

E. cottonii Strain Maumere dan Tembalang di Teluk Gerupuk Lombok Tengah. Laporan Penelitian Bank Indonesia. Mataram.

Sunarpi, Sudarma M., dan Sukib, 2008a. Uji kesesuaian lokasi budidaya rumput laut E. cottonii Strain Maumere dan Tembalang di Jelenga dan Kertasari Sumbawa Barat. Laporan Penelitian Bank Indonesia. Mataram.

Sunarpi, 2008b. Exploration of potencial of seaweed grown in West Nusa Tenggara as sources of hydrocoloid compounds, UV protectors and fertilizers. Proceeding of the 1st Indonesia Seaweed Forum. Makassar

Indonesia.

Winarno, F., G., 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Widyastuti, S., 2008c. Pengolahan pasca panen alga merah Strain Lokal Lombok menjadi karagenan dengan metode pengendapan etanl dan isopropanol. Majalah Ilmiah Oryza Universitas Mataram vol VIII. Februari 2009

Widyastuti, S., 2008d. Carragenan content of Eucheuma cottonii Strain Maumere and E. spinosum at several harvest time in Gerupuk Central Lombok West Nusa Tenggara. Proceeding of the 1st Indonesia Seaweed

Forum. Makassar Indonesia.

Widyastuti, S., 2008e. Explorasi Species Alga Coklat Lokal Lombok Sebagai Sumber Karaginan.

Jurnal Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Vol 10 No 2 : 131-137

Widyastuti, S., 2008f. Pengolahan pasca panen alga hijau Strain Lokal Lombok menjadi karagenan dengan metode pengendapan etanl dan isopropanol. Majalah Ilmiah Oryza Universitas Mataram vol VII/No 3

Widyastuti, S., 2008g. Pengolahan pasca panen alga merah Strain Lokal Lombok menjadi agar menggunakan beberapa metode ekstraksi. Jurnal Lembaga Penelitian Unram VOL 2(14)63-72

Widyastuti, S., 2009a. Pengolahan paska panen alga merah Strain Lokal Lombok menjadi agar menggunakan beberapa metode ekstraksi. Jurnal Lembaga Penelitian Unram VOL 2(14)63-72

(10)

Widyastuti, S., 2009b. Pengolahan pasca panen alga hijau Strain Lokal Lombok menjadi agar menggunakan beberapa metode ekstraksi. ORYZA VOL VII (3):1-12

Widyastuti S., 2009c. Kadar Alginat Rumput Laut yang tumbuh di Perairan Laut Lombok yang Diekstrak Dengan Dua Metode Ekstraksi. Jurnal Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Vol (10)3:144-152

Gambar

Gambar 2.  Rerata pertambahan rendemen karagenan (%) E. cottonii dan E. spinosum selama periode  tanam 45 hari
Tabel 1. Rerata titik leleh (oC), titik beku (oC), kekuatan gel (gram cm-2) dan viskositas (cpc) karagenan  E
Tabel 2. Rerata titik leleh (oC), titik beku (oC), kekuatan gel (gram cm-3) dan viskositas (cps) karagenan  E
Tabel 3. Rerata persentase rendemen karagenan (%), kadar karbohidrat (%), kadar air (%) dan kadar abu  (%) E

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.2 yaitu semakin tebal pelat penyerap dan semakin rapat jarak pipa semakin besar efisiensi sirip dari

Potensi wisata yang dimiliki oleh berbagai desa yang tercakup dalam DAS Pekerisan sangat besar, khususnya dalam sektor wisata heritage, agrowisata, dan

Pada saat ini Press tool banyak digunakan untuk membuat produk atau proses pengerjaan logam dalam bidang manufaktur, salah satunya adalah proses Press tool baik berupa

diterangkan diatas, tidak mungkin dapat dilakukan pada barang- barang yang sifatnya kebendaannya tidak berwujud dan atau bergerak. Pengertian barang yang berada dalam

Perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga memiliki posisi yang lemah dan mengalami pengalaman traumatis. Jika diidentifikasi maka akan muncul variasi

maupun dorongan berupa scaffolding pada mahasiswa untuk bekerja sama dalam kelompok. Karena persentase ketuntasan secara klasikal pada siklus I , maka dapat

Penentuan konsentrasi masing-masing komponen dilakukan dengan membandingkan persen (%) luas area masing-masing senyawa terhadap persen (%) luas area keseluruhan

Saya sama sekali tidak tertarik bila ada teman yang mengajak untuk membuat suatu tugas secara bersama-sama. Saya pikir,lebih baik