• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK HUKUM PENYULUHAN PERNIKAHAN OLEH KUA NGAWEN KABUPATEN BLORA TERHADAP PENURUNAN ANGKA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "DAMPAK HUKUM PENYULUHAN PERNIKAHAN OLEH KUA NGAWEN KABUPATEN BLORA TERHADAP PENURUNAN ANGKA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR."

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK HUKUM PENYULUHAN PERNIKAHAN OLEH KUA

NGAWEN KABUPATEN BLORA TERHADAP PENURUNAN

ANGKA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR

SKRIPSI

Oleh: Lailis Sofiatin NIM: C01212023

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam

Prodi Hukum Keluarga Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Dampak Hukum Penyuluhan Pernikahan oleh KUA Ngawen Kecamatan Blora Terhadap Penurunan Angka Pernikahan di Bawah Umur. Rumusan masalah adalah: Bagaimana Upaya KUA Ngawen dalam melakukan penyuluhan pernikahan? Bagaimana dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen Kabupaten Blora terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur?

Penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas yang datanya bersumber dari lapangan, dengan teknik interviu dan dokumentasi terkait pelaksanaan upaya penyuluhan pernikahan untuk menurunkan angka pernikahan di bawah umur, kemudian di analisis dengan menggunakan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Upaya KUA Ngawen melakukan penyuluhan pernikahan sebagai solusi dalam menurunkan angka pernikahan di bawah umur yang ini disesuaikan dengan UU yang berlaku di Indonesia yakni dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 dan KHI pasal 15 yang bertujuan agar Masyarakat taat terhadap Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.Upaya penyuluhan ini dilakukan karena terdapat faktor yang melatarbelakangi meningkatnya pernikahan di bawah umur yakni dari sisi pendidikan dan ekonomi. Apabila pernikahan di bawah umur masih terjadi akan berdampak pada fisik dan psikis yang dialami oleh pasangan pernikahan tersebut.

Hasil Analisis menunjukkan bahwa upaya penyuluhan ini hanya memberi dampak positif dari pemahaman para remaja dalam hal kesehatan reproduksi dan usia reproduksi sehat saja, akan tetapi tidak dalam perilaku masyarakat terhadap ketaatan hukum karena masih terlihat meningkat pada tahun 2015 yakni sebanyak 16 pasang padahal tahun 2014 terdapat 13 pasang sehingga menurut penulis penyuluhan ini tidak memberi dampak hukum kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kurangnya anggaran dana dari pemerintah dan kurangnya materi dalam memberikan penyuluhan yakni dalam hal meningkatkan mutu pendidikan dan ekonomi karena pihak KUA tidak bekerja sama dengan Dinas Pendidikan begitu juga kurangnya dukungan masyarakat karena pemikiran mereka yang masih primitif. Akan tetapi menjadi titik terang ketika di pertengahan tahun 2016 hanya 5 pasangan pernikahan di bawah umur dan hal menjadi langkah awal untuk terus efektif dalam melakukan penyuluhan pernikahan sehingga akan mengurangi masalah yang berkembang di masyarakat.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

MOTTO ... x

DAFTAR ISI... ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR TRANSLITERASI ... xv

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... 11

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 16

(8)

BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pernikahan dalam Hukum Islam ... 23

1. Pengertian dan dasar hukum pernikahan ... 23

2. Syarat dan rukun pernikahan ... 27

3. Tujuan Pernikahan ... 31

4. Hikmah Pernikahan ... 34

5. Usia pernikahan menurut hukum Islam ... 37

BAB III : PENYULUHAN PERNIKAHAN OLEH KUA NGAWEN KABUPATEN BLORA TERHADAP PENCEGAHAN PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR A. KUA Ngawen Kab. Blora ... 45

1. Gambaran umum KUA Ngawen ... 45

2. Letak geografis KUA Ngawen ... 46

3. Program Kerja KUA Ngawen... 47

4. Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan ... 54

B. Program Penyuluhan Pernikahan di KUA Ngawen ... 55

1. Satuan Acara Penyuluhan Pernikahan di KUA Ngawen 55 2. Materi Penyuluhan oleh KUA Ngawen dan Puskesmas Ngawen ... 58

C. Dampak Penyuluhan dalam Rangka Menurunkan Pernikahan di bawah umur di KUA Ngawen ... 65

1. Tingkat Pernikahan di bawah umur Sebelum Adanya Program Penyuluhan di KUA Ngawen ... 65

2. Tingkat Pernikahan di bawah umur Setelah Adanya Program Penyuluhan di KUA Ngawen ... 69

(9)

1. Upaya KUA Ngawen Kabupaten Blora dalam melakukan Penyuluhan Pernikahan... 73 2. Tujuan upaya penyuluhan pernikahan KUA Ngawen

Kabupaten Blora ... 75 B. Dampak Hukum Penyuluhan pernikahan oleh KUA

Ngawen dalam menurunkan angka pernikahan di bawah umur ... 77 1. Faktor dan dampak pernikahan di bawah umur di KUA

Ngawen ... 77 2. Dampak Hukum Penyuluhan pernikahan oleh KUA

Ngawen Kabupaten Blora Terhadap Tingkat Pernikahan di bawah Umur Setelah Adanya Penyuluhan ... 84

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ...

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia secara fitrah atau nature diciptakan Tuhan dalam dirinya,

mempunyai kebutuhan-kebutuhan jasmani, di antaranya kebutuhan seksual

yang akan dipenuhi dengan baik dan teratur dalam hidup berkeluarga.1 Hal ini

dikarenakan keluarga seperti gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang

menjadi pemenuhan keinginan manusia tanpa menghilangkan kebutuhannya.2

Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:



‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...‛ (Q.S. an-Nisa>’ : 1) 3

Meski demikian, Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk

lainnya yang menyalurkan nalurinya dengan bebas, menuruti hawa nafsu

dengan sesuka hati dan mengikuti ajakan setan sehingga terjerumus pada

perbuatan yang tidak halal berupa sikap-sikap yang merusak dan

menimbulkan dosa-dosa. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan

1 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), 434.

2Ali Yusuf as-Subki, Niz}a>mul Usrah fi> al-Isla>m, (Penerjemah: Nur Khazin, Fiqh Keluarga),

(Jakarta: Amzah, 2010), 23.

(11)

2

martabat manusia maka Allah mengadakan hukum yang sesuai dengan

kehormatan dan martabat tersebut. Dalam arti lain hubungan antara laki-laki

dan perempuan diatur secara terhormat dalam sebuah ikatan pernikahan.

Pernikahan dari segi agama adalah suatu segi yang sangat penting.

Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara

perkawinan adalah upacara yang suci yang kedua pihak dihubungkan

menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan

hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.4

Nikah atau kawin adalah akad yang menghalalkan persetubuhan

antara wanita dan laki-laki, disertai dengan kalimat-kalimat yang

ditentukan. Dan dengan pernikahan tersebut, maka dibatasilah hak dan

kewajiban keduanya, sesuai dengan ajaran Islam5. Pernikahan merupakan

sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada

manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang

dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak

dan melestarikan hidupnya6.

Adapun menurut syarat nikah adalah akad serah terima antara

laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama

lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah

serta masyarakat yang sejahtera7. UU Pernikahan yang berlaku di Indonesia

4

Idris Ramulyo, Hukum Perkwinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), 19.

5 Lm. Syarifie, Membina Cinta Menuju Perkawinan, (Gresik: Putra Pelajar, 1999), 9.

6M.A. Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2010), 6.

(12)

3

di dalam Pasal 1 merumuskan bahwa: ‚Pernikahan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa‛.8

Di samping definisi UU No. 1 Tahun 1974 yang telah disebutkan,

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga memberikan definisi yang tidak

mengurangi makna dari UU tersebut, yakni dijelaskan dalam Pasal 2

KHI:‚Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sngat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah‛. 9

Nikah adalah salah satu asas pokok yang paling utama dalam

pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja

merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah

tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju

pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu

akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan

lainnya.10

Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya

dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja suami istri dan

keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara

si istri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu

8 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2011), 75.

9 Ibid., 2.

(13)

4

kepada semua keluarga, dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi

satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan

kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan

seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya11.

Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan

memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan sebab

seorang perempuan apabila sudah menikah, maka nafkahnya wajib

ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara

kerukunan anak cucu, sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak

berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung

jawab atasnya12.

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang

akan kawin, akad pekawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad

dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya

akad perkawinan itu. KHI secara jelas membicarakan rukkun perkawinan

sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14.13

Islam hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan

dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama

perempuan, karena ini yang tersebut dalam Al-Qur’an. Adapun syarat-syarat

yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin yakni:

keduanya jelas identitasnya, keduanya sama-sama beragama Islam (tentang

11Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ---,374.

12 Ibid., 375.

13

(14)

5

nikah lain agama dijelaskan tersendiri), antara keduanya tidak terlarang

melangsungkan pernikahan (tentang larangan pernikahan dijelaskan

tersendiri), kedua belah pihak setuju untuk nikah, keduanya telah mencapai

usia yang layak untuk melangsungkan pernikahan. 14

Tentang batas usia pernikahan meskipun secara terang-terangan tidak

ada petunjuk Al-Qur’an atau hadis Nabi tentang batas usia pernikahan,

namun ada ayat al-Qur’an secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia

tertentu yakni dalam surat an-Nisa’ ayat 6:

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nikah itu mempunyai batas umur

dan batas umur itu adalah baligh. Dan ini memberi isyarat bahwa pernikahan

itu harus dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa tentang bagaimana

batas usia dewasa itu dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat

pula berbeda karena perbedaan lingkungan, budaya dan tingkat kecerdasan

suatu komunitas atau disebabkan oleh faktor lainnya16.

Batas usia dewasa untuk calon mempelai sebagaimana dapat

dipahami dari ayat tersebut secara jelas diatur dalam UU Pernikahan pada

Pasal 7 yakni Pernikahn hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai

umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun17. Dalam KHI

14

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ---,64.

15

Hamka, Tafsir Al- Azhar Juz III-IV, (Jakarta: PT Citra Serumpun Padi, 2003), 337.

16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia---,68.

17

(15)

6

mempertegas persyaratan yang terdapat dalam UU Penikahan pada Pasal 15

yakni untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, pernikahan hanya

boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya

berumur 16 tahun.18

Meski perundang-undangan di Indonesia secara ketat membatasi usia

calon pengantin untuk melangsungkan pernikahan akan tetapi masih banyak

pasangan yang menikah di bawah umur karena telah mendapatkan dispensasi

nikah dari Pengadilan Agama yang diajukan oleh kedua orang tua pria

maupun wanita sehingga dalam persidangan Pengadilan Agama memeriksa

bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan memberikan dispensasi nikah.

Dan sampai saat ini pernikahan di bawah umur yang dilakukan

laki-laki di bawah 19 tahun dan perempuan di bawah 16 tahun masih menjadi

fenomena yang hidup dalam masyarakat Indonesia terutama di pedesaan atau

masyarakat tradisional. Meskipun keberadaannya seringkali tidak banyak

diketahui orang atau tidak terbuka akan tetapi terdapat sejumlah faktor yang

memperngaruhi hal tersebut. Salah satunya yakni rendahnya tingkat

kesadaran masyarakat terhadap Undang-undang hukum Islam yang tertuang

dalam KHI.

18

(16)

7

Jika pernikahan di bawah umur tetap dilakukan, hal ini akan

berdampak terhadap rumah tangga yang akan dijalani selanjutnya. Dampak

tersebut yakni dari sisi fisik yakni pasangan usia muda belum sepenuhnya

mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dan dari sisi kesehatan

pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu

yang melahirkan terlebih bagi perempuan di bawah umur 20 apalagi umur 16

tahun sampai kebawah. Dari sisi psikologis yakni pasangan muda belum

matang secara fikiran dalam artian bahwa emosional masih labil dan hal ini

berpengaruh dari problematika yang dihadapi ketika berumah tangga,

sehingga jika terjadi konflik pasangan usia muda memilih jalan untuk

melakukan perceraian tanpa berfikir panjang untuk kedepan.

Melihat dampak yang besar dari pernikahan yang dilakukan oleh

pasangan di bawah umur yakni laki-laki berumur kurang dari 19 tahun dan

perempuan kurang dari 16 tahun yang telah dijelaskan dalam KHI, maka

pihak KUA Ngawen di dalam memberlakukan peraturan

perundang-undangan tersebut tentang batas usia pernikahan sangat efektif dilakukan,

terlihat dari gencarnya beberapa penyuluhan pernikahan mengenai idealnya

sebuah keluarga dan pencegahan pernikahan di bawah umur oleh KUA

Ngawen yang bekerjasama dengan PUSKESMAS, Mitra kerja tenaga

penyuluh non PNS, sejumlah lembaga Majelis.19

Selain dampak yang terjadi akibat pernikahan di bawah umur 19

tahun untuk laki-laki dan di bawah umur 16 tahun untuk perempuan, pihak

19

(17)

8

KUA juga merasakan banyakya pasangan yang menikah di bawah umur yang

terjadi di KUA, untuk itu pihak KUA ingin memberi kesadaran masyarakat

desa Ngawen untuk menumbuhkan ketaatan terhadap Undang-Undang di

Indonesia terlebih tentang usia calon pengantin laki-laki maupun calon

pengantin perempuan agar tidak terjadi pernikahan di bawah umur, karena

melihat dari prosentase yang melangsungkan pernikahan di bawah umur

semakin tahun semakin bertambah dan untuk mencegahnya dari sekarang

yakni memberikan ilmu-ilmu tentang idelanya berumah tangga melalui

penyuluhan.20

Jikalau kita melihat banyak faktor-faktor pernikahan di bawah umur

19 untuk laki-laki dan 16 untuk perempuan yang terjadi terutama di desa

Ngawen. Hal ini disebutkan juga oleh Bapak Lasno, S.Ag., M, Si. selaku

Kepala KUA Ngawen yang memberikan keterangan bahwa faktor tersebut

secara global yakni dari sisi Ekonomi dan Keluarga, dari sisi ekonomi

melihat bahwa di pedesaan tingkat ekonominya menengah kebawah meski

tidak jarang adapula yang tingkat ekonominya lebih, melihat mayoritas

ekonomi tersebut maka beberapa pemuda-pemudi yang harus putus sekolah

bahkan ada pula yang tidak bersekolah, mengingat bahwa pendidikan sangat

penting untuk menata masa depan dan sebagai pengangan hidup untuk

menentukan segala baik buruknya suatu tindakan. Maka pemuda-pemudi

yang putus sekolah akan mudah terkena efek negatif dari globalisasi,

sehingga mudah terjerumus dengan tindakan-tindakan negatif pula seperti

20

(18)

9

seks bebas yang akan menimbulkan kehamilan sebelum pernikahan, dan hal

ini yang mendorong pemuda-pemudi untuk melakukan pernikahan di bawah

umur.

Selanjutnya dari sisi keluarga yakni bahwa pernikahan di bawah umur

19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan terjadi atas

dorongan keluarga sendiri artinya bahwa di dalam keluarga untuk

mengurangi beban kehidupan secara materil maka mereka harus mengurangi

salah satu anggota keluarga yakni dengan cara menikahkan anaknya agar

beban dalam keluarga sedikit berkurang karena secara otomatis masyarakat

desa menganggap bahwa anak yang sudah menikah bukan lagi tanggung

jawabnya meskipun anak tersebut secara usia belum cukup syarat untuk

melakukan pernikahan, sehingga faktor ini sangat berpengaruh terjadinya

nikah di bawah umur.

Dari uraian tersebut sehingga menarik bagi penulis untuk mengkaji

bagaimana dampak atau pengaruh tinggi rendahnya ketaatan masyarakat

terhadap Undang-undang hukum Islam yang tertuang dalam KHI melalui

upaya KUA Ngawen Kab. Blora dalam memberikan penyuluhan pernikahan

untuk menurunkan angka pernikahan di bawah umur 19 tahun untuk laki-laki

dan 16 tahun untuk perempuan. Maka penelitian ini akan tertuang dalam

skripsi yang berjudul Dampak Hukum Penyuluhan Pernikahan oleh KUA

Ngawen Kabupaten Blora terhadap Penurunan Angka Pernikahan Di Bawah

(19)

10

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari paparan latar belakang masalah di atas, penulis

mengidentifikasikan inti permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai

berikut:

1. Batas usia pernikahan di bawah umur menurut Hukum Islam dan

Undang-undang di Indonesia

2. Faktor pendorong dalam melakukan pernikahan di bawah umur dampak

yang terjadi akibat pernkahan di bawah umur

3. Upaya KUA Ngawen dalam melakukan penyuluhan pernikahan mengenai

idealnya usia calon pengantin dalam suatu pernikahan untuk membentuk

rumah tangga

4. Dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen terhadap

penurunan angka pernikahan di bawah umur.

Dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah

yang jelas dalam penelitian penulis membatasi pada masalah-masalah

berikut ini:

1. Upaya KUA Ngawen Kab. Blora dalam melakukan penyuluhan

pernikahan

2. Dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen Kab. Blora

terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dapat

(20)

11

1. Bagaimana upaya KUA Ngawen Kab. Blora dalam melakukan

penyuluhan pernikahan?

2. Bagaimana dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen

Kab. Blora terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur?

D. Kajian Pustaka

Kajian tentang Dampak Hukum Penyuluhan Pernikahan oleh KUA

Ngawen Kab.Blora terhadap angka penurunan pernikahan di bawah umur ini

belum pernah sebelumnya dibahas oleh peneliti lain, akan tetapi peneliti

menemukan beberapa penelitian terhadap peranan KUA untuk mengurangi

jumlah terjadinya pernikahan di bawah umur diantaranya sebagai berikut:

Pertama skripsi yang ditulis oleh Dwi Arie Irmawan yang berjudul

tentang Peranan BP4 dalam Upaya Menekan Jumlah Perkawinan di Bawah

Umur di Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo yang terbit ditahun 2003.

Skripsi ini berisi tentang hasil penelitian bahwa aktivitas BP4 Kecamatan

Buduran dalam upaya menekan jumlah perkawinan di bawah umur dibagi

menjadi dua yaitu aktifitas umum dan aktifitas khusus dan efektifitas

petugas BP4 Kecamatan Buduran dalam memberikan penyuluhan atau

bimbingan tentang Mental Spiritual, Pembinaan generasi muda, Pembinaan

ibu-ibu PKK dan pembinaan anggota organisasi masyarakat, menunjukkan

bahwa keaktifan BP4 Kecamatan Buduran dalam upaya menekan jumlah

(21)

12

cukup efektif terbukti dengan menurunnya jumlah angka perkawinan

dibawah umur.21

Selanjutnya skripsi yang tulis oleh Dade Ahmad Nasrullah dengan

judul Peranan KUA dalam menanggulangi pernikahan dini di desa pasarean

pamijahan kabupaten bogor, yang terbit tahun 2014. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa penghulu dari KUA Pamijahan telah

mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya menikah sesuai umur yang

telah ditentukan oleh undang-undang saat sebelum akad nikah atau amil desa

melalui pengajian-pengajian, meski begitu KUA Pamijahan tidak berperan

secara efektif dalam menanggulangi pernikahan di desa Pamijahan karena

penanggulangan tersebut tidak dilakukan KUA secara terprogram22.

Skripsi Muhamad Sobirin dengan judul Peran Pegawai Pencatat

Nikah (PPN) Dalam Mengatasi Perkawinan dibawah Umur (Studi Kasus di

Desa Petung dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis Kabupaten

Magelang) yang terbit tahun 2009. Hasil penelitian tersebut menyatakan

bahwa adanya penurunan pernikahan di bawah umur di tahun 2000-an karena

pola pikir masyarakat yang lebih maju dan usaha dari PPN KUA Pakis

dengan cara memperketat prosedur pemeriksaan berkas calon pengantin dan

21 Dwi Arie Irmawan, ‚Peranan BP4 dalam Upaya Menekan Jumlah Perkawinan di Bawah Umur

di Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo‛, (Skripsi--Iain Sunan Ampel, Surabaya, 2003), 76-77.

22

Dade Ahmad Nasrullah, ‚Peranan KUA dalam Menanggulangi Pernikahan Dini di Desa

(22)

13

langkah lain dengan memberikan sosialisasi terhadap undang-undang yang

berlaku di Indonesia saat ini23.

Dari sini penulis lebih membahas tentang upaya KUA Ngawen

Kabupaten Blora dalam mengentaskan pernikahan di bawah umur dengan

memberikan penyuluhan pernikahan dan dampak hukum yang terjadi setelah

adanya penyuluhan pernikahan yang dilakukan oleh KUA Ngawen

Kabupaten Blora, apakah hal ini berpengarung terhadap tinggi rendahnya

ketaatan dan kesadaran hukum Islam oleh masyarakat sehingga terlihat dari

penurunan angka pasangan yang melakukan pernikahan di bawah umur.

Adapun persamaan dari peneliti dengan kajian pustaka yang telah

disebutkan di atas terletak dari upaya dalam menurunkan pernikahan di

bawah umur akan tetapi prespektif penulis tetap berbeda karena penulis lebih

tertarik terhadap dampak hukum Islam dari upaya tersebut dari sisi

kemanfaatan penyuluhan pernikahan dalam menekan pernikahan di bawah

umur.

E. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah yang diuraikan di atas, tujuan

penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui tentang upaya KUA Ngawen Kabupaten Blora dalam

melakukan penyuluhan pernikahan.

23

Muhamad Sobirin, ‚Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam Mengatasi Pernikahan di

(23)

14

2. Mengetahui dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen

Kabupaten Blora terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Kegunaan peneliti ini dapat ditempuh melalui dua aspek yaitu:

1. Aspek Keilmuan (Teoritis)

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

memperkaya khasanah keilmuan hukum keluarga, sehingga dapat

memberikan kontribusi akademis, yaitu peningkatan dan pengembangan

di bidang studi hukum keluarga dan selanjutnya menyangkut pandangan

Islam untuk menciptakan keluarga yang sakinah dan harmonis.

2. Aspek Terapan/ Praktis

Hasil studi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan penulisan karya ilmiah

berbentuk skripsi dan sebagai bahan bacaan khususnya dalam masalah

hukum keluarga Islam. Begitu juga dapat digunakan sebagai bahan

acuan dalam menerapkan hukum keluarga Islam terlebih bagi seluruh

kalangan agar menciptakan keluarga yang bahagia dan sebagai pelajaran

bagi pemuda-pemudi untuk tidak melakukan pernikahan di bawah umur

serta untuk diajarkan pada Fakultas Syari’ah Jurusan Hukum Perdata

(24)

15

G. Definisi Operasional

Sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu Dampak Hukum Penyuluhan

Pernikahan oleh KUA Ngawen Kabupaten Blora terhadap Penurunan Angka

Pernikahan di Bawah Umur, ada beberapa kata yang perlu penulis jelaskan

secara operasional terhadap kata-kata tersebut.

Dampak Hukum : Dampak yakni pengaruh yang kuat yang

mendatangkan akibat negatif (akibat buruk)

atau positif (akibat yang baik)24. Maksud

penulis dari dampak hukum yakni adanya

dan tidaknya pengaruh perilaku masyarakat

terhadap ketaatan hukum Islam setelah

adanya penyuluhan dari KUA Kec Ngawen.

Penyuluhan : Berasal dari kata suluh yang berarti barang

yang dipakai untuk menerangi, penyuluhan

yakni cara untuk menerangi tersebut25, dan

maksud dari penulis yakni upaya KUA untuk

mencegah terjadinya pernikahan di bawah

umur sehingga tercapailah untuk membentuk

keluarga saki>nah .

Pernikahan di bawah umur : Perkawinan yang terjadi di mana salah satu

atau kedua mempelai masih usia di bawah

24

Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amelia Surabaya, 2003), 118.

25Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Badan

(25)

16

umur 19 untuk laki-laki dan 16 untuk

perempuan sesuai dengan UU No 1 tahun

1974 pasal 7 dan KHI Pasal 1526, maksud

dari penulis yakni pernikahan yang telah

dilakukan oleh beberapa pasang di KUA

Ngawen dengan usia 14-15 tahun yang

dilakukan perempuan dan 17-18 tahun yang

dilakukan oleh laki-laki.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara untuk menemukan, mengembangkan

dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara

metodologis dan sistematis. Dalam metode penelitian ini yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1. Data Yang dikumpulkan

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat lapangan, oleh karena

data yang penulis peroleh berupa data-data yang ada di lapangan yakni

upaya KUA Ngawen Kabupaten Blora dalam memberikan penyuluhan

pernikahan. Keterangan data yang dikumpulkan oleh penulis mulai

tahun 2010-2016 akan tetapi penulis hanya meneliti ditahun 2016.

Penelitian ini merupakan penelitian empiris maka di dalam penelitian

ini, obyek yang kami teliti adalah penelitian tentang berlakunya hukum

(26)

17

positif, penelitian terhadap pengaruh berlakunya hukum positif terhadap

kehidupan masyarakat, penelitian terhadap pengaruh faktor-faktor non

hukum terhadap terbentuknya ketentuan-ketentuan hukum positif.27

2. Sumber Data

Berdasarkan tempat dan sumber data yang digunakan, jenis penelitian

yang digunakan adalah penelitian lapangan, adapun sumber-sumber yang

diperlukan sebagai berikut:

a. Sumber data primair yaitu:

1) Wawancara dengan Kepala KUA Ngawen yakni Lasno, S.Ag.,

M, Si.

2) Wawancara dengan Kepala UPTD Puskesmas Ngawen yakni dr.

Nur Istifah.

3) Petugas Penyuluhan yakni Samsudin, S.Sos dan Puji Astuti.

4) Para pelaku pernikahan di bawah umur di tahun 2016 yakni:

Murtini, Joko, Yanti, Evi, dan Sukron

b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang berupa kitab-kitab

yang menjadi dasar acuan dan bacaan lain yang memiliki

keterkaitan dengan bahan skripsi.

1) Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung:

Cv. Nuansa Aulia, 2011.

2) Dr. Hammudah ‘Abd, Keluarga Muslim, Surabaya: PT Bina

Ilmu, 1984.

27

(27)

18

3) Drs. Ahmad Rofiq, M.A, Hukum Islam Indonesia, Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 1997.

4) K.H. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LkiS

Yogyakarta, 2007

5) Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1995.

6) Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A, Hukum Perdata Islam,

Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

7) Moh. Idris Ramulyo,S.H.,M.H, Hukum Perkawinan Islam,

Jakarta: Bumi Aksara, 1996).

8) R. Soetojo Prawirohaidjojo, Marthalena Pohan, Hukum Orang

dan Keluarga, Surabaya: Airlangga University Press, 2008.

9) Drs. Sudarsono, S.H. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT

Rineka Cipta, 1994.

I. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling

strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka

peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang

ditetapkan28.

a. Wawancara

28 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta,

(28)

19

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data yakni wawancara terhadap Kepala KUA

Ngawen, Pasangan yang menikah muda, peserta yang mengkuti

penyuluhan. Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi verbal

dengan tujuan mendapatkan informasi. Di samping akan

mendapatkan gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan

informasi yang penting. Menurut Denzin, wawancara adalah

pertukaran percakapan dengan tatap muka di mana seseorang

memperoleh informasi dari yang lain29.

Wawancara dilakukan terutama karena ada anggapan bahwa

hanya respondenlah yang paling tahu tentang dirinya, sehingga

informasi yang tidak dapat diamatinya atau tidak dapat diperoleh

dengan alat lain, akan diperoleh dengan cara wawancara, misalnya

informasi tentang tanggapan, keyakinan, perasaan, cita-cita. Seperti

yang di amati oleh peneliti tentang bagaimana Upaya KUA dalam

melakukan penyuluhan pernikahan.

b. Dokumenter

Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan

data yang digunakan metodologi penelitian sosial. Pada intinya

metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk

29 James A Black, Dean J. Champiom, Metode Dan Masalah Penelitian Sosial, (Bandung: PT

(29)

20

menelusuri data historis30. Metode ini digunakan untuk penulis

dalam mencari data-data berupa foto, surat-surat dan sebagainya

untuk memberikan gambaran terhadap sosiologi yang terjadi di

dalam Penyuluhan Pernikahan yang dilakukan oleh KUA Ngawen.

J. Teknik Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul di atas diolah dengan teknik editing,

pengorganisasian dan tabulasi, yaitu:

a. Pengolahan Data dengan teknik Editing

Yaitu kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai

menghimpun data dilapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena

kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadangkala belum

memenuhi harapan peneliti31, untuk itu diperlukan pemeriksaan

kembali semua data yang diperoleh, kejelasan makna, kesesuaian

makna satu dengan lainnya, relevansi, kesesuaian satuan dan

kelompok data.

b. Pengolahan Data dengan teknik Pengorganisasian

Yaitu agar memperoleh gambaran yang sesuai dengan

pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah.

c. Pengolahan Data dengan teknik Tabulasi

Yaitu penyajian data dalam bentuk tabel untuk memudahkan

pengamatan dan efaluasi.

30 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial, (Surabaya: Airlangga University Press, 2001),

154.

31

(30)

21

K. Teknik Analisis data

Setelah data yang diperoleh dalam penelitian terkumpul, langkah

selanjutnya adalah menganalisis data. Peneliti akan menganalisisnya

dengan menggunakan metode kualtitatif deskriptif, yaitu dikatakan

sebagai kualitatif karena bersifat verbal atau kata dan dikatakan sebagai

deskriptif karena menggambarkan dan menguraikan terhadap segala

sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan program penyuluhan

pernikahan oleh KUA Ngawen dalam rangka mencegah pernikahan di

bawah umur kemudian akan menganalisisnya dengan menggunakan

konsep undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Dalam penelitian ini, menggunakan pola pikir induktif yaitu pola

berpikir yang diawali dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat

khusus yang terjadi di lapangan yaitu pelaksanaan penyuluhan

pernikahan oleh KUA Ngawen kemudian dianalisis dengan

menggunakan teori-teori yang bersifat umum yang berkenaan dengan

Undang-undang di Indonesia.

L. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk

memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dan agar

dapat dipahami permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka

(31)

22

Bab Pertama, bab ini memuat pendahuluan yang meliputi latar

belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi dan batasan masalah,

rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua, sebagai landasan teori umum mencakup tentang tentang

pernikahan, usia pernikahan menurut hukum Islam.

Bab ketiga, data tentang penelitian terhadap penyuluhan pernikahan

oleh KUA Ngawen Kabupaten Blora yang akan dijelaskan secara rinci

tentang gambaran umum KUA Ngawen, upaya penyuluhan di KUA Ngawen

dan tingkat pernikahan di KUA Ngawen.

BAB keempat, menjelaskan tentang dampak hukum penyuluhan

pernikahan oleh KUA Ngawen Kabupaten Blora terhadap penurunan angka

perikahan di bawah umur yang akan dijelaskan secara rinci mengenai upaya

KUA Ngawen kabupaten Blora dalam melakukan penyuluhan pernikahan

dan dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen kabupaten

Blora terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur.

BAB kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pokok masalah yang pada bab

pertama yang selanjutnya penyusun memberikan sumbang sarannya sebagai

(32)

23

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG PERNIKAHAN MENURUT HUKUM

ISLAM

A. Pernikahan Dalam Hukum Islam

1. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan

Istilah ‚Nikah‛ berasal dari bahasa Arab, sedangkan menurut

bahasa Indonesia adalah ‚pernikahan‛. Dewasa ini kerap kali dibedakan

antara ‚Nikah‛ dengan ‚Kawin‛, akan tetapi pada prinsipnya antara

‚Pernikahan‛ dan ‚Pernikahan‛ hanya berbeda di dalam menarik akal

kita saja. Apabila ditinjau dari segi Hukum nampak jelas bahwa

pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan

perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan

dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga

sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni1.

Dalam Bahasa Indonesia, ‚Pernikahan‛ berasal dari kata ‚kawin‛,

yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis

melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan. Istilah ‚kawin‛

digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan

menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah

(33)

24

hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara

hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama2.

Hukum Nikah (Pernikahan), yaitu hukum yang mengatur

hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut

penyaluran kebutuhan biologis antarjenis, dan hak serta kewajiban yang

berhubungan dengan akibat pernikahan tersebut3. Dengan melihat

kepada hakikat pernikahan itu merupakan akad yang membolehkan

laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak

dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan itu

adalah boleh atau mubah4.

Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan

sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal

pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa melangsungkan akad pernikahan disuruh oleh agama dan dengan

telah berlangsungnya akad pernikahan itu, maka pergaulan laki-laki

dengan perempuan menjadi mubah. Banyak suruhan-suruhhan Allah

dalam Al-Quran untuk melaksakan pernikahan diantaranya dalam surat

an-Nur ayat 32 dan surat Az-Zariyat ayat 495:

2M.A Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 7.

3

Ibid.

4

Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006), 43

(34)

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui6.



Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah7.

Pernikahan yang merupakan sunatullah pada dasarnya adalah

mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Oleh karena itu, di

Indonesia umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal

melakukan pernikahan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi

pendapat ulama Syafi’iyah8.

Terlepas dari pendapat imam-imam mazhab, berdasarkan

nash-nash, baik Al-Quran maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan

kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan. Namun

demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta

tujuan melaksanakannya, maka melakukan pernikahan itu dapat

dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah9.

6

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid 4, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 479.

7

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 9, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 334.

8

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2003), 18

(35)

26

a. Melakukan pernikahan yang hukumnya wajib yakni bagi orang

yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan

dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya

tidak kawin.

b. Melakukan pernikahan yang hukumnya sunnah yakni bagi orang

yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk

melangsungkan pernikahan , tetapi kalau tidak kawin tidak

dikhawatirkan akan berbuat zina.

c. Melakukan pernikahan yang hukumnya haram yakni bagi orang

yang tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk

melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga

apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan

istrinya.

d. Melakukan pernikahan yang hukumnya makruh yakni bagi orang

yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pernikahan juga

cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak

memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak

kawin.

e. Melakukan pernikahan yang hukumnya mubah yakni bagi orang

yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila

tidak melakukannya juga khawatir akan berbuat zina dan apabila

(36)

27

2. Syarat dan Rukun Pernikahan

Rukun pernikahan adalah perkara yang menyebabkan sah atau

tidaknya suatu pernikahan. Dengan demikian rukun pernikahan itu wajib

terpenuhi ketika diadakan akad pernikahan, sebab tidak sah akadnya jika

tidak terpenuhi rukunnya.10

Sedangkan syarat pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dan

menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, tetapi sesuatu itu tidak

termasuk dalam rangkaian pernikahan tersebut.11

Jumhur Ulama sepakat bahawa rukun pernikahan itu terdiri dari

lima, yaitu:12

a. Calon mempelai pria maupun calon mempelai wanita.

Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi adalah sebagai berikut :

1). Calon mempelai pria

a) Beragama Islam

b) Laki-laki

c) Jelas orangnya

d) Dapat memberikan persetujuan (tidak dipaksa)

e) Tidak terdapat halangan pernikahan

2). Calon mempelai wanita

a) Beragama Islam atau ahli Kita

10 Moh. Anwar, Fiqh Islam Muamalah, Munakahat, Faraid, dan Jinayah (Hukum Perdata dan

Pidana Islam) Beserta Kaidah-kaidah Hukumnya, (Bandung : al-Ma'arif, 1971), 25

11Abd al-Muhaimin As'ad, Risalah Nikah Penuntun Pernikahan, (Surabaya : Bulan Terang, cet. I,

1993), 33

(37)

28

b) Perempuan

c) Jelas orangnya

d) Dapat dimintai persetujuannya

e) Tidak terdapat halangan pernikahan Antara keduanya harus ada

persetujuan bebas, yaitu persetujuan yang dilahirkan dalam

keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan.

Disyaratkan persetujuan bebas adalah pertimbangan yang logis

karena dengan tidak adanya persetujuan bebas ini berarti suatu

indikasi bahwa salah satu pihak atau keduanya tidak memiliki

hasrat untuk membentuk kehidupan keluarga sebagai salah satu

yang menjadi tujuan pernikahan.13

b. Wali dari calon mempelai perempuan.

Yang dimaksud wali dalam pernikahan adalah seseorang yang

bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. 14

Akad dilangsungkan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang

dilakukan oleh mempelai laki-laki dan pihak perempuan yang

dilakukan oleh walinya.

Berbicara tentang keberadaan wali dalam pernikahan, ada dua

kategori yang membedakan kedudukan serta kewenangan sebagai

wali, yakni:

1). Wali Nasab

13 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UU Press, 1974), 66.

(38)

29

Wali nasab adalah wali yang mempunyai hubungan darah dengan

calon pengantin wanita baik vertikal maupun horizontal.

2) Wali Hakim

Wali hakim adalah penguasa atau wali penguasa yang

berwenang dalam bidang perwalian, biasanya penghulu atau

petugas lain dari Kantor Urusan Agama.15 Jika seorang yang tidak

memiliki wali nasab, maka wali hakim lah yang akan

menikahkannya.

Adapun Syarat-syarat wali dalam pernikahan adalah:

1) Seorang laki-laki, merdeka, dewasa dan berakal, dan seorang

muslim maka tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi

wali bagi muslim.16

2) Seorang yang adil, yaitu tidak pernah terlibat dengan dosa

besar dan tidak sering berbuat dosa kecil.

3) Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji maupun umrah

c. Disaksikan oleh dua orang saksi

Seorang saksi harus memenuhi syarat berakal, dewasa, dapat

mendengar dan memahami perkataan akad. 17 Sedangkan syarat yang

lain adalah beragama Islam, seorang laki-laki, adil dan merdeka, serta

tidak sedang melaksanakan ihram. Menurut hanafi seorang saksi tidak

harus laki-laki dan sah akad bila disaksikan oleh dua orang laki-laki atau

15R. Abdul Jumali, Hukum Islam, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1999), 88.

16Imam Taqiyuddin Abi> Bakar Ibn Muhammad al-h}usaini, Kifa>yatul Akhya>r, Jilid II (Damaskus:

Cet.II, tt), 89

(39)

30

seorang laki-laki dan dua orang perempuan, selain itu menurut Hanafi

seorang saksi tidak disyaratkan adil. 18

d. Ijab dan qabul

Ijab qabul juga di sebut dengan akad pernikahan. Akad

pernikahan itu dilaksanakan dalam suasana hening dengan pihak wali

menyatakan (ijab) dan dijawab oleh calon suami secara tegas dan jelas

dengan menerima (qabul). Ijab qabul itu sifatnya langsung (tidak

ditunda-tunda) dan tidak meragukan para saksi.

Adapun syarat-syarat akad pernikahan adalah:

1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul

yang diucapkan secara bersambungan tanpa terputus

walaupun sesaat.

2) Ijab dan qabul menggunakan bahasa yang jelas dan dapat

difahami oleh orang yang berakad. 19 dalam bahasa Arab

dengan kata zawaja atau nakaha atau dengan terjemahannya

yang dapat difahami.

3) Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan lafadz yang

mengandung maksud membatasi pernikahan untuk masa

tertentu.

18Abdur Rah}ma>n al-Jazi>ri>, Fiqh Isla>m ‘Ala Maz|a>hib al-Arba’ah, Juz IV, (Cairo: Da>r al-H}adis|,

1994), 25

19 Zainuddin Ibn ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy, Fath}ul Mu’i>n bi Syarh}i Qurratu al-’Aini, (Surabaya:

(40)

31

3. Tujuan Pernikahan

Tujuan Pernikahan ialah menurut perintah Allah untuk

memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan

rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula pendapat yang

mengatakan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk

memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus

untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan

dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinaan, agar

tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan,

ketentraman keluarga dan masyarakat20.

Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai

berikut21:

a. Melaksanakan Libido Seksualitas

Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan

mempunyai insting hanya kadar dan intensitasnya yang berbeda.

Dengan pernikahan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu

seksualnya kepada seorang perempuan dengan sah dan begitu

sebaliknya. Dalam firman Allah telah disebutkan dalam surat

Al-Baqarah ayat 233:

Idris Ramulyo, Hukum Pernikahan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 26-27.

(41)

32

‚Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,...‛ (Q.S. Al-Baqarah: 233)22.

b. Memperoleh Keturunan

Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki pria

maupun wanita. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa, mempunyai

anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanat dari Allah SWT.

Walaupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan untuk

tidak mempunyai anak. Dalam firman Allah telah disebutkan dalam

surat Asy-Syura ayat 49-50: menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki (49) Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa‛23. (QS. As-Syura: 49-50)

c. Memperoleh keturunan yang saleh

Keturunan yang saleh bisa membahagiakan kedua orang tua,

baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dari anak yang diharapkam

22

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid 1---, 343

23

(42)

33

oleh orang tua hanyalah ketaatan, akhlak, ibadah, dan sebagainya

yang bersifat kejiwaan.

d. Memperoleh kebahagiaan dan ketentraman

Dalam hidup berkeluarga perlu adanya ketentraman,

kebahagiaan, ketenangan lahir batin, dengan keluarga yang bahagia

dan sejahtera akan dapat mengantarkan pada ketenangan ibadah.

Dalam firman Allah telah disebutkan dalam surat Al-A’raf ayat 189:

‚Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya...24‛ (QS: Al-A’raf:189)

e. Mengikuti Sunah Nabi

f. Menjalankan Perintah Allah SWT

Allah SWT menyuruh kepada kita untuk menikah apabila

telah mampu, dalam firman Allah telah disebutkan dalam surat

An-Nisa’ ayat 3:

‚...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi...25‛ (QS: An-Nisa’: 3)

24

Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid 3---, 189

25

(43)

34

4. Hikmah Pernikahan

Hikmah pernikahan adalah sebuah kebijaksanaan Allah Yang

Mahatinggi dalam memerintah hambanya hanya untuk melakukan

perbuatan yang sesuai logika. Dan akal pikiran manusia selaras tentang

itu; ‚Di balik larangan Allah untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan

bagi hamba-Nya selalu saja ada hikmahnnya yang luhur dan mulia, juga

selalu ada bukti nyata sebagai pencegahan‛. Allah SWT telah

menetapkan pernikahan dan menjadikannya sebagai suatu keharusan

karena ada banyak manfaat yang tidak bisa dihitung serta derajadnya

mulia, diantaranya yakni26:

a. Pernikahan adalah ajaran yang sesuai, selaras, dan sejalan dengan

fitrah manusia.

b. Melahirkan anak. Karena maksud dari sebuah pernikahan adalah

ikatan syari’at yang kuat, menyalurkan hasrat jiwa dan

memperbanyak keturunan dengan maksud mendekatkan diri pada

Allah SWT dan mengharap ridha-Nya. Dalam memenuhi perintah

Allah untuk menikah, Imam Ghazali memberikan beberapa hikmah

bila ditinjau dari segi menghasilkan keturunan yakni pertama, sejalan

dengan kecintaan manusia kepada Allah dalam usaha memperbanyak

keturunan untuk melestarikan jenis manusia di muka bumi, kedua

sesuai dengan kecinaan umat kepada Rasulullah SAW untuk

26

Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, (Bandung:

(44)

35

memperbanyak jumlah umat yang dibanggakan, ketiga, mencari

berkah dengan do’a anak-anak yang shaleh, keempat, mengaharapkan

syafaat Nabi jika anak yng dilahirkan meninggal waktu kecil.

c. Memenuhi keinginan hati untuk membina rumah tangga dan

salingberbagi rasa dengan cara menyiapkan hidangan untuk keluarga,

mebereskan alat-alat rumah tangga, mencari rezeki dan lain-lain.

d. Memantapkan jiwa dengan ajakan kasih sayang dan pelaksanaan hak

serta kewajiban terhadap keluarga, menyabarkan diri terhadap

tingkah laku istri dan ucapannya, berusaha meluruskan dan

membimbingnya kepada agama untuk selalu memperoleh yang halal

demi kebaikan diri dan terlaksananya pendidikan putra-putrinya.

Menurut Sayyid Sabiq hikmah-hikmah pernikahan itu banyak,

antara lain27:

a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang

selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak

dapat memuaskannya, maka bayaklah manusia yang mengalami

kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Nikah

merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk

menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan

jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram

perasaan tenang menikmati barang yang halal.

27

(45)

36

b. Nikah merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak

menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup

manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.

c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam

suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula

perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik

yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

d. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan

menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena

dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia

akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat

memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.

e. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur

rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan

batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani

tugas-tugasnya.

f. Dengan pernikahan, diantaranya dapat membuahkan tali

kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga,

dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui,

ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang

lagi saling menyayangi akan terbentuk masyarakat yang kuat dan

(46)

37

5. Usia Pernikahan Menurut Hukum Islam

Al-Quran secara konkrit tidak menentukan usia bagi pihak yang

akan melangsungkan pernikahan. Batasan hanya diberikan berdasarkan

kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam surat

an-Nisa’ ayat 6 : kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),‛ 28

Yang dimaksud dengan sudah cukup umur untuk menikah dalam

ayat di atas adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan

siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa

berjalan sempurna, jika dia belum mengurus harta kekayaan.

Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqaha dan ahli

undang-undang sepakat menetapkan seseorang diminta

bertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan

menetukan hidupnya setelah cukup umur (baligh). Baligh berarti sampai

atau jelas. Yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang

menjadi jelas baginya segala urusan/persoalan yang dihadapi. Pikirannya

28

(47)

38

telah mampu mempertimbangan/memperjelas mana yang baik dan mana

yang buruk. 29

Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang.

Tanda-tanda mulai kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani bagi

laki-laki dan apabila telah mengeluarkan darah haid atau telah hamil bagi

orang perempuan. Mulainya usia baligh secara yuridik dapat

berbeda-beda antara seorang dengan orang yang lain, karena perberbeda-bedaan

lingkungan, geografis, dan sebagainya. Batas awal mulainya baligh

secara yuridik adalah jika seorang telah berusia 12 tahun bagi laki-laki

dan berusia 9 tahun bagi perempuan. Sedangakn batas akhirnya para

ulama’ terdapat perbedaan pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah yakni

setelah seserang mencapai usia 18 tahun bagi laki-laki dan telah

mencapai usia 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan kebanyakan para

ulama’ termasuk pula sebagaian ulama’ Hanafiyah yaitu apabila

seseorang telah mencapai usia 15 tahun baik bagi anak laki-laki maupun

anak perempuan.

Pada umumnya saat itulah perkembangan kemampuan akal

seseorang cukup mendalam untuk mengetahui antara yang baik dan yang

buruk dan antara yang bermanfaat dan yang memandlorotkan, sehingga

telah dapat mengetahui akibat-akibat yang timbul dari perbuatan yang

dilakukannya. Maliki, Syafi’i dan Hambali menyatakan timbulnya

29

(48)

39

bulu ketiak merupakan bukti baligh seseorang. Mereka juga menyatakan

usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan lima belas tahun.

Sedangkan Hanafi menolak bulu-bulu ketiak sebagai bukti baligh

seseorang, sebab bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan

bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Hanafi menetapkan batas maksimal usia

baligh anak laki-laki adalah delapan belas tahun dan minimalnya dua

belas tahun, sehingga usia baligh anak perempuan maksimal tujuh belas

tahun dan minimalnya sembilan tahun.

Islam memang tidak mengenal batas usia untuk menikah. Hal itu

dimaksudkan untuk menekan rasio nafsu syahwat serendah mungkin,

intregitas sosial, kemajemukan rasial dalam masyarakat muslim serta

meninggikan nilai keperawanan dan kemurnian seksual. Pembicaraan

tentang pernikahan biasanya dilakukan ketika pasangan itu masih usia

muda. Tapi penyempurnaan akad nikah dilakukan ketika pasangan itu

mencapai usia yang cocok untuk menikah baik fisik maupun psikis30.

Sebab bukan hanya remaja yang memasuki usia 14 atau 15 tahun

menurut kalender mereka telah dewasa secara mutlak, namun telah

dimaksudkan kepada kedewasaan mental. Memang secara fisik biologis

yang normal pada usia itu seorang pemuda atau pemudi telah mampu

mendapatkan keturunan tetapi dari segi psikologis remaja masih teramat

30 Hammudah ‘Abd Al ‘Ati, Keluarga Islam (The Family Structure In Islam), (Surabaya: PT Bina

(49)

40

jauh dan kurang mampu mengendalikan bahtera rumah tangga di

samudera kehidupan31.

Faktor kedewasaan yang mencakup fisik mental dan sosial perlu

mendapatkan perhatian seseorang sebelum melakukan pernikahan.

Sebab dalam pernikahan mereka diharapkan berkemampuan dalam

menghadapi dan menyelesaikan persoalan demi persoalan secara baik.

Kedewasaan akan memberikan daya guna dan perwujudannya cukup

dalam hal pertanggungan jawab dan kemasakan akal pikiran. Oleh

karena itu mereka yang telah dewasa diharapkan mampu bertindak dan

berhati-hati serta mempertimbangkan manfaat dan madharat dari suatu

tindakan atau perbuatan yang dilakukannya32.

Untuk menjaga terhadap kemungkinan terjadi suatu permasalahan

maka Islam menentukan beberapa tatanan tertentu:

a. Pernikahan di bawah umur itu tidak absah tanpa persetujuan dan

keikutsertaan orang tua dalam mengurusnya. Dalam hal itu, Islam

sependapat dengan prinsip agama atau sistem hukum lainnya, baik di

masa lampau maupun di zaman modern.

b. Islam tidak semata-mata melihat adanya jaminan dan tanggung jawab

orang tua atau wali dalam masalah ini, tapi lebih ditekankan pada

sikap orang tua atau waliyang dilengkapi dengan kualifikasi tertentu.

Yaitu, ada jaminan bahwa orang tua atau wali berniat baik serta

31

Hasan Basri, Merawat Cinta Kasih, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 75-76.

(50)

41

menjamin adanya keadilan serta kesadaran atas kebaikan pasangan di

bawah umur.

c. Sesuai dengan pandangan beberapa ulama ahli hukum Islam tetap

memberikan hak menentukan pilihan yang biasa dimiliki oleh calon

pengantin berusia dewasa , meskipun nyatanya ia masih berada di

bawah umur.

Di dalam Undang-undang pernikahan telah mengatur kedewasaan

dan kecakapan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk

melakukan akad nikahnya dengan aturan batasan umur memakai angka

yang tegas kapan mereka dipandang sudah dewasa sehingga cakap

melakukannya. Sisi ini mendasarkan kepada kemaslahatan agar tujuan

pernikahan membentuk rumah tangga bahagia bisa dicapai33.

Batas usia dewasa untuk calon mempelai sebagaimana dapat

dipahami dari ayat Al-Quran tersebut diatas secara jelas diatur dalam

UU Pernikahan pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat

(1) menyatakan bahwa ‚pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria

sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 (enam belas) tahun‛. Ketentuan batas umur ini,

seperti disebutkan dalam Kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada

pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan.

Sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Pernikahan, bahwa

calon suami istri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat

(51)

42

mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada

perceraian, untuk itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon

suami istri yang masih di bawah umur34.

Disamping itu, pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah

kependudukan. Ternyata batas umur yang rendah bagi seorang wanita

untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi35. Memang

pada waktu Undang-undang pernikahan dilahirkan, pelaksanaan program

keluarga berencana (KB) belum seperti sekarang ini. Pada waktu itu

orang berumah tangga masih mempunyai anak lebih dari tiga orang.

Sehingga dikhawatirkan akan padat penduduk Indonesia jika terjadi

pernikahan dengan umur yang sangat muda36.

Meskipun telah ditentukan batas umur minimal, melalui Pasal 7

ayat (2) tampak undang-undang memperbolehkan penyimpangan

terhadap syarat umur tersebut, bagi orang yang akan melakukan

pernikahan dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat

lain yang ditunjuk oleh kedua orang tuanya37.

Dewasa ini ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang

pemberian dispensasi terhadap pernikahan yang berlaku sejak

disyahkannya Undang-undang Pernikahan secara lengkap diatur di

dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 13 yang

mengatur prosedur pemahaman dispensasi bagi yang belum mencapai

34 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 76.

35 Ibid., 77.

36

Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, ( Jakarta: Djambatan, 1998), 17

37

(52)

43

umur minimum, yaitu apabila seorang calon suami belum mencapai

umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai 16 tahun hendak

melangsungkan pernikahan harus mendapat dispensasi dari Pengadilan

Agama38.

Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan

mengadili serta memutuskan/menetapkan setiap perkara yang diajukan

kepadanya. Adapun perangkat Pengadilan Agama yang berwenang

menetapkan dispensasi kawin adalah hakim. Permohonan dispensasi

kawin ditujukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat

kediaman pemohon. Dan dalam surat permohonan itu harus dijelaskan

alasan-alasan serta keperluan/maksud permohonan itu serta dengan siapa

rencana pernikahan termaksud.

Untuk mengetahui kelayakan calon memperlai yang akan

melangsungkan pernikahan di bawah umur, maka dilakuknlah persidangan

dengan acara singkat. Dalam penetapan dispensasi nikah, hakim

mempertimbangkan antara lain kemampuan, kesiapan, kematangan

pihak-pihak calon mempelai sudah cukup baik mental dan fisik. Hakim

menetapkan dispensasi nikah harus didasarkan atas pertimbangan yang

38

(53)

44

rasional dan memungkinkan untuk memberikan dispensasi nikah kepada

calon mempelai39.

39

Hakam Abbas, ‚Batas Umur Perkawinan Menurut Hukum Islam‛, Dalam

(54)

45

BAB III

PENYULUHAN PERNIKAHAN OLEH KUA NGAWEN

KABUPATEN BLORA TERHADAP PENCEGAHAN

PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR

A. KUA Ngawen Kab. Blora

1. Gambaran Umum KUA Ngawen

Kedudukan dan kondisi KUA Kecamatan Ngawen adalah unit

kerja yang melaksanakan sebagian tugas pokok Kementerian Agama

Kabupaten Blora dibidang Urusan Agama Islam. Sebagai salah satu unit

kerja dilingkungan Kementerian Agama Unit Kerja Kantor Wilayah

Kementerian Agama Propinsi, KUA merupakan salah satu Unit Kerja

Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blora berkedudukan di

Kecamatan Ngawen1.

Jumlah Desa di wilayah Kecamatan Ngawen adalah: Ngawen,

Punggursugih, Trembulrejo, Talokwohmojo, Plumbon, Bergolo,

Rowobungkul, Gondang, Sarimulyo, Sendangmulyo, Wantilgung,

Sambongrejo, Gedebeg, Kendayaan, Kedungsatriyan, Karangtengah,

Berbak, Gotputuk, Semawur, Bradag, Karangjong, Jetakwanger,

1

Gambar

 Tabel 3.1
Tabel 3.2
  Tabel 3.3 Data pernikahan di bawah umur sebelum adanya penyuluhan
 Tabel 3.4
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian di atas kita dapat mengatakan bahwa proses pembelajaran pelatihan bagi guru-guru lebih tepat menggunakan atau mendasarkan pada teori pembelajaran orang dewasa

Penurunan konsentrasi estrogen oleh aromatase inhibitor mengakibatkan banyaknya hormon testosteron yang diproduksi sehingga mengarahkan kelamin ikan menjadi jantan

Meskipun KUA merupakan lembaga yang berperan penting dalam menangani angka pernikahan di bawah umur dan sudah melakukan upaya dalam menguranginya, KUA tidak bisa

Serapan P tanaman tertinggi yaitu 0,23 g tan -1 tercapai pada perlakuan inokulum mikoriza 10 g + 50 spora (M10) atau lebih tinggi sebesar 52,17 % dari serapan P tanaman

Terdapat 3 media komunikasi yang dapat digunakan untuk proses pengambilan data meter yaitu melalui komunikasi antara PC/Laptop dengan meter menggunakan media

• Berdasarkan uji kompetensi pejabat administrasi atau pejabat fungsional yang tidak memenuhi standar kompetensi jabatan dapat dipindahkan pada jabatan lain yang sesuai

Belanja pemerintah konsolidasian mengalami kontaksi sebesar minus 11,42 persen dibandingkan belanja pemerintah pada periode yang sama tahun 2018 sebesar Rp2,85 triliun

Analisis stabilitas dengan menggunakan metode irisan dapat dijelaskan dengan Gambar (2.7), dimana busur AC adalah sebuah lengkungan dari lingkaran yang menunjukkan permukaan