DAMPAK HUKUM PENYULUHAN PERNIKAHAN OLEH KUA
NGAWEN KABUPATEN BLORA TERHADAP PENURUNAN
ANGKA PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR
SKRIPSI
Oleh: Lailis Sofiatin NIM: C01212023
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Keluarga Surabaya
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan dengan judul Dampak Hukum Penyuluhan Pernikahan oleh KUA Ngawen Kecamatan Blora Terhadap Penurunan Angka Pernikahan di Bawah Umur. Rumusan masalah adalah: Bagaimana Upaya KUA Ngawen dalam melakukan penyuluhan pernikahan? Bagaimana dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen Kabupaten Blora terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur?
Penelitian ini menggunakan kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas yang datanya bersumber dari lapangan, dengan teknik interviu dan dokumentasi terkait pelaksanaan upaya penyuluhan pernikahan untuk menurunkan angka pernikahan di bawah umur, kemudian di analisis dengan menggunakan undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Upaya KUA Ngawen melakukan penyuluhan pernikahan sebagai solusi dalam menurunkan angka pernikahan di bawah umur yang ini disesuaikan dengan UU yang berlaku di Indonesia yakni dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 dan KHI pasal 15 yang bertujuan agar Masyarakat taat terhadap Undang-Undang yang berlaku di Indonesia.Upaya penyuluhan ini dilakukan karena terdapat faktor yang melatarbelakangi meningkatnya pernikahan di bawah umur yakni dari sisi pendidikan dan ekonomi. Apabila pernikahan di bawah umur masih terjadi akan berdampak pada fisik dan psikis yang dialami oleh pasangan pernikahan tersebut.
Hasil Analisis menunjukkan bahwa upaya penyuluhan ini hanya memberi dampak positif dari pemahaman para remaja dalam hal kesehatan reproduksi dan usia reproduksi sehat saja, akan tetapi tidak dalam perilaku masyarakat terhadap ketaatan hukum karena masih terlihat meningkat pada tahun 2015 yakni sebanyak 16 pasang padahal tahun 2014 terdapat 13 pasang sehingga menurut penulis penyuluhan ini tidak memberi dampak hukum kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kurangnya anggaran dana dari pemerintah dan kurangnya materi dalam memberikan penyuluhan yakni dalam hal meningkatkan mutu pendidikan dan ekonomi karena pihak KUA tidak bekerja sama dengan Dinas Pendidikan begitu juga kurangnya dukungan masyarakat karena pemikiran mereka yang masih primitif. Akan tetapi menjadi titik terang ketika di pertengahan tahun 2016 hanya 5 pasangan pernikahan di bawah umur dan hal menjadi langkah awal untuk terus efektif dalam melakukan penyuluhan pernikahan sehingga akan mengurangi masalah yang berkembang di masyarakat.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERSEMBAHAN ... viii
MOTTO ... x
DAFTAR ISI... ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR TRANSLITERASI ... xv
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah ... 10
D. Kajian Pustaka ... 11
E. Tujuan Penelitian ... 13
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 14
G. Definisi Operasional ... 15
H. Metode Penelitian ... 16
BAB II : KAJIAN TEORI TENTANG PERNIKAHAN MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pernikahan dalam Hukum Islam ... 23
1. Pengertian dan dasar hukum pernikahan ... 23
2. Syarat dan rukun pernikahan ... 27
3. Tujuan Pernikahan ... 31
4. Hikmah Pernikahan ... 34
5. Usia pernikahan menurut hukum Islam ... 37
BAB III : PENYULUHAN PERNIKAHAN OLEH KUA NGAWEN KABUPATEN BLORA TERHADAP PENCEGAHAN PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR A. KUA Ngawen Kab. Blora ... 45
1. Gambaran umum KUA Ngawen ... 45
2. Letak geografis KUA Ngawen ... 46
3. Program Kerja KUA Ngawen... 47
4. Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan ... 54
B. Program Penyuluhan Pernikahan di KUA Ngawen ... 55
1. Satuan Acara Penyuluhan Pernikahan di KUA Ngawen 55 2. Materi Penyuluhan oleh KUA Ngawen dan Puskesmas Ngawen ... 58
C. Dampak Penyuluhan dalam Rangka Menurunkan Pernikahan di bawah umur di KUA Ngawen ... 65
1. Tingkat Pernikahan di bawah umur Sebelum Adanya Program Penyuluhan di KUA Ngawen ... 65
2. Tingkat Pernikahan di bawah umur Setelah Adanya Program Penyuluhan di KUA Ngawen ... 69
1. Upaya KUA Ngawen Kabupaten Blora dalam melakukan Penyuluhan Pernikahan... 73 2. Tujuan upaya penyuluhan pernikahan KUA Ngawen
Kabupaten Blora ... 75 B. Dampak Hukum Penyuluhan pernikahan oleh KUA
Ngawen dalam menurunkan angka pernikahan di bawah umur ... 77 1. Faktor dan dampak pernikahan di bawah umur di KUA
Ngawen ... 77 2. Dampak Hukum Penyuluhan pernikahan oleh KUA
Ngawen Kabupaten Blora Terhadap Tingkat Pernikahan di bawah Umur Setelah Adanya Penyuluhan ... 84
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ... 91 B. Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia secara fitrah atau nature diciptakan Tuhan dalam dirinya,
mempunyai kebutuhan-kebutuhan jasmani, di antaranya kebutuhan seksual
yang akan dipenuhi dengan baik dan teratur dalam hidup berkeluarga.1 Hal ini
dikarenakan keluarga seperti gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang
menjadi pemenuhan keinginan manusia tanpa menghilangkan kebutuhannya.2
Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an:
‚Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak...‛ (Q.S. an-Nisa>’ : 1) 3
Meski demikian, Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk
lainnya yang menyalurkan nalurinya dengan bebas, menuruti hawa nafsu
dengan sesuka hati dan mengikuti ajakan setan sehingga terjerumus pada
perbuatan yang tidak halal berupa sikap-sikap yang merusak dan
menimbulkan dosa-dosa. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan
1 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1998), 434.
2Ali Yusuf as-Subki, Niz}a>mul Usrah fi> al-Isla>m, (Penerjemah: Nur Khazin, Fiqh Keluarga),
(Jakarta: Amzah, 2010), 23.
2
martabat manusia maka Allah mengadakan hukum yang sesuai dengan
kehormatan dan martabat tersebut. Dalam arti lain hubungan antara laki-laki
dan perempuan diatur secara terhormat dalam sebuah ikatan pernikahan.
Pernikahan dari segi agama adalah suatu segi yang sangat penting.
Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara
perkawinan adalah upacara yang suci yang kedua pihak dihubungkan
menjadi pasangan suami istri atau saling meminta menjadi pasangan
hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.4
Nikah atau kawin adalah akad yang menghalalkan persetubuhan
antara wanita dan laki-laki, disertai dengan kalimat-kalimat yang
ditentukan. Dan dengan pernikahan tersebut, maka dibatasilah hak dan
kewajiban keduanya, sesuai dengan ajaran Islam5. Pernikahan merupakan
sunatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah suatu cara yang
dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak
dan melestarikan hidupnya6.
Adapun menurut syarat nikah adalah akad serah terima antara
laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah
serta masyarakat yang sejahtera7. UU Pernikahan yang berlaku di Indonesia
4
Idris Ramulyo, Hukum Perkwinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1999), 19.
5 Lm. Syarifie, Membina Cinta Menuju Perkawinan, (Gresik: Putra Pelajar, 1999), 9.
6M.A. Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010), 6.
3
di dalam Pasal 1 merumuskan bahwa: ‚Pernikahan ialah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa‛.8
Di samping definisi UU No. 1 Tahun 1974 yang telah disebutkan,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia juga memberikan definisi yang tidak
mengurangi makna dari UU tersebut, yakni dijelaskan dalam Pasal 2
KHI:‚Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sngat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah‛. 9
Nikah adalah salah satu asas pokok yang paling utama dalam
pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja
merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah
tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju
pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu
akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan
lainnya.10
Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya
dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja suami istri dan
keturunannya, melainkan antara dua keluarga. Dari baiknya pergaulan antara
si istri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindahlah kebaikan itu
8 Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2011), 75.
9 Ibid., 2.
4
kepada semua keluarga, dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi
satu dalam segala urusan bertolong-tolongan sesamanya dalam menjalankan
kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan pernikahan
seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya11.
Faedah yang terbesar dalam pernikahan ialah untuk menjaga dan
memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan sebab
seorang perempuan apabila sudah menikah, maka nafkahnya wajib
ditanggung oleh suaminya. Pernikahan juga berguna untuk memelihara
kerukunan anak cucu, sebab kalau tidak dengan nikah, tentulah anak tidak
berketentuan siapa yang akan mengurusnya dan siapa yang bertanggung
jawab atasnya12.
Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang
akan kawin, akad pekawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad
dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya
akad perkawinan itu. KHI secara jelas membicarakan rukkun perkawinan
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 14.13
Islam hanya mengakui pernikahan antara laki-laki dan perempuan
dan tidak boleh lain dari itu, seperti sesama laki-laki atau sesama
perempuan, karena ini yang tersebut dalam Al-Qur’an. Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk laki-laki dan perempuan yang akan kawin yakni:
keduanya jelas identitasnya, keduanya sama-sama beragama Islam (tentang
11Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam ---,374.
12 Ibid., 375.
13
5
nikah lain agama dijelaskan tersendiri), antara keduanya tidak terlarang
melangsungkan pernikahan (tentang larangan pernikahan dijelaskan
tersendiri), kedua belah pihak setuju untuk nikah, keduanya telah mencapai
usia yang layak untuk melangsungkan pernikahan. 14
Tentang batas usia pernikahan meskipun secara terang-terangan tidak
ada petunjuk Al-Qur’an atau hadis Nabi tentang batas usia pernikahan,
namun ada ayat al-Qur’an secara tidak langsung mengisyaratkan batas usia
tertentu yakni dalam surat an-Nisa’ ayat 6:
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa nikah itu mempunyai batas umur
dan batas umur itu adalah baligh. Dan ini memberi isyarat bahwa pernikahan
itu harus dilakukan oleh pasangan yang sudah dewasa tentang bagaimana
batas usia dewasa itu dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan, dapat
pula berbeda karena perbedaan lingkungan, budaya dan tingkat kecerdasan
suatu komunitas atau disebabkan oleh faktor lainnya16.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai sebagaimana dapat
dipahami dari ayat tersebut secara jelas diatur dalam UU Pernikahan pada
Pasal 7 yakni Pernikahn hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun17. Dalam KHI
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia ---,64.
15
Hamka, Tafsir Al- Azhar Juz III-IV, (Jakarta: PT Citra Serumpun Padi, 2003), 337.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia---,68.
17
6
mempertegas persyaratan yang terdapat dalam UU Penikahan pada Pasal 15
yakni untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, pernikahan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.18
Meski perundang-undangan di Indonesia secara ketat membatasi usia
calon pengantin untuk melangsungkan pernikahan akan tetapi masih banyak
pasangan yang menikah di bawah umur karena telah mendapatkan dispensasi
nikah dari Pengadilan Agama yang diajukan oleh kedua orang tua pria
maupun wanita sehingga dalam persidangan Pengadilan Agama memeriksa
bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan memberikan dispensasi nikah.
Dan sampai saat ini pernikahan di bawah umur yang dilakukan
laki-laki di bawah 19 tahun dan perempuan di bawah 16 tahun masih menjadi
fenomena yang hidup dalam masyarakat Indonesia terutama di pedesaan atau
masyarakat tradisional. Meskipun keberadaannya seringkali tidak banyak
diketahui orang atau tidak terbuka akan tetapi terdapat sejumlah faktor yang
memperngaruhi hal tersebut. Salah satunya yakni rendahnya tingkat
kesadaran masyarakat terhadap Undang-undang hukum Islam yang tertuang
dalam KHI.
18
7
Jika pernikahan di bawah umur tetap dilakukan, hal ini akan
berdampak terhadap rumah tangga yang akan dijalani selanjutnya. Dampak
tersebut yakni dari sisi fisik yakni pasangan usia muda belum sepenuhnya
mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dan dari sisi kesehatan
pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu
yang melahirkan terlebih bagi perempuan di bawah umur 20 apalagi umur 16
tahun sampai kebawah. Dari sisi psikologis yakni pasangan muda belum
matang secara fikiran dalam artian bahwa emosional masih labil dan hal ini
berpengaruh dari problematika yang dihadapi ketika berumah tangga,
sehingga jika terjadi konflik pasangan usia muda memilih jalan untuk
melakukan perceraian tanpa berfikir panjang untuk kedepan.
Melihat dampak yang besar dari pernikahan yang dilakukan oleh
pasangan di bawah umur yakni laki-laki berumur kurang dari 19 tahun dan
perempuan kurang dari 16 tahun yang telah dijelaskan dalam KHI, maka
pihak KUA Ngawen di dalam memberlakukan peraturan
perundang-undangan tersebut tentang batas usia pernikahan sangat efektif dilakukan,
terlihat dari gencarnya beberapa penyuluhan pernikahan mengenai idealnya
sebuah keluarga dan pencegahan pernikahan di bawah umur oleh KUA
Ngawen yang bekerjasama dengan PUSKESMAS, Mitra kerja tenaga
penyuluh non PNS, sejumlah lembaga Majelis.19
Selain dampak yang terjadi akibat pernikahan di bawah umur 19
tahun untuk laki-laki dan di bawah umur 16 tahun untuk perempuan, pihak
19
8
KUA juga merasakan banyakya pasangan yang menikah di bawah umur yang
terjadi di KUA, untuk itu pihak KUA ingin memberi kesadaran masyarakat
desa Ngawen untuk menumbuhkan ketaatan terhadap Undang-Undang di
Indonesia terlebih tentang usia calon pengantin laki-laki maupun calon
pengantin perempuan agar tidak terjadi pernikahan di bawah umur, karena
melihat dari prosentase yang melangsungkan pernikahan di bawah umur
semakin tahun semakin bertambah dan untuk mencegahnya dari sekarang
yakni memberikan ilmu-ilmu tentang idelanya berumah tangga melalui
penyuluhan.20
Jikalau kita melihat banyak faktor-faktor pernikahan di bawah umur
19 untuk laki-laki dan 16 untuk perempuan yang terjadi terutama di desa
Ngawen. Hal ini disebutkan juga oleh Bapak Lasno, S.Ag., M, Si. selaku
Kepala KUA Ngawen yang memberikan keterangan bahwa faktor tersebut
secara global yakni dari sisi Ekonomi dan Keluarga, dari sisi ekonomi
melihat bahwa di pedesaan tingkat ekonominya menengah kebawah meski
tidak jarang adapula yang tingkat ekonominya lebih, melihat mayoritas
ekonomi tersebut maka beberapa pemuda-pemudi yang harus putus sekolah
bahkan ada pula yang tidak bersekolah, mengingat bahwa pendidikan sangat
penting untuk menata masa depan dan sebagai pengangan hidup untuk
menentukan segala baik buruknya suatu tindakan. Maka pemuda-pemudi
yang putus sekolah akan mudah terkena efek negatif dari globalisasi,
sehingga mudah terjerumus dengan tindakan-tindakan negatif pula seperti
20
9
seks bebas yang akan menimbulkan kehamilan sebelum pernikahan, dan hal
ini yang mendorong pemuda-pemudi untuk melakukan pernikahan di bawah
umur.
Selanjutnya dari sisi keluarga yakni bahwa pernikahan di bawah umur
19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan terjadi atas
dorongan keluarga sendiri artinya bahwa di dalam keluarga untuk
mengurangi beban kehidupan secara materil maka mereka harus mengurangi
salah satu anggota keluarga yakni dengan cara menikahkan anaknya agar
beban dalam keluarga sedikit berkurang karena secara otomatis masyarakat
desa menganggap bahwa anak yang sudah menikah bukan lagi tanggung
jawabnya meskipun anak tersebut secara usia belum cukup syarat untuk
melakukan pernikahan, sehingga faktor ini sangat berpengaruh terjadinya
nikah di bawah umur.
Dari uraian tersebut sehingga menarik bagi penulis untuk mengkaji
bagaimana dampak atau pengaruh tinggi rendahnya ketaatan masyarakat
terhadap Undang-undang hukum Islam yang tertuang dalam KHI melalui
upaya KUA Ngawen Kab. Blora dalam memberikan penyuluhan pernikahan
untuk menurunkan angka pernikahan di bawah umur 19 tahun untuk laki-laki
dan 16 tahun untuk perempuan. Maka penelitian ini akan tertuang dalam
skripsi yang berjudul Dampak Hukum Penyuluhan Pernikahan oleh KUA
Ngawen Kabupaten Blora terhadap Penurunan Angka Pernikahan Di Bawah
10
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari paparan latar belakang masalah di atas, penulis
mengidentifikasikan inti permasalahan yang terkandung di dalamnya sebagai
berikut:
1. Batas usia pernikahan di bawah umur menurut Hukum Islam dan
Undang-undang di Indonesia
2. Faktor pendorong dalam melakukan pernikahan di bawah umur dampak
yang terjadi akibat pernkahan di bawah umur
3. Upaya KUA Ngawen dalam melakukan penyuluhan pernikahan mengenai
idealnya usia calon pengantin dalam suatu pernikahan untuk membentuk
rumah tangga
4. Dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen terhadap
penurunan angka pernikahan di bawah umur.
Dengan adanya suatu permasalahan di atas, maka untuk memberikan arah
yang jelas dalam penelitian penulis membatasi pada masalah-masalah
berikut ini:
1. Upaya KUA Ngawen Kab. Blora dalam melakukan penyuluhan
pernikahan
2. Dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen Kab. Blora
terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, dapat
11
1. Bagaimana upaya KUA Ngawen Kab. Blora dalam melakukan
penyuluhan pernikahan?
2. Bagaimana dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen
Kab. Blora terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur?
D. Kajian Pustaka
Kajian tentang Dampak Hukum Penyuluhan Pernikahan oleh KUA
Ngawen Kab.Blora terhadap angka penurunan pernikahan di bawah umur ini
belum pernah sebelumnya dibahas oleh peneliti lain, akan tetapi peneliti
menemukan beberapa penelitian terhadap peranan KUA untuk mengurangi
jumlah terjadinya pernikahan di bawah umur diantaranya sebagai berikut:
Pertama skripsi yang ditulis oleh Dwi Arie Irmawan yang berjudul
tentang Peranan BP4 dalam Upaya Menekan Jumlah Perkawinan di Bawah
Umur di Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo yang terbit ditahun 2003.
Skripsi ini berisi tentang hasil penelitian bahwa aktivitas BP4 Kecamatan
Buduran dalam upaya menekan jumlah perkawinan di bawah umur dibagi
menjadi dua yaitu aktifitas umum dan aktifitas khusus dan efektifitas
petugas BP4 Kecamatan Buduran dalam memberikan penyuluhan atau
bimbingan tentang Mental Spiritual, Pembinaan generasi muda, Pembinaan
ibu-ibu PKK dan pembinaan anggota organisasi masyarakat, menunjukkan
bahwa keaktifan BP4 Kecamatan Buduran dalam upaya menekan jumlah
12
cukup efektif terbukti dengan menurunnya jumlah angka perkawinan
dibawah umur.21
Selanjutnya skripsi yang tulis oleh Dade Ahmad Nasrullah dengan
judul Peranan KUA dalam menanggulangi pernikahan dini di desa pasarean
pamijahan kabupaten bogor, yang terbit tahun 2014. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa penghulu dari KUA Pamijahan telah
mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya menikah sesuai umur yang
telah ditentukan oleh undang-undang saat sebelum akad nikah atau amil desa
melalui pengajian-pengajian, meski begitu KUA Pamijahan tidak berperan
secara efektif dalam menanggulangi pernikahan di desa Pamijahan karena
penanggulangan tersebut tidak dilakukan KUA secara terprogram22.
Skripsi Muhamad Sobirin dengan judul Peran Pegawai Pencatat
Nikah (PPN) Dalam Mengatasi Perkawinan dibawah Umur (Studi Kasus di
Desa Petung dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Pakis Kabupaten
Magelang) yang terbit tahun 2009. Hasil penelitian tersebut menyatakan
bahwa adanya penurunan pernikahan di bawah umur di tahun 2000-an karena
pola pikir masyarakat yang lebih maju dan usaha dari PPN KUA Pakis
dengan cara memperketat prosedur pemeriksaan berkas calon pengantin dan
21 Dwi Arie Irmawan, ‚Peranan BP4 dalam Upaya Menekan Jumlah Perkawinan di Bawah Umur
di Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo‛, (Skripsi--Iain Sunan Ampel, Surabaya, 2003), 76-77.
22
Dade Ahmad Nasrullah, ‚Peranan KUA dalam Menanggulangi Pernikahan Dini di Desa
13
langkah lain dengan memberikan sosialisasi terhadap undang-undang yang
berlaku di Indonesia saat ini23.
Dari sini penulis lebih membahas tentang upaya KUA Ngawen
Kabupaten Blora dalam mengentaskan pernikahan di bawah umur dengan
memberikan penyuluhan pernikahan dan dampak hukum yang terjadi setelah
adanya penyuluhan pernikahan yang dilakukan oleh KUA Ngawen
Kabupaten Blora, apakah hal ini berpengarung terhadap tinggi rendahnya
ketaatan dan kesadaran hukum Islam oleh masyarakat sehingga terlihat dari
penurunan angka pasangan yang melakukan pernikahan di bawah umur.
Adapun persamaan dari peneliti dengan kajian pustaka yang telah
disebutkan di atas terletak dari upaya dalam menurunkan pernikahan di
bawah umur akan tetapi prespektif penulis tetap berbeda karena penulis lebih
tertarik terhadap dampak hukum Islam dari upaya tersebut dari sisi
kemanfaatan penyuluhan pernikahan dalam menekan pernikahan di bawah
umur.
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang diuraikan di atas, tujuan
penelitian adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang upaya KUA Ngawen Kabupaten Blora dalam
melakukan penyuluhan pernikahan.
23
Muhamad Sobirin, ‚Peran Pegawai Pencatat Nikah (PPN) dalam Mengatasi Pernikahan di
14
2. Mengetahui dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen
Kabupaten Blora terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan peneliti ini dapat ditempuh melalui dua aspek yaitu:
1. Aspek Keilmuan (Teoritis)
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
memperkaya khasanah keilmuan hukum keluarga, sehingga dapat
memberikan kontribusi akademis, yaitu peningkatan dan pengembangan
di bidang studi hukum keluarga dan selanjutnya menyangkut pandangan
Islam untuk menciptakan keluarga yang sakinah dan harmonis.
2. Aspek Terapan/ Praktis
Hasil studi ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan penulisan karya ilmiah
berbentuk skripsi dan sebagai bahan bacaan khususnya dalam masalah
hukum keluarga Islam. Begitu juga dapat digunakan sebagai bahan
acuan dalam menerapkan hukum keluarga Islam terlebih bagi seluruh
kalangan agar menciptakan keluarga yang bahagia dan sebagai pelajaran
bagi pemuda-pemudi untuk tidak melakukan pernikahan di bawah umur
serta untuk diajarkan pada Fakultas Syari’ah Jurusan Hukum Perdata
15
G. Definisi Operasional
Sesuai dengan judul skripsi ini, yaitu Dampak Hukum Penyuluhan
Pernikahan oleh KUA Ngawen Kabupaten Blora terhadap Penurunan Angka
Pernikahan di Bawah Umur, ada beberapa kata yang perlu penulis jelaskan
secara operasional terhadap kata-kata tersebut.
Dampak Hukum : Dampak yakni pengaruh yang kuat yang
mendatangkan akibat negatif (akibat buruk)
atau positif (akibat yang baik)24. Maksud
penulis dari dampak hukum yakni adanya
dan tidaknya pengaruh perilaku masyarakat
terhadap ketaatan hukum Islam setelah
adanya penyuluhan dari KUA Kec Ngawen.
Penyuluhan : Berasal dari kata suluh yang berarti barang
yang dipakai untuk menerangi, penyuluhan
yakni cara untuk menerangi tersebut25, dan
maksud dari penulis yakni upaya KUA untuk
mencegah terjadinya pernikahan di bawah
umur sehingga tercapailah untuk membentuk
keluarga saki>nah .
Pernikahan di bawah umur : Perkawinan yang terjadi di mana salah satu
atau kedua mempelai masih usia di bawah
24
Desy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amelia Surabaya, 2003), 118.
25Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Badan
16
umur 19 untuk laki-laki dan 16 untuk
perempuan sesuai dengan UU No 1 tahun
1974 pasal 7 dan KHI Pasal 1526, maksud
dari penulis yakni pernikahan yang telah
dilakukan oleh beberapa pasang di KUA
Ngawen dengan usia 14-15 tahun yang
dilakukan perempuan dan 17-18 tahun yang
dilakukan oleh laki-laki.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara untuk menemukan, mengembangkan
dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara
metodologis dan sistematis. Dalam metode penelitian ini yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1. Data Yang dikumpulkan
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang bersifat lapangan, oleh karena
data yang penulis peroleh berupa data-data yang ada di lapangan yakni
upaya KUA Ngawen Kabupaten Blora dalam memberikan penyuluhan
pernikahan. Keterangan data yang dikumpulkan oleh penulis mulai
tahun 2010-2016 akan tetapi penulis hanya meneliti ditahun 2016.
Penelitian ini merupakan penelitian empiris maka di dalam penelitian
ini, obyek yang kami teliti adalah penelitian tentang berlakunya hukum
17
positif, penelitian terhadap pengaruh berlakunya hukum positif terhadap
kehidupan masyarakat, penelitian terhadap pengaruh faktor-faktor non
hukum terhadap terbentuknya ketentuan-ketentuan hukum positif.27
2. Sumber Data
Berdasarkan tempat dan sumber data yang digunakan, jenis penelitian
yang digunakan adalah penelitian lapangan, adapun sumber-sumber yang
diperlukan sebagai berikut:
a. Sumber data primair yaitu:
1) Wawancara dengan Kepala KUA Ngawen yakni Lasno, S.Ag.,
M, Si.
2) Wawancara dengan Kepala UPTD Puskesmas Ngawen yakni dr.
Nur Istifah.
3) Petugas Penyuluhan yakni Samsudin, S.Sos dan Puji Astuti.
4) Para pelaku pernikahan di bawah umur di tahun 2016 yakni:
Murtini, Joko, Yanti, Evi, dan Sukron
b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang berupa kitab-kitab
yang menjadi dasar acuan dan bacaan lain yang memiliki
keterkaitan dengan bahan skripsi.
1) Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung:
Cv. Nuansa Aulia, 2011.
2) Dr. Hammudah ‘Abd, Keluarga Muslim, Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1984.
27
18
3) Drs. Ahmad Rofiq, M.A, Hukum Islam Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1997.
4) K.H. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2007
5) Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1995.
6) Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A, Hukum Perdata Islam,
Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
7) Moh. Idris Ramulyo,S.H.,M.H, Hukum Perkawinan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 1996).
8) R. Soetojo Prawirohaidjojo, Marthalena Pohan, Hukum Orang
dan Keluarga, Surabaya: Airlangga University Press, 2008.
9) Drs. Sudarsono, S.H. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1994.
I. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling
strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka
peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang
ditetapkan28.
a. Wawancara
28 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Dan Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta,
19
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yakni wawancara terhadap Kepala KUA
Ngawen, Pasangan yang menikah muda, peserta yang mengkuti
penyuluhan. Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi verbal
dengan tujuan mendapatkan informasi. Di samping akan
mendapatkan gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan
informasi yang penting. Menurut Denzin, wawancara adalah
pertukaran percakapan dengan tatap muka di mana seseorang
memperoleh informasi dari yang lain29.
Wawancara dilakukan terutama karena ada anggapan bahwa
hanya respondenlah yang paling tahu tentang dirinya, sehingga
informasi yang tidak dapat diamatinya atau tidak dapat diperoleh
dengan alat lain, akan diperoleh dengan cara wawancara, misalnya
informasi tentang tanggapan, keyakinan, perasaan, cita-cita. Seperti
yang di amati oleh peneliti tentang bagaimana Upaya KUA dalam
melakukan penyuluhan pernikahan.
b. Dokumenter
Metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan
data yang digunakan metodologi penelitian sosial. Pada intinya
metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk
29 James A Black, Dean J. Champiom, Metode Dan Masalah Penelitian Sosial, (Bandung: PT
20
menelusuri data historis30. Metode ini digunakan untuk penulis
dalam mencari data-data berupa foto, surat-surat dan sebagainya
untuk memberikan gambaran terhadap sosiologi yang terjadi di
dalam Penyuluhan Pernikahan yang dilakukan oleh KUA Ngawen.
J. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul di atas diolah dengan teknik editing,
pengorganisasian dan tabulasi, yaitu:
a. Pengolahan Data dengan teknik Editing
Yaitu kegiatan yang dilaksanakan setelah peneliti selesai
menghimpun data dilapangan. Kegiatan ini menjadi penting karena
kenyataannya bahwa data yang terhimpun kadangkala belum
memenuhi harapan peneliti31, untuk itu diperlukan pemeriksaan
kembali semua data yang diperoleh, kejelasan makna, kesesuaian
makna satu dengan lainnya, relevansi, kesesuaian satuan dan
kelompok data.
b. Pengolahan Data dengan teknik Pengorganisasian
Yaitu agar memperoleh gambaran yang sesuai dengan
pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah.
c. Pengolahan Data dengan teknik Tabulasi
Yaitu penyajian data dalam bentuk tabel untuk memudahkan
pengamatan dan efaluasi.
30 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial, (Surabaya: Airlangga University Press, 2001),
154.
31
21
K. Teknik Analisis data
Setelah data yang diperoleh dalam penelitian terkumpul, langkah
selanjutnya adalah menganalisis data. Peneliti akan menganalisisnya
dengan menggunakan metode kualtitatif deskriptif, yaitu dikatakan
sebagai kualitatif karena bersifat verbal atau kata dan dikatakan sebagai
deskriptif karena menggambarkan dan menguraikan terhadap segala
sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan program penyuluhan
pernikahan oleh KUA Ngawen dalam rangka mencegah pernikahan di
bawah umur kemudian akan menganalisisnya dengan menggunakan
konsep undang-undang yang berlaku di Indonesia.
Dalam penelitian ini, menggunakan pola pikir induktif yaitu pola
berpikir yang diawali dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat
khusus yang terjadi di lapangan yaitu pelaksanaan penyuluhan
pernikahan oleh KUA Ngawen kemudian dianalisis dengan
menggunakan teori-teori yang bersifat umum yang berkenaan dengan
Undang-undang di Indonesia.
L. Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk
memudahkan pembahasan masalah-masalah dalam penelitian ini. Dan agar
dapat dipahami permasalahannya lebih sistematis dan kronologis, maka
22
Bab Pertama, bab ini memuat pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, rumusan masalah, identifikasi dan batasan masalah,
rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, sebagai landasan teori umum mencakup tentang tentang
pernikahan, usia pernikahan menurut hukum Islam.
Bab ketiga, data tentang penelitian terhadap penyuluhan pernikahan
oleh KUA Ngawen Kabupaten Blora yang akan dijelaskan secara rinci
tentang gambaran umum KUA Ngawen, upaya penyuluhan di KUA Ngawen
dan tingkat pernikahan di KUA Ngawen.
BAB keempat, menjelaskan tentang dampak hukum penyuluhan
pernikahan oleh KUA Ngawen Kabupaten Blora terhadap penurunan angka
perikahan di bawah umur yang akan dijelaskan secara rinci mengenai upaya
KUA Ngawen kabupaten Blora dalam melakukan penyuluhan pernikahan
dan dampak hukum penyuluhan pernikahan oleh KUA Ngawen kabupaten
Blora terhadap penurunan angka pernikahan di bawah umur.
BAB kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pokok masalah yang pada bab
pertama yang selanjutnya penyusun memberikan sumbang sarannya sebagai
23
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG PERNIKAHAN MENURUT HUKUM
ISLAM
A. Pernikahan Dalam Hukum Islam
1. Pengertian dan Dasar Hukum Pernikahan
Istilah ‚Nikah‛ berasal dari bahasa Arab, sedangkan menurut
bahasa Indonesia adalah ‚pernikahan‛. Dewasa ini kerap kali dibedakan
antara ‚Nikah‛ dengan ‚Kawin‛, akan tetapi pada prinsipnya antara
‚Pernikahan‛ dan ‚Pernikahan‛ hanya berbeda di dalam menarik akal
kita saja. Apabila ditinjau dari segi Hukum nampak jelas bahwa
pernikahan adalah suatu akad suci dan luhur antara laki-laki dan
perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan
dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga
sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni1.
Dalam Bahasa Indonesia, ‚Pernikahan‛ berasal dari kata ‚kawin‛,
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis
melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan. Istilah ‚kawin‛
digunakan secara umum, untuk tumbuhan, hewan, dan manusia, dan
menunjukkan proses generatif secara alami. Berbeda dengan itu, nikah
24
hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan secara
hukum nasional, adat istiadat, dan terutama menurut agama2.
Hukum Nikah (Pernikahan), yaitu hukum yang mengatur
hubungan antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut
penyaluran kebutuhan biologis antarjenis, dan hak serta kewajiban yang
berhubungan dengan akibat pernikahan tersebut3. Dengan melihat
kepada hakikat pernikahan itu merupakan akad yang membolehkan
laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak
dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal dari pernikahan itu
adalah boleh atau mubah4.
Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan
sunnah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal
pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa melangsungkan akad pernikahan disuruh oleh agama dan dengan
telah berlangsungnya akad pernikahan itu, maka pergaulan laki-laki
dengan perempuan menjadi mubah. Banyak suruhan-suruhhan Allah
dalam Al-Quran untuk melaksakan pernikahan diantaranya dalam surat
an-Nur ayat 32 dan surat Az-Zariyat ayat 495:
2M.A Tihami, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 7.
3
Ibid.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006), 43
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui6.
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah7.
Pernikahan yang merupakan sunatullah pada dasarnya adalah
mubah tergantung kepada tingkat maslahatnya. Oleh karena itu, di
Indonesia umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal
melakukan pernikahan ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi
pendapat ulama Syafi’iyah8.
Terlepas dari pendapat imam-imam mazhab, berdasarkan
nash-nash, baik Al-Quran maupun As-Sunnah, Islam sangat menganjurkan
kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan. Namun
demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta
tujuan melaksanakannya, maka melakukan pernikahan itu dapat
dikenakan hukum wajib, sunnat, haram, makruh ataupun mubah9.
6
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid 4, (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 479.
7
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Volume 9, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 334.
8
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2003), 18
26
a. Melakukan pernikahan yang hukumnya wajib yakni bagi orang
yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan
dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya
tidak kawin.
b. Melakukan pernikahan yang hukumnya sunnah yakni bagi orang
yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melangsungkan pernikahan , tetapi kalau tidak kawin tidak
dikhawatirkan akan berbuat zina.
c. Melakukan pernikahan yang hukumnya haram yakni bagi orang
yang tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga
apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan
istrinya.
d. Melakukan pernikahan yang hukumnya makruh yakni bagi orang
yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pernikahan juga
cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak
kawin.
e. Melakukan pernikahan yang hukumnya mubah yakni bagi orang
yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila
tidak melakukannya juga khawatir akan berbuat zina dan apabila
27
2. Syarat dan Rukun Pernikahan
Rukun pernikahan adalah perkara yang menyebabkan sah atau
tidaknya suatu pernikahan. Dengan demikian rukun pernikahan itu wajib
terpenuhi ketika diadakan akad pernikahan, sebab tidak sah akadnya jika
tidak terpenuhi rukunnya.10
Sedangkan syarat pernikahan adalah sesuatu yang harus ada dan
menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pernikahan tersebut.11
Jumhur Ulama sepakat bahawa rukun pernikahan itu terdiri dari
lima, yaitu:12
a. Calon mempelai pria maupun calon mempelai wanita.
Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi adalah sebagai berikut :
1). Calon mempelai pria
a) Beragama Islam
b) Laki-laki
c) Jelas orangnya
d) Dapat memberikan persetujuan (tidak dipaksa)
e) Tidak terdapat halangan pernikahan
2). Calon mempelai wanita
a) Beragama Islam atau ahli Kita
10 Moh. Anwar, Fiqh Islam Muamalah, Munakahat, Faraid, dan Jinayah (Hukum Perdata dan
Pidana Islam) Beserta Kaidah-kaidah Hukumnya, (Bandung : al-Ma'arif, 1971), 25
11Abd al-Muhaimin As'ad, Risalah Nikah Penuntun Pernikahan, (Surabaya : Bulan Terang, cet. I,
1993), 33
28
b) Perempuan
c) Jelas orangnya
d) Dapat dimintai persetujuannya
e) Tidak terdapat halangan pernikahan Antara keduanya harus ada
persetujuan bebas, yaitu persetujuan yang dilahirkan dalam
keadaan pikiran yang sehat dan bukan karena paksaan.
Disyaratkan persetujuan bebas adalah pertimbangan yang logis
karena dengan tidak adanya persetujuan bebas ini berarti suatu
indikasi bahwa salah satu pihak atau keduanya tidak memiliki
hasrat untuk membentuk kehidupan keluarga sebagai salah satu
yang menjadi tujuan pernikahan.13
b. Wali dari calon mempelai perempuan.
Yang dimaksud wali dalam pernikahan adalah seseorang yang
bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. 14
Akad dilangsungkan oleh dua pihak yaitu pihak laki-laki yang
dilakukan oleh mempelai laki-laki dan pihak perempuan yang
dilakukan oleh walinya.
Berbicara tentang keberadaan wali dalam pernikahan, ada dua
kategori yang membedakan kedudukan serta kewenangan sebagai
wali, yakni:
1). Wali Nasab
13 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UU Press, 1974), 66.
29
Wali nasab adalah wali yang mempunyai hubungan darah dengan
calon pengantin wanita baik vertikal maupun horizontal.
2) Wali Hakim
Wali hakim adalah penguasa atau wali penguasa yang
berwenang dalam bidang perwalian, biasanya penghulu atau
petugas lain dari Kantor Urusan Agama.15 Jika seorang yang tidak
memiliki wali nasab, maka wali hakim lah yang akan
menikahkannya.
Adapun Syarat-syarat wali dalam pernikahan adalah:
1) Seorang laki-laki, merdeka, dewasa dan berakal, dan seorang
muslim maka tidak sah orang yang tidak beragama Islam menjadi
wali bagi muslim.16
2) Seorang yang adil, yaitu tidak pernah terlibat dengan dosa
besar dan tidak sering berbuat dosa kecil.
3) Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji maupun umrah
c. Disaksikan oleh dua orang saksi
Seorang saksi harus memenuhi syarat berakal, dewasa, dapat
mendengar dan memahami perkataan akad. 17 Sedangkan syarat yang
lain adalah beragama Islam, seorang laki-laki, adil dan merdeka, serta
tidak sedang melaksanakan ihram. Menurut hanafi seorang saksi tidak
harus laki-laki dan sah akad bila disaksikan oleh dua orang laki-laki atau
15R. Abdul Jumali, Hukum Islam, (Bandung : CV. Mandar Maju, 1999), 88.
16Imam Taqiyuddin Abi> Bakar Ibn Muhammad al-h}usaini, Kifa>yatul Akhya>r, Jilid II (Damaskus:
Cet.II, tt), 89
30
seorang laki-laki dan dua orang perempuan, selain itu menurut Hanafi
seorang saksi tidak disyaratkan adil. 18
d. Ijab dan qabul
Ijab qabul juga di sebut dengan akad pernikahan. Akad
pernikahan itu dilaksanakan dalam suasana hening dengan pihak wali
menyatakan (ijab) dan dijawab oleh calon suami secara tegas dan jelas
dengan menerima (qabul). Ijab qabul itu sifatnya langsung (tidak
ditunda-tunda) dan tidak meragukan para saksi.
Adapun syarat-syarat akad pernikahan adalah:
1) Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul
yang diucapkan secara bersambungan tanpa terputus
walaupun sesaat.
2) Ijab dan qabul menggunakan bahasa yang jelas dan dapat
difahami oleh orang yang berakad. 19 dalam bahasa Arab
dengan kata zawaja atau nakaha atau dengan terjemahannya
yang dapat difahami.
3) Ijab dan qabul tidak boleh menggunakan lafadz yang
mengandung maksud membatasi pernikahan untuk masa
tertentu.
18Abdur Rah}ma>n al-Jazi>ri>, Fiqh Isla>m ‘Ala Maz|a>hib al-Arba’ah, Juz IV, (Cairo: Da>r al-H}adis|,
1994), 25
19 Zainuddin Ibn ‘Abdul ‘Aziz al-Malibariy, Fath}ul Mu’i>n bi Syarh}i Qurratu al-’Aini, (Surabaya:
31
3. Tujuan Pernikahan
Tujuan Pernikahan ialah menurut perintah Allah untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur. Selain itu ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa tujuan pernikahan dalam Islam selain untuk
memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus
untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan
dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinaan, agar
tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang bersangkutan,
ketentraman keluarga dan masyarakat20.
Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai
berikut21:
a. Melaksanakan Libido Seksualitas
Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai insting hanya kadar dan intensitasnya yang berbeda.
Dengan pernikahan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu
seksualnya kepada seorang perempuan dengan sah dan begitu
sebaliknya. Dalam firman Allah telah disebutkan dalam surat
Al-Baqarah ayat 233:
Idris Ramulyo, Hukum Pernikahan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), 26-27.
32
‚Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu,...‛ (Q.S. Al-Baqarah: 233)22.
b. Memperoleh Keturunan
Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki pria
maupun wanita. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa, mempunyai
anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanat dari Allah SWT.
Walaupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan untuk
tidak mempunyai anak. Dalam firman Allah telah disebutkan dalam
surat Asy-Syura ayat 49-50: menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki (49) Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa‛23. (QS. As-Syura: 49-50)
c. Memperoleh keturunan yang saleh
Keturunan yang saleh bisa membahagiakan kedua orang tua,
baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dari anak yang diharapkam
22
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid 1---, 343
23
33
oleh orang tua hanyalah ketaatan, akhlak, ibadah, dan sebagainya
yang bersifat kejiwaan.
d. Memperoleh kebahagiaan dan ketentraman
Dalam hidup berkeluarga perlu adanya ketentraman,
kebahagiaan, ketenangan lahir batin, dengan keluarga yang bahagia
dan sejahtera akan dapat mengantarkan pada ketenangan ibadah.
Dalam firman Allah telah disebutkan dalam surat Al-A’raf ayat 189:
‚Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya...24‛ (QS: Al-A’raf:189)
e. Mengikuti Sunah Nabi
f. Menjalankan Perintah Allah SWT
Allah SWT menyuruh kepada kita untuk menikah apabila
telah mampu, dalam firman Allah telah disebutkan dalam surat
An-Nisa’ ayat 3:
‚...Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi...25‛ (QS: An-Nisa’: 3)
24
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Jilid 3---, 189
25
34
4. Hikmah Pernikahan
Hikmah pernikahan adalah sebuah kebijaksanaan Allah Yang
Mahatinggi dalam memerintah hambanya hanya untuk melakukan
perbuatan yang sesuai logika. Dan akal pikiran manusia selaras tentang
itu; ‚Di balik larangan Allah untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan
bagi hamba-Nya selalu saja ada hikmahnnya yang luhur dan mulia, juga
selalu ada bukti nyata sebagai pencegahan‛. Allah SWT telah
menetapkan pernikahan dan menjadikannya sebagai suatu keharusan
karena ada banyak manfaat yang tidak bisa dihitung serta derajadnya
mulia, diantaranya yakni26:
a. Pernikahan adalah ajaran yang sesuai, selaras, dan sejalan dengan
fitrah manusia.
b. Melahirkan anak. Karena maksud dari sebuah pernikahan adalah
ikatan syari’at yang kuat, menyalurkan hasrat jiwa dan
memperbanyak keturunan dengan maksud mendekatkan diri pada
Allah SWT dan mengharap ridha-Nya. Dalam memenuhi perintah
Allah untuk menikah, Imam Ghazali memberikan beberapa hikmah
bila ditinjau dari segi menghasilkan keturunan yakni pertama, sejalan
dengan kecintaan manusia kepada Allah dalam usaha memperbanyak
keturunan untuk melestarikan jenis manusia di muka bumi, kedua
sesuai dengan kecinaan umat kepada Rasulullah SAW untuk
26
Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, (Bandung:
35
memperbanyak jumlah umat yang dibanggakan, ketiga, mencari
berkah dengan do’a anak-anak yang shaleh, keempat, mengaharapkan
syafaat Nabi jika anak yng dilahirkan meninggal waktu kecil.
c. Memenuhi keinginan hati untuk membina rumah tangga dan
salingberbagi rasa dengan cara menyiapkan hidangan untuk keluarga,
mebereskan alat-alat rumah tangga, mencari rezeki dan lain-lain.
d. Memantapkan jiwa dengan ajakan kasih sayang dan pelaksanaan hak
serta kewajiban terhadap keluarga, menyabarkan diri terhadap
tingkah laku istri dan ucapannya, berusaha meluruskan dan
membimbingnya kepada agama untuk selalu memperoleh yang halal
demi kebaikan diri dan terlaksananya pendidikan putra-putrinya.
Menurut Sayyid Sabiq hikmah-hikmah pernikahan itu banyak,
antara lain27:
a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang
selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan keluar tidak
dapat memuaskannya, maka bayaklah manusia yang mengalami
kegoncangan, kacau dan menerobos jalan yang jahat. Nikah
merupakan jalan alami dan biologis yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks ini. Dengan kawin, badan
jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram
perasaan tenang menikmati barang yang halal.
27
36
b. Nikah merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup
manusia serta memelihara nasab yang oleh Islam sangat diperhatikan.
c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam
suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaan-perasaan ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik
yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
d. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja karena
dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya, sehingga ia
akan banyak bekerja dan mencari penghasilan yang dapat
memperbesar jumlah kekayaan dan memperbanyak produksi.
e. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur
rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar, sesuai dengan
batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani
tugas-tugasnya.
f. Dengan pernikahan, diantaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga,
dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang oleh Islam direstui,
ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat yang saling menunjang
lagi saling menyayangi akan terbentuk masyarakat yang kuat dan
37
5. Usia Pernikahan Menurut Hukum Islam
Al-Quran secara konkrit tidak menentukan usia bagi pihak yang
akan melangsungkan pernikahan. Batasan hanya diberikan berdasarkan
kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam surat
an-Nisa’ ayat 6 : kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),‛ 28
Yang dimaksud dengan sudah cukup umur untuk menikah dalam
ayat di atas adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan
siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa
berjalan sempurna, jika dia belum mengurus harta kekayaan.
Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqaha dan ahli
undang-undang sepakat menetapkan seseorang diminta
bertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan
menetukan hidupnya setelah cukup umur (baligh). Baligh berarti sampai
atau jelas. Yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang
menjadi jelas baginya segala urusan/persoalan yang dihadapi. Pikirannya
28
38
telah mampu mempertimbangan/memperjelas mana yang baik dan mana
yang buruk. 29
Periode baligh adalah masa kedewasaan hidup seseorang.
Tanda-tanda mulai kedewasaan, apabila telah mengeluarkan air mani bagi
laki-laki dan apabila telah mengeluarkan darah haid atau telah hamil bagi
orang perempuan. Mulainya usia baligh secara yuridik dapat
berbeda-beda antara seorang dengan orang yang lain, karena perberbeda-bedaan
lingkungan, geografis, dan sebagainya. Batas awal mulainya baligh
secara yuridik adalah jika seorang telah berusia 12 tahun bagi laki-laki
dan berusia 9 tahun bagi perempuan. Sedangakn batas akhirnya para
ulama’ terdapat perbedaan pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah yakni
setelah seserang mencapai usia 18 tahun bagi laki-laki dan telah
mencapai usia 17 tahun bagi perempuan. Sedangkan kebanyakan para
ulama’ termasuk pula sebagaian ulama’ Hanafiyah yaitu apabila
seseorang telah mencapai usia 15 tahun baik bagi anak laki-laki maupun
anak perempuan.
Pada umumnya saat itulah perkembangan kemampuan akal
seseorang cukup mendalam untuk mengetahui antara yang baik dan yang
buruk dan antara yang bermanfaat dan yang memandlorotkan, sehingga
telah dapat mengetahui akibat-akibat yang timbul dari perbuatan yang
dilakukannya. Maliki, Syafi’i dan Hambali menyatakan timbulnya
29
39
bulu ketiak merupakan bukti baligh seseorang. Mereka juga menyatakan
usia baligh untuk anak laki-laki dan perempuan lima belas tahun.
Sedangkan Hanafi menolak bulu-bulu ketiak sebagai bukti baligh
seseorang, sebab bulu ketiak itu tidak ada bedanya dengan
bulu-bulu lain yang ada pada tubuh. Hanafi menetapkan batas maksimal usia
baligh anak laki-laki adalah delapan belas tahun dan minimalnya dua
belas tahun, sehingga usia baligh anak perempuan maksimal tujuh belas
tahun dan minimalnya sembilan tahun.
Islam memang tidak mengenal batas usia untuk menikah. Hal itu
dimaksudkan untuk menekan rasio nafsu syahwat serendah mungkin,
intregitas sosial, kemajemukan rasial dalam masyarakat muslim serta
meninggikan nilai keperawanan dan kemurnian seksual. Pembicaraan
tentang pernikahan biasanya dilakukan ketika pasangan itu masih usia
muda. Tapi penyempurnaan akad nikah dilakukan ketika pasangan itu
mencapai usia yang cocok untuk menikah baik fisik maupun psikis30.
Sebab bukan hanya remaja yang memasuki usia 14 atau 15 tahun
menurut kalender mereka telah dewasa secara mutlak, namun telah
dimaksudkan kepada kedewasaan mental. Memang secara fisik biologis
yang normal pada usia itu seorang pemuda atau pemudi telah mampu
mendapatkan keturunan tetapi dari segi psikologis remaja masih teramat
30 Hammudah ‘Abd Al ‘Ati, Keluarga Islam (The Family Structure In Islam), (Surabaya: PT Bina
40
jauh dan kurang mampu mengendalikan bahtera rumah tangga di
samudera kehidupan31.
Faktor kedewasaan yang mencakup fisik mental dan sosial perlu
mendapatkan perhatian seseorang sebelum melakukan pernikahan.
Sebab dalam pernikahan mereka diharapkan berkemampuan dalam
menghadapi dan menyelesaikan persoalan demi persoalan secara baik.
Kedewasaan akan memberikan daya guna dan perwujudannya cukup
dalam hal pertanggungan jawab dan kemasakan akal pikiran. Oleh
karena itu mereka yang telah dewasa diharapkan mampu bertindak dan
berhati-hati serta mempertimbangkan manfaat dan madharat dari suatu
tindakan atau perbuatan yang dilakukannya32.
Untuk menjaga terhadap kemungkinan terjadi suatu permasalahan
maka Islam menentukan beberapa tatanan tertentu:
a. Pernikahan di bawah umur itu tidak absah tanpa persetujuan dan
keikutsertaan orang tua dalam mengurusnya. Dalam hal itu, Islam
sependapat dengan prinsip agama atau sistem hukum lainnya, baik di
masa lampau maupun di zaman modern.
b. Islam tidak semata-mata melihat adanya jaminan dan tanggung jawab
orang tua atau wali dalam masalah ini, tapi lebih ditekankan pada
sikap orang tua atau waliyang dilengkapi dengan kualifikasi tertentu.
Yaitu, ada jaminan bahwa orang tua atau wali berniat baik serta
31
Hasan Basri, Merawat Cinta Kasih, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 75-76.
41
menjamin adanya keadilan serta kesadaran atas kebaikan pasangan di
bawah umur.
c. Sesuai dengan pandangan beberapa ulama ahli hukum Islam tetap
memberikan hak menentukan pilihan yang biasa dimiliki oleh calon
pengantin berusia dewasa , meskipun nyatanya ia masih berada di
bawah umur.
Di dalam Undang-undang pernikahan telah mengatur kedewasaan
dan kecakapan mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk
melakukan akad nikahnya dengan aturan batasan umur memakai angka
yang tegas kapan mereka dipandang sudah dewasa sehingga cakap
melakukannya. Sisi ini mendasarkan kepada kemaslahatan agar tujuan
pernikahan membentuk rumah tangga bahagia bisa dicapai33.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai sebagaimana dapat
dipahami dari ayat Al-Quran tersebut diatas secara jelas diatur dalam
UU Pernikahan pada Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat
(1) menyatakan bahwa ‚pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
mencapai umur 16 (enam belas) tahun‛. Ketentuan batas umur ini,
seperti disebutkan dalam Kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada
pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan.
Sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Pernikahan, bahwa
calon suami istri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat
42
mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian, untuk itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon
suami istri yang masih di bawah umur34.
Disamping itu, pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah
kependudukan. Ternyata batas umur yang rendah bagi seorang wanita
untuk menikah mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi35. Memang
pada waktu Undang-undang pernikahan dilahirkan, pelaksanaan program
keluarga berencana (KB) belum seperti sekarang ini. Pada waktu itu
orang berumah tangga masih mempunyai anak lebih dari tiga orang.
Sehingga dikhawatirkan akan padat penduduk Indonesia jika terjadi
pernikahan dengan umur yang sangat muda36.
Meskipun telah ditentukan batas umur minimal, melalui Pasal 7
ayat (2) tampak undang-undang memperbolehkan penyimpangan
terhadap syarat umur tersebut, bagi orang yang akan melakukan
pernikahan dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat
lain yang ditunjuk oleh kedua orang tuanya37.
Dewasa ini ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang
pemberian dispensasi terhadap pernikahan yang berlaku sejak
disyahkannya Undang-undang Pernikahan secara lengkap diatur di
dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 13 yang
mengatur prosedur pemahaman dispensasi bagi yang belum mencapai
34 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 76.
35 Ibid., 77.
36
Gatot Supramono, Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah, ( Jakarta: Djambatan, 1998), 17
37
43
umur minimum, yaitu apabila seorang calon suami belum mencapai
umur 19 tahun dan calon istri belum mencapai 16 tahun hendak
melangsungkan pernikahan harus mendapat dispensasi dari Pengadilan
Agama38.
Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan
mengadili serta memutuskan/menetapkan setiap perkara yang diajukan
kepadanya. Adapun perangkat Pengadilan Agama yang berwenang
menetapkan dispensasi kawin adalah hakim. Permohonan dispensasi
kawin ditujukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
kediaman pemohon. Dan dalam surat permohonan itu harus dijelaskan
alasan-alasan serta keperluan/maksud permohonan itu serta dengan siapa
rencana pernikahan termaksud.
Untuk mengetahui kelayakan calon memperlai yang akan
melangsungkan pernikahan di bawah umur, maka dilakuknlah persidangan
dengan acara singkat. Dalam penetapan dispensasi nikah, hakim
mempertimbangkan antara lain kemampuan, kesiapan, kematangan
pihak-pihak calon mempelai sudah cukup baik mental dan fisik. Hakim
menetapkan dispensasi nikah harus didasarkan atas pertimbangan yang
38
44
rasional dan memungkinkan untuk memberikan dispensasi nikah kepada
calon mempelai39.
39
Hakam Abbas, ‚Batas Umur Perkawinan Menurut Hukum Islam‛, Dalam
45
BAB III
PENYULUHAN PERNIKAHAN OLEH KUA NGAWEN
KABUPATEN BLORA TERHADAP PENCEGAHAN
PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR
A. KUA Ngawen Kab. Blora
1. Gambaran Umum KUA Ngawen
Kedudukan dan kondisi KUA Kecamatan Ngawen adalah unit
kerja yang melaksanakan sebagian tugas pokok Kementerian Agama
Kabupaten Blora dibidang Urusan Agama Islam. Sebagai salah satu unit
kerja dilingkungan Kementerian Agama Unit Kerja Kantor Wilayah
Kementerian Agama Propinsi, KUA merupakan salah satu Unit Kerja
Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blora berkedudukan di
Kecamatan Ngawen1.
Jumlah Desa di wilayah Kecamatan Ngawen adalah: Ngawen,
Punggursugih, Trembulrejo, Talokwohmojo, Plumbon, Bergolo,
Rowobungkul, Gondang, Sarimulyo, Sendangmulyo, Wantilgung,
Sambongrejo, Gedebeg, Kendayaan, Kedungsatriyan, Karangtengah,
Berbak, Gotputuk, Semawur, Bradag, Karangjong, Jetakwanger,
1