• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah-Istilah Kesenian Reog Di Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Istilah-Istilah Kesenian Reog Di Kabupaten Boyolali (Suatu Kajian Etnolinguistik)"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan Menempuh Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh : WITDAYATI

NIM C0104045

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa memiliki satu fungsi utama yaitu sebagai alat komunikasi. Bahasa sebagai alat komunikasi guna mengungkapkan pikiran, perasaan, dan keinginan. Dapat dinyatakan pula bahwa pada dasarnya bahasa merupakan alat atau sarana untuk komunikasi dalam anggota masyarakat pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan dan inventaris ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1984: 38).

Salah satu bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi dan alat pengembangan kebudayaan adalah bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan bagian dari bahasa yang ada di Nusantara, memiliki area pemakaian jumlah penutur yang amat besar jumlahnya. Adanya faktor area pemakaian jumlah penutur dan usia bahasa itu menunjukkan bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa yang besar dan mengalami sejarah yang cukup panjang. Di samping itu, bahasa Jawa merupakan bahasa yang dapat memberikan corak (variasi) dan carik (catatan) tersendiri. Corak dapat dimaksudkan dalam pemakaian (khususnya menyebutkan untuk istilah-istilah tertentu) memiliki kekhasan atau ciri-ciri tersendiri (dapat disebut variasi dialektal) pada masing-masing daerah pemakaian, maka ada penyebutan untuk daerah pemakaian bahasa Jawa dialek Banyumas, Pesisir, Surakarta, dan Jawa Timur (Uhlenbeck, 1972: 75). Sedangkan carik (catatan) dimaksudkan bahwa dalam penyebutan atau memberi istilah untuk nama-nama tertentu,

(3)

misalnya perlengkapan dalam kesenian reog. Setiap daerah tersebut memiliki ciri khas penyebutan berdasarkan penutur dan budaya setempat. Hal demikian oleh Harimurti Kridalaksana (1982: 42) disebutnya dengan istilah linguistik antropologi, di samping etnolinguistik.

Istilah “etnolinguistik” berasal dari kata „etnologi‟ berarti ilmu yang mempelajari tentang suku-suku tertentu dan „linguistik‟ berarti ilmu yang mempelajari seluk-beluk bahasa keseharian manusia atau disebut juga ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9),artinya ilmu yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini antropologi budaya). Menurut Adamson Hoebel (dalam Spradley, 1997: xvi) secara singkat menegaskan bahwa “The Foundation of cultural antropology is ethnography" dasar antropologi budaya adalah etnografi). James Spradley juga mengungkapkan bahwa “Etnographic field work is the hallmark of cultural antropology“ (Kajian lapangan etnografi yang berasal dari kata etno (bangsa) dan graph (tulisan). Etnologi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Etnolinguistik adalah suatu bidang linguistik yang menganalisis tentang hubungan kebudayaan dengan bahasa (kesenian reog merupakan salah satu hasil dari kebudayaan, sedangkan istilah merupakan hasil dari bahasa).

(4)

ada hubungannya antara bentuk (wadhah) dan isi (makna). Bentuk yang dimaksud adalah fisik yaitu yang dapat diamati dan bersifat kongkrit sebagai ekspresi yang diungkapkan seorang seniman. Sedangkan isi (makna) adalah bentuk ungkapan, yaitu nilai-nilai atau pengalaman jiwa yang dituangkan dalam bentuk fisik sehingga dapat dinikmati oleh penikmat (penonton).

Seni reog merupakan bentuk fisik yang mempunyai makna tertentu. Sajian pertunjukan reog menampilkan tema tertentu. Temanya adalah keprajuritan yaitu sekelompok prajurit yang sedang berlatih perang. Karena pertunjukan reog merupakan bentuk tari yang bertema dan bukan bercerita, maka tidak ada nama-nama tokoh didalamnya. Nama-nama-nama peran pada tari reog diambil dari nama-nama peralatan yang digunakan peran tersebut. Sebagai contoh peran yang menggunakan jaran kepang disebut jaran kepang dan peran yang menggunakan topeng penthul-tembem disebut penthul-tembem.

Seni reog sebagai khasanah budaya Jawa yang mampu bertahan dalam era globalisasi ini, karena seni reog banyak digemari dan diminati oleh masyarakat. Bentuk sajian tari dalam reog terkandung nilai-nilai tertentu yang dapat digunakan sebagai tuntunan bagi masyarakat sekitar selain bentuk sajian tari, seni reog juga terdapat alat musik pengiring dan lagu, alat busana, dan perlengkapan lainnya yang mengandung makna kultural. Seni reog dapat disajikan dalam berbagai acara seperti sarana upacara bersih desa, upacara pernikahan, upacara penebus janji

(5)

dari kesenian reog itu adalah (a) reog disajikan dalam bentuk sendra tari; (b) reog berfungsi sebagai penggerak massa; (c) mengandung ilmu mistik; (d) memiliki lagu-lagu khusus; (e) dapat dimainkan di manapun pada saat apapun dan dalam upacara apapun. Sedangkan ciri khas dari kesenian reog adalah: (1) pakaian daerah yang berwarna hitam; (2) semua pemain harus pria; (3) penari kuda kepang harus anak laki-laki yang manis yang biasa disebut dengan gemblakan; (4) menggunakan gamelan khusus seperti angklung, ketipung, kendhang, gong, bonang dan sebagainya. (Hartono, 1980: 12).

Berdasarkan latar belakang tersebut istilah dalam seni reog yang disertai perkembagannya dapat dikaji secara etnolinguistik, karena dapat ditemukan proses terbentuknya kebudayaan dan keterkaitannya dengan bahasa. Penelitian yang berkaitan dengan kesenian tradisional yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Noer Istoening, 1995 yang berjudul “Kesenian Tradisioanal Daerah di Kabupaten Wonogiri sebagai Paket Wisata“, yang mengkaji kesenian tradisional daerah secara global yang ada di Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini mengkaji tentang berbagai bentuk kesenian tradisional daerah seperti ketoprak, wayang kulit, dan seni tari tradisional. Perkembangan kesenian tradisional daerah berdasarkan kesamaan fungsinya latar belakang budaya dan sumbangan kesenian tradisional daerah terhadap sektor pariwisata di Kabupaten Wonogiri.

(6)

oleh Yohanes Suwanto, Dkk. (1999), dalam penelitian ini mengkaji tentang berbagai istilah alat-alat rumah tangga baik yang bersifat tradisional yang mengalami perubahan modern, berdasarkan kesamaan fungsional dan latar belakang budaya yang mempengaruhi pergeseran pengumuman istilah alat-alat rumah tangga.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Margono dan Sudarsana, (2002) dengan judul “Kesenian Reog Tradisional, Sebuah Kajian Seni Pertunjukan Rakyat Mengenai Fungsi dan Keberadaannya pada Masa Kini di Desa Kalikebo Kabupaten Klaten”. Penelitian ini merupakan kajian reog yang bersifat holistik yang menekankan aspek sejarah dan latar belakang keberadaannya, persepsi di masyarakat serta persepsi para pemain reog, makna, dan fungsi reog .

4. Penelitian oleh Yuliana Sylvina Maharani, 2003 dengan judul “Festival Reog Nasional sebagai Atraksi Wisata di Ponorogo Jawa Timur". Penelitian ini mengkaji tentang peranan festival reog nasional dalam upaya melestarikan kebudayaan asli sebagai even pariwisata Kota Ponorogo. Festival reog nasional yang diselenggarakan sebagai atraksi wisata budaya merupakan rangkaian dari penyelenggaraan perayaan grebeg Sura dan peringatan hari jadi Kabupaten Ponorogo yang dijadikan sebagai even pariwisata untuk menarik minat masyarakat terhadap kesenian dan Kota Ponorogo sendiri.

(7)

gerakan tari klasik gaya Surakarta. Penelitian tersebut membahas jenis istilah, perkembangan dan kesamaan bentuk dari istilah gerak tari.

(8)

B. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini membatasi pada istilah-istilah yang ada pada satu jenis seni pertunjukan rakyat yaitu kesenian reog. Adapun batasan masalah tersebut terdapat pada istilah-istilah dari dalam seni reog yang meliputi alat musik pengiring dan lagu, busana dan peralatan untuk pemainnya serta peralatan sesajian.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah seperti di atas masalah yang akan dikaji dapat dirumuskan seperti sebagai berikut.

1. Istilah-istilah apa sajakah yang terdapat dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali?

2. Apakah makna istilah-istilah kesenian reog di Kabupaten Boyolali? 3. Bagaimana fungsi kesenian reog di Kabupaten Boyolali ?

D. Tujuan Penelitian

Dari perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

(9)

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini di bedakan menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap teori linguistik khususnya etnolinguistik.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bentuk dokumentasi budaya Jawa. Pendokumentasian istilah-istilah dalam kesenian reog dilakukan supaya dapat diketahui oleh generasi mendatang dan dapat ditampilkan kembali. Oleh karena itu, pendokumentasian adalah langkah awal terpenting dalam setiap usaha-usaha pelestarian unsur-unsur kebudayaan Jawa.

b. Memberikan wawasan pengetahuan di bidang kebahasaan yang berkaitan dengan budaya khususnya dalam kesenian reog.

c. Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.

d. Sebagai usaha pelestarian dan pemerkahan kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

F. Sistematika Penulisan

(10)

Bab I Pendahuluan, bab ini meliputi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II Landasan teori, bab ini meliputi istilah dan kesenian, sejarah dan latar belakang kesenian reog di Kabupaten Boyolali, kesenian reog sebagai seni pertunjukan rakyat, makna, stuktur, dan etnolinguistik.

Bab III Metode penelitian, bab ini berisi tentang sifat penelitian, lokasi penelitian, data, sumber data, populasi, sampel, metode pengumpulan data, metode analisis data dan metode penyajian data.

Bab IV Hasil analisis data, dan pembahasannya, bab ini merupakan hasil analisis dari pembahasan bentuk dan makna dari istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali serta fungsinya.

Bab V Penutup, bab ini berisi kesimpulan dan saran.

BAB II

KAJIAN TEORETIK

Kajian teoretik di sini maksudnya adalah dasar atau landasan yang bersifat teoretik yang relevan dengan pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Konsep-konsep teoretis yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut.

(11)

Istilah (term) adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (Kridalaksana, 1982: 67). Di samping itu, dalam Poerwadarminta (1976: 388) menjelaskan bahwa istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti tertentu di lingkungan sesuatu ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian.

Menurut S. Prawiroatmojo dalam kamus Bausastra Jawa (1993: 287) istilah yaitu “tembung (tetembungan) sing mengku teges, kaanan, sipat, lan sapiturute sing

mirunggan ing babagan tartamtu” kata yang mengandung makna, keadaan, sifat,

dan sebagainya yang khusus pada bagian tertentu. Berdasar penertian tersebut tidak menutup kemungkinan apabila satu kata atau gabungan kata dapat berbeda arti namun dapat juga sama arti pada bidang tertentu. Misalnya kata barongan

"sejenis topeng yang berwujud kepala harimau" dan pembarongan, “orang yang menggunakan barongan". Dari contoh kata itu menunjukkan bahwa istilah adalah kata atau gabungan kata yang mempunyai arti dan maksud tertentu dalam suatu bidang tertentu.

Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang cukup penting dalam kehidupan masyarakat. Kesenian adalah suatu keindahan/estetika yang mewujudkan nilai rasa dalam arti luas. Kedwisatuan manusia yang terdiri atas budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai dengan akal murni saja. Adanya kecenderungan bahwa manusia itu dapat menerima suatu keindahan yang salah satunya adalah kesenian (Bakker, 1994: 47). Suatu kesenian sebenarnya merupakan bentuk lahiriah dari suatu ide seorang pencipta seni budaya yang dapat ditangkap dengan pancaindera. Salah satu bentuk

(12)

kesenian yang dapat ditangkap dengan pancaindera adalah seni pertunjukan reog. Seni pertunjukan reog ini memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia (Soedarsono, 1985). Adapun fungsi itu sebagai hiburan, pertunjukan, dan sarana ritual.

Secara etimologis reog berasal dari kata reg dan yod yang berdasarkan pada akar kata dalam bahasa Jawa disebut tembung wod kang dadi oyode (satu kata yang mempunyai satu kata atau paling mendasar dan mengandung arti

berguncang). Dalam ensiklopedi Indonesia, reog sama dengan kepang atau penari yang meniru seseorang mengendarai kuda, yang diartikan sebagai tarian naik kuda lumping/kuda kepang. Oleh karena itu, reog berarti pertunjukan sejenis jathil (padha nunggang kuda) (Poerwadarminta, 1939: 527).

Yang dimaksud dengan seni reog adalah suatu seni tarian pertunjukan rakyat dengan menampilkan tarian kuda kepang dan tokoh-tokoh yang bertopeng dan setidaknya ada elemen seperti barongan, penthul, tembem, yang berfungsi sebagai hiburan rakyat. Menurut Pigeaud (1991: 347), tarian kuda yang dimaksud adalah pertunjukan orang yang mengapit anyaman yang terbuat dari bambu atau kulit dengan meniru bentuk kuda.

B. Sejarah dan Latar Belakang Kesenian Reog di Kabupaten Boyolali Di Desa Glonggong berkembang sebuah cerita rakyat yang berkaitan erat dengan asal-usul kesenian reog. Menurut cerita yang berkembang dalam

(13)

bernama Samudra melakukan ritual “tapa nggethek“ (naik rakit) menelusuri

Sungai Cemara (Sungai Glonggong). Kebetulan rakit terbentur pada batu yang besar sehingga rakit tidak bisa berjalan. Pada akhirnya berhentilah sang pangeran untuk melanjutkan ritualnya dan bertapa di suatu gundhukan (tanah perbukitan), dan dalam melakukan ritual itu diikuti seorang abdi untuk mengurus perbekalan, pakaian, dan titihannya kudanya. Sementara waktu bertapa sampailah hari terakhirnya yaitu wafat. Tak bisa menceritakan bagaimana kehidupan di perbukitan tadi. Abdi dan titihan sang pangeran dan kudanya meninggal. Abdi, kuda, dan pakaiannya di kubur di bukit tersebut, tetapi sang pangeran Samudra dibawa ke keraton dan dimakamkan di Ayodyakarta (sekarang Yogyakarta). Oleh para penduduk masyarakat, tempat yang digunakan untuk bertapa sang pangeran dan mengubur abdi, kuda (tunggangan) dan pakaiannya dinamakan puncak suci. Puncak suci ini sampai sekarang dikeramatkan oleh para penerus sejarah,

khususnya warga desa Glonggong. Tempat itu mempunyai makna tersendiri. Untuk mengenang hal tersebut maka para sesepuh membuat suatu pertanda atau seni yaitu jaran kepang (kuda kepang) dan dinamakan seni jaran kepang yang mempunyai makna yaitu :

- Jaran (kuda) sebagai tunggangan sang pangeran. - Kepang (anyaman bambu) sebagai getek.

- Pemain kuda kepang sebagai abdi

- Pakaian hitam-hitam sebagai busana yang dikubur di puncak suci.

(14)

sekarang dikembangkan oleh seorang tokoh masyarakat dan juga tokoh ritual (juru kunci) puncak suci tadi bernama Bapak Mulyono. Jadi, seni reog jaran kepang yang terdiri dari pemain jaran kepang, pemain dhadak merak dan

(barongan), pemain penthul tembem, dan sebagainya. Oleh para leluhur seni tadi supaya bisa hidup dan berpengaruh, pelaksanaanya menggunakan ritual adat sehingga kuda kepang tadi benar-benar bisa bergerak/berlaga seperti tingkah laku kuda. Untuk melakukan ritual adat tersebut diperlukan berbagai peralatan yang digunakan seperti :

1. Pakaian hitam-hitam bermakna seni bisa hidup jika menggunakan ritual adat daerah. Selain ini kepala menggunakan udheng (ikat kepala) seperti yang digunakan sang Pangeran Samudra

2. Kembang setaman mempunyai makna sarana untuk berdoa. 3. Rujak degan bermakna agar semua pemain bisa sehat dan segar.

4. Menyan cina mempunyai maksud untuk mengundang roh halus yang dibutuhkan.

5. Gamelan sebagai aba-aba dan pengatur gerak para pemain.

Seni jaran kepang ini sampai sekarang masih berfungsi dan dikenal dengan seni reog. Kesenian reog difungsikan sebagai media upacara pernikahan, upacara bersih desa, upacara penebus janji (nadzar) dan sebagainya.

(15)

pertunjukan orang yang mengapit anyaman yang terbuat dari bambu atau kulit dengan meniru bentuk kuda.

C. Kesenian Reog sebagai Seni Pertunjukan Rakyat Kesenian reog merupakan salah satu seni pertunjukan rakyat yang dikategorikan sebagai kesenian rakyat. Sebagai kesenian rakyat seni reog juga disebut sebagai kesenian daerah atau kesenian tradisional. Dalam

perkembagannya seni rakyat ini yang disebut seni tradisi kecil karena seni rakyat berada di luar wilayah keraton bukan seni tradisi-tradisi besar yang merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di lingkungan keraton.

Sebagai seni pertunjukan, seni reog masih bersifat kontekstual dan masih dipentaskan hingga sekarang ini. Ada dua alasan penting kesenian

rakyat/tradisonal masih dipertunjukkan. Pertama seni pertunjukan rakyat masih berkaitan dengan mitos (pandangan hidup) dari satu etnik tertentu, dan kedua kesenian rakyat justru bersifat dinamik dan kreatif melalui pertunjukan yang dilakukan secara spontan dan komunikatif.

(16)

alat-alat musik yang biasa digunakan antara lain: angklung, ketipung, kendhang, gong, bonang, saron serta terompet (Hartono, 1980: 20)

Kesenian rakyat yang di dalamnya kesenian reog, pada umumnya memiliki ciri-ciri antara lain: 1) berfungsi sosial dan bukannya komersial, 2) keberadaanya dilestarikan bersama, 3) menuntut spontanitas, 4) bentuk gerakan sederhana, 5) ringan irama dinamis dan cenderung cepat, 6) jarang membawakan lakon, 7) jangka waktu tergantung gairah penari, 8) tata rias dan busana sederhana, 9) sifat cenderung humoris, 10) tempat terbentuk arena, dan 11) temanya adalah berkisar pada kehidupan rakyat.

Dalam kelangsungan hidup seni rakyat seperti juga seni reog didukung oleh kelompok masyarakat yang bersifat homogen namun menunjukkan sifat

solidaritas yang nyata, yang dalam hal ini berada dalam masyarakat desa atau pedalaman. Sebagai seni rakyat ia memiliki bentuk tunggal dan bukannya bentuk yang beragam, tidak halus dan tidak rumit seperti seni keraton. Di samping itu, penguasaan terhadap bentuk-bentuk dalam kesenian rakyat dapat dicapai tanpa melalui latihan khusus. Kesenian ini biasanya disertai peralatan yang sederhana dan terbatas. Dalam bentuk penyajian seni rakyat memiliki ciri-ciri yang akrab dengan penonton, sehingga penonton sewaktu-waktu dapat memasuki lokasi pertunjukan dan bertindak sebagai pemain.

(17)

perkawinan, kitanan, bersih desa, dan ruwatan. Aspek-aspek perilaku sosial ini bukanlah perkembangan untuk memuaskan kebutuhan individu, melainkan justru mempertahankan struktur sosial masyarakat.

D. Makna

Dalam semantik pengertian sense„makna‟ dibedakan dalam meaning„arti‟, sense „makna‟ adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Menurut Lyons (1977: 204) menyebutkan bahwa mengkaji dan memberikan makna suatu kata ialah memahami kajian kata tersebut yang berkenaan dengan hubungan makna yang membuat kata-kata tersebut berbeda dari kata-kata lain, sedang „meaning‟ menyangkut makna kata leksikal dari kata-kata itu sendiri, yang cenderung terdapat dalam kamus sebagai leksikon (Fatimah Djajasudarma, 1993: 5). Makna erat kaitannya dengan semantik, oleh karena itu istilah-istilah dalam kesenian reog dilihat dari segi makna leksikal dan makna kultural. Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem (Chaer, 1994: 7). Leksem merupakan satuan leksikal abstrak, mendasari berbagai bentuk inflektif suatu kata atau frase yang merupakan satuan bermakna, satuan terkecil dari leksikon

(18)

benda keramat yang menunjukkan suatu sifat yang terpuji, berwibawa, dan dicintai.

Makna kultural diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol adalah objek atau peristiwa apapun yang merujuk pada sesuatu. Simbol itu sendiri meliputi apa saja yang dapat kita rasakan atau kita alami. Simbol yang dimaksud dalam penelitian ini adalah istilah-istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

E. Struktur 1. Monomorfemis

Monomorfemis terjadi dari suatu morfem. Morfem (morpheme), merupakan satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil, misalnya, (tulis, jalan). (Harimurti Kridalaksana, 1993: 140). Menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna dan kategori jelas, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis

(19)

Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar dalam istilah-istilah dalam kesenian reog dapat dikatakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan. Dengan kata lain, subyeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun, belum diulang dan belum

digabungkan atau dibentuk menjadi kata majemuk.

2. Polimorfemis

(20)

bukan menuruti arti yang terkandung pada masing-masing kata yang mendukungnya.

3. Frase

Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Djoko Kentjono, 1982: 57). Frase seperti dengan kata, frase dapat berdiri sendiri. Frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya, baik semua unsurnya maupun salah satu dari unsurnya, disebut frase

endosentrik, dan frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan semua unsurnya disebut frase eksosentrik (Ramlan, 2001: 141). Contoh frase

kaos loreng, kembang setaman, rujak degan, gedhang raja, dhadhak merak,

jaran kepang, jaran ngedan, celeng ngedan, udheng jilidan, udheng

modhang.

F. Etnolinguistik (Ethnolinguistics)

1. Pengertian Etnolinguistik

(21)

masalah relativitas bahasa (Harimurti Kridalaksana, 1982: 427). Relativitas bahasa adalah salah satu pandangan bahwa bahasa, seorang menentukan pandangan dunianya melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantik yang ada dalam bahasan itu dan yang dikreasi bersama kebudayaannya (Harimurti Kridalaksana, 1982: 3) istilah „etnolinguistik‟ berasal dari kata 'etnologi' dan 'linguistik', yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi (kini: antropologi budaya) dengan pendekatan linguistik. Dalam studi semacam ini sebenarnya terjadi hubungan timbal-balik yang menguntungkan antara disiplin linguistik dengan disiplin etnologi, yaitu (a) kajian linguistik yang memberikan

sumbangan bagi etnologi.

a. Kajian Linguistik untuk Etnologi 1. Bahasa dan Struktur Pemikiran

(22)

menampilkan kini menjadi sebuah spesialisasi yang disebut antropologi kognitif (cognitive anthropology)

Kajian ini pertama-tama memutuskan perhatian pada dimensi semantik dan berbagai istilah yang ada dalam suatu domain 'bidang' dalam suatu kebudayaan. Misalnya saja bidang kekerabatan, bidang klasifikasi tanaman, atau bidang penelitian kemudian menyusun sebuah kerangka klasifikasi yang ditemukan dengan lebih mudah dan jelas. Secara tidak langsung, kerangka klasifikasi yang ditemukan yang merupakan suatu struktur ini mencerminkan struktur yang ada dibalik berbagai istilah yang ada dalam suatu bidang yang teliti, dan ini dianggap juga mencerminkan struktur yang ada dalam pemikiran manusia, walaupun belum atau bukan merupakan keseluruhan struktur.

Hal ini, dengan istilah-istilah dalam kesenian reog di

Kabupaten Boyolali yang mengandung makna-makna kultural yang mencerminkan struktur pemikiran masyarakat Jawa, misal saja istilah kata "epek timang" [EpE? timaG] yang oleh masyarakat Jawa

digambarkan sebagai suatu perlambang bahwa sebenarnya seni budaya Jawa mempunyai suatu keunggulan yang dari hati sanubari para leluhur yang melekat pada jiwa para trah kusuma (keturunan para ratu).

2. Bahasa dan Cara Memandang Kenyataan

(23)

pendukung bahasa yang kita teliti, artinya kita dapat mengetahui dimensi-dimensi kenyataan mana yang mereka anggap penting dan relevan dalam kehidupan mereka, dan dari sini kita dapat mengetahui tempat unsure kenyataan tertentu dalam kehidupan mereka.

Bagi orang Jawa, pemakaian kata-kata itu sendiri memang lantas terkait dengan berbagai macam hal yang ada dalam budaya mereka. Misalnya, dalam kesenian reog terdapat istilah jathilan. Seorang pemain jathilan tidak akan dianggap hebat jika orang bilang dia bisa „mangan sega‟atau „mangan beras‟ (dalam bahasa Inggris „eat rice‟). Lain halnya jika orang bilang dia bisa „mangan pari‟ atau „mangan gabah‟ (dalam bahasa Inggris tetap „eat rice‟), sebab tidak

semua orang mampu makan padi atau gabah. Oleh karena itu, jika kita ingin mengekspresikan “Seorang pemain jathilan mampu makan gabah dengan cepat tanpa luka” dalam bahasa Inggris, mungkin kita akan sedikit mengalami kesulitan, karena dalam bahasa ini tidak ada pembedaan antara gabah, beras, dan nasi. Fakta ini setidak-tidaknya memperlihatkan pada kita bahwa kenyataan yang sama tidak selalu dilihat dengan cara yang sama.

BAB III

(24)

Metode penelitian merupakan cara, alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis suatu fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah penentuan sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto, 1992: 31).

Dalam metode penelitian akan dijelaskan mengenai delapan hal, yaitu: (1) sifat penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) data, (4) sumber data, (5) populasi, (6) sampel, (7) metode pengumpulan data, dan (8) metode analisis data.

A. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif artinya data yang dianalisis dan hasilnya berupa deskriptif fenomena bukan angka (Aminudin, 1990: 16). Dengan kata lain penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya, sehingga menghasilkan catatan berupa pemberian bahasa dan sifatnya seperti potret (Sudaryanto, 1993: 62).

(25)

penelitian ini data yang terkumpul berbentuk kata-kata. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan data kebahasaan terutama mengenai istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau objek penelitian. Adapun lokasi penelitian ini ada di wilayah Boyolali, yaitu lebih tepatnya di desa Glonggong, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali. Penulis mengambil lokasi ini sebagai lokasi objek penelitian karena merupakan salah satu wilayah Jawa yang masih melestarikan kebudayaan Jawa, terutama di bidang kesenian yaitu kesenian pertunjukan rakyat khususnya kesenian reog. Sehingga secara pasti pemilihan lokasi yang tepat juga sangat mendukung dalam proses penelitian.

C. Data

(26)

D. Sumber Data

Sumber data lisan dalam penelitian ini berasal dari informan terpilih yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Sumber yang berasal dari informan berupa tuturan yang mengandung istilah-istilah yang dipakai dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

Adapun kriteria informan adalah: a. Pemain reog

b. Penduduk asli daerah setempat c. Memahami bahasa dan budaya Jawa d. Berumur 25-70 tahun dan belum pikun e. Memiliki alat ucap sempurna

f. Alat pendengaran yang normal

g. Memiliki waktu yang cukup untuk wawancara h. Bisa berbahasa Indonesia secara aktif

Adapun informan yang dimaksud adalah sebagai berikut : a. Bapak Mulyono, tetua masyarakat desa Glonggong. b. Bapak Sutarno, pemimpin reog.

c. Bapak Sumeh, penyanyi dalam reog.

d. Bapak Sariman, pengrawit alat musik pengiring. e. Bapak Sulasman pemain jaran kepang.

f. Bapak Suratno, pemain celeng.

g. Bapak Jumirin, peman penthul-tembem.

(27)

i. Saudara Sulur, 37 tahun, penonton

j. Saudara Sayekti, S.Pd.I., 30 tahun, penonton.

Sedangkan sumber data tulis dalam penelitian ini berasal dari referensi buku, diantaranya adalah:

1. Reog Ponorogo (Untuk Perguruan Tinggi). (Hartono: 1980).

2. Reog Ponorogo Menari di Antara Dominasi dan Keragaman.

(Muhammad Zamzam Fauzanafi: 2005).

3. Kesenian Reog Tradisi Sebuah Kajian Seni pertunjukan Rakyat mengenai Fungsi-fungsi dan Kebudayaan pada Masa Kini Desa Kalikebo

Kabupaten Klaten. (Margono, Sudarsono: 2002).

E. Populasi

Dalam penelitian linguistik populasi pada umumnya adalah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa (Subroto, 1992: 32). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

F. Sampel

(28)

reog di Kabupaten Boyolali, misalnya : gong, angklung, trompet, saron, barongan, dhadhak merak, kembang setaman, sega golong, dan sebagainya.

G. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisa, dan menjelaskan suatu fenomena. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak atau penyimakan atau metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Sebagai teknik dasarnya, teknik sadap. Caranya dengan segenap kemampuan dan pikiran penyadap pemakaian bahasa di masyarakat sekitar. Teknik ini dipakai untuk mendapatkan data dari informan secara spontan dan wajar.

Teknik sadap digunakan bersama-sama dengan teknik rekam yaitu menyada dan merekam pemakaian istilah-istilah yang ada dalam kesenian reog secara spontan. Fungsinya: (1) untuk mengabadikan data dari hasil wawancara dan informan, (2) untuk mendapatkan data sesuai dengan tujuan penelitian, (3) merekam pengucapan secara wajar terhadap satuan lingual yang terlepas dari konteks/kalimat, (4) mempermudah memberikan bentuk satuan lingual yang di teliti, maknanya dan fonetisnya. Penelitian juga menggunakan teknik kerja sama dengan informan atau wawancara. Informan yang diwawancarai adalah penutur asli yang berkemampuan memberi informasi kebahasaan kepada peneliti yang merencanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai dengan tujuan penelitian.

(29)

dari sumber tertulis seperti: majalah, buku, artikel, dan buku paket berbahasa Jawa dan sebagainya untuk mendapatkan data. Teknik selanjutnya, teknik catat yaitu memperoleh data kebahasaan atau istilah-istilah yang relevan sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian. Jadi hal-hal yang penting dalam wawancara tersebut dicatat sebagai realisasi dari teknik catat.

Setelah melewati beberapa teknik lanjutan kemudian data yang sudah ditranskripsikan dalam bentuk data dan di klasifikasikan dalam bentuk analisis. .

H. Metode Analisa Data

Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode distribusional dan metode padan. Kedua metode ini digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data.

1) Metode Distribusional

Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya adalah unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Metode distribusional digunakan untuk menganalisis bentuk dari istilah kesenian reog tradisi.

(30)
(31)

Adapun penerapan metode distribusional adalah sebagai berikut. 1. Alat musik pengiring.

→ Bentuk Monomorfemis (satuan morferm) a. kendhang(k|nDaG)„kendang‟

b. trompet(trompEt)„terompet‟

c. gong (gOG)„gong‟

d. angklung(aGklUG)„angklung‟

2. Alat-alat untuk pemain.

→ Bentuk Monomorfemis (satu morfem) a. topeng [topEG] „topeng‟ b. pecut [p|cUt] „pecut‟

→ Bentuk polimorfemis (lebih dari satu morferm) a. barongan [baroGan] „barongan‟

Bentuk Frase (terdiri dari dua/lebih kata)

a. dhadhak merak [DaDa? m|ra?] „dhadhak merak‟ b. jaran kepang [jaran kepaG] „kuda kepang‟

3. Alat-alat untuk sesajian.

Bentuk Frase (terdiri dari dua/lebih kata)

a. gedhang raja (g|DaG rOjO)

b. kembang setaman [k|mbaG s|taman] „bunga setaman‟

(32)

2) Metode Padan

Metode padan yaitu analisis data dengan alat penentunya di luar bahasa yang merupakan konteks sosial terjadinya peristiwa penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Metode ini digunakan untuk menganalisis dari makna kata dari istilah dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali. Dalam penelitian ini analisis data bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa dalam istilah dalam kesenian reog tradisional. Adapun penerapan metode padan seperti sebagai berikut.

a. Pecut [p|cUt] adalah seutas tali yang terbuat dari bambu atau rotan. Makna cultural dari pecut ini adalah dipergunakan untuk menggerakkan para pemain agar selalu bersemangat dan tidak mudah putus asa atau menyerah. Selain itu pecut juga digunakan untuk mengundang dan mengembalikan roh halus sehingga roh halus yang dibutuhkan dapat dikendalikan dengan pecut.

(33)

c. Trompet [trompEt] adalah salah satu alat musik dalam kesenian reog yang berfungsi sebagai pembawa lagu/melodi dan aba-aba sebelum gamelan dimainkan, makna kulturalnya adalah bunyi yang merupakan suatu perintah yang harus ditaati. Terompet di sini dipercaya dapat membakar semangat dan mengorbankan jiwa juang.

d. Gong [gOG] berbentuk seperti bonang tapi dalam ukuran yang lebih besar berfungsi sebagai bas yang dipukul bersamaan dengan bonang pada pukulan genap. Makna kulturalnya adalah menggambarkan komando yang menggugah semangat tempur dengan bunyi gong tersebut.

e. Angklung [aGklUG] adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara di getarkan. Makna kultural dari angklung adalah sebagai simbol kegirangan hati rakyat.

f. Dhadhak merak [Dada? m|ra?] artinya peralatan utama dalam reog yang artinya burung merak yang berada di atas kepala harimau. Adapun makna kulturalnya adalah menggambarkan sifat yang terpuji, berwibawa, dan dicintai.

g. Barongan [baroGan] adalah barong tiruan atau kepala harimau yang mempunyai makna kultural menggambarkan perawatakan yang kokoh, tenang, waspada, dan terampil dalam bergerak.

(34)

i. Rujak degan [ruja? d|gan] adalah peralatan dalam sesajian yang terdiri dari kelapa muda yang dibikin rujak. Makna kulturalnya adalah agar kekuatan batiniah itu bisa bergerak dengan segar.

j. Menyan cina [m|¥an cinO] merupakan peralatan yang digunakan dalam sesaji. Makna kulturalnya adalah aroma atau bau menyan cina yang dibakar itu digunakan untuk memanggil roh halus yang dibutuhkan untuk memberikan kekuatan ghoib sesuai dengan permintaan.

k. Jaran kepang [jaran kepaG] adalah alat yang terbuat dari anyaman bambu yang bentuknya seperti kuda. Makna kulturalnya adalah sebagai lambang ilmu kebatinan.

3). Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif, formal dan informal. Metode deskriptif adalah metode yang semata-mata hanya berdasarkan fakta-fakta yang ada atau fenomena-fenomena secara empiris hiduppada penutur-penuturnya (Sudaryanto, 1993: 63)

(35)

yaitu gambar dokumentasi foto saat pengambilan foto pertunjukan reog dalam acara perayaan kemerdekaan di Desa Glonggong, pada peringatan HUT Kabupaten Boyolali di lapangan Nogosari, acara perayaan Idul Fitri.

BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan pada masalah penelitian, maka analisis data ini

dideskripsikan bentuk, makna leksikal dan makna kultural, fungsi pertunjukan kesenian reog bagi masyarakat, dan para pemain kesenian reog di Kabupaten Boyolali.

A. Bentuk Istilah dalam Kesenian Reog

Berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis yang dilakukan, ditemukan bentuk istilah alat musik pengiring, peralatan untuk permain, busana atau kostum yang dipakai, pemain, lagu dan tarian, dan sesajian.

1. Monomorfemis

(36)

berdiri sendiri, bermakna dan tidak terikat dengan morfem lain. Dengan kata lain, kata tersebut belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat

tambahan apapun, belum diulang, dan belum digabungkan. Adapun istilah yang termasuk bentuk monomorfemis adalah sebagai berikut.

1.

(37)

Alat Musik Pengiring (Gamelan) 1.1 Gong [gOŋ]

(Minggu,26 Oktober 2008)

Gong [gOŋ] adalah seperti kethuk bonang tetapi dalam ukuran yang besar, berfungsi sebagai bas dipukul bersamaan dengan bonang pada pukulan genap.

1.2 Angklung [aGklUG]

(Minggu,26 Oktober 2008)

Angklung [aGklUG] adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara digetarkan berfungsi sebagai ritmis dan berfungsi sebagai pengiring di sela-sela bonang.

1.3 Bonang [bonaG]

(38)

Bonang [bonaG] adalah alat musik pukul berbentuk bulat dengan tonjolon di tengahnya.

1.4 Kendhang [kənDaŋ]

(Senin, 18 Agustus 2008)

Kendhang [kənDaŋ] adalah alat musik perkusi yang berfungsi sebagai aba-aba saat dimulainya gending dan berfungsi sebagai pengiring gerakan juga pengendali irama.

1.5 Ketipung [k|tipUG]

(Senin, 18 Agustus 2008)

(39)

1.6 Trompet [trompEt]

(Kamis, 05 Juni 2008)

Trompet [trompEt] adalah salah satu alat musik dalam kesenian reog yang berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi dan aba-aba sebelum gamelan dimainkan.

1.7 Saron [sarOn]

(Kamis, 05 Juni 2008)

Saron (sarOn) adalah alat yang terbuat dari kuningan, cara membunyikannya dengan ditabuh atau dipukul.

2. Peralatan untuk permainan

(40)

2.1 Topeng(topEG)

(Kamis, 05 Juni 2008)

Topeng (topEG) adalah aling-aling atau tutup wajah yang dibuat dari kayu, dan dibentuk menurut kreasi budaya daerah yang ada.

2.2 Pecut(p|cUt)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Pecut(p|cUt) adalah alat yang dibuat dari penjalin (bambu atau rotan) yang diberi upat-upat benang warna merah putih. Pecut biasa digunakan oleh pawang untuk mengendalikan pemain jaran kepang.

2.3 Celeng(cElEG)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

(41)

2.4 Penthul (p|nTUl)

(Kamis, 05 Juni 2008)

Penthul (p|nTUl) adalah topeng yang bentuknya beraneka ragam, dibentuk sesuai dengan kreasi masyarakat daerah yang ada. Penthul

biasa digunakan untuk membuat suasana pertunjukan reog semakin meriah dan semarak.

2.5 Tembem (t|mb|m)

(Kamis, 05 Juni 2008)

Tembem(t|mb|m) adalah topeng yang menyerupai wanita dan pria.

Tembem ini terbuat dari kayu yang dibentuk seperti wajah seorang wanita dan pria, yang fungsinya sama dengan penthul yaitu menambah meriahnya pertunjukan reog.

(42)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Keris (k|rIs) adalah alat yang terbuat dari yang dibentuk dengan luk (lekuk-lekuk). Bentuknya berlekuk-lekuk dari ukuran besar kemudian semakin kecil sampai ujung keris dengan bentuk tumpul.

3. Busana (kostum)

Busana atau kostum yang dipakai dalam kesenian reog di kabupaten Boyolali sebagai berikut.

3.1 Ancinco(ancinco)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Ancinco(ancinco) adalah busana yang dipakai para pemain baik atasan (baju) atau bawahan (celana), semua berwarna hitam-hitam.

(43)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Udheng(uD|G) adalah iket yang dipakai untuk menutup kepala. Udheng

ini berupa kain yang bercorak batik dengan berbagai warna. 3.3 Sampur(sampUr)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Sampur (sampUr) adalah selendang yang diikatkan di pinggang dan kedua ujungnya terulur dengan berbagai warna, biasanya dengan warna yang cerah.

3.4 Jarik(jarI?)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Jarik [jarI?] adalah kain panjang berwarna latar hitam dan corak batik warna coklat dengan motif beraneka.

(44)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Setagen (s|tagEn) adalah kostum berupa kain yang dililitkan di pinggang berwarna cokelat atau hitam bergaris-garis putih, ada juga yang tanpa garis-garis putih.

4. Pemain Reog 4.1 Warok(warO?)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Warok(warO?) adalah seseorang yang „menguasai ilmu„ (kejawen) atau

pimpinan kelompok reog. Dalam kesenian reog di Kabupaten Boyolali ada dua warok yaitu warok tua dan warok muda

4.2 Paraga (parOgO)

(Kamis, 5 Juni 2008)

Paraga (parOgO) adalah keseluruhan para pemain baik dari pemain

jaran kepang, dhadhak merak, barongan, celeng dan pentul tembem.

(45)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Pawang (pawaG) adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk mendatangkan dan mengembalikan roh halus yang dibutuhkan seperti roh nenek moyang (pangeran Samudra).

4.4 Srati (srati)

(Kamis, 05 Juni 2008)

Srati (srati) adalah orang yang mempunyai tugas dan kemampuan untuk mengawasi dan mengamankan gerak para pemain.

5. Lagu dan Tarian (adegan)

5.1 Tanjak (tanja?) adalah posisi gerakan berdiri dari jengkeng. Gerakan ini biasa dilakukan oleh pemain jaran kepang.

5.2 Sendon (s|ndOn) adalah adegan keluarnya penthul-tembem dari arah pengiring ke tengah arena sambil menari bersamaan dengan lagu (tembang). Adegan ini dilakukan pada waktu pemain dhadhak merak

dan barongan, jaran kepang, dan celeng istirahat.

(46)

6. Sesajian

6.1 Buncet(bunc|t)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Buncet (bunc|t) adalah nasi yang dibentuk seperti gunungan dalam bentuk tumpeng kecil.

6.2 Krupuk (krupU?)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Krupuk (krupU?) adalah perlengkapan dalam sesajian yang berupa krupuk berwarna merah.

(47)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Peyek (pEyE?) adalah merupakan perlengkapan dalam sesajian yang berupa lauk pauk yang terbuat dari kacang tanah.

2. Polimorfemis

Bentuk polimorfemis meliputi: (1) pengimbuhan atau penambahan afiksasi, (2) pengulangan atau reduplikasi, dan (3) pemajemukan. Adapun kata-kata yang termasuk dalam bentuk polimorfemis adalah :

1. Alat untuk pemain 1.1 Barongan (baroGan)

(Kamis, 05 Juni 2008)

Barongan (baroGan) adalah barong (kepala harimau) tiruan atau barong yang tidak sebenarnya.

Barong + an → barongan „tiruan kepala harimau tiruan‟

Nomina + Sufiks -an → nomina. Akhiran -an mempunyai arti tiruan atau tidak sebenarnya sehingga barongan adalah barong tiruan.

2. Pemain Reog

(48)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Mbarong (mbarOG) salah satu pemain dalam reog yang menggunakan barongan, biasa disebut pembarong.

Mbarong: m-+ barong → mbarong„pelaku„

Prefiks M - + nomina → verba denominal. Prefiks M- memberi makna orang yang melakukan, jadi mbarong adalah orang yang membawa barongan.

2.2 Pengrawit(p|Grawit)

(Kamis, 05 Juni 2008)

Pengrawit(p|Grawit) adalah bagian dari pemain reog yang memainkan musik. Pengrawi : peNg- + krawit„musik‟ → pengkrawit„orang yang memainkan musik‟. Prefiks peNg- + nomina → verba denominal.

Prefiks peNg- memberikan arti orang yang melakukan. Jadi pengkrawit

adalah orang yang memainkan musik atau gending.

(49)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Penggerong (p|GgerOG) „penyanyi dalam reog‟. Penggerong: peNg- + gerong „menyanyi‟ → penggerong ‟penyanyi dalam reog‟. Prefiks peNg- + verba → verba denominal.

3 Lagu dan Tarian

3.1 Ganongan(ganoGan)

Ganongan (ganoGan) „gerakan tari yang didominasi gerakan lari, dan akrobat yang cepat dan lincah‟. Ganongan: ganong + -anganongan „gerakan lari dan akrobat‟. Nomina + sufiks -an→ verba denominal.

3.2 Gendhing panaragan(g|nDIG pOnOragan).

Gendhing panaragan (g|nDIG pOnOragan) adalah gending yang

dipergunakan sebagai iringan joget/tari, iring-iringan dan tetabuhan biasa yang dapat diikuti dengan lagu-lagu sesuai keinginan. Gendhing

panaragan termasuk dalam polimorfemis karena kata gendhing panaragan mengalami proses pemajemukan leksikal dari bentuk kata dasar gendhing „iringan‟ dan panaragan „lagu‟ sehingga makna yang

terbentuk adalah iring-iringan/tetabuhan yang diiringi lagu-lagu sesuai keinginan.

3.3 Sabetan(sab|tan)

Sabetan (sab|tan) ‟gerakan tari berupa gerakan mencambuk dengan pecut‟. Sabetan: sabet„cambuk‟ + -ansabetan „mencambuk‟. Verba

(50)

3.4 Kebatan (kebatan)

Kebatan (kebatan) adalah gerakan mengibaskan sampur. Kebatan:

kebat „kebat‟ + -ankebatan „mengibaskan‟. Verba + sufiks -an

verba denominal. 3.5 Jathilan(jaTilan)

Jathilan: jathil„kuda‟ + -anjathilan„tarian kuda‟. Nomina + sufiks

-an → denominal. Akhiran -an pada jathilan memberi makna „tiruan‟.

Jadi jathilan adalah tiruan tari kuda.

4. Sesajian

4.1 Menyan cina(m|¥an cinO)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Menyan cina (m|¥an cinO) „kemenyan‟. Proses pembentukan kata menyan cina melalui proses pemajemukan dengan penghadiran bentuk dasar yang prakategorial. Adapun bentuk dasar itu adalah menyan cina „kemenyan‟ kata menyan merupakan persenyawaan dari kata cina, yang memberikan cap bahwa konstruksi yang dibentuk adalah benar-benar kata majemuk dan bukan frase.

(51)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Kinangan(kinaGan) „kinangan‟. Kinangan terbentuk dari kata kinang +

-an → kinangan. Nomina + sufiks -an → denominal. Sufiks -an

merupakan pemarkah atau penjelas kata benda. Jadi kinangan

merupakan merupakan kumpulan beberapa benda, antara lain: tembakau, gambir, enjet, dan suruh.

4.3 Jajanan pasar (jajanan pasar)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Jajanan pasar (jajanan pasar) „aneka macam makanan yang biasa dibeli dari pasar. Kata jajanan + pasar merupakan penggabungan dua kata yang mana kedua kata itu merupakan kata pokok dari kata itu. Penggabungan kedua kata itu disebut kata majemuk, sehingga dari penggabungan dua kata itu mengalami perubahan makna yang awalnya

jajanan „makanan‟ dan pasar „tempat jual beli‟ menjadi jenis makanan

yang beraneka ragam yang dibeli dari pasar. Kata jajanan itu sendiri, mengalami proses morfologis yaitu jajan + sufiks -an. Akhiran -an

(52)

4.4 Sega golong(s|gOgOlOŋ)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Sega golong adalah nasi yang berbentuk lingkaran kecil yang biasa diletakkan di sekitar nasi tumpeng. Sega golong merupakan kata majemuk yang dibentuk dari kata sega + golongsega golong. Nomina + ajektiva → denomina.

5.Busana / Kostum 5.1 Koloran(koloran)

(Kamis, 05 Juni 2008)

Koloran (koloran) „kolor atau tali pada celana‟. Terbentuk dari kata kolor „kolor‟ + -ankoloran. Nomina + sufiks -an → denominal.

Akhiran -an memberi makna „penjelas kata benda‟. Jadi koloran

adalah tali pada celana.

5.2 Epek timang(EpE? timaG)

(53)

Epek timang (EpE? timaG) „sabuk atau ikat pinggang‟. Epek timang

terbentuk dari dua kata yaitu epek„epek‟ + timang „timang„, merupakan

proses pemajemukan dari dua kata yang mana kedua kata itu merupakan kata pokok sehingga hadir makna baru yaitu ikat pinggang yang dilengkapi dengan timang atau gesper.

3. Frase

Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri dari dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa (Djoko Kentjono, 1982: 57).

1. Busana/Kostum

1.1 Kaos loreng(kaOs lorEG)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Kaos loreng(kaOs lorEG)„kaos yang berwarna merah dan putih‟. Kaos loreng merupakan bentuk frase endosentris yang atribut dari kata kaos +

lorengkaos loreng. Kata kaos termasuk golongan kata nomina, maka frase kaos loreng termasuk golongan frase nomina.

(54)

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Udheng jilidan (uD|G jilidan) „ikat kepala‟ seperti blangkon. Udheng „iket kepala‟ + jilidan „jilid‟ merupakan bentuk frase endosentrik yang

atribut. Pembentukan frase dari kata udheng „iket‟ dan jilidan „jilid‟,

yang mana kata udheng termasuk kata nomina yang diikuti kata verba, karena itu frase udheng jilidan termasuk golongan frase nomina, sehingga makna yang dihadirkan adalah iket kepala yang sudah dibentuk (blangkon).

1.3 Udheng modhang(uD|G moDaG)

Minggu, 26 Oktober 2008

Udheng modhang merupakan bentuk frase endosentrik yang atribut dari kata udheng „iket‟ dan modhang „batik‟. Kata udheng termasuk frase nomina sebagai UP yang diikuti frase verba sehingga frase udheng modhang termasuk golongan frase nomina. Jadi udheng modhang adalah „ikat kepala‟ yang masih berupa kain batikan atau ikat kepala yang belum berbentuk blangkon.

2. Sesajian

(55)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Rujak degan (ruja? d|gan) „rujak kelapa muda‟. Rujak degan terdiri dari kata rujak„rujak‟ dan degan „kelapa muda‟ ini merupakan bentuk frase endosentrik yang koordinatif. Kesetaraan frase rujak degan dapat dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan kata

dan atau atau. Frase rujak degan termasuk golongan frase nominal yang terbentuk dari frase nomina (rujak) sebagai unsur pusat (UP) diikuti frase nomina (degan).

2.2 Kembang setaman(k|mbaG s|taman)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Kembang setaman (k|mbaG s|taman) „bunga lima warna/macam. Kembang setaman merupakan bentuk frase endosentrik yang atribut, yang berasal dari kata kembang „bunga‟ dan setaman „lima warna‟.

Frase kembang termasuk frase nomina sebagai UP yang diikuti frase nomina (setaman), sehingga kembang setaman termasuk frase nomina.

(56)

Senin, 18 Agustus 2008

Gedhang raja (g|DaG rOjO) adalah pisang yang selalu digunakan dalam sesajian. Pisang ini berwarna kuning. Gedhang raja merupakan bentuk frase endosentrik yang atributif yang terbentuk dari dua kata yaitu gedhang + rajagedhang raja. Nomina (gedhang) sebagai UP yang diikuti nomina (raja) sebagai pelengkap atau atribut.

3. Peralatan untuk Pemain

3.1 Jaran kepang(jaran kepaG)„kuda kepang‟

(Minggu, 26 Oktober 2008)

Jaran kepang (jaran kepaG) „kuda kepang‟. Jaran kepang merupakan bentuk frase endosentrik yang atributif dari kata dasar jaran „kuda‟ dan kepang „anyaman bambu‟. Frase jaran termasuk nomina sebagai UP, dan kepang termasuk nomina sebagai atribut/pelengkap sehingga jaran kepang termasuk golongan frase nomina. Jadi jaran kepang adalah anyaman dari bambu yang berbentuk seperti kuda.

3.2 Dhadhak merak(DaDa? m|ra?)

(57)

Dhadhak merak merupakan bentuk frase endosentrik yang koordinatif. Kesetaraannya itu dapat dibuktikan dengan adanya kemungkinan kedua kata itu dihubungkan dengan kata dan atau atau sehingga menjadi

dhadhak dan merak, dhadhak atau merak. Penambahan kata penghubung itu tidak merubah artidari kata semula yaitu dhadhak merak

yang artinya burung merak.

4. Atraksi

4.1 Jaran ngedan(jaran Gedan)

(Senin, 18 Agustus 2008)

Jaran ngedan(jaran Gedan) „pemain kuda yang gila‟. Jaran „kuda‟ + ngedan „gila‟ merupakan bentuk frase endosentrik yang atributif. Kata

(58)

4.2 Celeng ngedan (cElEG Gedan)

Celeng ngedan (cElEG Gedan). „pemain celeng yang gila‟. Celeng ngedan merupakan bentuk frase endosentrik yang atributif. Frase celeng

(nomina) sebagai UP diikuti frase ngedan (verba) sebagai atribut sehingga terbentuk frase celeng ngedan (frase verbal) yang artinya pemain celeng yang melakukan atraksi gila. Kata ngedan terbentuk dari

prefiks -ng + edanngedan„bergaya seperti gila‟.

B. Makna Leksikal dan Kultural

1. Makna Leksikal

Makna leksikal adalah makna yang ada pada leksem-leksem (Chaer,1994: 7). Makna leksikal dari istilah-istilah kesenian reog, sebagai berikut .

1) Gong

(59)

2) Angklung

Angklung adalah alat musik yang terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan cara digetarkan. Wujud angklung ada berbagai macam ukuran. Ada yang besar, ada yang kecil dan ada pula yang tanggung. Semua ada tiga kelompok (oktaf). Dan tiap kelompok ada lima buah angklung (lima buah nada). Angklung besar dibuat dari bambu yang besar, dengan ukuran dua ruas, atau lebih kurang lima puluh senti meter panjangnya. Cara membunyikan angklung itu adalah dengan cara digetarkan bambu kecil (panjang) yang bisa diturun naikkan dalam bambu besar tersebut.

3) Bonang

Bonang adalah alat musik pukul berbentuk bulat dengan tonjolan ditengahnya. Bonang berbentuk seperti gong dalam ukuran kecil. Cara membunyikanya dengan cara dipukul secara ritmis dan bergantian dengan ritme tetap sesuai dengan tempo gending itu sendiri.

4) Kendhang

(60)

dalam kesenian reog ini sangat menentukan, karena kendang bisa mengolah nafas permainan, serta juga sebagai pengatur situasi penonton. 5) Ketipung

Ketipung adalah alat musik yang berbentuk seperti kendang tetapi dalam ukuran yang lebih kecil dan berfungsi sebagai penambah rempeg/meriahnya gending. Cara membunyikannya dengan cara dipukul dengan alat pemukul yang lentur di sela-sela pukulan kedua bonang. Ada orang yang mengatakan ketipung adalah kendang kecil. Ketipung dipergunakan bersama dengan kendang.

6) Trompet

Trompet ialah salah satu alat musik dalam pertunjukan reog yang berfungsi sebagai pembawa lagu atau melodi dan aba-aba sebelum gamelan dimainkan. Trompet dibuat dari kayu yang berbentuk seperti corong. Cara membunyikannya yaitu dengan cara ditiup pada bagian ujungnya yang kecil. Suara yang dikeluarkan, diatur dengan adanya lubang-lubang pada bagian tengah-tengahnya.

7) Saron

Saron adalah salah satu alat musik yang digunakan dalam pertunjukan reog yang terbuat dari kuningan. Cara membunyikan dengan dipukul atau ditabuh.

8) Barongan

(61)

sebenarnya; Arti sufiks/akhiran -an pada barongan adalah tidak sebenarnya; tetiron; tiruan. Contoh lain, misalnya: bunthutan, bedhilan, gunungan. Artinya bunthut tiruan, bedhil tiruan, gunung tiruan, dan sebagainya.

BARONG : dalam bahasa Jawa Kuna : barwang

dalam bahasa Melayu : beruwang

dalam bahasa Batak : baruwang

dalam bahasa Dayak : bahuwang

dalam bahasa Belanda : beer

Menurut Tjokrodibroto, kata barongan sebenarnya sudah merupakan persenyawaan. Asalnya dari singa barongan, yang artinya singa barong tiruan (Hartono, 1980: 61).

Singa adalah harimau. Barong adalah suri atau gimbal. Jadi, singa barong artinya harimau yang berambut gimbal. Suri: rambut panjang yang terdapat pada leher kuda. Gimbal: rambut yang tebal, subur, tetapi tidak terurusi. Akhirnya menjadi kusut. Dahulu kata barongan berarti pula nama dari semua topeng hewan. Jadi, semua topeng hewan disebut barongan. Misalnya, topeng ular, topeng buaya, topeng harimau, topeng kuda dan

sebagainya. Dalam kesenian reog yang disebut barongan ialah topeng harimau (kepala harimau).

Bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat barongan adalah

(62)

harimau. Kepala harimau ini mulutnya agak lebar, sebab nanti akan dipergunakan sebagai lubang/celah-celah untuk melihat keluar si pembarong.

2. Kulit harimau. Biasanya orang senang kepada kulit harimau yang bercorak loreng, yang terkenal dengan sebutan macan gembong. Begitu pula kulit yang dicari diusahakan kulit muka (kulit kepala atau wajah).

3. Kayu palang yang kuat. Kayu tersebut pada waktu bermain digigit si pembarong, sebagai pegangan.

4. Tali pengikat yang kuat. Biasanya terbuat daripada kain. Tali ini diikatkan pada kepala pembarong bagian belakang. Dengan tali ini maka bagaimanapun gerakannya si pembarong, barongan tidak akan lepas.

5. Suri (rambut kuda) yang panjang. Dengan suri tersebut kepala harimau akan tampak hidup dan tampan.

6. Kaca atau kelereng yang jernih. Kelereng ini dipergunakan sebagai biji mata.

Barongan dikenakan seperti topeng. Si pemain menggigit kayu palang. Sedang kepala pembarong dipergunakan juga sebagai tempat mengikat tali barongan.

9) Dhadhak Merak

(63)

(merak). Barongan berujud kepala harimau, sedangkan dhadhak berupa burung merak yang sedang menari (Bahasa Jawa ngigel). Kedua sayapnya mengembang seperti kipas dan ekornya menjulang tegak. Kedua kaki merak tampak dalam keadaan siap. Dadak merak hanya dapat dipakai bila disatukan (dipakai bersama) dengan barongan.

Dadak merak dibuat dari bahan-bahan yang agak mahal, serta sukar dicarinya. Bahan-bahan yang dimaksud adalah: bambu, rotan, tali yang kuat, bulu merak dan burung merak yang sudah dikeringkan. Ukuran besarnya dhadhak merak disesuaikan dengan besarnya kepala harimau.

10) Topeng

Topeng artinya tutup wajah. Dalam bahasa Betawi, topeng artinya teater atau tontonan. Dalam kesenian topeng terbuat dari kayu yang tidak mudah pecah, yang dibentuk menurut kreasi budaya daerah yang ada. topeng yang digunakan dalam permainan reog, sebagai berikut.

a. Topeng hewan. Yang dimaksud topeng hewan adalah barongan.

(64)

c. Topeng raksasa. Bujangganong adalah topeng raksasa. Topeng ini berwujud topeng raksasa warnanya merah tua atau hitam, rambutnya panjang di depan. Matanya melotot, hidung besar dan panjang, dahi menjorok (Bahasa Jawa: ngganong)

11) Pecut

Pecut adalah alat yang dibuat dari penjalin (bambu atau rotan) yang diberi upat-upat benang berwarna merah putih.

12) Keris

Keris adalah alat yang dibuat dari besi yang dibentuk memakai luk (lekuk-lekuk). Bentuk keris yaitu berlekuk-lekuk dari ukuran besar kemudian semakin kecil sampai ujung keris dengan bentuk tumpul. Keris ini dipakai dengan cara diselipkan pada stagen lipatan terakhir tepat pada punggung.

13) Celeng

Celeng adalah peralatan reog yang terbuat dari anyaman bambu yang berbentuk seperti binatang celeng “ babi”.

14) Udheng

Udheng adalah iket yang digunakan untuk menutup kepala.terbuat dari kain yang terbentuk segitiga dan biasa bercorak batik dengan warna yang gelap (hitam atau kecoklatan). Udheng atau iket kepala dapat dibedakan menjadi dua , yaitu :

(65)

2. Udheng modang ialah iket kepala berwarna coklat dengan dasar hitam dan corak batik berwarna coklat dengan dasar hitam dan corak batik berwarna coklat tepinya.

15) Jaran kepang

Jaran kepang adalah kuda kepang, yang terbuat dari anyaman bambu. Dalam kesenian reog biasanya jaran kepang `kuda kepang` berjumlah dua buah berwarna hitam dan merah. Dinamakan jaran kepang`kuda kepang‟

karena kuda ini dibuat dari kepang. Kepang adalah anyaman yang dibuat dari rautan bambu yang halus.

16) Ancinco

Ancinco adalah kostum yang digunakan para pemain reog yang atasan (baju) dan bawahan (celana) berwarna hitam-hitam. Atasan (baju) hitam tanpa kerah . bawahan (celana) terbagi dalam beberapa jenis, sebagai berikut :

1. Celana hitam dingkikan adalah celana sepanjang lutut terbuat dari kain warna hitam. Celana ini adalah kostum jathilan.

2. Celana panjang bergombyok adalah celana yang panjang sampai mata kaki, celana ini pakai oleh pemborong.

3. Celanan panjang hitam gejigan adalah celana panjang sebatas mata kaki, seperti celana gombor tapi tidak terlalu gombor.

17) Kaos loreng

(66)

18) Epek timang

Epek timang adalah kostum berupa ikat pinggang yang terbuat dari kain bludru polos warna hitam dengan gesper (timang).

19) Sampur

Sampur adalah kostum berupa selendang. Sampur ini diikatkan di pinggang dan kedua ujungnya terjulur.

20) Jarik

Jarik adalah kostum berupa kain panjang berwarna latar hitam dan corak batik warna coklat dengan motif beraneka. Jarik ini disebut juga jarit.

21) Koloran

Koloran/usus-usus atau adalah kolor atau tali yang terbuat dari benang katen (lawe) berwarna putih yang dijalin dan dipintal jadi satu,

panjang 2 meter, dengan garis tengah kurang lebih 3 meter, sementara benang di kedua ujungnya dibiarkan terurai.

22) Setagen

Setagen adalah kostum berupa kain yang dililitkan dipinggang berwarna gelap (hitam atau coklat). Panjangnya sekitar 4 meter dan lebarnya sekitar 10 cm.

23) Warok

Warok adalah sosok pimpinan reog. Warok merupakan sosok seorang yang diakui memiliki kelebihan-kelebihan khususnya dalam ilmu

(67)

warok berasal dari kata “Waroi” (Jawa: Wirangi) yang berarti wis pana, wis ngerti banget marang agal alus lahir batin, tumindhake mung kanggo tetulung

marang liyan (sudah memahami kehidupan secara sempurna lahir dan batin, dan mengabdikan hidupnya untuk membantu orang lain). Jadi warok adalah sosok yang dikenal sebagai seseorang yang menguasai ilmu Kejawen (Jawa Pos, 2003: 25). Dalam kesenian reog warok lebih terlihat sebagai pengawal-pengawal (punggawa) yang biasa disebut warok muda, dan sebagai sesepuh (guru) disebut warok tua. Sosok warok muda digambarkan berbadan gempal dengan bulu dada, kumis dan jambang lebat serta mata yang tajam, sedangkan warok tua digambarkan sebagai sosok lelaki tua berbadan kurus.

24) Pembarong

Pembarong adalah pemain reog yang menggunakan barongan. Pembarong ini memakai kostum: celana panjang gombyok, stagen, epek timang hitam, baju kimplong (baju yang menyerupai kaos singlet.

25) Pengrawit

Pengrawit adalah pemain atau penabuh gamelan (alat musik pengirng reog). Pengrawit ini berjumlah 8 orang antara lain pengrawit gong,(1),

kendhang (1), angklung (2), bonang (1), saron (1), ketipung (1), terompet (1).

(68)

Jaran ngedan adalah pemain reog yang memakai peralatan jaran kepang (kuda kepang) dan melakukan atraksi seperti kuda yang gila. Gerakannya lincah dan akrobat.

27) Celeng ngedan

Celeng ngedan adalah pemain reog yang memakai peralatan celeng (babi) yang melakukan atraksi yang lincah.

28) Besut

Besut ialah gerakan tari dalam pertunjukan reog dengan posisi tangan kiri lurus ke depan, kaki kiri diangkat, kaki kanan napak terus berjalan sambil loncat.

29) Tanjak

Tanjak adalah gerakan berdiri dari posisi jengkeng. 30) Gendhing Panaragan

Gendhing panaragan ialah gendhing yang dipergunakan sebagai iringan joget atau tari iring-iringan dan tetabuhan biasa yang dapat diikuti dengan lagu-lagu sesuai keinginan.

31) Ganongan

Ganongan adalah gerakan tari dalam pertunjukan reog yang mana gerakan itu didominasi gerakan lari dan akrobat yang cepat dan lincah.

(69)

Sembahan adalah gerakan tari berupa gerakan mengangkat kedua tangan dengan mempertemukan kedua telapak tangan di depan hidung gerakan ini biasa dilakukan sebelum permainan dimulai.

33) Sabetan

Sabetan adalah gerakan tari dengan posisi tangan kanan memegang pecut kemudian pecut itu dicambukkan pada pemain jaran kepang (kuda kepang) dengan gerakan kearah atas bawah , dan sebaliknya.

34) Buncet

Buncet adalah nasi yang dibentuk seperti gunungan kecil atau tumpeng kecil yang mana disekitar gunungan atau tumpeng itu dilengkapi dengan sayuran, pisang raja, krupuk merah, peyek, kedelai, jajanan pasar dan kinangan.

35) Kembang setaman

Kembang setaman adalah bunga lima warna atau lima macam yaitu bungan mawar, bunga melati, bunga kanthil, bunga kenanga, dan bunga pandan wangi.

36) Menyan cina

Menyan cina adalah peralatan yang digunakan dalam sesaji yang berbentuk bulat kecil, berwarna hitam kecoklatan. Menyan cina ini digunakan dengan cara dibakar.

(70)

Rujak degan adalah rujak yang dibuat dari kelapa muda. Adapun kelapa muda yang digunakan adalah jenis kelapa hijau.

38) Dhanyangan

Dhanyangan adalah tempat-tempat keramat (pohon besar, sumur, batu besar dan lain-lain), yang dianggap tempat bersemayamnya roh-roh penunggu dan pelindung desa. Adapun dhanyangan yang digunakan dalam pertunjukan kesenian reog ini biasanya ditempat-tempat yang ada pohon besar, batu besar yang dianggap keramat.

39) Gedhang raja

Gedhang raja adalah jenis pisang yang selalu digunakan dalam sesajian. Pisang raja ini warnanya kuning dan bentuknya tidak terlalu panjang.

40) Kinangan

Kinangan adalah peralatan dalam sesajian yang terdiri dari suruh, enjet, gambir dan tembakau.

41) Peyek

Peyek adalah perlengkapan sesajian yang berupa lauk pauk, terbuat dari kacang tanah.

42) Krupuk

Krupuk adalah perlengkapan sesajian yang berupa krupuk berwarna merah.

Referensi

Dokumen terkait

Istilah – istilah Sesaji dalam Tradisi Julen Giling Tebu PTP Nusantara IX PG Tasikmadu Kabupaten Karanganyar (Kajian Etnolinguistik) , ” Skripsi : Program Studi Sastra

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yaitu: (1) mendeskripsikan bentuk dan makna leksikal istilah-istilah sesaji dalam pembangunan rumah di Desa Sidorejo Kecamatan

Istilah-istilah dalam upacara mitoni adalah bagian kosa kata bahasa Jawa yang maknanya terkait dengan ritual upacara mitoni yang dikenal oleh masyarakat

Tujuan dari penelitian adalah: (1) Mendeskripsikan bentuk kata dan istilah yang digunakan dalam bidang pertanian pada masyarakat Madura di Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember, dan

Tujuan dari penelitian adalah: (1) Mendeskripsikan bentuk kata dan istilah yang digunakan dalam bidang pertanian pada masyarakat Madura di Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember, dan

Istilah-istilah yang Digunakan pada Acara Ritual Petik Pari oleh masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang (Kajian

istilah perlengkapan sesaji jamasan Nyai Sentomi di Siti Hinggil Keraton Surkarta Hadiningrat. Destria Anindita Puspitasari, 2010, dalam skripsi yang berjudul “Istilah

Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yaitu: (1) mendeskripsikan bentuk dan makna leksikal istilah-istilah sesaji dalam pembangunan rumah di Desa Sidorejo Kecamatan