• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEEFEKTIFAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEEFEKTIFAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH. doc"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KEEFEKTIFAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

BERBASIS TRANSENDENSI

oleh

Daulat Siregar, NIM. 8106111069, Mahasiswa S3- Program Pasca Sarjana Manajemen Pendidikan, UNIMED.

Pendahuluan

Pendidikan adalah usaha sadar mengembangkan potensi individu dalam masyarakat agar individu mampu menjalankan perannya dalam kehidupan. Upaya-upaya pendidik yang dilakukan diarahkan pada pengembangan individu sekaligus pengembangan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian pendidikan mempunyai fungsi individual dan sekaligus fungsi sosial. Fungsi individual berhubungan dengan pengembangan individu secara utuh, mantap, dan mandiri. Sedangkan fungsi sosial bertanggung jawab terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, salah satu penyebabnya adalah kurang efektifnya kepemimpinan kepala sekolah, sehingga menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan dan tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Hal ini berdampak terhadap kualitas lulusan yang dihasilkan. Dari hasil penelitian terhadap sekolah madrasah yang dilakukan Rois, (2008) “Rendahnya mutu pendidikan di sekolah disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: (1) kinerja kepala sekolah yang tidak memiliki visi dan misi yang jelas; (2) budaya organisasi sekolah yang belum kondusif yaitu adanya dualisme dalam manajemen antara kepala sekolah dengan ketua yayasan/pengurus, serta masih menganut “manajemen” paternalistik dan feodalisme; serta (3) kompetensi guru belum optimal.”

(2)

Pemprovsu menunjukkan bahwa sekitar 80% keefektifan SDM terutama dari kompetensinya masih berada pada taraf cukup dan rendah. Kondisi ini menyebabkan mereka belum memberi kontribusi maksimal terhadap pencapaian tujuan kerja yang diharapkan. Jika dihubungkan dengan kondisi siswa mulai dari SD hingga sekolah lanjutan yang diungkap melalui alat ungkap masalah (AUM) Umum dan AUM belajar pada sekitar 1000 orang calon peserta OSN 2010 di Sumatera Utara menunjukkan bahwa hampir semua siswa memiliki masalah pada aspek pendidikan dan pengajaran, diri pribadi, keterampilan belajar dan hubungan sosio emosional.

Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia tidak lepas dari peran seorang kepala sekolah sebagai pimpinan puncak. Melihat pentingnya fungsi kepemimpinan kepala sekolah, maka usaha untuk meningkatkan kinerja yang lebih tinggi bukanlah pekerjaan mudah bagi kepala sekolah, karena kegiatan berlangsung dalam sebuah proses panjang yang direncanakan dan diprogram secara baik. Pada kenyataannya tidak sedikit kepala sekolah hanya berperan sebagai pimpinan formalitas dalam sebuah sistem yang hanya sekedar pemegang jabatan di sekolah sambil menunggu masa purna tugas. Untuk dapat melaksanakan tugas pokok, seorang kepala sekolah dituntut memiliki sejumlah kompetensi untuk mencapai tujuan sekolah.

Pembahasan

Transcendere, adalah bahasa latin transendensi yang artinya ‘naik keatas’. Dalam bahasa Inggris adalah to transcend yang artinya ‘menembus’,‘melewati’, ‘melampaui’. Menurut istilah artinya perjalanan di atas atau diluar (Saiholami, 2011).

Menurut Kuntowijoyo, Transendensi mempunyai makna teologis, yakni ketuhanan, maksudnya bermakna beriman kepada Allah SWT. Transendensi bertujuan menambahkan dimensi transendental dengan cara membersihkan diri dari arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden.

(3)

telah dicapai. Suatu gerak dari yang kurang baik menjadi baik dan dari yang baik menjadi lebih baik.

Namun, ide transendensi diri ini berbenturan dengan penafsiranan realisasi diri atau aktualisasi diri manusia modern yang lebih berciri egois and self-centered. Terhadap hal ini Walter E. Conn (1998) dalam bukunya The Desiring Self: Rooting Pastoral Counseling and Spiritual Direction in Self-Transcendence menilai secara kritis akan ide realisasi diri (self-realisation) atau aktualisasi diri actualisation) dalam masyarakat modern dengan ide penyangkalan diri (self-denial) dalam agama-agama. Dapat dikatakan bahwa melalui transendensi diri, pribadi tidak dikorbankan, tetapi direalisasikan dalam kemanusiaannya yang otentik. Perealisasian diri yang sejati dalam pencarian akan makna, kebenaran, nilai dan cinta akan menolak segala bentuk dorongan egoisme yang berpusat pada diri sendiri (self-centered).Berpikir transenden dapat dilatih dalam kehidupan sehari-hari ketika menghadapi segala hal yang ditemui dalam kehidupan nyata. Berikut beberapa kasus yang sering dijumpai dalam masyarakat namun terkadang luput dari proses transendensi pemikiran orang-orang yang terlibat didalamnya. Contoh pola fikir transenden. Ada kelompok sekolah yang diakui oleh dinas atau lembaga terkait sebagi kelompok sekolah terbaik jika dibandingkan dengan sekolah yang lain, misalnya dari segi terpenuhinya syarat administratif yang diminta serta tersedianya fasilitas memadai yang juga disyaratkan. Syarat yang paling penting bagi sekolah untuk dapat disebut sebagai sekolah unggulan adalah prestasi akademik maupun non akademik siswa serta nilai ujian mereka yang memenuhi standar bahkan lebih. Oleh karena itu, siswa yang dapat masuk ke sekolah unggul telah melalui proses yang sangat sulit untuk dapat mengalahkan mereka yang tidak memenuhi nilai tertentu yang harus dicapai.

(4)

Sehingga yang unggul disini adalah prosesnya, bukan hanya berorientasi pada hasilnya.

Kepemimpinan efektif Kepala sekolah

Kepala sekolah yang profesional akan menunjukkan motivasi kerja dan kinerja yang tinggi. Motivasi kerja dan kinerja yang tinggi jika di dukung dengan kepemimpinan kepala sekolah yang efektif maka akan mencapai tujuan sekolah yang sempurna dan bermutu.

Menurut Townsend dan Butterworth (1992) dalam bukunya Your Child’s School, ada sepuluh faktor penentu terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni keefektifan kepemimpinan kepala sekolah; partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf; proses belajar mengajar yang efektif;pengembangan staf yang terpogram; kurikulum yang relevan; memiliki visi dan misi yang jelas; iklim sekolah yang kondusif; penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan; komunikasi efektif baik internal maupun eksternal; serta keterlibatan orang tua dan masyarakat secara instrinsik.

Lussier (2009) memberi arti kepemimpinan adalah proses mempengaruhi karyawan agar bekerja ke arah pencapaian tujuan organisasi. Vethzal Rivai (2003:2) mendefinisikan kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Yukl (2009:4) mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan individu untuk mempengaruhi, memotivasi, dan membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektivitas dan keberhasilan organisasi.

Andrian Gostick dan Chester Elton (2009) dalam bukunya The Carrot Principle menyatakan ada 4 hal yang mendasari kepemimpinan yang efektf, yaitu penentuan tujuan (goal setting), komunikasi (communication), kepercayaan (trust), dan tangung jawab (Accountability)

(5)

tentang Standar Kompetensi Kepala sekolah terdiri dari: (1) Kepribadian; (2) manajer; (3) kewirausahaan; (4) supervisor; (5) sosial.

Menurut Robin (2007) Keefektifan adalah tindakan melakukan hal yang benar atau menyelesaikan semua aktivitas yang memungkinkan tujuan organisasi tercapai. Menurut Bernard (1982) “jika tujuan yang diinginkan tercapai maka tindakan untuk itu dikatakan efektif”. Suatu tindakan yang efektif belum tentu efesien, dalam konteks ini menurut Bernard (1982) jika dampak pencapaian tersebut dianggap lebih penting dari pada pencapaian tujuan yang diinginkan maka tindakan tersebut dikatakan tidak efesien. Demikian juga jika hasil dari pencapaian tujuan tidak memuaskan maka tindakan efektif tersebut dikatakan tidak efesien. Adakalanya tujuan yang dicari tidak tercapai, tetapi akibat yang tidak dicari, memenuhi keinginan atau motif yang bukan “sebab” tindakan tersebut, maka tindakan semacam itu dikatakan efesien tetapi tidak efektif. Suatu tindakan dikatakan efektif jika mencapai tujuan objektif. Suatu tindakan dikatakan efesien jika memenuhi motif tujuan tersebut.

Halpin (1966), Blake and Mouton (1985) merumuskan bahwa Kepemimpinan yang efektif meliputi dimensi struktur kelembagaan dan dimensi konsiderasi. Ada 2 hal yang dapat dapat dilihat dari dimensi struktur kelembagaan. pertama, sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Kedua, sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai tujuan organisasi. Demikian pula halnya dengan dimensi konsiderasi yang menggambarkan: pertama, sampai sejauh mana tingkat hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya. kedua, sampai sejauh mana pemimpin memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan. misalnya kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah, partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).

(6)

pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi terhadap aspek struktur organisasi dan konsiderasi. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya.

Traits theory menyatakan bahwa efektivitas kepemimpinan tergantung pada karakter pemimpinnya. Sifat-sifat yang dimiliki antara lain kepribadian, keunggulan fisik, dan kemampuan sosial. Menurut Gordon (2002), Karakter yang harus dimiliki seorang pemimpin mencakup kemampuan intelektual, kematangan pribadi, pendidikan, status sosial ekonomi, human relation, motivasi intrinsik, dan dorongan untuk maju. Menurut Ghiselli (1963), enam sifat yang signifikan untuk kepemimpinan efektif, yaitu: (1) kemampuan pengawasan, (2) kebutuhan pencapaian pekerjaan, (3) inteligensi, (4) ketegasan, (5) jaminan diri dan (6) inisiatif.

Dalam perkembangannya, teori mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwaa sifat – sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan, akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat – sifat itu antara lain; sifat fisik, mental dan kepribadian.

Kepemimpinan efektif yang diterapkan di sekolah merupakan manifestasi dalam pencapaian tujuan organisasi. Tujuan organisasi adalah outcome yang ingin dicapai. Tujuan menentukan arah semua keputusan dan tindakan sekaligus menjadi kriteria untuk mengukur keadaan pekerjaan. Tujuan (goal) dan sasaran (objektif )dari organisasi sekolah merupakan pedoman yang harus dicapai. Tujuan (goal) di artikan target umum untuk dicapai, sedangkan sasaran (objektif) diartikan sesuatu yang dapat dicapai, tunggal, spesifik, terukur dengan waktu tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

(7)

usaha yang diperlukan untuk mencapai tujuan, pentingnya individu mencapai tujuan dan komitmen tujuan. Tujuan didalam organisasi berhubungan dengan pekerjaan. Tujuan seperti ini disebut dengan tujuan kerja, yaitu berhubungan dengan inti tanggung jawab yang cocok dengan bagian dan posisi pekerjaan.

Pencapaian tujuan kerja di dalam organisasi kerja dapat dibahas dengan mengacu pada pendapat Hoy dan Miskel. Tujuan kerja dan pemanfaatan sumber-sumber dilakukan untuk mendapat tujuan yang diinginkan. Indikator pencapaian tujuan ini antara lain adalah kemajuan yang dapat dicapai, pemanfaatan sumber, kualitas pelayanan. Pencapaian tujuan kerja dapat dilakukan melalui hasil evaluasi diri dan dapat juga melalui evaluasi pihak luar. Model evaluasi diri dapat dilakukan dengan model pencapaian tujuan (goal attainment). Model ini membandingkan hasil yang dicapai melalui pemanfaatan sumberdaya dan proses yang dilaksanakan dengan tujuan/sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Artinya pencapaian tujuan tersebut dapat dilihat dari output (hasil dari upaya pencapaian tujuan tersebut). Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini antara lain adalah kesesuaian jumlah dan mutu output yang dihasilkan dengan sasaran yang direncanakan, dampak output terhadap pelaksanaan proses dan penggunaan, pendapat stake holder terhadap materi dan pelayanan, pendapat pengguna tentang output yang mereka pakai, mekanisme penyaluran pendapat, proyeksi tentang mutu dan output yang dihasilkan pada waktu yang akan datang.

Berdasarkan pembahasan keefektifan pencapaian tujuan kerja dapat dikemukakan bahwa secara konseptual keefektifan kerja adalah hasil perbandingan antara target yang ditetapkan dan tingkat pencapaian target tersebut dalam jangka waktu tertentu di dalam suatu pekerjaan. Keefektifan kepala sekolah dapat dilihat dari tujuan kerja yang telah ditetapkan. Dengan demikian secara operasional keefektifan kepala sekolah dapat diukur dari indikator prncapaian target yang dapat mereka lakukan sesuai dengan ukuran kerja yang ditetapkan dalam jangka waktu tertentu.

(8)

sekolah yang handal dan produktif dalam pengelolaan kurikulum, metode, siswa, biaya/keuangan, pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan tenaga kependidikan.

Dengan demikian dapat dikatakan agar kepemimpinan kepala sekolah menjadi efektif bergantung pada karakter pemimpin, penataan lembaga, penataan hubungan sosial-emosional, dan pencapaian kerja.

Konsep Karakter Transendensi

Transendensi merupakan sebuah konsep psikologi yang menjelaskan kemampuan manusia untuk mengorientasikan dan mengalihkan diri dari hal-hal yang terarah dari kepentingan pribadi kepada kepentinngan diluar dirinya. Victor Frank (1954) dalam psikologi logoterapi menyebut transendensi diri (self trancendence) sebagai kemampuan yang memungkinkan manusia untuk melepaskan perhatian dari kondisi diri saat ini dan memusatkan perhatian pada kondisi yang dicita-citakan, dari the actual self ke ideal self , dari being ke meaning. Vroom dalam Duane (1991) menyebutkan transendensi sebagai kemauan individu untuk mengalihkan diri dari kondisi pasif menjadi produktif. Transendensi memampukan individu menciptakan karya kreatif dan produktif. Transendensi merupakan suatu prasyarat untuk mengembangkan kepribadian yang sehat yaitu mampu membina hubungan dan kerjasama dengan orang lain, memiliki ikatan yang kuat sebagai warga negara dan penduduk global, merasakan identitas diri sebagai individu yang unik dan kemauan untuk mengorientasikan diri dalam kehidupan. Moslow dalam Soren (2003) dan Shane (2008) menjelaskan bahwa transendensi bersumber dari pertumbuhan kepribadian secara intuitif, yang diwujudkan dalam bentuk kemauan untuk hidup bermakna, bekerja dan memberikan pelayanan, mengutamakan keadilan, memenuhi kebutuhan spritual, mengorientasikan diri terhadap kebenaran, keindahan, ketuhanan. Termasuk didalamnya nilai-nilai kemuliaan yaitu kepedulian terhadap kesejahteraan terhadap manusia dan alam.

(9)

mempersembahkan sesuatu kepada orang lain tanpa ada maksud pribadi tertentu. Transendensi dalam konteks prilaku organisasi (organizational behaviour) merupakan suatu aspek dalam personal ability. Transendensi diwujudkan dalam kemampuan memahami makna esensial kehidupan berorganisasi sebagai pengabdian hidup. Kemampuan untuk menyadari sepenuhnya pencapaian tujuan organisasi sebagai sesuatu yang identik dengan pencapaian tujuan masyarakat secara holistik. Oleh karena itu, hal penting yang paling utama bagi SDM dengan karakter transendensi ini adalah menempatkan kepentingan institusi melebihi kepentingan lainnya. Kemampuan memaknai filosofis institusi sebagai kesempatan untuk meningkatkan kemampuan dalam menjalankan perannya secara sinergis untuk mencapai tujuan institusi. Kemempuan SDM memahami pergantian jabatan, mutasi, sebagai regulasi institusi yang alamiah, sehingga dapat menerima generasi berikutnya dan menyiapkan mereka untuk meneruskan misi institusi (generativity). SDM yang transendensi dapat menjalankan perannya demi keuntungan bersama dengan tetap mempertimbangkan keuntungan institusi sebagai prioritas utama. Kesadaran berorganisasi tumbuh lebih baik pada SDM yang transendensi . motivasi altruistiknya memampukannya memahami hakekat kehidupan institusi yang sesumngguhnya. Mampu memahami visi, misi, tujuan institusi melebihi yang telah digariskan, mampu melibatkan dirinya kepada kepentingan institusi (civil aspiration).

(10)

pada semua anggotanya untuk menunjukkan keterlibatan yang tinggi terhadap institusi, melakukan sesuatu dengan benar, bermakna besar secara holistik.

Pusat perhatian institusi transendensi terletak pada proses-proses institusional bukan pada insentif yang akan diterima. Insentif tidak berada pada proses kerja melainkan disekitar produk dan sudah berada di luar pekerjaan orientasi SDM pada institusi transendensi lebih kuat untuk mencari keutamaan atau kemuliaan dari pada mendapatkan insentif. Gaji, kondisi kerja yang nyaman, hanya akan memberikan kepuasan dan kegembiraan jika diarahkan kepada sesuatu yang esensial. Dalam institusi transendensi, SDM tidak akan menguntungkan diri sendiri melainkan memberi keuntungan timbal balik bahkan melebihi kepentingan institusi, memberi keuntungan yang lebih besar kepada masyarakat dan kehidupan manusia pada umumnya. Institusi transendensi tidak mendapatkan keuntungan dengan merugikan yang lain akan tetapi memberikan keuntungan secara timbal balik. Sesuatu yang baik bagi SDM adalah juga kebaikan bagi institusi dan masyarakat luas (mutually), karena taraf aktualisasi diri paling tinggi adalah yang mampu menyentuh sesuatu yang esensial bagi kehidupan umat manusia.

Model Kepemimpinan Transendensi

Selain melalui program institusional pengembangan diri dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Hal ini dilakukan dilakukan dengan pendidikan dan latihan transendensi. Konsep pendidikannya dikembangkan dari Stenberg (1990), Kramer (1990), Casttle & Jewet (1994), Robert Giacalone dalam Bateman (2008) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan kemampuan (abilities yaitu loving dan doing) yang dilakukan dengan pendekatan kondisioning untuk membentuk kebiasaan (habit) hingga akhirnya akan tampil prilaku terpuji (akhlak mulia). Indikator karakter transendensi yang dikembangkan tersebut sebagai berikut;

1) Empati

(11)

kesediaan untuk memahami orang lain secara utuh baik yang nampak maupun yang tersirat, khususnya dalam aspek perasaan, fikiran, dan keinginan. Kemampuan empati memungkinkan kepala sekolah dapat menempatkan dirinya dalam suasana perasaan, fikiran dan keinginan orang lain sedekat mungkin. Empati menekankan kebersamaan dengan orang lain lebih daripada sekadar hubungan yang menempatkan orang lain sebagai obyek manipulatif, tetapi dapat menghayati bagaimana perasaan seandainya berada dalam situasi yang sama dengan orang tersebut. Situasi ini dapat mengembangkan suasana hubungan yang didasari atas saling pengertian, suasana rasa diterima dan dipahami serta kesamaan diri. Kemampuan empati akan menumbuhkan kearifan didalam diri SDM yang diekspresikan dalam kepekaan sosial.

2) Generativity

Konsep ini berkenaan dengan kepedulian dan kesediaan mengulurkan tangan. Peduli Adalah sikap untuk memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, selalu tergerak membantu kesulitan manusia lainnya. Sikap peduli adalah sikap untuk berusaha membangkitkan kemandirian, memelihara kehidupan sosial berdasarkan norma dan nilai-nilai yang dianut. Memberi arahan untuk menerima generasi yang akan datang. Generativity ini dikembangkan dengan memupuk sikap melindungi dan memelihara.

3) Mutuality

Kesediaan memandang sukses tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga sesuatu yang bermakna bagi kepentingan orang banyak. Hal ini dibangun dengan sikap berbagi, kemauan untuk bekerja sama dan menjaga sikap adil terhadap sesama. Karakter kebebasan berfikir yang menghargai adanya perbedaan pendapat tumbuh kepada situasi yang memungkinkan tercapainya kesepakatan bersama untuk mencari yang terbaik untuk semua, kesediaan untuk mengapresiasikan perbedaan (Milfa, 2012).

4) Civil Aspiration

(12)

cara memberi respon yang baik dan menyenangkan bagi orang lain serta menghindari respon atau tindakan yang tidak menyenangkan orang lain dan yang tidak patut dilakukan (Milfa, 2012).

5) Intolerance Ineffective Humanity (Humanis)

Menolak dan tidak bertoleransi terhadap tindakan yang tidak humanis. Berusaha untuk mencegah dan melawan tindakan yang tidak etis. Mengendalikan dan memantau diri sendiri sehingga orang lain tidak perlu lagi mengendalikan perilaku yang bersangkutan dari luar. Kemampuan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi serta mengatasi konflik yang terjadi. Keteguhan hati yaitu berani menempuh bahaya, persistensinya, integritas, dan vitalitasnya untuk kemanusiaan (Milfa, 2012).

Dengan demikian dapat dikatakan agar kepemimpinan kepala sekolah menjadi efektif bergantung pada karakter pemimpin yang transenden (memiliki Emphaty, Generativity, Mutuality, Civil Aspiration, dan Humanity) dengan dimensi yang mempengaruhinya yakni: penataan lembaga, penataan hubungan sosial - emosional, dan pencapaian kerja. Untuk membangun pemimpin yang memiliki karakter transendensi dapat dilihat tahapan sebagai berikut:

Dimensi/aspek Emphaty Generativity Mutuality Civil Aspiration Humanity Knowing Ilustrasi cerita, pendalaman, definisi

Loving Afirmasi

Doing Aktivitas, refleksi, review

Habit pembiasaan

Character Perilaku efektif

Sumber: Milfa, Majalah UNIMED, edisi 3 Januari 2012

PENUTUP

(13)

Kepemimpinan transenden identik dengan sikap skeptik dimana seseorang tidak lagi meyakini adanya kebenaran akan suatu hal. Ketika orang lain mencari pembenaran dari pendapatnya, maka orang-orang skeptik yang berpikir transenden akan berpendapat bahwa kebenaran tunggal akan suatu hal itu tidak ada dan bahwa kebenaran-kebenaran yang telah diungkapkan tersebut masih dapat disangkal dengan kebenaran-kebenaran lainnya. Maka dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan transenden dapat membuka cakrawala pemikiran dengan lebih luas dalam melihat segala sesuatunya. Kefektifan kepemimpinan transenden yang meliputi variabel yang terkandung dalam model keefektifan pemimpin kepala sekolah memberikan indikasi betapa luas peran kepala sekolah yang bersifat kompleks dan unik.

Berpikir transenden adalah pola pemikiran bebas, dalam arti pemikiran transenden hanya dapat dicapai apabila kita dapat berpikir secara filsafati yang berarti membebaskan diri dari doktrin apapun karena doktrin yang tertanam tersebut selalu bisa diragukan kebenarannya. Dalam konteks transendensi, manusia berpikir dalam rangka berbuat. Setelah berbuat, ia akan mulai mengevaluasi diri.

DAFTAR PUSTAKA

Bateman & Snell. (2008). Mangement. Newyork: Mc.Graw Hill

Blake, R.R. & Mouton, J. S. (1985). The managerial grid III: The key to leadership excellence. Houston: Gulf Publishing

Duane, Schultz. D. (1991). Odels of the Healthy Personality Research. Van Nostrand Company

Chester, I.Barnard. (1982). Fungsi Eksekutif, Jakarta. PPM

Colquit, Le. Pine. Wesson .(2009). Organizational Behavior. New York. Mc.Graw Hill

(14)

Ghiselli, E.E. (1963). Management Talen. American phycologist. Vol. 18

Gordon, R. Judith. (2002), Organizational behavior: a diagnostic approach.Prentice Hall. New York

Gotick, A. & Chester Elton (2009), “The Carrot Principle” Book Review and Innovation Summary http://www.innovationexcellence.com. Posted on

June 24, 2009 by Braden Kelley

Herbert, G. Hicks., Gullet, G. Ray. (1987). Organizational Theory and Behavior. (terj). Jakarta: Bumi Aksara.

Hoy, W.K., Tarter, C.J., & Woolfolk Hoy, A. (2006). Academic optimism of schools: A force for student achievement. American Educational Research Journal, 43,425-446.

Hoy, W. K., & Miskel C. G. (2008). Educational administration: Theory, research, and practice (8th ed.). New York, NY: McGraw Hill.

Kinicki and Robert (2010). Organizational Behavior. New York: Mc.Graw Hill.

Kompas, (2012). SDM Pendidikan masih Rendah. Terbitan 15 Maret.

Kuntowijoyo, (2011). Pengertian humanisasi, liberasi, dan transendensi menurut Prof. Dr. Kuntowijoyo. http://hardikadwihermawan.blogspot.com

Mc.Shane & Von Glinow. (2008). Organizational Behavior, new York: McGraw Hill Book Co.

Morzano, R.J (1998). A Theory based meta analysis of research on instruction. Aurora, C: Mid Continent Research for Education and learning. www.merel.org.

---, (2000). A New Era of school reform. Going Where research takes us Aurora, Co: Mid Content research for Education and Learning.www.merel.org

---, (2003). What works in school. Translating research into action. Alexandria, V A. Association for Supervision and Curriculum Development. Learning.www.merel.org

Laurier, J. Mullin. (2005). Management and Organizational Behavior, Edinburg Gate Harlow: Prentice Hall Inc.

(15)

Manullang, Belferik dan Milfa. (2010). Integrasi Soft Skill dalam Revolusi Belajar. Medan. PPs Unimed.

---, Disain Diklat Pegawai di Kabupaten Tapanuli Tengah. (Laporan Penelitian). PPs Unimed.

---, (2011). Soft Skill SDM Pegawai. (Laporan Penelitian). PPs Unimed

---, (2011). Model pengembangan Komitmen Normatif Guru, Cerdas Spritual, Habitual Pedagogis, Mind Set Ilmiah dan Kompetensi Abiliti. Jurnal Educandum. Vol. IV, No. 1. Juli 2011.

Milfayetty, Sri. (2009). Pengaruh kebutuhan Transendensi, Kesadaran Berorganisasi, Kejelasan Peran, Pencapaian Tujuan Kerja Terhadap Kepuasan Kerja. (Disertasi). Jakarta: PPs UNJ.

Milfayetty, Manullang. (2010). Efektivitas Personal (analisis Knowledge, Skill and Ability SDM Pemprovsu). Medan, PPs Unimed.

Milfayetty., Rahmulyani. (2011). Analisis Knowledge, Skill and Ability (Kasus Konselor). Jurnal Educandum. Vol. IV, No.1, Juli 2011

Milfayetty, Sri (2012). Karakter Totaliter, Konformis Vs Karakter Transendensi. Majalah UNIMED. Artikel edisi 3 Januari 2012

Rachman, Eileen & Savitri, Sylvina. (2006, November 18). Asah Empati. Kompas p. 57

Robin.P, Steven and Timothy. (2008). A Judge Organizational Behavior. New Jersey.

Rois, M. (2008). Pengaruh Gaya Kinerja Kepala MA terhadap

Kompetensi guru dalam Peningkatan Mutu Pendidikan.

Program Pasca Sarjana. UIN SGD Bandung. Tidak Diterbitkan

Saholami, 2011. Pengertian Transendensi.http://id.shvoong.com

Sanders, W. And River, J. (1996). Comullative and Residual Effects of Teacher on Future Student Academic Acievement. Knoxvile: University of Tenesee (Value-Added Research and Assesment Centre).

Soren V, Joeav., M. Niels J. (2003) Quality of Live Theory III. Maslow Revised. www.thesaintificworld.com

(16)

Victor , E. Frank. (2003). Logo terapi melalui pemaknaan Eksistensi (terjemahan M. Murtadio). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Conn, Walter E. and. Comm, Walter E., (1998). The Desiring Self: Rooting Pastoral Counseling and Spiritual Direction in Self-Transcendence. New Jersey. Paulist Press

---, (2010). Model of Effective Leaders. http://wawan-junaidi.blogspot.com

---,. 2012. Korupsi dan Transendensi Diri http://rszyszka.com. Dipublikasi pada Februari 17, 2012 oleh Wattimena, Reza A. A

Yukl, G. (2009). Leadership and organizational learning: An evaluative essay. Leadership Quarterly, 20 (1), 49-53.

Referensi

Dokumen terkait

ƒ Menginvestasikan sumber daya dan waktu yang signifikan (dalam situasi yang tidak pasti) untuk meningkatkan kinerja (misalnya membuat produk baru atau mengembangkan

Terjadi pada minggu pertama perawat baru mulai bekerja. Selama perawat pemula diterima dengan tulus dilingkungan kerja, perawat baru tersebut hanya sedikit

ergonomis karena belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai sikap kerja yang baik dalam aktivitas menangani pasien. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti ingin

Genteng dalam bangunan digunakan sebagai penutup atap, dalam buku Persyaratan Umum Bahan Bangunan di Indonesia (PUBI) 1982, ada beberapa macam genteng, yaitu genteng dari

sampe nyinggung brand lain tapi tetep messagenya (brand Tropicana slim) nyampe, terus setelah itu placement (penempatan) segala macem, nah itu kita di briefed

informacijos, leidþianèios nustatyti liudytojà, atskleidimas paskutiniuose (ámanomuose) baudþiamojo proceso eta- puose (veiksmuose) ir/arba atskleidimas tik tam tikrø duomenø

Hal ini terlihat dari pemberian ruang yang lebih banyak diberikan kepada antara TKI atau pemerintah Indonesia dibandingka ruang pemberitaan untuk pihak Majikan

Hasil capaian pengolahan IKM per responden per unsur pelayanan seperti pada tabel di atas menunjukan bahwa nilai rata – rata pelayanan sebesar 42,205 dengan hasil dari