BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT PAKPAK DAN SANGGAR NINA NOLA DI DESA SUKARAMAI, KECAMATAN KERAJAAN,
KABUPATEN PAKPAK BHARAT
2.1Letak Geografis Kabupaten Pakpak Bharat
Kabupaten Pakpak Bharat adalah salah satu kabupaten yang ada di Sumatera
Utara. Kabupaten ini dibentuk pada tanggal 25 Februari 2003, beribu kotakan
Salak. Kabupaten ini berdiri sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi,
dengan 8 kecamatan yaitu Kecamatan Salak, Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe,
Kecamatan Pangindar, Kecamatan Sitellu Tari Urang Julu, Kecamatan
Pergetteng-getteng Sengkut, Kecamatan Kerajaan, Kecamatan Tinada, dan
Kecamatan Siempat Rube dan memiliki jumlah Desa sebanyak 52 Desa.
Pakpak Bharat bukan menunjukkan daerah Pakpak yang terletak di bagian
barat, melainkan memiliki dua arti nama yang digabungkan menjadi satu yaitu
Pakpak adalah nama daerah sedangkan Bharat adalah baik, jadi Pakpak Bharat
adalah daerah Pakpak yang baik. Kabupaten Pakpak Bharat terletak pada garis
2,00 – 3,00 Lintang Utara dan 96,00 – 98,30 Bujur Timur, dan berada di
ketinggian 2501.400 M di atas permukaan laut.
Kabupaten Pakpak Bharat memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kecamatan Lae Parira dan
Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi
Sebelah Selatan : Kecamatan Tara Bintang Kabupaten Humbang Hasundutan,
Sebelah Timur : Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi, Kecamatan Harian
Kabupaten Tobasa
Sebelah Barat : Kecamatan Aceh Singkil Provinsi Nangroe Aceh Darussalam
Luas keseluruhan Kabupaten Pakpak Bharat adalah 1.218,30 km (121.830 Ha)
atau 1,7 dari luas provinsi Sumatera Utara. Dari luas wilayah tersebut 63.974 Ha
(52,51 ) diantaranya merupakan lahan yang efektif dan 53.156 Ha ( 43,63 )
merupakan lahan yang belum dioptimalkan. Pada umumnya masyarakat Pakpak
Bharat tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian utamanya adalah bertani.
(Data Statistik Kecamatan Kerajaan 2013)
Gambar 2.1:
2.2Sistem Kepercayaan
Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Pakpak, masyarakat
setempat menganut kepercayaan yang disebut persilihi atau perbegu. Persilihi
atau perbegu ini ialah suatu kepercayaan yang meyakini bahwa alam ini berada
dibawah kuasa pengaruh roh-roh gaib atau dengan adanya Dewa-Dewa maupun
roh-roh nenek moyang yang dikultuskan (lihat, Naiborhu, 1988 : 22-26)7
2.2.1 Kepercayaan Terhadap Dewa-dewa
.
Sebelum agama masuk ke lingkungan masyarakat Pakpak, masyarakat
mempercayai kekuatan gaib dan percaya bahwa alam adalah sumber kehidupan.
Masyarakat Pakpak percaya terhadap Debata Guru/Sinembe nasa si lot yang
artinya maha pencipta segala sesuatu yang ada di bumi ini yang diklasifikasikan
atau diistilahkan sebagai berikut.
Debata Guru/ Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan melindungi,
yaitu :
1. Beraspati Tanoh
Diberi simbol dengan menggambar cecak yang berfungsi melindungi segala
tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu, kayu
atau tumbuhan lainnya, maka ia harus permisi kepada Beraspati Tanoh.
7
2. Tunggung Ni Kuta
Tunggung Ni Kuta ini diyakini mempunyai peranan untuk menjaga dan
melindungi kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Karena itu,
maka Tunggung Ni Kuta memberikan kepada manusia beberapa benda yaitu
sebagai berikut :
a. Lapihen, yaitu terbuat dari kulit kayu yang di dalamnya terdapat tulisan-
tulisan yang berbentuk mantra ataupun ramuan obat-obatan serta
ramalan-ramalan.
b. Naring, yaitu wadah berisi ramuan untuk pelindung kampung. Apabila
suatu kampung akan mendapat ancaman, maka naring akan memberikan
pertanda berupa suara gemuruh ataupun siulan.
c. Penghulu balang, yaitu sejenis patung yang terbuat dari batu yang
berfungsi untuk memberikan sinyal berupa gemuruh sebagai tanda
gangguan, bala, musuh, atau penyakit bagi suatu desa.
d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di
dalam tanah yang bertugas mengusir penjahat yang datang.
e. Sembahen ni ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang
diyakini dapat menggangu kehidupan dan sekaligus dapat melindungi
kehidupan manusia apabila diberi sesajen.
f. Tali solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya, mempunyai kepala ular
g. Tongkat balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran
lebih kurang satu meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan
dipergunakan untuk menerangi jalan.
h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan
musuh.
i. Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan
danau.
j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau dan air.
2.2.2 Kepercayaan Terhadap Roh- Roh
Selain kepercayaan terhadap Dewa-dewa, masyarakat Pakpak juga memiliki
kepercayaan terhadap roh-roh yang meliputi :
a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meninggal mempunyai
kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang.
b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara
turun temurun.
c. Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan beguSinambela, yaitu roh
orang yang sudah meninggal diakibatkan karena hanyut di dalam air
atau sungai.
d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari
tempat lain dan dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba.
Kepercayaan- kepercayaan diatas sudah jarang dilaksanakan oleh masyarakat
agama. Masyarakat Pakpak di daerah ini sebagian besar sudah memeluk agama
yang tetap, yaitu agama yang sudah diakuai oleh pemerintah. Sebagian besar
masyarakat yang ada di daerah ini beragama Islam, Kristen dan sebagian kecil
beragama Khatolik.
2.3 Sistem Kekerabatan
Seperti halnya etnik lain, etnik Pakpak juga memiliki sistem kekerabatan yang
dapat membedakannya dengan etnik lainnya.
2.3.1 Marga
Marga dalam kajian antropologi disebut dengan klen yaitu suatu kelompok
kekerabatan yang dihitung berdasarkan satu garis (unilineal), baik melalui garis
laki-laki (patrilineal) maupun perempuan (matrilineal). Marga pada masyarakat
Pakpak bukan hanya sekedar sebutan atau konsep tetapi di dalamnya nilai budaya
yang mencakup norma dan hukum yang berguna untuk mengatur kehidupan
sosial. Misalnya dengan adanya marga maka dikenal perkawinan eksogami marga,
yakni adat yang mengharuskan seseorang kawin diluar marganya. Bila terjadi
perkawinan semarga maka orang tersebut diberi sanksi hukum berupa pengucilan,
cemoohan, dan malah pengusiran, karena melanggar adat yang berlaku.
2.3.2 Sulang Silima
Sulang silima adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari kula- kula,
dengan sebelteksiampun-ampun/ anak yang paling kecil, serta anak berru.Sulang
dari seekor hewan seperti kerbau, lembu, atau babi yang disembelih dalm konteks
upacara adat masyarakat Pakpak. Pembagian daging/jambar ini disesuaikan
dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak kesukuten atau yang
melaksanakan upacara. Dalam masyarakat Pakpak, kelima kelompok tersebut
masing- masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dipisahkan
satu sama lain dalam acara adat.
1) Kula-kula
Kula-kula merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam sistem
kekerabatan pada masyarakat Pakpak. kula-kula adalah kelompok/pihak pemberi
istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan kelompok yang
sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh masyarakat. Dengan
demikian, kula-kula juga disebut dengan istilah Debata Ni Idah (Tuhan yang
dilihat). Oleh karena itu, pihak kula-kula ini haruslah dihormati. Sikap menentang
kula-kula sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan masyarakat Pakpak. Dalam
acara-acara adat, kelompok kula-kula diwajibkan untuk hadir, termasuk juga
dalam adat kematian dan mendapat peran yang penting termasuk juga dalam
upacara kematian.
2) Dengan sebeltek/Senina
Dengan sebeltek/senina adalah mereka yang mempunyai hubungan tali
persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah orang-orang
yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Selain itu, dalam sebuah upacara
sebuah acara adat, senina dan seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung
acara tersebut. Secara umum, hubungan senina ini dapat disebabkan karena
adanya hubungan pertalian darah, sesubklen/semarga, memiliki ibu yang
bersaudara, memiliki istri yang bersaudara dan memiliki suami yang bersaudara.
3) Anak beru
Anak berru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok
pengambil anak dara dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang bertanggung
jawab atas acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah sebagai pekerja,
penanggung jawab dan pembawa acara pada sebuah acara adat. Sedangkan
situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak tengah dan
siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah pihak yang mempunyai
ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan keluarga.
Kelima kelompok diatas mempunyai pembagian sulang (jambar) yang
berbeda, yaitu sebagai berikut : Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang
berpesta) akan mendapat sulangper-punca naidep. Situaan (orang tertua yang
menjadi tuan rumah sebuah pesta akan mendapat sulang per-isang-isang).
Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan mendapat sulang
per-tulantengah. Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga)
akan mendapat sulang per-ekur-ekur.Anak berru (pihak yang mengambil anak
gadis dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang perbetekken atau takal
peggu. Biasanya penerimaan perjambarenanak berru disertai dengan takal peggu.
berjalannya pesta. Anak berru lah yang bertugas menyiapkan makanan serta
menghidangkan selama pesta berlangsung.
2.4Sistem Bahasa
Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di Kecamatan Kerajaan
adalah bahasa Pakpak karena mayoritas penduduk disana adalah suku Pakpak. Hal
ini menyebabkan kehidupan sehari- hari penduduk disana menggunakan bahasa
Pakpak begitu juga dalam acara adat. Terdapat juga sebagian kecil suku lain
seperti suku Toba, Karo, Nias dan Jawa yang datang kedaerah Kecamatan
Kerajaan, tetapi setelah tinggal beberapa lama disana, masyarakat dari suku-suku
tersebut diatas sudah mengerti dan fasih menggunakan bahasa Pakpak. Selain
bahasa Pakpak, bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah
bahasa Indonesia yang digunakan di tempat-tempat umum, seperti sekolah,
puskesmas dan kantor Kelurahan.
Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan masyarakat
Pakpak, yaitu :
1. Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk
menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara.
2. Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau
bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi
(narrative songs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi) yang disebut
tangis mangaliangi (bahasa tutur tangis).
4. Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh diucapkan di
tengah-tengah kampung karena dianggap tidak sopan, dan
5. Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa
mantera oleh guru (Naiborhu, 2002:51).
2.5Sistem Kesenian
2.5.1 Seni musik
Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk penyajiannya
dan cara memainkannya. Berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik
tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu gotchi dan oning-oningen. Sedangkan
berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik tersebut terbagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu : sipaluun ( alat musik yang dimainkan instrument
musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu gotchi dan oning-oningen.
Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrument musik tersebutterbagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu : sipaluun (alat musik yang dimainkan dengan
cara dipukul), sisempulen (alat musik yang dimainkan dengan cara ditiup) dan
sipiltiken (alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik). Istilah gotchi dan
oning-oningen sudah mendapat pergeseran arti dikalangan masyarakat Pakpak.
Dalam tulisan Skripsi Sarjana Anna Rosita yang berjudul Deskripsi Organologi
Sarune Pakpak – Dairi halaman 2 menyebutkan bahwa gotci adalah kelompok
alat-alat musik yang dimainkan secara ensambel (berkelompok). Sedangkan
oning-oning adalah sekelompok alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal
menurut wawancara dengan beberapa pemusik tradisi Pakpak sekarang
menyebutkan bahwa gotchi adalah istilah untuk beberapa ensambel seperti :
ensambel genderang sisibah, genderang sipitu-pitu, genderang silima,
gendangsidua-dua, gerantung, mbotul dan gung. Sedangkan istilah oning-oningen
digunakan untuk ensambel yang terdiri dari gendang sitelu-telu, gung
sadarabaan, lobat (aerophone), kalondang (xylophone), dan kucapi
(chordophone), yang pada penggunaannya di gunakan untuk upacara mbaik
seperti upacara pernikahan (merbayo).
a) Instrumen Musik Berdasarkan Bentuk penyajian
Gotchi adalah instrumen musik yang disajikan dalam bentuk seprangkat
(ansambel) yang terdiri dari : ensambel genderang sisibah, genderang
sipitu-pitu,genderang silima, gendang sidua-dua, gerantung, mbotul dan oning-oningen.
Genderang sisibah adalah seperangkat gendang satu sisi yangterdiri dari
Sembilan buah gendang yang berbentuk konis. Dalam adat, instrumen ini disebut
siraja gumeruhguh yaitu sesuai dengan suara yang dihasilkannya dan situasi yang
di iringinya karena ramai dan besarnya acara tersebut. Masing-masing nama dari
kesembilan gendang tersebut dari ukuran terbesar hingga ukuran terkecil adalah
sebagai berikut :
1) Genderang I, Si raja gumeruhguh (suara bergemuruh) dengan pola ritmis
menginang-inangi atau megindungi (induk).
2) Genderang II, Si Raja Dumerendeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola
ritem menjujuri atau mendonggil-donggili (mengangungkan, mentakbiri,
3) Genderang III s/d VII, Si Raja Menak-enak dengan pola ritmis benna kayu
sebagai pembawa ritmis melodis (menenangkan atau menentramkan).
4) Genderang VIII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis menehtehi
(menyeimbangkan).
5) Genderang IX, Si Raja Mengapuh dengan pola ritmis menganak-anaki
atau tabil sondat (menghalang-halangi)
Gambar 2.2: Genderang Sisibah
(Dokumentasi Yenni Alexandra, 2014)
Dalam bentuk seperangkat, kesembilan gendang ini dimainkan bersama
sama dengan gung sada rabaan (seperangkat gung yang terdiri dari empat buah,
yaitu panggora (penyeru), poi (yang menyahut), tapudep (pemberi semangat) dan
sarune(double reed oboe) dan cilat-cilat (simbal concussion). Dalam
penyajiannya, ansambel ini hanya dipakai pada jenis upacara suka cita (kerja
mbaik) saja pada tingkatan upacara terbesar atau tertinggi saja.
Selanjutnya adalah ensambel genderang sipitu-pitu. Ensambel ini terdiri
dari 7 buah gendang konis yang berasal dari genderang sisibah. Ketujuh gendang
ini berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang mulai
dari urutan I sampai VII. Instrumen lainnya yang terdapat dalam ensambel ini
adalah gung sada rabaan, Sarune, dan cilat-cilat sebagaimana yang terdapat
dalam genderang sisibah. Ensambel ini biasanya digunakan untuk kerja mbaik
dalam tingkatan tertentu saja.
Selanjutnya adalah ensambel genderang Si lima yaitu seperangkat
gendang satu sisi berbentuk konis yang terdiri darai lima buah gendang. Kelima
gendang ini berasal dari genderang sisibah dengan hanya menggunakan gendang
pada bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar, yaitu gendang I, III, V, VII
dan IX. Fungsi dari kelima gendang tersebut sama dengan fungsinya
masing-masing seperti pada genderang sisibah. Instrumen lainnya yang terdapat dalam
ensambel ini adalah gung sada rabaan, Sarune, dan cilat-cilat sebagaimana yang
terdapat dalam genderang sisibah. Ensambel ini digunakan pada upacara dukacita
(kerja njahat) saja, seperti upacara kematian, mengongkal tulan (mengangkat
tulang-tulang) pada tingkatan upacara terbesar dan tertinggi secara adat.
Selanjutnya terdapat ensambel gendang sidua-dua. Ensambel gendang ini
terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barrel (double head two
barreldrums). Kedua gendang ini terdiri dari gendang inangna (gendang induk,
jantan) yaitu gendang terkecil. Instrumen lain yang terdapat dalam instrument ini
adalah empat buah gong (gung sada rabaan) dan sepasang cilat-cilat (simbal).
Ensambel ini biasanya digunakan untuk upacara ritual, seperti mengusir roh
penunggu di hutan sebelum diolah menjadi lahan pertanian (mendeger uruk) dan
hiburan saja seperti upacara penobatan raja atau mengiringi tarian pencak.
Kemudian ensambel musik mbotul adalah seperangkat alat musik gong
(idiophones) berpencu yang terdiri dari 5, 7, atau 9 buah gong. Disusun berbaris
diatas rak seperti kenong pada tradisi gamelan Jawa. Dalam penggunaannya,
instrumen ini berperan sebagai pembawa melodi dan secara ensambel dimainkan
bersama-sama dengan gung sada rabaan.
Selanjutnya adalah ensambel oning-oningen. Ensambel ini terdiri dari
gendang sitelu-telu (membranophone single head), gung sada rabaan,
lobat(aerophone), kalondang (xylophone), dan kucapi (chordophone). Ensambel
ini digunakan pada upacara suka cita (kerja mbaik) seperti upacara penikahan
(merbayo) dan untuk mengiringi tarian (tatak).
b) Instrumen Musik Berdasarkan Cara memainkannya
Untuk melihat pembagian alat musik tradisional Pakpak dari caramemainkannya,
dapat kita lihat dari tabel berikut.
Tabel 2.1 Pembagian Alat Musik Berdasarkan Cara Memainkannya
No. Cara Memainkan Alat Musik
1. Sipaluun Genderang, Kalondang, Gung, Cilat-cilat,
Ketuk mbotul, Deng-deng, Doal, Gerantung,
2. Sisempulen Sarune, Lobat, Sordam.
3. Sipiltiken Kucapi
2.5.2 Seni Suara
Masyarakat Pakpak memiliki beberapa jenis seni suara ataupun nyanyian.
Nyanyian yang dimaksud adalah musik vocal. Masyarakat Pakpak member nama
ende-ende (baca :nde-nde) terhadap semua musik vokalnya. Ada beberapa jenis
musik vokal yang terdapat pada masyarakat Pakpak yang dibedakan berdasarkan
fungsi dan penggunaannya masing-masing yaitu sebagai berikut.
1) Tangis milangi atau disebut juga tangis-tangis adalah kategori nyanyian
ratapan (lamenta) yang disajikan dengan gaya menangis. Disebut tangis
milangi karena hal-hal mengharukan yang terdapat didalam hati
penyajinya akan ditutur-tuturkan (dalam bahasa Pakpak:
ibilang-bilangken, milangi) dengan gaya menangis (Pakpak : Tangis). Ada
beberapa jenis tangis milangi yang terdapat pada masyarakat Pakpak, yaitu
sebagai berikut.
a. Tangis sijahe adalah jenis nyanyian yang disajikan oleh gadis
(female song) menjelang pernikahannya. Teks nyanyian ini berisi
tentang ungkapan kesedihannya karena akan meninggalkan
keluarganya dan memasuki lingkungan keluarganya. Nyanyian ini
ditujukan agar orangorang tua yang mendengar merasa iba dan
ini disajikan dalam bentuk melodi yang berubah-ubah (repetitif)
dengan teks yang berubah-ubah.
b. Tangis anak melumang, nyanyian ini disajikan oleh pria ataupun
wanita. Nyanyian ini berisi tentang kesedihan seseorang yang
ditinggal mati orang tuanya. Nyanyian ini biasanya disajikan pada
saat-saat tertentu, seperti ketika berada di hutan, di ladang, di
sawah atau tempat-tempat sepi lainnya. Teksnya berubah-ubah
dengan melodi yang sama. Tangis si mate adalah nyanyian ratapan
(lament) kaum wanita ketika salah seorang anggota keluarganya
meninggal dunia. Disajikan di depan si mati dan teksnya berisi
tentang kisah hidup si mati, berisi tentang perilaku yang paling
berkesan dari si mati semasa hidupnya. Nyanyian ini adalah
nyanyian strofik yang lebih mementingkan isi teks dari pada
melodi.
2) Ende mendedah adalah sejenis nyanyian lullaby atau nyanyian menidurkan
anak yang dinyanyikan oleh sipendedah (pengasuh) baik kaum pria
maupun wanita untuk menidurkan atau mengajak si anak bermain.
Jenisnya terdiri dari orih-orih, oah-oah dan cido-cido. Ketiga nyanyian
jenis nyanyian ini menggunakan teks yang selalu berubah-ubah dengan
melodi yang diulang-ulang (repetitif).
a. Orih-orih ialah nyanyian untuk menidurkan anak yang
dinyanyikan oleh sipendedah (pengasuh) orangtua atau kakak baik
pria maupun wanita.Si anak digendong sambil i orih-orihken
nyanyian yang liriknya berisi tentang nasehat, cita-cita, harapan
maupun curahan kasih sayang terhadap si anak.
b. Oah-oah sering disebut juga dengan kodeng-kodeng, yaitu jenis
nyanyian yang teksturnya sama dengan orih-orih. Yang
membedakannya adalah cara menidurkannya, jika orih-orih
disajikan dengan cara menggendong, maka oah-oah disajikan
sambil mengayun si anak dalam ayunan.
c. Cido-cido adalah nyanyian untuk mengajak si anak bermain.
Tujuannya adalah agar si anak merasa terhibur dengan
gerakan-gerakan lucu sehingga si anak merasa terhibur dan tertawa. Teks
lagu yang dinyanyikan biasanya berisi tentang harapan-harapan
agar kelak si anak menjadi orang yang berguna.
3) Nangan ialah nayanyian yang disajikan pada waktu bersukut-sukuten
(mendongeng). Setiap ucapan dari tokoh-tokoh yang terdapat pada
ceritatersebut di sajikan dengan cara bernyanyi. Ucapan tokoh
yangdinyanyikan tersebut dalam cerita disebut dengan nangen, sedangkan
rangkaian ceritanya disebut sukut-sukuten.
Secara tekstur, cerita sukut-sukuten umumnya berisi tentang
pedoman-pedoman hidup dan teladan yang harus dipanuti berdasarkan perilaku yang
yang diperankan oleh tokoh yang terdapat dalam cerita. Persukuten
haruslah orang yang cukup ahli menciptakan tokoh-tokoh melalui warna
Adapun sukut-sukuten yang cukup dikenal oleh masyarakat pakpak
adalah Sitagandera, Nan tampuk mas, Manuk-manuk Si RajaBayon, Si
buah mburle, dan lain sebagainya.
4) Ende-ende mardembas adalah bentuk nyanyian permainan dikalangan
anak-anak usia sekolah yang dipertunjukkan pada malam hari di halaman
rumah pada saat terang bulan purnama. Mereka menari dan membentuk
lingkaran dan membuat lompatan kecil sambil bernyanyi secara chorus
(koor) maupun solo chorus (nyayian solo yang disambut dengan koor). Isi
teksnya biasanya berisi tentang keindahan alam serta kesuburan tanah
kampungnya dan dinyanyikan dengan pengulangan melodi (repetitif) serta
teks yang berubah-ubah sesuai pesan yang disampaikannya.
5) Ende-ende Memuro Rohi, nyanyian ini termasuk kedalam nyanyian work
song, yaitu nyanyian yang di sajikan pada saat bekerja. Biasanya
dinyanyikan ketika berada di ladang atau di sawah untuk mengusir
burung-burung agar tidak memakan padi yang ada di sawah. Kegiatan
muro (menjaga padi) ini biasanya menggunakan alat yang disebut dengan
ketter dan gumpar yang dilambai-lambaikan ke tengah sawah sambil
menyanyikan ende-ende memuro rohi.
2.5.3 Seni Tari
Masyarakat Pakpak menyebutkan istilah tari dengan istilah Tatak. Sementara
menari disebut tumatak. Penggunaan tatak pada masyarakat Pakpak hampir
istilah masyarakat Pakpak disebut kerja. Ada kerja mbaik yaitu acara-acara
sukacita, seperti:
1. Upacara pernikahan (merbayo)
Dalam upacara pernikahan pada masyarakat Pakpak, tari atau tatak
digunakan dalam hampir setiap rangkaian acara. Orang yang menari atau
tumatak, harus menyesuaikan gerakan sesuai dengan kedudukannya di dalam
upacara tersebut, apakah sebagai pihak kula-kula, berru, maupun dengan
sebeltek.
2. Mendegger uruk.
Pesta ini merupakan pesta syukuran sekaligus mengawali semua kegiatan
pertanian yang ada disuatu kampung dandilakukan oleh satu marga tertentu.
Orang-orang yang hadir dalam upacara ini adalah sulang silimadari pihak marga
tersebut. Sama seperti upacara-upacara lainnya, setiap orang yang tumatak harus
menyesuaikan gerakan dengan kedudukannya dalam upacara tersebut.
3. Mengerumbang
Mengerumbang adalah suatu rangkaian upacara adat yang dilakukan
berdasarkan kemampuan suatu keluarga yang ingin membayar atau
menyelesaikan semua hutang adat orang tuanya sebelum meninggal, atau dengan
kata lain mengadakan pesta diwaktu orang tua masih hidup. Disini juga
dilaksanakan tatak sama seperti upacara-upacara adat lainnya, dimana orang yang
tumatakmenyesuaikan kedudukannya pada upacara tersebut.
Kerja njahat yaitu acara-acara yang bersifat dukacita, seperti upacara
kematian. Di dalam kerja njahat, penggunaan gerakan tatak juga berdasarkan
Dibawah ini merupakan gerakan yang umum digunakan dalamkerjambaik
maupun kerja njahatadalah :
• Mengera-ngera
Mangera-ngera merupakan nama gerakan yang mengkolaborasikan tatak
(tari) dan moccak (pencak silat) untuk penyambutan sambil memegang
serangkaian daun tertentu seperti, bulung (daun) silinjuhang, sangkasa mpilit,
asar biang, sanggar, bunga sanggar, jabi-jabi, yang dirangkai dan diikat ke kayu
sarkea. Pada konteks upacara sukacita maupun dukacita, gerakan ini dilakukan
oleh kaum Beru untuk menyambut Kula-kula dan bisa saja dilakukan oleh orang
yang sengaja diunjuk.
• Suyuk
Gerakan ini digunakan untuk menyambah ataupun menghormati
(memasu-masu). Gerakan ini digunakan oleh pihak kula-kula kepada pihak berru yang
menyimbolkan pemberian berkat.
• Mengeleap
Gerakan ini adalah gerakan yang secara garis besarnya menggunakan gerakan
tangan.
• Menerser
Gerakan ini adalah gerakan yang secara garis besarnya menggunakan
Beberapa jenis tatak yang digunakan untuk hiburan atau pertunjukan adalah
sebagai berikut :
Tatak Menabi page
Tatak Menabi Page merupakan jenis tarian muda- mudi yang
menggambarkan suasana kegembiraan pada saat memanen padi. Pada zaman
dahulu, saat panen padilah para muda-mudi di daerah Pakpak dapat bertemu dan
mengenal lebih dekat satu sama lain.
Tatak Garo-garo
Tatak ini menggambarkan tentang kegembiraan muda-mudi dalam masa
panen. Tatak ini memiliki kemiripan dengan tatak menabi page, namun dalam
tatakgaro-garo, hal yang digambarkan tidak hanya dalam memanen padi,
melainkan mulai dari proses menanam sampai memanen padi tersebut.
Gambar 2.4: Tatak Garo-garo
(Dokumentasi Sanggar Nina Nola)
Tintoa serser
Tatak ini menggambarkan tentang bagaimana masyarakat Pakpak dalam
bercocok tanam, mulai dari mengolah atau membuka lahan sampai mengambil
Gambar 2.5: Tatak Tintoa Ser-ser
(Dokumentasi Sanggar Nina Nola)
Tatak menganjaki takal-takal
Dahulu tatak ini adalah rangkaian upacara ritual bagi orang Pakpak, dimana
mereka menginjak-injak kepala musuh atau tawanan yang sudah dipenggal dan
kemudian direbus. Namun sekarang tatak ini ditarikan dengan menggunakan
replika kepala manusia untuk diinjak dan sudah menjadi bagian pertunjukan bagi
Gambar 2.6:
Tatak menganjaki takal-takal (Dokumentasi Sanggar Nina Nola)
Tatak Mendedah
Tatak ini menggambarkan tentang bagaimana seorang ibu mengasuh
bayinya. Tatak ini hanya dilakukan oleh para perempuan.
Tatak Renggisa
Tatak ini menggambarkan tentang sepasang muda-mudi yang sedang
Gambar 2.7: Tatak Renggisa
(Dokumentasi Sanggar Nina Nola)
Tatak Ndembas
Tatak ini mirip dengan tatak Nantampuk Mas, namun perbedaannya tatak
ndembas iniboleh ditarikan oleh kaum ibu-ibu. Disebut tatak Ndembas, karena
tarian ini ditarikan sambil bernyanyi dan umumnya tarian ini merupakan
ungkapan penyesalan ataupun pelampiasan dari para ibu-ibu yang mengalami
kawin paksa ataupun yang mengalami tekanan-tekanan sehingga
mengharuskannya untuk menikah. Isi daripada nyanyian yang dinyanyikan pun
juga merupakan ungkapan- ungkapan kekesalan ataupun hal-hal yang mengganjal
Tatak Perampuk-ampuk
Tatak ini menggambarkan tentang keharmonisan yang terjalin antara kaum
muda-mudi yang ada dalam kebudayaan masyarakat Pakpak.
Gambar 2.8: Tatak Perampuk-ampuk (Dokumentasi Sanggar Nina Nola)
Tatak Mengindangi
Tatak ini menggambarkan tentang suasana menumbuk padi pada masyarakat
Pakpak. Tarian ini menggambarkan tentang muda-mudi mulai dari tahap
berkenalan hingga menjalin hubungan pada saat menumbuk padi. Pada saat
perempuan mulai menumbuk padi, maka pemuda- pemuda yang ada di kampung
tersebut akan berdatangan karena mendengar suara tumbukan lesung. Sehingga
Tatak Menapu Kopi
Tatak ini menggambarkan tentang bagaimana proses memetik kopi yang
dilaksanakan oleh para petani di daerah Pakpak.
Gambar 2.9: Tatak Menapu Kopi (Dokumentasi Sanggar NinaNola)
Perlu diketahui bahwa tatak yang sifatnya hiburan ataupun pertunjukan
biasanya hanya di laksanakan oleh para kaum muda-mudi. Serta untuk mengiringi
tarian ini digunakan ensambel oning-oningen.
2.6Sistem Mata Pencaharian
Secara umum, sistem mata pencaharian masyarakat Pakpak adalah sebagai
perkemenjen (orang yang mencari kemenyan). Sebagian ada juga yang bercocok
kabupaten Dairi maka Pakpak Bharat mulai membentuk instansi-instansi
pemerintahan kabupaten sendiri yang mempekerjakan sebagian besar masyarakat
Pakpak bharat sebagai pegawai pemerintahan kabupaten.
2.7Sanggar Nina Nola
Sanggar Nina Nola merupakan salah satu sanggar kesenian Pakpak yang
berdiri sendiri tanpa dibawahi naungan organisasi manapun. Sanggar ini berdiri
pada tahun 90an oleh Bapak Atur Pandapotan Solin beserta keluarga dan kawan-
kawan, diantaranya Dahlan Solin, Patar Solin, Romasta Uli Solin, Siti Aminah
Sitakar, Alm. Serasi Limbong, Jhon Edi Simanjuntak, Kami Capah, dan lain
sebagainya. Sanggar ini terletak di Jalan. Sisingamangaraja No. 66 Desa
Sukaramai, Kecamatan Kerajaan, Pakpak Bharat.
Sanggar Nina Nola ini bergerak dalam bidang musik dan tari kesenian
tradisional Pakpak, seperti tatak Nantampuk Mas. Sebelum menjadi sanggar,
awalnya Nina Nola merupakan group yang mengisi berbagai acara kesenian di
daerah Pakpak. Melihat banyaknya pemusik dan penari yang sudah cukup
profesional, akhirnya Bapak Atur Pandapotan Solin membentuk Nina Nola
menjadi sebua sanggar, untuk menjadi wadah perkumpulan bagi seniman-
seniman Pakpak, sekaligus membentuk generasi-generasi penerus. Selain itu,
semasa mudanya pun Bapak Atur Pandapotan Solin memang sudah menggeluti
kesenian. Dia ingin memperkenalkan kepada masyarakat, serta memajukan dan
melestarikan kebudayaan yang ada.
Sanggar Nina Nola ini memiliki anggota ada yang berasal dari keluarga
maupun anak anak. Keseluruhannya tersebut sudah termasuk penari dan pemusik.
Dulunya sanggar Nina Nola ini melakukan sistem latihan secara rutin sesuai
dengan kesepakatan bersama, namun sekarang sudah mulai jarang diakibatkan
kesibukan masing-masing anggota dengan pekerjaan sehari-hari dan semakin
sedikitnya minat generasi penerus untuk mempelajari kesenian tradisi. Akan
tetapi, anggota melakukan latihan di hari-hari lainnya tergantung keinginan para
anggota. Begitu juga jika ada job atau panggilan permintaan pertunjukan dalam
suatu acara, jadwal latihan akan lebih diperbanyak dari biasanya, dan jadwal
latihannya di buat tergantung hari apa dan jam berapa yang bisa di berikan
anggota dan disesuaikan bersama.
Sistem pelatihan dilakukan dengan menggunakan latihan bersama. Dimana
pertamanya para penari dulu yang berlatih, baik itu mengulang gerakan lama
maupun membentuk gerakan-gerakan yang baru. Setelah dalam beberapa hari
para penari sudah mahir dan kompak, selanjutnya dipanggillah para pemusik agar
saling menyesuaikan. Hal ini dikarenakan dalam tatak Nantampuk Mas ini
sistemnya gerakan tari mengikuti musik. Dalam pembagian honorium jika ada
melakukan pertunjukan pada sanggar, yaitu dengan membagi rata pada setiap
anggota. Sanggar Nina Nola ini telah banyak melakukan pertunjukan berbagai tari
tradisional di dalam maupun di luar daerah, dari semuanya paling banyak