• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DAN STRATEGI PERTAHANAN NEGARA DI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP DAN STRATEGI PERTAHANAN NEGARA DI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PERTAHANAN

JAKARTA, 04 Nopember 2013 KONSEP DAN STRATEGI PERTAHANAN NEGARA DI LAUT DALAM MENGHADAPI ANCAMAN MILITER DI DAN/ATAU LEWAT LAUT SEBAGAI BAGIAN DARI FUNGSI

PENANGKALAN

I. Pendahuluan.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan letak yang strategis di antara dua benua, benua Asia dan Australia, serta dua samudera, Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Konstelasi geografis Indonesia tersebut beserta kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia, merupakan faktor-faktor yang sangat mempengaruhi dinamika politik, ekonomi, dan keamanan nasional Indonesia1. Letak strategis ini juga mengakibatkan Indonesia berada pada persilangan jalur perdagangan dan pelayaran internasional, baik dari wilayah Pasifik dan Asia Timur menuju kawasan Timur Tengah, Afrika dan Eropa maupun sebaliknya. Dengan demikian, Indonesia menjadi wilayah tempat transitnya berbagai macam kepentingan negara-negara pengguna jalur perdagangan. Hal ini membawa konsekuensi logis yang berkenaan dengan pertahanan dan keamanan negara di laut, yakni munculnya ancaman yang berpengaruh pada konsep dan strategi pertahanan negara, yang timbul bukan saja disebabkan oleh konstelasi geografis Indonesia, namun juga disebabkan oleh pengaruh globalisasi pasca Perang Dingin (Post-Cold War Era)2, maupun perkembangan lingkungan strategis yang terus berkembang secara dinamis3.

Terdapat berbagai definisi ancaman dalam kaitannya dengan pertahanan maupun keamanan negara. Dalam kajian hubungan internasional (international relations studies), beberapa teori menjelaskan mengenai definisi ancaman tersebut. Menurut Buzan dan Waever (1998), ancaman dalam kerangka keamanan sosietal terbagi menjadi dua, ancaman horisontal dan ancaman vertikal. Ancaman horisontal yaitu beberapa identitas yang saling bersaing dalam

1

Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara, h. 5.

2

Lihat Barry Buza & Ole Wae er, Regions and Power, The Structure of International Security , Ca ridge

University Press, New York, 2003, h. 8.

3

(2)

1

suatu kelompok sosial. Sementara, ancaman vertikal yaitu ancaman yang mengakibatkan identitas suatu kelompok sosial melemah pada titik terjadinya disintegrasi atau secara nyata terkekang oleh suatu kekuatan politik4. Kedua hal ini mengakibatkan terjadinya konflik horisontal maupun vertikal. Sementara menurut Craig A. Snyder (1999), definisi ancaman dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, strategic studies dan security studies. Menurut

strategic studies ancaman yaitu ancaman militer yang ditujukan terhadap suatu negara, sementara menurut security studies, ancaman yaitu ancaman non militer yang bukan saja ditujukan terhadap negara, namun juga terhadap non-state actors maupun sub-state groups. Definisi ancaman juga dapat dilihat dengan jelas dalam Bab I Pasal 1 ayat 22 Undang-Undang RI No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia di mana disebutkan bahwa ancaman adalah setiap upaya dan kegiatan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Jika dilihat dari beberapa definisi mengenai ancaman tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang umum (common factors) dari ancaman. Pertama, ancaman ditujukan terhadap negara/kelompok sosial dan kedua, ancaman terhadap identitas negara/kelompok tersebut (termasuk terhadap bangsa/anggota kelompok sosial tersebut).

Spektrum ancaman yang dapat timbul dan mengancam kedaulatan, keutuhan maupun keselamatan bangsa dan negara amat beragam. Dengan perkembangan lingkungan strategis pasca Perang Dingin, spektrum ancaman bergeser dari tradisional (militer) ke non tradisional (nirmiliter) yang mengakibatkan bergesernya pula peperangan konvensional (conventional warfare) ke peperangan inkonvensional (unconventional warfare) dan peperangan asimetris (asymetric warfare)5. Perkembangan lingkungan strategis, baik global maupun regional, tersebut turut mempengaruhi karakteristik ancaman dengan munculnya isu-isu keamanan seperti terorisme, ancaman keamanan lintas negara, dan proliferasi senjata pemusnah massal6. Berdasarkan konstelasi geografis Indonesia, seperti yang telah disebutkan di atas, maka isu-isu keamanan tersebut juga dapat terjadi di dan/atau lewat laut, termasuk juga isu keamanan maritim. Beberapa ancaman yang teridentifikasi sebagai ancaman di dan/atau lewat laut dapat dibedakan menjadi ancaman potensial (perceived threat) seperti agresi militer asing, konflik

4

Lihat Peter Burgess, Non-military Security Challenges , I ter atio al Pea e Resear h I stitute, Oslo, , h. . 5

Doktrin TNI AL, Opcit, h. 16.

6

(3)

2

dengan negara tetangga berkaitan dengan sengketa perbatasan, serta kehadiran militer asing di laut dengan dalih untuk mengamankan armada niaganya dan menghancurkan jaringan terorisme jika Indonesia dianggap tidak bisa memberikan jaminan keamanan7, dan ancaman faktual (real threat) seperti ancaman pelanggaran hukum dalam bentuk penyelundupan, illegal fishing, bajak laut (piracy), perompakan (sea robery), transnational organized criminal (TOC), serta ancaman terhadap sumber daya laut dan lingkungan, ancaman bahaya navigasi hingga ancaman kekerasan berupa terorisme maritim, separatisme, dan lain sebagainya.

Dengan mempertimbangkan kondisi geografis, perkembangan lingkungan strategis global dan regional, serta semakin berkembangnya ancaman yang dihadapi oleh Indonesia, maka diperlukan suatu konsep pertahanan negara di laut yang kuat sebagai cerminan kebijakan politik Indonesia sebagai negara kepulauan. Konsep pertahanan negara di laut yang kuat diharapkan dapat terwujud sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang RI nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.

II. Konsep dan Strategi Pertahanan Negara di Laut.

Sistem pertahanan negara Indonesia disusun berdasarkan konsep geostrategi sebagai negara kepulauan. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang RI nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, bahwa pertahanan negara disusun dengan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Konsep pertahanan negara sendiri disusun dengan mengedepankan konsep pertahanan berlapis8, yaitu konsep pertahanan yang bertumpu pada keterpaduan antara lapis pertahanan militer dan lapis pertahanan nirmiliter. Konsep pertahanan negara yang bersifat pertahananan berlapis memiliki tujuan untuk penangkalan, mengatasi dan menanggulangi ancaman militer atau nirmiliter dan untuk tujuan menghadapi perang berlarut9.

Fungsi penangkalan merupakan strategi yang dilaksanakan pada masa damai, dan merupakan integrasi usaha pertahanan, yang mencakup instrumen politik, ekonomi, psikologi, teknologi dan militer10. Di dalam buku Strategi Pertahanan Negara (Kementerian Pertahanan RI, 2007) disebutkan bahwa pada konsep penangkalan terdapat dua macam strategi penangkalan,

7

Doktrin TNI AL, Opcit, h. 20.

8

Ke e teria Pertaha a RI, Strategi Pertahanan Negara , Jakarta, , h. . 9

Ibid, h. 53.

10

(4)

3

yaitu penangkalan dengan cara penolakan dan penangkalan dengan cara pembalasan. Konsekuensi dari pelaksanaan strategi penangkalan dengan cara penolakan ini adalah pembangunan sistem pertahanan yang moderen berbasis alat utama sistem senjata (alutsista) yang canggih dan andal11 serta mampu memiliki daya penggetar (deterrence effect) yang kuat. Sementara penangkalan dengan cara pembalasan dilaksanakan jika suatu negara tidak memiliki sistem pertahanan militer berbasis alutsista ideal dan dilaksanakan dengan cara peperangan yang berlarut menggunakan strategi gerilya12. Dengan berbagai pertimbangan, maka strategi penangkalan Indonesia merupakan gabungan dari penangkalan dengan cara penolakan dan dengan cara pembalasan berupa pertahanan melingkar multilapis dengan pusat kekuatan dukungan rakyat atas peran TNI sebagai kekuatan utama13.

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), sebagai bagian dari TNI, memiliki peran, tugas dan fungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa (Bab IV pasal 6 ayat (1) UU RI nomor 34 tahun 2004 tentang TNI). Dalam pelaksanaan peran, tugas dan fungsi yang telah diamanatkan oleh undang-undang tersebut, TNI AL memiliki doktrin yang dikenal sebagai doktrin Eka Sasana Jaya yang merupakan turunan dari doktrin TNI yaitu TRIDEK (Tri Dharma Eka Karma). Di dalam doktrin tersebut tercantum konsep pertahanan negara di laut yang meliputi segala upaya pertahanan yang bersifat semesta dengan mengikut sertakan seluruh warga negara dalam usaha pertahanan negara di dan atau lewat laut14. Strategi yang dilaksanakan untuk mendukung pertahanan negara di laut sendiri dijabarkan dalam suatu konsep Strategi Pertahanan Laut Nusantara (SPLN) yang merupakan bagian integral dari Strategi Pertahanan Nusantara. Prinsip SPLN ditata di atas tiga pilar yang saling terkait, yaitu sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta, pertahanan mendalam (defence-in-depth) dan penangkalan15.

Strategi Pertahanan Laut Nusantara merupakan doktrin perang laut TNI AL yang dipakai sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas dan fungsi TNI AL sebagai bagian dari komponen utama pertahanan negara. Sasaran yang ingin dicapai oleh SPLN16 adalah tercegahnya niat dari

Konsepsi Strategi Pertahanan Laut Nusantara , Ma esal, , h. -22.

16

(5)

4

pihak-pihak yang akan mengganggu kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI, tertanggulanginya setiap bentuk ancaman aspek laut serta berbagai bentuk gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan bersenjata di wilayah NKRI, hingga terciptanya kondisi laut yurisdiksi nasional yang terkendali (termasuk ketiga alur laut kepulauan). Untuk mewujudkan ketiga sasaran tersebut, diterapkan strategi pertahanan laut nusantara17, yaitu :

a. Strategi Penangkalan (Deterrence Strategy). Dilaksanakan melalui diplomasi angkatan laut, kehadiran di laut, serta pembangunan kekuatan dan kemampuan TNI AL. b. Strategi Pertahanan Berlapis (Layer Defence Strategy). Dilaksanakan pada masa perang dengan mengedepankan pola operasi tempur laut gabungan matra laut dan udara dengan mengerahkan seluruh kekuatan komponen maritim.

c. Strategi Pengendalian Laut (Sea Control Strategy). Dilaksanakan untuk menjamin penggunaan laut bagi kekuatan sendiri, mencegah penggunaan laut oleh lawan serta meniadakan seluruh ancaman aspek laut dari dalam negeri dengan pola Operasi Laut sehari-hari.

Penyelenggaraan strategi penangkalan melalui diplomasi angkatan laut (naval dplomacy)dilaksanakan dengan menggunakan pola operasi muhibah ke negara-negara lain, contohnya operasi Kartika Jala Krida (KJK) kadet Akademi TNI AL menggunakan KRI Dewaruci maupun Port Visit KRI dalam rangka pelaksanaan latihan bersama dengan negara sahabat, serta menggunakan pola operasi perdamaian dunia (peace keeping operation), contohnya pengerahan KRI Diponegoro-365 dan KRI Frans Kaiseipo-368 yang tergabung dalam

Maritime Task Force UNIFIL dalam rangka misi perdamaian PBB di Lebanon. Sementara strategi penangkalan melalui kehadiran di laut diselenggarakan dengan menggunakan pola operasi kehadiran di laut (naval presence) melalui pameran bendera atau unjuk kekuatan (show of force)18.

Penggunaan strategi pengendalian laut juga digunakan dalam rangka pelaksanaan fungsi penangkalan dalam konsep pertahanan negara. Penyelenggaraan strategi pengendalian laut dilaksanakan dengan pola operasi Siaga Tempur Laut, yang dilaksanakan pada wilayah yang memiliki potensi konflik atau disebut juga perairan rawan selektif seperti perairan Ambalat. Pola operasi lainnya dalam strategi ini yaitu operasi laut sehari-hari dalam bentuk operasi keamanan

17

Ibid, h. 13.

18

(6)

5

laut dan operasi bantuan, seperti operasi tanggap bencana tsunami di Aceh dan Mentawai. Dalam Peraturan Kasal mengenai kebijakan dasar pembangunan kekuatan TNI AL menuju kekuatan pokok minimum (minimum essential force) tahun 2009 disebutkan pula bahwa operasi pemutusan garis perhubungan lawan adalah termasuk salah satu pola operasi dalam rangka pelaksanaan strategi pengendalian laut19 . Namun pola operasi ini dilaksanakan pada masa perang dan bukan pada masa damai.

Terdapat beberapa teori yang dipakai sebagai dasar penyusunan konsep pertahanan negara di laut dengan penggunaan SPLN. Teori strategi perang yang telah ada selama ratusan tahun, seperti teori seni perang Sun Tzu mengenai musuh, logistik hingga strategic positions dan lain sebagainya, merupakan basis yang digunakan dalam setiap doktrin perang maupun pertahanan negara di dunia. Namun teori-teori mengenai keangkatan lautan yang menjadi basis utama penetapan doktrin perang laut TNI AL yaitu SPLN. Teori Alfred Thayer Mahan seperti tercantum dalam bukunya The Influence of Sea Power Upon History (1890) merupakan teori klasik yang digunakan dalam membentuk konsep pertahanan negara di laut. Demikian pula teori dari Sir Julian Corbett mengenai fleet-in-being, support diplomacy, dan command of the sea, turut mempengaruhi SPLN. Sementara teori trinitas peran angkatan laut dari Ken Booth20 (military, constabulary, diplomacy) turut memberikan sumbangsih pemikiran dalam penerapan strategi penangkalan sebagai bagian dari fungsi penangkalan dalam konsep pertahanan negara di laut.

Melihat dari penjelasan di atas mengenai konsep pertahanan negara di laut dan teori yang mendukungnya, maka menjadi pertanyaan apakah teori yang dibangun pada awal abad ke-19 dan 20 masih tetap relevan pada masa kini yang dihadapkan pada spektrum ancaman yang semakin beragam seiring dengan perkembangan lingkungan strategis global maupun regional. Oleh karena itu diperlukan suatu pembahasan menggunakan pendekatan analisis ancaman terhadap teori yang mendasari pembangunan konsep pertahanan negara di laut.

III. Analisis Konsep dan Strategi Pertahanan Negara di Laut.

Spektrum ancaman di dan/atau lewat laut pada masa kini amatlah beragam. Perkembangan lingkungan strategis baik di tingkat global maupun regional (Asia Tenggara)

19

Perkasal No.: Perkasal/ /V/ , Kebijakan Dasar Pembangunan Kekuatan TNI AL Menuju Kekuatan Pokok Minimum , , h. .

20

(7)

6

telah membawa perubahan pada spektrum ancaman yang bergeser dari tradisional menjadi non-tradisional. Pada bagian pertama tulisan ini disebutkan bahwa ancaman di laut terbagi menjadi ancaman potensial (perceived threat) dan ancaman faktual (real threat). Invasi militer, konflik bersenjata dengan negara tetangga berkaitan dengan sengketa perbatasan, serta kehadiran militer asing di perairan yurisdiksi nasional dengan dalih memberantas terorisme dan melindungi kepentingannya di laut bila Indonesia tidak bisa memberikan jaminan keamanan merupakan ancaman yang potensial terjadi. Pertimbangan logisnya adalah letak geografis Indonesia yang berada di persilangan jalur perdagangan dan pelayaran internasional. Sementara ancaman faktual yang timbul di laut berupa terorisme, transnational crimes, ancaman dari dalam negeri yang dikelompokan dalam kategori kriminalitas, kerusuhan masyarakat, separatisme bersenjata, dan pemberontakan bersenjata untuk mengganti ideologi negara, serta ancaman keamanan laut, seperti pencurian ikan, perompakan, pembajakan, dan lain sebagainya.

Hal pertama yang perlu dianalisa dalam penerapan konsep pertahanan negara di laut dengan pendekatan analisa ancaman potensial. Strategi penangkalan (deterrence strategy) berupa

naval diplomacy, naval presence dan pembangunan kemampuan dan kekuatan angkatan laut memiliki tujuan agar dapat mencegah niat pihak lain mengganggu kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa21. Menurut Ken Booth (1979), frase naval diplomacy mengandung pengertian penggunaan kekuatan laut (warships) untuk mendukung kebijakan luar negeri pemerintah22. Peran diplomasi dikenal juga dengan unjuk kekuatan angkatan laut dirancang untuk mempengaruhi kepemimpinan negara atau beberapa negara dalam keadaan damai atau pada situasi yang bermusuhan23. Dengan kata lain, peran diplomasi dilaksanakan untuk memenangkan perang tanpa bertempur sama sekali sama seperti yang diajarkan oleh Sun Tzu24. Namun, kekuatan laut, atau dalam hal ini kapal perang, haruslah memiliki kesiapan tempur yang prima, mudah dikendalikan, mobilitas tinggi, mampu memproyeksikan kekuatan ke darat, mampu menampilkan sosok Angkatan Laut yang kuat dan berwibawa sebagai simbol dari

21

Mabesal, Opcit, h. 13.

22

Lihat Tho as M. DiBiaggio, Law, Force & Diplomacy at Sea, By Ken Booth , Maryla d Jour al of I ter atio al

Law Vol. 12 article 9, Maryland, 2013, h. 122.

23

Doktrin TNI AL, Opcit, h. 32.

24Roger T. A es.

(8)

7

kekuatan, dan memiliki daya tahan operasi yang tinggi25. Dengan demikian terdapat keterkaitan antara pola operasi naval diplomacy dengan pengembangan kekuatan angkatan laut.

Walaupun pada masa sekarang ini penggunaan traditional power (hard power) untuk mengkontrol lingkungannya, seperti yang dilakukan oleh negara great powers, mulai berkurang sebagai akibat perubahan politik dunia (Nye, 1990), namun strategi naval diplomacy masih dianggap memiliki dampak dalam pelaksanaan konsep strategi penangkalan sebagai salah satu cara penerapan dari soft power. Contoh yang paling menarik dari naval diplomacy adalah pelaksanaan gunboat diplomacy yang dilakukan oleh kapal perang angkatan laut Iran terhadap tim boarding party Royal Navy pada Maret 200726. Gunboat diplomacy sendiri menurut Perry (2009, h. 1) adalah pelaksanaan naval diplomacy yang memaksa (coercive), biasanya dilaksanakan oleh kekuatan superior terhadap kekuatan inferior. Akan tetapi gunboat diplomacy

dapat dilaksanakan oleh bangsa maritim yang lemah terhadap musuh yang lebih kuat dengan menerapkan kekuatan superior secara lokal (applying superior force locally)27 seperti kasus penangkapan tim boarding party Royal Navy oleh Iran di Teluk Arab. Penangkapan ini digambarkan sebagai propaganda yang menyentak negara-negara berkembang dengan pesan bahwa Iran adalah korban dari imperialisme kepada khalayak luas yang sedang dilanda frustasi sebagai dampak dari Perang Irak II. Angkatan Laut Iran melaksanakan operasi ini dalam rangka

gunboat diplomacy terhadap manuver Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) yang sedang melaksanakan latihan di wilayah yang sama dengan mengerahkan dua gugus tempur kapal induknya. Iran menunjukan bahwa mereka bukan kekuatan yang lemah di hadapan kekuatan militer yang besar28.

Sementara kehadiran di laut (naval presence) juga menuntut kesiapan kapal perang dalam melaksanakan penangkalan di wilayah yang memiliki potensi kerawanan terjadi konflik. Kehadiran unsur-unsur KRI dari berbagai tipe di perairan Ambalat, yang merupakan wilayah rawan konflik akibat sengketa perbatasan dengan Malaysia, terbukti memiliki efek penangkal yang tinggi. Tujuannya untuk mencegah lawan menggunakan laut untuk keuntungannya sendiri (sea denial). Menurut Mahan (1890), kekuatan laut yang unggul adalah terletak pada kemampuannya mengontrol alur pelayaran (sea lanes). Kehadiran unsur KRI di alur-alur

25

Doktrin TNI AL, Opcit, h. 32.

26

Matthe “ arlett, Coercive Naval Diplomacy , Na al War College, Ne port, , h. -10.

27

Ibid, h. 8.

28

(9)

8

pelayaran kita untuk melaksanakan sea control yang membawa dampak psikologis terhadap pihak-pihak yang berniat mengganggu kedaulatan, keutuhan, dan keselamatan bangsa dan negara.

Hal kedua yang perlu dianalisis dalam penerapan konsep pertahanan negara di laut dengan pendekatan analisa ancaman faktual. Strategi yang digunakan dalam rangka menangkal spektrum ancaman faktual adalah Strategi Pengendalian Laut (Sea Control Strategy). Ancaman faktual berupa ancaman terorisme, ancaman dalam negeri berupa kriminalitas, kerusuhan, dan pemberontakan bersenjata, serta ancaman keamanan laut. Strategi ini diimplementasikan dengan cara pola operasi Siaga Tempur Laut dan Operasi Laut sehari-hari.

Penggunaan kekuatan untuk pelaksanaan strategi ini adalah dengan mengerahkan seluruh komponen Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) yang dimiliki oleh TNI AL dengan perbantuan kekuatan TNI AU. Penggunaan kekuatan gabungan dalam operasi laut pada hakikatnya sesuai dengan teori Corbett (1911) dalam bukunya “Some Principles of Maritime Strategy”, yang menyatakan bahwa perang pada dasarnya tidak ditentukan oleh kekuatan laut.

Perang dimenangkan di darat. Oleh karenanya dalam strategi maritim perlu ditekankan pada penggunaan kekuatan gabungan angkatan laut dan angkatan darat dalam kaitannya dengan proyeksi kekuatan ke darat. Dengan memasukan TNI AU ke dalam pemikiran Corbett di atas tetap terlihat bahwa teorinya masih berlaku pada masa sekarang29. Misalnya, operasi Kohanudnas dan operasi Malacca Strait Sea Patrol (MSSP) di mana TNI AU merupakan bagian dalam patroli udara bernama Eyes in the Sky (EiS).

Demikian pula Mahan menekankan penguasaan laut atas Sea Lanes of Communications

(SLOC) dan Sea Lanes of Trade (SLOT). Keamanan maritim bertujuan untuk mewujudkan stabilitas keamanan di laut dalam rangka menjamin integritas wilayah maupun kepentingan nasional di dan atau lewat laut30, sehingga penguasaan atas SLOC dan SLOT untuk menjamin terwujudnya penegakkan hukum dan kedaulatan di wilayah perairan yurisdiksi nasional amat penting. Sebagai contoh, pelaksanaan operasi Malacca Strait Sea Patrol (MSSP) yang dimulai sejak tahun 2004 ditambah operasi keamanan laut (kamla) sehari-hari yang diselenggarakan oleh

29

“tephe R. Pietropaoli, The US Navy s …Fro the Sea Strategy: Sir Julia Corbett ‘evisited? , Natio al War

College, Washington, 1997, h. 10.

30

(10)

9

Komando Armada RI Kawasan Barat (Koarmabar) telah berhasil menekan angka perompakan di Selat Malaka dari 15 kasus pada tahun 2005 hingga menjadi satu kasus saja pada tahun 201131.

Namun demikian konsep dan strategi pertahanan negara di laut juga memiliki kelemahan atas implementasinya. Teori Mahan menuntut penguasaan atas laut menggunakan kekuatan yang superior, gabungan kekuatan maritim (commerce) dengan angkatan laut dan pangkalan di sepanjang SLOC. Kekuatan TNI AL sendiri diproyeksikan baru mencapai kekuatan pada tataran

green water navy pada tahun 202432. Sementara postur Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force) masih berlangsung pengembangannya hingga 2015. Mahan dan Corbett menyarankan pentingnya peran pangkalan dalam penguasaan dan pengendalian laut. Kondisi pangkalan TNI AL di sepanjang ALKI belum sepenuhnya mampu mendukung pelaksanaan operasi laut dalam konsep pertahanan negara di laut. Demikian pula pemanfaatan dan pelibatan semua komponen maritim dalam konsep pertahanan negara di laut masih belum maksimal. Indikasi dari hal ini dapat dilihat dari belum dilibatkannya stakeholder-stakeholder di laut dalam operasi Siaga Purla maupun operasi keamanan laut sehari-hari lainnya.

IV. Kesimpulan dan Saran.

Dari analisis terhadap konsep dan strategi pertahanan negara di laut yang telah dilakukan di atas membuktikan bahwa konsep pertahanan negara di laut yang telah dilaksanakan selama ini telah sesuai dengan ancaman yang dihadapi. Konsep dan strategi pertahanan negara di laut juga didukung oleh teori-teori strategi peperangan yang relevan. Spektrum ancaman yang semakin dinamis yang disebabkan oleh konstelasi geografis Indonesia dan perkembangan lingkungan strategis global dan regional telah mampu dijawab oleh strategi pertahanan negara yang dituangkan baik dalam peraturan perundangan nasional maupun doktrin pertahanan negara.

Namun demikian beberapa kelemahan terdapat dalam konsep pertahanan negara di laut, yaitu strategi yang diterapkan dengan memakai asumsi kekuatan optimal yang masih belum sesuai dengan kenyataan dilapangan. Belum juga terdapat rencana cadangan (contigency plan) dalam konsep pertahanan negara di laut tersebut.

31

Laporan Puskodal Guskamlaarmabar berdasarkan kompilasi laporan International Maritime Beaureau (IMB) pada 2005-2011.

32Ma esal,

Kebijakan Strategis Kasal Dalam Mewujudkan Postur Kekuatan TNI AL Sampai Dengan Tahun 2024 ,

(11)

10

Sehingga, untuk mengatasi kelemahan yang ada, disarankan agar peremajaan dan pengadaan alutsista TNI AL dipercepat. Hal ini untuk menjamin bahwa strategi penangkalan dengan cara penolakan dapat dilaksanakan. Demikian juga pengembangan kekuatan dan kemampuan TNI AL, seperti pengembangan pangkalan TNI AL yang ada agar mampu memberikan dukungan terhadap pelaksanaan operasi laut, agar dapat diwujudkan sehingga kebijakan pemerintah dalam bidang pertahanan negara dapat terlaksana secara konkrit.

DAFTAR PUSTAKA

Ames, Roger T. (1993). SunTzu, the Art of Warfa re; the First English Translation Incorporating the Recently Discovered Yin-Chueh-Shan Texts. New York:Random House Inc.

Booth, Ken. (1979). Navies and Foreign Policy. New York: Holmes and Meier Publishers Inc. Burgess, Peter. (2007). Non-military Security Challenges. Oslo: International Peace Research

Institute.

Buzan, B., Waever, O. (2003). Regions and Power, The Structure of International Security. New York: Cambridge University Press.

Corbett, Julian S. (2004). Some Principles of Maritime Strategy. Dover Publications. (Unabridged Republication of Original Book Published by Longmans, Green and Co. 1911).

DiBiaggio, Thomas M. (2013). Law, Force & Diplomacy at Sea, By Ken Booth. Maryland Journal of International Law, 12 (9), 121-127.

Doktrin TNI AL “Eka Sasana Jaya”, Mabesal, Jakarta, 2006

(12)

11

Kementerian Pertahanan RI. (2007). Strategi Pertahanan Negara. Jakarta: Author. Kementerian Pertahanan RI. (2008). Buku Putih P ertahanan Indonesia. Jakarta: Author. Kepala Staf TNI AL. (2002). Buku Putih Keamanan Laut. Jakarta: Mabesal.

Konsepsi Strategi Pertahanan Laut Nusantara. (1994). Jakarta: Mabesal. Mabesal. (2003). Strategi Pertahanan Laut Nusantara. Jakarta: Author.

Mabesal. (2006). Kebijakan Strategis Kasal Dalam Mewujudkan Postur Kekuatan TNI AL Sampai Dengan Tahun 2024. Jakarta: Author.

Nye, Joseph S. (1990). Soft Power. Foreign Policy, 80, 153-171. Retrieved 21 January 2006 From www.jstor.org.

Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Umum Perta hanan Negara.

Perkasal No. Perkasal/39/V/2009 Tentang Kebijakan Dasar Pembangunan Kekuatan TNI AL Menuju Kekuatan Pokok Minimum.

Pietropaoli, Stephen R. (1997). The US Navy’s ‘…From the Sea’ Strategy: Sir Julian Corbett

Revisited?. Washington: National War College.

Scarlett, Matthew. (2009). Coercive Naval Diplomacy. Newport: Naval War College., Snyder, Craig A. (1999). Contemporary Security and Strategy. New York: Routledge. Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.

Referensi

Dokumen terkait

Program ini dijalankan seiring dengan keberadaan Amana Sharia Consulting yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Yayasan Majlis Tarbiyah Nuruhl Huda (MTN). Selain

Pada perencanaan proyek pembangunan fasilitas umum, proses pertama dalam pengadaan jasa pembangunan konstruksi adalah dengan cara pelelangan tender atau penunjukan

Uji hambat adhesi merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan antibodi poliklonal IgY pili Shigella dysentriae 95 kDa dalam menghambat proses adhesi antara

Social distancing menjadi satu satunya jalan keluar yang dipilih oleh pemerintah dalam meminimalisir perkembangan dan penyebaran wabah covid-19 ini, Social distancing

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan maka penulis akan melakukan mengembangan penelitian lebih lanjut untuk dapat membuat sistem pakar dengan judul

Dari Tabel 1 diketahui juga bahwa tingkat persepsi petani terhadap lumbung pangan sebagian besar berada pada tingkat sedang dan kurang baik, dan jika hal ini

Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang diceritakan Kyai Badrudin, ia menyatakan bahwa setelah lulus dari pesantren, ia mengisi pengajian-pengajian di

Hal ini yang menjadi alasan besar bahwa penelitian ini harus dilakukan demi mengetahui besarnya hubungan dan pengaruh karakter kreativitas dan kejujuran terhadap