SALAM - SARANI DAN TRADISI ORANG BASUDARA: Pelajaran dari Masa Lalu tentang Relasi Islam – Kristen,
Multikulturalisme dan Identitas Orang Maluku
Wuri Handoko
Balai Arkeologi Ambon Email: wuri_balarambon@yahoo.com
Abstrak
Cikal bakal tumbuhnya kehidupan multikulturalisme di Maluku, sesungguhnya dimulai ketika ekspansi ekonomi dan sekaligus kultural dari negeri-negeri tanah seberang yang menginjakkan kakinya di perairan dan tanah Maluku. Kehadiran para penjelajah asing, untuk menemukan sumber rempah-rempah dari tanah asalnya Maluku, selain melakukan ekspansi ekonomi sekaligus ekspansi kebudayaan, juga menyebarkan agama-agama dari tanah asal. Di Maluku, kehadiran Islam-Kristen, bagaimanapun telah menciptakan tatanah sosial budaya yang baru sejak abad pertengahan. Meski demikian, jauh sebelum hadirnya agama-agama modern Islam-Kristen, Orang Maluku, sudah mengenal agama, yakni agama atau kepercayaan lokal terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship). Sesungguhnya tradisi dan budaya lokal yang tetap hidup, justru merelasikan Islam-Kristen yang berbeda, sebagai relasi Salam-Sarani yang integratif, menjadi bagian identitas diri Orang Maluku. Tulisan ini mengkaji tentang relasi Salam-Sarani sebagai tradisi orang basudara, yang menggambarkan pelajaran dari masa lalu, tentang pemahaman multikulturalisme yang mensyaratkan adanya pernghargaan terhadap perbedaan dan sikap toleransi. Kajian ini menitikberatkan pemaparan bukti-bukti arkeologis dan tradisi budaya yang masih dapat dijumpai hingga saat ini. Pelajaran dari masa lalu itu merupakan faktor penting dalam upaya reintegrasi sosial dan membangun peradaban yang lebih maju.
Kata Kunci :relasi, salam, sarani, multikulturalisme, identitas
Pendahuluan
Masyarakat multikultural menurut Parekh (2001) dipahami sebagai konstruksi
budaya masyarakat yang pada prinsipnya bahwa keanekaragaman budaya merupakan
sebuah realitas fundamental dalam kehidupan berbudaya. Berasal dari kata multi
(plural) dan kultural (tentang budaya), multi-kulturalisme mengisyaratkan pengakuan terhadap realitas keragaman kultural, yang berarti mencakup baik keberagaman
tradisional seperti keberagaman suku, ras, ataupun agama, maupun keberagaman
bentuk-bentuk kehidupan (subkultur) yang terus bermunculan di setiap tahap sejarah
oleh masyarakat Indonesia. Ini tentu ada kaitannya dengan realitas masyarakat
Indonesia yang majemuk (Parekh, 2001).
Multikulturalisme sebagai kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya
sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera
muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan
melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalm kehidupan
dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang
lebih kompleks, karenanya muncul kesadaran bahwa keanekaragaman dalam realitas
dinamik kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak, diingkari,
apalagi dimusnahkan Multikulturalisme memerlukan ruang dinamis dan membuka
dialog dengan berbagai kalangan lintas agama, sosial, ekonomi, politik, budaya,
sebagai manifestasi dari filosofi multikulturalisme itu sendiri yang selalu berusaha
mejauh dari jebakan penyempitan wawasan paradigmatiknya (Mahfud, 2006). Dengan pemahaman ini, multikulturalisme semestinya diformulasikan sebagai tatanan sosial
yang mengakomodasi ruang-ruang keberagaman identitas yang sekaligus
memungkinkan bagi terintegrasinya keberagaman itu sendiri (Handoko, 2012).
Gejala multikulturalisme di Maluku, sesungguhnya muncul bukan dalam
proses yang singkat atau baru-baru saja terjadi. Proses historis bertemunya banyak
komunitas masyarakat dari negeri-negeri seberang, sesungguhnya merupakan cikal
bakal tumbuh dan berkembangnya tubuh multikulturalisme (kemajemukan). Dalam
konteks historis, kedatangan bangsa-bangsa asing mengejar rempah-rempah di
Maluku, juga bagian dalam proses ekspansi kebudayaan dan juga menumbuhkan bibit
multikulturalisme. Wilayah Kepulauan Maluku, dalam hal ini mencakup Provinsi
Maluku dan Maluku Utara terkenal dengan sebutan Pulau Rempah-rempah (The Spice Island), sejak dulu dikenal sebagai dunia pusat penghasil rempah-rempah. Semerbak harum cengkeh dan pala, telah membius banyak negara untuk menemukan sumbernya.
Pesona rempah-rempah menjadi rona zaman, menghiasi setiap zaman yang dilalui
wilayah ini. Bahkan pada abad pertengahan, cengkeh dan pala adalah komoditi yang
bahkan telah menyebabkan terbangunnnya formasi dan struktur budaya, sosial dan
peradaban Maluku yang benar-benar baru. Dalam jelajah zaman, abad pertengahan
telah menandai lahirnya skema sosial dan tatanan budaya yang baru bagi wilayah
Maluku. Hadirnya budaya yang dibawa oleh para pedagang asing seperti Cina, Arab
dan Eropa serta pedagang Nusantara dari luar Maluku adalah pertanda itu. Dan tak bisa
dipungkiri sumbunya terletak pada kekayaan rempah Maluku (Handoko, 2011a).
Cikal bakal tumbuh suburnya multikulturalisme di wilayah Kepulauan Maluku,
antara lain karena; Pertama; dari segi geolinguistik dianggap sebagai bagian dari tanah asal suku-suku bangsa pemakai bahasa-bahasa Austronesia (Andili, 1980); kedua dari segi geokultural merupakan lintasan strategis migrasi-migrasi manusia dan budaya dari Asia Tenggara ke wilayah Melanesia dan Mikronesia, Oceania dan ke arah timur yang diikuti oleh perkembangan budaya wilayah timur sejak ribuan tahun lalu (Solheim, 1966; Duff, 1970; Shutler; 1975: 8-10); ketiga; dari segi ekonomi merupakan wilayah penghasil rempah-rempah paling utama, yang antara lain menyebabkan wilayah tersebut menjadi ajang potensial persaingan kepentingan hegemoni ekonomi, dan akhirnya bermuara pada pertarungan politik dan militer (Meilink-Roelofsz, 1962:93-100).
Demikian, posisi strategis Kepulauan Maluku, telah menjadikannya sebagai ruang bagi bertemunya banyak kebudayaan di dalamnya, yang berasal dari berbagai wilayah tanah asalnya. Bertemunya banyak kebudayaan dalam proses yang menyejarah, adalah proses dinamis, lahir, bertumbuh dan berkembangnya multikulturalisme (kemajemukan). Oleh karenanya multikulturalisme adalah sebuah keniscayaan, berkembang dalam kehidupan sosial budaya Orang Maluku. Dalam periode sejarah, kedatangan bangsa-bangsa pendatang, bukan hanya untuk tujuan
dagang, namun berikut pula membawa pengaruh budaya dan agama yang dibawa dari tanah asal. Soumokil (2011) menuliskan, dinamika sejarah masuknya bangsa penjajah,
Orang Ambon (baca:Maluku). Pada saat itulah, realitas agama Islam dan Kristen, dipakai sebagai pembeda (Soumokil, 2011: 58-63).
Namun yang perlu direnungkan kemudian adalah, bahwa jauh sebelum kehadiran mereka, masyarakat Maluku, juga telah memiliki budaya asli (indegenous) dan mengenal sistem religi atau kepercayaan lokal, yakni kepercayaan terhadap arwah nenek moyang (anchestor worship) yang juga diwariskan dari leluhurnya. Hingga
sekarang masih hidup dan menjadi bagian dari identitas Orang Maluku, meskipun sudah menganut agama modern seperti Islam dan Kristen. Justru, dalam proses itu, perjumpaan Islam-Kristen, sebagai sebuah afiliasi keagaamaan yang berbeda, terbingkai menjadi satu oleh kepercayaan lokal, yang telah tertanam dan berakar sebagai bagian identitas Orang Maluku yang sangat kental menghormati leluhurnya. Pemahaman ini sesungguhnya memperkuat pandangan bahwa afiliasi keagaamaan yang berbeda, menjumpai titik temunya berdasarkan tradisi dan kepercayaan lokal yang masih hidup, yang berasal dari tete nene moyang yang sama, meskipun sudah menganut agama modern.
Relasi Salam-Sarani dalam Konteks Multikulturalisme di Maluku
Dalam konteks multikulturalisme di Maluku, realitas orang Maluku memiliki
kearifan lokal (local wisdom) sebagai modal sosial yang dapat mempersatukan orang Maluku, ketika menghadapi persoalan dan tantangan bersama. Kearifan lokal
dimaksud baik dalam bentuk “institusi” seperti Pela -Gandong, Siwalima, maupun dalam bentuk ungkapan-ungkapan seperti “Ale rasa beta rasa ” (anda rasa saya rasa,
artinya ketika anda merasakan dan mengalami sesuatu, baik senang maupun susah,
saya juga merasakan hal tersebut), “Sagu salempeng dipatah dua ” (sagu satu buah dibagi dua), “Potong di kuku rasa di daging” (potong di kuku rasa di daging, artinya
seseorang mengalami susah atau sakit, orang lain merasakannya juga), “Manggurebe maju” (berlomba untuk maju), dan sebagainya. Berbagai kearifan lokal ini melekat
dalam kehidupan orang Maluku dan merupakan suatu keniscayaan sosial, bersifat
panjang sebagai penemuan jati diri orang Maluku yang mendasar (Watloly, 2005: 115;
Hetharia, 2014). Realitas multikultural masyarakat Maluku ini, menegaskan perlu
adanya penghargaan terhadap keanekaragaman tersebut. Penghargaan dimaksud salah
satunya melalui hubungan yang bersifat dialogis. Dialogis merupakan sebuah sikap
yang di dalamnya tumbuh kehendak untuk memecahkan persoalan bersama (the common problems), bukan kehendak mendominasi, tanpa mengindahkan yang lain sebagai mitra dalam proses sosial. Watloly (2005: 161) menyatakan, dalam dialog
terciptalah komunikasi multikultural atau komunikasi multibudaya.
Maluku, didiami oleh berbagai suku bangsa dan kini semuanya hidup
berdampingan sebagai masyarakat Maluku. Masyarakat Maluku merupakan bagian
integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang tebentuk dari
teritori-teritori yang didiami oleh berbagai sub suku bangsa, lazim mengklaim diri sebagai
kelompok-kelompok yang menguasai teritori dimaksud (hak ulayat). Sebagai wilayah
kepulauan yang dipersatukan baik melalui proses politik secara nasional maupun
secara kultural, realitas sosial budaya di Maluku pada dasarnya bersifat multikultur dan
berbagai sub etnik, dicirikan oleh simbol-simbol adat yang mereprentasi ruang-ruang
kebudayaan pada masing-masing pulau dan atau gugus pulau, yang diakui mengandung
diantaranya sejumlah kesamaan dan perbedaan (Sihasale, 2007). Dengan demikian,
bahwa masyarakat multikultural di Maluku merupakan bagian yang saling berdaulat
dan kemajemukan itu sendiri merupakan sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan.
Masyarakat tradisional Maluku tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang
kental melanjutkan tradisi. Dalam konteks ini, masyarakat secara umum terbagi dalam
komunitas Salam dan Sarani yang keduanya berciri kultur Patasiwa dan Patalima. Siwa lima merupakan konsep masyarakat Maluku yang berfalsafah dalam menghadapi perbedaan dan keragaman kebudayaan masyarakatnya. Pengelompokkan berdasarkan
asal-usul dan budaya, khusunya di Maluku Tengah (Ambon, Lease dan Seram) dikenal
dengan Patalima dan Patasiwa. Hal ini menjadi semacam identitas masyarakat Maluku.
Identitas kelompok etnis menjadi sangat penting untuk interaksi sosial (Pelupessy,
2013).
Kultur Patasiwa dan Patalima yang secara religi terbagi dalam kelompok Islam
(Salam) dan Kristen (Sarani) yang merupakan ciri kebudayaan Maluku yang paling
menonjol. Salam dan Sarani merupakan sebuah karakteristik budaya sekaligus sosial
bagi masyarakat Maluku yang memeluk agama samawi baik Islam maupun Kristen
yang secara kontekstual merupakan bagian dari karakteristik budaya masyarakat
Maluku. Penyebutan Salam dan Sarani, merupakan ciri spesifik bagi masyarakat
Maluku karena aspek religi tidak bisa dilepaskan atau bagian yang teritegrasi dengan
budaya lokal masyarakat Maluku, sehingga penyebutan kelompok masyarakat Islam
dengan sebutan Salam dan Kristen dengan sebutan Sarani, merupakan penyebutan
spesifik masyarakat Maluku, tidak untuk pemeluk agama di wilayah lain.
Kearifan siwa lima diharapkan mampu menjadi penengah diantara munculnya polarisasi masyarakat Ambon dalam bentuk segregasi antar umat Islam dan Kristen,
segmentasi antar entis serta polarisasi antara kaum pendatang dan masyarakat asli.
Konsep identitas dalam bentuk Patasiwa dan Patalima, banyak dijumpai tidak hanya di
Seram dengan Pata Siwa dan Pata Lima nya dan Uli Siwa serta Uli Lima, namun juga di wilayah Maluku Tenggara dengan konsepnya Lorsiw- Lorlim bagi masyarakat Kei
dan Ursiw-Urlima bagi masyarakat Aru. Siwa lima di daerah Maluku.. Ursiw mengacu pada angka sembilan, dengan unsur kerbau, hiu martil, daratan langit dan gunung.
Sedangkan urlima mengacu pada paus, lautan, bumi dan pantai. Sedangkan shared culture dari dua hal yang berbeda ini adalah larwul ngabal, yakni hukum adat Kei yang didalamnya terdapat pasal antara lain: Uudentauk na atvunad (Kepala kita berada di
atas leher); Lelad ain fo mahiling (Leher kita dihormati); Uil nit Tenggara mencakup
Maluku Tenggara Barat, berbagai Pulau di Aru, dan wilayah Maluku Barat Daya. Siwa lima di Maluku Tenggara ini mempunyai semangat yang sama dengan di Maluku Tengah dan Ambon, yakni dua orang bersaudara layaknya kakak adik yang mempunyai
karakter berbeda, namun tetap satu darah dan satu semangat (Huliselan, 2009:2). Di
seperti maren, masohi, swen, sasi, hawearyang meskipun tidak ”setenar” konsep pela-gandong namun semuanya merupakan modal kearifan masyarakat yang tak kalah signifikan untuk menjadi modal sosial dalam menjalin keharmonisan antar manusia
dan lingkungan (Kadir, 2012).
Dalam konstruksi sosial baik masyarakat Salam maupun Sarani, terbagi dalam
konstruksi dan struktur sosial yang terdiri dari agama, adat atau tradisi dan pemerintah.
Ketiga aspek tersebut merupakan komponen yang selalu ada dalam struktur sosial
masyarakat yang ketiganya saling berinteraksi, saling terintegrasi, saling mengatur dan
saling mengisi, yang pada ketiganya dinamika sosial budaya masyarakat Maluku
tampak sangat jelas. Masing-masing komponen dalam struktur sosial tersebut, baik
agama, adat dan pemerintah, merupakan cermin dari identitas budaya sekaligus
merupakan bentuk relasi sosial yang sesungguhnya juga menggambarkan mayarakat
multikultural. Dalam berbagai bentuk struktur sosial di Maluku, sebagai contoh
misalnya masing-masing marga dan soa, ada kalanya memiliki peran masing-masing
baik dalam struktur sosial yang mengatur agama, adat, maupun pemerintahan. Ketiga
komponen struktur sosial tersebut saling terintegrasi, saling mengatur dan menjalankan
peran masing-masing yang merupakan bagian dari konsensus adat dan sebagai bentuk
pewarisan nilai-nilai tradisi. Marga tertentu yang dalam struktur sosial sebagai Raja,
secara turun temurun akan mewarisi tradisi sebagai raja, demikian pula dan struktur
sosial yang mengatur agama dan adat. Ketiga komponen tersbebut juga satu sama lain
saling berinteraksi dan terintergrasi yang disatukan oleh semangat solidaritas yang
bersifat kolektif kolegia.
Secara praktis falsafah ini kemudian menjadi semacam persekutuan adat dan
politik. Pandangan siwa lima berangkat dari pandangan bahwa dalam kebudayaan yang bersifat monodualistik dan penuh dengan perbedaan, keadilan, kerjasama, dan
pemerataan harus diterapkan sesuai dengan adat, demi mencapai keharmonisan. Jika
menegasikan satu identitas, maka eksistensi kebudayaan atau adat yang lain
sesungguhnya tidak ada. Karena itu masing-masing individu dalam adat, musti
dan kejeniusan masyarakat lokal inilah, kemudian siwa lima dijadikan sebagai modal sosial dan juga modal politik bagi masyarakat dan pemerintahan dalam membangun
kembali pola-pola kehidupan masyararakat yang baru saja mengalami konflik
berkepanjangan (Huliselan, 2009: 2-4).
Redifinisi terhadap siwa lima pasca konflik Ambon bertujuan untuk meggerakkan kebersamaan masyarakat, membangun rasa saling percaya serta
mencapai keuntungan secara bersama. Semangat siwalima digunakan dan
diredefinisikan kembali karena dianggap mempunyai muatan yang bersifat
fungsionalis dalam memenuhi kebutuhan suprastruktur masyarakatnya. Meningkatnya
konflik, menyebabkan orang-orang Pata Siwa merefleksikan posisi mereka untuk berdamai dengan pata lima dan kemudian menciptakan pranata sosial pela-gandong dengan mengacu pada satu nenek moyang sebagai asal-usul mereka yakni agama
Nunusaku di Pulau Seram. Menurut Bartels gandong merupakan ikatan dan aliansi antar-negeri di Maluku yang dibentuk oleh nenek moyang mereka berdasarkan klaim hubungan darah. Jika ditelusuri lebih jauh, seperti halnya pela yang merupakan aliansi antardesa yang dibentuk oleh nenek moyang, maka gandong berperan dalam membangun saling kepercayaan sekaligus menurunkan intensitas permusuhan antar
desa di Maluku yang memiliki perbedaan dalam afiliasi keagamaan (Bartel, 1977;
1978, 2003a, Bartel 2003b).
Sesungguhnya local wisdom,tradisi orang basudara baik yang seiman maupun berbeda iman, merupakan lahir dari nilai-nilai luhur warisan nenek moyang. Hal itu
adalah identitas yang melekat dalam konstruksi budaya orang Maluku, sejak awal
peradaban mulai berkembang. Dalam konteks historis hubungan primordial antara
masa lalu dengan masa kini sesungguhnya memori kolektif anak negeri yang terus
terpelihara. Dalam upaya mempertahankan identitas ‘orang basudara’ pada tradisi
kehidupan kolektif dan mempertahankan keharmonisan sebagai sebagai suatu totalitas
adat dan leluhur serta mengingatkan dan menyadarkan masyarakat akan hubungan
persaudaraan (Uneputty, 1996; Ruhulessin, 2005).
Munculnya semua pranata sosial ini lebih merupakan strategi untuk menjaga
keharmonisan antar seluruh kelompok masyarakatkan solidaritas dan membangun
soliditas masyarakat. Kedua kelompok kultur tersebut di dalamnya membentuk
solidaritas struktur sosial yang saling fungsional dan menyatu dalam komponen agama,
adat dan pemerintah sekaligus sebagai representasi identitas budaya dan integrasi
masyarakat. Multikultural Maluku, yang terintegrasi sebagai masyarakat yang kental
melestarikan, mempertahankan dan melanjutkan tradisi yang dikenal sebagai tradisi
orang basudara. Inilah yang kemudian membentuk dan membangun solidaritas dan
soliditas masyarakat Maluku ditengah dinamika multikulturalisme. Sesungguhnya keseluruhan sistem budaya, didasari oleh semangat kekeluargaan, yang memiliki
hubungan primordial terhadap sejarah dan warisan budaya masa lalu. Oleh karena itu
ciri utama masyarakat multikultural Maluku adalah kekuatan kearifan lokal tradisi orang basudara. Dengan kata lain ciri tradisi orang basudara itu sekaligus adalah identitas kultural masyarakat Maluku yang multikultural (majemuk).
Belajar dari Masa Lalu: Memahami Relasi Salam-Sarani Sebagai Identitas Diri
Pemahaman tentang relasi Islam-Kristen, terutama pada periode prakolonial,
adalah melihat gejala integrasi sosial, yang terbangun oleh karena suasana batin yang
sama orang basudara satu tete nene moyang. Sejarawan Maluku, Pattikayhatu (2000) menuliskan tentang adat tradisi Pela Gandong, merupakan warisan budaya Maluku Tengah, khususnya Seram, Ambon dan Kepulauan Lease. Pela Gandong pada
umumnya dipahami sebagai hubungan persaudaraan antara dua negeri atau lebih, baik
negeri yang beragama Islam ataupun yang beragama Kristen (baca Pattykayhatu,
2000:1). Pada masa VOC, sekitar tahun 1637 bentuk pela diwujudkan dalam kerjasama
penjajah Belanda. Pela juga diwujudkan melalui kerjasamna lainnya, misalnya
pembangunan rumah ibadah gereja dan sekolah di Ambon dan Lease. Kebutuhan
kayunya dibantu oleh masyarakat Seram, karena di wilayah itu banyak terdapat bahan
baku kayu. Kerjasama itu melahirkan hubungan persaudaraan antara negeri-negeri Ambon, Lease dengan negeri Seram. Dapat dicatat juga hubungan pela antara
masyarakat Kailolo yang bependuduk Islam di Pulau Haruku dan Tihulale yang
berperduduk Kristen (Pattikayhatu, 2000:3-5).
Dalam kacamata arkeologi dengan penemuan mangkuk perunggu dengan
ukiran dua naga yang ekornya berbelitan di situs Iha dan diperkirakan berangka tahun
1692 M. Simbol dua naga yang saling menyatu itu, bermakna menyatunya dua
kelompok masyarakat Siwa dan Lima (Suantika dan Sudarmika, 2005:17). Interpretasi
arkeologi ini setidaknya mendukung ingatan kolektif terhadap perjalanan sejarah
negeri-negeri di wilayah Maluku seperti yang dijelaskan oleh Putuhena (2003) dalam
buku Mematahkan Kekerasan Dengan Semangat Bakubae menuliskan budaya Siwa Lima merupakan persaudaraan antara dua komunitas yang berbeda iman. Berdasarkan
Siwa Lima, perbedaan tersebut merupakan kesepakatan budaya, artinya daerah Uli
Siwa menerima Kristen (Abad XVI), sementara daerah Uli Lima memeluk Islam (XV).
Dengan kata lain penerimaan agama (Islam dan Kristen) pada masa itu adalah sebuah
konsensus budaya untuk melestarikan negeri Maluku (Putuhena, 2003). Dalam
konsensus budaya itu, terkandung semangat toleransi masyarakat.
Misrawi (2008) mengutip pendapat Rainer Forst dalam Tolerantion and
Democracy (2007) mengatakan bahwa konsepsi toleransi dilandasi pada kultur dan
kehendak untuk membangun pengertian dan penghormatan terhadap yang lain (respect conception), sebuah konsep toleransi dalam konteks demokrasi harus mampu membangun saling pengertian dan saling menghargai ditengah keragaman suku,
agama, ras, dan bahasa. Untuk membangun toleransi sebagai nilai kebajikan setidaknya
kepercayaan di antara pelbagai kelompok dan aliran. Makna toleransi pada masyarakat
tradisional Maluku, lebih dalam lagi, karena tidak hanya mengikat secara
individu-individu namun telah menjadi tatanan sosial bagi seluruh komunitas, artinya sebagai
konsensus budaya, sikap toleransi sudah menjadi semacam ikatan kolektif.
Seorang ahli arkeologi Islam, dalam rangkaian penelitiannya di wilayah
Maluku, menyimpulkan, adalah di Maluku kita menemukan tradisi saling membantu
untuk mendirikan sarana ibadah baik sesama umat Islam dan yang terpenting dengan
Non Muslim (Ambary, 1998:159). Kesimpulan itu, menegaskan bahwa kerukunan dan
keharmonisan masyarakat Maluku sejatinya telah terbina sejak dulu. Sesungguhnya
dari kacamata masa lampau, sebagaimana yang ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologi
yang hingga kini masih dapat disaksikan, terdapat pelajaran berharga, bahwa pada
masa lampau, masyarakat Maluku hidup berdampingan penuh keharmonisan, kohesi
sosial terbangun dengan sangat konstruktif. Situs Banda Neira, di situs ini terdapat
tinggalan budaya yang kompleks, mulai dari benteng, gereja, masjid, bahkan Klenteng
Tionghoa, yang terletak berdampingan dan saling berasosiasi dalam konteks ruang
yang sama. Wujud budaya materi ini mencerminkan beragamnya budaya masa lalu.
Dengan kata lain, Situs Banda Neira sebagai wujud ruang pemukiman skala makro,
terdapat heterogenitas (keberagaman) sosial dan budaya serta religi dan ideologi yang
dapat hidup berdampingan dalam ruang sosial yang sama. Hal ini menggambarkan,
sebelum konflik, masyarakat dengan budaya yang mejemuk, bisa hidup berdampingan
(Handoko, 2006).
Ada pelajaran berharga untuk bangsa ini tentang pemahaman atas
multikulturalisme, demokrasi dan integritas kebangsaan yang sesungguhnya menjadi
identitas nasional bangsa kita. Fenomena kebudayaan masa lampau yang dapat kita
jamah melalui bukti-bukti tinggalan arkeologi, nilai-nilai filofosis dan budaya yang
telah kita interpretasikan sesungguhnya mampu menjadi jembatan reintegrasi sosial
sebagai bagian dalam membangun kedaulatan bangsa. Maluku, sebagai wilayah yang
wilayah dengan potensi arkeologi yang berlimpah, dan dari yang berlimpah itu masih
sebagian kecil saja yang sudah terungkap. Dari kecilnya data arkeologi yang terungkap,
ternyata meyimpan makna dan nilai-nilai humanisme, pluralisme, demokrasi, yang
telah berurat berakar yang bisa menjadi media membangun kemanusiaan yang lebih
beradab, perdamaian, toleransi, persaudaraan, yang meskipun sempat tercerabut, tidak
sampai merusak akarnya, yang jika ditanam kembali dengan baik, mampu bertumbuh
dan berkembang sebagai modal membangun peradaban bangsa yang lebih maju dan
bermartabat (Handoko, 2012).
Bukti arkeologis Masjid Kuno Hatuhaha di Pulau Haruku sebagai simbol
integrasi atau persekutuan 5 (lima) negeri atau desa Islam yakni Negeri Pelauw,
Kailolo, Kabauw, Rohomoni dan Hulaliu yang disebut sebagai Uli Hatuhaha,
masing-masing juga memiliki pemerintahan otonom, namun menyatukan diri dalam
persekutuan negeri-negeri Islam yang disebut Amarima Hatuhaha. Dari kelima negeri
itu, pada masa kolonial, Negeri Hulaliu mengkonversi menjadi negeri Kristen, namun
secara adat tetap menjadi bagian dari persekutuan atau persaudaraan Uli Hatuhaha,
sehingga dalam kegiatan-kegiatan tradisi dan ritual Islam, kadangkala masih dilibatkan
(Handoko, 2012). Berkaitan dengan bukti arkeologis masjid kuno ini, terdapat syair
kapata1 menyiratkan bahwasanya masjid menjadi simbol pemersatu masyarakat,
bahkan dengan masyarakat Hulaliu2 yang sudah menjadi Kristen.
Hatuhaha taha rua taha rima’o Ite looka hiti haha ruma’ea
1 Kapata adalah bahasa daerah Maluku yang artinya tradisi menutur peristiwa-peristiwa sejarah masa lampau dalam bentuk nyanyian bersyair
Ite looka hiti haha ruma’io Irehu waela sala isya’i
Terjemahan :
Masyarakat Hatuhaha tidak ada perbedaan kelompok, baik dua maupun lima, mereka
saling bantu membantu satu sama lain, karena mereka berasal dari satu pancaran mata
air3.
Adapula syair kapata4 yang berbunyi seperti berikut ini :
Hena masa ami
Gunung ya gunung hampir-hampir tiba, namun tetap gunung Turun terus turun
Turun menuju Hulaliu
3 Satu pancaran air, dalam hal ini dimaksudkan bahwa baik Rohomoni, Pelauw, Kailolo dan Kabauw yang merupakan desa Muslim maupun Hulaliu yang sudah menjadi Kristen, merupakan keturunan dari seorang ibu yang sama, nenek moyang mereka bersaudara kandung, sehingga sampai sekarangpun persaudaraan masih terus dipertahankan secara adat, meskipun Hulaliu telah dikristenkan pada masa hegemoni Portugis di masa lalu, namun sejak dulu hingga sekarang tetap terjalin silaturahmi dan persaudaraan kakak dan adik kandung.
Berseru-seru berkeliaran, sambil tetap berseru untuk datang berkumpul Di Hulaliu, pelabuhan rakanyawa (Handoko, Wuri 2011b).
Oleh sebab itu untuk mengenang saudaranya yakni Negeri Hulaliu yang dulu
Muslim sejak pengaruh Portugis beralih ke Kristen, maka di Masjid Hatuhaha di
Rohomoni, dibangun masjid yang lebih kecil yang dibuat bersambung dengan masjid
Hatuhaha, sebuah masjid yang dikenal sebagai masjid Hulaliu. Dengan demikian
tampak bahwa masjid Hatuhaha, terdiri dari dua bangunan, yakni bangunan utama
masjid Hatuhaha dan bangunan pengikut yang bersambung atau menyatu dengan
bangunan utama, yakni masjid Hulaliu yang berukuran lebih kecil dan bersambung
dengan beranda atau serambi masjid. Integrasi bangunan ini, menampakkan satu
bangunan utuh masjid Hatuhaha, meskipun sesungguhnya dalam filosofi masyarakat
Hatuhaha, terdiri dari dua bangunan yakni bangunan masjid utama yang menyimbolkan
integrasi empat negeri Islam dengan bangunan masjid yang lebih kecil yang
menyimbolkan negeri Hulaliu yang sudah menjadi Kristen (Handoko, 2012; Handoko,
2013).
Contoh lain di negeri Buano, Soselisa menuliskan meskipun dipisahkan oleh
agama dan tradisi yang berbeda, orang Sarani ( Kristen ) dari Buano Selatan dan Salam
(Muslim) dari Buano Utara mempertahankan hubungan " kekerabatan " mereka. Kedua
desa digambarkan sebagai basudara (saudara), sehingga dianggap incest untuk desa
dari desa-desa ini untuk menikah satu sama lain. Beberapa klan ( mata ruma ) yang
ditemukan di kedua desa dan anggota masih menjaga hubungan dekat mereka,
menghadiri ritual untuk membangun atau memperbaiki rumah klan. Sampai sekitar 20
tahun yang lalu, konon perbaikan masjid dan gereja diakui sebagai proyek kolektif,
karena penduduk desa merasa bahwa bangunan-bangunan keagamaan, dimiliki
bersama oleh kedua komunitas (Soselisa, 2000).
Hampir selama sejarah penjajahan, terlihat bahwa paling sedikit pada tingkat
desa, Muslim dan Kristen yang hidup berdampingan dalam iklim kerjasama jauh lebih
umum terlihat daripada polaritas dan perselisihan. Di bawah paksaan, mereka sering
Belanda, desa-desa Muslim dan desa yang baru berubah menjadi Kristen menyatukan
diri mereka melawan pengacau asing yang mencoba untuk memaksakan monopoli
rempah-rempah kepada mereka. Selama masa perang Pattimura meledak pada tahun
1817, kedua kelompok agama bersatu padu, menggalang usaha untuk melepaskan diri
dari penindasan Belanda (Bartel, 1977).
Masyarakat Ambon percaya bahwa mereka semua berasal dari gunung yang
sakral di Pulau Seram, bernama Nunusaku. Suatu pertikaian besar terjadi dan penduduk
asli terpecah dan menghuni Maluku Tengah. Setelah datangnya dua agama dunia, surga
bagi masyarakat Muslim dan Kristen dipindahkan ke Nunusaku, dan tempat ini
ditetapkan sebagai pusat asal-usul masyarakat Ambon. Upu Lanite, dewa pencipta tradisional, akhirnya disamakan dengan Allah, nama yang digunakan oleh kedua kelompok untuk Tuhan dalam Alquran dan Tuhan dalam Alkitab. Jadi, hanya ada satu
Tuhan di mana Islam dan Kekristenan dilihat sebagai dua alternatif tetapi sama-sama
menuju jalan keselamatan. Dengan berlalunya waktu, masyarakat Ambon akhirnya
memandang Islam dan Kekristenan pada dasarnya sebagai variasi dari kepercayaan
yang sama. Kepercayaan ini diekspresikan dalam pantun yang terkenal:
Salam dan Serani
Pegang tangan-tangan ramai-ramai.
Dalam terjemahan bebas, pantun tersebut berarti "Muslim dan Kristen, berpegangan tangan, bergembira ria", atau lebih bebasnya, "Selama Muslim dan Kristen terikat bersama, hidup jadi sangat menyenangkan”. (Bartel, 1977; 1978; 2003).
Demikian, dalam perspektif reintegrasi sosial, pandangan Soumokil (2011)
tentang relasi atau integrasi Salam-Sarani, merupakan wujud dari konsep katong semua, sebuah konsep lokal,yang sarat dengan sosial kapital dan spiritual kapital, pada masyarakat lokal Maluku. Integrasi Salam-Sarani, sebagai penyebutan hubungan
kekerabatan Islam dan Kristen yang hanya berlaku bagi Orang Maluku, mencerminkan
baru yang bersifat kultural struktural. Adhesi sosial itu merupakan sebuah ikatan dan
jejaring kekerabatan yang membentuk reintegrasi sosial Salam-Sarani (pelajari,
Soumokil, 2011 :255-258).
Di luar pemikiran yang dikemukakan oleh Soumokil (2011) diatas, jika dirunut
ke belakang dalam proses historis, sebagaimana yang sudah dikemukakan sebelumnya,
bahwa Islam-Kristen pada awalnya digunakan sebagai faktor pembeda. Namun
terbingkai oleh konstruksi kepercayaan lokal yakni kepercayaan terhadap arwah nenek
moyang (ancestor worship) yang hidup jauh sebelum Islam-Kristen hadir. Hal itu kemudian justru mengkonstruksi relasi Salam-Sarani, yakni konsep relasi
Islam-Kristen yang hanya terdapat pada Orang Maluku sebagai bagian identitas kulturalnya.
Oleh karena itu, sesungguhnya faktor adhesi sosial juga diperkuat oleh kepercayaan
nenek moyang yang diwariskan dan hingga kini masih tetap bertahan pada kehidupan
Orang Maluku.
Menurut Uneputty, sebelum masuknya agama-agama besar seperti Islam dan
Kristen masyarakat daerah kepulauan Maluku khususnya Maluku Tengah hidup dalam
kepercayaan tradisional yang bercorak animistis. Inti religi di Maluku adalah pada
konsep leluhur, konsep kepercayaan pada nenek moyang. Anggapan masyarakat
mengenai posisi dan peranan Tuhan serta posisi dan peranan roh-roh leluhur di dalam
kehidupan mereka setiap hari nampak pula pada ungkapan mereka pertama Tuhan dan
kedua “Tete Nenek Moyang” (leluhur). Demikian terlihat dalam setiap upacara adat yang dilakukan, pertama didahului dengan doa, baru kemudian dilakukan secara adat
yang dianut. Di samping substansi yang ada pada setiap upacara seperti unsur janji,
ikatan, sumpah, hukum dan lain-lain. Bukan hanya disaksikan oleh mereka
orang-orang yang hadir pada upacara tetapi juga oleh roh-roh para leluhur mereka (Uneputty,
1996). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat adanya pertentangan
antara adat dan agama, antara roh-roh leluhur dengan Tuhan. Kedua unsur kepercayaan
tersebut hidup berdampingan di dalam kehidupan sosial budaya dalam masyarakat
Intisari agama masyarakat Maluku ini, disebut sebagai Agama Nunusaku adalah sistem kepercayaan tradisional pra-Muslim dan pra-Kristen yang didasarkan pada
pemujaan leluhur. Setelah beralih kepada Islam atau Kekristenan, kedua pihak
masyarakat sebagian besar melanjutkan cara hidup menurut hukum dan kebiasaan
(adat) yang ditetapkan atas dasar kepercayaan mistik di masa lalu oleh leluhur mereka. Kepercayaan ini akhirnya menjadi dasar persatuan dan identitas masyarakat Ambon
Muslim-Kristen, yang berkembang menjadi semacam agama etnis yang dirayakan
sebagai keunikan masyarakat Ambon, sementara pada saat yang sama memberi
kesempatan bagi kedua kelompok Muslim atau Kristen untuk khusuk dalam
kepercayaan masing-masing (Bartels 1977: 316).
Dengan demikian, budaya asli Orang Maluku, yang sudah mentradisi,
diwariskan dari satu generasi ke generasi, adalah identitas yang tetap hidup. Kitapun
sadar, bahwa tradisi lokal atau adat, sesungguhnya adalah sumbu yang
menyambungkan atau mengintegrasikan identitas keagamaan yang berbeda, menjadi
satu kesatuan yang utuh yang menjadi ruh dari identitas ke-Maluku-an dalam bingkai
kepelbagaian. Dari sini sesungguhnya menjadi pelajaran berharga, bahwa di garis-garis perbedaan Islam-Kristen, ada titik-titik penghubung yang merelasikan Islam-Kristen
dalam konstruksi budaya orang Maluku. Itulah sebenarnya yang menjadikan identitas
ke- Maluku-an menemukan titik sambungnya, sehingga karakteristik religiusitas
Isla-Kristen mengkonstruksikan dirinya sebagai Salam-Sarani yang relasional, menyatu
utuh sebagai identitas ke-Malukuan-an yang sejati.
Penutup
Perjumpaan Islam-Kristen dalam proses sejarah yang panjang di Maluku,
merupakan sebuah keniscayaan yang tak dapat dibantah, hal ini karena posisi strategis
Maluku dalam jalur lintasan perdagangan internasional sejak ratusan bahkan ribuan
tahun yang lalu. Dalam proses yang menyejarah itu, telah menciptakan tatanan sosial
budaya yang baru, yang pada substansinya mengandung perbedaan dan persamaan.
terhadap leluhur, masih mempertahankan kepercayaan lokalnya yakni kepercayaan
terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship), yang diwariskan dan bertahan hingga kini. Oleh karena itu, tradisi dan kepercayaan lokal sesungguhnya menciptakan
konstruksi relasi Salam-Sarani, yakni konsep relasi Islam-Kristen yang khas Orang
Maluku.
Dalam proses relasi Salam-Sarani, maka berbagai faktor perekat yang lahir dari
tradisi budaya Orang Maluku, sebagai konstruksi identitas Orang Maluku, seperti pela
gandong, siwa lima, ikatan dan jaringan kekerabatan diantara masyarakat tradisional
Maluku, telah menjadi pengalaman dan pelajaran berharga dalam rangka membangun
reintegrasi sosial Salam-Sarani. Dari berbagai perspektif kajian, ditemukan adanya
bukti-bukti kearifan lokal masa lalu, yang memperlihatkan bagaimana konstruksi sosial
budaya terbentuk, sebagai identitas dasar (basic identitity) Orang Maluku yang mencerminkan tradisi orang basudara.
Relasi Salam-Sarani dan tradisi orang basudara, yang hidup terus menerus dan
bertahan dalam kehidupan orang Maluku, sesungguhnya merupakan bentuk kehidupan
multikulturalisme yang tumbuh subur, dalam proses dinamika budaya. Kehidupan
saling menghargai dan saling mengedepankan sikap toleransi yang tinggi, adalah
gambaran kehidupan Orang Maluku pada masa lampau. Kearifan lokal ini tumbuh dan
berkembang, karena penghormatan dan penghargaan terhadap tradisi, budaya dan
kepercayaan lokal terhadap nenek moyang, leluhur Orang Maluku. Oleh karena itu
dalam proses reintegrasi sosial, maka pelajaran tentang masa lalu kehidupan Orang
Maluku baik yang tercermin dari budaya material (arkeologi) maupun tradisi-tradisi
yang masih hidup (living tradition), merupakan kesejatian idenititas ke-Maluku-an yang semestinya terus disiram, dipupuk dan ditumbuhkembangkan dalam kehidupan
kekinian. Hanya dengan proses demikianlah, ruh peradaban besar Orang Maluku
semakin menemukan relevansinya dalam membangun peradaban nusantara, bahkan
Daftar Pustaka
Ambary, Hasan Muarif 1998 Menemukan Peradaban. Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta, Logos Wacana Ilmu
Bartels, Dieter 1977 Guarding the Invisible Mountain: Inter-village Alliances, Religious Syncretism and Ethnic Identity among Ambonese Christians and Moslems in the Moluccas. Ithaca: Cornell University (Unpublished Ph.D. Dissertation).
Bartels, Dieter 1978 Religious Syncretism, Semantic Depletion and Secondary
Interpretation in Ambonese Islam and Christianity in the Moluccas. Kabar Seberang 4: 49-56.
Bartels, Dieter 2003 The Evolution of God in the Spice Islands: The Converging and Diverging of Protestant Christianity and Islam in the Colonial and Post-Colonial Periods. This paper was presented at the Symposium “Christianity in
Indonesia” at the Frobenius Institute of the Johann Wolfgang Goethe University
at Frankfurt/Main on December 14, 2003
Handoko, Wuri 2006 Pendidikan Arkeologi, Merentang Jalan Harmonisasi. Kapata
Arkeologi. Jurnal Arkeologi Wilayah Maluku dan Maluku Utara. Vol 1. Nomor
1. Ambon. Balai Arkeologi Ambon
Handoko, Wuri 2011a Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi di Maluku Dalam
Kerangka Otonomi Daerah. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, ISSN
1907-9419, Vol 6, No.1 Maret. Jakarta. Puslitbang Pariwisata. Kembudpar.
Handoko, Wuri 2011b Islamisasi dan Dinamika Budaya Lokal di Pulau Haruku.
Laporan Penelitian. Ambon. Balai Arkeologi Ambon. Tidak Terbit
Handoko, Wuri 2012 Aktualisasi Hasil Penelitian Arkeologi di Maluku : Refleksi
Arkeologi tentang Pluralisme, Integrasi Sosial, Demokrasi dan Kedaulatan
Handoko, Wuri 2013 Karakteristik Arsitektur Masjid Kuno di Maluku. Amerta. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi. Vol. 31 Nomor 1. Hal 1-80 Jakarta.
Pusat Arkeologi Nasional.
Huliselan, Muh. 2009. “Siwalima dalam Perspektif Budaya di Maluku Tenggara,”
dalam dalam Seminar Siwa lima Sebagai Falsafah Hidup Orang Maluku, 19-21 Oktober.
Kadir, Abdul Hatib 2012 Sapa Bale Batu, Batu Bale Dia: Politik Revivalisme Tradisi Siwa Lima Orang Ambon Pasca Konflik. Lakon. Jurnal Kajian Sastra dan
Budaya. Surbaya. Univeritas Airlangga
Mahfud, Khoirul 2006 Pendidikan Multikultural. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Parekh, Bikhu. 2001. Rethinking Multiculturalism. USA. Harvard University Pelupessy, Pieter, 2013 Esuriun Orang Bati. Bogor. Kekal Press
Sihasale, WR. 2007 Peran Lembaga Kebudyaan Daerah Maluku (LKDM) dalam mengaktualisasikan Kearifan Lokal dan Pengembangan Budaya di Maluku.
Makalah disampaikan dalam Diskusi Arkeologi. Ambon. Balai Arkeologi
Ambon.
Soselisa, Hermin L, 2000, Sagu Salempang Tapata Dua : Conflict and Resourch
Management in Central Maluku. Cakalele. No 11 (2000) 67-82. Australian National University.
Soumokil, Tontji, 2011 Reintegrasi Sosial Pasca Konflik Maluku. Disertasi Doktor.
Program Studi Pembangunan. Salatiga. Universitas Kristen Satyawacana
(UKSW).
Watloly, Aholiab, 2005, Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri,