• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENENTUAN PREDIKTOR PADA STATISTICAL. DECOMPOSITION (Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu) IMAM SANJAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENENTUAN PREDIKTOR PADA STATISTICAL. DECOMPOSITION (Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu) IMAM SANJAYA"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN PREDIKTOR PADA

DOWNSCALING

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN AL

PENENTUAN PREDIKTOR PADA

DOWNSCALING

(Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN AL

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENENTUAN PREDIKTOR PADA

DOWNSCALING DENGAN

DECOMPOSITION

(Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu)

IMAM SANJAYA

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN AL

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENENTUAN PREDIKTOR PADA

DENGAN SINGULAR VALUE

DECOMPOSITION

(Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu)

IMAM SANJAYA

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN AL

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

PENENTUAN PREDIKTOR PADA STATISTICAL

SINGULAR VALUE

DECOMPOSITION

(Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu)

IMAM SANJAYA

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN AL

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

STATISTICAL

SINGULAR VALUE

(Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN AL

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

STATISTICAL

SINGULAR VALUE

(2)

RINGKASAN

IMAM SANJAYA. Penentuan Prediktor pada Statistical Downscaling dengan Singular Value Decomposition (Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu). Dibimbing oleh AJI HAMIM WIGENA dan LA ODE ABDUL RAHMAN.

Statistical Downscaling (SD) merupakan suatu teknik yang menggunakan model statistika untuk melihat hubungan antara suatu data yang berskala besar (GCM) dengan data yang berskala lokal (stasiun). Beberapa permasalahan dalam SD yaitu penentuan domain, penentuan prediktor, dan pemodelan yang tepat sesuai dengan karakteristik data. Tujuan penelitian ini adalah menentukan prediktor terbaik untuk memprediksi rata-rata curah hujan bulanan stasiun cuaca di Indramayu dengan menggunakan Singular Value Decomposition (SVD). Penelitian ini menggunakan domain 8 8 grid tepat di atas Indramayu. Prediktor yang dipakai dalam penelitian ini adalah rata-rata curah hujan bulanan dari luaran GPCP, curah hujan dari luaran CMAP serta data tekanan udara, precipitable water, tekanan udara permukaan laut, temperatur, dan angin zonal bulanan dari luaran NCEP-NCAR reanalisis. Setiap grid data GCM tersebut memiliki resolusi atau sekitar . Data respon adalah rata-rata curah hujan bulanan periode 1979-2008 dari 15 stasiun cuaca di Indramayu.

Hasil dari penelitian ini adalah angin zonal luaran NCEP-NCAR reanalisis dipilih sebagai prediktor terbaik untuk memprediksi rata-rata curah hujan bulanan stasiun di Indramayu. Jika data historis yang digunakan semakin panjang maka prediksi curah hujan semakin mengikuti pola curah hujan sebenarnya.

Kata kunci: General Circulation Model, curah hujan, Statistical Downscaling, Singular Value Decomposition, dan prediktor.

(3)

iii

PENENTUAN PREDIKTOR PADA STATISTICAL

DOWNSCALING DENGAN SINGULAR VALUE

DECOMPOSITION

(Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu)

IMAM SANJAYA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Statistika pada

Program Studi Statistika

DEPARTEMEN STATISTIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(4)

Judul Skripsi : Penentuan Prediktor pada Statistical Downscaling dengan

Singular Value Decomposition

(Studi Kasus di Stasiun

Meteorologi Indramayu).

Nama

: Imam Sanjaya

NRP

: G14062473

Menyetujui:

Mengetahui:

Ketua Departemen Statistika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hari Wijayanto, M.Si

NIP. 196504211990021001

Tanggal Lulus:

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Dr. Ir. Aji Hamim Wigena, M.Sc.

NIP. 195209281977011001

(5)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1987 sebagai anak dari pasangan Abdul Manan dan Kusniati. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan dasar diselesaikan penulis pada tahun 2000 di SD Negeri Tersana Baru, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri 1 Babakan dan lulus pada tahun 2003. Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Babakan dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Statistika IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan. Pada periode 2008-2009 penulis menjadi staf divisi PSDM di Serambi Ruhiyah Mahasiswa FMIPA (Serum-G). Periode 2009-2010 penulis berkesempatan menjadi Ketua Departemen Keilmuan di Gamma Sigma Beta (GSB). Pada periode yang sama penulis diberi kepercayaan untuk menjadi Koordinator di Lembaga Konsultan Bengkel Statistik. Selain itu penulis juga pernah melaksanakan Praktik Lapang (PL) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Puslitbang BMKG) yang berlokasi di Jakarta Pusat pada bulan Februari-April 2010.

(6)

PRAKATA

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarga, shahabat, dan umatnya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir zaman.

Karya ilmiah ini berjudul ”Penentuan Prediktor pada Statistical Downscaling dengan Singular Value Decomposition (Studi Kasus di Stasiun Meteorologi Indramayu)”. Dalam penelitian ini dilakukan analisis Statistical Downscaling dengan Singular Value Decomposition untuk tujuh jenis prediktor GCM dan data curah hujan bulanan stasiun di Indramayu yang bertujuan memilih prediktor terbaik untuk memprediksi curah hujan bulanan dengan tingkat akurasi yang tinggi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang berperan serta dalam penyusunan karya ilmiah ini, antara lain:

1. Bapak Dr. Aji Hamim Wigena, M.Sc., dan La Ode Abdul Rahman, S.Si., M.Si. atas bimbingan, kesabaran, dorongan semangat, dan saran-sarannya selama menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Kedua orang tua (Mama dan Bapa), Irma, Indra dan Nok Intan, serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang, dan motivasinya sehingga penulis terdorong untuk selalu berusaha melakukan yang terbaik.

3. Hani Farisiana dan seluruh keluarga atas motivasi dan doa yang diberikan.

4. Teman-teman seperjuangan, Hana, Anisa, atas semua saran dan diskusi selama mengerjakan karya ilmiah ini.`

5. Defri, Sidik, Ahmad, Sofi, Khoer dan teman-teman Statistika 43 lainnya atas persahabatan dan kebersamaan yang sangat menyenangkan.

6. Teman-temanku di Statistika 42, Statistika 44, dan Statistika 45 atas kenangan dan pelajaran hidup yang diberikan.

7. Seluruh rekan di Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Puslitbang BMKG), Pak Guswanto, Pak Wido, dan Pak Roni atas saran-saran mengenai meteorologi dan klimatologi yang berkaitan dengan karya ilmiah ini. 8. Teman-teman di Departemen Statistika IPB atas kebersamaannya serta seluruh staf

pengajar dan Tata Usaha Departemen Statistika yang telah memberikan bekal ilmu dan wawasan selama penulis menuntut ilmu di Departemen Statistika IPB.

Semoga semua amal baik dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT, dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2010

(7)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 1

TINJAUAN PUSTAKA ... 1

General Circulation Model (GCM) ... 1

Statistical Downscaling ... 1

Singular Value Decomposition ... 2

Regresi Linier Peubah Ganda ... 3

METODOLOGI ... 3

Data ... 3

Metode ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 4

KESIMPULAN DAN SARAN ... 10

Kesimpulan ... 10

Saran ... 10

(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Peta lokasi 15 stasiun cuaca di Indramayu ... 4 Gambar 2. Korelasi pasangan expansion coefficient pertama dan nilai SCF pertama pada

setiap prediktor. ... 5 Gambar 3. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi luaran GPCP . 5 Gambar 4. Peta korelasi heterogen antara grid presipitasi luaran GPCP dengan B1 ... 5 Gambar 5. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi luaran CMAP 5 Gambar 6. Peta korelasi heterogen antara grid presipitasi luaran CMAP dengan B1 ... 5 Gambar 7. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 tekanan udara luaran

NCEP. ... 6 Gambar 8. Peta korelasi heterogen antara grid tekanan udara luaran NCEP dengan B1 ... 6 Gambar 9. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 precipitable water luaran

NCEP ... 6 Gambar 10. Peta korelasi heterogen antara grid precipitable water luaran NCEP dengan B1 6 Gambar 11. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 tekanan udara

permukaan laut luaran NCEP ... 6 Gambar 12. Peta korelasi heterogen antara grid tekanan udara permukaan laut luaran NCEP

dengan B1. ... 7 Gambar 13. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 suhu luaran NCEP ... 7 Gambar 14. Peta korelasi heterogen antara grid suhu luaran NCEP dengan B1 ... 7 Gambar 15. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 angin zonal luaran

NCEP ... 7 Gambar 16. Peta korelasi heterogen antara grid angin zonal luaran NCEP dengan B1 ... 7 Gambar 17. Plot sebaran stasiun berdasarkan rata-rata korelasi dan RMSEP hasil validasi

tahun 2008 pada 15 stasiun. ... 8 Gambar 18. Plot korelasi dan RMSEP dengan berbagai panjang data historis (10, 15, 20, 25,

dan 28 tahun) ... 9 Gambar 19. Peta kontur spatial pattern U pertama (U1) angin zonal ... 9 Gambar 20. Peta kontur spatial pattern V pertama (V1) angin zonal ... 10

(9)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Lokasi stasiun cuaca Indramayu dan grid-grid GCM sebagai domain ... 12

Lampiran 2. Tahun pemodelan dan tahun prediksi untuk konsistensi model ... 13

Lampiran 3. Keterangan prediktor ... 13

Lampiran 4. Tabel korelasi pasangan expansion coefficient pertama dan nilai SCF pertama pada setiap prediktor ... 14

Lampiran 5. Koefisien korelasi heterogen antara A1 dengan curah hujan stasiun cuaca ... 14

Lampiran 6. Koefisien korelasi heterogen antara B1 dengan grid prediktor ... 15

Lampiran 7. Plot rata-rata curah hujan bulanan observasi dan prediksi tahun 2008 ... 16

Lampiran 8. Tabel koefisien korelasi dan RMSEP validasi tahun 2008 ... 19

Lampiran 9. Tabel rata-rata korelasi dan RMSEP validasi dengan berbagai panjang data historis (10, 15, 20, 25, dan 28 tahun) ... 20

Lampiran 10. Urutan kontribusi keragaman grid terhadap A1 ... 21

(10)

PENDAHULUAN Latar Belakang

General Circulation Model (GCM) merupakan alat yang sangat penting untuk mempelajari perubahan iklim dan membuat peramalan iklim untuk masa yang akan datang (Benestad 2004). GCM mensimulasikan tiap peubah iklim dengan tingkat akurasi yang berbeda-beda dan hanya menggambarkan keadaan iklim berskala besar (resolusi rendah), sehingga diperlukan suatu teknik untuk pengamatan peubah iklim secara lokal.

Secara umum, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan GCM menjadi informasi skala lokal yaitu Dynamical Downscaling dan Statistical Downscaling. (Benestad 2004). Statistical Downscaling (SD) merupakan suatu teknik yang menggunakan model statistika untuk melihat hubungan antara suatu data yang berskala besar dengan data yang berskala lokal. Pada SD pola hubungan antara kedua peubah dapat diasumsikan linier dan nonlinier (Zorita dan Storch 1999).

Metode-metode yang dapat digunakan untuk pola hubungan linier, seperti Regresi Linier Peubah Ganda, Analisis Korelasi Kanonik, Regresi Komponen Utama, dan Singular Value Decomposition (SVD). Metode-metode nonlinier umumnya menggunakan Jaringan Saraf Tiruan dan Metode Analog (Bretherton et al. 1992).

Beberapa permasalahan dalam SD adalah penentuan domain, penentuan prediktor, dan mendapatkan model yang tepat sesuai dengan karakteristik data sehingga bisa menggambarkan hubungan antara gugus data respon dan prediktor dengan baik. Domain menggunakan domain atas tepat di atas Indramayu dengan luasan 8 8 grid (Wigena 2006), Menurut Uvo et al. (2007) prediktor (GCM) untuk downscaling dipilih berdasarkan koefisien korelasi dan SVD. Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan linier antara gugus data GCM dan data stasiun cuaca. Setelah mengetahui hubungan tersebut, Regresi Linier Peubah Ganda digunakan sebagai validasi model untuk menghitung koefisien korelasi dan RMSEP antara data prediksi dan data observasi.

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah

1. Menentukan prediktor terbaik untuk memprediksi rata-rata curah hujan bulanan stasiun cuaca di Indramayu dengan menggunakan SVD.

2. Melihat konsistensi model dengan berbagai panjang data historis tertentu pada prediktor yang terpilih.

TINJAUAN PUSTAKA General Circulation Model (GCM) Menurut Suaydhi et al. (2009) GCM merupakan representasi numerik dari persamaan-persamaan dasar yang menggambarkan perilaku sistem iklim dan interaksi antar komponen-komponennya (atmosfer, lautan, kriosfer, biosfer, dan kemosfer). Suatu model dengan berbagai resolusi horizontal dan vertikal, misalnya dengan resolusi

secara horizontal (bujur dan lintang) dan 9 lapis, 8 lapis, 23 lapis, dan 31 lapis secara vertikal. Setiap grid memiliki resolusi bermacam-macam berdasarkan jenis luaran GCM.

Model GCM dapat memberikan gambaran mengenai suatu nilai peubah iklim pada masa yang lalu dan masa yang akan datang. Data peubah iklim yang dihasilkan GCM mempunyai hubungan fungsional dengan data yang berasal dari stasiun cuaca (Uvo et al. 2001). GCM hanya memprediksi peubah iklim skala besar (resolusi rendah), sehingga diperlukan suatu teknik untuk menduga peubah iklim skala lokal dengan tingkat akurasi yang tinggi (Zorita dan Storch 1999). Salah satu teknik untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menggunakan Statistical Downscaling.

Statistical Downscaling

Menurut Zorita dan Storch (1999) SD merupakan suatu teknik yang menggunakan model statistika untuk melihat hubungan antara suatu data yang berskala besar dengan data yang berskala lokal. Setelah mengetahui hubungan kedua gugus data tersebut, data yang berskala besar (GCM) digunakan untuk memprediksi data peubah iklim berskala lokal (skala stasiun cuaca). Secara umum teknik ini terdiri dari dua macam yaitu pendekatan dengan asumsi pola hubungan linier dan nonlinier (Zorita dan Storch 1999). Metode-metode yang dapat digunakan untuk pola hubungan linier, antara lain Regresi Linier Peubah Ganda, Analisis Korelasi Kanonik, Regresi Komponen Utama, dan Singular Value Decomposition (SVD). Metode-metode tak linier umumnya menggunakan metode Jaringan Saraf Tiruan dan Metode Analog (Bretherton et al. 1992). Prediktor yang digunakan untuk memprediksi curah hujan

(11)

2

lokal umumnya suhu permukaan laut, ketinggian geopotensial, curah hujan, angin, dan tekanan udara permukaan laut (Widmann 2002).

Prediktor dipilih berdasarkan kemampuan prediktor menggambarkan kondisi iklim global pada lokasi tertentu. Menurut Benestad (2004) kriteria pemilihan prediktor antara lain:

1. Prediktor memiliki hubungan yang kuat secara fisik dengan peubah respon

2. Prediktor disimulasikan dengan baik oleh GCM.

Singular Value Decomposition Penerapan SVD pada klimatologi digunakan untuk mengetahui hubungan linier dua gugus data, seperti data GCM dan data curah hujan stasiun cuaca. Metode ini menggunakan matriks koragam silang dari dua gugus data. Misal, terdapat dua buah matriks X dan Y, masing-masing berukuran t p dan t q.

adalah nilai prediktor pada waktu ke-t di grid ke-p. adalah nilai curah hujan pada waktu ke-t di stasiun ke-q.

Matriks koragam silang ( ) dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut (Bjornsson dan Venegas 1997):

!"# ! $ % & % % & % # $ % & % % & % dimana:

!" = matriks transpose dari matriks Z

'( = rata-rata kolom ke-i matriks X untuk i=1, 2, 3, …, p

') = rata-rata kolom ke-j matriks Y untuk j=1, 2, 3, …, q

Tujuan dari analisis SVD adalah untuk mencari kombinasi linier p peubah prediktor yang mempunyai nilai koragam maksimum dengan kombinasi linier q peubah respon.

* +, ,- +. .- - +/ / 0

1 2, ,- 2. .- - 23 3 4

Pasangan kombinasi linier A dan B disebut expansion coefficient. Expansion coefficient analog dengan skor komponen pada analisis komponen utana.

Dengan SVD, matriks koragam silang akan diuraikan menjadi dua gugus spatial pattern yang orthogonal dan berpasangan dengan nilai singular. Spatial pattern analog dengan vektor ciri pada analisis komponen utama. Matriks 5 diuraikan dengan SVD sebagai berikut (Bjornsson dan Venegas 1997):

064"

dimana:

U = matriks singular berukuran p m dari matriks

V = matriks singular berukuran m q dari matriks

m = min(p,q)

Matriks D merupakan matriks diagonal tak negatif yang unsur-unsurnya 1> 2>…> m.

Matriks U dan V masing-masing secara berurutan dapat ditentukan dengan mencari vektor ciri dari " dan " yaitu vektor ciri +,,+., +7,…, +/ dan 2 , 2., 27,…, 23 yang berpadanan dengan akar ciri

8> 8 8>…>

9

8. Pasangan spatial pattern ke-i

merupakan pasangan dari vektor pada kolom matriks U ke-i dan vektor pada kolom matriks V ke-i.

Keeratan hubungan pasangan spatial pattern ke-i ditunjukkan oleh koefisien korelasi Pearson dari pasangan expansion coefficient ke-i. Tiap pasang spatial pattern ini menggambarkan square covariance fraction (SCF) dari gugus data X dan Y. SCF ke-i dapat dianalogkan dengan proporsi keragaman peubah X dan Y yang diterangkan oleh pasangan spatial pattern ke-i. SCF ke-i, ditunjukkan dengan persamaan berikut:

:5;< =< 8

(12)

Ada dua cara untuk menampilkan spatial pattern agar lebih mudah dipahami, yaitu dengan membuat peta korelasi homogen dan heterogen (Bjornsson dan Venegas 1997). Peta korelasi homogen ke-i adalah peta yang menggambarkan koefisien korelasi antara expansion coefficient A ke-i dengan X atau korelasi antara expansion coefficient B ke-i dengan Y, sedangkan peta korelasi heterogen ke-i adalah peta yang menggambarkan koefisien korelasi antara expansion coefficient A ke-i dengan Y atau korelasi antara expansion coefficient B ke-i dengan X. Peta korelasi homogen berguna sebagai indikator area geografis yang mencakup bagian dari stasiun-stasiun cuaca, sedangkan peta korelasi heterogen menunjukkan seberapa baik stasiun diprediksi oleh expansion coefficient.

Regresi Linier Peubah Ganda Regresi Linier Peubah Ganda adalah analisis regresi yang terdiri dari dua atau lebih peubah respon dengan peubah bebas yang sama. Misal, terdapat q peubah respon dan p peubah bebas akan dibuat q model linier tunggal dengan persamaan sebagai berikut:

Persamaan di atas dapat dinotasikan dengan matriks sebagai berikut (Kattrhee dan Naik 1999): @ - A dimana: B 3 8 & 8 & B / C 8 & 8 & @ D D8 & D D D8 & D AB 3 E F F8 & F F F8 & F G

Dengan pendekatan kuadrat terkecil, dapat diperoleh matriks penduga bagi @ adalah sebagai berikut (Kattrhee dan Naik 1999):

@H I " JK, "

Pada penelitian ini peubah bebas yang digunakan adalah expansion coefficient A dan data stasiun cuaca sebagai peubah respon (Uvo et al. 2001). Prediksi curah hujan dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

@H I*"*JK,*"

H=*H@H dimana:

H = prediksi curah hujan

* CL L 8 & L

L L8 & L

t = panjang tahun validasi

p = banyaknya expansion coefficient yang digunakan

METODOLOGI Data

Data yang digunakan sebagai respon adalah data rata-rata curah hujan bulanan periode 1979-2008 dari 15 stasiun cuaca di Indramayu. Prediktor yang dipakai dalam penelitian ini adalah data rata-rata curah hujan (presipitasi) bulanan dari luaran Global Precipitation Climatology Project (GPCP); data rata-rata curah hujan bulanan dari luaran Climate Prediction Center Merged Analysis of Precipitation (CMAP); serta data rata-rata tekanan udara, precipitable water, tekanan udara permukaan laut, temperatur, dan angin zonal bulanan dari luaran National Centers for Environmental Prediction and the National Center for Atmospheric Research (NCEP-NCAR) reanalisis. Setiap grid data GCM tersebut memiliki resolusi atau sekitar 300 300 km.

Data dibagi menjadi dua yaitu data untuk pemodelan (tahun 1979-2007) dan data validasi (tahun 2008). Pemilihan domain menggunakan domain atas dengan luasan 8 8grid (Wigena 2006), sehingga ada 64 grid pada setiap prediktor. Domain data GCM yang dipakai terletak pada M N OP$ Q OP dan RS $ Q RT. Lokasi stasiun dan grid GCM yang dipakai dapat dilihat pada Lampiran 1.

, D ,B- D ,- D8 .- - D /- A, . D8,B- D8 ,- D88 .- - D8 /- A. 3 D ,B- D ,- D8 .- - D /- A3

(13)

4

Metode

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan domain 8 8 grid (wilayah lintang dan bujur) di atas Indramayu untuk masing-masing prediktor.

2. Menganalisis hubungan setiap prediktor (GCM) dan respon (stasiun) dengan SVD menggunakan data untuk pemodelan dengan beberapa tahapan, yaitu:

a. Membuat matriks cross-covariance X dan Y

b. Menguraikan matriks Cxy dengan

SVD

c. Menghitung expansion coefficient A pertama (A1) dan expansion coefficient B pertama (B1)

d. Menghitung SCF pertama.

e. Menghitung korelasi antara A1 dengan Y

f. Menghitung korelasi antara B1 dengan X

g. Membuat peta kontur korelasi heterogen.

3. Menghitung RMSEP dan korelasi 15 stasiun menggunakan data curah hujan tahun 2008 untuk masing-masing prediktor dengan analisis Regresi Peubah Ganda antara Y dengan A1.

4. Memilih prediktor berdasarkan:

a. Koefisien korelasi A1 dan B1 relatif besar

b. Koefisien korelasi heterogen relatif besar

c. rata-rata korelasi relatif besar dan rata-rata RMSEP relatif kecil antara data prediksi dengan observasi curah hujan pada langkah ke-3.

Dalam suatu pemodelan nilai RMSEP diharapkan kecil. RMSEP merupakan salah satu ukuran keakuratan suatu model. Nilai RMSEP dapat dituliskan dengan persamaan sebagai berikut:

UV:WX Y> IZe<? [\]^ <$ Zf _`abcd^a< <J8

Hubungan linear antara dua peubah kuantitatif dapat dilihat dengan menggunakan analisis korelasi Pearson. Koefisien korelasi ini mengukur keeratan antara dua peubah yang bernilai -1 sampai dengan 1, yang diduga dengan koefisien korelasi contoh r, yaitu:

g :

h: h:

dengan

g = koefisien korelasi antara peubah X dan peubah Y

: = koragam peubah X dan peubah Y : = ragam peubah X

: = ragam peubah Y

Jika koefisien korelasi mendekati i maka hubungan linier kedua peubah sangat erat, sedangkan koefisien korelasi yang mendekati nol artinya hubungan linier kedua peubah sangat lemah.

5. Menghitung konsistensi prediktor yang terpilih menggunakan tahun pemodelan pada Lampiran 2.

6. Interpretasi terhadap stasiun dan grid yang berkontribusi besar terhadap expansion coefficient pertama berdasarkan nilai kolom pertama matriks V (V1) dan kolom pertama matriks U (U1) untuk prediktor yang terpilih pada langkah ke-4.

HASIL DAN PEMBAHASAN Grid GCM sebagai domain prediktor berlokasi di atas stasiun Indramayu (Wigena, 2006). Lokasi domain dan stasiun cuaca pada penelitian ini terdapat pada Lampiran 1.

Gambar 1. Peta lokasi 15 stasiun cuaca di Indramayu

Secara simultan, rata-rata curah hujan bulanan di stasiun memiliki hubungan yang kuat dengan GCM pada domain atas. Hal ini ditunjukkan oleh korelasi yang cukup besar antara pasangan expansion coefficient pertama yang secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 2. Keterangan nama prediktor terdapat pada Lampiran 3. Dua GCM dengan korelasi expansion coefficient terbesar pertama ditunjukkan oleh presipitasi luaran CMAP (0,78) dan angin zonal luaran NCEP (0,77).

Pada Gambar 2, besarnya SCF pertama menunjukkan bahwa pasangan expansion coefficient pertama mampu menjelaskan

(14)

keragaman data ra

stasiun cuaca dan GCM secara baik. prediktor menghasilkan nilai SCF pertama lebih dari 99%, artinya sebesar 99% keragaman data GCM dan stasiun cuaca telah dijelaskan dengan baik oleh pasangan expansion coefficient

Gambar 2.

mempermudah mengetahui hubungan antara lokasi grid atau stasiun dengan

coefficient.

hubungan positif, sedangkan warna hijau menunjukkan hubungan negatif. Koefisien korelasi antara A1 dengan curah hujan stasiun cuaca terdapat pada Lampiran 5. Koefisien korelasi heterogen antara B1 dengan grid prediktor terdapat pada Lampiran 6.

pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran GPCP yaitu stasiun Cikedung, Tugu, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Cikedung sebesar 0,70.

Gambar 3. keragaman data ra

stasiun cuaca dan GCM secara baik. prediktor menghasilkan nilai SCF pertama lebih dari 99%, artinya sebesar 99% keragaman data GCM dan stasiun cuaca telah dijelaskan dengan baik oleh pasangan expansion coefficient

Gambar 2. Korelasi pasangan coefficient

pertama pada setiap prediktor. Peta korelasi heterogen digunakan untuk mempermudah mengetahui hubungan antara lokasi grid atau stasiun dengan

coefficient. Warna merah m

hubungan positif, sedangkan warna hijau menunjukkan hubungan negatif. Koefisien korelasi antara A1 dengan curah hujan stasiun cuaca terdapat pada Lampiran 5. Koefisien korelasi heterogen antara B1 dengan grid prediktor terdapat pada Lampiran 6.

Gambar 3 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran GPCP yaitu stasiun Cikedung, Tugu, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Cikedung sebesar 0,70.

Gambar 3. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi luaran GPCP 108.2 -6.6 -6.5 -6.4 2 4 5 7

keragaman data rata-rata curah hujan bulanan stasiun cuaca dan GCM secara baik. prediktor menghasilkan nilai SCF pertama lebih dari 99%, artinya sebesar 99% keragaman data GCM dan stasiun cuaca telah dijelaskan dengan baik oleh pasangan expansion coefficient pertama

Korelasi pasangan

coefficient pertama dan nilai SCF pertama pada setiap prediktor. Peta korelasi heterogen digunakan untuk mempermudah mengetahui hubungan antara lokasi grid atau stasiun dengan

Warna merah m

hubungan positif, sedangkan warna hijau menunjukkan hubungan negatif. Koefisien korelasi antara A1 dengan curah hujan stasiun cuaca terdapat pada Lampiran 5. Koefisien korelasi heterogen antara B1 dengan grid prediktor terdapat pada Lampiran 6.

Gambar 3 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran GPCP yaitu stasiun Cikedung, Tugu, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Cikedung sebesar

Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi luaran GPCP. 108.2 1 3 6 8 9 10 15

rata curah hujan bulanan stasiun cuaca dan GCM secara baik. Setiap prediktor menghasilkan nilai SCF pertama lebih dari 99%, artinya sebesar 99% keragaman data GCM dan stasiun cuaca telah dijelaskan dengan baik oleh pasangan

pertama.

Korelasi pasangan expansion pertama dan nilai SCF pertama pada setiap prediktor. Peta korelasi heterogen digunakan untuk mempermudah mengetahui hubungan antara lokasi grid atau stasiun dengan expansion Warna merah menunjukkan hubungan positif, sedangkan warna hijau menunjukkan hubungan negatif. Koefisien korelasi antara A1 dengan curah hujan stasiun cuaca terdapat pada Lampiran 5. Koefisien korelasi heterogen antara B1 dengan grid prediktor terdapat pada Lampiran 6.

Gambar 3 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran GPCP yaitu stasiun Cikedung, Tugu, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Cikedung sebesar

Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi

108.4 11

12

13 14

rata curah hujan bulanan Setiap prediktor menghasilkan nilai SCF pertama lebih dari 99%, artinya sebesar 99% keragaman data GCM dan stasiun cuaca telah dijelaskan dengan baik oleh pasangan

expansion pertama dan nilai SCF

Peta korelasi heterogen digunakan untuk mempermudah mengetahui hubungan antara expansion enunjukkan hubungan positif, sedangkan warna hijau menunjukkan hubungan negatif. Koefisien korelasi antara A1 dengan curah hujan stasiun cuaca terdapat pada Lampiran 5. Koefisien korelasi heterogen antara B1 dengan grid Gambar 3 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran GPCP yaitu stasiun Cikedung, Tugu, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Cikedung sebesar

Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi

Gambar 4 menunjukkan bahwa 5 grid presipitasi luaran GPCP pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X29, X30, X31, X39, dan X28.

Gambar 4.

Gambar 5 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran CMAP yaitu stasiun Tugu, Cikedung, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar denga Gambar 5. Gambar 6. 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 -15 -10 -5 0 -6.6 -6.5 -6.4 7 100 -15 -10 -5 0

Gambar 4 menunjukkan bahwa 5 grid presipitasi luaran GPCP pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X29, X30, X31, X39, dan X28.

Gambar 4. Peta korelasi heterogen an

presipitasi luaran GPCP dengan B1.

Gambar 5 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran CMAP yaitu stasiun Tugu, Cikedung, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Tugu sebesar 0,75.

Gambar 5. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi luaran CMAP

Gambar 6. Peta korelasi heterogen antara grid presipitasi luaran CMAP dengan B1. 100 105 108.2 2 3 4 5 7 100 105

Gambar 4 menunjukkan bahwa 5 grid presipitasi luaran GPCP pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X29, X30, X31, X39, dan X28.

Peta korelasi heterogen an

presipitasi luaran GPCP dengan

Gambar 5 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran CMAP yaitu stasiun Tugu, Cikedung, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar

n A1 adalah Tugu sebesar 0,75.

Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi luaran CMAP.

Peta korelasi heterogen antara grid presipitasi luaran CMAP dengan

110 108.4 1 6 8 9 10 11 15 110

Gambar 4 menunjukkan bahwa 5 grid presipitasi luaran GPCP pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X29,

Peta korelasi heterogen antara grid presipitasi luaran GPCP dengan

Gambar 5 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 presipitasi luaran CMAP yaitu stasiun Tugu, Cikedung, Bondan, Sukadana, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar

n A1 adalah Tugu sebesar 0,75.

Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 presipitasi

Peta korelasi heterogen antara grid presipitasi luaran CMAP dengan

115 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 108.4 12 13 14 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 115 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

(15)

6

Gambar 6 menunjukkan bahwa 5 grid presipitasi luaran CMAP pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X39, X29, X28, X31, dan X32.

Gambar 7. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 tekanan udara luaran NCEP.

Gambar 7 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 tekanan udara yaitu stasiun Bulak, Cidempet, Sudimampir, Bangkir, dan Krangkeng. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Bulak sebesar -0,55.

Gambar 8. Peta korelasi heterogen antara grid tekanan udara luaran NCEP dengan B1.

Gambar 8 menunjukkan bahwa 5 grid tekanan udara pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X64, X63, X62, X56, dan X61.

Gambar 9 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 precipitable water yaitu stasiun Bondan, Sukadana, Tugu, Kedokan Bunder, dan Ujunggaris. Stasiun yang memiliki korelasi paling besar dengan A1 adalah Bondan sebesar -0,63.

Gambar 9. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 precipitable water luaran NCEP.

Gambar 10 menunjukkan bahwa 5 grid precipitable water pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X48, X47, X40, X56, dan X39.

Gambar 10. Peta korelasi heterogen antara grid precipitable water luaran NCEP dengan B1.

Gambar 11 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 tekanan udara permukaan laut yaitu stasiun Bulak, Cidempet, Sudimampir, Bangkir, dan Losarang. Stasiun yang memiliki koefisien korelasi terbesar dengan A1 adalah Bulak sebesar -0,55.

Gambar 11. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 tekanan udara permukaan laut luaran NCEP. 108.2 108.4 -6.6 -6.5 -6.4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 -1 -0.9 -0.8 -0.7 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0 100 105 110 115 -15 -10 -5 0 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 108.2 108.4 -6.6 -6.5 -6.4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 -1 -0.9 -0.8 -0.7 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0 100 105 110 115 -15 -10 -5 0 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 108.2 108.4 -6.6 -6.5 -6.4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 -1 -0.9 -0.8 -0.7 -0.6 -0.5 -0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0

(16)

Gambar 12. Peta korelasi heterogen antara grid tekanan udara permukaan laut luaran NCEP dengan B1. Gambar 12 menunjukkan bahwa 5 grid tekanan udara permukaan laut pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X64, X62, X63, X56, dan X55.

Gambar 13. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 suhu luaran NCEP.

Gambar 13 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 suhu yaitu Bondan, Sukadana, Tugu, Ujunggaris, dan Cikedung. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Bondan sebesar 0,65.

Gambar 14. Peta korelasi heterogen antara grid suhu luaran NCEP dengan B1.

Gambar 14 menunjukkan bahwa 5 grid suhu pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X5, X6, X4, X47, dan X48.

Gambar 15 menunjukkan bahwa 5 stasiun pertama yang berkorelasi kuat dengan A1 angin zonal yaitu stasiun Bondan, Tugu, Sukadana, Ujunggaris, dan Cikedung. Stasiun yang memiliki korelasi terbesar dengan A1 adalah Bondan sebesar 0,75.

Gambar 15. Peta korelasi heterogen antara data stasiun dengan A1 angin zonal luaran NCEP.

Gambar 16. Peta korelasi heterogen antara grid angin zonal luaran NCEP dengan B1.

Gambar 16 menunjukkan bahwa 5 grid angin zonal pertama yang berkorelasi kuat dengan B1 yaitu grid X22, X21, X31, X32, dan X30. Secara umum, peta korelasi heterogen menunjukkan bahwa angin zonal memiliki korelasi yang paling kuat dengan B1 daripada 7 prediktor lainnya, artinya angin zonal memiliki hubungan yang paling kuat dengan curah hujan bulanan stasiun cuaca di Indramayu.

Prediksi rata-rata curah hujan bulanan tahun 2008 diperoleh menggunakan model SD dengan Regresi Linier Peubah Ganda, yaitu dengan membuat persamaan regresi antara expansion coefficient pertama A (A1) dengan data curah hujan stasiun. Plot prediksi pada validasi tahun 2008 dapat dilihat pada

100 105 110 115 -15 -10 -5 0 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 108.2 108.4 -6.6 -6.5 -6.4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 100 105 110 115 -15 -10 -5 0 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 108.2 108.4 -6.6 -6.5 -6.4 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1 100 105 110 115 -15 -10 -5 0 -1 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

(17)

Lampiran 7

stasiun di Indramayu sangat baik diprediksi oleh semua jenis prediktor. Prediksi pada bulan Januari dan Februari menunjukkan hasil yang

bulan

sangat tinggi, sedangkan prediksi bulan Maret Desember menunjukkan hasil yang baik, terlihat dari plot prediksi yang mengikuti pola observasi.

memprediksi curah hujan dapat dilihat pula melalui koefisien korelasi dan RMSEP antara data prediksi dan data observasi berdasarkan data validasi tahun 2008. Nilai RMSEP dan korelasi ini tercantum pada Lampiran 8. Stasiun Bangkir memiliki nilai RMSEP sang besar, kecuali pada

Gambar 17.

Tabel 1.

Lampiran 7. Plot tersebut menunjukkan bahwa stasiun di Indramayu sangat baik diprediksi oleh semua jenis prediktor. Prediksi pada bulan Januari dan Februari menunjukkan hasil yang kurang baik. Hal ini disebabkan pada bulan-bulan tersebut curah hujan observasi sangat tinggi, sedangkan prediksi bulan Maret Desember menunjukkan hasil yang baik, terlihat dari plot prediksi yang mengikuti pola observasi.

Ukuran kebaikan prediktor dalam memprediksi curah hujan dapat dilihat pula melalui koefisien korelasi dan RMSEP antara data prediksi dan data observasi berdasarkan data validasi tahun 2008. Nilai RMSEP dan korelasi ini tercantum pada Lampiran 8. Stasiun Bangkir memiliki nilai RMSEP sang besar, kecuali pada

Gambar 17. Plot sebaran stasiun berdasarkan rata hasil validasi tahun 2008 pada 15 stasiun. Tabel 1. Rataan dan simpangan baku (stdev)

nilai RMSEP dan korelasi 15 stasiun

GCM rataan gpcp 115.35 cmap 109.08 pres 92.31 prectab 115.90 slp 91.45 temp 117.21 uwind 77.74

Plot tersebut menunjukkan bahwa stasiun di Indramayu sangat baik diprediksi oleh semua jenis prediktor. Prediksi pada bulan Januari dan Februari menunjukkan hasil kurang baik. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut curah hujan observasi sangat tinggi, sedangkan prediksi bulan Maret Desember menunjukkan hasil yang baik, terlihat dari plot prediksi yang mengikuti pola Ukuran kebaikan prediktor dalam memprediksi curah hujan dapat dilihat pula melalui koefisien korelasi dan RMSEP antara data prediksi dan data observasi berdasarkan data validasi tahun 2008. Nilai RMSEP dan korelasi ini tercantum pada Lampiran 8. Stasiun Bangkir memiliki nilai RMSEP sang besar, kecuali pada angin zonal

Plot sebaran stasiun berdasarkan rata hasil validasi tahun 2008 pada 15 stasiun. Rataan dan simpangan baku (stdev) nilai RMSEP dan korelasi 15 stasiun

RMSEP rataan stdev 115.35 27.75 109.08 28.05 92.31 23.17 115.90 26.73 91.45 23.01 117.21 26.82 77.74 21.18

Plot tersebut menunjukkan bahwa stasiun di Indramayu sangat baik diprediksi oleh semua jenis prediktor. Prediksi pada bulan Januari dan Februari menunjukkan hasil kurang baik. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut curah hujan observasi sangat tinggi, sedangkan prediksi bulan Maret Desember menunjukkan hasil yang baik, terlihat dari plot prediksi yang mengikuti pola Ukuran kebaikan prediktor dalam memprediksi curah hujan dapat dilihat pula melalui koefisien korelasi dan RMSEP antara data prediksi dan data observasi berdasarkan data validasi tahun 2008. Nilai RMSEP dan korelasi ini tercantum pada Lampiran 8. Stasiun Bangkir memiliki nilai RMSEP sang

angin zonal nilai RMSEP

Plot sebaran stasiun berdasarkan rata hasil validasi tahun 2008 pada 15 stasiun. Rataan dan simpangan baku (stdev) nilai RMSEP dan korelasi 15 stasiun

Korelasi rataan stdev 0.71 0.09 0.74 0.09 0.87 0.05 0.74 0.09 0.87 0.04 0.75 0.04 0.91 0.04 Plot tersebut menunjukkan bahwa stasiun di Indramayu sangat baik diprediksi oleh semua jenis prediktor. Prediksi pada bulan Januari dan Februari menunjukkan hasil kurang baik. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut curah hujan observasi sangat tinggi, sedangkan prediksi bulan Maret-Desember menunjukkan hasil yang baik, terlihat dari plot prediksi yang mengikuti pola Ukuran kebaikan prediktor dalam memprediksi curah hujan dapat dilihat pula melalui koefisien korelasi dan RMSEP antara data prediksi dan data observasi berdasarkan data validasi tahun 2008. Nilai RMSEP dan korelasi ini tercantum pada Lampiran 8. Stasiun Bangkir memiliki nilai RMSEP sangat nilai RMSEP

yang dihasilkan adalah sebesar 99,44, artinya angin zonal lebih baik daripada prediktor lain dalam menjelaskan pola curah hujan di stasiun Bangkir. Stasiun Krangkeng sangat baik diprediksi oleh semua prediktor

nilai RMSEP yang relatif lebih kecil dan korelasi yang besar pada semua prediktor.

Gambar 17 menunjukkan sebaran stasiun berdasarkan nilai RMSEP dan korelasi pada masing

permukaan laut dan tekanan udara

kemampuan prediksi yang hampir sama. Kedua prediktor tersebut memiliki selisih nilai RMSEP dan korelasi yang sangat kecil. Angin zonal menghasilkan nilai RMSEP yang lebih kecil dan korelasi yang lebih besar daripada prediktor lainnya.

Plot sebaran stasiun berdasarkan rata hasil validasi tahun 2008 pada 15 stasiun. Rataan dan simpangan baku (stdev) nilai RMSEP dan korelasi 15 stasiun

stdev 0.09 0.09 0.05 0.09 0.04 0.04 0.04

Tabel 1 menunjukkan rataan korelasi dan RMSEP dari 15 stasiun.

menghasilkan nilai RMSEP yang paling kecil dan korelasi yang paling besar masing sebesar 77,74 dan 0,91. Selain itu, prediksi angin zonal memiliki simpangan baku RMSEP yang kecil yaitu sebesar 21,18 dan simpangan baku korelasi sebesar 0,04, art

memprediksi curah hujan yang relatif stabil di semua stasiun.

Berdasarkan keeratan hubungan prediktor dan stasiun, angin zonal luaran NCEP reanalisis merupakan prediktor terbaik untuk memprediksi curah hujan di stasiun cuaca Indramayu

yang dihasilkan adalah sebesar 99,44, artinya angin zonal lebih baik daripada prediktor lain dalam menjelaskan pola curah hujan di stasiun Bangkir. Stasiun Krangkeng sangat baik diprediksi oleh semua prediktor

nilai RMSEP yang relatif lebih kecil dan korelasi yang besar pada semua prediktor.

Gambar 17 menunjukkan sebaran stasiun berdasarkan nilai RMSEP dan korelasi pada masing-masing prediktor. Tekanan udara permukaan laut dan tekanan udara

kemampuan prediksi yang hampir sama. Kedua prediktor tersebut memiliki selisih nilai RMSEP dan korelasi yang sangat kecil. Angin zonal menghasilkan nilai RMSEP yang lebih kecil dan korelasi yang lebih besar daripada prediktor lainnya.

Plot sebaran stasiun berdasarkan rata-rata korelasi dan RMSEP

Tabel 1 menunjukkan rataan korelasi dan RMSEP dari 15 stasiun.

menghasilkan nilai RMSEP yang paling kecil dan korelasi yang paling besar masing sebesar 77,74 dan 0,91. Selain itu, prediksi angin zonal memiliki simpangan baku RMSEP yang kecil yaitu sebesar 21,18 dan simpangan baku korelasi sebesar 0,04, art

memprediksi curah hujan yang relatif stabil di semua stasiun.

Berdasarkan keeratan hubungan prediktor dan stasiun, angin zonal luaran NCEP reanalisis merupakan prediktor terbaik untuk memprediksi curah hujan di stasiun cuaca Indramayu. Hal ini terlihat dari korelasi yang dihasilkan adalah sebesar 99,44, artinya angin zonal lebih baik daripada prediktor lain dalam menjelaskan pola curah hujan di stasiun Bangkir. Stasiun Krangkeng sangat baik diprediksi oleh semua prediktor, berdasarkan nilai RMSEP yang relatif lebih kecil dan korelasi yang besar pada semua prediktor.

Gambar 17 menunjukkan sebaran stasiun berdasarkan nilai RMSEP dan korelasi pada masing prediktor. Tekanan udara permukaan laut dan tekanan udara

kemampuan prediksi yang hampir sama. Kedua prediktor tersebut memiliki selisih nilai RMSEP dan korelasi yang sangat kecil. Angin zonal menghasilkan nilai RMSEP yang lebih kecil dan korelasi yang lebih besar daripada

rata korelasi dan RMSEP

Tabel 1 menunjukkan rataan korelasi dan RMSEP dari 15 stasiun. Angin z menghasilkan nilai RMSEP yang paling kecil dan korelasi yang paling besar masing sebesar 77,74 dan 0,91. Selain itu, prediksi angin zonal memiliki simpangan baku RMSEP yang kecil yaitu sebesar 21,18 dan simpangan baku korelasi sebesar 0,04, artinya angin zonal memprediksi curah hujan yang relatif stabil di Berdasarkan keeratan hubungan prediktor dan stasiun, angin zonal luaran NCEP reanalisis merupakan prediktor terbaik untuk memprediksi curah hujan di stasiun cuaca . Hal ini terlihat dari korelasi 8

yang dihasilkan adalah sebesar 99,44, artinya angin zonal lebih baik daripada prediktor lain dalam menjelaskan pola curah hujan di stasiun Bangkir. Stasiun Krangkeng sangat baik , berdasarkan nilai RMSEP yang relatif lebih kecil dan korelasi yang besar pada semua prediktor.

Gambar 17 menunjukkan sebaran stasiun berdasarkan nilai RMSEP dan korelasi pada masing prediktor. Tekanan udara permukaan laut dan tekanan udara memiliki kemampuan prediksi yang hampir sama. Kedua prediktor tersebut memiliki selisih nilai RMSEP dan korelasi yang sangat kecil. Angin zonal menghasilkan nilai RMSEP yang lebih kecil dan korelasi yang lebih besar daripada

rata korelasi dan RMSEP

Tabel 1 menunjukkan rataan korelasi dan Angin zonal menghasilkan nilai RMSEP yang paling kecil dan korelasi yang paling besar masing-masing sebesar 77,74 dan 0,91. Selain itu, prediksi angin zonal memiliki simpangan baku RMSEP yang kecil yaitu sebesar 21,18 dan simpangan inya angin zonal memprediksi curah hujan yang relatif stabil di Berdasarkan keeratan hubungan prediktor dan stasiun, angin zonal luaran NCEP-NCAR reanalisis merupakan prediktor terbaik untuk memprediksi curah hujan di stasiun cuaca . Hal ini terlihat dari korelasi

! "# $

# % !&

(18)

expansion coefficient yang relatif besar, korelasi antara grid-grid dengan B1 yang relatif besar, serta hasil validasi tahun 2008 yang lebih baik daripada prediktor lainnya.

Gambar 18 menunjukkan hasil konsistensi prediksi angin zonal dengan panjang data tahun pemodelan pada Lampiran 2. Panjang data 28 tahun menghasilkan korelasi yang

lebih besar daripada panjang data historis lainnya. Semakin panjang data yang digunakan, hasil prediksi akan lebih baik. Korelasi dan RMSEP antara curah hujan observasi dan prediksi yang menggunakan berbagai panjang data historis tertentu dapat di ihat pada lampiran 9.

Gambar 18. Plot korelasi dan RMSEP dengan berbagai panjang data historis (10, 15, 20, 25, dan 28 tahun).

Tabel 2 menunjukkan bahwa panjang data hanya mempengaruhi koefisien korelasi antara curah hujan prediksi dengan observasi, artinya semakin panjang data yang digunakan maka semakin besar informasi keragaman curah hujan yang terkandung dalam model.

Tabel 2. Rata-rata korelasi dan RMSEP dari 15 stasiun

Panjang data

historis (tahun) Korelasi RMSEP

10 0.74 92.31

15 0.72 96.78

20 0.73 90.95

25 0.78 83.15

28 0.83 92.02

Nilai mutlak spatial pattern U pertama (U1) menunjukkan besarnya kontribusi keragaman grid angin zonal terhadap A1.

Gambar 19 menunjukkan lokasi grid angin zonal yang memberikan kontribusi terbesar terhadap A1. Warna merah menunjukkan semakin besar keragaman yang diberikan lokasi (grid) tersebut terhadap model. Grid-grid tersebut berlokasi di samudra Hindia.

Gambar 19. Peta kontur spatial pattern U pertama (U1) angin zonal.

10 tahun 15 tahun 20 tahun 25 tahun 28 tahun

(19)

10

Gambar 20. Peta spatial pattern V pertama (V1) angin zonal.

Gambar 20 menunjukkan bahwa besarnya kontribusi keragaman curah hujan stasiun terhadap B1. Stasiun Bangkir dan Bondan memberikan kontribusi keragaman terbesar terhadap B1 (Lampiran 11).

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Angin zonal luaran NCEP-NCAR reanalisis dipilih sebagai prediktor terbaik untuk memprediksi rata-rata curah hujan bulanan stasiun di Indramayu. Jika data historis yang digunakan semakin panjang maka prediksi curah hujan semakin mengikuti pola curah hujan sebenarnya.

Saran

Hubungan antara prediktor dengan stasiun cuaca sangat dipengaruhi oleh resolusi grid GCM dan ukuran domain prediktor. Oleh karena itu, diperlukan kajian lanjutan mengenai pemilihan prediktor menggunakan data GCM dengan resolusi grid yang lebih tinggi dan ukuran domain prediktor yang berbeda untuk memilih prediktor yang terbaik dalam memprediksi ratcurah hujan lokal di Indramayu.

DAFTAR PUSTAKA

Benestad RE. 2004. Empirical-Statistical Downscaling in Climate Modeling. EOS 85(42): 417.

Benestad RE, Bauer IH & Chen D. 2008. Empirical-Statsistical Downscaling. Sweden: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

Bjornsson H & Venegas SA. 1997. A Manual for EOF and SVD Analyses of Climatic Data. Canada: McGill University.

Bretherton SC, Smith C & Wallace JM. 1992. An Intercomparison of Methods for Finding Coupled Pattern in Cimate Data. Journal of Climate and Applied Meteorology 5: 541– 560.

Cherry S. 1996. Singular Value Decomposition Analysis and Canonical Correlation Analysis. Journal of Climate and Applied Meteorology 9: 2003-2009. Kang H, An KH, Park CK & Solis ALS,

Stitthichivapak K. 2007. Multimodel Output SD Prediction of Precipitation in the Philippines and Thailand. Geophysical Research Letters 34: L15710.

Kattrhee R & Naik DN. 1999. Applied Multivariate Statistics with SAS® Software, Second Edition. NC: SAS Institute Inc-Cary.

Suaydhi, et al. 2009. Kompilasi dan Dokumentasi Model-Model Atmosfer. http:/www.bdg.lapan.go.id/moklim/exsu mary/. [21 Desember 2009]

Uvo BC, et al. 2001. Statistical Atmospheric Downscaling for Rainfall Estimation in Kyushu Island, Japan. Hydrology and Earth System Sciences 5(2): 259-271. Widmann M & Bretherton SC. 2002.

Statistical Precipitation Downscaling over the Northwestern United States Using Numerically Simulated Precipitation as a Prediktor. Journal of Climate and Applied Meteorology 16: 799-816.

Wigena AH. 2006. Pemodelan Statsitical Downscaling dengan Regresi Projection Pursuit untuk Peramalan Curah Hujan Bulanan: Kasus curah Hujan Bulanan di Indramayu [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wilby RL, et al. 2004. Guidelines Use of

Climate Scenarios Developed from Statistical Downscaling Methods. UK: Environment Agency of England and Wales.

Zorita E & H von Storch. 1999. The Analog Method as a Simple Statistical Downscaling Tehcnique. Journal of Climate and Applied Meteorology 12: 2474-2489. 108.2 108.4 -6.6 -6.5 -6.4 0.323 0.242 0.266 0.254 0.264 0.262 0.235 0.256 0.262 0.263 0.224 0.235 0.238 0.217 0.308

(20)
(21)

12

Lampiran 1. Lokasi stasiun cuaca Indramayu dan grid-grid GCM sebagai domain

Lintang Bujur Timur

98.75 101.25 103.75 106.25 108.75 111.25 113.75 116.25 1.25LU X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 1.25LS X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 3.75 LS X17 X18 X19 X20 X21 X22 X23 X24 6.25 LS X25 X26 X27 X28 X29 X30 X31 X32 8.75 LS X33 X34 X35 X36 X37 X38 X39 X40 11.25 LS X41 X42 X43 X44 X45 X46 X47 X48 13.75 LS X49 X50 X51 X52 X53 X54 X55 X56 16.25 LS X57 X58 X59 X60 X61 X62 X63 X64 No. Stasiun BT LS 1 Bangkir 108.291 6.385 2 Bulak 108.113 6.363 3 Cidempet 108.247 6.352 4 Cikedung 108.167 6.467 5 Losarang 108.149 6.405 6 Sukadana 108.315 6.546 7 Sumurwatu 108.100 6.517 8 Tugu 108.333 6.433 9 Ujunggaris 108.287 6.457 10 Lohbener 108.282 6.406 11 Sudimampir 108.366 6.402 12 Juntinyuat 108.438 6.433 13 Kedokan Bunder 108.424 6.509 14 Krangkeng 108.483 6.503 15 Bondan 108.299 6.606

(22)

Lampiran 2. Tahun pemodelan dan tahun prediksi untuk konsistensi model Tahun Pemodelan sesuai Panjang Data Historis (Tahun)

Tahun Prediksi

10 15 20 25 28

awal akhir awal akhir awal akhir awal akhir awal akhir

1979 1988 1989 1980 1989 1990 1981 1990 1991 1982 1991 1992 1983 1992 1993 1984 1993 1979 1993 1994 1985 1994 1980 1994 1995 1986 1995 1981 1995 1996 1987 1996 1982 1996 1997 1988 1997 1983 1997 1998 1989 1998 1984 1998 1979 1998 1999 1990 1999 1985 1999 1980 1999 2000 1991 2000 1986 2000 1981 2000 2001 1992 2001 1987 2001 1982 2001 2002 1993 2002 1988 2002 1983 2002 2003 1994 2003 1989 2003 1984 2003 1979 2003 2004 1995 2004 1990 2004 1985 2004 1980 2004 2005 1996 2005 1991 2005 1986 2005 1981 2005 2006 1997 2006 1992 2006 1987 2006 1982 2006 1979 2006 2007 1998 2007 1993 2007 1988 2007 1983 2007 1980 2007 2008

Lampiran 3. Keterangan prediktor

Prediktor Keterangan Prediktor gpcp Presipitasi luaran GPCP

cmap Presipitasi luaran CMAP pres Tekanan udara luaran NCEP prectab Precipitable water luaran NCEP

slp Tekanan udara permukaan laut luaran NCEP temp Suhu luaran NCEP

(23)

14

Lampiran 4. Tabel korelasi pasangan expansion coefficient pertama dan nilai SCF pertama pada setiap prediktor

GCM korelasi A1 dan B1 SCF ke-1

gpcp 0.71 99.60% cmap 0.78 99.74% pres 0.69 99.84% prectab 0.65 99.85% slp 0.70 99.76% temp 0.62 99.70% uwind 0.77 99.94%

Lampiran 5. Koefisien korelasi heterogen antara A1 dengan curah hujan stasiun cuaca

Stasiun Korelasi Heterogen

gpcp cmap pres prectab slp temp uwind

Bangkir 0.55 0.66 -0.57 -0.56 -0.58 0.50 0.63 Bulak 0.58 0.64 -0.55 -0.49 -0.55 0.47 0.66 Cidempet 0.56 0.62 -0.55 -0.51 -0.56 0.50 0.66 Cikedung 0.70 0.74 -0.62 -0.58 -0.63 0.55 0.69 Losarang 0.62 0.68 -0.58 -0.56 -0.59 0.52 0.68 Sukadana 0.66 0.72 -0.66 -0.61 -0.67 0.61 0.72 Sumurwatu 0.61 0.68 -0.60 -0.58 -0.61 0.54 0.65 Tugu 0.70 0.75 -0.67 -0.61 -0.68 0.59 0.72 Ujungaris 0.65 0.70 -0.61 -0.60 -0.62 0.57 0.71 Lohbener 0.62 0.69 -0.61 -0.56 -0.62 0.54 0.69 Sudimampir 0.56 0.62 -0.55 -0.54 -0.56 0.47 0.62 Juntinyuat 0.58 0.66 -0.60 -0.58 -0.61 0.55 0.64 Kedokan Bunder 0.60 0.66 -0.60 -0.60 -0.60 0.55 0.64 Krangkeng 0.58 0.65 -0.58 -0.54 -0.59 0.54 0.64 Bondan 0.68 0.74 -0.67 -0.63 -0.68 0.64 0.75

(24)

Lampiran 6. Koefisien korelasi heterogen antara B1 dengan grid prediktor

Grid Korelasi Heterogen

gpcp cmap pres prectab slp temp uwind X1 0.05 -0.07 -0.17 -0.11 -0.15 -0.39 -0.12 X2 -0.01 0.01 -0.22 -0.07 -0.17 -0.41 0.44 X3 0.09 0.15 -0.30 -0.04 -0.29 -0.41 0.07 X4 -0.05 0.24 -0.27 -0.04 -0.25 -0.62 -0.53 X5 0.16 0.46 -0.19 -0.11 -0.20 -0.69 -0.54 X6 0.34 0.48 -0.18 -0.18 -0.18 -0.67 -0.51 X7 0.39 0.38 -0.14 -0.23 -0.13 -0.59 0.15 X8 0.17 0.22 0.04 -0.24 -0.07 -0.34 0.29 X9 0.05 0.14 -0.11 -0.18 -0.13 -0.10 -0.07 X10 0.31 0.14 -0.17 -0.25 -0.17 -0.26 -0.42 X11 0.32 0.24 -0.22 -0.35 -0.22 -0.47 -0.30 X12 0.28 0.41 -0.13 -0.36 -0.09 -0.53 0.49 X13 0.21 0.29 -0.08 -0.37 -0.09 -0.56 0.58 X14 0.41 0.42 -0.09 -0.40 -0.11 -0.43 0.63 X15 0.48 0.54 0.10 -0.43 -0.05 -0.01 0.02 X16 0.46 0.39 0.22 -0.41 -0.03 0.22 -0.55 X17 0.12 0.28 0.02 -0.26 0.05 0.00 0.59 X18 0.35 0.32 0.03 -0.34 -0.03 -0.06 0.48 X19 0.53 0.51 0.01 -0.47 -0.07 -0.18 0.10 X20 0.56 0.62 -0.01 -0.52 0.00 -0.39 0.71 X21 0.32 0.72 0.05 -0.54 0.07 -0.45 0.80 X22 0.45 0.46 0.11 -0.55 0.11 -0.08 0.80 X23 0.60 0.62 0.19 -0.54 0.14 0.26 0.74 X24 0.60 0.52 0.24 -0.48 0.25 0.30 0.48 X25 0.36 0.44 0.13 -0.35 0.16 0.11 0.73 X26 0.41 0.56 0.13 -0.42 0.14 0.16 0.68 X27 0.57 0.66 0.14 -0.51 0.05 0.21 0.59 X28 0.70 0.77 0.13 -0.57 0.05 -0.13 0.59 X29 0.71 0.77 0.23 -0.62 0.16 -0.23 0.75 X30 0.70 0.76 0.33 -0.63 0.33 0.18 0.77 X31 0.70 0.77 0.35 -0.62 0.36 0.18 0.77 X32 0.66 0.76 0.39 -0.60 0.40 0.18 0.77 X33 0.49 0.50 0.36 -0.40 0.38 0.24 0.73 X34 0.56 0.57 0.36 -0.47 0.37 0.27 0.74 X35 0.58 0.68 0.38 -0.53 0.39 0.34 0.75 X36 0.65 0.73 0.41 -0.58 0.39 0.35 0.75 X37 0.62 0.63 0.45 -0.64 0.33 0.39 0.76 X38 0.69 0.76 0.50 -0.67 0.43 0.48 0.73 X39 0.70 0.78 0.52 -0.68 0.43 0.48 0.74 X40 0.67 0.71 0.55 -0.69 0.44 0.49 0.76 X41 0.46 0.36 0.54 -0.39 0.54 0.34 0.69 X42 0.50 0.42 0.55 -0.47 0.55 0.37 0.71 X43 0.53 0.46 0.56 -0.52 0.56 0.45 0.73 X44 0.54 0.60 0.58 -0.58 0.59 0.49 0.75 X45 0.56 0.67 0.60 -0.64 0.60 0.53 0.75 X46 0.56 0.68 0.62 -0.68 0.61 0.58 0.73 X47 0.58 0.68 0.64 -0.70 0.59 0.61 0.70 X48 0.58 0.65 0.65 -0.72 0.62 0.61 0.69 X49 0.31 0.16 0.59 -0.34 0.60 0.40 0.63 X50 0.36 0.23 0.61 -0.38 0.61 0.42 0.65 X51 0.38 0.27 0.64 -0.43 0.64 0.45 0.68 X52 0.42 0.33 0.66 -0.48 0.66 0.48 0.71 X53 0.43 0.40 0.68 -0.54 0.68 0.54 0.72 X54 0.42 0.45 0.70 -0.60 0.70 0.56 0.73 X55 0.48 0.49 0.71 -0.65 0.71 0.58 0.72 X56 0.54 0.54 0.71 -0.68 0.72 0.60 0.70 X57 0.16 0.01 0.63 -0.27 0.64 0.44 0.52 X58 0.22 0.09 0.65 -0.28 0.64 0.40 0.60 X59 0.26 0.11 0.67 -0.31 0.67 0.39 0.67 X60 0.27 0.18 0.69 -0.35 0.69 0.42 0.69 X61 0.29 0.28 0.71 -0.42 0.70 0.46 0.69 X62 0.30 0.30 0.73 -0.51 0.73 0.49 0.69 X63 0.37 0.36 0.74 -0.58 0.72 0.56 0.68 X64 0.49 0.50 0.74 -0.64 0.74 0.60 0.66

(25)

16

Lampiran 7. Plot rata-rata curah hujan bulanan observasi dan prediksi tahun 2008 Keterangan : Obs = data observasi curah hujan stasiun

' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' ' '

(26)

' ' ' ' ' ' ! ' ' ' " ' ' ' ' ' ' # $

(27)

18 ' ' ' % ' ' ' % ' ' '

(28)

Lampiran 8. Tabel koefisien korelasi dan RMSEP validasi tahun 2008

Stasiun

Prediktor

gpcp cmap pres prectab slp temp uwind

r RMSEP r RMSEP r RMSEP r RMSEP r RMSEP r RMSEP r RMSEP

Bangkir 0.68 150.85 0.70 142.41 0.84 121.07 0.70 152.10 0.85 119.37 0.72 151.20 0.90 99.44 Bulak 0.67 141.87 0.70 134.43 0.86 115.25 0.69 141.86 0.86 114.69 0.73 145.34 0.94 92.33 Cidempet 0.67 153.15 0.70 145.82 0.89 117.73 0.71 149.51 0.89 116.92 0.73 154.38 0.95 97.60 Cikedung 0.81 82.56 0.78 83.98 0.89 71.49 0.83 89.35 0.88 70.92 0.73 98.71 0.88 66.35 Losarang 0.71 120.93 0.75 112.51 0.89 93.07 0.74 121.20 0.89 92.54 0.69 129.86 0.96 69.38 Sukadana 0.70 89.81 0.74 85.31 0.87 72.55 0.74 94.85 0.87 71.19 0.76 85.01 0.92 55.03 Sumurwatu 0.84 114.56 0.81 109.79 0.92 90.40 0.87 109.47 0.92 90.58 0.78 128.30 0.90 90.56 Tugu 0.76 104.36 0.79 96.84 0.90 78.11 0.79 105.31 0.90 77.49 0.80 108.95 0.94 65.41 Ujunggaris 0.64 93.63 0.68 90.22 0.88 66.48 0.68 95.50 0.88 64.78 0.82 77.47 0.94 46.37 Lohbener 0.55 124.36 0.55 125.42 0.79 106.45 0.58 132.09 0.79 104.44 0.75 107.75 0.85 89.11 Sudimampir 0.69 136.04 0.73 128.33 0.83 113.32 0.71 133.19 0.84 112.65 0.73 141.09 0.91 98.52 Juntinyuat 0.72 138.41 0.76 127.71 0.88 106.84 0.73 132.78 0.88 106.26 0.77 139.58 0.94 95.67 Kedokan Bunder 0.80 91.40 0.87 77.27 0.86 74.31 0.83 85.23 0.86 74.47 0.65 110.18 0.92 61.54 Krangkeng 0.85 58.64 0.90 47.33 0.92 45.01 0.87 61.16 0.92 44.56 0.77 70.61 0.93 38.57 Bondan 0.57 129.75 0.59 128.79 0.76 112.49 0.61 134.87 0.76 110.93 0.74 109.77 0.80 100.26

(29)

20

Lampiran 9. Tabel rata-rata korelasi dan RMSEP validasi dengan berbagai panjang data historis (10, 15, 20, 25, dan 28 tahun)

Stasiun

Panjang data historis

10 tahun 15 tahun 20 tahun 25 tahun 28 tahun r RMSEP r RMSEP r RMSEP r RMSEP r RMSEP Bangkir 0.72 138.57 0.68 147.74 0.70 123.35 0.77 105.75 0.82 102.72 Bulak 0.72 93.44 0.69 99.13 0.73 92.31 0.78 95.22 0.86 113.07 Cidempet 0.72 96.12 0.71 99.35 0.74 102.64 0.78 97.35 0.83 90.49 Cikedung 0.73 82.45 0.71 86.37 0.71 85.22 0.82 68.30 0.86 82.84 Losarang 0.74 94.43 0.72 103.15 0.76 95.23 0.81 91.35 0.89 92.12 Sukadana 0.76 83.92 0.76 83.82 0.75 83.57 0.81 73.75 0.84 75.46 Sumurwatu 0.72 91.78 0.70 96.20 0.72 88.76 0.75 87.71 0.86 94.40 Tugu 0.75 79.30 0.73 84.51 0.73 86.66 0.83 73.48 0.87 94.94 Ujunggaris 0.78 81.77 0.76 90.20 0.79 82.90 0.85 78.64 0.88 105.67 Lohbener 0.71 89.58 0.66 98.87 0.68 98.42 0.70 89.76 0.79 97.64 Sudimampir 0.71 94.03 0.69 92.45 0.72 84.32 0.76 79.64 0.79 91.42 Juntinyuat 0.71 96.48 0.70 95.98 0.71 92.96 0.74 81.51 0.73 98.81 Kedokan Bunder 0.74 93.04 0.73 101.44 0.74 79.87 0.79 66.30 0.77 79.30 Krangkeng 0.72 81.31 0.72 81.89 0.72 79.41 0.77 65.25 0.83 41.36 Bondan 0.81 88.41 0.80 90.64 0.80 88.53 0.81 93.29 0.76 120.06

(30)

Lampiran 10. Urutan kontribusi keragaman grid terhadap A1

Grid U1 Grid U1 Grid U1 Grid U1

X55 0.214 X31 0.164 X37 0.121 X6 -0.036 X56 0.211 X47 0.161 X26 0.117 X18 0.036 X54 0.204 X62 0.16 X60 0.115 X12 0.031 X44 0.195 X48 0.159 X50 0.103 X14 0.028 X45 0.187 X32 0.154 X59 0.096 X10 -0.017 X30 0.187 X21 0.152 X49 0.094 X24 0.017 X34 0.185 X41 0.151 X58 0.07 X16 -0.017 X43 0.185 X39 0.148 X17 0.069 X2 0.015 X64 0.182 X52 0.146 X5 -0.065 X11 -0.01 X35 0.178 X25 0.143 X27 0.064 X8 0.007 X53 0.177 X22 0.142 X13 0.056 X1 -0.005 X63 0.176 X61 0.137 X57 0.052 X7 0.004 X33 0.173 X36 0.135 X23 0.052 X9 -0.004 X46 0.17 X38 0.131 X20 0.05 X19 0.003 X40 0.166 X29 0.129 X4 -0.046 X3 0.002 X42 0.165 X51 0.121 X28 0.042 X15 0

Lampiran 11. Urutan kontribusi keragaman stasiun terhadap B1

Stasiun V1 Bangkir 0.323 Bondan 0.308 Cidempet 0.266 Losarang 0.264 Lohbener 0.263 Ujunggaris 0.262 Sukadana 0.262 Tugu 0.256 Cikedung 0.254 Bulak 0.242 Kedokan Bunder 0.238 Sumurwatu 0.235 Juntinyuat 0.235 Sudimampir 0.224 Krangkeng 0.217

Gambar

Gambar 1.  Peta  lokasi  15  stasiun  cuaca  di  Indramayu
Gambar  18  menunjukkan  hasil  konsistensi  prediksi  angin  zonal  dengan  panjang  data  tahun  pemodelan  pada  Lampiran  2
Gambar 20.  Peta  spatial  pattern  V  pertama  (V1) angin zonal.

Referensi

Dokumen terkait

This research aimed to improve students’ learning achievement on the topic of nature preservation using model combination of group investigation and numbered heads

Pada tingkat penggunaan KBMF 60% (R4) menghasilkan pertambahan bobot hidup yang paling rendah dan berbeda nyata (P&lt;0,05) dengan perlakuan lainnya, tetapi nilai konsumsi

Dalam tahap ini pendidik mempersiapakan rancangan pelajaran dengan membuat Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Peserta didik (LKS) yang sesuai dengan model

Pada digitasi peta RBI Lembar 1508-241 Berbek dilakukan pengorganisasian layer dengan tujuan mempermudah proses digitasi karena peta lebih mudah didenifisikan karena masing-

Hasil penelitian ini bahwa: (1) model media pembelajaran interaktif pengetahuan rangkaian pengendali dasaryang tepat untuk mata pelajaran pengetahuan

Dalam permasalahan yang akan di angjat dari makalah ini adalah Pengaruh Power Otot Lengan , Koordinasi Mata Tangan, Kelentukan Togok dan Pecaya Diri Terhadap Ketepatan Melempat

Dalam rantai pasokan daging sapi terdapat enam pihak yang terlibat, pihak-pihak tersebut adalah peternak sapi, calo, pasar ternak, distributor daging, retail daging, dan

Berdasarkan pada uraian diatas, maka dalam penelitian ini akan mengkaji tentang Penerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Time Token dapat dijadikan upaya untuk