• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN DAMPAK KENAIKAN MUKA AIR LAUT TERHADAP WILAYAH PESISIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENILAIAN DAMPAK KENAIKAN MUKA AIR LAUT TERHADAP WILAYAH PESISIR"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS: KOTA SEMARANG)

UJI ASTRONO PRIBADI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Kenaikan muka air laut merupakan salah satu isu global yang sedang mengemuka. Penyebab kenaikan muka air laut adalah mencarinya es di kutub, kejadian iklim ekstrim dan turunnya permukaan tanah.Wilayah yang amat rentan terkena dampak dari peningkatan muka air laut ialah wilayah pesisir. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat potensial bagi perkembangan ekonomi. Terendamnya wilayah - wilayah yang merupakan sentra ekonomi akan mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Nilai kerugian ekonomi akan sangat berbeda untuk setiap penggunaan lahan. Besarnya nilai kerugian ekonomi akan bergantung pada tingkat produktivitas lahan yang tergenang. Masalah pengungsi, timbulnya wabah penyakit dan menurunnya kualitas air tanah merupakan masalah – masalah lain yang akan timbul selain kerugian ekonomi. Adaptasi akibat adanya perubahan pada lingkungan akan sangat membantu mengurangi kerugian.

Prediksi kenaikan muka air laut dilakukan dengan menggunakan citra satelit ENVISAT, Topex/

Posseidon, Jason1, dan Jason2. Untuk mengetahui wilayah genangan hasil prediksi kenaikan

muka air laut diolah dengan menggunkan perangkat lunak yang terbuat dari Microsoft Excel. Peta genangan merupakan peta yang terbuat dari DEM SRTM 30 x 30 m dengan format ASCII. Dari hasil pengolahan diketahui bahwa Kota Semarang mengalami kenaikan muka air laut setinggi 0,69 mm/tahun. Adanya kenaikan muka air laut mengakibatkan timbulnya daerah genangan. Luas wilayah genangan yang terjadi di Kota Semarang adalah sebesar 1,8 km pada tahun 2100.

Wilayah yang tergenang akan mengalami kerugian materil dan non materil. Kerugian ekonomi dihitung berdasarkan jenis penggunaan lahan. Dengan memisahkan lahan basah, lahan kering, dan lahan pemukiman. Dari hasil perhitungan ekonomi diperoleh bahwa kerugian yang diderita adalah sebesar 6,7 miliar rupiah, atau sama dengan 36 juta rupiah per hektar pada tahun 2100. Selain kerugian ekonomi diperoleh juga jumlah pengungsi yang terjadi yaitu sebanyak 145 jiwa. Untuk mengurangi kerugian ekonomi dapat dilakukan adaptasi terhadap kenaikan muka air laut. Adaptasi yang dapat dilakukan oleh penduduk ada dua macam yaitu daptasi fisik dan non fisik. Adaptasi fisk dapat dilakukan dengan mengubah bentuk rumah atau membangun seawall, sedangkan adaptasi non fisik dapat dilakukan dengan upaya relokasi.

Kata kunci : Peningkatan muka laut, Prediksi kenaikan muka laut, kerugian ekonomi, DEM, adaptasi

(3)

study: Semarang City). Supervised by Drs. Bambang Dwi Dasanto M.Si.

Sea level rise is one of important global issue now. It has been caused by ice melting in pole, climate extreme event, and land level decreasing. Coastal area have high vulnerability effect by sea level rise. Coastal area is important to support the economic development country. If the sea level rise was happened so many properties that losses. The problem like land use losses, people evacuation, diseases, sanitation, and economic losses will appear.

Sea level rise can be forecasted by satellite imagery like ENVISAT, Topex/Poseidon, Jason1 and Jason2. All of the data can be processed by one of adds on in Microsoft Excel software. Flooded area was created by DEM SRTM data with 30 x 30 meter resolution. The result show that sea level rise 0,69 mm/year happened in Semarang. The forecasting result at 2100 in Semarang show change to be flooded area 1,8 km.

The economic losses can be computed by describe land of use. The result show that economic losses is IDR 6,7 billion or IDR 36 million per hectare in 2100. 145 people will be evacuated if it’s happened. Physically adaptation like house type changing and create sea wall also non physically adaptation by creating relocation area will be needed to prepare if the forecast become real. Keywords: Increasing sea level, sea level rise predictions, economic loss, DEM, adaptation

(4)

(STUDI KASUS: KOTA SEMARANG)

UJI ASTRONO PRIBADI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains Pada

Mayor Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

NIM

: G2402307

Menyetujui,

Pembimbing

(Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si)

NIP : 19650919 199203 1 002

Mengetahui:

Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.)

NIP : 19600305 198703 2 002

(6)

Penilaian Dampak Kenaikan Muka Air Laut Terhadap Wilayah Pesisir (Studi Kasus : Kota Semarang). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai Februari 2011.

Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini terutama Allah SWT dan Kedua orang tua tercinta dan keluarga besar ku atas semua do’a dan dukungan moril serta materil. Tak lupa pula ucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, serta masukan yang bermanfaat selama penyelesaian skripsi ini. Bapak Idung Risdyanto,M.Sc, dan Bapak Akhmad Faqih Ph.D selaku dosen penguji. Selain itu juga kepada Willy Wulansari, serta seluruh teman-teman labklim yang telah banyak memberikan masukan dan membantu penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini. Rika Alfyanti, Tri Yuli Kurniawati, Luthfi Aziz, Isa Teguh Widodo, Daniel Chrisendo, Dipa Pradipta, Tia Erfiyanti, dan Anang Ahmadi yang selalu menemani penulis mengerjakan karya tulis. Terima kasih juga kepada Teman-teman GFM 43 untuk tahun-tahun yang menyenangkan, teman-teman Asrama C1 lorong 4, teman-teman TPB B11 dan B12, Pak Supono, Pak Udin, Pak Kaerun, Mas Nandang, Mas Azis, Bu Inda, Mba Icha, Mba Wanti, terima kasih atas semua bantuannya, seluruh kakak dan adik kelasku GFM, senang bisa kenal kalian semua, tim Simdas Gilang, Andi dan Sigit. Serta semua pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna memperbaiki segala kekurangan tersebut. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Bogor, Mei 2011

(7)

bersaudara. Penulis merupakan anak dari pasangan Hartono dan Karminah. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan dasar di SDN Polisi V Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTPN 1 Bogor pada tahun 2001. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Bogor, dan kemudian lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Institut Peratanian Bogor melalui jalur SPMB, dan pada tahun 2007 penulis diterima pada Mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selain itu, penulis juga mengambil Minor Ekonomi Sumberdaya dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama masa studi penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) periode 2007 sampai 2009. Pada tahun 2008 penulis dipercaya menjadi ketua acara Meteorologi Interaktif (METRIK), dan pada tahun yang sama penulis dipercaya sebagai Wakil Ketua HIMAGRETO. Selain di organisasi kemahasiswaan penulis juga aktif di Indonesian Climate Student Forum sebagai pengurus. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan PKM dengan proposal berjudul “Komersialisasi Ceker Crispy Untuk Mencegah Osteoporosis”, dan lolos hingga didanai. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Model Simulasi Pertanian pada tahun 2010. Pada tahun 2009 penulis mendapatkan kesempatan untuk magang di Balai Penelitian Klimatologi selama 30 hari kerja. Pada awal 2010, untuk memperoleh gelar Sarjana Sains penulis membuat tugas akhir dengan judul Penilaian Dampak Kenaikan Muka Air Laut Terhadap Wilayah Pesisir (Studi Kasus : Kota Semarang) dibawah bimbingan Bapak Drs. Bambang Dwi Dasanto, M.Si.

(8)

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuna ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kenaikan Muka Laut ... 1

2.2 DEM (Digital Elevation Model) ... 2

2.3 Pesisir ... 2

2.3.1 Panjang Garis Pantai ... 2

2.3.2 Kemiringan Pantai ... 2

2.4 GDP (Gross Domestic Product) ... 3

2.5 Nilai Ekonomi Lahan dan Biaya Lingkungan ... 3

2.5.1 Analisis Biaya Lingkungan ... 3

2.6 Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim ... 4

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 6

3.2 Alat dan Bahan ... 6

3.3 Metode Penelitian ... 6

3.3.1 Prediksi Kenaikan Muka Air Laut ... 6

3.3.2 Peta Wilayah Genangan ... 6

3.3.3 Peta Penggunaan Lahan ... 8

3.3.4 Nilai Ekonomi Dari Lahan ... 9

3.3.5 Jumlah Pengungsi ... 10

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kenaikan Muka Air Laut ... 10

4.2 Peta Wilayah Genangan ... 11

4.2.1 Luas Wilayah Genangan ... 12

4.2.2 Kemiringan Pantai ... 12

4.2.3 Panjang Garis Pantai ... 12

4.3 Peta Penggunaan Lahan ... 13

4.4 Estimasi Kerugian Ekonomi ... 14

4.4.1 Biaya Lingkungan... 14

4.5 Jumlah Pengungsi ... 15

4.5.1 Adaptasi dan Mitigasi ... 15

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 16

5.2 Saran ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 17

LAMPIRAN ... 19

(9)

1 Koreksi data citra ... 2

2 Kelas kemiringan lahan yang berlaku di Indonesia (Muhdi 2001) ... 3

3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan citra satelit ... 11

4 Kenaikan muka laut Kota Semarang per 50 tahun ... 11

5 Pola genangan ... 12

6 Luas daratan yang tergenang akibat kenaikan muka laut ... 12

7 Perubahan panjang garis pantai ... 13

8 Nilai ekonomi berdasarkan penggunaan lahan pada tahun 2050 ... 14

9 Nilai ekonomi berdasarkan penggunaan lahan pada tahun 2100 ... 14

10 Total kerugian ekonomi per tahun ... 15

(10)

1 Ilustrasi kenaikan muka air laut (Sumber : Sugiyama 2007) ... 3

2 Berbagai bentuk upaya adaptasi (Rumah panggung, Reklamasi, Relokasi,dan Tanggul) dalam menghadapi kenaikan muka air laut.(Sumber : Diposaptono 2007) ... 5

3 Citra satelit altimetri ... 6

4 Tampilan antarmuka perangkat lunak ... 6

5 Peta DEM ASCII dalam bentuk grid ... 7

6 Ilustrasi profil ketinggian dari pantai ke darat ... 7

7 Wilayah yang tergenang pada saat ketinggian muka laut 1 m ... 7

8 Ilustrasi wilayah yang terhalang topografi. ... 7

9 Wilayah yang tergenang saat ketinggian lebih dari 2 m. ... 7

10 Ilustrasi wilayah yang tergenang ... 7

11 Air masuk melalui sungai ... 7

12 Ilustrasi kemiringan pantai ... 8

13 Ilustrasi penentuan panjang garis pantai ... 8

14 Ilustrasi pertambahan panjang garis pantai akibat kenaikan muka air laut ... 8

15 Peta Kota Semarang ... 10

16 Rataan kenaikan muka air laut berdasarkan satelit altimetry tahun 1993 – 2011 ... 11

17 Wilayah genangan saat kenaikan muka laut 0,3; 0,6; dan1 m ... 13

18 Penggunaan lahan pada wilayah genangan saat kenaikan 0,349 m, 0,687 m dan 1,036 m 16 19 Persentase penggunaan lahan pada saat kenaikan 0,349 m; 0,687 m; dan 1,036 m ... 15

(11)

Halaman

1 Peta Wilayah Genangan ... 20

2 Alur Logika Penentuan Wilayah Genangan ... 21

3 Alur Logika Program Penentuan Panjang Garis Pantai dan Kemiringan Pantai ... 23

4 Panduan Penggunaan Perangkat Lunak ... 24

5 Data Citra Aviso Satelit Envisat ... 28

6 Data Citra Aviso Satelit Jason 1 ... 28

7 Data Citra Aviso Satelit Topex ... 28

(12)

I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

Kenaikan muka air laut merupakan salah satu isu global yang sedang mengemuka saat ini. Banyak penelitian yang dilakukan mengenai kenaikan muka air laut. Kenaikan muka air laut dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu mencairnya es di kutub, kejadian iklim ekstrim dan turunnya permukaan tanah akibat adanya kompaksi lahan. Pengukuran terhadap kenaikan muka air laut telah dilakukan sejak lama. Pada awalnya pengukuran dilakukan dengan memanfaatkan pasang surut air laut. Saat ini pengukuran dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya adalah dengan menggunakan satelit altimetri. Perubahan tinggi muka air laut dicatat secara berkala dan kemudian disajikan dalam bentuk citra.

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat potensial untuk perkembngan ekonomi, namun sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut. Banyak industri besar yang didirikan di wilayah pesisir karena kemudahan akses transportasi. Industri-industri inlah yang kemudian mendorong tumbuhnya perekonomian di wilayah tersebut.

Nilai kerugian ekonomi akan sangat berbeda untuk setiap penggunaan lahan. Besarnya nilai kerugian ekonomi akan bergantung pada tingkat produktivitas lahan yang tergenang. Hilangnya lahan akibat kenaikan muka air laut, tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi tetapi juga hilangnya keanekaragaman hayati di wilayah tersebut.

Masalah pengungsi, timbulnya wabah penyakit dan menurunnya kualitas air tanah merupakan masalah-masalah lain yang akan timbul selain kerugian ekonomi. Penanganan pasca bencana yang tepat dan cepat sangat diperlukan guna mengurangi korban jiwa.

Adaptasi dan mitigasi akibat adanya perubahan pada lingkungan akan sangat membantu mengurangi kerugian. Adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan dengan berbagai cara,baik secara fisik atau non fisik. Secara fisik adaptasi dapat dilakukan dengan cara merubah bentuk bangunan atau dengan mebangun bendungan. Adaptasi non-fisik dapat dilakukan dengan relokasi dan regulasi pada wilayah pesisir.

1. 2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Memprediksi kenaikan muka air laut

2. Memetakan wilayah yang terkena dampak dari kenaikan muka air laut

3. Menghitung kerugian ekonomi dan jumlah pengungsi akibat adanya kenaikan muka air laut.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Kenaikan Muka Laut

Peningkatan aktivitas manusia mengakibatkan terjadinya kenaikan kualitas dan kuantitas gas rumah kaca di atmosfer. Peningkatan ini memicu terjadinya peningkatan suhu global. Rata-rata suhu permukaan global telah meningkat sebesar 0,6 ± 0,2°C sejak akhir abad ke-19. Akibat terjadinya pemanasan global yang disebabkan oleh manusia, muka air laut mengalami peningkatan secara perlahan. Peningkatan muka laut global akan mencapai ketinggian 9-88 cm pada tahun 2100 dibandingkan tahun 1990 (Church et al. 2001).

Global warming menyebabkan kenaikan

tinggi muka air laut, baik akibat ekspansi volume air laut karena naiknya suhu air laut, maupun mencairnya es glasier dan es di kutub utara dan selatan. Meskipun dampak kenaikan tinggi muka air laut hanya menjadi wacana di kalangan ilmuwan, tetapi setiap penduduk terutama yang tinggal di daerah pantai harus tanggap akan risiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di lingkungan pantai akibat naiknya tinggi muka air laut. Sementara itu, berbagai hasil studi perubahan iklim menunjukkan bahwa potensi kenaikan tinggi muka air laut akan bervariasi dari 60cm sampai 100cm, sampai dengan tahun 2100 (BAPPENAS 2010).

Kenaikan tinggi muka laut (TML) secara gradual akibat pemanasan global merupakan salah satu aspek yang paling kompleks dari efek pemanasan global, dengan akselerasi tingkat kenaikannya seiring dengan semakin intensifnya progres pemanasan global. Kenaikan TML mempertinggi risiko terjadinya erosi, perubahan garis pantai dan mereduksi daerah wetland di sepanjang pantai. Sebagai tambahan, tingginya gelombang laut pada fase El Nino dan dan La

Nina akan mempertinggi intensitas erosi dan

abrasi, dengan tingkat kerusakan yang tinggi. Pada akhirnya, dengan intensitas El Nino dan La

(13)

tingkat perubahan garis pantai yang semakin tinggi pula, meskipun tingkat kenaikan TML hanya 1 cm/tahun (KLH 2007).

Wilayah yang paling merasakan dampak dari kenaikan muka air laut adalah wilayah pesisir. Di wilayah ini setidaknya 60% manusia melakukan aktivitasnya. Manusia melakukan aktivitas diwilayah pesisir dikarenakan berbagai hal, diantaranya yaitu kesuburan daerah delta, ketersedian bahan makanan, dan akses transportasi (Vellingga dan Leatherman 1989).

2. 2 DEM (Digital Elevation Model)

Permukaan bumi merupakan suatu bidang lengkung yang tidak beraturan, sehingga hubungan geometris antara titik satu dengan titik lainnya di permukaan tersebut sulit untuk ditentukan. Hubungan geometris tersebut secara praktis dapat dinyatakan dalam bentuk peta topografi, merupakan informasi penting bagi berbagai keperluan baik untuk pembangunan fisik maupun penelitian ilmiah (Sagala 1994).

DEM SRTM (Shuttle Radar Topographic

Mission) adalah representasi digital dari

topografi permukaan atau terrain. (Ustun 2006). DEM merupakan suatu sistem yang menampilkan kondisi geografi dalam bentuk tiga dimensi. DEM akan diterjemahkan dalam bentuk data spasial beserta data-data tekstual dan data grafis (Qomariyah 2007).

Susunan nilai-nilai digital mewakili distribusi spasial dari karakteristik medan. Distribusi spasial itu sendiri dinyatakan dalam sistem koordinat horisontal X dan Y, sedangkan ketinggian medan dinyatakan dalam Z. Gambaran model relief rupabumi tiga dimensi yang menyerupai keadaan sebenarnya di dunia nyata dapat divisualisaikan dengan bantuan teknologi komputer grafis atau teknologi virtual

reality. Sumber data DEM dapat diperoleh dari

Foto udara stereo, Citra satelit stereo, data pengukuran lapangan GPS dan Total Station,

Echosounder, Peta topografi, maupun dari citra

RADAR.

2. 3 Data Citra AVISO

Data citra AVISO merupakan gabungan dari citra Jason-1, Jason-2, Topex dan Envisat. Data-data tersebut telah mengalami koreksi sebelumnya. Koreksi yang dilakukan adalah koreksi kombinsi atmosfer dan koreksi spesifik untuk masing-masing satelit.

Tabel 1 Koreksi data citra Satelit Combined atmospheric correction Specific corrections Jason-2 High Resolution Mog2D Model [Carrère and Lyard, 2003] + inverse barometer computed from ECMWF model (rectangular grids) Jason-2 / T/P global MSL bias Jason-1 Jason-1 / T/P global MSL bias Topex/ Poseid on Doris/Altimeter ionospheric bias, TOPEX-A/TOPEX-B bias and TOPEX/Poseido n bias Envisat -USO correction from auxiliary files + bias for side-B

-SLA corrected from jump cy85-86 transition Citra Jason-1, Jason-2, dan Topex/ Poseidon memiliki time series sepuluh harian (dasarian) dan mempunyai ukuran grid 2ox2o. Citra ENVISAT memiliki time series 35 harian. Koreksi dilakukan dengan pembobotan pada setiap grid, bergantung pada zona wilayah tersebut (Aviso 2011).

2. 4 Pesisir

Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto 1976).

2. 4.1 Panjang Garis Pantai

Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di pesisir laut. Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan perairan laut. Garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi laut pasang tertinggi. Garis laut dapat berubah karena adanya abrasi, yang

(14)

menyebabkan berkurangnya areal daratan. Panjang garis pantai diukur mengelilingi seluruh pantai yang merupakan daerah territorial suatu negara (Triatmodjo 1999).

2. 4.2 Kemiringan Pantai

Kemiringan lahan pantai akan mempengaruhi besarnya kerusakan akibat adanya abrasi oleh air laut. Selain itu, kemiringan lahan akan mempengaruhi pula jumlah sedimen yang terbawa ke wilayah daratan akibat kenaikan muka air laut. Penggunaan lahan pada suatu wilayah juga akan sangat bergantung pada kemiringan lahan. Tabel 2 Kelas kemiringan lahan yang berlaku di

Indonesia (Muhdi 2001)

Kelas Kemiringan Keterangan 1 0 – 8 Datar 2 8 – 15 Landai 3 15 – 25 Sedang 4 25 – 40 Curam 5 >40 Sangat Curam

2. 5 Gambaran Umum Kota Semarang

Kota Semarang merupakan salah satu kota perdagangan di Indonesia. Wilayah kota ini yang strategis menjadikannya sebagai pintu masuk menuju wilayah pulau jawa bagian tengah. Kota Semarang memiliki posisi astronomi di antara garis 6o50’-7o10’ Lintang Selatan dan garis 109o35’-110o50’ Bujur Timur. Kota Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah dan merupakan satu-satunya kota metropolitan yang ada di Jawa Tengah. Kota Semarang pada tahun 2009 berpenduduk 1.506. 924 jiwa dengan laju pertambahan penduduk 1,4 % per tahun. Penggunaan lahan di Kota Semarang mengalami perubahan setiap tahunnya. Perubahan ini merupakan perubahan dari lahan pertanian ke lahan pertanian, hal ini merupakan gejala yang wajar dari perkembangan kota

Penduduk Kota Semarang sebagian besar bekerja sebagai buruh industri, hanya sebagian kecil saja yang merupakan buruh tani dan nelayan. Gross Domestic Product (GDP) masyarakat Semarang mencapai 23 juta rupiah per kapita per tahun. Wilayah Semarang merupakan suatu kota yang mempunyai ciri khas yaitu terdiri dari daerah perbukitan, dataran rendah dan daerah pantai. Dengan demikian topografi Kota Semarang menunjukkan adanya berbagai kemiringan tanah berkisar antara 0 %

sampai 40% (curam) dan ketinggian antara 0,75-348 mdpl. Dengan karakteristik wilayah tersebut berpotensi terhadap terjadinya bencana alam dengan dominasi bencana banjir, rob dan tanah longsor (BAPPEDA 2000).

2.6 Nilai Ekonomi Lahan dan Biaya Lingkungan

Meningkatnya permukaan air laut membawa berbagai dampak dalam kehidupan manusia, salah satu dampak yang paling terasa adalah dampak ekonomi. Dampak ekonomi dari meningkatnya permukaan air laut pertama kali dilakukan oleh Scheneider dan Chen (1980), semenjak itu banyak penelitian mengenai dampak kenaikan muka air laut dilakukan. Beberapa isu yang diangkat antara lain meningkatnya resiko kerugian akibat genangan,

wetland dan dryland loss, kerusakan pada

produksi beras (karena menigkatnya genangan, salinitas, dan drainase yang buruk), dan meningkatnya biaya untuk perlindungan (Sugiyama 2007).

Gambar 1 Ilustrasi kenaikan muka air laut. (Sumber: Sugiyama 2007)

Estimasi Direct–Cost (DC) sering digunakan ntuk menghitung kerugian ekonomi akibat kenaikan muka air laut. Ada tiga batasan dalam mengestimasi kerugian ekonomi: (i) nilai lingkungan yang rusak tidak diketahui secara pasti; (ii) kerusakan lingkungan tidak dihitung sebagai biaya konsumen; (iii) perdagangan internasional diabaikan (Darwin and Toll 2001).

2. 6.1 Analisis Biaya Lingkungan

Sugiyama (2007) menyebutkan bahwa biaya lingkungan akan bernilai nol ketika biaya proteksi pantai sama dengan biaya kehilangan lahan. Minimalisasi biaya lingkungan diperoleh dari persamaan:

𝑚𝑖𝑛𝐿,ℎ𝑍 = 𝑝 𝑝𝑣 𝐿, ℎ + 𝑑 𝑝𝑣 𝐿, 𝑆 + 𝑤 𝑝𝑣

(15)

dimana:

𝑝 𝑝𝑣 𝐿, ℎ = Biaya proteksi pantai

𝑑 𝑝𝑣 𝐿, 𝑆 = Biaya kehilangan lahan kering

𝑤 𝑝𝑣 = Biaya Kehilangan lahan basah 𝑔 𝑝𝑣 (𝐿, 𝑆) = Growth land cost

Dimana biaya ekonomi yang keluar berasal dari hilanganya lahan kering yang merupakan wilayah yang biasa digunakan untuk kegiatan ekonomi, kemudian dari kehilangan wilayah lahan basah dimana wilayah ini merupakan wilayah dengan keanekaragaman hayati dan wilayah konservasi. Biaya lainnya yaitu biaya proteksi, yaitu biaya perlindungan pantai dari abrasi dengan cara membangun pemecah ombak dan bendungan. Selain biaya-biaya tersebut terdapat penambahan lahan akibat adanya uplift, yaitu wilayah yang terbentuk karena adanya tekanan dari bawah.

a. Biaya Proteksi Pantai

Biaya Proteksi Pantai merupakan biaya yang digunakan untuk melindungi pantai dari kenaikan muka air laut, abrasi, Tsunami, dan berbagai gangguan lainnya. Perumusan biaya proteksi pantai menurut Sugiyama (2007) adalah:

𝑝1= 𝜋.

𝑑𝑆

𝑑𝑡 𝑡 . Λ. Θ(𝑆 𝑡 ) dimana:

𝑝1 : Biaya proteksi pantai 𝑑𝑆

𝑑𝑡 𝑡 : kenaikan muka laut terhadap waktu

Λ : Panjang pantai 𝜋 : SDKE cost

Θ(𝑆 𝑡 : Heaviside step function

Salah satu contoh penggunaan biaya ini adalah biaya pembangunan tembok laut atau pemecah ombak.

b. Dryland Loss Cost

Biaya Kehilangan Lahan kering merupakan biaya yang harus ditanggung oleh pemilik lahan apabila kehilangan lahan yang digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan merupakan kapital atau modal. Persamaan yang digunakan adalah:

𝑑0 𝑡 = 𝛿 𝑡 .

𝑆(𝑡)

𝑡𝑎𝑛𝜓 . Λ. Θ(𝑆 𝑡 )

dimana:

𝑑0 𝑡 : Biaya kehilangan lahan kering

𝛿 𝑡 : Economic output 𝑆(𝑡) : Kenaikan muka laut 𝜓 : Kemiringan lahan Λ : Panjang pantai Θ(𝑆 𝑡 : Heaviside step function

Dalam perhitungan biaya ini digunakan output ekonomi 𝛿 𝑡 , nilai output ekonomi diperoleh dari pengganda output ekonomi. Semakin besar nilai pengganda output maka semakin besar keuntungan yang diperoleh. Besarnya nilai output ekonomi diperoleh dari persamaan:

𝛿 𝑡 = 𝑒𝑐𝑜𝑛𝑜𝑚𝑖𝑐 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑚𝑢𝑙𝑡𝑖𝑝𝑙𝑖𝑒𝑟 ∗ 𝐺𝐷𝑃 Nilai pengganda output akan berbeda untuk setiap jenis komoditas. Nilainya dihitung berdasarkan nilai produktivitas per segment

area.

c. Wetland Loss Cost

Biaya Kehilangan Lahan Basah merupakan biaya atau kerugian yang harus ditanggung apabila kehilangan lahan yang digunakan untuk kegiatan non-profit. Lahan-lahan ini biasanya digunakan untuk kegiatan pelestarian lingkungan. Hutan bakau merupakan salah satu lahan yang dihtiung kerugiannya, karena banyak terdapat ekosistem hewan dan tumbuhan air. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:

𝑤 𝑡 = 𝛾. 𝑆(𝑡)

tan 𝜓. Ω. Θ(𝑆 𝑡 ) dimana:

𝑤 𝑡 : Biaya kehilangan lahan basah 𝛾 : Persamaan Toll

𝑆(𝑡) : Kenaikan muka air laut 𝜓 : Kemiringan pantai Ω : Luas total lahan basah Θ(𝑆 𝑡 : Heaviside step function

Persamaan Toll (2001) digunakan dalam persamaan ini. Dalam persamaan ini, nilai dari setiap km2 lahan yang tergenang adalah 20 juta US$, sehingga untuk setiap hektarnya bernilai 20 ribu US$. Nilai tersebut sama untuk seluruh dunia, sehingga dengan menggunakan perbandingan GDP nasional dan regional maka

(16)

akan diperosleh besarnya nilai kehilangan lahan per hektar dengan menggunakan persamaan:

𝛾 = 𝐺𝐷𝑃𝑟 20. 000 1 + (𝐺𝐷𝑃𝑟 20. 000)

𝐺𝐷𝑃𝑛 20. 000 1 + (𝐺𝐷𝑃𝑛 20. 000) dimana:

GDP = Gross Domestic Product

GDPn = Gross Domestic Product National

d. Growth Land Cost

Biaya ini bukan merupakan kerugian, karena biaya ini menghasilkan lahan baru. Apabila terjadi subsidensi maka akan terjadi uplift di sisi yang lain.

𝑔0 𝑡 = 𝛾. min 𝛼𝑡,

𝑆 𝑡

tan 𝜓 . Ω. Θ(𝑆 𝑡 ) Dimana:

𝑔0 𝑡 : Growth land cost

𝛼 : Laju pertumbuhan (50 cm per tahun) 𝛾 : Persamaan Toll

𝜓 : Kemiringan pantai 𝑆(𝑡) : Kenaikan muka air laut Ω : Luas total lahan basah Θ(𝑆 𝑡 : Heaviside step function

2. 7 Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya variabilitas iklim dan variabilitas ekstrem) dengan cara mengurangi kerusakan yang ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala akibatnya. Menurut Murdiyarso (2001), adaptasi terhadap perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan maupun terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim. Dengan demikian adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk meringankan usaha mitigasi dampak.

Mitigasi adalah usaha menekan penyebab perubahan iklim, seperti gas rumah kaca dan lainnya agar resiko terjadinya perubahan iklim dapat diminimalisir atau dicegah. Upaya mitigasi dalam bidang energi di Indonesia, misalnya dapat dilakukan dengan cara melakukan efisiensi dan konservasi energi serta mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan. Contoh upaya mitigasi yang lain dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim terhadap

sumber daya air antara lain; Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dan usaha rehabilitasi waduk dan embung.

Upaya adaptasi terhadap kenaikan muka air laut menurut Subandono (2007) dapat dilakukan dengan dua hal yaitu upaya fisik dan non fisik. Upaya fisik dapat berupa perlindungan alami dan buatan. Sementara upaya non fisik dapat dilakukan dengan membuat peta rawan bencana, informasi public dan penyuluhan, serta pelatihan serta simulasi mitigasi bencana.

Upaya fisik merupakan upaya perlindungan dengan membangun infrastruktur untuk melindungi dari kenaikan muka laut, baik itu banjir rob maupun pasang surut air laut. Upaya fisik dengan metoda perlindungan alami dapat dilakukan dengan membuat mangrove, terumbu karang, atau hutan. Sedangkan upaya fisik dengan metodal alami dapat dilakukan dengan membangun pemecah arus, tembok laut, tanggul, konstruksi perlindungan dan rumah panggung.

Gambar 2 Berbagai bentuk upaya adaptasi Rumah panggung, Reklamasi, Relokasi, dan Tanggul) dalam menghadapi kenaikan muka air laut. (Sumber: Diposaptono 2007)

Upaya non fisik yang dilakukan pemerintah berupa tiga hal. Pertama yaitu pembuatan peta rawan bencana, peta ini digunkanan untuk mengetahui wilayah-wilayah yang rentan terhadap bencana kenaikan muka air laut. Peta ini juga dijadikan sebagai acuan untuk mementukan tempat relokasi dan juga penentuan tata ruang dan tata guna lahan pesisir. Selain itu, peta juga digunakan sebagai zonasi

(17)

penetapan sempadan pantai dan sungai. Kedua penetapan sempa, pantai dan sungai. Kedua pemerintah harus melakukan penyuluhan dan penyampaian informasi ke publik. Ketiga pemerintah harus mengadakan pelatihan dan simulasi mitigasi bencana.

Kenaikan muka air laut tidak hanya merusak bangunan fisik tetapi juga lahan pertanian akibat adanya intrusi air laut. Intrusi air laut mengakibatkan menigkatnya kadar garam dalam tanah. Perlu adanya upaya rehabilitasi untuk mengurangi kadar salinitas lahan. Selain itu, juga untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

III.METODOLOGI 3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama 9 bulan sejak bulan April 2010 hingga Desember 2010, di laboratorium Klimatologi terhadap wilayah Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

3. 2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat PC dengan perangkat lunak Microsoft Excel 2007,  Visual Basic 6. 0,  ArcView 3. 2,  Global Mapper 8. 0,  Wordpad,  ferret, dan  Microsoft Word 2007.

Dalam memprediksi kenaikan muka air laut digunakan citra satelit altimetri. Citra tersebut merupakan gabungan dari 4 citra satelit yaitu Topex / Poseidon, Envisat, Jason 1, dan Jason 2. Citra tersebut merupakan rataan kenaikan muka air laut selama 2002 – 2010.

Data yang digunakan merupakan data sekunder yaitu Peta DEM SRTM 30x30m yang mempunyai format ASCII. Peta ini dipilih karena berbentuk matriks dua dimensi. Hal ini akan memudahkan dalam pembuatan logika model.

Kerugian ekonomi dihitung berdasarkan luas lahan yang tergenang. Untuk mengestimasi kerugian ekonomi digunakan data GDP per kapita. Sedangkan, dalam penentuan jumlah pengungsi digunakan data jumlah penduduk rata-rata.

3. 3 Metode Penelitian

Metode yang dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan diagram alir berikut

(18)

3. 3.1 Prediksi Kenaikan Muka Air Laut

Prediksi kenaikan muka air laut diperoleh dari citra satelit altimetri. Citra satelit diperoleh dengan mengunduh dari Aviso Oceanobs. Ekstraksi citra dilakukan dengan menggunakan ferret. Citra diubah ke dalam bentuk grid. Setelah ekstraksi citra dilakukan kemudian croping citra. Croping dilakukan terhadap wilayah Pulau Jawa. Koordinat pulau jawa yaitu 105E-115E untuk region x dan 4S-8S untuk region y. Setelah Ekstraksi dan Croping dilakukan kemudian citra disimpan dalam format txt. Tahapan yang sama dilakukan untuk setiap citra.

Dari keempat data citra tersebut akan diperoleh data rata- rata kenaikan muka air laut dari tahun 2002-2010. Semua data yang diperoleh dari keempat citra kemudian diambil rataannya. Rataan ini merupakan laju kenaikan muka air laut untuk wilayah Semarang.

3. 3.2 Peta Wilayah Genangan

Pembuatan peta wilayah genangan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang terbuat dari VBA for Excel. Perangkat lunak ini secara otomatis akan menghitung luas wilayah yang tergenang, luas wilayah keseluruhan, panjang garis pantai, dan kemiringan pantai.

Penggunaan Visual Basic for Application

Excel atau biasa disebut dengan VBA macro

dipilih karena peta DEM SRTM dapat dibuka dengan menggunakan excel. Selain itu, juga untuk memudahkan visualisasi wilayah genangan.

Bahasa pemrograman yang digunakan dalam

VBA macro merupakan bahasa visual basic

dengan beberapa modifikasi yang dapat memudahkan penggunanya. Beberapa kemudahan lainnya antara lain bentuk data yang berupa matrik memudahkan untuk menggambil informasi yang terdapat dalam setiap sel data.

Gambar 4 Tampilan antar muka perangkat lunak

Pemrograman perangkat lunak dibagi menjadi empat tahap, yaitu penentuan luas wilayah genangan, penentuan kemiringan lahan, serta penentuan panjang garis pantai sebelum dan sesudah terjadi kenaikan muka air laut.

a. Luas Wilayah Genangan

Dalam penentuan luas wilayah genangan input yang dibutuhkan adalah peta DEM dan prediksi tinggi kenaikan muka air laut. Peta DEM oleh perangkat lunak akan dibaca sebagai sebuah matrik. Wilayah yang mempunyai ketinggian -9999 akan dianggap sebagai laut dan data yang memiliki ketinggian lebih dari nilai kenaikan muka air laut maka akan dianggap sebagai daratan.

Gambar 5 Peta DEM ASCIIdalam bentuk grid

Gambar 6 Ilustrasi profil ketinggian dari pantai ke darat

-9999 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999

1 0 -2 1 1 1 1

7 2 2 2 4 2 11

(19)

Setelah input data kenaikan muka air laut dilakukan, maka air akan bergerak dari laut sesuai kontur topografi yang ada di peta, dan wilayah yang tergenang air laut akan diberi nilai -9998. Laut akan menjadi warna biru muda, daratan hijau, dan wilayah yang tergenang akan diberi warna biru. Karena air yang menggenangi wilayah daratan hanya air yang berasal dari laut, maka air yang berasal dari darat seperti danau dan sungai dianggap sebagai daratan.

Gambar 7 Wilayah yang tergenang pada saat ketinggian muka laut 1 m

Gambar 8 Ilustrasi wilayah yang terhalang topografi

Air laut akan menggenangi wilayah-wilayah yang memiliki ketinggian kurang dari KML (Kenaikan Muka Laut) dan tidak terhalang oleh topografi disekitarnya. Bila tidak ada jalur masuk air, maka air akan terhenti di titik tersebut dan akan mencari wilayah lain yang lebih rendah dari KML dan tidak terhalangi oleh topografi.

Gambar 9 Wilayah yang tergenang saat ketinggian lebih dari 2 m

Gambar 10 Ilustrasi wilayah yang tergenang

Dalam proses kenaikan muka air laut, sungai merupakan salah satu jalur yang dilalui oleh air untuk menuju ke daratan. Dengan asumsi tidak ada air yang berasal dari darat, maka air akan masuk melalui anak sungai dan menggenangi daerah di sekitarnya yang memiliki ketinggian kurang dari KML.

Gambar 11 Air masuk melalui sungai Setelah air tidak dapat mengalir, maka akan melakukan evaluasi ulang terhadap semua data. Semua daerah yang tergenang akan dihitung luasannya. Luasan diperoleh dengan memberikan nilai 1 pada setiap cells yang tergenang, kemudian jumlahnya dimasukkan kedalam persamaan (1), dimana setiap cells memiliki luas yang sama tergantung dari ukuran peta. Dalam hal ini terdapat beberapa ukuran peta yaitu 90x90 dan 30x30, atau dapat pula ditentukan dari informasi cells size yang terdapat pada header peta.

Luas = 𝑐𝑒𝑙𝑙𝑠 ∗ 𝑐𝑒𝑙𝑙𝑠 𝑠𝑖𝑧𝑒…. . . …. ……. (1) Dari hasil persamaan tersebut maka kita akan mengetahui luas wilayah yang tergenang. Luas wilayah ini kemudian akan digunakan untuk menentukan besarnya kerugian ekonomi yang terjadi akibat kenaikan muka air laut.

-9999 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 1 0 -2 1 1 1 1 7 2 2 2 4 2 11 4 0 0 -3 -4 0 12 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 1 0 -2 1 1 1 1 7 2 2 2 4 2 11 4 0 0 -3 -4 0 12 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 -9999 1 0 -2 1 1 1 1 7 0 2 2 4 2 11 4 0 0 -3 -4 0 12 3 1 -1 -2 4 -1 4 3 1 4 4 -1 -2 4

(20)

b. Kemiringan Pantai

Gambar 12 Ilustrasi kemiringan pantai. Sudut kemiringan pantai diperoleh dengan menggunakan Persamaan 2,

𝜃 = 𝑎𝑟𝑐𝑡𝑎𝑛𝑦

𝑥………. . … (2)

Dimana y merupakan ketinggian pada titik tertentu dan x merupakan jarak dari garis pantai sampai ke titik tersebut.

Dalam penetuan kemiringan pantai, diasumsikan bahwa panjang x adalah panjang

cells size dalam header peta dan tinggi y adalah

nilai ketinggian dari setiap wilayah yang bersinggungan dengan laut. Kemudian semua nilai tersebut diambil rataannya berdasarkan panjang garis pantai.

c. Panjang Garis Pantai

Garis pantai menurut Triatmodjo 1999, adalah garis batas pertemuan antara daratan dan lautan yang posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut dan erosi atau akreasi pantai yang terjadi. Dari definisi tersebut maka dapat dibuat sebuah asumsi bahwa setiap sisi lautan yang beringgungan dengan daratan adalah garis pantai. Sehingga panjang garis pantai dapat dihitung dengan mengidentifikasi nilai cells yang terdapat disekitar air laut ( -9999). Bila di salah satu sisi

cells tersebut terdapat nilai yang lebih besar dari

-9999 maka akan di identifikasi sebagai daratan, kemudian semuanya akan dijumlahkandan panjang garis akan bertambah sesuai dengan jumlah sisi yang bertemu dengan nilai cells yang lebih besar dari -9999 dan -9998.

Gambar 13 Ilustrasi penentuan panjang garis pantai.

Setelah diketahui jumlah sisi yang bertemu dengan daratan, maka panjang garis pantai dapat diketahui melalui persamaan

𝑔𝑎𝑟𝑖𝑠 𝑝𝑎𝑛𝑡𝑎𝑖 = 𝑠𝑖𝑠𝑖 ∗ 𝑝𝑎𝑛𝑗𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑖𝑠𝑖……(3) Panjang garis pantai akan dihitung dua kali yaitu sebelum dan setelah kenaikan muka air laut. Perubahan panjang pantai akan sangat berpengaruh terhadap biaya proteksi. Pergeseran wilayah pantai akan mengurangi luas daratan dan dapat pula menambah panjang garis pantai. Pertambahan panjang garis pantai dapat diakibatkan karena wilayah pantai yang tergenang berkelok-kelok.

Gambar 14 Ilustrasi pertambahan panjang garis pantai akibat kenaikan muka air laut

3. 3.3 Peta Penggunaan Lahan

Peta pengguaan lahan dibuat dengan menggunakan ArcView 3. 3. Peta baru dibuat berdasarkan peta penggunaan lahan yang telah ada. Peta ini merupakan polygon yang dibuat mengikuti pola penggunaan lahan pada wilayah genangan. Poligon yang terbentuk akan mewakili luasan satu penggunaan lahan. Luas dari poligon diketahui dengan menggunakan

Xtool yang terdapat di ArcView. Antara polygon

dan peta DEM memiliki perbedaan proyeksi UTM dan Geographic, sehingga hasil dari Xtool

(21)

tidak dapat langsung digunakan. Luas dari masing-masing poligon diketahui dengan menggunakan perbandingan luas. Luas poligon diubah menjadi persentase luas, untuk kemudian dibandingkan dengan luas pada peta DEM.

Asumsi yang digunakan dalam penetuan wilayah genangan adalah wilayah genangan hanya akan dibagi menjadi tiga yaitu lahan basah, lahan kering, dan pemukiman. Lahan basah merupakan lahan yang tergenang sepanjang tahun dan merupakan lahan yang digunakan untuk konservasi alam, yang termasuk ke dalam lahan basah adalah bakau dan rawa. Lahan kering merupakan wilayah yang digunakan sebagai areal pertanian dan merupakan tempat melakukan kegiatan ekonomi. Wilayah yang termasuk lahan kering adalah areal pertanian, perternakan, pertambakan dan perkebunan. Wilayah yang terakhir adalah pemukiman.

3. 3.4 Nilai Ekonomi Dari Lahan

Niai ekonomi dihitung berdasarkan jenis lahan pada wilayah tersebut. Sugiyama (2007) memisahkan jenis lahan yang tergenang menjadi dua yaitu lahan basah dan lahan kering. Lahan basah merupakan lahan yang digunakan dalam rangka pelestarian lingkungan. Sedangkan lahan kering merupakan lahan yang digunakan oleh manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi. Dalam studi ini ini ditambahkan lahan pemukiman. Lahan pemukiman dipisahkan dari lahan kering karena dianggap tidak menghasilkan output ekonomi.

a. Nilai Ekonomi Lahan Basah

Lahan basah merupakan lahan yang tergenang sepanjang tahun. Yang termasuk ke dalam jenis lahan ini adalah rawa dan

mangrove. Besarnya nilai lahan basah diketahui

per hektar dengan persamaan yang dibuat oleh Toll.

𝛾 = 𝐺𝐷𝑃𝑟 20.000

1+(𝐺𝐷𝑃𝑟 20.000 )

𝐺𝐷𝑃𝑛 20.000

1+(𝐺𝐷𝑃𝑛 20.000 ) . . . (4)

Dimana nilai lahan basah untuk setiap Ha adalah 20 ribu US$. Sehingga untuk mengetahui nilai lahan basah pada wilayah tertentu digunakan GDP per kapita pada wilayah tersebut. Setelah diketahui nilai nilai lahan basah untuk setiap hektarnya, maka total kerugian dapat diketahui melalui persamaan:

𝑤 𝑡 =

𝛾 ∗ Ω

. . . (5) Luas wilayah yang terendam dalam satuan hektar diwakilkan dengan Ω.

b. Nilai Ekonomi Lahan Kering

Jenis lahan yang kedua menurut Sugiyama (2007) adalah lahan kering. Lahan kering merupakan lahan yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Untuk menghitung nilai ekonomi yang dihasilkan dari penggunaan lahan tersebut digunakan nilai output ekonomi per segmen area. Untuk memperolehnya digunakan persamaan:

𝛿 = 𝑒𝑐𝑜𝑛𝑜𝑚𝑖𝑐 𝑜𝑢𝑡𝑝𝑢𝑡 𝑚𝑢𝑙𝑡𝑖𝑝𝑙𝑖𝑒𝑟 ∗ 𝐺𝐷𝑃 (6) Setelah diketahui nilai output ekonomi, maka nilai kerugian ekonomi akibat kehilangan lahan kering diketahui dengan persamaan:

𝑑0 𝑡 = 𝛿 ∗ 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ . . . (7)

Nilai output ekonomi memiliki nilai yang berbeda-beda untuk setiap jenis komoditas, selain itu juga berbeda pada setiap wilayah. Nilai output ekonomi menggambarkan komoditas unggulan pada wilayah tersebut.

c. Nilai Ekonomi Pemukiman

Wilayah pemukiman merupakan wilayah yang mempunyai perhitungan nilai ekonomi tersendiri. Kerugian ekonomi pada wilayah pemukiman diduga dengan menghitung luas wilayah yang terendam dan nilai lahan terbangun dari wilayah tersebut. Nilai ekonomi untuk pemukiman dihitung dengan menggunakan persamaan 8.

Luas wilayah *harga lahan terbangun………(8)

Asumsi yang digunakan dalam perhitungan ini adalah bahwa nilai seluruh lahan terbangun adalah sama untuk setiap wilayah yang tergenang.

d. Nilai Lingkungan

Nilai diperoleh berdasarkan persamaan yang terdapat sugiyama 2007. Dimana minimalisasi biaya ekonomi dihitung berdasarkan biaya proteksi atas pantai, biaya kehilangan lahan basah, biaya kehilangan lahan kering dan keuntungan yang timbul akibat adanya growth

(22)

dianggap nol. Sehingga biaya proteksi pantai dapat diketahui dari biaya kehilangan lahan basah dan biaya kehilangan lahan kering. Lahan basah merupakan lahan yang tergenang sepanjang tahun, dalam hal ini rawa digolongkan sebagai lahan basah. Sedangkan lahan kering merupakan lahan yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan ekonomi. Wilayah pemukiman dan sawah digolongkan sebagai lahan kering.

3. 3.5 Jumlah Pengungsi

Besarnya jumlah pengungsi diperkirakan dari luas wilayah pemukiman yang tergenang dan kepadatan penduduk pada wilayah tersebut. Data kepadatan penduduk diperoleh dari BPS 2009 dan dengan asumsi tidak ada peningkatan jumlah penduduk selama terjadi bencana. Maka jumlah pengungsi dapat diketahui dengan menggunakan persamaan:

𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑛𝑔𝑠𝑖 = 𝑙𝑢𝑎𝑠 ∗ 𝑝𝑒𝑛𝑑 𝑘𝑚2. . . (9) Besarnya jumlah pengungsi dapat digunakan untuk menentukan tahapan mitigasi dan jenis adaptasi yang harus dilakukan.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Prediksi Kenaikan Muka Air Laut

Kenaikan muka air laut terjadi akibat mencairnya es di kutub sebagai dampak dari naiknya suhu global. Tren meningkatnya muka air laut sejalan dengan tren meningkatnya suhu bumi. Pengukuran terhadap peningkatan muka air laut telah dilakukan sejak abad ke-18 dengan memanfaatkan data pasang surut. Pada saat ini pengukuran dilakukan dengan menggunakan citra satelit diantaranya yaitu Topex/ Posseidon, Jason1, dan Jason2. Selain itu, Envisat, ERS1 dan ERS2 juga digunakan untuk menghitung kenaikan muka air laut di wilayah lintang tinggi. Keempat satelit tersebut telah mengalami koreksi data terhadap berbagai pengaruh global. Laju Kenaikan muka air laut diprediksi dengan menggunakan data citra satelit altimetri. Dari data citra tersebut dilakukan croping pada wilayah semarang. Data-data tersebut kemudian diambil rataan wilayahnya. Dari rataan tersebut diperoleh empat laju kenaikan muka air laut untuk wilayah laut jawa.

Tabel 3 Kenaikan muka laut Kota Semarang berdasarkan data citra satelit.

Satelit Laju Kenaikan Muka air laut (mm/tahun) Jason 1 9,86 Jason 2 6,333

Topex 6,835 Merged 4,452

Dari keempat citra diperoleh bahwa laju kenaikan muka air laut dari Citra Jason1 merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 9,86 mm/ tahun, sedangkan pada citra merged merupakan yang terendah dengan laju kenaikan muka air laut adalah 4,452 mm/tahun. Dari keempat laju tersebut kemudian diperoleh laju rataan yaitu sebesar 6,87 mm / tahun.

Berdasarakan Prediksi yang diperoleh laut jawa memiliki laju kenaikan muka air laut sebesar 0,69 m per 100 tahun atau 0,006 m per tahun, dengan menggunakan asumsi bahwa keniakan muka air laut bersifat statis setiap tahun maka kenaikan muka laut untuk wilayah semarang diktahui 0,35 m untuk tahun 2050 dan 0,69 m untuk tahun 2100.

Tabel 4 Kenaikan muka laut Kota Semarang per 50 tahun

Tahun Kenaikan Muka air laut (m)

2000 0

2050 0,35 2100 0,69

Hasil tersebut berbeda dengan hasil prediksi yang dilakukan oleh BAPPENAS (2010) yaitu sekitar 1 m/abad atau 1 cm/tahun. Hal tersebut dikarenakan data prediksi yang dihasilkan merupakan data hasil dari olahan model, satelit altimetri, dan data pasang surut. Data pasang surut tertinggi bulanan berdasarkan hasil pemodelan OTIS (Ocean Tidal Inverse Solution).

Kenaikan muka laut di Kota Semarang tidak hanya disebabkan oleh naiknya muka air laut, tetapi juga akibat turunnya muka tanah akibat kompaksi lahan. Asumsi yang digunakan untuk menentukan kenaikan muka air laut dalam penelitian ini adalah bahwa kenaikan muka air laut hanya berasal dari laut. Faktor-faktor lain yang memperngaruhi seperti El Nino dan La

(23)

dalam perhitungan. Hal tersebut dikarenakan penurunan muka tanah di Kota Semarang sangat bervariasi pada setiap wilayah.

4.2 Peta Wilayah Genangan

Peta wilayah genangan diprediksi dengan menggunakan perangkat lunak khusus. Perangkat lunak tersebut dibuat dengan memanfaatkan Macro VBA Excel. Perangkat lunak akan menghitung panjang garis pantai, kemiringan pantai, dan luas wilayah genangan. Perangkat lunak dibuat dengan menggunakan algoritma empat titik. Algoritma tersebut dipilih guna menghindari kesalahan akibat adanya wilayah cekungan yang terdapat di wilayah pantai.

Hasil prediksi kenaikan muka air laut dari satelit altimetri dijadikan sebagai input perangkat lunak khusus. Dari hasil olah data menggunakan perangkat lunak diperoleh peta wilayah genangan. Peta keluaran model berupa peta DEM ASCII dengan nilai 0, 1 dan 2. Angka–angka tersebut mewakili lautan, daerah yang tergenang dan daratan. Peta hasil keluaran Arc view membedakan jenis wilayah berdasarkan warna. Wilayah yang berwarna biru merupakan wilayah laut, wilayah yang berwarna biru muda merupakan wilayah yang tergenang, sedangkan wilayah yang berwarna hijau merupakan wilayah dartan.

Gambar 15 Peta DEM ASCII pada sebagian wilayah kajian saat kenaikan muka air laut 0,35 m

Gambar 16 Peta DEM ASCII pada sebagian wilayah kajian saat kenaikan muka laut 0,69 m

Terdapat tiga pola genangan yang mungkin terjadi akibat kenaikan muka air laut. Ketiga pola tersebut mewakili jenis topografi yang berbeda. Pola genangan A adalah genangan yang langsung menggenangi wilayah yang lebih renadah dari kenaikan muka air laut dan tidak terahalang topografi. Pada wilayah pantai umumnya mempunyai pola genangan A, sedangkan pada wilayah yang memliki topografi lebih tinggi di bibir pantai umunya mengalami pola genangan B. Pola genangan B adalah air laut yang masuk melalui celah-celah topografi. Pola genangan C terjadi pada wilayah yang dilalui oleh anak sungai. Berdasarkan hasil pengolahan terlihat ada 2 pola genangan yang terjadi. Kedua pola tersebut ada lah pola A dan pola B. Pola A terjadi hampir di seluruh wilayah pantai utara Kota Semarang. Pola B terjadi hanya terjadi di beberapa titik di Kecamatan Genuk.

Tabel 5. Pola Genangan

Pola Keterangan A

Air laut menggenangi wilayah yang lebih rendah dari kenaikan muka air laut dan tidak terhalang topografi B Air laut masuk melalui celah topografi C Air laut masuk melalui anak sungai

4. 2.1 Luas Wilayah Genangan

Dari hasil pengolahan data diperoleh luas wilayah genangan dengan luas yang terbesar terjadi pada kenaikan 0,35 dan 0,69 meter wilayah yang tergenang hampir sama yaitu 1,828 km2 dan 1,862 km2. Luas wilayah ini akan berpengaruh terhadap kerugian ekonomi dan jumlah pengungsi. Apabila semakin luas wilayah yang tergenang maka akan semakin

(24)

besar kerugian ekonomi dan akan semakin banyak jumlah pengungsi. Luas wilayah genangan akan semakin luas apabila penurunan muka tanah dihitung.

Tabel 6 Luas daratan yang tergenang akibat kenaikan muka laut

Tahun Luas Daratan Yang Hilang (km2) 2050 1,828 2100 1,862

Wilayah genangan di Kota Semarang didoaminasi oleh pola genangan A. Pola ini mengakibatkan adanya abrasi di sepanjang garis pantai Kota Semarang. Pola ini juga mengakibatkan pergeseran wilayah pantai. Hal tersebut mengakibatkan luas daratan menjadi menyusut.

4. 2.2 Kemiringan Pantai

Kemiringan suatu pantai akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan tersebut. Semakin landai lahan maka akan semakin banyak dimanfaatkan sebagai lahan untuk pemukiman dan industri. Karena pembangunan infrastruktur dan transportasi menjadi lebih mudah.

Berdasarkan hasil pengolahan data, diketahui bahwa kemiringan pantai di kota semarang adalah sebesar 0,52%. Berdasarkan klasifikasi kemiringan lahan, nilai 0,52% masuk ke dalam kelas satu dan memiliki kemiringan yang datar.

4. 2.3 Panjang Garis Pantai

Pantai merupakan wilayah daratan yang berbatasan dengan laut. Garis pantai merupakan adalah batas pertemuan laut dan daratan yang posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut dan erosi atau akreasi pantai yang terjadi.

Terjadinya wilayah genangan akibat kenaikan muka air laut menyebabkan perubahan posisi dan panjang garis pantai. Terjadi perubahan panjang garis pantai yang semula 47,61 km menjadi lebih panjang. Pada saat kenaikan muka air laut 0,35 m panjang garis pantai bertambah menjadi 50,46 km dan pada saat kenaikan muka air laut sebesar 0,69 m panjang garis pantai bertambah menjadi 50.7 km.

Kenaikan muka air laut seharusnya mengakibatkan panjang garis pantai akan

berkurang. Karena panjang garis pantai diukur mengelilingi seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara. Sehingga, bila luas daratan menyusut maka keliling pantai akan berkurang. Namun dalam penelitian ini akibat kenaikan muka air laut panjang garis pantai menjadi bertambah panjang. Hal tersebut dikarenakan air laut masuk melalui celah daratan yang ada di pantai, sehingga membuat air akan membentuk wilayah seperti sebuah danau yang mengakibatkan panjang garis pantai bertambah panjang. Asumsi yang digunakan dalam menentukan panjang garis pantai adalah bahwa setiap wilayah daratan bertemu dengan lautan dan genangan air laut merupakan wilayah pantai.

Tabel 7 Perubahan panjang garis pantai Tahun Panjang Garis pantai

Sesudah KML (km) 2050 50. 46 2100 50. 7

Perubahan garis pantai tidak hanya ditandai dengan pertambahan panjang garis pantai. Perubahan lain yang terlihat adalah pergeseran garis pantai sepanjang 60 m ke arah daratan. Hampir seluruh garis pantai Kota Semarang bergeser ke arah daratan. Pergeseran ini terjadi karena genangan menggenang dengan pola A.

4. 3 Peta Penggunaan Lahan

Kerugian ekonomi untuk setiap penggunaan lahan akan berbeda nilainya. Besarnya nilai investasi dan produktivitas yang dihasilkan suatu lahan akan sangat mempengaruhi besarnya kerugian ekonomi. Selain itu besarnya nilai ekonomi lahan juga akan bergantung dari rente yang dihasilkan lahan.

Peta penggunaan lahan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan Peta Penggunaan Lahan Pulau Jawa tahun 2001 dan Peta Rencana Penggunaan Lahan Kota Semarang tahun 2030. Peta tersebut kemudian di overlay dengan peta wilayah genangan, sehingga diperoleh polygon penggunaan lahan untuk setiap wilayah genangan.

Dari hasil pengolahan peta penggunaan lahan diperoleh persentase perbandingan penggunaan lahan pada wilayah genangan adalah sebagai berikut.

(25)

Gambar 17 Diagram penggunaan wilayah pada

lahan yang tergenang tahun 2050

Gambar 18 Diagram penggunaan wilayah pada lahan yang tergenang pada tahun 2100

Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2002 dan 2030 terlihat bahwa wilayah yang tergenang adalah wilayah rawa kemudian persawahan dan pemukiman. Wilayah rawa merupakan wilayah yang dimanfaatkan oleh warga sebagai tambak.

Perubahan penggunaan lahan pada tahun 2030 tidak membawa pengaruh yang signifikan pada penggunaan lahan pada wilayah pantai. Wilayah pesisir masih di dominasi wilayah rawa yang digunakan untuk tambak. Sedangkan pemukiman dan lahan kering lainnya hanya mengalami sedikit perubahan. Perubahan penggunaan lahan akan membawa dampak pada perubahan nilai ekonomi pada lahan.

4. 4 Estimasi Kerugian Ekonomi

Kerugian ekonomi dari lahan dihitung berdasarkan jenis lahan yang tergenang dan peruntukannya. Menurut Sugiyama 2007, jenis

lahan yang hilang akibat kenaikan muka air laut terbagi atas dua yaitu lahan basah dan lahan kering. Lahan basah merupakan lahan yang tanahnya jenuh dengan air baik secara musiman maupun permanen. Yang digolongkan lahan basah antara lain adalah rawa, bakau, dan gambut. Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Oleh karena itu akan sangat merugi bila wilayah ini tergenang oleh air laut. Kerugian ekonomi lahan basah ini dihitung menggunakan persamaan Toll yang terdapat dalam Sugiyama (2007). Dari hasil perhitungan diketahui bahwa nilai kerugian dari lahan rawa untuk setiap hektranya adalah 5.431 US$ atau setara dengan 51 juta rupiah.

Lahan yang kedua adalah lahan kering. Definisi yang diberikan oleh Soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Dari pengertian diatas, maka wilayah persawahan digolongkan menjadi lahan kering. Nilai kerugian ekonomi lahan sawah dihitung berdasarkanEconomicOutput per Segmen Area. Dimana setiap segmen akan mewakili satu hektar sawah. Nilai output sawah untuk setiap wilayah akan berbeda-beda bergantung pada produktivitas lahan dan nilai investasi yang digunkan oleh petani. Nilai output sawah dicari berdasarkan nilai pengganda output (output multiplier). Nilai pengganda output tanaman padi untuk wilayah Semarang berdasarkan data BPS (2001) yang terdapat dalam Ahmad et al (2007) adalah sebesar 1,263. Dari hasil perhitungan dengan nilai penggada output dikethui bahwa nilai kerugian pada lahan sawah adalah sekitar 30 juta rupiah per hektar. Kerugian ini berasal dari investasi dan keuntunganyang tidak jadi diperoleh para petani karena lahannya terendam banjir pada setiap kali tanam. Lahan yang terendam nilainya tidak dihitung karena hak kepemilikannnya tidak berubah dan masih dapat dimanfaatkan untuk tambak ikan atau kegiatan ekonomi lainnya sebagai kegiatan pengganti.

Wilayah pemukiman merupakan wilayah yang memiliki perhitungan nilai ekonomi tersendiri. Hal ini disebabkan karena lahan pemukiman diasumsikan sebagai lahan yang tidak produktif atau tidak menghasilkan rente ekonomi bagi pemiliknya. Maka kerugian ekonomi wilayah ini dihitung berdasarkan nilai 20% 10% 70% rawa rumah sawah 19% 11% 70% rawa rumah sawah

(26)

investasi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan. Asumsi yang digunakan adalah rumah yang tergenang di wilayah tersebut merupakan rumah semi permanen. Menurut Ali (2010), untuk membuat sebuah bangunan semi permanen di wilayah Semarang dibutuhkan investasi sebesar 20 juta rupiah.

Tabel 8 Nilai ekonomi berdasarkan penggunaan lahan pada tahun 2050

Jenis Luas ( ha) Nilai ekonomi Rawa 35.05 Rp 1,808,834,448 Rumah 19.13 Rp 950,660,143 Sawah 128.02 Rp 3,925,722,984 Tabel 9 Nilai ekonomi berdasarkan penggunaan

lahan pada tahun 2100

Jenis Luas ( ha) Nilai ekonomi Rawa 37.22 Rp 1,920,521,954 Rumah 19.71 Rp 979,400,332 Sawah 129.84 Rp 3,981,342,405 Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa peningkatan kerugian ekonomi sejalan dengan peningkatan luas wilayah genangan. Selain itu, diketahui pula bahwa kerugian ekonomi dari lahan pemukiman memiliki nilai yang terkecil dan yang terbesar bearsal dari lahan persawahan. Hal tersebut dikarenakan besarnya biaya investasi yang dikeluarkan oleh pemilik lahan dan tingkat produktivitas yang tinggi pada lahan persawahan.

4. 4. 1 Biaya Lingkungan

Biaya lingkungan merupakan total dari semua komponen biaya yang terjadi pada suatu sumberdaya akibat adanya perubahan lingkungan. Menurut Sugiyama (2007) komponen biaya yang terkait dalam peningkatan muka air laut adalah biaya kehilangan lahan basah, biaya kehilangan lahan kering, dan biaya proteksi pantai. Biaya lingkungan akan bernilai nol apabila besarnya biaya proteksi sama dengan total biaya kehilangan lahan basah dan lahan kering. Dengan demikian besarnya total kerugian ekonomi yang ditimbulkan akan sama besarnya dengan biaya yang dibutuhkan untuk membangun sistem perlindungan atau merehibilitasi pantai. Selain itu, biaya tersebut juga sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk

perlidungan pada lahan basah dan hutan

mangrove.

Tabel 10 Total kerugian ekonomi per tahun Tahun Total kerugian ekonomi

2050 Rp 6,713,957,766.00 2100 Rp 6,852,524,503.13 Pada tahun 2050 biaya lingkungan yang harus dikeluarkan oleh masyarakat pada tahun 2050 adalah sebesar 6,7 miliar rupiah atau setara dengan 36 juta rupiah setiap hektarnya. Jumlah tersebut hampir sama dengan kerugian pada tahun 2100.

Biaya tersebut lebih kecil dibandingkan biaya yang dikeluarkan melakukan perlindungan pantai. Biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun sebuah seawall adalah sekitar 300 juta rupiah per hektar. Biaya tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan biaya kerugian per hektar yang hanya 36 juta rupiah per hektar. Sementara biaya untuk melakukan reklamasi pantai jauh lebih mahal dibandingkan untuk membangun

seawall. Pembuatan rumah panggung atau

melakukan relokasi jauh lebih murah dibandingkan dengan pembuatan seawall atau reklamasi pantai. Namun dengan pembangunan

seawall dan reklamasi pantai akan melindungi

wilayah yang diprediksi tergenang. Perlindungan terhadap wilayah-wilayah produktif akan mengurangi defisit dari pembangunan biaya perlindungan laut. Seangkan dengan melakukan relokasi atau reklamasi kemungkinan akan menimbulkan masalah baru di wilayah sekitar pesisir.

4. 5 Jumlah Pengungsi

Kenaikan muka air laut tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi. Masalah-masalah lain akan timbul seperti timbulnya wabah penyakit, menurunya kualitas air tanah, dan gejala-gejala sosial. Salah satu gejala sosial yang timbul adalah adanya pengungsi.

Pada saat peningkatan muka air laut 0,35 m pengunsi diperkirakan sebesar 124 jiwa dan pada kenaikan 0,69 m meningkat menjadi sebesar 145 jiwa. Peningkatan tersebut tidak bertambah signifikan karena pertambahaan lahan pemukiman yang tergenang lebih kecil.

(27)

Tabel 11 Proyeksi jumlah pengungsi akibat kenaikan muka laut

Tahun Kenaikan muka air laut (m)

Pengungsi (Jiwa) 2050 0,35 124 2100 0,69 145 Dengan mengetahui jumlah pengungsi maka pemerintah akan lebih mudah dalam melakukan penanganan bencana. Baik untuk menentukan adaptasi fisik maupun melakukan berbagai macam mitigasi maupun regulasi.

4. 5. 1 Adaptasi dan Mitigasi

Adaptasi dan mitigasi terhadap kenaikan muka air laut dapat dilakukan dengan berbagai cara. Adaptasi yang dilakukan berupa adaptasi fisik dan non-fisik. Jenis adaptasi yang dilakukan berbeda pada setiap tipe genangan yang terjadi.

Gambar 19 Wilayah yang tergenang dengan pola genangan A.

Pada wilayah yang memiliki pola genangan A maka lebih tepat dilakukan upaya relokasi, reklamasi atau rumah panggung. Upaya relokasi merupakan upaya pemindahan seluruh masyarakat yang ada di sekitar wilayah pesisir ke tempat yang lebih aman. Relokasi hanya akan menambah wilayah yang tidak terkena dampak kenaikan muka air laut mejadi lebih padat. Reklamasi merupakan upaya peninggian wilayah pantai agar lebih tinggi dari kenaikan muka air laut. Upaya ini lebih sering digunakan pada kota-kota besar yang terletak di wilayah pesisir. Cara ini cukup efektif untuk mengurangi resiko terjadinya wilayah genangan dan menambah luas wilayah daratan. Namun reklamasi banyak menuai kontroversi terkait isu lingkungan, selain itu diperlukan pula biaya yang besar. Cara yang terakhir yaitu rumah

panggung, cara ini banyak dilakukan di wilayah yang sering terkena banjir. Rumah panggung cukup efektif untuk melakukan adaptasi dan tidak memakan biaya yang tinggi.

Gambar 20 Adaptasi pemukiman di daerah pesisir (sumber: kobayashi, dalam wuryanti 2002)

Pada wilayah yang terkena pola genangan B, maka lebih tepat dilakukan upaya dengan pembuatan tanggul atau sea wall sebagai upaya fisik. Hal ini dikarenakan wilayah tersebut masih dapat diselamatkan dari banjir yang terjadi dengan membangun penahan pada celah yang menjadi pintu masuk air laut. Selain itu, penanaman kembali hutan bakau pada wilayah pantai akan sangat membantu dalam upaya adaptasi dan mitigasi kenaikan muka air laut.

Gambar 21 Wilayah yang tergenang dengan pola genangan B.

(28)

V. SIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Simpulan

Berdasarakan citra satelit, peningakatan muka air laut di wilayah Semarang memiliki laju sebesar 6,87 mm / tahun. Artinya muka laut semarang akan bertambah 6,87 mm setiap tahunnya. Dengan adanya peningkatan muka laut ini maka akan ada wilayah genangan yang terjadi di Kota Semarang. Wilayah genangan ini mengalami pertambahan luas sejalan dengan pertambahan tinggi kenaikan muka air laut.

Selain wilayah genangan, kenaikan muka air laut di Semarang juga menyebakan perubahan panjang garis pantai. Perubahan panjang garis pantai ini dari yang semula 47,61 km menjadi 50,7 km pada tahun 2100. Perubahan panjang garis pantai ini menyebabkan terjadinya abrasi pada sepanjang garis pantai Semarang. Selain itu, juga membuat terumbu karang semakin terbenam ke dalam lautan.

Kerugian ekonomi dari setiap penggunaan lahan mempunyai nilai yang berbeda-beda. Nilainya bergantung pada nilai produktivitas dan investasi yang diberikan kepada lahan tersebut. Nilai kerugian ekonomi total meningkat seiring dengan peningkatan luas wilayah genangan. Nilai kerugian pada tahun 2050 diperkirakan adalah sebesar 6,7 miliar rupiah dan pada tahun 2100 sebesar 6,8 miliar rupiah.

Besarnya biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh masyarakat adalah sebesar 36 juta rupiah per hektar. Biaya tersebut lebih kecil dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun seawall. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun seawall adalah sebesar 300 juta rupiah. Dengan demikian perlu adanya sebuah upaya pengganti untuk menanggulangi kenaikan muka air laut dengan biaya yang lebih ringan. Cara lain trsebut antara lain relokasi atau pembangunan rumah panggung untuk wilayah pesisir.

Untuk mengurangi kerugian akibat dampak kenaikan muka air laut masayarakat dapat melakukan adaptasi. Adaptasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Adaptasi dan mitigasi dapat dilakukan dengan upaya fisik dan non-fisik. Upaya-upaya tersebut bergantung pada jenis pola genangan. Pada pola genangan A upaya yang dilakukan dapat berupa reklamasi, relokasi dan rumah panggung. Pada pola genangan B upaya yang dilakukan adalah pembangunan seawall.

5. 2 Saran

Penggunaan macro VBA for Excel

menyebabkan keterbatasan luasan wilayah peta yang digunakan. Unuk itu disarankan agar pada penelitian selanjutnya perangkat lunak dapat diubah ke dalam bahasa lain seperti Matlab. Prediksi kenaikan muka air laut seharusnya diintegrasikan ke dalam perangkat lunak. Wilayah genangan yang terjadi lebih baik juga memperhitungkan pasang surut air laut dan laju subsidensi daerah penelitian. Kejadian iklim ekstrim juga akan sangat mempengaruhi kenaikan muka air laut, sehingga perlu juga untuk diperhitungkan. Sarana dan prasana transportasi yang terendam seperti jalan, stasiun, terminal, dan bandara sebaiknya turut diperhitungkan sebagai kerugian ekonomi.

DAFTAR PUSTAKA

Ali M. 2010. Kerugian Bangunan Perumahan Akibat Rob dan Arah Kebijakan Penanganannya di Kelurahan Bandarharjo Kota Semarang [tesis]. Pasca Sarjana. Semarang: Universitas Dipenogoro.

Aviso. 2011. Mean Sea Level Rise and The Greenhouse Effect.

www. aviso. oceanobs. com [2 Februari 2011].

Aviso. 2011. Mean Sea Level Rise. www. aviso. oceanobs. com [2 Februari 2011]

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Semarang. 2000. Profil Wilayah Pantai dan Laut Kota Semarang [Laporan]. Semarang: BAPPEDA. [BAPPENAS] Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional. 2010. Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut dan Cuaca Ekstrim [Laporan]. Jakarta: BAPPENAS.

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2009. Jawa Tengah Dalam Angka 2009 [Laporan]. Semarang: BPS.

Church J et. al. 2001. Changes in sea level: The Scientific Basis, Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge: Cambridge University Press.

Darwin R F. and Richards S J T. 2001. Estimates of the Economic Effects of Sea

Gambar

Tabel 1  Koreksi data citra  Satelit  Combined  atmospheric  correction  Specific  corrections  Jason-2  High  Resolution  Mog2D Model  [Carrère and  Lyard, 2003] +  inverse  barometer  computed from  ECMWF model  (rectangular  grids)  Jason-2  /  T/P glob
Gambar  2  Berbagai  bentuk  upaya  adaptasi  Rumah  panggung,  Reklamasi,  Relokasi,  dan  Tanggul)  dalam  menghadapi kenaikan muka air laut
Gambar 3  Diagram alir metodologi
Gambar  4    Tampilan  antar  muka  perangkat  lunak
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dampak dari hasil penelitian ini agar konselor atau guru pembimbing selalu mempertahankan, mengembangkan sifat atau perilaku kepribadiannya sehingga mampu memberikan

Take part in the recruitment (interview) process and provide recommendations on the prospective members of the Boards of Commissioners and Directors in order to

This finding was not replicated in the present study, which found no difference in the sexual performance of twin- and single-born ram lambs even when averages of ram lambs born

Dewan Komisaris telah menerima dengan baik laporan keuangan Perseroan yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2009 yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Osman

nilai yang dirasakan oleh wisatawan selama mengunjungi Destinasi Wisata

Sebuah film yang berbau illuminati dapat dilihat dari perusahaan yang memproduksi film tersebut, sekilas memang rumah produksi atau production house

Dengan membuat kesimpulan dari bacaan “Manusia dengan Lingkungan Alam”, peserta didik dapat menyajikan ringkasan teks penjelasan dengan benar.. Dengan melakukan kegiatan

Judul Kegiatan : Portal (Portofolio Aksi Anak Tanggap Longsor) Sebagai Upaya Pendidikan Penanggulangan Bencana Sejak Dini Pada Siswa SD Negeri Ngaliyan 04.. Alamat