• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMPELAJARI EFEKTIVITAS PERAN GUGUS KENDALI MUTU DALAM PENINGKATAN KINERJA PERUSAHAAN. Oleh DILLA RESTU PRATIWI H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMPELAJARI EFEKTIVITAS PERAN GUGUS KENDALI MUTU DALAM PENINGKATAN KINERJA PERUSAHAAN. Oleh DILLA RESTU PRATIWI H"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI KASUS : PT PERTAMINA UNIT PENGOLAHAN IV CILACAP)

Oleh

DILLA RESTU PRATIWI

H24102001

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?

Dan Kami telah hilangkan daripadamu bebanmu,

Dan Kami telah hilangkan daripadamu bebanmu,

Dan Kami telah hilangkan daripadamu bebanmu,

Dan Kami telah hilangkan daripadamu bebanmu,

Yang memberatkan punggungmu?

Yang memberatkan punggungmu?

Yang memberatkan punggungmu?

Yang memberatkan punggungmu?

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu?

Karena s

Karena s

Karena s

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

esungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

esungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

esungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

Sesung

Sesung

Sesung

Sesungguhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan

guhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan

guhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan

guhnya, sesudah kesulitan itu ada kemudahan

Maka apabila

Maka apabila

Maka apabila

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),

kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),

kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),

kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),

kerjakanlah dengan sungguh

kerjakanlah dengan sungguh

kerjakanlah dengan sungguh

kerjakanlah dengan sungguh----sungguh

sungguh

sungguh

sungguh (urusan) yang lain

(urusan) yang lain

(urusan) yang lain

(urusan) yang lain

Dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya kamu berharap

Dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya kamu berharap

Dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya kamu berharap

Dan hanya kepada Tuhanmu lah hendaknya kamu berharap

(QS 94 : 1

(QS 94 : 1

(QS 94 : 1

(QS 94 : 1----8)

8)

8)

8)

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Skripsi ini kupersembahkan untuk

Ibu, Bapak, dan kedua adikku yang kucinta dan sayangi

Ibu, Bapak, dan kedua adikku yang kucinta dan sayangi

Ibu, Bapak, dan kedua adikku yang kucinta dan sayangi

Ibu, Bapak, dan kedua adikku yang kucinta dan sayangi

(3)

Pengolahan IV Cilacap). Di bawah bimbingan Pramono Djoko Fewidarto. PT Pertamina (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berperan dalam memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi. Salah satu unit pengolahannya adalah PT Pertamina UP IV Cilacap. Sejak berakhirnya tugas pelayanan umum (public service obligation) sebagai satu-satunya penyedia BBM dalam negeri, Pertamina dituntut untuk senantiasa meningkatkan efisiensi dan mutu pelayanannya. Gugus Kendali Mutu (GKM) merupakan basic tool dari manajemen mutu. Penelitian ini bertujuan : (1) mengetahui implementasi GKM di PT Pertamina UP IV, (2) mengidentifikasi indikator kinerja perusahaan yang terkait dengan mutu, (3) mengukur korelasi efektivitas GKM dengan kinerja PT Pertamina UP IV yang meliputi kinerja mutu dan produktivitas.

Penelitian dilaksanakan di Kantor pusat PT Pertamina UP IV Cilacap, khususnya di Fungsi Kilang. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi literatur yang berhubungan dengan penelitian, berupa buku yang memuat teori-teori, hasil penelitian terdahulu, data perusahaan berupa laporan tahunan, sumber elektronik dari situs resmi Pertamina, dan lain-lain. Penelitian menggunakan analisis statistik regresi linear berganda dengan alat pengolah data Minitab dan SPSS versi 13.0.

Implementasi GKM di PT Pertamina UP IV Cilacap merupakan salah satu program dalam Sistem Manajemen Mutu Pertamina (SMMP). Implementasi ini terdiri dari empat tahap : (1) persiapan, pengenalan, dan sosialisasi, (2) pembuatan struktur dan prosedur, (3) pelaksanaan, (4) pembudayaan. Implementasi GKM di UP IV berada pada transisi tahap ke-3 dan ke-4. Indikator kinerja perusahaan tertuang dalam Key Performance Indicator (KPI) General Manager yang terdiri dari 10 kriteria berdasarkan empat aspek Balanced Scorecard. KPI yang berhubungan dengan Fungsi Kilang dan yang terkait dengan mutu adalah KPI berdasarkan aspek pelanggan, yaitu realisasi produksi (quantity, quality, delivery) dan volume produksi BBM. Indikator kinerja mutu juga bisa diidentifikasi dari tujuh kriteria Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA). Indikator mutu yang berkontribusi terhadap kinerja perusahaan, yaitu : (1) kepemimpinan, (2) fokus pelanggan dan pasar, (3) fokus pada SDM, (4) manajemen proses, dan (5) hasil-hasil usaha. Model fungsi regresi linear berganda tidak mampu menjelaskan peran GKM terhadap peningkatan kinerja perusahaan di PT Pertamina UP IV Cilacap karena koefisien determinasi maksimal dari berbagai model yang telah dicoba sangatlah kecil, yaitu 22,2 persen terhadap kinerja mutu dan 33,3 persen terhadap produktivitas. Dari berbagai macam alternatif fungsi regresi yang digunakan, terdapat kesamaan faktor yang nyata pada tingkat kepercayaan 95 persen, yaitu keberhasilan pemecahan masalah. Masalah yang ditangani GKM sebagian besar berkaitan dengan peningkatan efisiensi dan simplifikasi metode. Terdapat berbagai kemungkinan lemahnya model fungsi regresi linear berganda, antara lain : (1) ketidakcocokan model, (2) adanya faktor lain dan hubungan yang tidak langsung (3) masalah teknis dari sisi responden dan dari sisi kuesioner.

(4)

(

STUDI KASUS : PT PERTAMINA UNIT PENGOLAHAN IV CILACAP

)

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA EKONOMI

pada Departemen Manajemen

Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DILLA RESTU PRATIWI

H24102001

DEPARTEMEN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

ii

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

DEPARTEMEN MANAJEMEN

MEMPELAJARI EFEKTIVITAS PERAN GUGUS KENDALI MUTU DALAM PENINGKATAN KINERJA PERUSAHAAN

(STUDI KASUS : PT PERTAMINA UNIT PENGOLAHAN IV CILACAP)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA EKONOMI

pada Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen

Institut Pertanian Bogor

Oleh

DILLA RESTU PRATIWI H24102001

Menyetujui, Februari 2006

Ir. Pramono D. Fewidarto, MS Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc. Ketua Departemen

(6)

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 22 November 1983. Penulis adalah sulung dari tiga bersaudara pasangan Bambang Yartomo dan Sri Nurhidayah.

Sebelum menjadi mahasiswa, penulis menghabiskan pendidikan di Yayasan Pendidikan Iryad Islamiyyah Cilacap dari TK hingga SMU, yaitu TK Al-Irsyad 01 pada tahun 1988, dilanjutkan ke SD Al-Al-Irsyad 02 pada tahun 1990, kemudian SLTP Islam Irsyad pada tahun 1996, dan SMU ”Plus” Irsyad Al-Islamiyyah pada tahun 1999.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Departemen Manajemen sebagai angkatan ke tiga puluh sembilan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis bergabung dengan Paduan Suara Mahasiswa Agriaswara memperkuat tim sopran, menjadi staf Departemen Humas BEM FEM, dan staf pengajar Private Intensive Studies (PIS). Penulis juga aktif mengisi acara-acara hiburan di FEM dan lingkungan kampus sebagai keyboardist.

Prestasi yang pernah diraih selama menjadi mahasiswa antara lain menjadi juara I Mahasiswa Berprestasi tahun 2005 di tingkat Departemen, juara II Mahasiswa Berprestasi tahun 2005 Fakultas Ekonomi dan Manajemen, dan juara II Speech Contest tingkat IPB yang diadakan dalam rangka Dies Natalis IPB ke-40.

(7)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puja dan puji hanya milik Allah Swt Tuhan seru sekalian alam. Atas berkat rahmat dan hidayahNya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Mempelajari Efektivitas Peran Gugus Kendali Mutu dalam Peningkatan Kinerja Perusahaan (Studi Kasus : PT Pertamina Unit Pengolahan IV Cilacap). Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Perhatian tehadap mutu pada saat sekarang ini, terutama jika dikaitkan dengan industri manufaktur dan jasa merupakan suatu keharusan. Telah disadari bahwa ilmu dan konsep manajemen mutu berkembang sangat cepat dan banyak sistem dan alat yang ditawarkan, mulai dari yang basic seperti Gugus Kendali Mutu (GKM), sampai yang advance seperti ISO series, MBNQA, Six Sigma, Balance Score Card, dan Economic Value Added (EVA). Penelitian ini mengkaji alat yang mendasar yaitu GKM, dengan melihat efektivitas peran GKM dikaitkan dengan peningkatan kinerja perusahaan.

Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Ir. Pramono D. Fewidarto, MS sebagai dosen pembimbing yang telah bersedia memberikan arahan, bimbingan, saran yang sangat bermanfaat, dan dukungan serta motivasi yang kuat kepada penulis untuk menyelesaikan studi lebih cepat.

2. Ibu dan Bapak atas kasih sayang, dukungan, doa yang tiada putusnya dan segala kemudahan fasilitas yang diberikan selama penelitian, serta adik-adikku Rani dan Bom-Bom yang senantiasa memberikan semangat dan inspirasi. 3. Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing., DEA dan Heti Mulyati, STP,

MT sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan memberikan berbagai masukan yang sangat berarti.

4. Setyo Rumekso, S.E. sebagai pembimbing lapangan atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan, Bapak Fauzy Baron selaku Kabag OP&M dan Bapak Suryono Renbang SDM atas kemudahan dan izin penelitiannya, Bapak

(8)

v

Sofyan Komptroller dan Indah Kurnianingsih Kasie Manajemen Kinerja atas informasi yang diberikan, Bapak Agus the driver yang telah dengan setia mengantar penulis memasuki areal kilang, dan seluruh staf bagian OP&M, Renbang, dan Fungsi Kilang PT Pertamina UP IV Cilacap atas bantuan, informasi dan kerjasama yang baik.

5. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB.

6. Sahabat-sahabat sejatiku Segitiga Bermuda, Vien, Bie-Bie, Empox, dan Ennie yang telah menemani dan saling berbagi dalam suka duka serta mewarnai hidup dengan kenangan dan keceriaan.

7. Teman-temanku Manajemen 39 atas segala dukungan, kekompakan, dan torehan memori masa kuliah. Mpu, Arya, Kak Tresna, Kak Indra, Kak Humam, atas bantuan dan dukungan semangatnya.

8. Sobat terkasih Nove nun jauh di sana yang selalu mengirimkan doa dan semangat.

9. Semua pihak yang mendukung dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah Swt membalas segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan.

Tak ada gading yang tek retak, dan kesempurnaan hanyalah milikNya. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun tentunya sangat dinantikan oleh penulis. Semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat.

Bogor, Februari 2006

(9)

vi DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK RIWAYAT HIDUP...iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ...viii

DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN ... x I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah... 4 1.3. Tujuan Penelitian ... 5 1.4. Kegunaan Penelitian... 6

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1. Konsep Mutu... 7

2.1.1. Mutu Produk... 8

2.1.2. Mutu Proses... 10

2.2. Total Quality Management ... 12

2.2.1. Prinsip-Prinsip Total Quality Management (TQM) ... 14

2.2.2. Faktor Kegagalan Menerapkan MMT atau TQM ... 14

2.2.3. ISO 9000, 14000, dan MBNQA... 14

2.2.4. Balanced Scorecard... 15

2.3. Gugus Kendali Mutu (GKM)... 15

2.3.1. Definisi dan Ciri-Ciri GKM ... 15

2.3.2. Langkah-Langkah Aktual Pembentukan GKM... 18

2.3.3. Mekanisme Kerja GKM... 20

2.3.4. Penilaian Kinerja Gugus ... 22

2.4. Kinerja Perusahaan... 23

2.4.1. Pengertian Kinerja ... 23

2.4.2. Pemilihan Ukuran-Ukuran Kinerja... 23

2.5. Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression)... 25

2.6. Penelitian Terdahulu... 26

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 30

3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual... 30

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3. Metode Pengumpulan Data... 32

(10)

vii

IV. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ... 36

4.1. Organisasi Pertamina... 36

4.1.1. Visi, Misi, Tujuan, dan Strategi Unit Pengolahan IV... 37

4.1.2. Fungsi Tiap Unit Kerja ... 37

4.2. Kilang Unit Pengolahan IV ... 38

4.2.1. Sejarah Kilang UP IV ... 38

4.2.2. Aktivitas Kerja Fungsi Kilang... 40

4.3. Jenis Produk, Pemanfaatan dan Distribusi... 42

4.3.1. Unit Produksi I ... 42

4.3.2 Unit Produksi II ... 43

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 46

5.1. Implementasi Gugus Kendali Mutu ... 46

5.1.1. Sistem Manajemen Mutu Pertamina (SMMP) ... 46

5.1.2. Sejarah GKM... 49

5.1.2.1. Persiapan, Pengenalan, dan Sosialisasi ... 49

5.1.2.2. Pembuatan Struktur dan Prosedur... 50

5.1.2.3. Pelaksanaan... 52

5.1.2.4. Pembudayaan ... 54

5.1.3. Aktivitas Konvensi ... 54

5.2. Indikator Kinerja Perusahaan Terkait dengan Mutu ... 56

5.2.1. Key Performance Indicator... 56

5.2.1.1. Sistem Penilaian Kinerja Perusahaan... 57

5.2.1.2. KPI General Manager UP IV... 59

5.2.2. Kriteria MBNQA... 63

5.3. Efektivitas Peran GKM dalam Peningkatan Kinerja Perusahaan ... 68

5.3.1. Jumlah GKM UP IV dan GKM Kilang ... 68

5.3.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner ... 69

5.3.3. Karakteristik GKM Kilang... 72

5.3.4. Perhitungan Analisis Regresi Berganda... 76

5.3.5. Kinerja Mutu dan Efektivitas Gugus Keberhasilan Pemecahan Masalah ... 82

5.3.6. Produktivitas dan Efektivitas Gugus Keberhasilan Pemecahan Masalah ... 83

KESIMPULAN DAN SARAN... 87

Kesimpulan... 87

Saran... 88

DAFTAR PUSTAKA... 89

(11)

viii

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Ciri-ciri umum GKM ... 17

2 Ringkasan metodologi penelitian... 32

3 Jenis produk Unit Produksi I ... 42

4 Jenis Produk Unit Produksi II... 43

5 Data pekerja terlibat SMM tahun 2004 (akumulatif) dan 2005... 48

6 Data aktivitas konvensi GKM/PKM ... 56

7 Matriks KPI UP IV Periode 2005 ... 61

8 Empat perspektif dalam BSC ... 62

9 Realisasi target kesepakatan kinerja ... 63

10 Penghargaan mutu untuk kategori organisasi... 65

11 Hasil audit MBNQA UP IV Cilacap... 66

12 Jumlah anggota GKM UP IV ... 68

13 Hasil uji validitas ... 71

14 Hasil uji reliabilitas ... 71

15 Analisis regresi efektivitas GKM terhadap kinerja mutu (Y1) ... 77

16 Analisis regresi efektivitas GKM terhadap produktivitas (Y2) ... 77

17 Analisis matriks komponen rotasi... 81

18 Urutan CoD fungsi Y1... 81

(12)

ix

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Grafik partisipasi GKM dan PKM pada Konvensi MMT

Pertamina UP IV tahun 2005... 5

2 Kaitan antara mutu, produktivitas, dan kesejahteraan ... 8

3 Proses kerja dan metode pengawasan ... 11

4 Kombinasi unsur-unsur yang membentuk proses kerja ... 11

5 Peningkatan kinerja perusahaan ... 23

6 Kerangka pemikiran konseptual ... 31

7 Diagram alir tahapan penelitian... 35

8 Kerangka SMMP ... 47

9 Tingkatan konvensi GKM ... 55

10 Model penilaian kinerja organisasi ... 59

11 Keterkaitan metode, alat-alat mutu, dan pengukuran kinerja... 67

12 Tingkat pendidikan aktivis GKM Kilang per Unit atau Bagian... 73

13 Persentase alasan mengikuti GKM ... 74

14 Grafik produksi makalah GKM/PKM per tahun ... 83

(13)

x

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Daftar pertanyaan atasan (Kabag, Kasie, Pengawas, Koordinator GKM) ... 92

2 Lembar kuesioner... 92

3 Peta wilayah kegiatan Pertamina di Cilacap ... 95

4 Struktur organisasi Pertamina UP IV... 96

5 Block diagram FOC I LOC I/II/III... 97

6 Block diagram FOC II dan Paraxylene... 98

7 Daftar singkatan (keterangan block diagram) ... 99

8 Standar penilaian kriteria MBNQA 2002... 100

9 Jumlah penyebaran dan persentase pengembalian kuesioner... 100

10 Data tabulasi 93 responden fungsi awal... 101

11 Persentase varian item pertanyaan ... 103

12 Hasil uji regresi fungsi awal ... 105

13 Perhitungan regresi Minitab fungsi awal ... 106

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki beraneka sumber daya alam yang potensinya cukup besar. Salah satu diantaranya adalah sumber daya minyak, gas, dan panas bumi. Kendati telah dieksploitasi selama kurun waktu hampir 2 abad, ternyata masih banyak yang belum diusahakan. Tercatat baru 30 cekungan yang telah diekspolitasi, pada umumnya berada di wilayah barat Indonesia, dan 30 cekungan lagi di wilayah timur Indonesia yang disebut dengan wilayah frontier menanti untuk digarap di masa depan. Hasil minyak dan gas merupakan komoditi yang menguasai hajat hidup orang banyak serta merupakan komoditi yang diandalkan untuk sumber devisa bagi negara. Oleh karena itu, pemerintah membentuk Pertamina untuk mengusahakan dan mengembangkan sumber daya migas dan panas bumi di Indonesia.

PT Pertamina (Persero) merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berperan dalam memenuhi kebutuhan minyak dan gas bumi. Unit Pengolahan IV yang merupakan salah satu unit operasi dari direktorat pengolahan Pertamina yang berlokasi di Cilacap memiliki tujuan memuaskan konsumen dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dengan meningkatkan kinerja kilang yang berwawasan lingkungan dan berstandar internasional yang dikelola secara profesional. Adanya peningkatan permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dari tahun ke tahun di samping naiknya harga minyak dunia menyebabkan kenaikan harga BBM di dalam negeri. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Pertamina untuk terus meningkatkan efisiensi dan mutu pelayanannya, terutama setelah berakhirnya Public Service Obligation (PSO) terhadap pengadaan dan distribusi BBM yang menyebabkan persaingan menjadi semakin ketat.

Perhatian tehadap mutu pada saat sekarang ini, terutama jika dikaitkan dengan industri manufaktur dan jasa merupakan suatu keharusan. Mutu adalah permasalahan yang penting dan mendesak, karena jika perusahaan tidak menunjukkan kinerja mutu produk dan pelayanan padahal konsumen menuntutnya, maka akan berakibat pada beralihnya konsumen pada produk dan

(15)

pelayanan perusahaan lain. Hal ini berarti bahwa perusahaan dalam jangka panjang akan mengalami kehancuran. Dalam dunia bisnis global masa kini persaingan kian ketat, konsumen dan stakeholders menjadi semakin memperhatikan mutu, sehingga diperlukan manajemen mutu secara total.

Menciptakan mutu produk atau suatu output perusahaan berarti menciptakan suatu proses kerja dalam perusahaan yang menjamin dihasilkannya suatu produk dengan standar mutu tertentu. Manajemen mutu harus mewarnai proses kerja dari hulu sampai hilir, dari perencanaan hingga penjualan, bahkan pelayanan purna jual. Upaya peningkatan mutu antara lain adalah dengan memperbaiki rancangan, standar, dan prosedur kerja sedemikian rupa, sehingga jumlah produk yang cacat dapat ditekan sekecil mungkin. Pengendalian mutu itu sendiri sebenarnya bersifat pencegahan (Tim Warta Pertamina, 2002).

Perhatian Pertamina pada soal mutu baru dimulai tahun 1990-an. Bentuk yang paling dasar dari perhatian terhadap mutu ini adalah pembentukan Gugus Kendali Mutu (GKM). Beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain adalah berapa jumlah dan persentase karyawan yang terlibat, serta berapa jumlah gugus yang ada dan aktif. Setelah memperhatikan statistik yang ada, pimpinan PT Pertamina menilai kegiatan GKM di Pertamina umumnya menunjukkan tidak adanya suatu peningkatan yang signifikan dan dianggap sebagai kegiatan yang tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.

Pertamina pada dasarnya sudah menerapkan sistem dan tools manajemen mutu. Indikatornya, beberapa unit organisasi seperti Dinas Pengisian Pesawat Udara (DPPU), Lube Oil Blending Permanent (LOBP), Unit Pengolahan (UP), dan Laboratorium di Pertamina sudah memperoleh sertifikat ISO 9000, ISO 14000, dan ISO 17025. Penerapan Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA), salah satu indikator mutu, juga telah diujicobakan di Unit Pengolahan IV Cilacap. Dalam tiga tahun berturut-turut UP IV Cilacap memperoleh skor tertinggi untuk kriteria MBNQA di lingkungan Pertamina se-Indonesia (Tim Hupmas, 2005). Namun, hal tersebut dipandang belum cukup, karena masih banyak unit operasi dan fungsi-fungsi di Pertamina yang belum menjalankan manajemen mutu dengan baik.

(16)

Pimpinan PT Pertamina juga melihat masih belum ada keseragaman dalam pemahaman dan pelaksanaan manajemen mutu di perusahaan ini, di samping itu kemajuannya juga tidak merata. Ada yang sudah maju dengan cepat, tetapi juga ada yang masih tertinggal. Ketidakpuasan Pimpinan PT Pertamina tersebut bisa dipahami mengungat tuntutan mutu sudah sedemikian kuat, dan karenanya harus dilaksanakan dengan benar dan total. Telah disadari bahwa ilmu dan konsep manajemen mutu berkembang sangat cepat dan banyak sistem dan alat yang ditawarkan mulai dari yang basic, seperti GKM sampai yang advance seperti ISO 9000, ISO 14000, MBNQA, Six Sigma, Balanced Scorecard, dan Economic Value Added (EVA).

Langkah konkret telah diambil oleh PT Pertamina dengan melakukan pencanangan tahun 2002 sebagai Tahun Sadar Mutu (Quality Awareness Year). Pimpinan PT Pertamina menginstruksikan semua jajarannya menjadikan mutu sebagai sistem manajemen dan budaya kerja menuju Pertamina yang unggul, maju, dan terpandang. Pada saat yang sama, ditandatangani pula Kebijakan Mutu (Quality Policy) Pertamina yang selanjutnya diikuti oleh penandatanganan Quality Policy masing-masing oleh Direktur, Deputi Direktur, dan para General Manager. Langkah tersebut, mengawali penerapan Sistem Manajemen Mutu Pertamina (SMMP) atau secara serentak di seluruh jajaran Pertamina.

Pertamina mempunyai keinginan menjadi perusahaan kelas dunia. Adapun hal yang membedakan perusahaan biasa dengan perusahaan kelas dunia adalah cara melaksanakan pekerjaan dan budaya yang dimiliki dan senantiasa melakukan perubahan secara kontinu dalam setiap aktivitas yang dilakukan (continuous improvement). Untuk menjamin terjadinya kepuasan pelanggan, peningkatan nilai perusahaan, serta peningkatan kepuasan pekerja, di mana semua ini merupakan karakteristik dari perusahaan kelas dunia, diperlukan penerapan sistem manajemen mutu secara konsisten di perusahaan dengan mengacu kepada standar sistem mutu internasional (Tim Warta Pertamina, 2002).

(17)

1.2. Perumusan Masalah

Gugus Kendali Mutu (GKM) merupakan salah satu alat untuk mencapai keunggulan mutu yang berkelanjutan karena GKM mendorong para karyawan untuk mencari dan memecahkan persoalan yang ada di depan mata mereka. Hal ini menjadi cara yang sangat efektif untuk memperkenalkan mutu dan meningkatkan partisipasi karyawan. Tujuan pembentukan GKM seperti diungkapkan oleh Handoko (2000) antara lain adalah : (1) mengurangi kesalahan dan meningkatkan mutu, (2) mengilhami kerja tim yang lebih baik, (3) mendorong keterlibatan dalam tugas, (4) meningkatkan motivasi para karyawan, (5) menciptakan kemampuan memecahkan masalah, (6) menimbulkan sikap mencegah masalah, (7) memperbaiki komunikasi dan mengembangkan hubungan di antara manajer dan karyawan, (8) mengembangkan kesadaran keamanan yang tinggi, (9) memajukan karyawan dan mengembangkan kepemimpinan, (10) mendorong penghematan biaya. Dalam implementasi GKM tentunya ditemui banyak kendala, baik secara internal maupun eksternal.

PT Pertamina (Persero) UP IV Cilacap sebagai salah satu BUMN yang memiliki GKM tidak terlepas dari kendala dalam implementasi GKM. Hingga saat ini tercatat ada 155 gugus yang terdiri dari 116 Gugus Kendali Mutu (GKM) dan 39 Proyek Kendali Mutu (PKM). Salah satu kendala yang dihadapi adalah kendala dalam pemenuhan target produksi makalah untuk konvensi, dilihat dari masih minimnya gugus yang tampil pada presentasi Manajemen Mutu Terpadu (MMT) UP IV per fungsi pada awal tahun 2005. Namun, secara bertahap seiring dengan berjalannya waktu, partisipasi gugus dalam konvensi MMT meningkat hingga mampu memenuhi target sebesar 88,4 persen (Gambar 1). Hal yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah peningkatan secara kuantitas ini juga menunjukkan peningkatan kualitas yang memberikan kontribusi pada peningkatan kinerja perusahaan.

(18)

0 5 10 15 20 25 30 35

Februari April Mei Juni Juli Agustus September

Bulan J u m la h K e n d a li M u tu GKM PKM

Gambar 1. Grafik Partisipasi GKM dan PKM pada Konvensi MMT Pertamina UP IV Tahun 2005 (www.pertamina-up4.co.id, 2005 (diolah))

Menindaklanjuti pencanangan tahun kesadaran mutu, maka efektivitas GKM perlu dipertanyakan. Dalam hal ini GKM akan dilihat efektivitasnya dalam peningkatan kinerja perusahaan melalui peningkatan efisiensi dan produktivitas, khususnya dikaitkan dengan Manajemen Mutu Terpadu (MMT). Rumusan masalah yang menarik untuk dikaji adalah sejauhmana efektivitas Gugus Kendali Mutu dalam peningkatan kinerja mutu PT Pertamina (Persero) UP IV Cilacap.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang ada, maka tujuan-tujuan yang ingin didapatkan dari penelitian ini, yaitu :

1. Mengetahui implementasi Gugus Kendali Mutu yang ada di PT Pertamina (Persero) UP IV Cilacap.

2. Mengidentifikasi indikator kinerja perusahaan yang nyata dan dapat diidentifikasi, khususnya yang terkait dengan mutu.

3. Mengukur korelasi efektivitas Gugus Kendali Mutu dengan kinerja PT Pertamina (Persero) UP IV Cilacap meliputi kinerja mutu dan produktivitas.

(19)

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak yang berkepentingan, antara lain bagi perusahaan, yaitu sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pengembangan Gugus Kendali Mutu yang telah ada. Dengan mengetahui efektivitas GKM dalam peningkatan kinerja maka perusahaan dapat menjadikannya sebagai bahan evaluasi terhadap konsep GKM. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian difokuskan pada efektivitas peran Gugus Kendali Mutu meliputi kinerja mutu dan produktivitas yang ada di PT Pertamina (Persero) Unit Pengolahan IV Cilacap khususnya pada Fungsi Kilang. Informasi tentang aktivitas GKM dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara kepada para fasilitator GKM, karyawan, dan pimpinan UP IV. Sedangkan informasi mengenai kinerja UP IV Cilacap diperoleh melalui laporan tahunan UP IV Cilacap.

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Mutu

Chandra et al. (1991) mengatakan bahwa kata mutu merupakan salah satu kata yang sering digunakan namun sulit untuk dimengerti. Mutu adalah hal yang subjektif dan relatif yang mengandung unsur preferensi dan prasangka. Ada dua karakteristik yang terkandung dalam mutu. Karakteristik pertama yaitu atribut yang dapat diukur, seperti dimensi, komposisi, spesifikasi, kemurnian, dan lain sebagainya. Karakteristik yang kedua adalah atribut yang tidak dapat diukur, seperti rasa, selera, penampilan, daya tarik pelanggan, jasa, dan dukungan penjualan dan atribut tak terukur ini lebih bersifat subjektif.

Lebih jauh Chandra et al. (1991) mengungkapkan bahwa dalam sejumlah besar kasus, atribut tak terukur secara sendiri tidak dapat memberikan nilai tambah pada suatu produk. Aspek fungsional dari produk juga penting. Adapun salah satu parameter mutu adalah kesenjangan (gap) yang tercipta antara ekspektasi pelanggan dan kemampuan produsen. Semakin kecil gap, maka semakin baik kemampuan produsen dalam memenuhi keinginan pelanggan. Mutu yang tercipta dari biaya yang tinggi menjadi tidak berarti. Harus ada keseimbangan antara mutu yang dapat diterima oleh konsumen dan harga yang bersedia dibayar konsumen.

Mutu merupakan indikator efisiensi dari sistem ekonomi yang produktif. Sistem yang efisien harus memproduksi barang dan jasa yang dapat diterima dengan harga yang ekonomis. Output harus memenuhi spesifikasi mutu, sementara itu biaya diperoleh melalui optimisasi alokasi sumberdaya. Mutu menghasilkan efisiensi proses dan mampu mengindikasi performa yang baik. Mutu adalah kunci menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Gambar 2 menjelaskan kaitan antara mutu, produktivitas, dan kesejahteraan.

(21)

Mutu Harga Penjualan Profit

Produktivitas Ekspansi

Kesejahteraan Pengembangan Pengkaryaan Pertumbuhan Terus-menerus

Gambar 2. Kaitan antara mutu, produktivitas, dan kesejahteraan (Chandra, et al., 1991)

Produktivitas dapat diartikan sebagai perbandingan antara keluaran tertentu dengan jumlah masukan untuk suatu jangka waktu tertentu. Dalam mencapai perbandingan yang memadai, motivasi merupakan salah satu komponen yang perlu dipertimbangkan (Mundel dalam Kustiwan, 1996). Mangkunegara (2002) mengungkapkan definisi motivasi menurut Stanford adalah suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu.

Menurut Atmosoeprapto dalam Suryandani (2001), ada beberapa hal yang diperlukan untuk memperbaiki produktivitas, yaitu : (1) dukungan dari manajemen puncak, (2) pengetahuan peranan kunci karyawan, (3) pemahaman dan pengertian dari semua level akan maksud dan tujuan dari upaya perbaikan produktivitas, (4) pengadaan sarana dan pengembangan tolok ukur dalam upaya pencapaian sasaran, (5) perbaikan dalam produktivitas sejauh mungkin tanpa mengganggu keselamatan kerja.

2.1.1. Mutu Produk

Menurut Ishikawa dalam Azhar (2005), mutu adalah tingkat kemampuan dalam menghasilkan produk untuk memuaskan kebutuhan dan harapan konsumen, di mana konsumen sebagai pengguna produk terdiri dari :

1. Konsumen eksternal, yaitu pengguna produk yang bukan merupakan anggota organisasi yang memproduksi produk, meliputi pihak yang membeli produk, pemerintah, masyarakat, dan lain-lain.

(22)

2. Konsumen internal, yaitu semua orang di dalam organisasi yang menerima produk dari bagian lain dan memberikan sejumlah perlakuan terhadap produk dalam rangka menghasilkan suatu produk akhir.

Prawirosentono (2004) mengungkapkan pendapat Joseph Juran tentang mutu barang, bahwa quality is fitness for use yang bila diterjemahkan secara bebas berarti sebagai bahwa kualitas (mutu produk) berkaitan dengan kenyamanan barang tersebut digunakan. Artinya, bila suatu barang secara layak dan baik digunakan berarti barang tersebut bermutu baik.

Pengertian mutu yang dikemukakan Joseph Juran tersebut semata-mata memandang mutu dari pihak konsumen. Dipandang dari sisi produsen, pengertian mutu lebih rumit, karena menyangkut berbagai segi sebagai berikut : merancang (to design), memproduksi (to produce), mengirimkan atau menyerahkan barang ke konsumen (to deliver), pelayanan pada konsumen (consumer service), dan digunakannya barang atau jasa oleh konsumen tersebut. Jadi, ditinjau dari produsen definisi mutu suatu produk adalah keadaan fisik, fungsi, dan sifat suatu produk bersangkutan yang dapat memenuhi selera dan kebutuhan konsumen dengan memuaskan sesuai nilai uang yang telah dikeluarkan (Prawirosentono, 2004)

Sifat khas mutu suatu produk yang andal harus mempunyai multi dimensi, karena harus memberi kepuasan dan nilai manfaat yang besar bagi konsumen dengan melalui berbagai cara. Oleh karena itu, sebaiknya setiap produk harus mempunyai ukuran yang mudah dihitung (misalnya berat, isi, luas, dan diameter) agar mudah dicari konsumen sesuai dengan kebutuhannya. Tetapi di samping itu pun harus ada ukuran yang bersifat kualitatif, seperti warna yang memenuhi trend dan berbentuk menarik.

Prawirosentono (2004) mengungkapkan bahwa secara umum, dimensi spesifikasi mutu produk terdiri dari :

1. Kinerja (Performance)

Kinerja suatu produk harus dicantumkan pada labelnya, misalnya isi, berat, kekentalan, komposisi, kekuatan dalam putaran (Rotation Per Minute atau RPM), serta lama penggunaan. Sifat kinerja suatu produk sering pula disebut dengan karakteristik struktural (structural characteristic).

(23)

2. Keistimewaan (Types of Features)

Produk yang bermutu mempunyai keistimewaan khusus dibandingkan dengan produk lain. Misalnya, konsumen pembeli televisi sering mencari televisi yang mempunyai keistimewaan seperti suara stereo dan tingkat resolusi yang tinggi. 3. Kepercayaan dan Waktu (Reliability and Durability)

Produk yang bermutu baik adalah produk yang mempunyai kinerja yang konsisten baik dalam batas-batas perawatan normal. Misalnya, oli mesin yang baik mempunyai kepekatan dan kekentalan yang memadai dan berjangka 5.000 km (durability).

4. Mudah Dirawat dan Diperbaiki (Maintability and Serviceability)

Produk bermutu baik harus pula memenuhi kemudahan untuk diperbaiki atau dirawat. Dimensi ini merupakan ukuran mudahnya dirawat sehingga barang tersebut dapat beroperasi secara baik.

5. Sifat Khas (Sensory Characteristic)

Beberapa jenis produk mudah dikenal dari wanginya, bentuknya, rasanya, atau suaranya. Dimensi ini memberikan citra tersendiri pada mutu produk tersebut. 6. Penampilan dan Citra Etis

Dimensi lain dari produk yang bermutu adalah persepsi konsumen atas suatu produk. Misalnya, betapa ramah dan cepatnya pelayanan British Columbia Telecom (Kanada) terhadap para konsumen.

Produk yang bermutu merupakan produk yang memenuhi standar asosiasi nasional dan internasional. Untuk produk BBM, dalam memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), terdapat Badan Standarisasi Nasional (BSN), sedangkan untuk standar spesifikasi internasional terdapat beberapa seri ISO.

2.1.2. Mutu Proses

Semua produk diproduksi dan diserahkan kepada pelanggan melalui suatu proses kerja atau proses bisnis. Proses kerja atau proses itu perlu ditingkatkan performansinya secara terus-menerus agar mampu memuaskan pelanggan secara terus-menerus pula. Suatu proses dapat didefinisikan sebagai integrasi sekuensial dari orang, material, metode, dan mesin atau peralatan, dalam suatu lingkungan guna menghasilkan nilai tambah output untuk pelanggan. Suatu proses

(24)

mengkonversi input terukur ke dalam output terukur melalui sejumlah langkah sekuensial yang terorganisasi (Gaspersz, 2003).

Mutu produk merupakan merupakan tanggung jawab seluruh lini organisasi. Organisasi ini yang membuat nilai tambah (value added) dari input melalui proses pengolahan sehingga menjadi output. Bila hal itu digambarkan akan berbentuk seperti Gambar 3 berikut ini.

Tugas

Proses Kerja : Input Nilai Hasil Konsumen Tambah (Output)

(Proses)

Metode Pengawasan : Proses Pengawasan Inspeksi

Gambar 3. Proses kerja dan metode pengawasan (adaptasi dari Prawirosentono, 2004)

Masukan (input) dalam sistem proses produksi pada prinsipnya harus diidentifikasikan terlebih dahulu, karena kualitas input akan mempengaruhi kualitas output. Input tersebut dapat merupakan bahan baku, bahan pembantu, suku cadang untuk dirakit (subassemblies), juga informasi yang diperlukan untuk membangun suatu tugas kerja (work task). Output dipengaruhi oleh enam unsur dasar, yakni : (1) manusia, (2) metode (method), (3) mesin (machine), (4) bahan (materials), (5) ukuran (measurement), (6) lingkungan (environment). Hal ini tergambar dalam Gambar 4.

Ukuran Mesin Manusia

Input Output

Lingkungan Bahan baku Metode

Gambar 4. Kombinasi unsur-unsur yang membentuk proses kerja (Prawirosentono, 2004)

(25)

Gaspersz (2003) mengemukakan bahwa terdapat empat kelompok orang yang terlibat dalam operasi dan perbaikan proses, yaitu :

1. Pelanggan (Customers)

Pelanggan adalah orang yang akan menggunakan output secara langsung atau orang yang akan menggunakan output itu sebagai input dalam proses kerja mereka.

2. Kelompok Kerja (Work Group)

Kelompok kerja adalah orang-orang yang bekerja dalam proses untuk menghasilkan dan menyerahkan output yang diinginkan itu.

3. Pemasok (Supplier)

Pemasok adalah orang yang memberikan input ke proses kerja. Orang-orang yang bekerja dalam proses pada kenyataannya merupakan pelanggan dari pemasok.

4. Pemilik (Owner)

Pemilik adalah orang yang bertanggung jawab untuk operasi dari proses dan untuk perbaikan proses itu.

Setiap organisasi dapat mengidentifikasi proses kunci yang mempengaruhi keberhasilannya. Apabila proses kunci telah dapat diidentifikasi, perbaikan sistematik dan terus-menerus dapat dimulai. Gaspersz (2003) mengemukakan suatu model perbaikan proses Tenner dan DeToro yang terdiri dari enam langkah, yaitu : (1) mendefinisikan masalah dalam konteks proses, (2) identifikasi dan dokumentasi proses, (3) mengukur performansi, (4) memahami mengapa suatu masalah dalam kontek proses terjadi, (5) mengembangkan dan menguji ide-ide, (6) implementasi solusi dan evaluasi.

2.2. Total Quality Management

Menurut Gaspersz (2003), pada dasarnya Total Quality Management (TQM) didefinisikan sebagai suatu cara meningkatkan performansi secara terus-menerus (continuous performance improvement) pada setiap level operasi atau proses, dalam setiap area fungsional dari suatu organisasi, dengan menggunakan sumber daya manusia dan modal yang tersedia. Sedangkan Feigenbaum dalam Kustiwan (1996) berpendapat bahwa TQM adalah suatu sistem yang efektif untuk

(26)

memadukan pengembangan mutu, pemeliharaan mutu, dan usaha-usaha perbaikan mutu dari berbagai kelompok di dalam suatu organisasi untuk memungkinkan produksi barang dan jasa berada pada tingkat paling ekonomis.

Total Quality Management (TQM) dalam bahasa Indonesia disebut Manajemen Mutu Total (MMT) atau Manajemen Mutu Terpadu (Integrated Quality Control). Hampir lima dekade yang lalu istilah TQM telah tumbuh dan berkembang sebagai hasil sintesis dari berbagai sumber. Semula ide TQM muncul pertama kali di Amerika Serikat, tetapi kemudian diorganisasikan dan dilaksanakan di beberapa perusahaan Jepang. Khususnya setelah Perang Dunia II, TQM ini diseminarkan sekaligus diterapkan dalam bentuk program-program pelatihan di berbagai sektor industri. Dua orang pakar yang merupakan ahli TQM, baik di Jepang maupun di Amerika Serikat adalah W. Edward Demming dan Joseph M. Juran (Prawirosentono, 2004).

Peran Demming terutama mengintroduksi TQM dengan mencegah terjadinya produk cacat (defect product). The Demming Wheel mencakup tahapan dalam mencapai kemajuan, yaitu Plan, Do, Check, Action (PDCA). Juran mempunyai gagasan bahwa pihak manajemen harus bertanggung jawab dan terlibat secara penuh atas mutu produk melalui trilogi mutu, yaitu : (1) perencanaan mutu (quality planning), (2) monitor dan kendali mutu (monitoring and control on quality), (3) memperbaiki mutu (quality improvement). Sedangkan Kaoru Ishikawa lebih menyumbangkan pikirannya dalam hal metode perbaikan terus-menerus (continuous improvement). Philip Crosby berasumsi bahwa ada pertukaran (trade off) antara mutu barang yang berkualitas (better quality) dengan biaya lebih rendah (lowering cost). Pendapat ini diperkuat oleh Prawirosentono (2004), menurutnya mencari mutu yang baik sering digunakan sistem produksi yang mempunyai produktivitas lebih tinggi, sehingga biaya per unit bahkan relatif lebih murah.

(27)

2.2.1. Prinsip-Prinsip Total Quality Management (TQM)

Prawirosentono (2004) mengungkapkan delapan prinsip utama dari MMT atau TQM, yakni sebagai berikut :

1. Tanggung jawab utama manajemen puncak (top management)

2. Mutu harus difokuskan pada konsumen dan evaluasinya harus berbasis konsumen.

3. Desain proses produksi dan metode kerja harus jelas untuk mencapai kesesuaian mutu produk (conformance quality product).

4. Setiap karyawan bertanggung jawab atas tercapainya mutu produk yang baik. 5. Mutu tidak boleh dinilai setelah menjadi barang jadi, tetapi harus sejak awal

pembuatan komponen.

6. Temukan masalah secara cepat lalu pecahkan secara cepat pula (identify problem quickly and corrected immediately)

7. Organisasi harus berusaha keras (strive) melaksanakan perbaikan mutu produk secara terus-menerus.

8. Perusahaan harus bekerja sama dengan pemasok bahan untuk melaksanakan TQM.

2.2.2. Faktor Kegagalan Menerapkan MMT atau TQM

Banyak perusahaan yang mampu menerapkan MMT atau TQM, tetapi tidak sedikit pula yang gagal menerapkannya. Faktor-faktor yang menyebabkan penghalang bagi suatu perusahaan dalam menerapkan MMT atau TQM adalah sebagai berikut : (1) kesenjangan komitmen manajemen puncak, (2) salah memfokuskan perhatian, (3) tidak tersedianya karyawan yang memadai dan mendukung, (4) hanya mengandalkan pelatihan semata-mata, (5) harapan memperoleh sesaat, bukan hasil jangka panjang, (6) memaksa mengadopsi suatu metode padahal tidak cocok (Prawirosentono, 2004).

2.2.3. ISO 9000, 14000, dan MBNQA

Metode lain untuk mendorong mencapai produk bemutu lebih baik adalah membangun kebijakan sertifikasi standar mutu internasional yang dikenal dengan

(28)

International Standar Organization atau ISO (Prawirosentono, 2004). Di antaranya adalah ISO seri 9000 yang merujuk aspek disain, pengembangan, produksi, tes, dan pelayanan produk, sedangkan ISO 14000 dikhususkan pada aspek lingkungan. Selain ISO series, terdapat pula alat mutu lainnya seperti Six Sigma.

Menurut Gaspersz (2003), Malcolm Baldrige National Quality Award (MNBQA) adalah sebuah penghargaan yang diberikan oleh Kongres pada tahun 1987 untuk meningkatkan kesadaran manajemen mutu dan untuk mengakui perusahaan Amerika Serikat yang telah melaksanakan sistem manajemen mutu yang berhasil. Dua penghargaan diberikan setiap tahun untuk setiap tiga kategori : perusahaan manufaktur, perusahaan jasa, dan bisnis kecil.

2.2.4. Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (BSC) adalah sistem pengukuran kinerja dan pelaporan yang mengusahakan suatu keseimbangan antara tolok ukur keuangan dan operasi, mengaitkan kinerja terhadap ganjaran, dan memberikan pengakuan yang eksplisit terhadap diversitas dari tujuan organisasional (Tunggal, 2003). Menurut Mulyadi (2001), BSC digunakan untuk menyeimbangkan usaha dan perhatian eksekutif ke kinerja keuangan dan nonkeuangan, serta kinerja jangka pendek dan jangka panjang, oleh karena itu digunakan ukuran komprehensif yang mencakup empat perspektif, yaitu : (1) keuangan, (2) pelanggan, (3) proses bisnis atau intern, (4) pembelajaran dan pertumbuhan.

2.3. Gugus Kendali Mutu (GKM) 2.3.1. Definisi dan Ciri-Ciri GKM

Menurut Chandra et al. (1991), GKM adalah sekelompok orang dari wilayah kerja yang sama, datang bersama secara sukarela untuk mengidentifikasi permasalahan dalam wilayah kerja mereka, menganalisis, dan mencari solusinya. Gugus tersebut mengajukan solusi pada manajemen dan melaksanakannya setelah disetujui. Tinjauan ulang dan tindakan lanjut dari pelaksanaan solusi juga merupakan tanggung jawab dari Gugus.

(29)

Sebuah Gugus biasanya terdiri dari enam sampai delapan anggota. Anggota Gugus mengadakan pertemuan, idealnya seminggu sekali secara rutin. Pada pertemuan pertama, anggota Gugus menentukan nama untuk Gugus mereka dan memilih seorang pemimpin Gugus untuk mengarahkan pengambilan keputusan dalam setiap pertemuan. Mereka menentukan hari, waktu, dan tempat untuk mengadakan pertemuan setiap minggu (Chandra et al., 1991).

Konsep dasar GKM adalah anggapan bahwa penyebab persoalan mutu atau produksi tidak diketahui oleh para pekerja dan manajemen, juga diandaikan bahwa pekerja pabrik mempunyai pengetahuan yang siap pakai, kreatif, dan dapat dilatih untuk menggunakan kreativitas alamiah dalam pemecahan persoalan pekerjaan. Walaupun demikian, GKM merupakan pendekatan yang membina manusia, bukannya pendekatan penggunaan manusia (Crocker et al., 2004).

GKM merupakan mekanisme formal dan dilembagakan yang bertujuan untuk mencari pemecahan persoalan dengan memberikan tekanan pada partisipasi dan kreativitas di antara karyawan. Setiap gugus juga bertindak sebagai mekanisme pemantau yang membantu organisasi dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan dalam memantau kesempatan. Mekanisme ini meneliti lingkungan sekitarnya untuk melihat kesempatan, tidak menunggu bergerak jika persoalan timbul, dan tidak menghentikan kegiatannya jika suatu persoalan telah ditemukan dan dipecahkan. Ini berarti bahwa untuk kebaikan organisasi sebesar-besarnya, GKM harus bekerja terus-menerus dan tidak tergantung pada proses produksi (Crocker et al., 2004). Ciri-ciri umum GKM dapat dilihat pada Tabel 1.

Jepang merupakan salah satu negara yang menerapkan GKM dan mencapai hasil yang sangat baik. Keberhasilan ini bermula pada suatu kejadian di tahun 1950, yaitu ketika Japanese Union of Scientists and Engineers (JUSE) mengundang Demming, seorang ahli Statistical Quality Control (SQC) dari Amerika Serikat, untuk bicara di muka para ahli industri yang saat itu tengah mencari jalan keluar dalam menghadapi krisis ekonomi dan sosial Jepang akibat perang. Pada tiga dekade, yaitu 1950, 1960, dan 1970 menjadi periode pengembangan Total Quality Control (TQC), khususnya di Jepang, yang menghasilkan kualitas barang produksi negara itu mencapai tingkat keunggulannya, sehingga mampu bersaing dalam perdagangan dunia.

(30)

Tabel 1. Ciri-ciri umum GKM

Tujuan  Untuk meningkatkan komunikasi, terutama antara karyawan lini dengan manajemen.  Mencari dan memecahkan masalah.

Organisasi

 GKM terdiri atas seorang kepala dengan delapan sampai sepuluh karyawan yang berasal dari satu bidang pekerjaan.

 Gugus juga mempunyai seorang koordinator dan satu atau lebih fasilitator yang bekerja erat dengan gugus.

Pemilihan Anggota Gugus

 Partisipasi anggota dalam gugus bersifat sukarela.

 Partisipasi kepala mungkin sukarela mungkin tidak.

Ruang Lingkup Persoalan yang Dianalisis oleh

Gugus

 Gugus memilih sendiri persoalan yang akan dibahasnya.

 Pada permulaannya, gugus didorong untuk memilih persoalan yang berasal dari bidang pekerjaannya sendiri

 Persoalan tidak terbatas pada mutu, tapi juga mencakup produktivitas, biaya, keselamatan kerja, moral, lingkungan, dan bidang lainnya. Latihan  Latihan formal dalam hal teknik pemecahan persoalan biasanya merupakan bagian dari

pertemuan gugus.

Pertemuan  Biasanya satu jam per minggu. Penghargaan bagi

Kegiatan Gugus

 Biasanya tidak ada penghargaan dalam bentuk uang.

 Penghargaan yang paling efektif adalah kepuasan anggota gugus karena pemecahan yang mereka sumbangkan.

Sumber : Crocker et al. (2001)

Tak hanya Jepang, di Amerika Serikat bahkan pengendalian mutu ini telah dikembangkan sejak dasawarsa 1940 oleh Juran, Demming, Feigenbaum, dan Crosby. Setelah diperkenalkan ilmu ini di Jepang, justru yang berkembang adalah TQC ala Jepang, The Japanese Way, yang dilakukan sungguh-sungguh oleh kalangan industri di Jepang, yang saat itu terdesak untuk membangun kembali struktur industri yang dihancurkan selama Perang Dunia II.

TQC masuk ke Indonesia baru pada dekade 1980. Pada awal 1980-an itu, TQC mulai dikenalkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Perindustrian melalui saluran unit-unit BUMN. Adapun penerapan Pengendalian

(31)

Mutu Total (PMT) dalam kegiatan GKM memang tidak mudah. Problem umumnya di perusahaan manapun adalah tingkat keterlibatan yang tidak signifikan dari para pekerja dan terutama pimpinan. Jumlah GKM pun umumnya hanya ramai saat menjelang acara konvensi saja (Tim Warta Pertamina, 2002).

2.3.2. Langkah-Langkah Aktual Pembentukan GKM

Crocker et al. (2004) memaparkan secara ringkas langkah-langkah aktual dalam proses pelaksanaan GKM, terdiri dari meminta bantuan konsultan dari luar, memperoleh komitmen, membentuk struktur Gugus, dan menempatkan program dalam tempat yang tepat, yang akan diuraikan sebagai berikut :

- Konsultan dari Luar

1. Suatu keputusan harus dibuat apakah akan menggunakan departemen pengembangan organisasi sendiri atau menggunakan spesialis atau konsultan dari luar untuk membantu dalam pelaksanaannya.

- Memperoleh Komitmen

Langkah selanjutnya dalam proses adalah memperoleh komitmen dari pihak utama yang terkait, untuk melakukan hal ini maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

2. Diadakan seminar di luar lokasi di mana anggota manajemen senior diperkenalkan dengan konsep GKM. Biasanya tinjauan ringkas atas persoalan motivasi dan kepemimpinan, keuntungan gugus, kebutuhan akan komitmennya, peranan baru dan filsafat manajemen yang diperlukan dan topik yang sejenis dibahas.

3. Manajer senior menilai pendekatan dan membuat keputusan mengenai apakah konsep tersebut akan diperkenalkan pada manajemen menengah atau tidak. Manajemen senior dapat memutuskan pada tahap ini untuk melanjutkan dengan pelaksanaan atau membentuk suatu kelompok peneliti untuk melakukan penelitian dan membuat laporan. Walaupun demikian ada baiknya menunggu sampai masukan diterima dari manajemen menengah. Walaupun suatu keputusan yang diambil oleh kelompok lebih senior dapat dilaksanakan dengan cepat, keterlibatan manajemen

(32)

menengah memberikan kejernihan tentang tujuan organisasi dan untuk umpan balik dan pertukaran informasi.

4. Seminar di tempat lain dilakukan untuk manajemen menengah dan anggota aktif serikat buruh.

5. Baik manajemen menengah dan eksekutif serikat buruh membuat analisis yang berdiri sendiri mengenai program tersebut, keuntungan dan kerugiannya, peranan barunya dan apakah secara aktif mendukung langkah pertama dalam proses pelaksanaannya atau tidak.

- Membentuk Struktur Gugus

6. Manajemen senior mengumumkan pada karyawan dalam organisasi bahwa mereka berniat untuk melanjutkan pelaksanaan program GKM, alasan keputusan tersebut, dan keuntungan bagi perusahaan dan karyawan di masa datang.

7. Dibentuk panitia pengarah (steering committee). Anggota panitia pengarah dipilih dari berbagai departemen dan tingkatan. Kelompok ini membuat kebijaksanaan dan tidak terlibat dalam kegiatan sehari-hari.

8. Dipilih fasilitator oleh panitia pengarah yang menjadi anggota tambahan panitia tersebut. Fasilitator adalah penghubung antara panitia pengarah dan para pemimpin gugus.

- Menempatkan Program dalam Tempat yang Tepat

9. Panitia pengarah, bersama-sama dengan konsultan (jika ada) membuat pedoman dan prinsip.

10. Fasilitator mengadakan pertemuan informal tentang GKM dan proses kendali mutu untuk anggota sumber daya manusia dan staf pengawas lainnya.

11. Fasilitator mengadakan pertemuan informal untuk para pekerja bawahan. Diberikan penjelasan mengenai konsep GKM, kerangka umum dan pedoman tempat GKM berfungsi, struktur, hubungan pelaporan dan proses serta kegiatan gugus.

12. Fasilitator, panitia pengarah, dan konsultan dari luar membuat perencanaan pendahuluan yang bertujuan untuk memperkirakan persoalan, tindak-tanduk dan sikap negatif yang mungkin terjadi, dan konsekuensi hal

(33)

ini terhadap para peserta dan organisasi. Pola reaksi dibuat untuk dapat dipergunakan agar dapat menghindarkan pemadaman kebakaran jika persoalan memang timbul.

13. Suatu ajakan bagi sukarelawan dikirimkan pada setiap anggota organisasi dalam bentuk formulir yang harus diisi.

14. Fasilitator bersama-sama dengan panitia pengawas memilih pemimpin tim dari para pengawas tingkat pertama.

15. Fasilitator membuat program latihan bagi pemimpin tim dan melatih mereka.

16. Anggota tim diberi latihan. 17. Setiap gugus mulai berfungsi.

18. Fasilitator membuat program latihan dan membantu pemimpin tim dalam membuat pertemuan latihan mini yang menguraikan kebutuhan gugus untuk minggu mendatang.

2.3.3. Mekanisme Kerja GKM

GKM menangani berbagai macam masalah yang melalui beberapa tahapan. Masalah tersebut satu demi satu ditangani melalui tahap yang berkelanjutan, yakni : (1) pengumpulan masalah, (2) pemilihan masalah, (3) analisis masalah, (4) pemecahan masalah, (5) presentasi manajemen, (6) implementasi, (7) peninjauan ulang dan tindak lanjut (Chandra et al., 1991).

1. Pengumpulan Masalah

Tugas pertama dari anggota gugus pada pertemuan pertama adalah mengidentifikasi dan mengumpulkan masalah. Angka prioritas diberikan pada setiap masalah sesuai dengan kriteria yang telah disusun, misalnya manfaat potensial dan tingkat kepentingan. Pengumpulan masalah adalah aktivitas yang dilakukan secara berkesinambungan. Dalam menemukan masalah, Crocker (2004) beberapa metode, seperti (1) Sumbang Saran (SS), yaitu pertemuan untuk mengutarakan buah pikiran yang bertujuan mengutarakan sebanyak mungkin gagasan dalam waktu yang tersedia. Variasi lainnya adalah (2) pendekatan Gordon, (3) teknik kotak hitam, (4) sistem sintetik, (5) metode buku catatan kolektif, (6) pertemuan Philip 66.

(34)

2. Pemilihan Masalah

Anggota gugus memilih salah satu dari dari sekumpulan masalah sesuai dengan prioritas. Setiap orang boleh mengajukan masalah pada gugus, namun prioritas diputuskan oleh gugus. Dalam memilih masalah biasanya digunakan pendekatan trisula (Crocker, 2004). Pendekatan ini meliputi : (1) singkirkan semua masalah yang tidak berhubungan dengan tujuan unit, (2) singkirkan masalah tambahan yang tidak memenuhi kriteria operasi yang telah ditentukan oleh gugus, (3) menggunakan teknik Delphi yang telah direvisi untuk menentukan persoalan yang paling unik. Teknik Delphi adalah suatu prosedur yang dipergunakan dalam penilaian dua atau lebih alternatif..

3. Analisis Masalah

Setiap masalah memiliki dampak. Sangatlah penting untuk mengidentifikasi penyebab mendasar sebelum memikirkan langkah perbaikan. Selama tahap ini gugus bertukar pikiran untuk menemukan hubungan sebab-akibat. Ada dua metode utama untuk membuat analisis sebab akibat, (1) diagram sebab-akibat (diagram Ishikawa atau Fishbone), dan analisis proses atau diagram arus. Pada diagram Ishikawa, ada empat bidang utama di mana dapat terjadi kelemahan, yaitu material (bahan), equipment (peralatan), methods (metode), dan people (manusia). Analisis masalah didasarkan pada fakta, bukan perasaan dan penilaian subjektif. Gugus menggunakan sejumlah alat pengumpul data, yaitu dengan menggunakan checklist atau checksheet, grafik garis, batang, atau lingkaran maupun histogram atau diagram pencar, membuat analisis pareto, melakukan sampling dan analisis statistik.

4. Pemecahan Masalah

Kondisi lingkungan yang sesuai dan proses berpikir grup dikombinasikan dengan keahlian di tempat kerja menghasilkan pemecahan yang cocok. Seringkali alternatif pemecahan masalah sangat beragam sehingga harus dipilih solusi optimum. Secara umum, pemecah masalah yang paling baik adalah orang yang terlibat dalam tempat kerja itu sendiri, dan solusi yang diberikan adalah yang paling layak.

(35)

Pemecahan masalah dipresentasikan di depan pihak manajemen perusahaan. Anggota gugus memberikan presentasi sekitar 20 menit, menyoroti pengamatan utama yang telah dilakukan dan manfaat dari rekomendasi yang diberikan. Presentasi ini merupakan puncak dari usaha gugus yang menggambarkan kebanggaan dan kepuasan. Penghargaan dari atasan yang dihadiri rekan sejawat merupakan motivator yang sangat kuat. Selain membantu anggota GKM untuk menjual ide-idenya pada manajemen, presentasi atau konvensi juga bisa memotivasi anggota gugus potensial. Hal ini berarti bahwa filosofi pengendalian mutu tersebar di seluruh organisasi. 6. Implementasi, Peninjauan Ulang, dan Tindak lanjut

Anggota gugus membuat jadwal pelaksanaan makalah yang telah dibuat setalah mendapat persetujuan dari pihak manajemen perusahaan. Mereka juga meninjau ulang hasil yang diperoleh dari proyek ini dan mengambil tindak lanjut jika diperlukan, hal ini merupakan bentuk tanggung jawab gugus yang berkelanjutan.

2.3.4. Penilaian Kinerja Gugus

Penilaian gugus memerlukan tiga jenis pengukuran, yaitu : (1) ukuran produktivitas obyektif, (2) ukuran sikap subyektif mengenai pengaruh gugus terhadap organisasi, dan (3) analisis proses intern yang berlangsung dalam gugus (Crocker et al., 2004). Pengukuran produktivitas mencakup mutu, scrap, kuantitas, biaya marjinal, biaya prasarana, peralatan, keamanan kerja dan kecelakaan, perawatan, dan waktu kosong. Sikap dan pergaulan meliputi kepercayaan timbal-balik, komunikasi, hubungan atasan dan bawahan, bolos kerja, keluhan kerja, penggunaan keterampilan, keanggotaan gugus, kepuasan pribadi, jenis dan jumlah persoalan yang dipecahkan. Proses gugus mencakup struktur, pengaruh, pemecahan persoalan, keterbukaan, dan pemantauan. Pengukuran jenis kedua yaitu sikap subyektif mengenai pengaruh gugus terhadap organisasi menggunakan kuesioner yang terdiri dari pertanyaan mengenai : (1) gugus dan latihan (aspek teknis gugus), (2) proses gugus (keberhasilan pemecahan masalah), (3) efektivitas gugus, (4) sikap atau perasaan terhadap gugus dan organisasi, dan (5) pertanyaan mengenai identitas responden.

(36)

2.4. Kinerja Perusahaan 2.4.1. Pengertian Kinerja

Istilah kinerja berasal dari kata performance, yang berarti prestasi yang dicapai oleh seseorang (Mangkunegara, 2002). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Oktaviani (2004), kinerja adalah sesuatu yang dicapai atau prestasi yang diperlihatkan. Kinerja juga dapat diartikan sebagai kegiatan menunaikan tugas dan hasil karya (Narni dalam Oktaviani, 2004).

Peningkatan kinerja dilihat dari perubahan dari kinerja awal (baseline performance) menjadi kinerja yang diinginkan di masa mendatang. Hal ini djielaskan dalam Gambar 5.

K Kesempatan I untuk N Peningkatan E R J A WAKTU

Gambar 5. Peningkatan kinerja perusahaan (Gaspersz, 2004)

2.4.2. Pemilihan Ukuran-Ukuran Kinerja

Menurut Gaspersz (2004), terdapat enam langkah yang dapat diikuti ketika melakukan pemilihan ukuran-ukuran kerja : (1) memilih ukuran kinerja awal, (2) mengevaluasi ukuran-ukuran kinerja, (3) memilih ukuran-ukuran kinerja kunci, (4) menentukan kebutuhan data, (5) mendefinisikan ukuran-ukuran kerja, (6) menentukan kinerja dasar atau awal (baseline performance).

1. Memilih Ukuran Kinerja Awal

Peninjauan ulang terhadap misi, sasaran, dan tujuan dari organisasi, program, atau subprogram dilakukan pada tahap ini. Identifikasi sejak awal yaitu tentang jenis-jenis ukuran yang umum digunakan seperti : ukuran-ukuran input, output, outcome, efisiensi, dan kualitas. Ukuran kualitas merupakan

Kinerja Awal (Baseline Performance) Kinerja yang Diinginkan di Masa Datang

(37)

informasi tentang bagaimana baiknya pelayanan publik yang diberikan itu memenuhi ekspektasi pelanggan dan stakeholder.

2. Mengevaluasi Ukuran-Ukuran Kinerja

Kriteria berikut dapat digunakan : bermakna (meaningful), sahih (valid), terkait dengan tanggung jawab (responsibility linked), berfokus pada pelanggan (customer focused), menyeluruh (comprehensive), seimbang (balanced), dapat dipercaya (credible), hemat biaya (cost effective), terintegrasi dengan sistem operasional dan finansial yang ada (compatible), dapat diperbandingkan (comparable), mudah (simple), dan berguna (useful). 3. Memilih Ukuran-Ukuran Kinerja Kunci

Bila sekumpulan ukuran kinerja telah terpilih berdasarkan pengujian dalam langkah 2, ukuran-ukuran kinerja kunci perlu diseleksi. Ukuran-ukuran kinerja kunci yang disebut juga dengan indikator kinerja kunci (Key Performance Indikator = KPI) harus berfokus pada hasil-hasil yang diinginkan, merupakan ukuran utama dari pencapaian sasaran, dan seimbang antara fokus internal dan eksternal.

4. Menentukan Kebutuhan Data

Setelah semua ukuran kinerja kunci terpilih, langkah berikut adalah menentukan kebutuhan data dari organisasi, program atau subprogram.

5. Mendefinisikan Ukuran-Ukuran Kinerja

Ukuran kinerja yang baik perlu didefinisikan secara jelas, termasuk secara tepat tentang apa yang akan diukur, sumber data, dan bagaimana data itu dianalisis. Definisi yang jelas dan spesifik akan menjamin akurasi dan konsistensi informasi sepanjang waktu.

6. Menentukan Kinerja Dasar atau Awal (Baseline Performance)

Langkah terakhir dalam proses pemilihan ukuran-ukuran kinerja adalah menentukan kinerja yang sekarang—di mana kita sekarang berada? Informasi ini kemudian dibandingkan dengan data di masa mendatang untuk mengukur kemajuan dan peningkatan. Data kinerja dasar (baseline) biasanya diperoleh dari periode paling baru dalam kurun waktu satu tahun. Jika data dasar belum tersedia, kadang-kadang data dari organisasi publik sejenis di tempat lain

(38)

dapat dijadikan sebagai referensi data dasar atau harus dikumpulkan untuk menetapkan kinerja awal.

2.5. Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression)

Persamaan regresi adalah persamaan matematik yang memungkinkan kita meramalkan nilai-nilai suatu peubah tak bebas dari nilai-nilai satu atau lebih peubah bebas (Walpole, 1995). Dalam analisis regresi kita mengasumsikan bahwa xi dalam contoh acak bersifat tetap dan bukan merupakan nilai peubah acak.

{(xi ,yi); i = 1, 2, ..., n}

Seandainya suatu contoh lain yang berukuran n diambil dengan menggunakan nilai x yang sama, maka nilai y akan bervariasi, berbeda dengan nilai-nilai sebelumnya. Dengan demikian, nilai-nilai yi dalam pasangan (xi ,yi) merupakan

suatu nilai peubah acak Yi.

Menurut Rangkuti (2003), persamaan garis regresi berganda adalah :

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ... + bkxk + e ...(1)

di mana,

b1, b2, b3 … bk adalah Koefisien Regresi

X1, X2, X3 … Xk adalah variabel independent

e adalah error atau sisa (residual)

Persamaan prediksi dari analisis regresi berganda adalah :

Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + ... + bkxk ...(2)

di mana,

Y adalah nilai prediksi dari Y

b1, b2, b3 … bk adalah koefisien regresi parsial

Beberapa hal lain yang penting juga untuk dipahami dalam penggunaan analisis regresi berganda, yaitu perlunya melakukan uji kolinearitas, multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas.

Menurut Sudarmanto (2005), uji linearitas digunakan untuk mengambil keputusan dalam memilih model regresi yang digunakan, antara lain model linear, kuadratik, kubik, dan lain-lain, sedangkan uji multikolinearitas dimaksudkan untuk menguji ada tidaknya hubungan yang linear antara variabel bebas dengan variabel bebas lainnya. Adanya hubungan yang linear antarvariabel independen

(39)

akan menimbulkan kesulitan dalam memisahkan pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya, sehingga salah satu variabel independen yang memiliki hubungan tersebut harus dihilangkan. Autokorelasi merupakan korelasi antara anggota seri observasi yang disusun menurut urutan waktu (time series) atau tempat (cross section), atau korelasi yang timbul pada dirinya sendiri. Uji heteroskedastisitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah variasi residual absolut sama atau tidak untuk semua pengamatan. Apabila asumsi tidak terjadinya heterokedastisitas ini tidak terpenuhi, maka penaksir menjadi tidak lagi efisien baik dalam sampel kecil maupun besar dan estimasi koefisien menjadi kurang akurat. Pendekatan yang digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya heteroskedastisitas adalah rank korelasi Spearman.

2.6. Penelitian Terdahulu

Dewi (1993) mengkaji efektivitas Gugus Kendali Mutu di PT Perkebunan XII. Penelitian ini bertujuan mempelajari faktor-faktor penyusun efektivitas GKM dan mengetahui keterkaitan antara faktor-faktor penentu efektivitas GKM, mengetahui tingkat efektivitas GKM pada PT Perkebunan XII dan membandingkan tingkat efektivitas GKM pada masing-masing lokasi penelitian, serta memberikan saran bagi pengembangan GKM pada PT Perkebunan XII. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan wawancara langsung terhadap responden yaitu anggota GKM di tiga lokasi penelitian. Metode yang digunakan adalah penelitian survei, dengan analisis statistik uji kesahihan dan keterandalan alat ukur, korelasi rank spearman dan regresi linier berganda.

Hasil uji kesahihan menurut pretest adalah adanya perbaikan kuesioner dengan nilai reliabilitas 0,889. Hasil korelasi rank spearman menunjukkan bahwa dari sembilan variabel yang ditetapkan, tujuh variabel berpengaruh nyata terhadap efektivitas GKM, yaitu kepemimpinan fasilitator, kepemimpinan ketua GKM, partisipasi, struktur tugas, fasilitas, dan dukungan manajemen. Sedangkan keanggotaan dan kekompakan tidak berhubungan nyata dengan efektivitas GKM. Selanjutnya dari regresi linier berganda didapatkan empat faktor yang dominan terhadap kondisi GKM di PTP XII, yaitu kepemimpinan fasilitator, tujuan GKM, partisipasi, dan dukungan manajemen. Tingkat efektivitas GKM yang ditentukan

(40)

berdasarkan pendapat responden terhadap kepuasan kerja, produktivitas, dan prestasi GKM menunjukkan bahwa terdapat 62 persen GKM efektif dan 38 persen berada pada taraf sedang. Tingkat efektivitas ketiga lokasi penelitian hampir sama, dan hal ini disebabkan oleh faktor dominan berupa kepemimpinan fasilitator, pemahaman terhadap tujuan GKM dan partisipasi.

Najib (1999) mengkaji pengaruh penerapan Gugus Kendali Mutu (GKM) terhadap peningkatan motivasi dan produktivitas kerja karyawan di PT Pupuk Kujang Cikampek dengan pendekatan studi kasus. Penelitian ini bertujuan mempelajari pelaksanaan kegiatan GKM dan pengaruh penerapan GKM terhadap peningkatan motivasi kerja dan produktivitas karyawan di PT Pupuk Kujang. Metoda yang digunakan adalah penelitian survei. Uji pasangan bertanda Wilcoxon digunakan untuk melihat pengaruh GKM terhadap peningkatan motivasi dan produktivitas kerja karyawan. Responden yang dijadikan obyek adalah para karyawan anggota GKM di Divisi Produksi I yang terdiri dari 4 dinas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan GKM memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan motivasi dan produktivitas kerja karyawan. Tingkat kebutuhan tertinggi karyawan berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow adalah kebutuhan rasa aman yang disebabkan adanya isu restrukturisasi. Penerapan GKM juga telah meningkatkan kemampuan suatu pekerjaan dalam memotivasi karyawannya, ditunjukkan dengan perubahan nilai MPS yang signifikan. Perubahan motivasi karyawan yang terjadi setelah diterapkannya GKM berpengaruh juga terhadap peningkatan produktivitas karyawan. Dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan selama GKM, karyawan dapat meningkatkan kemampuannya, terutama dalam menganalisis dan mencari pemecahan masalah. Meskipun demikian terdapat juga faktor-faktor lain di luar GKM yang berpengaruh terhadap peningkatan motivasi dan produktivitas karyawan, seperti pelatihan, kesejahteraan yang diberikan perusahaan, program K3 dan lain sebagainya, sehingga pada dasarnya perubahan motivasi dan produktivitas kerja karyawan merupakan hasil dari interaksi dinamis antara berbagai faktor yang ada di perusahaan.

Kustiwan (1996) mengkaji faktor penentu pengembangan Total Quality Management dalam rangka peningkatan kinerja perusahaan di PT Raya Sugarindo

Gambar

Gambar 1. Grafik Partisipasi GKM dan PKM pada Konvensi MMT Pertamina UP  IV Tahun 2005 (www.pertamina-up4.co.id, 2005 (diolah))
Gambar 2. Kaitan antara mutu, produktivitas, dan kesejahteraan (Chandra,  et al., 1991)
Gambar  3.  Proses  kerja  dan  metode  pengawasan  (adaptasi  dari  Prawirosentono, 2004)
Tabel 1. Ciri-ciri umum GKM
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perencaan yang di buat pada ibu informasikan hasil pemeriksaan kepada ibu, penjelasan tentang sebab terjadinya sering kencing, ajarkan ibu cara mengatasi sesak

1) Indoor Positioning System (IPS): Global Positioning System (GPS) merupakan sebuah sistem yang dapat menghitung dan menentukan posisi seseorang di Bumi secara akurat,

Dalam penilaian aspek relevansi materi, pengorganisasian materi, evaluasi dan bahasa tentunya memiliki kriteria penilaian yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk dapat melihat efek

Namun, apa yang kami lakukan dengan waktu dan kejadian di dunia, masih tidak teratur dan gagal terjadi!. Kantoria Kyrie eleison, Kyrie eleison,

64.Analisis Laporan Keuangan Koperasi Kayu Tangi Sebagai Mitra Usaha Budidaya Pembesaran Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) Dengan Sistem Karamba Di Desa Lok Tangga Kecamatan

Karena ketergantungan secara ekonomi terhadap suami maka suami memiliki kekuasaan (power) terhadap istri. Relasi suami istri dibagi dalam peran instrumental untuk peran laki-laki

Dari usulan tersebut dilakukan strategi peningkatan nilai dan membentuk dimensi hubungan dan dalamnya terdapat kelompok pelanggan konsumen silver sebagai konsumen yang puas

Jaminan penawaran cukup di scan dan di upload dalam dokumen penawaran, akan tetapi ketika tahap pembuktian kualifikasi, penyedia harus menunjukkan jaminan penawaran asli.