• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODOLOGI. Dalam penelitian ini, karya yang akan diciptakan adalah animasi pendek 3D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III METODOLOGI. Dalam penelitian ini, karya yang akan diciptakan adalah animasi pendek 3D"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

54

BAB III

METODOLOGI

3.1. Gambaran Umum

Dalam penelitian ini, karya yang akan diciptakan adalah animasi pendek 3D berjudul “Beguganjang” berdurasi 4,5 menit. Film bergenre horor dan berlatar budaya Batak pada tahun 1997 ini mengisahkan tentang Ucok yang membuat sosok Beguganjang marah. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengaplikasikan teori – teori suspense dalam film bergenre horor melalui shot.

Studi pustaka dan observasi terhadap referensi adalah dua jenis cara yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data. Melalui studi pustaka, penulis mengumpulkan teori-teori mengenai shot yang meliputi jarak kamera, pergerakan kamera, angle kamera, serta komposisi shot. Selain itu, penulis juga mengumpulkan teori mengenai genre horor dan cara membangun ketakutan melalui shot dalam film horor, serta teori mengenai suspense dan cara-cara untuk membangun suspense tersebut. Melalui observasi, penulis mencari referensi dari film animasi maupun live action bergenre horor untuk menerapkan teori-teori yang telah dikumpulkan. Studi referensi ini ditujukan sebagai acuan dalam penerapan teori-teori yang telah didapat melalui studi pustaka.

3.1.1. Sinopsis

Film animasi 3D “Beguganjang” bercerita tentang Ucok, seorang keturunan Batak yang tinggal di rumah peninggalan orangtua-nya di tengah hutan. Ucok memiliki ladang jagung dan ubi serta sebuah pohon mangga kweni namun ketiganya belum

(2)

55 dapat dikonsumsi. Karena itu, Ucok memutuskan untuk berangkat ke hutan guna mencari bahan makanan serta bekerja.

Saat di hutan, Ucok terpeleset dan jatuh di dekat sebuah pohon mangga besar dengan banyak mangga di bawahnya. Pohon tersebut terlihat menyeramkan, namun Ucok tetap senang karena menemukan banyak mangga untuk ia makan. Karenanya Ucok bergegas mengangkut semua mangga itu di keranjangnya. Tak lupa, satu-satunya mangga yang masih berada di atas pohon juga ia ambil.

Malam harinya, saat Ucok tengah tertidur, Ucok merasa terganggu sehingga ia terbangun, namun tak ada apapun. Ketika berniat tidur lagi, sebuah suara terdengar dari luar rumah yang membuat Ucok mengecek kondisi di luar rumahnya. Rupanya ladang Ucok telah dihancurkan oleh sebuah kekuatan gaib. Bahkan terdapat sebuah mangga yang jatuh dari dalam rumah Ucok, membuat Ucok bergegas masuk kembali ke rumah. Rupanya sesosok Beguganjang yang marah telah menunggu untuk menghukum Ucok. Ucok berusaha lari dan kabur, namun tak berhasil.

3.1.2. Posisi Penulis

Pada film animasi 3D “Beguganjang” yang dikerjakan oleh 4 orang ini, penulis berperan sebagai perancang shot dan storyboard artist. Penulis bertanggung jawab dalam merancang shot untuk keseluruhan film dan menuangkannya dalam bentuk storyboard untuk digunakan sebagai acuan dalam menganimasikan film.

(3)

56 3.2. Tahapan Kerja

Tahap awal pembuatan film “Beguganjang” adalah proses praproduksi, yaitu perancangan cerita, penulisan script, dan pembuatan storyboard. Pada proses perancangan cerita, ide-ide dikumpulkan untuk kemudian diolah dan dipilah yang terbaik. Ide terbaik kemudian dituliskan menjadi script / naskah. Naskah tersebut kemudian diubah menjadi storyboard awal yang memuat perkiraan shot yang akan digunakan dan untuk melihat apakah kisah yang ditampilkan sudah dapat dimengerti. Secara khusus, penulis juga memilih shot 3, 4, 5, 6, 7, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, dan 20 pada scene 3 sebagai adegan yang paling membangun suspense untuk dianalisa secara lebih detail dan mendalam.

Setelahnya, penulis melakukan studi literatur untuk mendapatkan teori-teori pendukung mengenai perancangan shot, film horor, serta cara untuk membangun suspense. Seiring bertambahnya literatur yang penulis pelajari, storyboard pun mengalami berbagai tahap perbaikan (eksplorasi) dan penyesuaian kepada konteks yang dituju.

Selain itu penulis juga menggunakan film-film horor baik live action maupun animasi sebagai referensi dan acuan untuk menerapkan teori-teori yang didapat dari studi literatur. Film-film tersebut guna melihat bagaimana pemilihan shot yang digunakan oleh para pembuat film horor, meliputi pemilihan jarak kamera, pergerakan kamera, angle kamera, dan komposisi shot. Shot yang terus berubah dan dilakukan penyesuaian akhirnya disusun dalam bentuk animatic setelah mencapai shot final yang diinginkan, yaitu shot yang membangun

(4)

57 suspense. Dalam bentuk animatic, perkiraan durasi film “Beguganjang” dapat dilihat dengan baik.

Gambar 3.1. Skematika Perancangan

(5)

58 3.3. Acuan

Beberapa referensi film digunakan sebagai acuan dalam perancangan shot animasi horor “Beguganjang”. Film-film tersebut adalah “The Babadook” (2014), “Nightfall” (2016), “Hereditary” (2018), “Pictures” (2015), “Pengabdi Setan” (2017), dan “The Beach House” (2019). Film-film tersebut dipilih karena menampilkan adegan yang serupa dengan yang ingin penulis tampilkan dalam film “Beguganjang”. Dalam daftar acuan tersebut hanya terdapat 1 film animasi dikarenakan setelah menonton banyak animasi, penulis merasa adegan dalam animasi horor tidak sesuai dengan konteks yang ingin dituju penulis dalam film “Beguganjang” ini.

3.3.1. Shot Tokoh Merasa Diawasi Saat Tidur (Scene 3: Shot 3, 4, 5, 6, 7)

1. The Babadook (2014)

Film ini bercerita tentang seorang ibu tunggal bernama Amelia yang tinggal dengan putranya, Samuel. Suatu malam Amelia membacakan buku berjudul Mister Babadook kepada Samuel, tanpa sadar bahwa hantu Babadook akan benar-benar mendatangi mereka. Didorong dengan perasaan Amelia yang stres akan kelakuan Samuel yang tidak biasa, membuat hari-hari Amelia terasa melelahkan. Hal itu ditunjukkan melalui banyaknya adegan Amelia yang tidur dengan tidak tenang di malam hari pada film ini.

Film ini diambil sebagai acuan karena adegannya memiliki kesesuaian visi dengan adegan yang ingin penulis raih dalam film

(6)

59 “Beguganjang”. Adegan tersebut adalah tokoh yang sedang tertidur, namun tidurnya terganggu oleh suatu sosok yang tidak diketahui tokoh. Adegan ini menampilkan suasana horor dan suspense juga karena penonton mengetahui bahwa memang ada sesuatu yang mengganggu tokoh, namun tokoh tidak mengetahuinya.

Tabel 3.1. Observasi shot “The Babadook” (2014)

No. Shot Sinematografi

1

Rangkaian still shot yang menunjukkan keadaan rumah Jarak kamera: Long Shot Angle kamera: Normal angle Pergerakan kamera: Still Komposisi: Closed frame

(7)

60 2

Jarak kamera: Medium Close-up Angle kamera: Bird eye view Pergerakan kamera: Crab dolly Komposisi: Open frame

Elemen Suspense: -

3

Jarak kamera: Big Close-up Angle kamera: Normal angle Pergerakan kamera: Still Komposisi: Hitchcock’s Rule Elemen Suspense: -

4

Jarak kamera: Medium Close-up Angle kamera: Bird eye view, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Headroom, Look room Elemen Suspense: -

5

Jarak kamera: Medium Close-up menjadi Close-up

Angle kamera: Bird eye view, depan Pergerakan kamera: Push in

Komposisi: -

Elemen Suspense: Menciptakan klaustrofobia

6

Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Open frame Elemen Suspense: -

Elemen Horor: Faux Scares

7

Jarak kamera: Long Shot Angle kamera: Normal angle Pergerakan kamera: Still Komposisi: Closed frame Elemen Suspense: POV Shot

(8)

61 8

Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Open frame Elemen Suspense: -

Pada nomor 1, diperlihatkan situasi rumah Amelia yang gelap dan kosong. Namun tiba-tiba muncul sebuah bayangan di ujung tangga, memberikan foreshadowing bahwa ada sosok lain di rumah tersebut. Berdasarkan teori dari Powers (2020), foreshadowing ini juga memberikan informasi pada penonton sehingga membuat penonton penasaran akan siapa pemilik bayangan tersebut. Rangkaian still cuts tersebut juga seolah mengindikasikan sosok hantu Babadook yang perlahan mendekat ke Amelia (dari luar rumah, mendekat ke jendela, ke pintu ruangan, lalu ke arah lantai 2 tempat Amelia tidur). Adegan ini dilanjutkan ke nomor 2 yang memperlihatkan Amelia tertidur, serta nomor 3 yang menunjukkan lampu berkedip. Lampu tersebut seolah memberitahu bahwa hantu Babadook telah berada di kamar itu, apalagi bahwa keberadaan lampu tersebut sangat ditekankan (terlihat besar di frame, seperti mengacu pada teori komposisi Hitchcock’s Rule). Crab dolly dan bird eye view digunakan untuk memberitahukan situasi Amelia yang sedang tertidur, namun mendapat gangguan dari lampu tidur yang berkedip-kedip sendiri di sampingnya.

Selanjutnya, nomor 5 memperlihatkan Amelia yang berbaring. Kesan klaustrofobia timbul pada adegan ini dengan kamera yang bergerak

(9)

62 mendekat ke Amelia dari Medium Close Up menuju Close Up secara cepat (push in), seperti dinyatakan oleh Lamb (no date). Gerakan tersebut juga membuat penonton berimajinasi bahwa akan terjadi hal berbahaya pada Amelia dari luar kamera karena Amelia berjarak sangat dekat dengan kamera, seperti dinyatakan oleh Sipos (no date).

Shot nomor 6 memberikan faux scares, yaitu keterkejutan melalui suara yang mengejutkan Amelia dan juga penonton. Keterkejutan ini akan membuat penonton penasaran pada apa / siapa yang membuat suara, apakah bayangan pada nomor 1?

Pada nomor 7, POV Shot digunakan oleh pembuat film untuk menampilkan apa yang dilihat Amelia, juga agar penonton dapat melihat sendiri apa yang dilihat Amelia. Meski POV Shot dalam shot ini tidak langsung mengarah dari mata Amelia (still, tidak handheld), namun shot ini cukup merepresentasikan POV Shot karena menunjukkan apa yang dilihat Amelia.

2. Nightfall (2016)

Animasi pendek ini bercerita tentang seorang anak perempuan bernama Dolly yang sedang tidur. Di tengah malam, tidur Dolly terganggu dengan suara geraman dari belakangnya yang tidak ia ketahui apakah itu. Di sisi lain, penonton dapat melihat dengan jelas ancaman yang mengancam Dolly sehingga penonton menjadi khawatir pada Dolly.

(10)

63 Film ini diambil sebagai acuan karena adegannya memiliki kesesuaian visi dengan adegan yang ingin penulis raih dalam film “Beguganjang”.

Tabel 3.2. Observasi shot “Nightfall” (2016)

No. Shot Sinematografi

1

Jarak kamera: Very Long Shot Angle kamera: Low Angle Pergerakan kamera: Tracking in Komposisi: Closed frame Elemen Suspense: Subtle dolly

2

Jarak kamera: Medium Shot

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Tracking in Komposisi: Open frame

Elemen Suspense: Subtle dolly

3

Jarak kamera: Close Up Angle kamera: Normal angle Pergerakan kamera: Still Komposisi: Open frame

Elemen Suspense: Foreshadowing

4

Jarak kamera: Medium Shot

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Open frame, Rule of Thirds Elemen Suspense: Kejadian yang tidak bisa diprediksi namun penuh tekanan Elemen Horor: Jumpscare

(11)

64 5

Jarak kamera: Very Long Shot Angle kamera: Low Angle Pergerakan kamera: Still Komposisi: Closed frame Elemen Suspense: -

6

Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: High Angle menjadi Normal Angle, depan

Pergerakan kamera: Tilt

Komposisi: Open frame, Rule of Thirds Elemen Suspense: Kejadian penuh tekanan

Adegan ini banyak menggunakan Medium Shot. Untuk mengawali adegan, diperlihatkan keseluruhan environment yang gelap selagi Dolly tidur. Very Long Shot dilanjutkan langsung dengan Medium Shot agar adegan lebih cepat sampai ke inti ketegangan, yaitu Dolly yang sedang tertidur. Keadaan kamar Dolly yang gelap mengantisipasi penonton dan membuat penonton menebak apa yang akan terjadi berikutnya. Selanjutnya, foreshadowing monster diperlihatkan pada nomor 3 berupa bayangan.

(12)

65 Foreshadowing ini kemudian langsung dinyatakan pada shot berikutnya dimana monster muncul dari balik tubuh Dolly. Shot ini menggambarkan kejadian yang tidak bisa diprediksi oleh penonton sebelumnya dan penuh tekanan karena penonton menjadi takut pada apa yang akan menimpa Dolly selanjutnya. Tidur Dolly pun terganggu dengan keberadaan monster tersebut, yang kian mendekat kepadanya.

Komposisi pada shots ini didominasi open frame namun tidak membuat penonton memusingkan yang terjadi di luar frame karena antagonis dan protagonis telah berada di satu layar. Selain itu posisi protagonis juga dekat dengan kamera sehingga menambah suspense.

3. Hereditary (2018)

Film ini bercerita tentang sebuah keluarga yang dihantui kejadian misterius usai nenek meninggal. Salah satu adegan dalam film ini menceritakan tokoh bernama Peter sedang tidur, namun kemudian ia terbangun karena ada sesuatu yang mengganggunya. Peter pun terkejut karena melihat sosok adiknya, Charlie yang telah meninggal berada di kamarnya.

Film ini diambil sebagai acuan karena adegannya memiliki kesesuaian visi dengan adegan yang ingin penulis raih dalam film “Beguganjang”, yaitu tokoh sedang tertidur di malam hari namun tidurnya terganggu oleh sesuatu. Tokoh sempat melihat gangguan tersebut, namun berakhir bahwa gangguan tersebut tidaklah nyata.

(13)

66

Tabel 3.3. Observasi shot “Hereditary” (2018)

No. Shot Sinematografi

1

Jarak kamera: Medium Shot Angle kamera: Normal angle Pergerakan kamera: Whip pan Komposisi: Closed frame Elemen Suspense: -

2

Lanjutan dari shot sebelumnya (no cut) Jarak kamera: Big Close-up

Angle kamera: Normal angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Tracking

Komposisi: Unbalanced

Elemen Suspense: Menciptakan klaustrofobia, Subtle dolly

3

Jarak kamera: Long Shot

Angle kamera: Low angle, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Closed frame, 180˚ Rule Elemen Suspense: Foreshadowing

4

Jarak kamera: Medium Close-up Angle kamera: Normal angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Following the character (tracking)

Komposisi: Balanced, 180˚ Rule Elemen Suspense: -

(14)

67 5

Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Tilt

Komposisi: 180˚ Rule Elemen Suspense: - Elemen Horor: Jumpscare

6

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Open frame

Elemen Suspense: Surprise & Twist Elemen Horor: Basic jumpscare

7

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: Low angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Open frame Elemen Suspense: -

Tone yang gelap dan minim cahaya pada adegan di atas membuat penonton merasa penasaran pada apa yang sebenarnya terjadi. Penonton juga akan menebak apakah ada yang akan keluar dari kegelapan tersebut.

Pada nomor 1, diperlihatkan kamar Peter yang kosong dan tenang. Akan tetapi, kegelapan pada shot tersebut membuat penonton menerka dan penasaran akan apa yang mungkin bersembunyi di baliknya. Whip pan, yaitu pan secara cepat digunakan sebagai transisi ke nomor 2 dengan ukuran Big Close Up yang menciptakan kesan klaustrofobia dan membuat

(15)

68 penonton merasa semakin tidak nyaman karena menebak dan penasaran pada apa yang mungkin akan terjadi pada Peter, apalagi Peter tengah terpejam. Hal itu seperti diungkap oleh Lamb (no date) dan Sipos (no date). Rasa penasaran penonton seolah terjawab karena pada nomor 3, sosok Charlie yang seharusnya sudah meninggal muncul di seberang tempat tidur Peter. Penonton pun langsung mengetahui bahwa itu adalah sesuatu yang salah. Namun, karena gelapnya keadaan kamar Peter, kemunculan Charlie ini dikategorikan sebagai foreshadowing karena tidak terlalu jelas.

Nomor 5 dan 6 memberikan jumpscare pada penonton sekaligus surprise dan twist. Shot ini memperjelas shot nomor 3 karena menampilkan sosok Charlie dengan lebih jelas. Namun keterkejutan tersebut langsung dipatahkan dengan surprise dan twist yang diberikan, dimana sosok Charlie berubah menjadi bola yang menggelinding mendekat ke arah Peter. Penonton pun mulai berpikir bahwa Peter hanya berhalusinasi. Meski demikian, suasana horor pada adegan ini juga sangat terasa.

3.3.2. Shot Tokoh Mendekati Hantu (Scene 3: Shot 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

20)

1. Pictures (2015)

Film pendek ini bercerita tentang seorang wanita yang mendapatkan foto-foto di ponselnya dimana foto-foto tersebut kemudian menjadi kenyataan. Film

(16)

69 ini diambil sebagai acuan karena adegannya memiliki kesesuaian visi dengan adegan yang ingin penulis raih dalam film “Beguganjang”, yaitu saat tokoh ingin mendekat pada sesuatu yang mencurigakan.

Tabel 3.4. Observasi shot “Pictures” (2015)

No. Shot Sinematografi

1

Jarak kamera: Medium Shot

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Handheld Komposisi: Open frame, unbalanced Elemen Suspense: Dark Voyeur POV, POV Shot

2

Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still, handheld Komposisi: Unbalanced

Elemen Suspense: Dark Voyeur POV

3

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: Normal angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Still, handheld Komposisi: Rule of thirds

Elemen Suspense: Menciptakan klaustrofobia

4

Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: Normal angle (POV Shot), depan

Pergerakan kamera: Tracking down Komposisi: -

(17)

70 5

Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: Normal angle, belakang Pergerakan kamera: Tracking up Komposisi: -

Elemen Suspense: -

6

Jarak kamera: Medium Shot

Angle kamera: Normal angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Unbalanced

Elemen Suspense: Dark Voyeur POV

7

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Tracking in Komposisi: Balanced

Elemen Suspense: Subtle dolly

8

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: Low angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Unbalanced

Elemen Suspense: Dark Voyeur POV

9

Jarak kamera: Extreme Close-up Angle kamera: Normal angle, samping Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Unbalanced

Elemen Suspense: Menciptakan klaustrofobia

10

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: Low angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Unbalanced

(18)

71 11

Jarak kamera: Extreme Close-up Angle kamera: Normal angle, samping Pergerakan kamera: Tracking down Komposisi: Unbalanced

Elemen Suspense: Menciptakan klaustrofobia

12

Jarak kamera: Big Close-up

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Balanced, no headroom Elemen Suspense: Menciptakan klaustrofobia

13

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: Low angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Unbalanced, no headroom Elemen Suspense: Dark Voyeur POV

14

Jarak kamera: Extreme Close-up Angle kamera: Normal angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: -

Elemen Suspense: Menciptakan klaustrofobia

15

Jarak kamera: Big Close-up

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Balanced, no headroom Elemen Suspense:

16

Jarak kamera: Extreme Close-up Angle kamera: High angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: -

(19)

72 17

Jarak kamera: Big Close-up

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Balanced, no headroom Elemen Suspense: Surprise

Shot pada adegan tersebut berupa pengulangan dan menggunakan teknik handheld agar adegan terasa lebih nyata dan penonton seolah mengalami sendiri kejadian tersebut. Namun handheld yang digunakan di sini sangat tipis (subtle) sehingga tidak terlalu disadari penonton. Dark Voyeur POV banyak digunakan dalam adegan ini (nomor 6, 8, 10, 13, dan 16) dimana semakin lama kain putih tersebut semakin memenuhi frame. Hal itu, menurut Clavo (2013), menimbulkan kesan bahwa tokoh sedang diawasi sesuatu sehingga membuat penonton merasa tidak nyaman. Dengan semakin banyaknya kain putih di dalam frame juga mendesak dan menekan wanita tersebut.

Close Up, Big Close Up, dan Extreme Close Up juga mendominasi adegan ini sehingga menciptakan kesan klaustrofobia (menurut Sipos, seperti dikutip dalam Lamb). Adegan pun juga terasa lebih intens dan menegangkan meski kamera lebih banyak diam. Komposisi unbalanced juga dominan pada shots tersebut yang membuat adegan terasa tidak seimbang dan makin menegangkan, seolah tokoh di dalam frame akan mengalami suatu kejadian tidak menyenangkan.

(20)

73 2. The Beach House (2019)

Film ini bercerita tentang sepasang kekasih (Emily dan Randall) yang ingin berlibur berdua di sebuah vila milik ayah Randall. Rupanya, di vila tersebut telah ada sepasang suami-istri (Mitch dan Jane) yang sudah tua dan merupakan kenalan keluarga juga sehingga mereka memutuskan untuk berbagi vila. Kejadian aneh mulai terjadi keesokan harinya setelah malam hari yang berkabut. Mitch menghilang sementara Jane menjadi pendiam dan kemudian berubah menjadi suatu sosok yang menyeramkan.

Film ini diambil sebagai acuan karena adegannya memiliki kesesuaian visi dengan adegan yang ingin penulis raih dalam film “Beguganjang”, yaitu saat tokoh ingin mendekat pada sesuatu yang mencurigakan.

Tabel 3.5. Observasi shot “The Beach House” (2019)

No. Shot Sinematografi

1

Jarak kamera: Medium Shot

Angle kamera: Normal angle, belakang Pergerakan kamera: Still, Handheld Komposisi: Closed frame

Elemen Suspense: Menunda tapi memberi informasi

2

Jarak kamera: Long Shot

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still, Handheld Komposisi: Balanced

(21)

74 3

Jarak kamera: Medium Shot

Angle kamera: Normal angle, belakang Pergerakan kamera: Still, Handheld Komposisi: Closed frame

Elemen Suspense: Menunda tapi memberi informasi

4

Jarak kamera: Long Shot

Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still, Handheld Komposisi: Balanced

Elemen Suspense: Dark Voyeur POV

5

Jarak kamera: Medium Shot

Angle kamera: Normal angle, belakang Pergerakan kamera: Tracking in Komposisi: Balanced

Elemen Suspense: POV Shot

6

Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Still, Handheld Komposisi: Balanced, Open frame Elemen Suspense: Dark Voyeur POV

7

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: High angle, ¾ belakang Pergerakan kamera: Pan

Komposisi: No lookroom & headroom, Rule of thirds, 180˚ Rule

Elemen Suspense: POV Shot

8

Jarak kamera: Medium Close-up Angle kamera: High angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Collapse dolly Komposisi: Rule of thirds, 180˚ Rule, Open frame

(22)

75 9

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: High angle, samping menjadi ¾ depan

Pergerakan kamera: Pan

Komposisi: Lookroom, no headroom Elemen Suspense: POV Shot

Seperti pada “Pictures” (2015), shot pada adegan ini juga berupa pengulangan dan menggunakan teknik handheld. Diawali dengan nomor 1 yang menampakkan Emily dan Jane, penonton mendapat sekeping informasi tentang apa yang mungkin terjadi pada kedua tokoh tersebut. Komposisi yang digunakan disini adalah Closed frame karena penonton tidak merasa perlu khawati rmengenai apa yang terjadi di luar frame. Nomor 2 menerapkan Dark Voyeur POV seperti yang dinyatakan Clavo (2013), yaitu penggunaan framing menggunakan objek di sekitar tokoh yang dalam hal ini adalah dinding pemisah antara dapur dan ruang makan. Nomor 3 dan nomor 4 mengulang nomor 1 dan 2, sementara nomor 5 menggunakan POV Shot yang membuat penonton seolah sedang berjalan mendekati Jane. Pada nomor 2 dan 4 juga diperoleh bahwa Emily ragu-ragu untuk mendekati Jane karena tingkah Jane yang mencurigakan, namun akhirnya Emily memutuskan untuk mendekati Jane pada nomor 5.

Nomor 6 mirip dengan nomor 2 dan 4, namun shot diambil dari jarak yang lebih dekat. Hal ini membuat kegelisahan Emily terlihat lebih jelas dengan semakin dekatnya ia pada Jane.

(23)

76 Nomor 7 dan 9 mengungkap yang terjadi pada Jane secara perlahan sehingga penonton jadi mengantisipasi hal yang mungkin akan terjadi. Shots tersebut berkesinambungan dengan nomor 8 yang mengambil wajah Emily dari dekat sehingga penonton turut bersimpati dan merasakan kegelisahan yang sama dengan Emily.

Komposisi yang banyak digunakan dalam shots tersebut adalah balanced. Meski demikian, dengan digunakannya teknik handheld dalam sebagian besar shots tersebut maka suspense pun tetap dapat terbangun.

3. Pengabdi Setan (2017)

Film Indonesia ini menceritakan tentang Rini, bapaknya, ibunya, serta 3 adik laki-lakinya yang tinggal di rumah nenek Rini di luar kota. Ibu Rini kemudian meninggal dan mulai menciptakan teror dalam keluarganya. Adegan yang dipilih sebagai acuan ini menceritakan Rini yang datang ke kamar ibunya dan menemukan bahwa ibunya yang sakit dan tidak bisa bangkit dari tempat tidur sedang berdiri di depan jendela. Rini pun mendekati ibunya tersebut dan menemukan bahwa sang ibu rupanya masih berada di tempat tidur.

Film ini diambil sebagai acuan karena adegannya memiliki kesesuaian visi dengan adegan yang ingin penulis raih dalam film “Beguganjang”, yaitu saat tokoh ingin mendekat pada sesuatu yang mencurigakan.

(24)

77

Tabel 3.6. Observasi shot “Pengabdi Setan” (2017)

No. Shot Sinematografi

1

Jarak kamera: Close Up

Angle kamera: Normal angle, ¾ belakang

Pergerakan kamera: Following the character (tracking)

Komposisi: -

Elemen Suspense: Menunda tapi memberi informasi

2

Lanjutan dari sebelumnya (no cut) Jarak kamera: Long Shot

Angle kamera: Normal angle, ¾ belakang

Pergerakan kamera: Following the character (tracking)

Komposisi: Balanced Elemen Suspense: Surprise

3

Lanjutan dari sebelumnya (no cut) Jarak kamera: Medium Shot Angle kamera: Normal angle, ¾ belakang

Pergerakan kamera: Tracking in Komposisi:

Elemen Suspense: Menunda tapi memberi informasi

4

Jarak kamera: Long Shot

Angle kamera: Normal angle, ¾ depan Pergerakan kamera: Pan

Komposisi: Unbalanced

(25)

78 5

Lanjutan dari sebelumnya (no cut) Jarak kamera: Medium Shot Angle kamera: Normal angle, ¾ belakang

Pergerakan kamera: Still Komposisi: Unbalanced

Elemen Suspense: Menunda tapi memberi informasi

6

Lanjutan dari sebelumnya (no cut) Jarak kamera: Medium Long Shot Angle kamera: Normal angle, depan Pergerakan kamera: Whip pan Komposisi: Balanced

Elemen Suspense: Twist

7

Jarak kamera: Close-up

Angle kamera: High angle, ¾ belakang Pergerakan kamera: Whip pan

Komposisi: Unbalanced Elemen Suspense: -

8

Jarak kamera: Big Close-up

Angle kamera: Normal angle, belakang menjadi depan

Pergerakan kamera: Still

Komposisi: Balanced, no headroom Elemen Suspense: -

Tidak seperti 2 acuan yang lain, “Pengabdi Setan” tidak menggunakan repetisi shot. Selain itu, adegan dalam film ini juga tidak terlalu menunjukkan wajah ketakutan tokoh. Meski demikian, dengan melihat sosok di seberang tokoh dan cara berjalan tokoh yang lambat-lambat,

(26)

79 penonton pun dapat merasakan ketakutan tokoh. Selain itu, unsur tegang dalam adegan ini tetap terbangun karena penonton telah mengetahui bahwa kejadian yang terjadi di kamar ibu tersebut aneh. Awalnya, penonton mendapat surprise (nomor 2) bahwa ibu Rini dapat berdiri, namun segera berubah menjadi twist (nomor 6) karena rupanya kejadian tersebut tak seperti yang diharapkan penonton bahwa sosok ibu yang berdiri itu rupanya adalah hantu. Karena adanya twist tersebut maka jumpscare di nomor 8 dapat berhasil.

Rangkaian shot ini juga lebih banyak diambil dengan sudut normal angle karena kedua subjek dalam frame adalah manusia yang level kekuatannya sama, tidak ada yang lebih kuat / lemah. Dengan penggunaan normal angle, penonton juga dapat lebih merasakan pengalaman yang dialami Rini.

3.4. Proses Perancangan

Setelah melakukan observasi terhadap acuan dan referensi pada tahap sebelumnya, penulis melanjutkan pada tahap berikutnya, yaitu eksplorasi shot lebih lanjut.

3.4.1. Shot Tokoh Merasa Diawasi Saat Tidur (Scene 3: Shot 3, 4, 5, 6, 7)

Proses perancangan shot ini dimulai dengan pembuatan script yang menjadi dasar dan patokan akan apa yang ingin disampaikan dalam film. Melalui script ini diperoleh gambaran mengenai apa yang ingin ditampilkan melalui kamera, yaitu tokoh Ucok sedang tertidur, tokoh Beguganjang mengawasi dan mengagetkan Ucok, lalu tokoh Ucok yang terbangun karena takut dan terkejut.

(27)

80

Gambar 3.2. Script

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Script tersebut kemudian diterjemahkan menjadi thumbnail.

1. Storyboard awal shot 2, 3, dan 4

Gambar 3.3. Storyboard awal shot 2, 3, dan 4

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Rangkaian shot di atas adalah eksplorasi awal yang pertemuan pertama tokoh Ucok dan Beguganjang tanpa disadari. Pada tahap ini, penulis belum menerapkan teori perancangan shot. Pada adegan ini, Ucok sedang tertidur dengan tenang. Namun, lama kelamaan tidur Ucok menjadi tidak tenang lantaran ia merasa sedang diawasi. Beguganjang-lah yang sedang mengawasi Ucok, namun Ucok tidak mengetahui hal itu.

Awalnya, shot 2 digambarkan dengan kamera diam dan sudut bird eye view yang memuat Ucok sedang tidur. Bird eye view dipilih untuk menciptakan kesan bahwa tidur Ucok diawas. Shot yang digunakan adalah

(28)

81 long shot untuk memberi kesan bahwa Ucok adalah tokoh yang kecil berada di tempat yang luas. Posisinya di tengah frame untuk menunjukkan ruangan tidur Ucok yang luas. Kamera pada shot ini tidak bergerak. Komposisi yang penulis pilih adalah balance. Namun penulis merasa bahwa shot ini belum memberi kesan horor bahwa tidur Ucok sedang diawasi.

Shot 3 menampilkan wajah Beguganjang yang memenuhi frame dengan latar belakang atap rumah Ucok. Adegan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan pada penonton bahwa sosok Beguganjang mengamati Ucok yang sedang tertidur, sekaligus memberikan jumpscare. Karena itu, Big Close Up dan sudut eye level dipilih dalam shot ini agar penonton terkejut melihat wajah Beguganjang. Namun, jumpscare pada shot ini belum terasa karena belum jelas bagaimana sosok Beguganjang akan muncul, juga karena penggunaan kamera diam yang kurang mendukung.

Shot 4 menunjukkan Ucok terbangun sambil terengah-engah. Shot ditampilkan secara Medium Close Up. Angle yang digunakan adalah Normal Angle, komposisi yang dipilih pun balance, demikian juga dengan sudut eye level yang dipilih. Namun, shot ini pun dirasa belum menunjukkan keterkejutan dan ketakutan yang dialami Ucok karena kamera hanya diam dan Look Room Ucok juga luas.

(29)

82 2. Eksplorasi pertama: Shot 2

Gambar 3.4. Eksplorasi shot 2

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada eksplorasi ke-2 ini, eksplorasi yang dilakukan adalah pada shot 2. Penulis memindahkan lokasi tempat tidur Ucok ke dekat dinding dan meletakkan kamera menempel pada dinding, sementara sudut dan jarak kamera masih sama dengan sebelumnya. Dengan terbaginya frame menjadi dinding dan Ucok, kesan terhimpit pun muncul dan memberikan ketidaknyamanan.

Pada shot 4, gerakan kamera handheld digunakan untuk memberi kesan shaky yang akan menciptakan ketidaknyamanan. Dengan demikian, keterkejutan dan ketakutan Ucok pun lebih tergambar.

3. Eksplorasi kedua: Shot 4 dan 6

Gambar 3.5. Eksplorasi shot 4 dan 6

(30)

83 Pada eksplorasi tahap 3 ini, nomor shots berubah menjadi 4, 5, dan 6. Shot 4 sama dengan eksplorasi sebelumnya, namun penulis menambahkan tilt sehingga sudut akhir shot 4 adalah Dutch angle untuk menunjukkan ketidaknyamanan dari garis vertikal dan horizontal yang menjadi miring (Bowen, 2018, hlm.87).

Shot 5 belum mengalami perubahan, sementara pada shot 6, penulis menggeser kamera menjadi ¾ Front View. Selain itu, penulis menggunakan komposisi Rule of Thirds pada shot ini. Dengan menunjukkan hanya ¾ wajah Ucok, dan banyak negative space di belakang Ucok, maka muncul ketidaknyamanan seolah akan terjadi sesuatu di belakang Ucok, sementara ruang pandang (Look Room) Ucok terbatas. Selain itu, handheld juga digunakan dalam shot ini untuk menunjukkan keterkejutan dan ketakutan Ucok.

Pada tahap ini, penulis merasa rangkaian shot telah cukup menunjukkan kesan horor. Namun, suspense yang ingin dibangun belum terasa.

4. Eksplorasi ketiga: Shot 3, 4, 5, 6, dan 7

(31)

84

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada revisi shots tahap ini, penulis telah banyak menonton referensi. Penulis mendapatkan bahwa pada kebanyakan adegan tidur yang terganggu dalam film horor, selalu lebih dulu menampilkan kondisi environment kunci. Karenanya penulis menyorot keranjang mangga yang merupakan poin cerita. Berdasar pada film “Hereditary” (2018), penulis melakukan panning kamera secara diagonal mengarah pada tokoh yang sedang tertidur. Foreshadowing berupa kaki Beguganjang juga ditampilkan dalam shot ini, seperti mengacu pada “The Babadook” (2014).

Long Shot pada shot 3 dan penggunaan Dutch Angle dipilih untuk menciptakan ketidaknyamanan penonton bahwa tidur Ucok tidak tenang. Selain itu juga bertujuan untuk menunjukkan kekosongan ruang di sekitar Ucok.

Shot 4 dan 6 menampilkan atap rumah Ucok dan merupakan suatu kontinuitas, yaitu kondisi atap kosong dan Beguganjang muncul di atap tersebut. Sudut yang digunakan dalam shot ini adalah POV Shot sehingga handheld digunakan untuk memperlihatkan bahwa atap tersebut dilihat oleh mata Ucok. Penonton pun juga dapat merasakan sendiri melihat Beguganjang dari sudut pandang Ucok.

Shot 5 menggunakan Medium Close Up dan sudut bird eye view dan dutch angle yang membuat ekspresi Ucok terlihat jelas bahwa ia tidak mempercayai apa yang dilihatnya. Selain itu, dengan meletakkan

(32)

85 kamera di atap membuat shot ini berkesinambungan dengan shot sebelumnya. Shot 7 menunjukkan Ucok yang terbangun. Shot ini masih sama seperti pada eksplorasi sebelumnya.

Dalam tahap ini penulis merasa bahwa suspense sudah mulai terbangun.

5. Eksplorasi keempat: Shot 3, 4, 5, dan 6

Gambar 3.7. Eksplorasi shot 3 (gambar 1 dan 2), 4, 5 (gambar 4 dan 5), dan 6

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada eksplorasi sebelumnya, panning dari keranjang mangga ke tokoh Ucok dirasa kurang jelas bahwa kedua frame tersebut berada pada 2 lantai yang berbeda. Selain itu, foreshadowing kaki Beguganjang dirasa kurang menyeramkan. Karenanya, pada eksplorasi shot 3 ini, penulis mencoba memindahkan kamera ke atas keranjang mangga sehingga

(33)

86 posisinya menjadi bird eye view dengan komposisi rule of thirds. Kamera kemudian bergerak tilt sambil naik ke atas menuju eye level (crane top to front), seperti pada “Hereditary” (2018) sehingga akhirnya menyorot tokoh Ucok sedang tidur. Komposisi balance dan jarak kamera Very Long Shot dengan eye level digunakan dalam shot ini untuk memperlihatkan Ucok yang kecil dan lemah, terutama dengan kekosongan di sekitarnya.

Shot 4 ditujukan untuk menunjukkan foreshadowing Beguganjang yang ditampilkan dalam bentuk bayangan. Low angle dipilih untuk menampilkan kesan bahwa Ucok lemah, sementara Beguganjang berada di atas untuk menunjukkan kekuasaan. Shot 5 mengacu pada “Nightfall” (2016) dimana sosok Beguganjang mendekat dan hendak mengganggu Ucok. Low angle dan Dutch Angle digunakan dalam shot ini untuk membuat Beguganjang terasa superior dibanding Ucok.

Pada shot 6 dilakukan eksplorasi dengan membuat Ucok tidak langsung bangun sepenuhnya melainkan hanya setengah bangun terlebih dahulu, seperti terdapat di “Hereditary” (2018). Headroom Ucok pun ditiadakan, sementara look room Ucok juga lebih kecil dibanding negative space di belakangnya. Dengan ini, ketidaknyamanan dan keresahan Ucok akan semakin terasa. Selain itu, sudut high angle digunakan untuk kembali menegaskan bahwa Ucok kecil dan lemah. Dalam shot ini tidak terdapat pergerakan kamera agar kegelisahan Ucok lebih jelas terlihat.

(34)

87 6. Storyboard akhir: Shot 3, 4, 5, 6, dan 7

Gambar 3.8. Eksplorasi shot 3, 4, 5, 6, 7

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Eksplorasi berikutnya dilakukan karena shots sebelumnya dirasa kurang seram dan menegangkan. Shot 3 yang sebelumnya hanya menunjukkan keranjang mangga, kini ditambahkan penampakan kayu yang sudah lapuk dan tua di dinding luar rumah Ucok yang akan menambah efek seram. Kamera juga bergerak tracking ke jendela dengan perlahan (subtle

(35)

88 dolly), seolah ada sesuatu yang mengintip dari balik jendela (Dark Voyeur POV menurut Clavo (2013)).

Kemudian adegan dilanjutkan dengan shot 4, yaitu shot 3 pada eksplorasi sebelumnya, namun gambar diambil dari sudut yang berbeda. Low Angle digunakan pada awal shot ini guna memperlihatkan keranjang mangga yang menjadi inti cerita. Untuk menegaskan bahwa mangga adalah inti cerita, Hitchcock’s Rule digunakan dalam shot ini. Kamera bergerak tracking diagonal ke kanan atas, dan keranjang mangga pun ambruk oleh kekuatan gaib di tengah perjalanan tersebut (mengacu pada ‘The Babadook” (2014)). Kamera berakhir menyorot tokoh Ucok sedang tertidur pulas.

Shot 5 adalah adegan dimana tangan Beguganjang yang menyeramkan perlahan mendekati Ucok yang sedang tertidur lelap. Medium Long Shot digunakan dalam shot ini. Tracking in dan handheld digunakan dalam adegan ini untuk mendukung kehadiran sosok Beguganjang. Shot ini menampilkan Surprise karena penonton akhirnya dapat melihat sesuatu apa yang sedang membahayakan Ucok.

Adegan dilanjutkan ke shot 6 yang menggunakan bird eye view seperti mengacu pada “The Babadook” (2014), bahwa tokoh merasa tidak nyaman. Ucok mulai merasa tidak nyaman dalam tidurnya dan hendak bangun, namun tangan Beguganjang telah menghilang. Close up digunakan dalam shot ini agar adegan terasa lebih intim dan mencekam.

(36)

89 Shot 7 masih sama seperti pada eksplorasi sebelumnya (sebelumnya shot 6) karena kegelisahan Ucok telah tergambar dengan jelas. Meski demikian, kamera lebih diletakkan secara canted dan high angle dari pada eksplorasi sebelumnya untuk menegaskan bahwa Ucok lemah dan mulai ketakutan. Dengan demikian, suspense yang ingin dibangun dalam rangkaian shot ini pun telah berhasil terbangun.

3.4.2. Shot Tokoh Mendekati Hantu (Scene 3: Shot 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

20)

Proses perancangan shot ini dimulai dengan pembuatan script yang menjadi dasar dan patokan akan apa yang ingin disampaikan dalam film. Melalui script ini diperoleh gambaran mengenai apa yang ingin ditampilkan melalui kamera, yaitu tokoh Ucok melihat sosok tokoh Beguganjang lalu mendekatinya dan tokoh Beguganjang menunjukkan wajahnya pada tokoh Ucok.

Gambar 3.9. Script

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

(37)

90 1. Storyboard awal shot 11, 12, dan 13

Gambar 3.10. Storyboard awal shot 11, 12, dan 13

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Awalnya, adegan ini mengambil lokasi di lantai pertama rumah Ucok. Pada tahap ini, penulis belum menerapkan teori perancangan shot. Shot 11 menampilkan Ucok yang baru saja masuk ke rumah dan langsung melihat Beguganjang versi kecil sedang duduk membelakanginya. Very Long Shot dan sudut eye level digunakan pada shot ini untuk memperlihatkan jarak antara Ucok dan Beguganjang serta memperlihatkan ukuran tubuh Ucok yang lebih besar dari Beguganjang untuk menunjukkan bahwa Ucok merasa anak kecil tersebut bukanlah ancaman. Komposisi yang digunakan adalah balance dengan Ucok di kiri dan Beguganjang di kanan frame.

Shot 12 menampilkan sosok Beguganjang kecil dari sudut pandang Ucok (POV Shot), disertai dengan bayangan Ucok yang terlihat lebih besar untuk menegaskan bahwa Ucok merasa anak kecil tersebut bukanlah ancaman. Jarak kamera yang dipilih adalah Medium Long Shot.

Shot 13 menampilkan sosok Beguganjang kecil yang memperlihatkan wajahnya pada Ucok. Komposisi yang dipilih adalah balance dengan jarak Medium Close Up. Wajah Beguganjang yang tadinya side view, berubah menjadi front view agar penonton juga dapat melihat wajah Beguganjang dengan jelas.

(38)

91 Pada tahap ini, suspense masih belum terasa.

2. Eksplorasi pertama: Shot 12

Gambar 3.11. Eksplorasi shot 12

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada eksplorasi tahap 2, nomor shot turun menjadi shot 10, 11, dan 12. Eksplorasi tahap ini hanya mengubah shot 13 yang sekarang menjadi shot 12. Shot yang tadinya diambil dari sudut pandang Ucok, kini diambil dari depan Beguganjang. Sementara itu, Ucok terlihat dari sisi belakang kanan Beguganjang tengah mendekat ke arah Beguganjang. Penggunaan komposisi ini untuk menambah suspense. Melalui sudut ini, penonton dapat mengetahui lebih dahulu bagaimana wajah Beguganjang dibanding Ucok, sebelum Beguganjang menoleh ke belakang untuk memperlihatkan wajahnya pada Ucok.

Shot 12 ini masih menggunakan komposisi balance, namun dengan adanya Ucok yang terlihat kecil di sisi kanan Beguganjang mengubah komposisi menjadi unbalanced. Ucok yang terlihat lebih kecil juga seolah memberi hint pada apa yang akan terjadi ke depannya, yaitu sosok Beguganjang yang lebih besar daripada Ucok. Komposisi ini digunakan

(39)

92 untuk mematahkan shot 11 yang menganggap sosok Beguganjang bukanlah ancaman.

3. Eksplorasi kedua: Shot 11 dan 12

Gambar 3.12. Eksplorasi shot 11 dan 12

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Pada tahap ke-3 ini, adegan yang semula terjadi di lantai bawah dipindah ke lantai atas rumah Ucok. Nomor shot juga berubah menjadi 11 dan 12, terpangkas menjadi 2 karena Ucok langsung melihat Beguganjang begitu ia tiba di lantai 2.

Pada shot 11, penulis menggunakan POV Shot dan handheld Ucok menaiki tangga. Dark Voyeur POV menggunakan atap lantai 2 membuat fokus penonton tertuju pada lubang kecil untuk naik ke lantai 2. Dengan ini, penonton akan menjadi penasaran mengenai apa yang menanti Ucok di lantai 2, sementara Ucok pun juga tidak tahu apa yang akan ditemuinya di lantai 2. Jarak kamera yang digunakan adalah Close Up dengan komposisi Rule of Thirds. Pada shot 12, shot yang digunakan sama dengan shot 12 pada eksplorasi sebelumnya, yaitu Beguganjang ditampilkan secara balance di tengah frame, namun berubah menjadi inbalance dengan adanya Ucok di belakang Beguganjang.

(40)

93 4. Eksplorasi ketiga: Shot 14

Gambar 3.13. Eksplorasi shot 14

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Shot 14 adalah adegan dimana Ucok naik ke lantai 2 dan menemukan Beguganjang, lalu ia mendekati Beguganjang dengan ketakutan. Saat Ucok naik ke lantai 2, foreshadowing wajah Beguganjang diperlihatkan separuh dan tidak fokus untuk membuat penonton penasaran mengenai sosoknya, sekaligus agar penonton merasa takut untuk Ucok yang tidak tahu akan apa yang menantinya. Sosok tersebut diperjelas saat kamera bergerak mundur dan mengubah fokusnya menjadi Beguganjang sementara Ucok berjalan mendekat. Pada tahap ini, penonton mengetahui lebih dahulu bahwa Ucok terancam bahaya akibat visual Beguganjang yang ditunjukkan. Beguganjang yang kemudian menoleh ke belakang membuat Ucok takut, namun suspense yang ingin dibangun masih belum terasa karena hubungan penonton dengan Ucok kurang intim. Selain itu, ketakutan Ucok juga kurang tersampaikan bagi penonton.

(41)

94 5. Eksplorasi keempat: Shot 11, 12, 13, 14, 15, 15, 16, 17, dan 18

Gambar 3.14. Eksplorasi shot 11 (gambar 1 dan 2), 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 (gambar 9 dan 10)

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Setelah melihat film referensi, penulis menyadari bahwa repetisi shot diperlukan untuk membangun suspense selama tokoh mendekati hantu. Repetisi tersebut berguna untuk membangun keintiman antara penonton dengan tokoh. Selain itu, penulis juga menyadari bahwa sosok hantu (antagonis) sebaiknya disembunyikan agar penonton dan tokoh dapat mengungkap sosok tersebut bersama-sama.

Shot 11 mengacu pada “The Beach House” (2019) yang menunjukkan Ucok yang baru tiba di lantai 2 dan mengeksplor lantai tersebut dengan senternya hingga menemukan sosok Beguganjang di seberang ruangan. Pada tahap pertama yang menyorot ketibaan Ucok di lantai 2, high angle dan Close Up digunakan untuk membuat jarak pandang yang sempit sehingga penonton menebak-nebak hal apa yang mungkin menanti Ucok. Crane down secara singkat dilakukan untuk menuju ke tahap berikutnya dimana foreground dalam shot ini adalah

(42)

95 Ucok sementara fokus utamanya ialah Beguganjang di sudut ruangan. Komposisi yang digunakan adalah rule of thirds dengan sudut eye level. Dengan demikian, mata penonton akan terfokus pada Beguganjang.

Shot 12 menunjukkan sosok Ucok yang mulai bergerak mendekati Beguganjang. Shot ini mengacu pada “The Beach House” (2019) dengan Medium Long Shot dan eye level. Ucok berada di sisi kiri frame membuat komposisi menjadi inbalance. Shot 13 mengacu pada “The Beach House” (2019), menunjukkan sosok Beguganjang membelakangi kamera sementara kamera bergerak maju (tracking in) seolah tokoh Ucok mendekat. Komposisi yang digunakan pada shot ini adalah balance, dengan sudut eye level dan jarak Medium Shot.

Shot 14 mengacu pada “The Beach House” (2019) yang menunjukkan pengungkapan tokoh secara sedikit demi sedikit dengan gerakan dolly. Komposisi yang digunakan adalah Rule of Thirds di sisi kiri frame. Dengan sosok Beguganjang yang terungkap sedikit demi sedikit akan meningkatkan kewaspadaan penonton, ditambah dengan kamera yang bergerak tracking in secara perlahan. Shot 15 menunjukkan kegelisahan Ucok saat akan menyingkap Beguganjang, mengacu pada film pendek “Pictures” (2015). Medium Close Up dipilih untuk memperlihatkan ekspresi Ucok dengan jelas, namun juga untuk memperlihatkan latar tempat dan suasana.

(43)

96 6. Eksplorasi kelima: Shot 11, 12, 13, 14, 15, dan 16

Gambar 3.15. Eksplorasi shot 11 (gambar 1 dan 2), 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19 (gambar 11 dan 12)

(44)

97 Pada eksplorasi shot 11, penulis mengubah kamera menjadi POV Shot namun dengan adegan yang sama seperti pada eksplorasi sebelumnya. Hal ini dimaksudkan supaya arah senter dapat terlihat dengan lebih jelas. Selain itu, penonton juga dapat mengeksplorasi lantai 2 bersama dengan Ucok. Penggunaan POV Shot ini mengacu pada film pendek “Pictures” (2015).

Pada shot 12, penulis mengacu pada “Pictures” (2015) yang menggunakan Medium Close Up dan sedikit high angle untuk menunjukkan reaksi Ucok pada apa yang dilihatnya. Ucok juga bergerak mendekat sementara kamera bergerak tracking out. Rule of thirds digunakan dalam shot ini untuk membuat look room Ucok terlihat lebar lalu menyempit seiring Ucok yang semakin mendekat pada Beguganjang.

Shot 13 masih sama dengan eksplorasi sebelumnya, sedangkan pada shot 14, adegan sama seperti shot 15 pada eksplorasi sebelumnya namun penulis mencoba menaikkan kamera sehingga menjadi high angle. Selain itu, penulis juga meletakkan kamera lebih dekat kepada Ucok sehingga menjadi Big Close Up. Shot ini mengacu pada “Pictures” (2015) yang meletakkan tokoh sangat dekat dengan kamera sehingga ekspresi takut tokoh tergambar dengan jelas.

Shot 15 mengacu pada film “Pengabdi Setan” (2017) dimana kamera diletakkan di belakang tokoh protagonis (Ucok) sementara Ucok menggapai Beguganjang dari diagonal belakang. Medium Shot digunakan dalam shot ini sehingga fokus shot yaitu Beguganjang yang duduk terlihat

(45)

98 secara keseluruhan. Shot 16 juga mengacu pada “Pengabdi Setan” (2017) yang menunjukkan tokoh antagonis (Beguganjang) memutar wajahnya menghadap kamera secara perlahan. Shot ini ditunjukkan dengan Big Close Up sehingga wajah Beguganjang memenuhi layar.

7. Eksplorasi keenam: Shot 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, dan 20

Gambar 3.16. Storyboard akhir shot 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20

(46)

99 Setelah mengeksplorasi lebih lanjut, nomor shot pun mengalami perubahan dan penambahan. Penambahan ini dilakukan untuk lebih membangun ketegangan saat Ucok mendekati Beguganjang. Penulis juga menemukan bahwa kamera POV Shot pada eksplorasi sebelumnya kurang menambah efek ketegangan. Karena itu teknik pada 2 eksplorasi sebelumnya kembali digunakan, yaitu Big Close Up untuk memperlihatkan kedatangan Ucok di lantai 2. Kamera kemudian bergerak mengikuti langkah Ucok yang mengeksplorasi lantai 2 dan akhirnya push in saat ia menemukan sosok Beguganjang kecil. Push in ini ditujukan agar penonton mengetahui hal apa yang ditemukan Ucok di lantai 2 dan membuatnya takut. Ini karena dalam ketiga acuan, penonton pun mengetahui dengan jelas apa yang membuat tokoh merasa takut.

Kamera pada shot 14 (tadinya 12) yang awalnya normal angle juga dinaikkan sedikit menjadi high angle dan diletakkan lebih dekat menjadi close up agar ketakutan Ucok lebih terlihat. Adegan ini dilanjutkan menuju shot 15 yang mengacu pada “The Beach House” (2019) dan “Pictures” (2015), yaitu kamera yang bergerak secara Sublte dolly menyorot Beguganjang kecil. Gerakan yang tidak disadari ini menambah ketegangan.

Pada shot 16, ketakutan Ucok semakin terlihat. Karenanya, big close up dipilih, seperti mengacu pada “Pictures” (2015). Mata Ucok ditampilkan dalam frame ini karena ekspresi ketakutan manusia dapat terlihat pertama kali dari mata. Shot 17 menunjukkan keragu-raguan Ucok

(47)

100 yang hendak menyentuh Beguganjang. Keragu-raguan ini mengambil acuan dari “Pictures” (2015).

Shot 18 dan 20 adalah adegan yang menunjukkan sosok Beguganjang kecil menoleh dan memperlihatkan wajahnya. High dan canted angle digunakan dalam shot ini untuk menimbulkan ketidaknyamanan. Selain itu juga menunjukkan kesinambungan dari shot sebelumnya, karena posisi Ucok yang lebih tinggi dari Beguganjang kecil yang sedang duduk. Shot 19 menyorot gigi Ucok yang bergemeletuk akibat ketakutan yang semakin membesar.

Gambar

Gambar 3.1.  Skematika Perancangan  (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Tabel 3.1.  Observasi shot “The Babadook” (2014)
Tabel 3.2.  Observasi shot “Nightfall” (2016)
Tabel 3.4.  Observasi shot “Pictures” (2015)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, dalam rangka menunjang keberhasilan program ketahanan keluarga ini, selama tahun 2008 telah disusun dua buah buku yakni Buku Pegangan Kader IMP dan Buku Pengasuhan

Salah satu model pembelajaran yang membuat peserta didik tidak bosan yaitu dengan model kooperatif dimana dalam model ini peserta didik dibentuk dalam kelompok- kelompok

STII kota Tasikmalaya saat ini telah memiliki keanggota di beberapa kelurahan dan desa baik di kota maupun kabupaten Tasikmalaya, keanggotaan STII Kota Tasikmalaya terbuka bagi

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui kondisi perusahaan perkebunan teh Kemuning pada masa revolusi sosial di Surakarta tahun 1945-1946.. Penelitian ini menggunakan

Suraco Jaya Abadi Motor Cabang Pallangga agar tetap memanfaatkan bauran promosi untuk memperkenalkan ciri dan karakteristik produk yang dimilikinya baik melalui

Berdasarkan jenis data yang digunakan untuk menentukan jauh dekatnya kekerabatan antara dua kelompok yang digunakan untuk menentukan jauh dekatnya kekerabatan antara dua

Karena penjualan merupakan salah satu kegiatan perusahaan yang sangat penting, maka perlu didesain suatu sistem informasi akuntansi yang terdiri dari sekumpulan

Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh tingginya kadar glukosa (gula sederhana) di dalam darah karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan