Hak cipta dan penggunaan kembali:
Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah,
memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk
kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama
penulis dan melisensikan ciptaan turunan dengan syarat
yang serupa dengan ciptaan asli.
Copyright and reuse:
This license lets you remix, tweak, and build upon work
non-commercially, as long as you credit the origin creator
and license it on your new creations under the identical
terms.
CURRICULUM VITAE
Personal Data
Name : Lupita Wijaya Hobby : Reading and writing Phone : 0819 3222 8399
E-mail : [email protected]
Address : Poris Garden Blok A1 No. 18 B, Tangerang Interest : Politics, literature, and classical music
Gender : Female
Date of Birth : October 17th 1991 Marital Status : Single
Nationality : Indonesian Religion : Christian
Career Interest : Print media journalist
Educational and Professional Qualification
Education Information :
Period School / University Major IPK
2005 - 2007 San Marino Junior High School - - 2007 - 2009 San Marino Senior High School Natural Science - 2009 - 2013 Multimedia Nusantara University Journalism 3,97
Informal Education/ Training/ Seminar/ Competition
1. English First Real English level Advanced
2. Understanding International Exam Preparation 2012 3. English Journalism & IMO Workshop 2011
4. Creative Technopreneurship as Media Officer 2011
5. Workshop and press competition GATRA 2011 (2nd place)
6. Student’s Debate Competition in Jaktv’s program 2011 (three best) 7. Entrepreneurship Workshop Mandiri 2010
Summary of Working Experience
Year : 2008-2012
Position : Private teacher Last salary : IDR 50.000,00/ meet
Job Description : Taught all subjects from kindegarden to junior high school level. Notably in English, Mathematics, and Science.
Year : 2011-2012
Company : AR&Co
Position : Freelance writer
Last salary : IDR 1.200.000,00/ month
Job Description : Handled all writings such as media articles, company profile, news online, and blog. I wrote all writings in English
Year : 2011-2012
Company : Insight Magazine
Position : Subeditor
Last salary : IDR 250.000,00
Job Description : Besides as a journalist who covered news for cover story, I was a subeditor for UMN News, Opinion, and Technopreneurship desk. I wrote all news in Indonesian
Year : 2011-2012
Company : Limmie Online Magazine
Position : Creative Journalist and Translator
Last salary : -
Job Description : I was charged in Creativity desk. I also translated some international interviews
Year : 2012
Company : Antara News Agency
Position : International News Intern Journalist Last salary : ± IDR 25.000,00/ day
Job Description : I was charged in writing and covering news in International News Departement of Antara V-Sat
Year : 2012
Company : Gramedia Pustaka Utama Position : Freelance Translator/ project
Last salary : IDR5,00/characters (include spacing) Job Description : English-Indonesian translator of Harlequin
novel which was published in all Indonesian book stores
Language Proficiency
Num Language Skill
Reading Writing Speaking Listening
1 English √ √ √ √
2 Mandarin Chinese - - √ √
This curriculum vitae is fulfil with real and latest information.
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Rabu, 01-08-2012. Halaman: 1,15
KPK Tidak Boleh Dihambat
Inspektur Jenderal Djoko Susilo Jadi Tersangka
Jakarta, Kompas- Kepolisian Negara RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi agar bersinergi dalam penegakan hukum kasus dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas Polri. Jangan sampai mengulang konflik lama "Cicak versus Buaya". Kerja KPK pun tidak boleh dihambat.
"Sejauh itu upaya penegakan hukum, kedua lembaga penegak hukum ini (kepolisian dan KPK) harus bersinergi. Itu respons Presiden. Diharapkan itu akan dilaksanakan dengan baik," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Selasa (31/7).
Setelah melakukan pengusutan dugaan korupsi di Polri, KPK menetapkan Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi kendaraan roda dua dan roda empat untuk ujian surat izin mengemudi (SIM).
KPK pun menggeledah Markas Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri di Jalan MT Haryono, Jakarta, Senin (30/7) sejak pukul 16.00. Sempat terjadi miskomunikasi antara petugas KPK yang menggeledah Markas Korlantas dan sejumlah polisi pada pukul 22.00. Petugas KPK waktu itu tak bisa meneruskan penggeledahan.
Hingga akhirnya Ketua KPK Abraham Samad beserta dua wakilnya, Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas, datang ke Korlantas pukul 24.00. Terjadilah pertemuan antara pimpinan KPK dan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman.
Penggeledahan kemudian bisa dilakukan lagi Selasa pukul 03.30. Namun, sejumlah penyidik KPK tetap tinggal di lokasi penggeledahan sekitar pukul 17.00. Mereka menunggu dokumen yang diharapkan bisa segera diangkut ke Gedung KPK.
Menurut Djoko Suyanto, ada nota kesepahaman (MOU) antara Polri, KPK, dan Kejaksaan tentang mekanisme pengelolaan perkara. Namun, ia tidak memerinci kesepakatan itu. "Yang terpenting, Kapolri sudah menyatakan mendukung upaya-upaya penegakan hukum yang dilakukan KPK. Ini ada mekanisme khusus yang ada di dalam MOU itu. Jadi, ikutilah mekanisme itu," katanya.
Djoko mengatakan telah berkomunikasi dengan Kepala Polri dan pimpinan KPK agar nuansa permusuhan seperti Cicak versus Buaya tidak terulang. "Kita jaga kedua lembaga penegakan hukum ini, tidak boleh bertentangan, tidak boleh bertengkar," katanya.
Ketua KPK Abraham Samad, yang Selasa siang bertemu Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo di Mabes Polri, mengatakan, hasil kesepakatan pertemuan itu adalah semua barang bukti boleh dibawa ke KPK. "Semua bukti dibawa ke KPK untuk dilakukan verifikasi," katanya.
Senada dengan Abraham, Busyro Muqoddas mengatakan, barang bukti yang sempat "disandera" di Korlantas sudah bisa dibawa karena sudah ada kesepakatan dengan Polri. "BB (barang bukti) sudah boleh diangkut ke KPK berdasarkan pertemuan pimpinan KPK dengan Kapolri," kata Busyro.
"Alhamdulillah semua selesai. Ada beberapa hambatan kecil dan itu bisa diselesaikan pasca- pertemuan dengan Kapolri dan barang bukti bisa diambil KPK," kata Bambang Widjojanto.
Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin menilai, sikap Polri terhadap penggeledahan itu menunjukkan belum tumbuh kesadaran untuk memerangi korupsi. "Tidak ada institusi kebal terhadap KPK. Seharusnya Polri mengikuti sikap DPR yang legowo saat anggotanya diproses hukum dan kantornya digeledah KPK," kata Lukman.
Menurut Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, penanganan kasus itu diharapkan tetap ditangani KPK. Kepolisian tak perlu turut campur tangan, tetapi yang tak boleh dilupakan adalah sikap saling menghormati.
"Presiden harus turun tangan karena polisi melakukan obstruction of justice atau menghalangi upaya penegakan hukum," kata Ketua Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch Agus Sunaryanto.
Penetapan tersangka
KPK telah lama menyelidiki kasus tersebut. Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi SP, tahap pengumpulan bahan dan keterangan dilakukan sejak awal Januari 2012. Setelah Januari, KPK mulai menaikkan status penanganan kasus itu menjadi penyelidikan. Hingga 27 Juli lalu, KPK secara resmi menaikkan kasusnya ke tingkat penyidikan dan menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka. Sebelum menjabat Gubernur Akpol, Djoko menjabat Kepala Korps Lalu Lintas Polri.
"DS (Djoko Susilo) disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu KUHP Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. DS diduga menyalahgunakan kewenangannya, memperkaya diri sendiri dan orang lain yang bisa berakibat merugikan kekayaan negara," kata Johan.
Kasus tersebut bermula dari dugaan adanya penggelembungan (mark up) pengadaan simulator kendaraan roda dua dan roda empat untuk ujian SIM. Proyek pengadaan simulator itu bernilai Rp 190 miliar. Padahal, pengadaan simulator ini sebenarnya diperkirakan hanya senilai Rp 90 miliar.
Terkait penanganan kasus korupsi yang melibatkan anak buahnya yang sudah jadi tersangka, Timur Pradopo mengatakan, KPK dan Polri sama-sama memiliki tugas penanganan kasus korupsi. "Kita mengarah, kalau sama-sama obyeknya, ke joint investigasi," katanya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, Polri menghormati yang dilakukan KPK. "Kami sepenuhnya mendukung langkah-langkah penegakan hukum yang dilakukan KPK," kata Boy.
Sutarman mengungkapkan, dalam investigasi bersama itu, KPK lebih fokus pada penanganan kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara. Bareskrim Polri lebih fokus pada pihak-pihak lain atau penyelenggara negara yang tidak ditangani KPK.
Ia menjelaskan, Polri pernah menangani kasus dugaan tindak pidana terkait proses tender pengadaan simulator mengemudi itu. Dugaan tindak pidana itu terkait sengketa tender antara PT Citra Mandiri Metalindo Abadi sebagai pemenang tender dan PT Inovasi Tehnologi Indonesia sebagai subkontraktor.
"Itu kasus lama dan sudah masuk ke pengadilan," katanya. Boy mengakui beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa terkait penanganan kasus itu, Polri belum menemukan unsur pidananya.
(BIL/RAY/WHY/NWO/NTA/ONG/FER) Grafik: Penggeledahan
Korlantas Polri
- Lihat Video Terkait "Korlantas Polri Digeledah KPK" di vod.kompas.com/korlantaspolri.
- BACA JUGA HAL 13
KOMPAS/RIZA FATHONI Penyidik KPK mendata barang bukti hasil penggeledahan di Markas Korps Lalu Lintas Polri di Jalan MT Haryono, Jakarta, Selasa (31/7).
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Rabu, 01-08-2012. Halaman: 3
Korupsi
Rakyat Dukung KPK Bongkar Kasus SIM
Jakarta, Kompas-Masyarakat mendukung penuh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membongkar kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi pembuatan SIM di Korps Lalu Lintas Polri. Untuk itu, Porli diharapkan mendukung pemberantasan korupsi, termasuk yang melibatkan pejabat yang diduga terlibat korupsi.
Dukungan tersebut disampaikan peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Oce Madril, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M Massardi, secara terpisah, di Jakarta, Selasa (31/7).
Keduanya menghargai KPK yang menyidik kasus korupsi pengadaan alat driving simulator pembuatan SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, dan menggeledah lembaga tersebut, Senin sampai Selasa pagi. Mantan Direktur Lantas Polri, yang kini menjadi Gubernur Akademi Kepolisian di Semarang, Jawa Tengah, Irjen Djoko Susilo, ditetapkan sebagai tersangka.
Oce Madril mengungkapkan, ini kali pertama KPK menyidik kasus korupsi di Polri dengan tersangka seorang elite polisi berpangkat bintang dua dan masih aktif.
Menurut Oce Madril, sebagai penyidik, KPK berwenang untuk menggeledah berkas-berkas, menyita barang bukti, atau memblokir rekening yang mencurigakan. Siapa pun yang menghalangi proses penyelidikan dan penyidikan dapat dijerat hukum pidana sesuai Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Kepala Polri semestinya konsisten mendukung pemberantasan korupsi, dan harus dipastikan tidak ada gangguan dalam proses penyidikan oleh KPK. Kalau perlu, Polri berinisiatif
menyerahkan data yang dipunyai kepolisian agar kasus tersebut sepenuhnya disidik KPK," katanya.
Adhie M Massardi mengatakan, langkah KPK untuk mengusut korupsi di Polri sudah benar. Komisi tersebut diharapkan sungguh-sungguh menuntaskan kasus ini dan tidak meninggalkan di tengah jalan dengan hanya menohok satu tersangka. Bongkar dugaan korupsi simulator SIM sampai ke puncak bukit.
"Kalau KPK sungguh-sungguh, publik akan menonton dan menjadi suporter fanatik. Publik bisa marah jika tim kesayangannya dicurangi," katanya.
Komisi Kepolisian Nasional menyesalkan sikap kepolisian yang menghalang-halangi petugas KPK. Tindakan itu tidak sejalan dengan iktikad kepolisian dalam memberantas korupsi.
"Kami akan membahas tindakan polisi yang menghalang-halangi penggeledahan KPK dengan anggota lainnya," ujar Komisioner Komisi Kepolisian Nasional Hamidah Abdurrachman, di Bandung, Jawa Barat, kemarin.
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Rabu, 01-08-2012. Halaman: 3
Korupsi Alat Simulasi
Ditahan Lebih dari 24 Jam
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas baru saja tiba di kediamannya, Senin (30/7) pukul 23.00. Tiba-tiba anak buahnya menelepon, mengabarkan kegentingan.
Petugas KPK yang tengah menggeledah Markas Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri di Jalan MT Haryono, Jakarta, dihadang beberapa petugas Badan Reserse Kriminal (Bareskrim). Penggeledahan itu terkait dugaan korupsi pengadaan alat simulasi roda dua dan empat untuk ujian surat izin mengemudi.
Penggeledahan seharusnya mudah. Sekitar 30 petugas KPK dengan enam mobil tiba sejak pukul 16.00. Semua lancar. Petugas jaga di Korlantas mempersilakan pegawai KPK menggeledah beberapa tempat dan menunjukkan tempat penyimpanan arsip ke petugas KPK.
Pukul 22.00, upaya penggeledahan KPK terhenti. Sejumlah perwira Bareskrim Mabes Polri membawa anak buahnya datang. Setidaknya ada dua perwira berpangkat komisaris besar yang datang. Mereka menanyakan upaya penggeledahan KPK.
Suasana sangat tegang. Perwira Bareskrim menanyakan izin dari Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo. Tak kalah gertak, petugas KPK menunjukkan surat penetapan pengadilan terkait izin penggeledahan.
Tak mau kalah, perwira Bareskrim itu meminta dilakukan gelar perkara di tempat dan minta KPK menunjukkan bukti korupsi. KPK menolak gelar perkara di tempat. Ketegangan meningkat. Bareksrim minta KPK tidak menggeledah.
Saat itu, petugas KPK menelepon pimpinan. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto baru tiba di rumahnya, Depok, Jawa Barat, sekitar pukul 23.00 ketika teleponnya berdering. "Ada emergency call dari lapangan," ujar Bambang.
Busyro, Bambang, dan Ketua KPK Abraham Samad yang juga ditelepon malam itu langsung kembali ke KPK. Ketiganya, ditemani Direktur Penuntutan dan Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan Warih Sadono beserta Direktur Penyelidikan Arry, langsung menuju Korlantas.
Tiba pukul 24.00 di Korlantas, mereka mendapati Kabareskrim Komisaris Jenderal Sutarman. Pembicaraan tak mulus. Muncul perdebatan. Masing-masing tetap pada pendiriannya. Mabes Polri mengemukakan tengah menyelidiki kasus yang sama.
Tak Boleh Menggeledah
Pembicaraan tiga pimpinan KPK dengan Kabareskrim berakhir pukul 03.30. Selama pembicaraan itu, petugas KPK tak boleh menggeledah. Semua petugas KPK yang semula menggeledah berkumpul di lobi Korlantas. Sebagian berusaha terjaga menahan kantuk. Nasi dengan sepotong ayam yang dipesan dan sudah datang untuk sahur terasa hambar.
Tak lama kemudian, terdengar azan subuh. Pimpinan KPK bersama jajaran Kabareskrim shalat subuh di masjid belakang Korlantas. Ketegangan mulai cair. Penggeledahan boleh kembali dilakukan.
Pukul 07.30 penggeledahan selesai. Seluruh barang bukti tetap dikumpulkan di Korlantas. Menurut Bambang, Kabareskrim membantu menyediakan ruangan di Korlantas untuk menyimpan barang bukti dan disegel. Petugas KPK mendata barang bukti dan membuat berita acara penggeledahan.
Bambang ditemani Juru Bicara KPK Johan Budi SP kembali ke KPK. Didampingi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar, Johan menggelar jumpa pers mengumumkan, Gubernur Akademi Kepolisian Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka. Sebelumnya, Djoko menjabat Kepala Korlantas Mabes Polri.
Johan mengumumkan, barang bukti yang disimpan di Korlantas bisa dibawa ke KPK. Siang harinya, pimpinan KPK akan bertemu Kapolri di Mabes Polri.
Kesepakatan pagi itu tak semudah yang dibayangkan. Hingga siang, petugas KPK belum diizinkan meninggalkan Korlantas untuk membawa barang bukti. Dalam jumpa pers sore harinya, Johan menyatakan, barang bukti masih tertahan dan belum diizinkan dibawa keluar.
Kabar gembira didapat seusai buka puasa. KPK boleh membawa barang bukti dari Korlantas. "Kami sangat berterima kasih karena Kapolri memahami bahwa penyidikan KPK sangat dibatasi waktu sehingga barang-barang bukti yang kami perlukan diizinkan untuk segera dibawa ke KPK," kata Bambang.
KPK mengizinkan Mabes Polri menggunakan barang bukti yang telah disita untuk kepentingan penyelidikan mereka. Disepakati pula KPK akan menyidik tersangka Djoko dan pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan alat simulasi. Polri akan menangani panitia pengadaannya. Untuk sementara, jalan berani dan penuh risiko penyidik KPK lapang. Dukungan kuat masyarakat ada di belakang dan siap digalang.
(KHAERUDIN)
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN Tampak Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad (kanan) dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo (tengah) seusai melakukan pertemuan tertutup di Markas Besar Polri, Jakarta, Selasa (31/7). Pertemuan itu terkait penetapan tersangka dugaan kasus korupsi pengadaan alat simulator pembuatan SIM di Korps Lalu Lintas Polri tahun 2011 dengan tersangka DS oleh KPK.
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Kamis, 02-08-2012. Halaman: 1,15
Lagi, Jenderal Jadi Tersangka
Penyidikan Harus Sepenuhnya Ditangani KPK
Jakarta, Kompas -Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan tiga tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi alat simulasi kendaraan bermotor di Korps Lalu Lintas Polri. Satu tersangka adalah pejabat pembuat komitmen proyek itu, Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo.
Penetapan tersangka itu berdasarkan hasil pengembangan penyidikan KPK setelah penetapan tersangka mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang kini menjabat Gubernur Akademi Kepolisian (Akpol). Dua tersangka baru lainnya adalah rekanan proyek tersebut, yaitu Budi Susanto (Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi) dan Sukoco S Bambang (Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia).
"Ada tiga orang lain yang merupakan pelaku penyerta tindak pidana korupsi dalam kasus ini, yakni DP (Didik Purnomo), BS (Budi Susanto), dan SB (Sukoco Bambang). Nama ketiganya tertulis dalam surat perintah penyidikan untuk tersangka atas nama DS (Djoko Susilo)," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto seusai acara buka bersama di KPK, Rabu (1/8). Surat perintah penyidikan untuk Didik Purnomo dan Sukoco Bambang telah ditandatangani. Para tersangka itu juga sudah dicegah ke luar negeri.
Direktur Penuntutan dan Pelaksana Tugas Direktur Penyidikan KPK Warih Sadono menambahkan, ketiganya bisa dimintai pertanggungjawaban secara pidana.
Namun, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Agus Rianto mengatakan, berdasarkan investigasi polisi, tidak ditemukan adanya aliran uang kepada sejumlah pejabat Polri. "Kami sudah melakukan investigasi beberapa waktu lalu. Hasilnya, tidak ada pemberian uang," katanya.
Dikatakan bahwa dalam kasus korupsi simulator itu disepakati Polri dan KPK akan menangani kasus tersebut, tetapi dengan sasaran penyidikan berbeda. "Kebijakan pimpinan KPK dan Kapolri adalah penanganan tetap dilakukan KPK dan Kapolri dengan sasaran ditentukan masing- masing," katanya.
Namun, kata Bambang Widjojanto, tidak ada penyidikan bersama dengan Polri. Kerja sama adalah saat penggunaan barang bukti yang disita KPK karena Polri juga menyelidiki kasus itu.
Desakan agar penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada KPK mendapat dukungan luas. Mantan anggota panitia khusus DPR dalam pembahasan Undang-Undang KPK dan Undang- Undang Kepolisian, Firman Djaya Daeli, mengatakan, langkah KPK yang menyidik kasus korupsi di kepolisian secara mandiri sudah benar.
"Undang-Undang KPK secara tegas menyebut KPK bahkan bisa mengambil alih kasus korupsi yang tengah ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan," kata Firman yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
"Jika merujuk pada UU No 30/2002 tentang KPK Pasal 11 dan 50, penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan seharusnya dihentikan saat KPK menangani kasus tersebut," ujar anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga sependapat, bahwa penanganan kasus itu sepenuhnya ditangani KPK. "Sebaiknya kasus ini ditangani KPK saja," kata komisioner Kompolnas, Syafriadi Cut Ali.
Bahkan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida mengatakan, kasus di Korlantas itu akan lebih tepat ditangani KPK karena lebih independen dan sesuai dengan UU KPK. "Kalau kepolisian masih menghambat penyidikan, berarti lembaga itu melindungi pejabat yang korup. Citra polisi akan semakin buruk," katanya.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, tidak ada kegiatan KPK yang dihambat saat penggeledahan di kantor
Korlantas. Yang diperlukan memang komunikasi antarpenegak hukum, baik KPK maupun Polri. Semalam Boy mengabarkan, polisi menetapkan empat tersangka.
Desakan penonaktifan
Terkait status tersangka Djoko Susilo, menurut komisioner Kompolnas, Hamidah Abdurrachman, Kapolri agar membebastugaskan Djoko Susilo dari jabatan Gubernur Akpol guna kelancaran pemeriksaan.
Eva Kusuma juga mengatakan, "Seharusnya (Djoko Susilo) dinonaktifkan dari jabatan Gubernur Akpol sehingga tidak mengganggu keberlangsungan aktivitas di Akpol. Penonaktifan ini sekaligus untuk memberikan ruang kepadanya agar berkonsentrasi dalam menghadapi kasus yang membelitnya."
Langkah penonaktifan, kata pengamat kepolisian dari Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, perlu diambil agar tidak membawa efek psikologis dan beban moral bagi siswa Akpol.
Adrianus Meliala, komisioner Kompolnas lainnya, menilai kasus ini sebagai ironi bagi kepolisian. Pasalnya, Korlantas telah mendapat banyak fasilitas. Korlantas juga boleh memungut uang sebagai penerimaan negara bukan pajak dari masyarakat.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo berharap semangat KPK dalam menangani kasus di Korlantas tidak melemah. Hukum harus ditegakkan dan berlaku bagi siapa pun, termasuk pejabat lembaga penegak hukum yang diduga terlibat.
"Kita harus memberikan dukungan penuh kepada KPK dan Polri, jangan ada yang ditutupi. Semua kasus dugaan korupsi bisa diambil alih KPK," ujar anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Ahmad Yani.
Setelah penetapan tersangka Djoko Susilo, situasi di Akpol di Semarang, Rabu, tetap normal. Hanya saja, saat upacara penerimaan 300 taruna di Lapangan Akpol, Gubernur Akpol itu tidak hadir. Upacara penerimaan taruna itu dipimpin Wakil Gubernur Akpol Brigjen (Pol) Bambang Usadi. Menurut Bambang Usadi, Djoko Susilo sedang ke Jakarta karena ada urusan penting.
Kemarin rumah yang diduga milik Djoko Susilo di Jalan Raya Leuwinanggung, Kelurahan Leuwinanggung, Kecamatan Tapos, Depok, terlihat sepi. Nyonya Uni, tetangga di belakang rumah Djoko, mengatakan, sejak lima tahun bertetangga, dia tidak pernah melihat Djoko atau keluarganya.
Sahrin, mantan Ketua RT 02 di seberang rumah Djoko, mengatakan, rumah itu dibangun tiga tahun terakhir. Pagar utama rumah tersebut tertutup dan terdapat kamera monitor di atas pagar setinggi 5 meter.
(BIL/RAY/IAM/FAJ/FER/NTA/WHY/LOK/WHO/ONG) Grafik: Kasus
Simulator Kendaraan Bermotor
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Kamis, 02-08-2012. Halaman: 3
Korupsi Simulator SIM
Berlari Lebih Cepat, KPK Mencium Jejak Jenderal
Kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri tiba-tiba mencuat. Puluhan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kantor Korlantas sejak Senin (30/7) sore.
Jenderal polisi bintang dua, Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Gubernur Akademi Kepolisian dan mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, sudah ditetapkan sebagai tersangka pada 27 Juli 2012.
Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, hingga 27 Juli lalu, KPK secara resmi menaikkan kasusnya ke tingkat penyidikan dan menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka (Kompas, 1/8).
Kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi tersebut sebenarnya bukan kasus baru. Aparat kepolisian pernah menangani kasus sengketa tender dalam pengadaan alat simulasi mengemudi tersebut.
Sengketa tender itu terkait PT Citra Mandiri Metalindo Abadi sebagai pemenang tender dan PT Inovasi Tehnologi Indonesia (PT ITI) sebagai subkontraktor. PT ITI dinilai tidak dapat memenuhi permintaan barang.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, Polri menghormati apa yang tengah dilakukan KPK. "Tentu dalam konteks tugas yang dilakukan KPK, kami ingin sampaikan bahwa Polri adalah mitra yang sejajar dalam konteks pemberantasan korupsi. Kami sepenuhnya mendukung langkah-langkah penegakan hukum yang dilakukan KPK," kata Boy.
Dalam jumpa pers di KPK, Selasa (31/7), Boy mengakui beberapa waktu lalu pernah mengumumkan belum ditemukan unsur pidana kasus itu. Berdasarkan temuan Inspektorat Pengawasan Umum Mabes Polri saat itu, proses pengadaan alat simulasi berjalan normal.
Menurut Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Sutarman, Bareskrim juga sedang menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi itu. Bareskrim memang terkesan agak lama menangani karena Bareskrim beranjak pada pemeriksaan tersangka dari level bawah, seperti pimpinan proyek atau pejabat pembuat komitmen, dan bisa mengarah pada pejabat yang lebih tinggi. "Kalau KPK lebih fokus pada penyelenggara negara," katanya.
Sayangnya, Bareskrim kurang "jeli" mendalami lebih lanjut kasus terkait sengketa tender itu. Ternyata, di balik kasus sengketa tender itu terdapat dugaan kasus korupsi yang diduga melibatkan perwira tinggi Polri. Ibarat lari 100 meter, Bareskrim Polri kalah cepat dengan KPK.
KPK mampu mencium tersangka lain yang diduga terlibat, yaitu Djoko Susilo. Upaya penggeledahan kantor Korlantas pun mengentakkan banyak orang ketika tidak berjalan mulus. Kini, kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi dengan tersangka Djoko Susilo itu pun "meluncur" ke KPK. Tinggal menunggu KPK memeriksa Djoko Susilo.
Nilai proyek
Dugaan kasus korupsi yang melilit Djoko saat ini memang tidak kecil. Nilai proyek pengadaan alat simulator mengemudi untuk pembuatan SIM itu mencapai Rp198,7 miliar pada tahun anggaran 2011.
Rinciannya, menurut Sutarman, nilai proyek pengadaan alat simulator mengemudi untuk kendaraan roda empat sebesar Rp 143,4 miliar dan nilai proyek pengadaan alat simulator mengemudi untuk kendaraan roda dua sebesar Rp 55,3 miliar.
Kebutuhan Korlantas Polri terhadap alat simulasi mengemudi untuk kendaraan roda dua sebanyak 1.126 unit dan sebanyak 880 unit untuk roda empat pada tahun 2011.
Namun, realisasi pengadaan alat simulasi mengemudi untuk kendaraan roda dua tahun 2011 hanya sebanyak 700 unit dan realisasi pengadaan alat simulasi mengemudi untuk kendaraan roda empat hanya sebanyak 556 unit.
Berapa besar penggelembungan (mark up) harga dalam kasus itu? Johan Budi belum mengetahui pasti. Sebagai perbandingan saja, dari beberapa situs, harga alat simulasi mengemudi 2.000 dollar AS-5.000 dollar AS (hampir Rp 20 juta-Rp 50 juta). Dengan asumsi harga satu unit Rp 50 juta, dan realisasi pembelian sebanyak 1.256 unit tahun 2011, nilai pembelian sekitar Rp 61 miliar. Jadi jauh lebih rendah dari nilai proyek Rp 198,7 miliar.
Apakah alat simulasi mengemudi itu betul-betul diperlukan? Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Pudji Hartanto mengungkapkan, alat simulasi mengemudi sangat penting. "Di luar negeri, alat seperti itu sudah digunakan," katanya.
Menurut Pudji, tahun 2012 ini Korlantas masih merencanakan mengadakan alat simulasi tersebut. Alat simulasi itu juga direncanakan untuk menguji kemampuan polisi dalam mengemudikan kendaraan patroli di jalan-jalan raya.
(FERRY SANTOSO)
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Kamis, 02-08-2012. Halaman: 6
Tajuk Rencana: Apresiasi untuk KPK
Drama penggeledahan hampir 24 jam di Kantor Korps Lalu Lintas Polri oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat apresiasi publik.
Melalui media sosial, drama penggeledahan sejak Selasa dini hari hingga malam itu mendapatkan perhatian besar. Di tengah keterbatasan sumber daya manusia, termasuk masih dihambatnya pembangunan gedung baru KPK oleh DPR, melalui Twitter, sejumlah tokoh masyarakat menyatakan dukungan atas perjuangan KPK menggeledah Kantor Korps Lalu Lintas. KPK juga mengumumkan tersangka dalam kasus pengadaan simulator untuk pembuatan SIM adalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri yang kini sebagai Gubernur Akademi Kepolisian. Ini untuk pertama kalinya KPK menetapkan seorang jenderal polisi aktif sebagai tersangka.
Pekerjaan penyidik KPK untuk mendapatkan barang bukti tidaklah mudah. Beberapa kali upaya penggeledahan terhenti dan mobil penyidik KPK dihalang-halangi untuk keluar dari Kantor Korlantas. Tiga unsur pimpinan KPK, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, dan Busyro Muqoddas, hadir pada tengah malam di Korlantas dan bertemu dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman. Sikap tiga unsur pimpinan KPK hadir di lapangan itu pun patut diapresiasi.
Kita bersyukur miskomunikasi antara KPK dan Polri cair setelah pimpinan KPK bertemu dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo. Baik KPK maupun Polri bersepakat untuk sama-sama menyidik dan mengungkap dugaan kasus korupsi itu. KPK akan menyidik kasus dugaan pengadaan simulator yang melibatkan penyelenggara negara, sedangkan Polri akan menangani pihak lain yang tidak ditangani KPK.
Asas praduga tak bersalah tetap harus dikedepankan. Namun, penggeledahan dan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator di lingkungan Korlantas Polri seharusnya
dijadikan momentum untuk berbenah. Kualitas pelayanan publik oleh Polri harus terus ditingkatkan agar citra Polri di mata publik bisa kian membaik.
Dalam kasus ini, kita mendorong KPK untuk mengungkap tuntas semua pihak yang terlibat dalam kasus pengadaan simulator SIM, termasuk pihak yang mendapatkan keuntungan dari proyek tersebut. KPK tak boleh melangkah mundur karena KPK tak punya kewenangan menghentikan penyidikan. Artinya, penetapan Djoko sebagai tersangka seharusnya sudah berdasarkan alat bukti yang cukup sehingga kasus itu berujung di pengadilan.
Selain melanggar undang-undang, upaya berbagai pihak menghalangi penyidikan kasus korupsi juga tidak menolong bangsa ini memerangi korupsi. Akan lebih baik lagi kalau Polri bekerja sama dengan KPK untuk mengungkap tuntas kasus korupsi ini demi pembenahan kelembagaan Polri di kemudian hari. Langkah lanjut dari Polri ditunggu masyarakat!
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Jumat, 03-08-2012. Halaman: 1,15
Sesuai UU, KPK Lebih Berhak
Presiden Harus Dorong Polisi Serahkan Kasus
Jakarta, Kompas-Polri seharusnya menyerahkan penyidikan dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika KPK telah menangani kasus korupsi, kepolisian dan kejaksaan tak lagi berwenang menyidik kasus yang sama.
Kewenangan KPK tersebut tertera dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 50 Ayat 1, 3, dan 4 sudah jelas bahwa KPK lebih dulu melakukan penyidikan. Ayat 3 menyebutkan, "Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, kepolisian dan kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan". Pasal 4 menegaskan, "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/ atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan tersebut segera dihentikan".
Persaingan atau kesan polisi tidak ingin menyerahkan penyidikan kasus itu kepada KPK yang telah menetapkan dua jenderal, yaitu Irjen Djoko Susilo dan Brigjen (Pol) Didik Purnomo sebagai tersangka, makin terlihat setelah kepolisian juga menetapkan lima tersangka.
Atas nama UU, KPK pun mengimbau Polri menyerahkan penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM itu untuk membantu dan mendukung KPK.
"Kalau kami ingin patuh pada undang-undang, seyogianya institusi lain membantu, men-suport KPK. Kalau berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, pada Pasal 50 Ayat 1, 3, dan 4 sudah jelas di situ dimaksudkan bahwa KPK lebih dulu melakukan penyelidikan. Fungsi institusi lain bekerja sama membantu KPK," kata Ketua KPK Abraham Samad di Jakarta, Kamis (2/8).
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, KPK telah menetapkan kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM itu ke penyidikan sejak 27 Juli lalu. Dengan demikian, kata Bambang, instansi penegak hukum lain hendaknya menghentikan penyidikan kasus ini.
Jaksa Agung Basrief Arief mendukung sikap tegas KPK. Menurut Basrief penanganan kasus dugaan korupsi simulator SIM ini harus mengacu pada UU. Terkait adanya nota kesepahaman (MOU) antarinstansi penegak hukum, Basrief mengatakan, tetap harus berpatokan pada UU dan tak boleh melanggar. "Jelas dong, MOU itu enggak boleh bertentangan dengan UU. Saya kira (penanganan kasus ini) mengacu ke UU," katanya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mendukung KPK untuk melakukan penyidikan atas kasus tersebut karena KPK memiliki kewenangan kuat untuk memeriksa aparat penegak hukum. "Ada preseden beberapa kasus yang ditangani internal oleh kepolisian tidak berjalan. Contohnya kasus rekening gendut perwira Polri sampai sekarang tidak terungkap. Lebih baik kasus ini ditangani KPK," kata Agus Sunaryanto, Ketua Divisi Investigasi ICW.
Menurut Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII) Teten Masduki, penyidikan oleh KPK dianggap lebih dipercaya, lebih independen, dan tidak bermasalah dengan kemungkinan konflik kepentingan.
"Polri semestinya menghormati UU itu. Jika terus melanjutkan penyidikan pada kasus ini, artinya Polri mengabaikan aturan hukum. Ini preseden buruk dan melawan spirit reformasi bidang hukum," katanya.
Teten mengingatkan, dalam struktur pemberantasan korupsi, KPK berada pada posisi di atas lembaga-lembaga lain.
Pakar hukum pidana dari Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang, Karolus Kopong Medan, di Kupang, juga mengatakan, akan lebih obyektif jika penanganan kasus tersebut sepenuhnya diserahkan kepada KPK. "Polri seharusnya kooperatif dan bahkan sangat diharapkan agar berada di garda paling depan untuk memerangi berbagai kasus korupsi, termasuk kasus korupsi yang melibatkan jajarannya," kata Karolus.
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan kasus korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
Presiden diminta serius
Untuk menyelesaikan kekisruhan penanganan kasus itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang Saldi Isra mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu turun dan menegur Polri. Jika Presiden tidak mendorong penyerahan penyidikan ke KPK, proses hukum kasus itu bisa terhambat. "Perlu penegasan Presiden kepada Kepala Polri," ujar Saldi. "Saya heran, kenapa mereka bersikeras ambil bagian di sini. Jangan-jangan ada yang hendak dilindungi," tambahnya.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, Polri bisa dianggap melawan UU jika memaksakan diri menyidik kasus itu, sementara KPK telah menyidiknya terlebih dahulu.
Langkah KPK mengusut kasus dugaan korupsi alat simulasi mengemudi itu merupakan momentum pemberantasan korupsi. Kasus itu juga menjadi ujian komitmen Presiden Yudhoyono dalam pemberantasan korupsi.
"Jika Yudhoyono tidak menertibkan anak buahnya yang tidak satu visi dengannya, berarti dia tidak serius. Sekarang belum terlihat serius karena ada drama saat KPK menggeledah Korlantas. Polisi juga tiba-tiba menetapkan tersangka," kata Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III DPR dari PDI-P.
"Kekhawatiran kasus ini dapat menjadi konflik antarlembaga, dapat dicegah oleh Yudhoyono karena Polri ada di bawahnya," tambah Eva. "Presiden sebagai atasan Polri harus melakukan tindakan konkret, misalnya meminta Kapolri menyerahkan penanganan kasus kepada KPK," kata Koordinator Divisi Hukum ICW Febri Diansyah.
Sementara itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, penyidik Bareskrim Polri telah menetapkan lima tersangka dalam kasus itu. "Penetapan tersangka kemarin," kata Boy, Kamis. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) disampaikan ke Kejaksaan Agung.
Kelima tersangka itu adalah Brigjen (Pol) Didik Purnomo sebagai pejabat pembuat komitmen, AKBP "TR" sebagai panitia lelang, Kompol "L" sebagai kepala urusan keuangan. Dua tersangka lagi dari swasta, yaitu Budi Susanto dan Sukoco S Bambang.
Kejagung pun, kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Adi Toegarisman, telah menerima SPDP kasus tersebut.
Beberapa waktu lalu, Boy Rafli mengumumkan Polri tidak menemukan unsur pidana dalam kasus itu.
(BIL/RAY/IAM/ANA/LOK/FAJ/NWO/ANS/FER)
Grafik: Dasar Hukum Kasus Korupsi Diambil Alih KPK
Lihat Video Terkait "Tersangka Baru Kasus Simulator versi KPK" di vod.kompas. com/tersangkasimulator
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Petugas ruang simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) C atau kendaraan roda dua di Satlantas Markas Polrestabes Kota Bandung, Jawa Barat, mendampingi peserta ujian yang menggunakan alat ini, Kamis (2/8). Dari enam alat simulasi yang ada, hanya dua yang berfungsi. Selama ini tidak ada teknisi khusus untuk memperbaiki alat tersebut sehingga petugas setempat yang berusaha memperbaikinya sendiri.
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Sabtu, 04-08-2012. Halaman: 1,15
Presiden Diminta Mengatasi
Tunggu Proses Hukum
Jakarta, Kompas- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sepatutnya bertindak cepat untuk menyelesaikan "rebutan" kewenangan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulasi mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri. Presiden bisa meminta Polri mematuhi Undang-Undang KPK.
"Ketegasan ini harus dilakukan di tengah kesan keengganan Polri untuk melimpahkan kasus ini kepada KPK. Tindakan Presiden dibutuhkan agar kasus Cicak-Buaya tidak terulang lagi," kata Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana, di Jakarta, Jumat (3/8).
Sebagai atasan langsung, kata Hikmahanto, Presiden bisa memerintahkan Kepala Polri untuk mematuhi UU KPK dan hal itu bukanlah intervensi hukum. "Perintah tersebut merupakan komitmen keberpihakan Presiden untuk tegaknya negara hukum," katanya.
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Thohari berharap, Presiden Yudhoyono mau turun tangan mendorong Polri mematuhi UU KPK. Presiden pun didesak menginstruksikan Kapolri untuk menyerahkan kasus itu kepada KPK. "Kapolri adalah bawahan langsung Presiden sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan. Instruksi dimaksud adalah perintah atau arahan kepada anak buah (Kapolri)," kata Dekan Fakultas Hukum Unika Widya Mandira Kupang Frans Rengka.
Presiden semestinya meredam gejolak ketika Polri bersikukuh "berebut" kewenangan dengan KPK. "Seharusnya kedewasaan kelembagaan kepolisian sudah harus tumbuh," kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim.
Selama ini, Presiden Yudhoyono selalu berkomitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi. Bahkan, dalam perkara korupsi yang berlarut-larut, Presiden meminta KPK tidak ragu mengambil alih sebagaimana diungkapkan saat pengarahan rapat koordinasi percepatan penanganan kasus korupsi di Istana Negara pada 7 Maret 2006. "Saya harapkan pimpinan KPK tidak ragu mengambil alih suatu perkara apabila diperlukan karena dipandang berlarut-larut penanganannya oleh penyidik kepolisian dan kejaksaan," kata Presiden saat itu.
Namun, dalam kasus dugaan korupsi di Korlantas ini, menurut Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha, Presiden Yudhoyono percaya, Polri dan KPK telah bersinergi. Presiden meminta semuanya menunggu proses hukum yang telah berjalan.
Presiden tidak mungkin diminta intervensi dalam proses hukum yang tengah berjalan. "Kalau semua harus intervensi Presiden, tidak baik bagi semua. Presiden posisinya jelas, taat dan menghormati hukum," katanya.
Namun, bagi Bambang Soesatyo, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar, jika hanya memantau perkembangan kasus itu, Presiden dinilai bersikap tidak bertanggung jawab. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura, Sarifudin Sudding, menilai, Presiden memilih bersikap aman.
"KPK diberi kewenangan oleh undang-undang untuk dapat mengambil alih," kata politisi Partai Demokrat, Rachland Nashidik. Sesuai UU KPK, kata mantan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto, polisi tak lagi berwenang menyidik kasus itu.
Tetap menyidik
Badan Reserse Kriminal Polri tetap melanjutkan penyidikan. Penyidik Bareskrim memiliki kewenangan menyidik berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan tidak dapat menghentikan penyidikan.
"Bareskrim Polri tetap akan melakukan penyidikan pengadaan driving simulator di Korlantas Polri sebelum ada ketentuan beracara yang mengatur tentang hal tersebut atau melalui keputusan pengadilan," kata Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Sutarman, kemarin. Penghentian penyidikan, ujarnya, dapat dilakukan dengan mengajukan gugatan praperadilan.
Sutarman menjelaskan, pimpinan KPK dan Kapolri dalam pertemuan 31 Juli 2012 sepakat menangani kasus dugaan korupsi itu bersama-sama. KPK, lanjutnya, fokus menangani kasus dugaan korupsi terkait tersangka Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korlantas Polri, atau penyelenggara negara. Polri fokus menangani tersangka yang belum disidik KPK, terutama tersangka yang bukan penyelenggara negara.
Namun, Koalisi Masyarakat untuk Reformasi Polri menyatakan, Polri harus menghentikan penyidikan kasus tersebut. Terkait kewenangan penyidikan kasus itu, dosen hukum Universitas Trisakti, Asep Iwan Iriawan, mengungkapkan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK merupakan ketentuan hukum khusus (lex specialis). Sesuai UU No 30/2002, diatur hukum acara yang berlaku adalah KUHAP, kecuali ditentukan lain oleh UU itu, yaitu UU No 30/2002.
Dalam Pasal 38 Ayat (1) UU No 30/2002 disebutkan, segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur UU No 8/1981 tentang KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada KPK.
Namun, dalam Pasal 38 Ayat (2) juga diatur ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No 8/1981 tentang KUHAP tidak berlaku bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam UU ini. Dalam asas hukum, hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.
Menurut dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang, Bernard L Tanya, perintah UU No 30/2002 tentang KPK sudah jelas sehingga mustahil jika Polri salah membaca.
(BIL/RAY/WHY/FAJ/ATO/ANS/NWO/DIK/FER/ONG)
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Sabtu, 04-08-2012. Halaman: 3
KPK Tetap Menyidik
Pimpinan KPK Akan Bertemu Kepala Polri
Jakarta, Kompas -Komisi Pemberantasan Korupsi tetap akan menyidik dua jenderal polisi yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara roda dua dan empat di Korps Lalu Lintas Polri.
Dua jenderal tersebut adalah Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo. KPK juga tetap menyidik dua nama tersangka lain yang berasal dari kalangan swasta, yaitu Sukotjo Bambang dan Budi Santoso.
Ihwal tiga dari empat nama yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini oleh KPK, yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama oleh Polri, yakni Didik, Sukotjo, dan Budi, akan dibicarakan dalam pertemuan antara pimpinan KPK dan Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo.
"Penyidikan di KPK jalan terus dan nanti di Polri ada join investigasi. Teknis selanjutnya akan ada pertemuan lagi, antara pimpinan Polri dan KPK. Saya kira itu bisa mengurai hal-hal yang selama ini dipersepsikan sebagai miskomunikasi," kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP di Jakarta, Jumat (3/8).
Menurut Johan, penyidikan yang dilakukan KPK sama sekali tidak melabrak nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MOU) di antara KPK, kejaksaan, serta kepolisian.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengatakan, KPK telah melabrak MOU di antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian.
"KPK tidak punya keinginan atau tidak beretika dengan MOU yang sudah disepakati bersama di antara KPK, kejaksaan, dan kepolisian. Semangat MOU ini oleh KPK dijaga. Sebelum dan sesudah proses penggeledahan (di Korlantas) sudah ada pertemuan antara pimpinan KPK dan pimpinan Polri," katanya.
Johan mengatakan, rencananya pada pekan depan akan ada pertemuan antara pimpinan KPK dan Polri. "Saya dapat informasi dari pimpinan KPK bahwa pimpinan KPK akan bertemu lagi dengan pimpinan Polri menyangkut kesimpangsiuran informasi yang tidak perlu ditanggapi semua. Pimpinan kedua lembaga akan duduk bersama sehingga lebih jelas peran masing-masing antara KPK dan Polri," katanya.
Johan mengatakan, soal barang bukti kasus ini yang sudah ditaruh di KPK juga ada kesepakatan bahwa baik KPK maupun Polri bisa menggunakannya serta dijaga oleh kedua belah pihak. "KPK bisa mengaksesnya, sebaliknya juga polisi," katanya.
Diserahkan ke KPK
Setelah Jaksa Agung Basrief Arief mendukung upaya penanganan kasus ini diserahkan sepenuhnya kepada KPK sesuai undang-undang, kemarin Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana juga mengatakan hal senada. Menurut Denny, polisi pasti paham dan mengerti benar aturan perundangan.
"Saya menggarisbawahi arahan Presiden agar KPK dan Polri bersinergi dalam pemberantasan korupsi. Sinergi itu maknanya melaksanakan penanganan kasus sesuai UU. Dalam hal ini saya sependapat dengan Jaksa Agung agar penanganan perkara simulator tes SIM ini mengacu pada UU KPK yang merupakan aturan lex specialis," kata Denny.
Menurut Denny, Kepala Polri pasti legawa dan menyerahkan penanganan kasus korupsi simulator SIM ini kepada KPK. "Saya optimistis persoalan ini dapat diselesaikan tanpa harus menjadi konflik antarlembaga. Saya yakin Kapolri akan legawa, agenda pemberantasan korupsi dapat berjalan tanpa hambatan, bahkan untuk kasus di internal polisi sendiri yang akan ditangani penuh oleh KPK," katanya.
Penyidikan yang dilakukan KPK sama sekali tidak melabrak nota kesepahaman atau 'memorandum of understanding' (MOU).
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Sabtu, 04-08-2012. Halaman: 15
Kolom Politik-Ekonomi
Perjalanan Masih Panjang
Oleh James Luhulima
Hari Senin (30/7) pukul 16.00, Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah Markas Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara RI guna mengusut dugaan korupsi dalam pengadaan alat simulasi mengemudi kendaraan roda dua dan roda empat untuk ujian surat izin mengemudi.
Keputusan KPK menggeledah Markas Korlantas Polri menunjukkan kesungguhan KPK dalam upaya memberantas korupsi. Bukan itu saja, KPK pun menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, mantan Kepala Korlantas Polri yang kini menjadi Gubernur Akademi Kepolisian di Semarang, Jawa Tengah, dan Wakil Kepala Korlantas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo sebagai tersangka.
Langkah KPK itu mendapatkan apresiasi masyarakat mengingat untuk pertama kalinya KPK menyidik kasus korupsi di tubuh Polri dengan tersangka dua jenderal polisi yang masih aktif.
Penggeledahan yang dilakukan KPK itu sempat terhenti pada pukul 22.00 karena dihalangi oleh sejumlah personel polisi dari Badan Reserse Kriminal. Mereka menanyakan apakah KPK memiliki izin dari Kepala Polri.
Selasa pukul 00.01, Ketua KPK Abraham Samad serta Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto datang ke Korlantas. Ketiga unsur pimpinan KPK itu bertemu dengan Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Sutarman. Kepala Bareskrim keberatan atas penggeledahan itu dengan alasan Polri tengah menyelidiki kasus yang sama.
Pukul 03.30, penggeledahan dilanjutkan kembali. Pukul 07.30, penggeledahan selesai, tetapi KPK tidak diperkenankan membawa barang bukti. Sampai pukul 16.00, barang bukti tetap
ditahan di Korlantas, 24 jam pun berlalu. Seusai buka puasa, ada kabar baik. Atas izin Kepala Polri Jenderal (Pol) Timur Pradopo, barang bukti akhirnya dapat dibawa KPK.
Penjelasan kasus ini muncul dari pengusaha Soekotjo S Bambang, Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia, yang kini juga dijadikan tersangka oleh KPK, bersama Budi Susanto, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi. PT Citra Mandiri Metalindo Abadi adalah perusahaan pemenang tender simulator pengurusan SIM.
Erik Samuel, kuasa hukum Soekotjo, mengungkapkan, nilai tender proyek itu Rp 196 miliar. Proyek tersebut disubkontrakkan kepada PT Inovasi Teknologi Indonesia senilai Rp 80 miliar. Ternyata PT Inovasi Teknologi Indonesia tidak mampu meneruskan proyek itu sesuai kontrak. Akibatnya, Soekotjo dipidanakan oleh PT Citra Mandiri Metalindo Abadi dan kini mendekam di penjara.
"The Untouchables"
Perjuangan KPK untuk melakukan penggeledahan dan membawa barang bukti ke KPK itu sungguh tidak mudah. Ingatan langsung tertarik ke belakang, ke film
layar lebar The Untouchables (Yang Tak Tersentuh) pada 1987 yang mengisahkan sebuah tim khusus Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) yang ditugaskan memberantas tindak kriminal di kota Chicago.
Film, yang didasarkan pada sebuah buku berjudul sama, itu menggambarkan situasi Chicago pada 1930-an yang dikuasai oleh tokoh mafia Al Capone, pengedar minuman keras yang pada saat itu merupakan barang ilegal. Pada masa itu, Al Capone (yang diperankan oleh Robert de Niro) dikisahkan telah "membeli" semua aparat hukum di Chicago sehingga ia dengan bebas melakukan kegiatan ilegalnya. Di tengah situasi seperti itu, muncul tim FBI yang dipimpin Eliot Ness (Kevin Costner), didampingi Jimmy Malone (Sean Connery), yang tanpa kompromi akhirnya berhasil menyeret Al Capone ke pengadilan. Sebelum diangkat ke layar lebar pada 1987, kisah The Untouchables pernah menjadi film serial di stasiun televisi ABC pada 1959-1963.
Namun, berbeda dengan Eliot Ness yang mendapat tentangan dari semua pihak, termasuk kepolisian, dalam menangani kasus Korlantas Polri, KPK mendapatkan lampu hijau dari Kepala Polri.
Kita sangat berharap langkah berani KPK itu dijadikan momentum oleh Polri untuk membersihkan institusinya sendiri. Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, Polri kita harapkan bersih dari kasus kriminal. Hingga kini, kita mengetahui masih ada beberapa kasus kriminal di tubuh Polri yang menunggu penyelesaian, antara lain soal rekening gendut milik beberapa petinggi Polri.
KPK telah berbuat sesuatu yang besar. Itu harus kita akui dan harus kita apresiasi. Namun, pada saat yang sama juga harus kita sadari bahwa perjalanan untuk memberantas korupsi di negeri ini masih sangat panjang.
KPK telah mempunyai banyak nama di dalam daftar tersangka, antara lain Angelina Sondakh, Miranda Swaray Goeltom, Emir Moeis, Irjen Djoko Susilo, dan Brigjen (Pol) Didik Purnomo. Namun, apakah nama-nama yang terdapat di dalam daftar tersangka milik KPK itu akan dihukum sesuai dengan perbuatan yang didakwakan KPK kepada mereka? Itu masih harus ditunggu. Mengingat hal itu tidak lagi bergantung kepada KPK, tetapi kepada hakim-hakim pengadilan tindak pidana korupsi.
Data yang ada menunjukkan, vonis-vonis yang dijatuhkan pengadilan tindak pidana korupsi yang tersebar di 33 provinsi dinilai belum memberikan efek jera. Puluhan terdakwa dibebaskan. Walaupun yang dihukum jumlahnya lebih banyak daripada yang dibebaskan, mayoritas hukuman yang dijatuhkan pengadilan tindak pidana korupsi 1-2 tahun. Bukan itu saja, akhir-akhir ini muncul kecenderungan untuk menjatuhkan hukuman tahanan kota.
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Senin, 06-08-2012. Halaman: 1,15
Tegaskan Kewenangan KPK
Pimpinan KPK dan Polri Akan Kembali Bertemu
JAKARTA, KOMPAS- Praktik korupsi yang marak di sejumlah lembaga negara, termasuk diduga terjadi di Kepolisian Negara Republik Indonesia, membuat dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi meningkat. Agar leluasa menangani kasus yang melibatkan lembaga penegak hukum itu, KPK perlu diperkuat dan ditegaskan kewenangannya.
Gagasan itu disampaikan Direktur Reform Institute Yudi Latif di Jakarta. Dia prihatin terhadap korupsi yang berlangsung di lingkungan penegak hukum. Terakhir adalah dugaan korupsi pengadaan simulator pembuatan surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri.
Terjerumusnya penegak hukum dalam korupsi sebenarnya sudah diantisipasi dengan pembentukan KPK. Dengan berbagai kewenangannya, komisi yang bersifat ad hoc ini bertugas menindak kejahatan korupsi ketika lembaga penegak hukum lain lemah dan bermasalah, terutama kejaksaan dan kepolisian. Belakangan, kinerja komisi produk Reformasi 1998 itu semakin menjanjikan dengan mengungkap berbagai kasus.
"Sayangnya, KPK punya keterbatasan kewenangan, dana, jaringan, dan aparat. Komisi ini juga bisa mentok ketika menabrak egoisme aparat hukum yang ngotot mempertahankan penyimpangan dalam lembaganya," kata Yudi, Minggu (5/8).
Dalam situasi seperti itu, semestinya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyokong KPK agar bisa bekerja maksimal. Namun, harapan ini tampaknya sia-sia meskipun publik terus menagih komitmen dan janji politiknya untuk memberantas korupsi.
Untuk memperkuat dukungan kepada KPK, diperlukan dukungan moral dari publik agar KPK yang berhadapan dengan kekuatan besar tidak takut dan ragu. Dukungan ini harus
bertaut dengan media massa sehingga menjadi arus besar. "Ketika sudah menjadi arus besar, dukungan publik tak bisa diremehkan," katanya.
Terus diserang
Serangan terhadap KPK memang tidak pernah surut seiring penanganan sejumlah kasus korupsi yang menjerat politisi dan penegak hukum. Setiap kali KPK menyasar kasus yang melibatkan politisi dan penegak hukum, perlawanan dilakukan. Pimpinan KPK periode ketiga belum genap setahun menjabat ketika sejumlah kasus besar yang menyeret high ranking profile di negeri ini mulai disidik.
Meneruskan penanganan kasus pada kepemimpinan periode sebelumnya, KPK antara lain menyeret politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, sebagai tersangka kasus suap wisma atlet, mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom dalam kasus suap cek perjalanan. KPK juga menetapkan mantan anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, sebagai tersangka korupsi dana penyesuaian infrastruktur daerah.
KPK juga menangkap tangan pegawai pajak Tommy Hindratno saat disuap James Gunardjo untuk mengurus restitusi pajak PT Bhakti Investama, perusahaan yang dimiliki pengusaha sekaligus petinggi Partai Nasdem, Hary Tanoesoedibjo. KPK memeriksa Hary dan menggeledah perusahaan yang berkantor di MNC Tower. Operasi tangkap tangan KPK juga menangkap Bupati Buol Amran Batalipu yang disuap petinggi perusahaan perkebunan PT Hardaya Inti Plantation, Yani Anshori dan Gondo Sudjono. PT Hardaya merupakan perusahaan milik anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Hartati Murdaya Poo. Hartati sudah dua kali diperiksa KPK sebagai saksi. KPK juga menetapkan politisi PDI-P, Izedrik Emir Moeis, sebagai tersangka kasus suap proyek pembangunan PLTU Tarahan, Lampung.
Kasus korupsi terakhir yang disidik KPK adalah pengadaan simulator pembuatan SIM di Korlantas. KPK menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo sebagai tersangka. Djoko yang lantas dicopot dari jabatan sebagai Gubernur Akademi Kepolisian sebelumnya menjabat sebagai Kepala Korlantas. Didik merupakan wakilnya.
Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, apa yang dilakukan KPK sepenuhnya mengemban amanat UU. "KPK tunduk dan menerapkan UU secara konsisten. Sikap KPK menggunakan UU ini sebagai dasar kami bertindak," kata Bambang.
Bambang mengatakan, pelemahan KPK yang muncul setiap kali ada politisi atau penegak hukum yang terjerat kasus korupsi hanya melawan semangat global antikorupsi. Menurut Bambang, Indonesia seharusnya mengikuti semangat global itu dengan menjamin lembaga antikorupsi dalam konstitusi. "Negara seperti Timor Leste, Lesotho, Brunei, dan Malaysia menjamin lembaga antikorupsinya dalam konstitusi," ujarnya.
Ingatkan kesepakatan
Terkait wacana publik yang meminta polisi menyerahkan kasus ke KPK, Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komisaris Jenderal Sutarman mengharapkan KPK konsisten dengan kesepakatan pertemuan pimpinan KPK dengan Kapolri, 31 Juli 2012. Pimpinan KPK dan Kapolri sepakat, KPK menyidik Irjen Djoko Susilo. Tersangka lain seperti Brigjen Didik Purnomo ditangani Bareskrim Polri.
Atas dasar kesepakatan tidak tertulis itu, penyidik Bareskrim menetapkan lima tersangka, yaitu Brigjen DP, Ajun Komisaris Besar TR, Komisaris L, dan dua pemenang tender, yaitu BS dan SB.
Sutarman menambahkan, penyidik Bareskrim telah menahan empat tersangka dari lima tersangka yang ditetapkan Bareskrim Polri. Keempat tersangka yang ditahan adalah Brigjen DP, Ajun Komisaris Besar TR, Komisaris L, dan BS. "Tersangka DP, TR, dan L ditahan di rutan Mako Brimob. Tersangka BS ditahan di rutan Bareskrim Polri," katanya. Penahanan terhadap para tersangka itu, lanjut Sutarman, dilakukan sejak Jumat malam.
Menghadapi konflik penanganan kasus ini, rencananya, pimpinan KPK dan Kapolri akan kembali bertemu. Rencana pertemuan yang akan dilakukan pekan ini itu disampaikan Juru Bicara KPK Johan Budi.
Meskipun mulai surut, harapan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar turun tangan memerintahkan Polri menyerahkan penanganan kasus kepada KPK tetap muncul.
"Kuncinya ada di presiden sebagai kepala negara. Jika komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi bukan basa-basi, Presiden harus mendukung langkah KPK. Presiden bisa meminta pimpinan Polri membuka jalan agar kasus korupsi yang ada di tubuh kepolisian bisa tuntas," kata anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho.
Pengajar Ilmu Hukum Pidana Universitas Indonesia Ganjar Laksamana mengemukakan, baik KPK, polisi, maupun jaksa sama-sama berwenang menangani kasus korupsi. Namun, KPK lebih berwenang untuk menyidik kasus dugaan korupsi simulator pembuatan SIM di tubuh Polri.
Ada tiga alasan KPK mengambil alih kasus sesuai UU No 30/2002 tentang KPK. Pertama, ketika penyidik bertele-tele dalam menangani kasus. Kedua, penyidik lain diduga malah menimbulkan korupsi baru dari kasus yang disidiknya. Ketiga, KPK harus mengambil alih kasus ketika ada dugaan penegak hukum lain melindungi pelaku. Ketiga alasan itu sesuai dengan kondisi di tubuh Polri saat ini.
Kewenangan KPK untuk menyidik kasus di Korlantas dinyatakan juga oleh peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Indria Samego. "Sesuai UU KPK, KPK harus jadi agen utama penegakan hukum kasus korupsi. Eksplisit ada pasalnya yang menyebut itu, maka kepolisian dan kejaksaan harus menyerahkan kasus korupsi jika KPK menangani," katanya
(IAM/BIL/FER/FAJ/LOK/DIK)
Grafik: 2
1. Korupsi yang Diungkap Berdasarkan Jabatan (2004-2011) 2. Ancaman Terhadap KPK
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Senin, 06-08-2012. Halaman: 3
Polisi Vs KPK
Siapa yang Berhak Tangani Simulator?
Tak seperti biasanya, ekspose kasus, Jumat (27/7), itu menegangkan. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berkali-kali harus meyakinkan anak buahnya melangkah lebih lanjut. Sebaliknya, penyelidik dan penyidik KPK juga menuntut dukungan penuh pimpinan mereka.
Dalam ketegangan, diputuskan, kasus dugaan korupsi pengadaan alat simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri naik ke penyidikan. Hasil ekspose menetapkan, mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka. Djoko dijerat Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 kesatu KUHP.
Dalam surat perintah penyidikan atas nama Djoko Susilo disebutkan pelaku penyertaan tindak pidana ini, yakni Wakil Kepala Korlantas Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo dan dua orang rekanan pengadaan simulator SIM, Budi Santoso dan Sukotjo Bambang.
Dua jenderal aktif di Polri jadi tersangka. Tak heran jika pimpinan KPK dan penyelidik serta penyidik KPK menyatakan komitmen bekerja sama penuh dan sungguh-sungguh.
Ekspose tak melulu bicara soal kasus simulator SIM. Mengingat risiko yang timbul setelah menyidik kasus ini dan menetapkan petinggi Polri aktif sebagai tersangka, ekspose juga membahas mitigasi risiko serangan balik yang mungkin terjadi ke KPK. Seluruh potensi serangan dipetakan, termasuk alternatif untuk menghadapinya.
Karena kasus ini melibatkan petinggi penegak hukum lain, sesuai nota kesepahaman atau memorandum of understanding, KPK memberitahukan ke penegak hukum yang bersangkutan. Maka, pimpinan KPK berbagi tugas. Ekspose digelar Jumat. Tak mungkin
memberi tahu Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo soal perkara yang telah naik ke penyidikan hari itu juga.
Diputuskan, Senin (31/7), Ketua KPK Abraham Samad dengan Wakil Ketua Zulkarnain bertemu Kapolri. Dalam pertemuan, Abraham memberi tahu Timur bahwa KPK telah menetapkan Djoko dan tiga pelaku penyerta sebagai tersangka.
Hari itu juga, KPK menggeledah Markas Korlantas di Jalan MT Haryono, Jakarta. Penggeledahan dilakukan sejak pukul 16.00. Sore itu, di kantor KPK pimpinan KPK kedatangan petinggi Polri, seorang jenderal bintang tiga. Dia minta KPK tak menyidik kasus ini dan menyerahkannya kepada Polri.
Namun, pimpinan KPK tetap pada hasil ekspose, Jumat pekan sebelumnya. KPK tetap menangani perkara ini karena sesuai UU, penyidikan perkara korupsi di lembaga ini tak bisa dihentikan. KPK tak memiliki kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan alias SP3. Bahkan, jika dihentikan, KPK melanggar UU.
Awalnya, penggeledahan berjalan lancar. Petugas KPK diberi akses petugas Korlantas. Malah petugas KPK ditunjukkan tempat-tempat penyimpanan arsip.
Pukul 22.00, petugas dari Bareskrim Polri datang ke Korlantas dan minta KPK menghentikan penggeledahan. Terjadi perdebatan. Ketika itulah, pimpinan KPK ditelepon dan datang ke lokasi penggeledahan. Tiga pimpinan KPK, Abraham, Bambang Widjojanto, dan Busyro Muqoddas, ditemui Kepala Bareskrim Komisaris Jenderal Sutarman. Sempat tertunda hingga lima jam lebih, penggeledahan bisa dilanjutkan. Siang harinya, setelah pertemuan Abraham dan Bambang dengan Timur, barang bukti bisa dibawa ke KPK dengan catatan petugas Polri bisa ikut menjaga dan menggunakannya untuk menangani kasus yang sama.
Ketegangan di hari penggeledahan berlanjut. KPK menetapkan empat tersangka. Polri kemudian juga menetapkan lima tersangka, tiga di antaranya sama seperti yang ditetapkan KPK, yakni Didik, Sukotjo, dan Budi. KPK dan Polri merasa paling berhak menyidik kasus ini. KPK berpatokan pada UU No 30/2002 tentang KPK yang menyatakan penyidikan kasus
korupsi oleh penegak hukum lain harus berhenti ketika KPK menyidik kasus tersebut. Polri berpegang pada UU KUHAP yang menyatakan, sebagai penyidik mereka juga berhak.
Mabes Polri tegas tak akan menghentikan penyidikan kasus ini. KPK yakin, sesuai UU pengadilan justru akan menyidangkan perkara ini jika ditangani KPK. Jika Polri memaksakan, bisa jadi hal tersebut digunakan oleh pengacara terdakwa untuk jadi alasan membebaskan dari dakwaan karena penanganannya melanggar UU.
Sengketa kedua lembaga ini tak terlihat diselesaikan Presiden. Mungkinkah hak penanganan kasus ini berakhir di Mahkamah Konstitusi?
(KHAERUDIN)
Mungkinkah hak penanganan kasus ini berakhir di Mahkamah Konstitusi?
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Senin, 06-08-2012. Halaman: 3
Undang-Undang KPK Diuji di MK
Keteguhan Polisi Tidak Terlalu Salah
Jakarta, Kompas -Sebagai wujud dukungan agar kasus dugaan korupsi simulator di Korps Lalu Lintas Polri disidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Habiburokhman, Munathsir Mustaman, dan Maluana Bungaran mendaftarkan permohonan uji materiil Undang-Undang KPK. Rencananya, uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK akan didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi, Senin (6/8).
"Kami merasa situasi ini tak bagus. Masing-masing pihak ngotot dengan pendiriannya. Karena itu, kami ingin MK memperjelas Pasal 50 Ayat (3) UU KPK. Dengan putusan MK itu, tak akan lagi ada celah bagi polisi atau juga nanti jaksa menyidik kasus yang sudah disidik KPK," ujar Habiburokhman di Jakarta kemarin.
Habiburokhman bersama dua rekan sesama advokat mengemukakan, kasus penyidikan ganda perkara dugaan korupsi simulator mengemudi adalah preseden buruk bagi penegakan hukum. "Satu-satunya pihak yang paling diuntungkan dari pertikaian antara KPK dan Polri adalah para koruptor yang tidak ingin perbuatannya merampok keuangan negara terbongkar," ujarnya.
Menurut dia, dalam konteks logika hukum, pengusutan kasus ini akan lebih baik jika dilakukan KPK. Akan sulit bagi penyidik Polri untuk dapat bersikap independen dan terhindar dari intervensi ketika menyidik perkara yang terjadi di lingkungan mereka.
Tidak terlalu salah
Namun, dalam konteks legalitas, keteguhan sikap Polri untuk menyidik perkara ini, menurut Habiburokhman, tidak terlalu salah. Rumusan Pasal 50 Ayat (3) UU No 30/2002 tidak terlalu jelas menghapuskan kewenangan penyidikan Polri dalam perkara yang sudah disidik KPK.