• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRANSKRIP WAWANCARA

Narasumber: James Luhulima

Redaktur Pelaksana Surat Kabar Harian Kompas

Lupita Wijaya (L): Pak James, berapa oplah Kompas untuk tahun ini? James Luhulima (J): Rata-rata 500.000-an

L: Saya menemukan kesimpulan bahwa untuk kasus simulator SIM dari Agustus hingga September itu tentang perebutan antara KPK dan Polri. Nah, saya menemukan hal unik dari hasil temuan saya. Di judul itu 43% pro, 57% netral. Berarti lebih ke arah netral

kan Pak, sedangkan isinya itu justru lebih ke arah pro. Apakah hal ini memang wajar

bagi Kompas?

J: Hmmm…begini, sebetulnya kan kenapa begitu karena kita pikirannya gini saja, kalau sekarang polisi yang punya salah lalu dia periksa sendiri, itu kan aneh, kan lebih bagus kalau orang lain yang menyelidiki. Itu satu. kita untuk alasannya, mungkin bukan polisi saja, daripada memeriksa dirinya sendiri lebih baik orang lain yang periksa institusinya. Kedua, polisi kan masih punya PR tuh periksa rekening gendut, nah itu kan tidak dikerjakan juga. Nah, kita (Kompas) khawatir kalau misalnya kasus ini ditangani polisi,

maka nasibnya akan sama seperti kasus rekening gendut itu. Makanya kita (Kompas) bilang, “sudah kasih saja ke KPK”. Gitu loh. Jadi ini bukan dalam rangka memihak KPK atau bukan, tapi lebih pada common sense saja. Kan lebih bagus institusi lain yang memeriksa institusi kita daripada kita memeriksa institusi kita sendiri, kan interested-nya gitu.

L: Tapi ketidaksamaan antara judul dan isi ini memang hal wajar buat Kompas?

J: Nah, begini, judul itu kan sesuatu yang lain juga ya. Jadi begini, memang di dalam teori jurnalistik judul itu kan merupakan intisari dari beritanya, tapi kadang-kadang kalau di dalam pertimbangan koran ada “judul ini laku dijual tidak?” Begitu. Kadang-kadang judul itu terlalu mirip dengan judul kemarin, itu kan berhari-hari berjalan sehingga kita kadang-kadang memang memberikan judul yang agak “terkesan” seperti itu, tapi sebetulnya niatnya bukan apa, karena kalau setiap kali diberitain kan pasti judul terlalu mirip kalau tidak “disentuh” ya.

L: Jadi memang dalam kasus ini Kompas memang memiliki maksud lebih baik KPK saja yang menangani kasus ini?

J: Iya.

L: Sebenarnya kaitan judul yang tadi dengan isi yang berbeda, apakah itu ada kaitannya dengan Kompas sendiri?

J: Tidak. Kalau judul ini lebih pada unsur menarik saja. Tapi isi beritanya, ya. Kalau berita kan kita bertanggung jawab kepada isinya sesuai dengan visi Kompas. Kalau

judul itu ada unsur supaya menarik juga. Jadi bukan melulu isi, tapi ada unsur menariknya.

L: Ada sekitar 35 artikel berita termasuk opini, editorial, jajak pendapat, dll yang dikumpulkan untuk penelitian ini. Dan dari 35 artikel itu sebenarnya apakah agenda yang ingin disampaikan oleh Kompas? Agenda setting-nya seperti apa?

J: Yang tadi itu, jadi lebih baik institusi lain yang periksa. Sebenarnya itu. Kebetulan di sini kan KPK sehingga kita (Kompas) memusatkan lebih pro KPK ketimbang Polisi. Tapi sebenarnya bukan institusinya, itu kebetulan saja di sini KPK dan Polisi. Tapi semangatnya adalah lebih baik orang lain atau lembaga lain yang memeriksa apabila suatu institusi itu bermasalah.

L: Terus…mmm…ada banyak julukan untuk Kompas sendiri. Dari misalnya Kees De Jong mengatakan bahwa ideologi Kompas itu humanisme transendental, lalu juga pakar media Ignatius Haryanto menyebut Kompas terkadang terlalu berhati-hati, lalu Rosihan Anwar yang menyebut Kompas dengan “jurnalisme kepiting”. Apa tanggapan Bapak soal ideologi ini?

J: Sebetulnya tidak ada masalah. Kalau ideologinya humanisme transendental betul. Jadi begini, humanisme transendental itu artinya kemanusiaan yang beriman. Artinya, kita tidak peduli agamanya, kita tidak peduli mmm…sukunya, tapi kalau manusia disakiti maka dia akan sakit, kalau dia diperlakukan baik maka dia akan baik. Dasar kita itu, jadi sebenarnya, kemanusiaan transendental itu. Soal “hati-hati” tadi, itu bukan

ideologi. Itu strategi. “Jurnalistik kepiting” itu juga strategi. Kan begini, kita mmm… ideologi kita adalah humanisme transendental, amanat hati nurani rakyat. Humanisme transendental itu mmm… apa ya namanya… mmm… istilah dari kemanusiaan seperti apa yang kita anut. Kan bisa kemanusiaan menurut Kristen, kemanusiaan menurut Islam, kan beda, ada nuansanya kan. Tapi kita (Kompas) tidak menganut itu. Jadi kita (Kompas) kemanusiaan atas dasar manusia itu sendiri. Nah itu namanya transendental, kemanusiaan yang beriman itu. Dalam melaksanakan ini, kita kan harus menjaga supaya kita survive. Nah dalam melaksanakan tugas ini kalau kita tidak memihak siapa-siapa, kadang kan bisa menjengkelkan pemerintah. Nah untuk kita perlu survive, kita punya strategi. Jadi, menurut saya “jurnalisme kepiting” dan tadi “hati-hati” itu bukan ideologi kita, tapi kita strategi kita dalam mencapai ideologi yang tadi. Jadi ideologi tetap humanisme transendental yang dalam bahasa awamnya amanat hati nurani rakyat, itu yang kita perjuangkan. Bagaimana cara berjuangnya, nah itu kita hati-hati dan “jurnalisme kepiting”. Artinya kita (Kompas) kalau mau memukul orang nggak dari depan. Kalau kita lemah, kita dipukul orang dari depan, kita dipukul balik, kan susah. Kalau kita seperti kepiting kan kita gender-gender-gender pas dia lemah, kita ketok, begitu. Jadi kita tidak dapat serangan frontal. Jadi itu strateginya. Jadi itu bukan ideologinya. “Jurnalisme kepiting” dan yang disebut Haryanto dengan “hati-hati” itu bukan ideologi Kompas, tapi itu strategi Kompas dalam menjalankan ideologinya. L: Dan sampai sekarang juga masih?

J: Tetap, tapi yah mungkin sekarang “jurnalisme kepiting”-nya tidak, karena kan pemerintahan sudah berganti dari Orde Lama ke Orde Baru ke Reformasi. Di reformasi kita lebih straight forward, lebih terus terang. Bahasa Kompas juga lebih tegas tapi tetap hati-hati. Jadi, “hati-hati” itu strategi kita sepanjang masa pokoknya. Baik dari Orde Baru sampai sekarang kita tetap berlaku. Tapi “jurnalisme kepiting” itu hanya pada waktu zaman Orde Baru. Jadi, waktu menghadapi Soeharto kita pakai strategi itu. Istilahnya kalau Pak Jacob sendiri menamakannya bukan jurnalisme kepiting, tapi kita ibarat bola, kalau lagi diinjak kita turun, begitu injakkannya kita rasa tidak ada, yah kita bulat lagi. Kira-kira seperti itu. Itu strateginya.

L: Jadi kalau untuk strategi sendiri ini dari zaman yang dulu, Orde Baru ke zaman Reformasi berarti ada perubahan?

J: Ada perubahan di dalam tadi. Jadi kita tidak pakai lagi “jurnalisme kepiting”, tapi kalau “hati-hati” tetap kita pakai. Baik itu Orde Baru, maupun sekarang. Karena begini, prinsip dasarnya adalah tidak semua hal baik kita katakan ke orang akan diterima dengan baik karena itu kita sangat hati-hati menyampaikan. Kita tidak mau menyinggung orang lah. Di dalam menjalankan misi, kita sebisa mungkin jangan membuat marah orang karena itu kita hati-hati.

L: Strategi “hati-hati” ini apakah diaplikasikan saat pemberitaan simulator SIM ini?

J: Dalam semua pemberitaan. Caranya kita menguji judul. Kira-kira kalau kita tulis seperti ini ada yang sakit hati tidak. Kalau kita tulis begini orangnya marah tidak. Kira-kira

menyinggung tidak atau kita pakai kata lain. Itu menjadi pertimbangan dasar dalam bentuk punya integritas untuk berita itu keluar.

L: Itu dalam rapat atau editor yang menimbang?

J: Tidak. Itu sudah inheren. Saya pernah cerita ada desk malam. Nah, desk malam itu yang menjaga ini. Jadi, berita kalau editor sudah buat, sebelum naik cetak diperiksa oleh desk malam. Desk malam ini terdiri dari wartawan senior yang diandaikan sudah mengerti mmm… Kompas seperti apa sehingga mereka punya feel. Kalau ngomong begini sepertinya terlalu keras, nanti akan diubah. Kehati-hatian itu justru strategi bagian dari

Kompas yang sudah inheren, sudah masuk. Jadi, kita tidak perlu ngomong di rapat. Itu

berjalan saja. Nanti kalau dibaca enak yah dilepas, tapi kalau dibaca lalu dahi kita berkernyit, nah itu berarti kita mesti mengganti, begitu.

L: Berarti yang desk malam itu berat juga yah, Pak?

J: Iya, karena mereka umumnya wartawan-wartawan senior. L: Itu ada shift-nya tidak, Pak?

J: Tidak. Mereka kan memang tugas malam saja. Jadi setelah berita dikirim dari reporter, naik ke editor, dari editor naik ke korektor, dari korektor kembali ke editor. Sebelum dikirim ke cetak, lewat desk malam itu dulu. Desk malam itu adalah hati nurani Kompas itu. Kompas-nya di situ. Dia yang menjaga. Yah, diharapkan editor juga. Cuma umumnya kalau editor masih muda kan. Orang muda kan begitu, suka galak. Nah, ini yang lebih tua sedikit lebih kalem, mereka yang mengendalikan itu.

L: Sebenarnya dari dalam itu, pernah tidak Pak, ada komplain dari editor kalau judulnya diubah?

J: Yah, pastilah ya, namanya juga anak muda. Dia mau lebih keras, tapi kita bilang “nggak..nggak..kita memang sengaja” tapi itu garis komando kan. Kalau sudah diputuskan di atas, dia mesti nurut. Cuma kadang-kadang dia menyampaikan kalau dia tidak happy.

Dokumen terkait