Presiden Sebetulnya Bisa Bertindak Mengatasi Konflik KPK-Polri
Jakarta, Kompas -Mahkamah Konstitusi akan menangani perkara pengujian Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kewenangan penyidikan lembaga antikorupsi itu secepatnya, sesuai dengan prosedur di MK.
Hal tersebut diungkapkan Juru Bicara MK Hakim Konstitusi Akil Mochtar, Senin (6/8), setelah tiga warga yang berprofesi sebagai advokat, yaitu Habiburokhman, Maulana Bungaran, dan Munathsir Mustaman, mendaftarkan pengujian Pasal 50 Ayat (3) UU KPK. Mereka meminta MK mempertegas penafsiran sebagian frasa dalam pasal itu.
Pasal 50 Ayat (3) berbunyi, "Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepolisian atau Kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan". Pemohon uji materi menilai frasa "kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan" mengandung ketidakjelasan berakibat ketidakpastian.
Akil menyoroti adanya preseden lembaga negara atau penegak hukum membawa konflik yang berkaitan dengan tugasnya menjalankan kewenangannya ke MK. Fenomena itu tidak bagus.
Namun, langkah itu sebenarnya bukanlah solusi terbaik dalam menangani rebutan kewenangan. Kalau saja Polri paham dan patuh, kata pakar hukum tata negara Universitas Andalas (Unand) Saldi Isra, kisruh tak perlu terjadi. "Kalau Presiden benar-benar berpihak pada agenda pemberantasan korupsi, Presiden harus secara eksplisit meminta Kapolri memberi ruang kepada KPK," tegas Saldi.
Kemarin, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dan pakar hukum pidana Romli Atmasasmita mendatangi Divisi Hukum Polri. Keduanya dimintai pendapat jika soal kewenangan Polri dan KPK dibawa ke MK.
Yusril menilai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kurang memiliki kewibawaan untuk dapat menengahi sengketa kewenangan antara Polri-KPK. Dengan kedudukan tinggi, Presiden dapat menasihati pimpinan kedua lembaga. "Itu (nasihat) bukan intervensi kasus," katanya.
Mantan KSAD Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu menyatakan, seharusnya Presiden Yudhoyono bertindak. "Ini bukan intervensi. Kalau ke polisi negara tetangga, baru namanya intervensi," katanya.
Ketua Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) Soerjadi menegaskan, PPAD mendukung KPK.
DPP Partai Demokrat berpendapat, untuk meredakan ketegangan, penyidikan kasus itu sebaiknya diserahkan ke KPK. Jika Polri legowo, kata Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Saan Mustofa, citranya justru akan meningkat.
Sikap Presiden yang belum meminta Kapolri menyerahkan kasus Korlantas ke KPK, kata anggota Komisi III DPR Achmad Basarah, menunjukkan Presiden kurang memiliki kehendak politik memberantas korupsi.
Menurut Romli, nota kesepahaman bersama (MOU) antara pimpinan KPK, Polri, dan Kejagung bermasalah dan justru melemahkan KPK. MOU itu membuat kewenangan KPK menjadi selevel dengan Polri dan Kejagung.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, dalam pertemuan dengan para perwira menengah Polri di PTIK, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengingatkan jajaran Polri untuk menjalankan komitmen anti- KKN dan bekerja secara profesional.
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Selasa, 07-08-2012. Halaman: 7 (Opini)
Rivalitas atau Penegakan Hukum?
INDRIYANTO SENO ADJI
Polemik antarpihak penegak hukum bukan merupakan wacana baru. Hongkong, Italia, Rusia, dan sejumlah negara lain mengalami hal serupa manakala terjadi pembaruan hukum yang diikuti dengan perubahan legislasi atas kewenangan lembaga penegak hukum.
Di Indonesia, beberapa waktu lalu, proses hukum antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Agung (MA), KPK dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), KPK dengan Kejaksaan Agung, KPK dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), maupun KPK dengan DPR dianggap sebagai rivalitas kelembagaan. Padahal, setiap lembaga memiliki intensitas masalah masing-masing.
Pengamat hukum dan politik pun ikut berargumen yang kadang justru membuat bingung publik sehingga antara euforia dan fobia penegakan hukum menjadi rancu.
Saat ini yang sedang ramai adalah penyidikan KPK terhadap Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia (Korlantas Polri). Kepala Korlantas terkait kasus simulator SIM atas dugaan penyalahgunaan wewenang, sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.
Persoalannya, apakah pengungkapan kasus ini masuk rivalitas antarpenegak hukum atau lebih merupakan eksistensi kuat penegakan hukum?
Sama di depan hukum
Pertama, pendekatan rivalitas institusi sangat mengemuka dalam kasus ini. Pengungkapan kasus dianggap sebagai rivalitas dan usaha melumpuhkan integritas penegak hukum Polri. Padahal, tindakan penyidikan, baik oleh kepolisian maupun KPK, adalah hal yang wajar
dalam proses hukum, sama halnya dengan proses hukum penyidikan KPK terhadap lembaga negara Polri.
Semua proses hukum dilandasi prinsip negara hukum, yaitu adanya kesamaan di hadapan hukum. Tidak ada imunitas hukum atas pribadi, swasta, ataupun personalitas kelembagaan negara.
Aturan mengenai penyalahgunaan pada Pasal 3 UU Tipikor dalam ranah hukum pidana ini sebenarnya merupakan perluasan dengan mengadopsi pemahaman yang ada dalam ranah polemik hukum administrasi negara. Pasal 3 sebenarnya berlaku bagi penyelenggaraan negara termasuk penegak hukum, seperti jaksa, polisi, dan KPK.
Ketentuan tersebut tidak saja merupakan kontrol terhadap perlindungan hak asasi manusia (saksi, korban, tersangka), tetapi mengikat pula dari tindakan penegak hukum yang sewenang- wenang ataupun yang melampaui wewenang, tidak terkecuali KPK dan Polri.
Kedua, pendekatan disharmonisasi dihindari dalam mengungkap kasus ini. Kita memahami bahwa sebagai institusi penegak hukum dalam sistem ketatanegaraan yang baru, KPK memiliki sarana dan prasarana hukum dengan tingkat kewenangan luar biasa atau extraordinary power yang tidak dimiliki institusi lain.
Maka menjadi wajar apabila masyarakat memiliki harapan berkelebihan searah dengan kewenangan yang luar biasa dari KPK. Dengan wewenang KPK yang luar biasa, diharapkan pula segala bentuk, cara, dan aplikasi korupsi dapat menjadi satu bagian dalam tatanan pemberantasan korupsi.
Namun, wewenang luar biasa yang dimiliki KPK harus diselaraskan dengan tata cara norma legislasi mengingat kedua lembaga penegak hukum ini memiliki hubungan esensial sebagai institusi penegak hukum dalam sistem peradilan pidana. Dengan wewenang luar biasa, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sebagai norma hukum memberikan kontrol terhadap penggunaan wewenang dari penegak hukum yang dapat saja merugikan masyarakat, saksi/korban, dan tersangka.
Kewenangan
Penyalahgunaan wewenang berarti penegak hukum memiliki kewenangan tetapi menggunakannya secara menyimpang atau tidak memiliki kewenangan tetapi bertindak seolah punya wewenang dan menggunakannya dengan melanggar prosedur meskipun tujuan tercapai. Makna penyalahgunaan wewenang inilah yang menjadi parameter ada tidaknya dugaan pelanggaran oleh Kepala Korlantas.
Dengan demikian, seharusnya pengamat dan aktivis bersikap bijak dengan memberikan kesempatan kepada KPK untuk melakukan proses hukum terhadap siapa pun yang diduga menyalahgunakan wewenang, termasuk Polri.
Ketiga, pendekatan dislabelisasi merupakan bagian yang harus ditiadakan dalam penegakan hukum. Dari sisi ini, untuk menghindari labelisasi KPK dari pencitraan kelembagaan, sebaiknya tindakan KPK diselaraskan dengan tata cara norma prosedur tetap di antara KPK dengan Polri maupun penegak hukum lain, terutama dalam melaksanakan upaya paksa. Hal ini mengingat KPK dan Polri adalah lembaga penegak hukum yang memiliki hubungan esensial sebagai institusi penegak hukum dari sistem peradilan pidana.
Harus diingat bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor ini berlaku tidak saja terhadap KPK, tetapi juga pada kejaksaan dan Polri atau aparatur negara lain yang menyalahgunakan wewenang dalam menjalankan tugas.
Keempat, bila memang terjadi rivalitas dan disharmonisasi di antara lembaga penegak hukum, seperti KPK, Polri, dan kejaksaan, ini semata tercipta karena sistem regulasi diskriminasi kewenangan yang justru melemahkan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, perlu adanya suatu balance and equal power yang tidak diskriminatif untuk semua penegak hukum demi kebangkitan citra penegak hukum yang tidak subordinatif.
Perbedaan pendapat di kalangan pengamat hukum dan aktivis, akademisi dan praktisi, baik yang pro maupun kontra mengenai penyidikan kasus simulator SIM oleh KPK, haruslah dianggap sebagai wacana demokratisasi yang menghargai perbedaan opini.
Alangkah bijaknya bila Polri bisa memahami kewenangan KPK tidak dalam konsep kekuasaan dan pencitraan lembaga, karena opini yang demikian akan menimbulkan
kekuasaan otoriter yang permisif seolah KPK, Polri, dan kejaksaan merupakan lembaga yang kebal penegakan hukum. Semua ini untuk menghindari anggapan apa yang dilakukan KPK sekarang sebagai politik balas dendam KPK atas kasus cicak versus buaya dulu.
Proses hukum seharusnya dihargai agar dogma penegakan hukum dari judge made law menjadi pilar penentu kebenaran tidaknya proses hukum KPK terhadap Polri. Sikap bijak telah ditunjukan lembaga negara yang pernah diproses KPK, seperti Mahkamah Agung, DPR, dan Kejaksaan Agung. Maka, sebaiknya resistensi pemeriksaan kasus simulator SIM ini disingkirkan agar tidak menimbulkan kesan lembaga Polri tidak transparan dan tidak apresiasi terhadap penegakan hukum.
Publik pun berharap KPK menangani kasus ini karena integritasnya, bukan semata pencitraan pemberantasan korupsi!
INDRIYANTO SENO ADJI Guru Besar Hukum Pidana,
P U S A T I N F O R M A S I K O M P A S Palmerah Selatan 26 - 28 Jakarta, 10270
Telp. 5347710, 5347720, 5347730, 5302200 Fax. 5347743
KOMPAS Jumat, 10-08-2012. Halaman: 1
Dugaan korupsi